4
TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Kayu Limbah kayu merupakan massa kayu yang tidak bisa dimanfaatkan pada suatu tahapan produksi. Limbah kayu bisa dibedakan berdasarkan lokasi terjadinya limbah, yakni limbah hasil pemanenan kayu yang berada di hutan dan limbah pengolahan kayu yang berada di industri. Limbah pemanenan kayu merupakan kayu yang tidak diangkut dari hutan karena dipandang tidak bernilai ekonomis oleh perusahaan ataupun yang melakukan penebangan, jenis-jenis limbah berupa kayu non komersil/ tidak termasuk kayu mewah, kayu dekoratif dengan penggunaan tertentu, kayu bulat dengan diameter kurang dari 30 cm tanpa batas panjang, dan kayu bulat dengan panjang kurang dari dua meter tanpa batas diameter (Massijaya 1998). Limbah pengolahan kayu merupakan sisa kayu yang tidak dimanfaatkan, berupa serbuk gergaji, sebetan, tatal, potongan log, serutan serta debu kayu (Massijaya 1998). Komposisi limbah yang terjadi dalam industri pengolahan kayu adalah sebagai berikut: 1. Limbah penggergajian meliputi serbuk gergaji 10,6%; sebetan 25,9%; dan potongan 14,3%. Hasil penjumlahan sebesar 50,8% dari jumlah bahan baku yang dipakai. 2. Limbah kayu lapis meliputi potongan dolok 5,6%; serbuk gergaji 0,7%; sampah vinir basah 24,8%; sampah vinir kering 12,6%; sisa kupasan 11,0%; dan potongan sisi tepi kayu lapis 6,3%. Hasil penjumlahan sebesar 61,0% dari jumlah bahan baku yang dipakai (Purwanto et al 1994). B. Limbah Karton Kertas karton merupakan kertas dengan ketebalan minimal 0,3 mm. Kertas karton
dapat
dibedakan
menjadi
karton
gelombang
dan
karton
tidak
bergelombang. Karton gelombang terdiri dari satu atau beberapa lapis kertas medium yang disekat oleh kertas liner (bagian permukaan dan belakang). Biasanya bahan baku dari kertas liner dan kertas medium diolah dari kayu daun jarum. Kertas liner dan medium umumnya berwarna coklat, kertas liner diolah dengan proses sulfhat pulping atau disebut dengan kertas liner kraft. Selain dibuat dari bahan baku kayu daun jarum secara langsung, kertas liner juga dibuat dari
5
macam-macam kertas bekas. Kertas liner inilah yang umumnya dipasarkan di Indonesia dengan nama kraftliner (Darmawati 1994). Karton gelombang berdasarkan liner dan susunan kertas medium dikelompokkan menjadi karton gelombang muka tunggal, karton gelombang dinding tunggal, karton gelombang dinding ganda, karton gelombang dinding tiga, karton gelombang lengkung ganda. 1. Karton gelombang muka tunggal Terdiri atas satu lapis kertas medium, dan satu lapis liner yang direkatkan ke kertas medium. Jenis ini biasa dipakai untuk bantalan, partisi, dan pembungkus. 2. Karton gelombang dinding tunggal Dengan menambahkan liner pada sisi yang lain, akan tercipta suatu karton gelombang yang lebih kaku, dengan liner bagian dalam biasanya terbuat dari kertas daur ulang murni. Kertas gelombang jenis ini memiliki hasil akhir yang lebih baik, dimana karton lebih mudah dilipat dan permukaannya baik untuk ditulis atau dilakukan proses printing. Karton jenis ini adalah karton yang banyak dipakai dalam karton standar. 3. Karton gelombang dinding ganda Jenis ini merupakan penggabungan antar karton gelombang muka tunggal dengan karton gelombang dinding tunggal, dan biasanya disebut flute yang berbeda. Karton ini digunakan untuk mengemas alat berat. 4. Karton gelombang lengkung ganda Terbentuk dengan memberi dua lapis kertas medium pada karton gelombang dinding tunggal. Hal ini akan menyebabkan karton gelombang menjadi sangat kaku. Karton ini biasanya digunakan untuk karton bantalan, serta identik dengan bobotnya yang berat. 5. Karton gelombang dinding tiga Karton gelombang yang terbuat dari gabungan antara karton gelombang dinding ganda dengan satu lapis karton gelombang muka tunggal, sehingga terbentuk tiga lapisan. Karton ini digunakan untuk mengemas saat pengapalan, diproduksi
dalam
jumlah
terbatas
sehingga
Sumber:http://www.kebet.com.au/specs/material/php.
