II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga) yang lebih dikenal sebagai sampah dimana kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah. Beberapa karakteristik limbah yaitu : (1) berukuran mikro; (2) dinamis; (3) berdampak luas (penyebarannya); (4) berdampak jangka panjang (antar generasi). Menurut Hadiwijoto (1983), limbah organik merupakan limbah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegitan pertanian, perikanan dan lainnya. Limbah organik ini dapat diuraikan dalam proses alami. Limbah yang dihasilkan dari rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik.
2.1.1 Pengelolaan Limbah Organik Menurut Hadisuwito (2007), terdapat beberapa alternatif pengelolaan limbah organik yaitu : 1. Penumpukan Pada metode ini sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, tetapi dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat murah dan sederhana, tetapi sangat berisiko karena bisa menimbulkan penyakit dan menyebabkan pencemaran. 2. Pembakaran Metode ini memang yang paling sering dilakukan masyarakat. Namun, cara ini sebaiknya dilakukan hanya untuk sampah yang dapat terbakar habis. Selain itu, lokasi pembakaran berada di tempat yang jauh dari pemukiman.
Mengingat, sampah yang dibakar ternyata dapat menghasilkan dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-pdioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), dan PCB (poly chlorinated biphenyl). 3. Sanitary Landfill Metode ini khusus diberlakukan untuk tempat pembuangan akhir ketika lahan yang disediakan telah penuh terisi sampah. Caranya yaitu dengan membuat cekungan baru untuk mengubur sampah yang diatasnya ditutupi tanah. 4. Pengomposan Metode ini merupakan langkah sederhana yang tidak menimbulkan efek samping bagi lingkungan, tetapi memberi nilai tambah bagi sampah, khususnya sampah
organik.
Pengelolaan
sampah dengan cara pengomposan atau
mengubahnya menjadi pupuk merupakan alternatif terbaik. Namun demikian, menurut data Kementrian Lingkungan Hidup, sampah organik yang dikomposkan baru berkisar 1-6% sedangkan sisanya lebih banyak dibakar, ditimbun, atau dibuang ke sungai dan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
2.2 Pemupukan Pupuk dapat dikatakan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah agar dapat menambah unsur-unsur atau zat makanan yang diperlukan tanah baik secara langsung atau tidak langsung. Dengan demikian, pemupukan pada umumnya bertujuan untuk memelihara atau memperbaiki kesuburan tanah, dimana secara langsung atau tidak langsung akan dapat menyumbangkan bahan makanan kepada tanaman yang tumbuh di tanah tersebut. Pemupukan adalah tindakan yang mempengaruhi hubungan tanah dengan tumbuh-tumbuhan. Tanah dan tumbuh-tumbuhan merupakan dwi tunggal yang tak bisa dipisahkan. Seperti halnya tumbuh-tumbuhan, tanah juga harus dipandang sebagai perantara yang hidup bukan sebagai suatu medium atau bahan perantara yang pasif. Hal itu karena pada hakekatnya yang langsung dipupuk bukan tanamannya melainkan tanahnya. Dalam pemupukan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai jenis zat apa yang dibutuhkan oleh tanah agar dapat mencapai hasil tanaman yang maksimal. Selain itu, jumlah dan perbandingan zat serta pengaruh 14
apa yang ditimbulkannya terhadap bagian-bagian dan sifat-sifat tanah serta tanamtanaman. Pupuk juga mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap produktivitas tanah dan tanaman. Pupuk organik dapat membebaskan kationkation dari ikatan-ikatan adsorbsif menjadi ion-ion bebas yang tersedia bagi tanaman. Ini disebabkan oleh adanya asam arang yang tinggi yang ada di dalamya, berkat peruraian pupuk tersebut. Pemupukan dengan pupuk kandang, kompos, dan pupuk hijau juga mengakibatkan tanah-tanah yang ringan strukturnya menjadi lebih baik, daya mengikat air menjadi lebih tinggi, sedangkan tanah-tanah yang berat menjadi lebih ringan. Pengaruh garam Calcium juga sangat
penting
terhadap
struktur
tanah
sebab
ion-ion
Calcium
dapat
mengumpulkan kolloid-kolloid tanah, sehingga struktur tanah menjadi beremah. Tetapi ion-ion Natrium mempunyai pengaruh sebaliknya, yaitu memperbesar dispersitas kolloid tanah. Jadi bila dilakukan pemupukan dengan Natrium terusmenerus, struktur tanah akan menjadi lebih berat. Kolloid tanah menjadi lebih plastis dan tanah yang berat menjadi lebih berat lagi. Jadi pengaruh garam-garam Natrium terhadap struktur tanah berakibat tidak baik (Murbandono 1993).
