Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Penerapan Blue Economy pada Industri Budidaya Udang dengan Pemanfaat Limbah Kepala dan Kulit Udang untuk Produksi Kitosan Monika Meliana Taurisianti1 dan Jacob L.A. Uktolseja2 1
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana 2 Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, Indonesia Telp (0298) 321212 (hunting), Fax (0298) 321433 email:
[email protected]
Abstract Monika Meliana Taurisianti and Jacob L.A. Uktolseja. Application of the Blue Economy to Shrimp Aquaculture Industry by Utilization of Head and Shell of Shrimp Waste for Chitosan Production. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. Application of blue economy to shrimp aquaculture industry may result in both increasing economic revenue and reducing environmental destruction. The study objective was to calculate revenue from chitosan production derived from head and shell of shrimp waste to pay CO2 emission (carbon footprint) produced by shrimp aquaculture industry. Primary data of shrimp aquaculture industry were gathered from shrimp aquaculture production of Dompu Regency, Province of South West Sunda Lesser (Nusa Tenggara Barat) of one period of cultivation database in 2005 that produced 142,193.53 kg. It was calculated about 68,835.40 kg of head and shell waste were produced that can be converted to 3,166.43 kg chitosan. In one period of cultivation, selling of chitosan brought about profit of Rp 119,849,300.15 with cost of carbon emission of Rp 85,919,585.23. There was remaining profit of Rp 33,979,714.92. In conclusion, utilization of head and shell of shrimp waste to produce chitosan can pay the cost of CO2 emission derived from shrimp aquaculture industry itself to conserve the environment of shrimp pond and to gain more profit. Keywords: Blue economy; Chitosan; CO2 emission; Shrimp aquaculture industry; Shrimp head and shell waste
Abstrak Penerapan blue economy pada industri budidaya udang di tambak berpeluang menghasilkan baik peningkatan pendapatan ekonomi dan pengurang kerusakan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung pendapatan yang diperoleh dari limbah industri budidaya udang berupa produksi kitosan dari kulit dan kepala udang untuk membayar harga emisi CO2 (carbon footprint) yang diakibatkan oleh industri budidaya udang. Data utama industri budidaya udang diperoleh dari data industri budidaya udang Kabupaten Dompu NTB pada satu musim tanam 2005 yang menghasilkan produksi udang sebanyak 142.193,53 kg. Perkiraan produksi limbah kulit dan kepala udang sebanyak 68.835,40 kg dengan kitosan yang dihasilkan sebanyak 3.166,43 kg. Dalam satu musim tanam, diperkirakan keuntungan penjualan kitosan sebanyak Rp 119.849.300,15 dan biaya emisi karbon sebanyak Rp 85.919.585,23. Jadi masih tersisa keuntungan sebanyak Rp 33.979.714,92. Dengan demikian pemanfaatan limbah kepala dan kulit udang untuk produksi kitosan dapat membayar emisi CO2 yang diakibatkan oleh kegiatan industri udang itu sendiri untuk melestarikan lingkungan tambak serta mendapatkan tambahan laba. Kata kunci: Blue economy; Kitosan; Emisi CO2; Industri budidaya udang; Limbah kepala dan kulit udang
Pendahuluan Indonesia memiliki sumberdaya laut dan pantai yang besar, namun kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) tanpa minyak dan gas hanya 3,36% (Kementerian Kelautan dan Perikanan-Republik Indonesia, 2013). Salah satu penyumbang terbesar kontribusi ini adalah industri budidaya udang. Peningkatan kapasitas industri budidaya udang diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya terhadap PDB. Namun peningkatan kapasitas industri budidaya udang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang pada akhirnya menghancurkan industri udang itu sendiri (Kautsky et al., 2000). Industri budidaya harus memperhatikan prinsip-prinsip
350
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
ekologis agar dapat sinambung (Kautsky et al., 2000) seperti yang diusulkan dalam konsep Green Economy (Pendleton et al., 2012). Lebih lanjut konsep Green Economy dikembangkan menjadi konsep Blue Economy (Pauli, 2010) dengan salah satu perbedaanya adalah biaya lingkungan akibat proses industri budidaya udang yang menggunakan sumberdaya laut dan pantai tidak dibebankan kepada konsumen seperti yang diusulkan oleh konsep Green Economy (Allison et al., 2012), tetapi melakukan inovasi untuk menggunakan seluruh komponen proses produksi terutama yang dianggap limbah (waste) menjadi barang berguna yang mempunyai nilai ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru (Pauli, 2010). Nilai ekonomi yang tercipta dapat dipakai untuk membayar biaya lingkungan (environmental capital) itu sendiri, serta dapat memberikan tambahan keuntungan bagi industri budidaya udang (economic capital) dan menambah penghasilan bagi tenaga kerja baru (social capital). Salah satu limbah produksi industri budidaya udang adalah kepala dan kulit udang yang dapat dikonversi menjadi kitosan (Beany et al., 2005). Kitosan ini mempunyai banyak kegunaan dengan nilai ekonomi yang tinggi. Khusus untuk Indonesia diperkirakan dari 500.000 ton/tahun produksi udang dihasilkan limbah kepala dan kulit udang sebanyak 300.000 ton/tahun (Handayani et al., 2008). Biaya lingkungan yang diakibatkan dari industri budidaya udang dihitung dari tingkat emisi karbon dioksida (Pelletier dan Tyedmers, 2010; Mungkung et al., 2012). Jadi penelitian ini bertujuan untuk menghitung pendapatan yang diperoleh dari limbah industri budidaya udang berupa produksi kitosan dari kulit dan kepala udang untuk membayar harga emisi CO2 (carbon footprint) yang diakibatkan oleh industri budidaya udang.
