5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Manajemen Limbah Limbah terdiri dari tiga bentuk yaitu cair, padat, dan gas. Ketiga bentuk ini mempunyai hubungan putaran tertutup dalam konversinya. Limbah cair dan gas yang dihasilkan dapat berubah menjadi limbah padat, ketika pembakaran limbah padat dapat mengakibatkan produksi limbah cair dan gas (Murarka, 2000). Limbah cair adalah kombinasi cairan atau limbah terlarut yang timbul dari penggunaan air tanah, air permukaan dan air sungai baik penggunaan domestik maupun industri (Snape et al., 1995). Metcalf and Eddy (2004) juga menambahkan air limbah dapat didefinisikan sebagai kombinasi cairan atau air limbah yang dikeluarkan dari tempat tinggal, lembaga, atau kawasan komersil dan industri, bersama dengan air tanah, air permukaan dan sungai. Limbah dalam bentuk gas adalah sebagai polutan di atmosfer yang menyebabkan polusi udara. Polusi udara adalah senyawa kimia yang ditambahkan ke atmosfer melalui kegiatan manusia yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi diatas ambang batas (Krupa, 1997). Limbah padat adalah sampah, lumpur dan bahan-bahan padat buangan yang dihasilkan dari operasi industri komersial dan dari kegiatan masyarakat, tidak termasuk material padat atau terlarut pada saluran domestik atau polutan pada sumber-sumber air, seperti endapan, padatan terlarut atau mengendap pada keluaran air limbah industri, bahan terlarut pada aliran irigasi atau polutan air lainnya (Pitchel, 2005). 2.2 Pengelolaan Limbah Padat Pengelolaan limbah padat adalah sistematik dari kegiatan yang menyediakan tempat pengumpul, pemisahan dari sumber, penyimpanan, transportasi, pemindahan, proses, dan penangan pembuangan limbah padat. Hal ini perlu dilakukan dan ditangani oleh semua pihak, baik perorangan maupun kelompok karena berhubungan dengan estetika, penggunaan lahan, kesehatan, polusi air, polusi udara, dan pertimbangan ekonomi (Salvato, 1992). Menurut sumbernya, Pichtel (2005) mengklasifikasikan sebagian besar limbah padat sebagai berikut: perkotaan, berbahaya, industri, medis, universal,
6
konstruksi dan pembongkaran, radioaktif, pertambangan, dan pertanian. Hal senada juga diungkapkan Murarka (2000) yang menyebutkan bahwa rumah tangga, perdagangan, industri, pertanian, pertambangan, dan aktivitas energi yang berhubungan dengan semua sumber limbah padat merupakan sumber limbah, dan yang paling besar kontribusinya adalah pengeboran tambang dan pertanian. Hirarki penanganan limbah padat terdiri dari mengurangi jumlah limbah dan tingkat toksisitasnya, menggunakan bahan kembali, mendaur ulang bahan, mengomposkan,
pembakaran
dengan
pemanfaatan
kembali
energinya,
pembakaran tanpa pemanfaatan energi, dan penimbunan limbah padat (USEPA dalam Pitchel, 2005). 2.3 Pengomposan Pengomposan
diartikan
sebagai
proses
biologi
oleh
kegiatan
mikroorganisme dalam mengurai bahan organik menjadi bahan semacam humus dengan bahan yang terbentuk mempunyai berat dan volume yang lebih rendah dari bahan dasarnya, stabil, dekomposisi lambat dan sumber pupuk organik (Sutanto, 2002). Hal senada juga diungkapkan Pichtel (2005) yang menyatakan pengomposan adalah sebuah aktivitas biologi dengan pengontrolan secara aerobik dari limbah organik menjadi bentuk yang lebih kompleks dan stabil dimana hasil akhirnya mempunyai nilai ekonomis yang biasa digunakan untuk pertanian dan pertamanan. Pengomposan bisa terjadi karena adanya mikroorganisme aktif yang mengontrol proses pengomposan seperti bakteri, actynomicetes, jamur dan protozoa (Stoffella and Kahn, 2001). Mikroorganisme ini secara alami tersedia pada bahan organik termasuk limbah makanan, tanah, dedaunan dan limbah organik lainnya (Pichtel, 2005). Pengomposan dapat dilakukan dengan sistem aerobik dan sistem anaerobik (Pichtel, 2005; Snape et al., 1995; Stoffella and Kahn, 2001). Pengomposan sistem aerobik maksudnya mikroorganisme membutuhkan oksigen (O2). Reaksi kimianya sebagai berikut: Bahan organik + O2 + Bakteri aerob => CO2 + NH3 + Produk + Energi