2.2.1 Jenis Pupuk Beragam jenis dan bentuk pupuk yang dibedakan berdasarkan atas: (1) terjadinya yaitu pupuk alam dan pupuk buatan; (2) susunan kimiawinya yaitu pupuk tunggal, pupuk majemuk, pupuk Ca dan Mg; (3) susunan kimiawinya yang berkenaan dengan perubahan-perubahan di dalam tanah yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik (Murbandono 1993).
2.2.1.1 Pupuk Anorganik Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang telah diubah melalui proses produksi, sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah diserap tanaman. Pupuk anorganik juga bisa diproduksi dengan pengolahan pabrik (Hadisuwito 2007).
15
Sutedjo (1994) menjelaskan bahwa pupuk anorganik sangat dikenal dan disukai di daerah tropik, terutama negara dengan penduduk yang melakukan usaha di bidang pertanian. Hal ini disebabkan oleh : 1. Pupuk anorganik sangat praktis dalam penggunaannya, artinya pemakaian dapat disesuaikan dengan perhitungan hasil penyelidikan defisiensi unsur hara yang tersedia dalam kandungan tanah. 2. Penyedia pupuk anorganik bagi para pemakainya dapat meringankan ongkosongkos angkutan, mudah didapat, dapat disimpan lama.
2.2.1.2 Pupuk Organik Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa pupuk organik sering juga disebut sebagai pupuk alam, sebab sebagian besar pupuk ini berasal dari alam. Kotoran hewan, sisa tanaman, limbah rumah tangga, dan batu-batuan merupakan bahan dasar pupuk organik. Beberapa jenis pupuk organik masih ada yang benarbenar alami tanpa sentuhan teknologi, tetapi tidak sedikit pula pupuk organik yang telah diproses dengan teknologi modern sehingga muncul dalam bentuk, rupa, dan warna yang jauh berbeda dengan bahan dasarnya. Beberapa produsen pupuk organik ada juga yang menambahkan komponen atau bahan lain ke dalam produknya kemudian dikemas dan diproduksi secara komersial. Dengan kemasan yang menarik, pupuk organik dapat sejajar dengan pupuk anorganik. Pupuk organik dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan cara pembentukannya, yaitu pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Pupuk organik alami merupakan pupuk organik yang bahan-bahannya langsung diambil dari alam dan benar-benar alami, seperti dari sisa hewan, tumbuhan, serta tanah, tanpa penambahan unsur hara lain untuk melengkapi atau meningkatkan kandungan unsur haranya. Kandungan unsur hara pupuk ini tergantung pada jenis bahan, kondisi pemeliharaan, proses pembuatan, dan cara penyimpanannya. Jenis pupuk organik alami ada enam macam, yaitu: 1. Pupuk kandang Pupuk kandang berasal dari hasil pembusukan kotoran hewan, baik itu berbentuk padat (berupa feses atau kotoran) maupun cair (berupa air seni atau
16
kencing), sehingga warna rupa, tekstur, bau, dan kadar airnya tidak lagi seperti asli. 2. Pupuk Kompos Kompos adalah sampah organik yang telah mengalami proses pelapukan atau dekomposisi akibat adanya interaksi mikroorganikme yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik yang biasa dipakai bisa berupa dedaunan, rumput, jerami, sisa ranting atau dahan pohon, kotoran hewan, kembang yang telah gugur, air kencing hewan, kotoran hewan, dan sampah daur ulang. 3. Humus Humus mirip dengan kompos, tetapi proses pelapukan bahan organiknya terjadi secara alami. Bahan dasar humus umumnya berupa sisa-sisa tanaman yang telah melapuk di kawasan hutan. Seperti halnya pupuk kandang dan kompos, kandungan unsur hara dalam humus cukup baik. Humus mengandung unsur hara makro N, P, dan K, juga mengandung unsur-unsur hara mikro. 4. Pupuk Hijau Pupuk hijau adalah pupuk yang berasal dari tanaman atau bagian tanaman tertentu yang dibenamkan di dalam tanah dalam kondisi segar. Tujuannya untuk menambah bahan organik tanah dan unsur hara tanah, terutama nitrogen. Tanaman yang digunakan adalah jenis yang mempunyai kemampuan mengikat nitrogen bebas di udara dan mengubahnya menjadi bentuk yang dapat diserap tanaman. Tanaman yang mempunyai kemampuan seperti ini yaitu tanaman dari keluarga kacang-kacangan atau polong-polongan (Leguminoseae). 5. Kascing Kascing adalah pupuk organik yang melibatkan cacing tanah dalam proses penguraian atau dekomposisi bahan organik. Walaupun sebagian besar penguraian dilakukan oleh jasad renik, kehadiran cacing justru membantu memperlancar proses dekomposisi. Proses pengomposan dengan melibatkan cacing tanah tersebut dikenal dengan istilah vermi-composting. Sementara hasil akhirnya disebut kascing (bekas cacing). 6. Pupuk Guano Pupuk guano adalah pupuk yang berasal dari kotoran unggas liar, termasuk kelelawar. Sedangkan pupuk dari kotoran ayam, itik, atau merpati 17