Bahan dan Metode Produksi udang dan kitosan Data produksi udang diperoleh dari hasil produksi tambak udang Kabupaten Dompu, Nusa Tengara Barat (Abubakar, 2009). Konversi jumlah produksi udang di tambak ke jumlah produksi kepala dan kulit udang dilakukan dengan menghitung rasio kepala dan kulit terhadap total berat udang di pasar Kota Semarang secara sampling acak, yaitu sebesar 48,41% dari total berat udang. Kemudian, dari data jumlah produksi kepala dan kulit udang diperoleh data produksi kitosan dengan menggunakan nilai konversi 4,6% menurut Istqomah (2011). Lama produksi kitosan diperoleh dengan total jumlah kepala dan kulit udang dibagi dengan kapasistas pengolahan pabrik kitosan. Emisi karbon Emisi karbon yang dihasilkan dari produksi udang di tambak diperoleh dengan menggunakan angka konversi 5,88 kg CO2 e/kg (Mungkung et al., 2012). Emisi karbon yang dihasilkan dari produksi kitosan dihitung dengan Blue Carbon Offset Calculator menurut The Ocean’s Foundation Seagrass Grow (2013). Emisi karbon dihitung berdasarkan komponen proses produksi kitosan seperti jumlah pegawai, luasan pabrik, jumlah energi listrik yang digunakan, jenis kendaraan transportasi, panjang perjalanan kendaraan transportasi. Perhitungan ekonomi Biaya emisi karbon untuk produksi udang di tambak dan produksi kitosan adalah 10 USD per ton CO2 (Siikamäki et al., 2012) yang dikonversi ke satuan rupiah Indonesia pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) per 19 Juli 2013 sebesar Rp 10.070. Perhitungan ekonomi yang lain dari produksi kitosan adalah biaya produksi dan investasi, laba atau rugi, waktu pengembalian investasi. Data komponen biaya produksi dan invertasi diperoleh dari Susanto dan Mukhsi (2010) yang dimodifikasi berdasarkan hasil penelitian Beaney et al. (2005) dan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang. Harga pasaran kitosan sebesar 20 USD diperoleh dari Antara (2011) untuk kualitas kitosan farmasi.