7
Pengomposan anaerobik tidak memerlukan oksigen. Reaksi kimianya sebagai berikut: Bahan organik + Bakteri anaerob => CO2 + NH3 + Produk + Energi + H2S + CH4 Beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam pengomposan adalah kandungan hara seperti Carbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Sulfur (S), dan hara lainnya. Carbon berfungsi sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen untuk pertumbuhan populasi mikroba. Agar efektif, C/N ratio yang tepat diperlukan untuk pengomposan yang efisien. Apabila C/N terlalu rendah, maka akan kehilangan amonia (NH3), sedangkan jika C/N terlalu tinggi maka pelambatan dekomposisi terjadi (Stoffella and Kahn, 2001). Sutanto (2005) menambahkan nisbah C/N yang tinggi menunjukkan mikrooganisme akan aktif memanfaatkan nitrogen untuk membentuk protein yang apabila diaplikasikan ke dalam tanah maka mikroorganisme akan tumbuh dengan memanfaatkan N-tersedia tanah, sehingga terjadi imobilisasi N. Sedangkan apabila nisbah C/N rendah pada awal proses pengomposan maka nitrogen akan hilang melalui proses volatilisasi ammonium. Penambahan
bahan
dengan
nisbah
C/N
>30:1
(jerami,
lumpur
penggilingan kertas) dapat menyebabkan peningkatan pesat biomassa mikroba, dan menipisnya ketersediaan N tanah ke titik dimana kekurangan N dapat terjadi pada banyak tanaman. Sedangkan beberapa bahan organik (biosolid, kotoran kandang) dengan nisbah C/N yang rendah harus dikelola dengan baik untuk menghindari kehilangan N ke bagian sensitif dari lingkungan. Pengomposan merupakan solusi yang efekif untuk menstabilkan N (Pierzynski et al., 2005). Menurut Djaja (2008), prinsip dasar dari pengomposan adalah mencampur bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung N. Proses pengomposan dipengaruhi oleh 7 faktor (Pichtel, 2005; Djaja, 2008) yaitu : 1. Oksigen dan aerasi Umumnya mikroba banyak mengonsumsi oksigen, sehingga diperlukan pemasokan oksigen kedalam timbunan kompos dengan melakukan aerasi.
8
2. C:N ratio Mikroba menggunakan C untuk energi dan pertumbuhan, sedangkan N dan P penting untuk protein dan reproduksi. 3. Kandungan air Kandungan air penting untuk menunjang proses metabolik mikroba, dan sebaiknya bahan baku kompos mengandung 40 – 65 % air. 4. Porositas, struktur, tekstur, dan ukuran partikel Porositas berkaitan dengan ukuran ruang udara bahan baku kompos. Struktur mencakup kekerasan partikel. Tekstur berkaitan dengan ketersediaan permukaan untuk aktivitas mikroba. 5. pH bahan baku pH bahan baku kompos diharapkan berkisar 6,5 – 8. 6. Temperatur Pengomposan terjadi pada temperatur mesofilik 10 – 40o C. Pengomposan diharapkan berlangsung pada temperatur 43 – 65o C. 7. Waktu Waktu pengomposan bergantung pada temperatur, kelembaban, frekuensi aerasi, dan kebutuhan konsumen. C/N ratio dan frekuensi aerasi adalah cara memperpendek periode pengomposan. Berdasarkan aktivitas mikroba, proses pengomposan dibagi dalam 4 fase. Yang pertama adalah fase mesofilik, dimana bakteri yang dominan adalah bakteri mesofilik. Hal ini menyebabkan mikroba aktif dan menimbulkan panas sehingga tamperatur tumpukan kompos meningkat. Ketika temperatur melebihi 45oC maka bakteri yang berperan adalah bakteri termofilik pada fase termofilik. Peningkatan aktivitas mikroba dapat menyebabkan temperatur meningkat ke 65-70oC. Dengan penurunan cadangan makanan, menyebabkan aktivitas bakteri berkurang dan menurunkan temperatur tumpukan, yang disebut dengan fase mesofilik kedua. Setelah suplai makanan habis maka temperatur akan turun sehingga sama dengan suhu ambien, dan menandakan pengomposan sampai pada fase matang (Stoffella and Kahn, 2001). Pengomposan menggunakan kotoran yang sudah lama lebih lambat dibandingkan dengan kotoran yang masih baru. Setelah hari pertama
