9 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Limbah B3 Ada banyak definisi yang digunakan untuk menerangkan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3). Definisi umum dari limbah B3 adalah limbah yang berpotensi menimbulkan resiko terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Definisi limbah B3 menurut United Nation Environment Program (UNEP) adalah limbah selain radioaktif yang karena aktivitas kimiawinya, sifat toksisitasnya, kemudahannya untuk meledak, sifat korosivitasnya, dan/atau sifat-sifat lainnya membahayakan atau berpotensi membahayakan kesehatan dan lingkungan. Definisi limbah B3 menurut Konvensi Basel adalah limbah yang memiliki minimal salah satu dari sifat-sifat berikut: mudah terbakar, oksidator, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan bersifat ekotoksik. Definisi limbah B3 menurut PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun adalah ”sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”. Lebih lanjut PP No. 18/1999 ini juga menetapkan bahwa limbah B3 memiliki minimal salah satu dari keenam karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif. 2.2.
Tailing Pertambangan Tailing/Limbah tambang
mengandung logam yang memiliki
tingkat
sulfida (FeS2, FeCuS2 and PbS2), (Holmström, 2000). Tailing pertambangan merupakan limbah padat yang berupa butiran-butiran semen dari hasil peleburan tersebut. Masalah serius yang timbul dari pembuangan tailing adalah terutama berkaitan dengan pembebasan air tercemar akibat pelarutan logam-logam berat (diantaranya As, Hg, Pb, dan Cd), keasaman (pH rendah), bahan kimia/reagen dari pabrik pengolahan dan bahan-bahan suspensi yang dapat membentuk zat padat (Danny, 2006). Manakala sulfida secara bebas bereaksi dengan air dan oksigen,
10 menghasilkan asam sulphuric dan logam-logam
berat jika dibuang akan
menyebabkan permasalahan lingkungan (Lowson, 1982). Secara mineralogi, mineral pengotor alkali dalam tailing sering berperan sebagai pengendali pencemaran yang alamiah; dimana salah satunya adalah peranan kalsium (Ca) dalam batugamping yang dapat mempermudah pelarutan logam-logam dan menetralisir hasil oksidasi (Danny, 2006). Unsur ini bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, memiliki titik lebur rendah serta dapat dimanfaatkan untuk pencampur logam lain seperti nikel, perak, tembaga, dan besi. Manakala sulfida secara bebas bereaksi dengan air dan oksigen, produksi sulphuric dan logam-logam berat dapat dilepaskan (Lowson, 1982), menyebabkan permasalahan lingkungan. Jangka panjang dampak lingkungan tambang tailing leachat tingkat kekhawatiran semakin meningkat, telah diakui bahwa total logam dalam tanah tidak baik untuk bioavailability dan potensi resiko/racun yang kontaminasi tanah (Sauve et al., 2000). Menurut Vlado (2007), tailing seperti tanah salah satu masalah terbesar, masalah kompleks tailing dari rendahnya kesuburan tanah dan peningkatan akumulasi berat lapisan tanah bagian bawah dari lapisan logam. Selain limbah lain berupa batuan limbah (air asam tambang/ARD). Menurut Kempton (2003), ARD (Acid Rock Drainage) adalah proses oksidasi yang menghasilkan asam dan melepaskan logam berat dari bentuk mineral, memungkinkan polutan ini terbawa ke lingkungan sekitarnya seperti dasar sungai dan permukaan drainase air. Meskipun potensi ARD di sebuah lokasi bisa diidentifikasi, namun kadang tetap terjadi kegagalan dalam memprediksi mekanisme dan skala masalah ARD di masa yang akan datang dimana kemampuan menyerap dan potensi penetralan asam dari tailing dan lapisan di bawah tanah saat tambang ditutup tidak sebaik yang diduga (Lottemoser et al., 2003). Tailing tambang termasuk mineralogi, ukuran butiran, kepadatan, dan komposisi kimia (Andrade et al., 2007). Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat pada awalnya logam itu tidak berbahaya jika terpendam dalam perut bumi. Tapi ketika ada kegiatan tambang, logam-logam itu ikut terangkat bersama batu-batuan yang digali, termasuk batuan yang digerus dalam processing plant. Logam-logam itu berubah menjadi ancaman ketika terurai di alam bersama tailing yang dibuang.
11 (Hilman, 2000). Setiap kegiatan pertambangan logam menghasilkan
limbah
sebagai tailing yang menyebar secara terbuka dan secara parsial; pembukaan lahan melalui pengangkutan angin dan banjir, mengakibatkan macam-macam masalah lingkungan
(Habashi,
1992).