351
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Hasil dan Pembahasan Hasil produksi udang dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel ini menunjukkan bahwa kira-kira 2,3% kitosan dapat diproduksi dari total produksi udang. Produksi kitosan ini menghasilkan emisi karbon sekitar 0,002% dari emisi karbon yang dihasilkan dari produksi udang itu sendiri (Tabel 2). Hasil perhitungan ini (5,17 ton CO2 e/ton kitosan) relatif sangat lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil perhitungan emisi karbon produksi kitosan menurut Roberts (2006), yaitu setiap ton produksi kitosan dihasilkan 0,8 ton CO2 .Perbedaan ini mungkin karena perhitungan oleh Roberts (2006) hanya menganalisis CO2 yang keluar dari bahan kepala dan kulit udang yang mengandung CaCO3. Tabel 1. Produksi udang di tambak Kabupaten Dompu NTB dan perkiraan produksi kitosan. Pembulatan kapasitas Produksi udang Produksi kepala dan kulit udang Produksi kitosan pabrik kitosan (kg) (kg) (kg/bulan) (kg/bulan) 142.192,53 68.835,4 14.400 662,4 Tabel 2. Perkiraan emisi karbon produksi udang dan kitosan dan biaya karbonnya. Produksi udang Produksi kitosan Emisi karbon Biaya karbon Emisi karbon Biaya karbon (kg C) (Rp) (kg C) (Rp) 836.092,08 84.194.263 17,136 1.725.595,20 Tabel 3. Penghitungan biaya produksi kitosan per bulan. No. Jenis kebutuhan Jumlah 1 Bahan baku kepala dan 14.400 kg kulit udang 2 Bahan penolong (HCl, 14.400 kg NaOH, air) 3 Kemasan 265 plastik 4 Listrik 24 hari 5 Gaji karyawan 24 hari x 3 orang Total biaya produksi Jumlah kitosan yang diproduksi (kg) HPP kitosan (Rp/kg)
Harga satuan 2.500/kg
Total (Rp) 36.000.000,00
4.500/kg
64.800.000,00
500/plastik 50.000/hari 50.000/org/hari
132.500,00 1.200.000,00 3.600.000,00 105.732.500,00 662,40 159.620,32
Tabel 3 memuat hasil perhitungan kitosan setiap bulan. Jika dalam satu kemasan plastik kitosan memuat 2,5 kg kitosan maka diperlukan sekitar 265 plastik kemasan dengan harga pokok produksi (HPP) setiap kemasan sebesar Rp 399.050,80. Hasil perhitungan biaya produksi kitosan per kilogram ini lebih tinggi 6,67% dari pehitungan biaya produksi kitosan menurut Savitri et al. (2010) sebesar Rp 149.700/kg kitosan. Perbedaan ini terjadi karena Savitri et al. (2010) hanya memperhitungkan biaya dari bahan kimia saja dan konversi kulit udang ke kitosan lebih rendah yaitu 2,5%. Tabel 4. Perhitungan biaya investasi dan depresiasi produksi kitosan. Perkiraan usia No. Jenis investasi Jumlah ekonomi (UE) (tahun) 1 Tempat pengering 2 alat 5 2 Timbangan 2 alat 5 3 Oven 2 alat 5 4 Gelas ukur 5 alat 5 5 Tangki pencampur 3 alat 3 6 Alat pengaduk 5 alat 3 7 Termometer 5 alat 3 8 Tangki pembuat larutan 3 alat 3 9 Alat penghancur 1 alat 5 10 Tangki pemanas 5 alat 5
352
Harga (Rp) 200.000,00 1.000.000,00 6.000.000,00 6.000.000,00 6.000.000,00 100.000,00 500.000,00 6.000.000,00 5.000.000,00 1.500.000,00
Biaya depresiasi (Rp/bulan) 3.333,33 16.666,67 100.000,00 100.000,00 166.666,67 2.777,78 13.888,89 166.666,67 83.333,33 25.000,00
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
11 12 13
Screener 2 alat Sewa rumah produksi 1 tahun Pemasaran dan 1 tahun transportasi Total biaya investasi
5 1 1
Tabel 5. Perhitungan harga pokok penjualan. No Komponen biaya 1 2
HPP total kitosan (Rp.159.620,32/kg x 662,4 kg) Total biaya depresiasi Total harga pokok penjualan
6.000.000,00 30.000.000,00 5.000.000,00
100.000,00 2.500.000,00 416.666,67
73.300.000,00
3.695.000,00
Biaya (Rp) 105.732.499,97 3.695.000,00 109.427.499,97
Tabel 6. Perhitungan laba. No Komponen perhitungan 1 Penjualan kitosan (662,40 kg x Rp.201.400) 2 Harga pokok penjualan Laba