9
pengomposan dimulai, temperatur pengomposan yang menggunakan kotoran yang sudah lama akan naik secara perlahan, lebih lambat dari pengomposan yang menggunakan kotoran yang masih segar (Li et al., 2008). 2.4 Pertanian Organik dan Berkelanjutan Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan (Litbang Deptan, 2002). Sutanto (2002) menambahkan bahwa pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berdasarkan daur-ulang secara hayati, dapat melalui sarana limbah tanaman ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Sejalan dengan tidak merusak lingkungan, maka hal ini juga berkaitan dengan pertanian berkelanjutan. Reijntjes et al. (1992) menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa pertanian bisa disimpulkan berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut : Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumber daya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan ditingkatkan. Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Adil, yang berarti bahwa sumber daya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua angggota masyarakat
10
terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain. 2.5 Pengaruh Pupuk Organik Sifat tanah sangat dipengaruhi oleh bahan organik. Tanah yang kaya bahan organik bersifat lebih terbuka sehingga aerasi tanah lebih baik dan tidak mudah mengalami pemadatan, serta relatif lebih sedikit hara yang terfiksasi mineral tanah sehingga yang tersedia bagi tanaman lebih besar (Sutanto, 2005). Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos baik cair maupun padat. Pupuk organik mengandung unsur hara makro dan mikro yang diperlukan oleh tanaman, serta memiliki manfaat dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologis tanah (Setyorini, 2005). Sumber pupuk organik dapat berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah, misalkan pupuk kandang (ternak besar dan kecil), hijauan tanaman rerumputan, semak, perdu dan pohon, limbah pertanaman (jerami padi, batang jagung, sekam padi dll), dan limbah agroindustri (Sutanto, 2002). Hal senada, Setyorini (2005) juga menjelaskan bahwa pupuk organik dapat dibuat dari berbagai jenis bahan, antara lain: sisa penen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, sabut kelapa), serbuk gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur, limbah pasae, limbah rumah tangga, dan limbah pabrik serta pupuk hijau. Simanungkalit et al. (2006) menyatakan bahwa bahan/ pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian, baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan, serta penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan.
11
Pupuk organik berupa kompos jerami dan pupuk kandang dapat meningkatkan serapan hara N, tetapi efisiensi pemanfaatan hara N dan aktivitas reduktase daun serta hasil gabahnya relatif lebih rendah dibandingkan pupuk buatan. Meningkatkan takaran pupuk N sampai dengan 50 % dapat meningkatkan komponen fisiologi dan hasil tanaman (Iqbal, 2008). Selanjutnya Iqbal (2008) juga menjelaskan bahwa peningkatan takaran pupuk N pada pupuk organik, pada umumnya meningkatkan jumlah gabah pertanaman, bobot 100 butir gabah, kandungan protein dan kandungan pati dalam gabah. Pengaruh pemberian pupuk organik dan taraf pupuk N terhadap hasil dan kualitas tanaman padi sawah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh pemberian pupuk organik dan taraf pupuk N terhadap hasil dan kualitas tanaman padi sawah Perlakuan