peliharaan tidak termasuk di dalamnya. Karena itu, pupuk ini dikenal pula sebagai pupuk burung. Pupuk guano merupakan hasil pelapukan batuan dan kotoran burung yang ada di dalam goa-goa alam. Jenis pupuk ini tergolong langka, sehingga sulit ditemukan di pasaran. Sedangkan pupuk organik buatan adalah pupuk organik yang dibuat dengan sentuhan teknologi untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman yang bersifat alami atau nonkimia, berkualitas baik dengan bentuk, ukuran, dan kemasan yang praktis, mudah didapat, didistribusikan dan diaplikasikan, serta dengan kandungan unsur hara yang lengkap dan teratur. Kandungan haranya juga tidak lagi bergantung pada bahan baku organik yang digunakan melainkan sudah disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pupuk organik buatan ini terdiri dari dua bentuk, yaitu padat dan cair. Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa sifat pupuk organik memiliki kelebihan yang tidak dapat ditandingi oleh jenis pupuk lain, yaitu mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik sehinggga pertumbuhan akar tanaman lebih baik pula. Saat pupuk dimasukkan ke dalam tanah, bahan organik pada pupuk dirombak oleh mikroorganikme pengurai menjadi senyawa anorganik yang mengisi ruang pori tanah sehingga tanah menjadi gembur. Pupuk organik sangat berperan dalam mengatasi masalah kekurangan air di musim kering karena bahan organik mampu menyerap air dua kali dari bobotnya.
2.3 Kompos Kompos berasal dari bahasa Latin componere dan dalam bahasa Inggris disebut compost, artinya mengumpulkan, menaruh semua bahan di suatu tempat, menumpuk semua bahan menjadi satu campuran bahan. Kompos adalah hasil akhir peruraian atau penghancuran oleh mikro dan makroorganisme pada bahan campuran yang berasal dari tanaman (daun, cabang/ranting, batang, buah, dan lain-lain), kotoran ternak, dan kotoran manusia (tinja, urine) yang siap digunakan untuk pemupukan (Winangun 2005). Menurut Murbandono (1993), kompos ialah bahan organik yang telah menjadi lapuk, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan. Di lingkungan 18
alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput, daun-daunan dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama-kelamaan membusuk karena kerjasama antara mikroorganik dengan cuaca. Proses tersebut juga bisa dipercepat oleh perlakuan manusia hingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak terlalu lama. Contoh standar kualitas kompos tercantum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) Kandungan Baku Bahan Organik (%) 27-58 Kadar Air (%) <50 Total N (%) >0,40 Karbon (%) 9,80-32,00 Imbangan C/N 10-20 P (%) >0,10 K (%) >0,20 pH 6,80-7,49 Sumber : Murbandono (1993)
Aminah et al. (2003) mengemukakan mengenai keunggulan-keunggulan kompos yang tidak dapat digantikan oleh pupuk anorganik, yaitu : a. Mengurangi
kepekatan
dan
kepadatan
tanah
sehingga
memudahkan
perkembangan akar dan kemampuannya dalam penyerapan hara. b. Meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah. c. Menahan erosi tanah sehingga mengurangi pencucian hara. d. Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Menurut Sutanto (2002), karakterisasi kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi sebagai berikut : 1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah 2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi 3. Nisbah C/N berkisar 10–20, tergantung dari komposisi bahan baku dan derajat humifikasinya 4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah 19
5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan 6. Tidak berbau Bahan baku pengomposan adalah semua material organik yang mengandung karbon dan nitrogen. Pada Tabel 5 disajikan bahan-bahan yang umum dijadikan bahan baku pengomposan.