Jumlah (Rp) 133.407.360,00 109.427.499,97 23.979.860,03
Tabel 7. Perhitungan laba setelah dikurangi biaya karbon. No Komponen perhitungan 1 Total laba 5 bulan (5 x Rp.23.979.860,03) 2 Total biaya karbon Sisa laba
Jumlah (Rp) 119.899.300,15 85.919.585,23 33.979.714,92
Tabel 4 menyajikan hasil perhitungan biaya investasi dan depresiasi produksi kitosan. Sekitar 40,59% dari total biaya dalam satu bulan merupakan biaya investasi. Biaya investasi produksi kitosan dengan luasan fasilitas pabrik sekitar 929 m2 sebesar lebih dari 5 juta USD untuk memproses limbah produksi udang sebanyak 5,9 juta kg (Quinlan 2009; Stewart dan Noyes-Hull, 2010). Berdasarkan perbandingan jumlah limbah udang yang dapat diolah, dengan melakukan esktrapolasi, maka biaya investasi produksi kitosan pada penelitian ini lebih murah 40,35%. Omzet penjualan kitosan selama satu bulan sebesar Rp 133.407.360 (Tabel 5) atau selama 5 bulan sebanyak Rp 119.899.300,15 (Tabel 6). Dengan dikurangi biaya produksi dan biaya karbon masih menyisakan keuntungan selama 5 bulan operasi sebanyak Rp 33.979.714,92 (Tabel 7). Jika dikurangi dengan biaya CO2 yang keluar dari CaCO3 kepala dan kulit udang, maka keuntungan hanya berkurang Rp 266.814,72 menjadi Rp 33.712.900,20. Berdasarkan nilai keuntungan Rp 33.979.714,92 dapat dihitung berapa Payback Periode. Keuntungan selama satu bulan dari 5 bulan operasi sebesar Rp 6.795.942,98. Biaya investasi dibagi keuntungan per bulan ini diperoleh hasil 10,78 bulan atau 10 bulan 24 hari. Jadi jika produkasi kitosan dapat berjalan dan semua kitosan dapat dijual, maka sekitar 11 bulan biaya investasi sudah dapat kembali. Keuntungan yang diperoleh dengan setelah dikurangi biaya lingkungan secara tentatif membuktikan bahwa konsep blue econony dari Pauli (2010) dapat diterapkan dalam industri budidaya udang. Tiga capital yaitu economic capital (keuntungan), environmental capital (emisi CO2), social capital (penambahan lapangan pekerjaan dan penghasilan tenaga kerja baru) dalam konsep green economy (Pendleton et al., 2012) dapat dipenuhi dengan tanpa konsumen udang membayar biaya lingkungan. Penerapan prinsip ekologi untuk kesinambungan industri udang (Kautsky et al., 2000) ternyata juga harus dibarengi dengan tambahan aplikasi teknologi (Costa Pierce, 2002; Ayer dan Tyedmers, 2009) seperti pada konversi limbah kepala dan kulit udang menjadi kitosan. Tambahan aplikasi teknologi, termasuk bioteknologi, terutama dibutuhkan untuk limbah yang non nutrisi. Dampak lingkungan limbah nutrisi kebanyakan diatasi dengan menerapkan akuakultur multi spesies (Bunting dan Shpiegel, 2009; Troell et al., 2009). Aplikasi bioteknologi pada limbah kepala dan kulit udang tidak hanya mengkonversi menjadi kitosan, tetapi
353
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
juga dapat menjadi karotenoid, lemak, protein dan mineral (Sachindra et al., 2005; Bhaskar et al., 2007). Jadi bioteknologi berpotensi diterapkan untuk limbah non nutrisi.
Kesimpulan Penerapan blue economy pada industri udang secara tentatif dapat memaksimalkan pendapatan yang diperoleh oleh pengusaha industri udang. Pendapatan tambahan ini pada akhirnya dapat digunakan untuk perbaikan lingkungan dan sosial sebagaimana terdapat dalam konsep green economy, bahkan masih menyisakan laba bagi perusahaan. Potensi penerapan blue economy pada industri udang masih sangatlah besar, karena pada penelitian ini belum dihitung potensi atas industri karotenoid, lemak, protein, dan mineral dengan aplikasi bioteknologi pada limbah kepala dan kulit udang. Tambahan potensi ini menjadi masukan bagi penelitian berikutnya.