Jumlah Gabah
Bobot Gabah (g)
% Gabah isi
Bobot 100 Gabah (g)
Kandungan Protein (%)
Kandungan Pati (%)
1942,11
47,93
85,1
25,51
7,11
72,65
0%N
723,44
15,82
87,05
24,69
7,19
73,66
25 % N
964,72
23,7
94,43
25,16
6,87
73,87
50 % N
1387,44
33,75
92,69
25,22
7,26
74,3
75 % N 1574,89 Pupuk Kandang
34,26
81,84
25,43
7,39
73,82
Kontrol Jerami
0%N
807,45
16,44
95,1
24,62
7,69
74,16
25 % N
1018,56
23,86
93,02
25,19
7,27
73,52
50 % N
1467,33
35,15
94,33
25,32
7,55
74,15
75 % N
1633,56
35,8
84,79
25,07
6,92
73,01
Sumber : Iqbal (2008) Pupuk kandang yang akan diberikan pada budidaya sawah, harus terlebih dahulu mengalami dekomposisi. Pupuk kandang disebar merata diatas permukaan tanah sebelum pengolahan tanah, dan selanjutnya dilakukan pembajakan. Jumlah pupuk kandang yang diberikan antara 5–10 ton/ha tergantung pada kesuburan tanah (Souri, 2001). Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah (Simanungkalit et al.,
12
2006). Hal ini juga
dijelaskan dalam SNI 19-7030-2004 yang menyebutkan
bahwa kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik sampah domestik setelah mengalami dekomposisi. Menggunakan kompos memiliki beberapa keuntungan, antara lain meningkatkan dinamika air tanah termasuk infiltrasi, perkolasi dan kapasitas air, sehingga hal ini dapat mengurangi kebutuhan irigasi dan potensi yang terkait dengan pencucian unsur hara. Nutrisi secara perlahan dilepaskan dari waktu ke waktu sehingga meningkatkan kesempatan tanaman untuk mengambil nutrisi tersebut dan mengurangi masalah pencemaran air (US Composting Council, 2008). Kebanyakan kompos terlalu rendah nutrisinya untuk digunakan sebagai pupuk, tetapi karena nutrisi tersebut terikat secara organik, kompos jauh lebih rentan terhadap pencucian hara dari pupuk terlarut dan karena itu sering digunakan sebagai pengkondisian tanah (Snape et al., 1995). 2.6 Peranan Pupuk pada Padi Salah satu penyebab penurunan produktivitas atau rendahnya peningkatan produksi padi sawah disebabkan oleh rendahnya produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan (Mario et al., 2008). Pupuk mempunyai peranan penting terhadap produksi dan pertumbuhan tanaman (Rauf et al., 2000) antara lain: Peranan Unsur N Unsur N merupakan unsur yang paling cepat kelihatan pengaruhnya terhadap tanaman. Peran utama unsur ini adalah: o Merangsang pertumbuhan vegetatif (batang dan daun) o Meningkatkan jumlah anakan o Meningkatkan jumlah bulir/ rumpun Peranan Unsur P Fungsi fosfor dalam tanaman adalah sebagai berikut: o Memacu terbentuknya bunga, bulir dan malai o Menurunkan aborsitas o Perkembangan akar halus dan akar rambut o Memperkuat jerami sehingga tidak mudah rebah
13
o Memperbaiki kualitas gabah Peranan Unsur K Peranan utama kalium dalam tanaman ialah sebagai dekomposer berbagai enzim. Adanya kalium yang tersedia dalam tanah menyebabkan: o Ketegaran tanaman terjamin o Merangsang pertumbuhan akar o Tanaman lebih tahan terhadap hama dan penyakit o Memperbaiki kualitas bulir o Dapat mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor o Mampu mengatasi kekurangan air pada tingkat tertentu Souri (2001) menjelaskan bahwa penggunaan pupuk kandang pada lahan bukaan baru dapat meningkatkan hasil padi. Pelaksanaan pengujian dilakukan pada petakan sawah yang sangat porus, lapisan olah sangat tipis, dan kandungan bahan organik yang rendah. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian pupuk kandang pada budidaya padi sawah di lahan bukaan baru. Takaran Pemupukan (kg/ha) Produktivitas (t/ha) Urea