Tabel 5. Sumber-sumber Kompos dari Bahan Organik Asal Bahan 1. Pertanian Jerami dan sekam padi, gulma, batang • Limbah dan residu tanaman dan tongkol jagung, semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang dan sabut kelapa. Kotoran padat, limbah ternak cair, • Limbah dan residu ternak limbah pakan ternak, tepung tulang, cairan biogas. Gliriside, terrano, mukuna, turi, • Pupuk Hijau lamtoro, centrosema, albisia. Azola, ganggang biru, rumput laut, • Tanaman air enceng gondok, gulma air. Mikroorganisme, Mikoriza, • Penambat nitrogen Rhizobium biogas. 2. Industri Serbuk gergaji kayu, blotong, kertas, • Limbah padat ampas tebu, limbah kelapa sawit, limbah pengalengan makanan dan pemotongan hewan. Alkohol, limbah pengolahan kertas, • Limbah Cair bumbu masak (MSG), limbah pengolahan minyak kelapa sawit (POME) 3. Limbah rumah tangga Tinja, urin, sampah rumah tangga dan • Sampah sampah kota Sumber : Sutanto (2002)
2.3.1 Bokashi Bokashi adalah pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganikms 4). Keunggulan penggunaan teknologi EM4 adalah pupuk organik (kompos) dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara 20
konvensional.
EM4
juga
dapat
menekan
pertumbuhan
patogen
tanah,
mempercepat fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara pada tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan, serta mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia (Djuarnani et.al. 2006) Cairan EM4 mengandung Azotobacter sp., Lactobacillus sp., ragi, bakteri fotosintetik dan jamur pengurai selulosa. Bahan untuk pembuatan bokashi dapat diperoleh dengan mudah di sekitar lahan pertanian, seperti jerami, rumput, tanaman kacangan, sekam, pupuk kandang atau serbuk gergajian. Namun bahan yang paling baik digunakan sebagai bahan pembuatan bokashi adalah dedak karena mengandung zat gizi yang sangat baik untuk mikroorganisme. Pada prinsipnya, peranan bokashi hampir sama dengan pupuk kompos lainnya,
namun
bokashi
EM4
pengaruhnya dipercepat dengan adanya
penambahan Effective Microorganikms 4 (EM4). Keuntungan penggunaan bokashi adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman meskipun bahan organiknya belum terurai seperti pada kompos. Bila bokashi dimasukan ke dalam tanah, bahan organiknya dapat digunakan sebagai substrat oleh mikroorganisme efektif untuk berkembangbiak dalam tanah, sekaligus sebagai tambahan persediaan unsur bagi tanaman (Sutanto 2002).
2.4 Pengolahan Limbah Organik Untuk Kompos Salah satu unsur pembentuk tanah adalah bahan organik. Sebelum mengalami proses perubahan, bahan organik yang terbentuk dari sisa tanaman dan hewan tidak berguna bagi tanaman karena unsur hara terikat dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Oleh sebab itu, perlu dikomposkan terlebih dahulu agar unsur hara makanan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap tanaman melalui proses perubahan dan peruraian bahan organik. Bahan organik yang akan digunakan sebagai pupuk, sebaiknya mempunyai perbandingan C/N yang mendekati C/N tanah sebesar 10-12. Sisa-sisa tanaman yang masih segar pada umumnya memiliki C/N tinggi sehingga belum bisa langsung digunakan sebagai kompos. Bahan-bahan yang mempunyai C/N sama atau mendekati C/N tanah tentu dapat langsung digunakan. Tetapi sebelum digunakan 21
sebagai pupuk, sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu agar C/N-nya menjadi lebih rendah dan mandekati C/N tanah (Murbandono 1993).
2.4.1 Proses Pengomposan Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganikm) atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri 5). Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba
yang
aktif
pada
suhu
tinggi.
Pada
kondisi
ini
terjadi
dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. 5)
Isroi. 2008. Kompos. http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos [Diakses 15 Desember 2009]
22
Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan. Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganikme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Sutanto 2002).
2.4.2 Laju Pengomposan Aminah
et
al.