Kegiatan
pertambangan
dan
geochemical
menghasilkan air asam tambang (ARD) yang berasosiasi dengan aktifitas pertambangan biasanya berupa pyrite (FeS2) dan sulfid lain merupakan mineral yang dihasilkan dari pasca
pertambangan antara lain logam ion, sulfat dan
keasaman (Duruibe et al., 2007). Beberapa peneliti telah melakukan investigasi penggunaan adsorption isotherms untuk memprediksi hasil dari tailing/terak (Drizo et al., 2006) karena variasi dalam proses metalurgi terdapat banyak jenis tailing/slag. Baru-baru ini penelitian menunjukkan bahwa logam oxides/oxyhydroxides slag granules di dalam penyaring peran penting yang dilakukan di absorbsi logam berat dari sungai (Pratt et al., 2007). 2.3. Tailing Pertambangan Nikel Menurut Hernandez et al., (2007) sekitar 100 juta ton leacing residu mengandung kurang lebih 0,5% Ni dan 0,1% Co telah diproduksi dalam 50 tahun terakhir. Tzeferis et al., (1994) menemukan bahwa sitrat acid yang paling efektif untuk larutan nikel. Tailing pertambangan nikel yaitu slag berupa butiran-butiran semen yang seperti logam. Bila limbah padat slag tersebut sifatnya terlalu asam bisa menyebabkan logam-logam tertentu seperti seng dan logam lain terlepas sehingga dapat membahayakan suatu perairan karena dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan baik secara fisik maupun kimia dan memberikan pengaruh terhadap struktur komunitas organisme suatu perairan contohnya ikan, makrozoobentos dan organisme perairan lainnya yang dapat menurunkan populasi dan keanekaragamannya secara drastis. Stamboliadis et al., (2004) menemukan bahwa magnetis pemrosesan tailing dari residu yang nickelferous laterit diperoleh dari yunani sehingga mengakibatkan suatu kosentrasi besi dan nikel berkurang. Lokasi Tambang di Kristineberg di Sweden utara satu tailing impoundment mempunyai suatu lapisan clayey moraine dengan ketebalan 0,3-m (clay: 8-10%; slit 22-37%; pasir 37-55%; kerikil 15- 18%
12 dan lapisan penutup pasir/kerikil 1,5 m seperti tumpukan batu di gunung (Carlsson, 2002). Analisis kimia dari tailing/slag nikel di Moa mengandung logam berat Ni: 0,34%; Co: 0,08%; Fe: 44,20%; Mg: 3,57%; Mn: 0,73%; Al: 5,2%; Cr: 0,83%; Cu: 0,01%; Zn: 0,03; SiO2: 7,8%; N: 0,01%; C: 0,84% dan S: 0,08% (Hernandez et al., 2007). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mencegah oksidasi mineral sulfid dengan menciptakan penghalang oksigen, seperti lapisan penutup tailing/limbah tambang (Elander et al., 1998). Untuk mengeringkan lapisan penutup terdiri dari 1- 2m suatu lapisan dari tumpukan batu di gunung yang dilakukan diatas tailing yang mana mengurangi penetrasi dari oksigen secara bebas ke dalam tailing, begitu menciptakan suatu lingkungan anoxic (Carlsson, 2002). 2.4.
Undang-Undang Pembuangan Limbah Cair Pembuangan limbah tailing ke sungai adalah pelanggaran hukum (illegal)
menurut UU lingkungan Indonesia sejak 1990. Pada Desember 2001, larangan ini diperkuat oleh PP 82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran. Pembuangan tailing ke sungai adalah pelanggaran langsung terhadap peraturan yang melarang pembuangan limbah cair maupun padat ke dalam atau ke sekitar sungai (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 mengenai pengelolaan sungai); dan apabila lumpur tailing dianggap sebagai limbah cair, maka pembuangan tailing ke sungai adalah juga merupakan pelanggaran langsung terhadap larangan pembuangan limbah cair ke sungai, yang diatur dalam: Pasal 26(3) (e) PP 20/1990 tentang pengendalian pencemaran air; meratifikasi peraturan pemerintah No. 82 tahun 2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan Pengendalian pencemaran air. Pasal 42 dari peraturan ini dalam kaitannya dengan Penjelasan Resmi berikut, secara tegas melarang pembuangan tailing ke sungai : [Pasal 42: Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan sumber air. Penjelasan resmi PP 82/2001: “Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan atau slurry. Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau penempatan material sisa usaha dan atau kegiatan penambangan berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air.”].
13 2.5.