harganya
mahal
6
Karton dapat dibedakan menjadi lima kelompok: a
Linerboard; minimal terdiri dari dua lapis, dimana lapisan permukaan dibuat dari pulp kualitas terbaik yang dibuat dari 100% virgin pulp.
b
Foodboard; karton yang terdiri atas satu lapis atau lebih, yang dibuat dari virgin pulp yang sudah diputihkan. Berfungsi untuk mengemas makanan
c
Folding boxboard; karton yang terdiri atas banyak lapisan, lapisan permukaan terbuat dari virgin pulp dan lapisan dalam dibuat dari pulp daur ulang. Berfungsi untuk kotak pengemas.
d
Chipboard; karton yang terdiri atas banyak lapisan dan 100% dibuat dari kertas daur ulang.
e
Baseboard. Karton yang biasa diputihkan atau dilapisi
f
Gypsumboard. Karton yang terdiri atas banyak lapisan, serta dibuat dari 100% kertas daur ulang kualitas rendah, digunakan untuk lapisan luar sebagai plester (Smook 1992).
C. Perekat Perekat merupakan substansi yang dapat menyatukan dua buah benda melalui ikatan permukaan. Perekat dapat dibagi menjadi dua, yakni perekat thermosetting dan perekat thermoplastic. Perekat thermosetting merupakan perekat yang mengeras bila terkena panas atau reaksi kimia berupa katalisator yang disebut hardener. Perekat ini tidak bisa melunak lagi, beberapa jenis perekat thermosetting adalah urea formaldehida, melamin formaldehida, phenol formaldehida,
isocyanate,
resolcinol
formaldehyde.
Sedangkan
perekat
thermoplastic merupakan perekat yang dapat melunak bila terkena panas, dan akan mengalami pengerasan lagi jika suhunya sudah rendah, beberapa contoh perekat ini adalah polyvynil adhesive, cellulose adhesive, dan acrylic adhesive (Pizzi 1994). Perekat thermosetting biasanya digunakan sebagai perekat papan komposit, seperti urea formaldehida, melamin formaldehida, phenol formaldehida. Dalam pembuatan kayu komposit, perekat jenis thermosetting seperti urea formaldehida (UF) dan melamin formaldehida (MF) paling sering digunakan. Perekat UF lebih sering digunakan untuk produk komposit interior dikarenakan perekat ini kurang tahan terhadap pengaruh asam dan basa. Sementara perekat MF
7
memiliki tingkat ketahanan terhadap air dan cuaca yang baik sehingga dapat digunakan sebagai perekat produk komposit eksterior (Pizzi, 1994). C.1 Melamin Formaldehida (MF) Perekat melamin formaldehida (MF) berwarna putih, mempunyai kelarutan yang rendah di dalam air dan alkohol. Dalam proses reaksi antara melamin dan formaldehida, perbandingan molekul antara 1:2,5-3,5 pada pH antara 8-9 dengan suhu sekitar titik didihnya. Dari hasil kondensasi ini dihasilkan methylol melamine yang merupakan monomer dari perekat MF (Ruhendi et al 2007). Perekat MF memiliki keunggulan, yakni penampilan lebih bagus, lebih tahan terhadap air, panas, zat kimia serta stabilitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perekat urea formaldehida. Perekat MF cocok digunakan sebagai perekat kayu lapis tipe II, jarang digunakan sebagai perekat kayu struktural. Keunggulan perekat ini adalah ketahanan terhadap air mendidih yang lebih tinggi dibanding perekat UF, tahan terhadap mikroorganisme, dan tahan terhadap air dingin. Meskipun demikian perekat MF memiliki kelemahan, yakni harga yang relatif mahal serta tidak tahan lama (Ruhendi et al 2007). C.2 Water Based Polymer Isocyanate (WBPI) Emisi formaldehida dikeluarkan oleh perekat berbahan formaldehida, seperti urea formaldehida, melamin formaldehida, phenol