(2003),
terdapat
beberapa
faktor
penting
yang
mempengaruhi laju dalam pembuatan kompos adalah : 1. C/N ratio dalam bahan Setiap bahan organik mengandung unsur C (Karbon) dan N (Nitrogen) dalam komposisi yang berbeda antara bahan satu dengan lainnya yang dinyatakan dengan C/N Ratio. Nilai C/N ratio tersebut berpengaruh terhadap proses pengomposan. Apabila nilai C/N ratio suatu bahan semakin tinggi maka semakin lambat bahan tersebut untuk diubah menjadi kompos, sebaliknya nilai C/N rationya semakin rendah maka akan mempercepat laju pengomposan. Idealnya bahan-bahan yang akan dikomposkan bernilai C/N ratio 30:1. Pada nilai tersebut diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk mengubah bahan menjadi kompos. Namun demikian, di alam tidaklah mudah memperoleh bahan yang memiliki C/N ratio 30:1. Untuk memperoleh bahan-bahan dengan C/N ratio mendekati angka tersebut, disarankan mencampur beberapa bahan. Kandungan nilai C/N ratio pada beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 6.
23
Tabel 6. Kandungan Nilai C/N Ratio Beberapa Bahan Organik Untuk Kompos Bahan C/N Ratio Sisa Makanan
15:1
Bubuk Gergaji, Kayu, Kertas
400:1
Jerami
80:1
Dedaunan
50:1
Sisa-sisa Buah-buahan
35:1
Pupuk Kandang Kering
20:1
Bonggol Jangung
60:1
Sumber : Michel et al. 1999, diacu dalam Aminah 2003
2. Ukuran bahan yang dikompos Ukuran
bahan
yang
dikompos
juga
berpengaruh
terhadap
laju
pengomposan. Ukuran bahan organik yang semakin kecil menjadikan proses pengomposan akan berlangsung lebih cepat sebab semakin kecil ukuran bahan maka semakin luas pula permukaan yang dapat dirombak oleh mikroba pengurai. 3. Aerasi Aerasi merupakan faktor yang juga mempercepat proses pengomposan. Proses pengomposan dapat berlangsung dalam suasana aerob dan anaerob. Dalam aktivitasnya merombak bahan organik pada suasana aerob, mikroba aerobik memerlukan oksigen, sedangkan mikroba anaerobik tidak memerlukan oksigen. Proses pengomposan yang berlangsung secara anaerob, menimbulkan bau busuk akibat terlepasnya gas amonia dan membutuhkan waktu yang lama. Untuk memberikan cukup aerasi dalam pengomposan dapat dilakukan dengan cara menyediakan celah-celah kosong di bagian bawah tumpukan bahan untuk memudahkan sirkulasi udara. 4. Kelembaban Keadaan lingkungan yang lembab sangat diperlukan dalam aktivitas mikroba pengurai sehingga pengaturan kelembaban perlu dilakukan dalam pembuatan kompos. Kelembaban optimal yang disarankan adalah 40-60%. Bahan yang kering akan menghambat proses dekomposisi sedangkan bahan yang terlau basah akan menghambat aerasi yang pada akhirnya juga akan menghambat proses penguraian oleh mikroba. 24
5. Suhu Tinggi rendahnya suhu tergantung dari bahan-bahan yang dikompos. Bahan dengan C/N ratio tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi, sebaliknya bahan dengan C/N ratio rendah akan dengan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi suhu yang bisa dicapai akan semakin cepat pula proses pengomposan. Pengomposan akan berlangsung efisien jika dapat mencapai suhu sekurangkurangnya 600C.