SP – 36
KCL
Pupuk Kandang
200
100
50
-
3,21
200
100
50
5.000
3,92
200
100
50
10.000
4,28
200
100
50
15.000
4,42
200
100
50
20.000
4,5
Percobaan Pada Lokasi Lain 200
100
50
-
3,71
200
100
50
10.000
5,35
-
-
-
10.000
4,53
200
-
-
10.000
5,83
Sumber: Souri(2001)
14
2.7 Jerami Jerami adalah bahan organik yang banyak tersedia dari kegiatan budidaya padi sawah (Doberman and Fairhurst, 2002). Jerami memiliki kandungan kalium yang sangat baik untuk kesuburan tanah. Pemberian jerami ke tanah secara terus menerus dapat memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan kalium yang terdapat pada 5 ton jerami setara dengan 50 kg pupuk KCL (BPTP, 2010). Kandungan unsur hara dari jerami dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan hara jerami Unsur hara Kandungan hara
Satuan
N organik
0,957
%
C organik
49,2
%
C/N ratio
51,2
Natrium (Na)
0,028
%
Fosfor (P2O5)
2,48
%
Potasium (K20)
0,143
%
MgO
0,129
%
CaO
0,566
%
Fe
420
mg/kg
Mn
62,8
mg/kg
Cu
3,6
mg/kg
Zn
18,9
mg/kg
Cd
<3
mg/kg
Ni
8,59
mg/kg
Pb
<5
mg/kg
Cr
6,29
mg/kg
Sumber : Canet et al. (2008) Sutanto (2002) menambahkan bahwa jerami merupakan sumber hara makro yang baik karena tersedia langsung di lahan usahatani dimana 1,5 ton jerami sama dengan 1 ton gabah kering dan mengandung 9 kg N, 2 kg P dan S, 25 kg Si, 6 kg Ca dan 2 kg Mg.
15
Untuk mempercepat hilangnya limbah jerami, petani sering membakar jerami tersebut (BPTP, 2010), ataupun membawa jerami keluar lahan usaha untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar, makanan ternak, bahan dasar biogas, media jamur merang maupun dijual untuk bahan basah industri kertas (Sutanto, 2002). Pembakaran jerami menyebabkan hilangnya seluruh kandungan unsur Natrium, 25 % unsur Fosfor, 20 % unsur Kalium, 5-60 % unsur Sulfur (Doberman and Fairhurst, 2002). Jerami banyak dibakar oleh petani untuk mereduksi volume limbah dimana kegiatan ini akan mengemisikan gas CH4, N2O, NOx, dan CO (Deptan, 2007). Salah satu pencegahan agar petani tidak melakukan pembakaran terhadap jerami adalah dengan cara pengomposan (Li et al., 2008; Sutanto, 2002). Pengomposan jerami dengan pengayaan 10 % rock fosfat dan beberapa limbah agro-industri seperti limbah kacang kedelai, bisa menjadi metode alternatif dalam pengelolaan limbah pertanian, dan kompos yang dihasilkan dapat digunakan pada pertanian organik (Rashad et al., 2010). Pencacahan jerami dibutuhkan sebelum mempersiapkan campuran agar proses pengomposan berjalan dengan baik dan menjamin kualitas kompos pada kondisi baik (Perez et al., 2009). Jerami padi ditambah kotoran ayam ataupun kotoran kambing dapat dijadikan kompos. Kegiatan pengelolaan limbah pertanian berupa jerami dilakukan dengan tujuan memanfaatkan kembali produksi limbah pertanian yang kurang bermanfaat, memperkecil biaya pengelolaan limbah pertanian, mengurangi jarak transportasi limbah pertanian, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian (Yuwono et al., 2011). 2.8 Neraca Massa Neraca massa adalah cabang keilmuwan yang mempelajari kesetimbangan dalam sebuah sistem. Massa yang masuk ke dalam suatu sistem akan keluar meninggalkan sistem tersebut atau terakumulasi di dalam sistem. Akumulasi massa dapat bernilai negatif atau positif. Pengomposan jerami merupakan suatu usaha mengubah bentuk limbah padat menjadi pupuk yang lebih bermanfaat bagi tanaman. Massa dari jerami dengan basis kering akan diakumulasikan dengan massa kompos yang dihasilkan.
16
Selanjutnya diperhitungkan massa kompos yang akan diaplikasikan ke sawah dan massa kompos untuk peruntukan lain. Dari akumulasi kompos tersebut maka akan disusun neraca massa limbah-kompos.