formaldehida. Sampai saat ini emisi formaldehida merupakan salah satu hal yang sangat diperhatikan dalam pembuatan papan komposit, sehingga muncul ide-ide kreatif dan inovatif untuk mengurangi atau menghilangkan emisi formaldehida, salah satu caranya dengan menggunakan perekat yang tidak berbahan formaldehida, seperti Water Based Polymer Isocyanate (WBPI). Keuntungan menggunakan perekat isocyanate dibandingkan perekat berbahan dasar resin adalah dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk memproduksi papan dengan kekuatan yang sama, dapat menggunakan suhu kempa yang lebih rendah, memungkinkan penggunaan kempa yang lebih cepat, lebih toleran pada partikel berkadar air tinggi, energi untuk pengeringan lebih sedikit dibutuhkan, stabilitas dimensi papan yang dihasilkan lebih stabil, dan tidak ada emisi formaldehida (Marra 1992). Perekat berbasis isosianat memiliki viskositas dan
8
polaritas yang rendah sehingga mudah terjadinya penetrasi perekat kedalam kayu, selain itu juga dapat membentuk ikatan yang kuat dengan bahan lain seperti pelat logam, tetapi kelemahan perekat ini adalah biaya yang tinggi dalam penggunaanya ( Frazier, 2003). D. Parafin Wax atau lilin merupakan salah satu bahan yang dapat meningkatkan kualitas sifat papan komposit yang dihasilkan, salah satu contoh lilin tersebut adalah parafin, yaitu lilin mineral yang dihasilkan dari hasil sampingan industri minyak bumi, dimana minyak mentah diberi perlakuan untuk memisahkan fraksi folatil seperti bensin, kerosin, napta dan solar. Parafin memiliki titik leleh antara 48-56oC (Kolmann et al, 1975) Papan partikel yang mengandung parafin akan memiliki daya tahan terhadap air dan stabilitas dimensi papan. Hal ini dapat berfungsi sebagai pelindung selama perendaman yang tidak disengaja atau setelah konstruksi (Haygreen dan Bowyer 1996). Maloney (1993) menyebutkan bahwa penambahan parafin 1% atau kurang, tidak mempengaruhi kekuatan papan partikel yang dihasilkan, tetapi penambahan parafin lebih dari 1% dapat mempengaruhi kekuatan papan partikel. Hal itu dapat dicegah dengan menaikkan kadar perekat, menaikkan kerapatan, atau mengubah ukuran partikel. E. Emisi formaldehida Formaldehida merupakan senyawa kimia golongan aliphatic aldehyde. Murahnya formaldehida, reaktivitasnya yang tinggi serta mudah diperoleh menyebabkan pemakaiannya belum bisa ditinggalkan hingga saat ini, walaupun senyawa ini merupakan golongan senyawa yang berbahaya bila digunakan. Dalam proses pembuatan produk komposit, seperti blockboard, plywood, dan lainnya, formaldehida sering digunakan sebagai bahan pengikat (Roffael, 1993). Hal utama yang paling berbahaya dalam pemakaian formaldehida sebagai bahan pengikat adalah emisi yang ditimbulkan oleh formaldehida tersebut, yang dapat membahayakan kesehatan. Emisi formaldehida merupakan salah satu dari komponen Volatile Organic Compound (VOC) yang dianggap berbahaya (Wang et al., 2002). Selain emisi
9