2.4.3 Metode Pengomposan Aminah et al. (2003), terdapat beberapa metode pengomposan yang telah dikembangkan dan dipraktekkan di Indonesia, antara lain : a. Metode Indore Metode ini dibedakan menjadi dua, yakni (1) Indore heap method (bahan dikompos di atas tanah) dan (2) Indore pit method (bahan dipendam di dalam tanah). Metode Indore sesuai diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi. Lama proses pengomposan lebih kurang 3 bulan. Pada Indore heap method, bahan-bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis setebal 10-25 cm dan bagian atasnya ditutupi kotoran ternak yang tipis untuk mengaktifkan proses, kemudian disiram dengan campuran pupuk kandang dan abu. Pada Indore pit method, dilakukan penggalian tanah pada tempat yang relatif tinggi dan mempunyai pengaturan yang baik, bahan dasar kompos yang mudah terdekomposisi disebar secara merata di dalam lubang galian dan bahan disusun berlapis-lapis serta dilakukan pembasahan secukupnya. Pembalikan dilakukan pada hari ke 15, 30, dan 60. b. Metode Barkeley Metode ini ditujukan untuk bahan kompos yang berselulosa tinggi (C/N ratio tinggi) seperti jerami, alang-alang, dll yang dikombinasikan dengan bahan kompos yang C/N ratio-nya rendah. Bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis dengan lapisan paling bawah adalah bahan kompos yang C/N ratio-nya paling rendah diikuti oleh bahan yang C/N ratio-nya tinggi, begitu seterusnya sampai mencapai ketinggian yang diinginkan. Pembalikan dilakukan pada hari ke tujuh dan sepuluh. Dalam tiga minggu kompos telah masak dan siap diaplikasikan. 25
c. Metode Jepang Pada metode Jepang pengomposan juga dilakukan penumpukan seperti halnya pada metode pit, namun sebagai pengganti lubang galian digunakan bak penampung yang terbuat dari kawat, atau bambu, atau kayu yang disusun secara bertingkat. Bagian dasar bak dilapisi bahan kedap air guna menghindarkan terjadinya pencucian unsur hara ke dalam tanah dibawahnya. Keunggulan metode Jepang adalah bak yang diletakkan di atas permukaan tanah akan memudahkan pengadukan, sedangkan dasar yang kedap air dapat mengurangi kehilangan unsur N selama pengomposan.
2.5 Pengusahaan Pupuk Kompos Di Indonesia, produktifitas lahan sawah kita, rata-rata hanya 4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar per musim tanam. Sementara petani Thailand sudah bisa mencapai rata-rata 6 ton GKP per hektar per musim tanam. Rahasianya ada di kualitas benih dan pemupukan. Untuk mencapai hasil rata-rata 6 ton GKP, diperlukan aplikasi pemupukan organik minimal 3 ton per hektar per musim tanam. Untuk kondisi tanah sawah di Jawa yang telah terlanjur rusak karena keracunan nitrogen akibat pemupukan urea dosis tinggi, diperlukan aplikasi kompos minimal 5 ton per hektar per musim tanam. Baru pada musim-musim tanam berikutnya, dosis kompos itu pelan-pelan diturunkan hingga menjadi 3 ton per hektar per musim tanam. Perhitungan secara sederhananya, untuk menghasilkan satu satuan volume produk panen, diperlukan pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut. Jagung hibrida yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan pupuk kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per tahun, maka total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan untuk padi dan jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun. Penggunaan pupuk organik ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk anorganik tanpa memperkecil hasil panen. Selain itu, kompos juga dapat meningkatkan volume produksi sekitar 20% dari hasil optimal sebelum pupuk organik digunakan. Kalau nilai kompos untuk jagung dan padi tadi Rp 100.000,- per ton, maka omset dari industri kompos untuk 26
padi dan jagung saja, akan mencapai Rp 3 trilyun per tahun. Pupuk anorganik yang bisa dihemat sekitar 2.000.000 ton. Dengan harga pupuk anorganik Rp 1.000.000,- per ton, maka penghematan pupuk anorganik akan mencapai Rp 2 trilyun per tahun. Sementara peningkatan hasil panen akan mencapai 20% dari 60 juta ton = 12 juta ton. Dengan harga Rp 1.000.000,- per ton maka nilai peningkatan hasil panen padi dan jagung akan mencapai Rp 12 trilyun per tahun. Angka tersebut baru mengacu pada asumsi aplikasi kompos untuk padi dan jagung. Belum memperhitungkan komoditas-komoditas lain seperti singkong, kedelai, kacang tanah dan produk hortikultura, terutama sayuran dan buahbuahan. Jadi tampak betapa strategisnya industri kompos bagi sebuah negara agraris seperti Indonesia 6).
2.5.1 Perencanaan Pengusahaan Pupuk Kompos Pupuk tanaman bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, karena berkaitan erat dengan produktivitas tanaman dan berpengaruh terhadap hasil panennya. Kondisi negara Indonesia sebagai negara tropis, mendukung proses pembuatan pupuk tanaman khususnya pupuk organik dari bahan sisa tanaman maupun kotoran ternak hewan. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan dalam merencanakan pendirian sebuah usaha pengolahan pupuk kompos 7), yakni: 1.