Daftar Pustaka Abubakar. 2009. Trade-off pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang berkelanjutan di Kabupaten Dompu, NTB. Agroteksos, 19: 48−55. Allison, E., N. Franz., C. Fuentevilla, L. Westlund and R. Willmann. 2012. Greening Small-scale Fisheries and Aquaculture. In, J. Alder and A.P. Capella (Project Team United Nations Environmental Programme), Green Economy in a Blue World. United Nations Environmental Programme, Nairobi, pp. 18−37. Ayer, N.W. and P.H. Tyedmers. 2009. Assessing alternative aquaculture technologies: life cycle assessment of salmonid culture systems in Canada. Journal of Cleaner Production, 17: 362–373. Antara. 2001. BPPT, PT Katama to Produce Indonesia’s First Kitosan. Jakarta, Antara -The Indonesian National News Agency, July 16, 2001. Beaney, P., J.L. Mendoza and M. Healy. 2005. Comparison of chitins produced by chemical and bioprocessing methods. Journal of Chemical Technology and Biotechnology, 80:145–150. Bhaskar, N., P.V. Suresh, P.Z. Sakhare and N.M. Sachindra. 2007. Shrimp biowaste fermentation with Pediococcus acidolactici CFR2182: Optimization of fermentation conditions by response surface methodology and effect of optimized conditions on deproteination/demineralization and carotenoid recovery. Enzyme and Microbial Technology, 40: 1427–1434. Bunting, S.W. and M. Shpigel. 2009. Evaluating the economic potential of horizontally integrated landbased marine aquaculture. Aquaculture, 294: 43–51. Costa-Pierce, B. 2002. The 'blue revolution' - aquaculture must go green. World Aquaculture, 33:4−5. Handayani, A.D, Sutrisno, N. Indraswati and S. Ismadji. 2008. Extraction of astaxanthin from giant tiger (Panaeus monodon) shrimp waste using palm oil: Studies of extraction kinetics and thermodynamic. Bioresource Technology, 99: 4414–4419. Istiqomah. 2011. Pra perancangan unit pengolahan kitosan dari cangkang udang windu di Sidoarjo. Skripsi., Universitas Brawijaya, Malang. Kautsky N., P. Rönnbäck, M. Tedengren and M. Troell. 2000. Ecosystem perspectives on management of disease in shrimp pond farming Aquaculture, 191: 145–161 Mungkung, R., S.H. Gheewala and A. Tomnantong. 2012. Carbon footprint of IQF peeled tail-on breaded shrimp (Litopenaeusvannamei): How big is it compared to other aquatic products. Environment and Natural Resources Journal, 10: 31-36 Pelletier, N. and P. Tyedmers. 2010. Life cycle assessment of frozen tilapia fillets from Indonesian lake-based and pond-based intensive aquaculture systems. Journal of Industrial Ecology, 14: 467−481 Pendleton, L., A. Solgaard and P. Siegel. 2012. Introduction. In, J. Alder and A.P. Capella (Project Team United Nations Environmental Programme), Green Economy in a Blue World. United Nations Environmental Programme, Nairobi, Kenya, pp. 8−17. Pauli, G.A. 2010. The Blue Economy. 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs. Paradigm Publication, Iaos, New Mexico, 278 pp. Quinlan, R. 2009. Environmental Assessment Information Feed Shellfish Chitin Processing Plant Old Perlican, NL. Water St., St. John’s, NL, Quinlan Brothers Limited. 43pp. Roberts, G.A.F. 2006. Truth or Myth In: G.A.F. Robets (Ed.) European Chitin Society Newsletter July 2006 No.21. Bioengineering Research Group, School of M3E, Nottingham University, Nottingham, UK.
354
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Savitri, E., N. Soeseno and T. Adiarto. 2010. Sintesis kitosan, poli(2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), skala pilot project dari limbah kulit udang sebagai bahan baku alternatif pembuatan biopolimer. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia ―Kejuangan‖Pengembangan teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. Yoyakarta, 26 Januari 2010. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri UPN‖Veteran‖ Yogyakarta, pp H01-1−10. Sachindra, N.M., N. Bhaskar and N.S. Mahendrakar. 2005. Carotenoids in different body components of Indian shrimps. Journal of the Science of Food and Agriculture, 85: 167–172. Stewart, G. and G.N. Hull. 2010. Feasibility of Producing Value Added Products from Snow Crab Processing Waste in Cape Breton, Nova Scotia. Nova Scotia, The Gulf Aquarium and Marine Station Cooperative. 38 pp. Siikamäki, J., J, N. Sanchirico and S.L. Jardinec, 2012. Global economic potential for reducing carbon dioxide emissions from mangrove loss. Proceedings of the National Academy of Sciences, 109: 14369–14374 Susanto, H.R. and A.A. Mukhsi. 2010. Pemanfaatan kitosan limbah cangkang udang pada proses adsorpsi lemak sapi. Institut Tesknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. The Ocean Foundation’s SeaGrass Grow. 2013. Blue carbon offset calculator mrthodology. https://seagrassgrow.org/blue-carbon-offset-calculator/ diakses 19 Juli 2013. Troell, M., A. Joyce, T. Chopin, A. Neori, A.H. Buschmann and J.G. Fang. 2009. Ecological engineering in aquaculture — Potential for integrated multi-trophic aquaculture (IMTA) in marine offshore systems. Aquaculture, 297: 1–9
355