formaldehida ada beberapa komponen VOC yang didapat pada saat pembuatan papan komposit berbahan perekat formaldehida, yaitu metanol, fenol, dan metilen diisosianat. Terjadinya emisi formaldehida diakibatkan adanya zat formaldehida yang berasal dari perekat berbahan formaldehida tidak berikatan dengan selulosa, formaldehida bebas atau yang tidak berikatan tersebut merupakan formaldehida berlebih yang tidak ikut bereaksi dalam polimerisasi perekat (Sunarti 2000). E.1 Dampak Emisi formaldehida Produk papan komposit yang bernilai mutu tinggi dengan kadar emisi formaldehida yang rendah atau bahkan tidak beremisi merupakan salah satu tujuan pembuatan papan komposit. Dampak-dampak yang diakibatkan emisi formaldehida mendorong para ilmuwan untuk meneliti dampak emisi berdasarkan konsentrasinya, Konsentrasi pada ambang 0,1 mg/L sudah dikatakan mencemari udara normal (www.chhwoodlogic.com.au/submittedfile). Konsentrasi 50 mg/L bagi orang yang mempunyai riwayat penyakit alergi dan dalam kondisi yang lemah bisa menyebabkan kematian. Pengaruh emisi formaldehida terhadap manusia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Pengaruh Emisi formaldehida Pengaruh
Konsentrasi (mg/L)
Waktu (menit)
Iritasi mata
0,01
5
Iritasi tenggorokan
0,05
5
Tercium
0,05
5
Terdeteksi oleh orang
1,00
5
Tidak tertahankan
4,00-5,00
10-30
Sumber: PT. MAL (2003a)
Pengukuran kandungan formaldehida dalam tubuh manusia bisa terdeteksi dari urin seseorang. Selain itu, akumulasi gas formaldehida dalam tubuh juga dapat menyebabkan perubahan peta genetik dan kerusakan sel (Einbrodt et al., 1976 dalam Roffael, 1993). Hubungan langsung mengenai racun formaldehida dalam tubuh makhluk hidup dengan akibat yang ditimbulkan sampai sekarang belum dapat dijelaskan secara rinci.
10
Tabel 2 Tingkat emisi formaldehida menurut standar JIS A 5908-2003 Klasifikasi
Rata-rata (mg/L)
F****
Maksimum
Keterangan
(mg/L)
0,3
0,4
Kelas emisi terendah dan terbaik
F***
0,5
0,7
Kelas emisi tengah
F**
1,5
2,1
Kelas emisi tengah
F*
5,0
7,0
Kelas emisi terbesar
= Suplementary Regulatory of Japanese Agricutural Standart for Plywood (JPIC-EW.SE 03-04). MAFF Notification No: 236. Sumber: JIS A 5908:2003
E.2 Cara Pengukuran Emisi formaldehida Beberapa cara untuk menguji emisi formaldehida, antara lain dengan metode perforator, desikator, flask, analisa gas, dan chamber. Pengujian emisi langsung dari produk panel kayu dapat dilakukan dengan metode desikator, WKI, Modifikasi Roffael, Analisa Gas, dan Chamber, sedangkan uji emisi berdasarkan pada hasil ekstrak pada produk panel kayu dapat di uji dengan metode perforator (Cameron 2001). Pengukuran Emisi yang umum dilakukan: 1. Metode Perforator (DIN-EN 120) Didasarkan pada Federation of European Particleboard Manufacturers Asociations (FESYP). Contoh uji (kadar air sudah diketahui sebelumnya) yang digunakan berukuran (25mm x 25mm x ketebalan sampel) diletakkan dalam sebuah perforator dan diekstrak dengan toluene lalu diabsorbsi dengan air suling. Konsentrasi formaldehida didapat dari nilai perforator, iodometri, dan photometri. Hasil pengukuran dipengaruhi kondisi tempat, umur panel, kadar air, dan waktu pengukuran. 2. Metode WKI Metode ini merupakan hasil dari riset The Fraunhofer Institut for Wood Research (WKI). Contoh uji yang digunakan berukuran 25mm x 25mm x ketebalan sampel. Sampel digantung dalam sebuah tabung polyethylene berisi 50 ml air suling, lalu dikondisikan pada suhu 400 oC dalam oven selama 24 jam. Penentuan konsentrasi formaldehida dilakukan dengan iodometri dan
11
photometri. Hasil pengukuran emisi dipengaruhi kadar air sampel. Keuntungan dari metode ini adalah kehalusan dalam pembacaan pada kurva. Metode WKI ini kebanyakan digunakan di Eropa, dan mulai digunakan secara semi-officer di New Zeland dan Australia (Turner, 1990 dalam Roffael, 1993).