Lokasi Produksi Jika ingin memulai usaha produksi sebaiknya mencari lokasi yang dekat
dengan lokasi bahan baku dan lokasi pasar, karena untuk mengurangi biaya transportasi, baik dalam pembelian bahan baku maupun penjualan produk. Misalnya dekat dengan peternakan hewan, seperti daerah sepanjang Pantura, seluruh Pulau Jawa, areal peternakan di Jawa Timur, Tapanuli, Aceh, Bengkulu, NTT, Irian Jaya yang memilki babi, hingga Sulawesi Selatan. Daerah penghasil pupuk alami saat ini yakni Bandung, Wonosobo, Brastagi, dan Sulawesi Selatan. 6)
[FKA] Forum Kerjasama Agribisnis. 2008. Membangun Industri Kompos Komersial. http://foragri.blogsome.com/membangun-industri-kompos-komersial/. [Diakses 19 Desember 2009] 7) [KADINJATENG] Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Tengah. 2009. Tabloid Peluang Usaha-Usaha Pupuk Kompos dan Bahan Pendukung Tanaman. Tabloid Peluang Usaha. http://www.kadinjateng.com/12 [Diakses 19 Desember 2009]
27
2.
Teknologi Pelaku usaha sebaiknya selalu meng-update teknologi baru pembuatan
pupuk. Misalnya, untuk di kota produksi kompos lebih ditempat tertutup ataupun menggunakan zat peredam bau berupa bahan karbon seperti penggembur Green Phoskko (bulking agent) yang cara kerjanya menyerap bakteri pathogen penyebab bau yang berasal dari limbah tersebut. 3.
Sertifikasi Produk Salah satu penyebab lemahnya pupuk kompos di Indonesia karena masih
banyak yang belum tersertifikasi dan melalui uji laboratorium. Hal tersebut terjadi karena mahalnya biaya untuk melakukan semua itu. Biaya yang dibutuhkan bisa mencapai puluhan juta rupiah sehingga banyak sekali pupuk kompos yang kualitasnya jelek. Akibat tingginya biaya tersebut banyak kompos yang telah terkemas baik, namun menyebabkan tanaman hangus terbakar, mati ataupun kurang produktif. Untuk mendapatkan sertifikasi kelayakan bisa diajukan ke Departemen Pertanian, sedangkan untuk pengujian produk bisa dilakukan di berbagai lab kimia, misalnya laboratorium kimia di berbagai universitas. Untuk uji keefektifannya bisa di Balai Pertanian daerah setempat dan kelayakan jual dibuat di Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 4.
Persaingan Usaha Persaingan usaha pupuk anorganik sintetik tidak terlalu ketat, karena
pupuk anorganik di Indonesia masih dipegang oleh industri besar bahkan ada yang masih impor. Sedangkan untuk pupuk kompos persaingan cukup ketat, namun hal tersebut justru membawa kebaikan, yakni banyak produsen berlombalomba membuat pupuk kompos lebih cepat siap pakai, misalnya dahulu bisa memakan waktu 1-2 bulan, sekarang banyak yang membuat pupuk komposter dengan alat mesin Rotary Kiln hanya dalam 5-10 hari.
2.6 Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Gustoro (2006) mengenai sistem penunjang keputusan pendirian industri kompos di TPA Galuga, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang keputusan 28
investasi meliputi prakiraan jumlah timbunan sampah dan penilaian kelayakan finansial industri pengolahan kompos. Sistem penunjang keputusan untuk pendirian industri kompos dirancang dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0 yang disebut SPKKompos. Paket program SPKKompos terdiri dari dua model yaitu model prakiraan dan model kelayakan finansial industri. Model prakiraan digunakan untuk melihat prakiraan timbulan pasar sebagai bahan pembuat kompos dengan cara memprakirakan jumlah penduduk pada masa yang akan datang dengan metode prakiraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh model prakiraan yang tepat untuk memprakirakan jumlah penduduk di Kota Bogor dengan menggunakan metode tren linier yaitu persamaan y = 611047 + 21409x. Hasil prakiraan jumlah penduduk kemudian dilakukan analisis dengan tetapan-tetapan profil sampah Kota Bogor sehingga didapat volume timbulan sampah pasar Kota Bogor untuk periode 10 tahun yang akan datang dari tahun 2006-2015. Sedangkan model kelayakan finansial industri digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu usaha dari aspek finansial. Hasil analisa industri kompos dengan pengadaan sampah pasar 30 ton per hari tidak layak dijalankan. Untuk pengadaan sampah pasar 60 ton per hari dan 120 ton per hari dengan umur proyek 10 tahun layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai NPV sebesar Rp 1.425.694.004,- dan Rp 4.951.641.556,- dengan nilai IRR sebesar 33,25 % dan 47,59 %. Untuk nilai B/C ratio diperoleh 1,86 dan 2,68 sedangkan payback period 5,52 tahun dan 3,16 tahun. Khaddafy (2009) melakukan penelitian tentang analisis kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung Wira, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menganalisis kelayakan rencana pengembangan usaha pupuk organik dari segi non finansial dan finansial serta tingkat kepekaan terhadap penurunan harga penjualan dan kenaikan biaya variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rencana pengembangan usaha pupuk organik dilihat dari kriteria pasar dan pemasaran layak untuk diusahakan karena perusahaan mampu bersaing dan menyerap pasar dengan cara promosi yang dilakukan serta kualitas dan kemasan pupuk organik sudah sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan demikian persentase penjualan menjadi meningkat, aspek pasar rencana pengembangan usaha pupuk organik layak untuk diusahakan. Berdasarkan hasil 29
analisa aspek teknis dan teknologi, dapat dinilai bahwa lokasi dan kondisi geografis memenuhi syarat pembuatan pupuk organik serta teknologi yang digunakan mempercepat proses produksi sehingga waktu yang digunakan lebih efisien. Analisis aspek manajemen yang mencakup analisis struktur organikasi dan deskripsi pekerjaan sesuai dengan kualifikasi perusahaan sehingga rencana pengembangan usaha ini layak untuk diusahakan. Dilihat dari aspek sosial, perusahaan dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan karena sebagian bahan baku terdiri dari sampah-sampah organik yang dihasilkan rumah tangga. Perusahaan juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Dari analisis kelayakan finansial skenario I, yaitu dengan menggunakan modal sendiri merupakan skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan. Hasil switching value menunjukkan bahwa skenario II merupakan skenario yang paling rentan terhadap perubahan baik dari segi penurunan penjualan maupun kenaikan biaya variabel. Siregar (2009) meneliti tentang analisis kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB bila ditinjau dari aspek-aspek non finansial yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek SDM, dan aspek lingkungan hidup dapat disimpulkan layak untuk diusahakan. Sedangkan hasil analisis finansial usaha peternakan UPP Darul Fallah memperoleh NPV>0 yaitu sebesar Rp 202.456.789,33 yang artinya bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Pada usaha ini diperoleh Net B/C>0 yaitu sebesar 1,74 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos layak untuk dijalankan dimana setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan selama umur proyek menghasilkan 1,74 satuan manfaat bersih. IRR yang diperoleh sebesar 26,13 persen, artinya usaha ini layak dan menguntungkan karena IRR lebih besar dari nilai diskon faktor (8,75 %) dengan periode pengembalian investasi selama lima tahun sepuluh bulan tujuh belas hari. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 7. 30
Tabel 7. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian Beda Penelitian Nama Tahun Judul Terdahulu Gustoro 2006 Sistem Penunjang Dalam penelitian ini Keputusan output utamanya yang Pendirian Industri dibahas yaitu kompos Kompos di TPA limbah pertanian tanpa Galuga, Bogor. memperkirakan model prakiraan. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa kompos limbah pasar dengan memperkirakan model prakiraan volume sampah. Khaddafy 2009 Analisis Kelayakan Dalam penelitian ini Usaha Pupuk output utamanya yang Organik di CV dibahas yaitu kompos Saung Wira, limbah pertanian. Kabupaten Bogor. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa pupuk organik yang berbahan sampah organik rumah tangga. Siregar 2009 Analisis Kelayakan Dalam penelitian ini Pengusahaan Sapi objek yang dikaji Perah dan hanya sebatas Pemanfaatan pengusahaan pupuk Limbah Untuk komposnya saja oleh Menghasilkan unit usaha Koperasi Biogas dan Pupuk Kelompok Tani Kompos di UPP Lisung Kiwari yang Darul Fallah dan merupakan sampel Fakultas Peternakan dari masyarakat suatu IPB. desa.
Metode Analisis Visual Basic 6.0, tren linier, NPV, IRR, NET B/C Ratio, PP
NPV, IRR, NET B/C, Payback Period, Analisis Switching Value NPV, IRR, NET B/C, Payback Period
31