Logam dan Logam Berat Logam adalah unsur yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan tambang,
Vulkanisme dan sebagainya (Clark, 1986). Logam-logam dari dalam bumi digolongkan sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Secara kimiawi, logam bereaksi menuju tingkat stabil (biasanya dengan cara membentuk garam atau bentuk unsur stabil) (Palar, 1994). menganalisis
Menurut Sanghoon (2006),
logam dalam tanah dan lapisan tanah mengandung mineralogi
komposisi tanah (As, Cd, Cr, Cu, Ni, Pb dan Zn) menggunakan XRD. Fluktuasi proses pemisahan endapan mineral, mobilitas, potensi racun sangat tinggi (Caetano, 2003). Logam di tanah berfluktuasi lebih luas di banding unsur-unsur utama. Cu, Pb dan Zn lebih tinggi di daerah tailing hasil tambang, meskipun pengaruh kontaminasi sumbernya jelas kosentrasi perubahan dengan jarak tetap tidak sistimatis menurut Kim et al., (2002). Berbeda dengan logam biasa, logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam berat dan metaloid yang dentisitasnya lebih besar dari 5 g/cm³ (Hutagalung et al., 1999). Logam berat di perairan terdapat dalam bentuk terlarut dan tersuspensi (terikat dengan zat padat tersuspensi). Logam berat di perairan khususnya di muara sungai memiliki sifat konserfatif dan nonkonservatif (Chester, 1993). Sedangkan Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar 5 gr/cm³, terletak di sudut kanan bawah pada daftar berkala, memiliki afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7 (Miettinen, 1977 dalam Luter, 2005). Unsur-unsur logam berat tersebut biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Berdasarkan sifat fisika dan kimianya, tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), cadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), kadmium (Cd), nikel (Ni), dan cobal (Co) (Sutamihardja et al., 1982). Menurut Darmono, daftar urut toksisitas logam berat paling tinggi ke paling redah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah Hg²+ > Cd²+ >Ag²+> Ni²+> Pb²+> As²+> Cd²+ >Sn²+ >Zn²+, (2001). Sedangkan menurut kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990), sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu :
14 1. Bersifat toksik tinggi yang terdiri atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn, 2. Bersifat toksik menengah yang terdiri dari Cr, Ni dan Co 3. Bersifat toksik sangat rendah yang terdiri dari Mn dan Fe. Sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan haemosianin dalam sistem darah enzimatik pada biota (Darmono, 1995). Menurut Darmono (2001), logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu pernapasan, pencemaran, dan penetrasi melalui kulit. Absorpsi logam melalui saluran pernafasan biasanya cukup besar, baik pada biota air yang masuk melalui saluran insang, maupun biota darat yang masuk melalui debu di udara ke saluran pernafasan. Absorpsi melalui pencernaan hanya beberapa persen saja, akan tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar, walaupun persentase penyerapannya kecil. Logam yang masuk melalui kulit jumlah penyerapannya relatif kecil. Logam berat bersifat toksik karena logam berat tersebut dapat diberikatan dengan ligan dan struktur biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut dalam beberapa jenis enzim dalam tubuh. Ikatan-ikatan ini dapat mengakibatkan tidak aktifnya enzim yang bersangkutan, hal inilah yang menyebabkan terjadinya toksisitas logam tersebut. Logam yang terikat pada enzim sulit didentifikasi karena tidak diketahui enzim mana yag menjadi target dari ikatan logam tersebut. Afinitas atau daya gabung dan ikatan logam dengan enzim biasanya sangat kuat (Darmono, 1995). Biasanya logam tertentu terikat dalam daerah ikatan yang spesifik untuk setiap logam dan hasil ini dapat dilihat dari gejala dan tanda-tanda serta gangguan yang ditimbulkan. Tempat ikatan logam yang spesifik tersebut menjadi dasar perkiraan dari organ atau jaringan yang sensitif terhadap keracunan logam yang memiliki dosis rendah. Pada pemberian dosis yang lebih tinggi, jaringan lain mungkin akan terganggu juga, karena menduduki ikatan pada jenis enzim yang lebih banyak. Lingkungan logam berat timbal (Pb), kadmium (Cd), seng (Zn), mercuri (Hg), arsenic (As), perak (Ag), krom (Cr), tembaga (Cu), besi (Fe), dan unsur kelompok platina didefinisikan sebagai keutuhan sekeliling organisme atau kelompok organisme khususnya kondisi fisik eksternal itu mempengaruhi dan
15 dipengaruhi pertumbuhan, pengembangan dan kelangsungan hidup organisme (Duruibe et al., 2007). Logam-logam berat pada dasarnya hasil dari proses pengolahan mineral bijih (Peplow, 1999). Pencemaran logam berat permukaan dan air bawah tanah merupakan hasil sumber dari polusi tanah meningkat akibat dari penambangan bijih yang dibuang ditempat permukaan untuk penutupan permukaan galian (Garbarino et al., 1995). 2.5.1. Nikel (Ni) Nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore, 1991). Nikel merupakan elemen transisi yang dapat menghambat campuran logam feros dan fros. Kelimpahan nikel pada kulit bumi berada pada urutan ke 21 yaitu sebesar 0,02%, dan pada air laut berada pada urutan ke-40 yaitu diperkirakan mengandung 540 mg/m³. Nikel ditemukan di alam dalam dua bentuk bijih yang dapat diekplorasi yaitu bijih sulfida dan bijih laterik. Bijih sulfida mengandung 1-3% Nikel. Bijih laterik ditemukan dalam dua bentuk senyawa, yaitu oksida dan silikat (Alam Z, 2003). Logam nikel murni tidak ditemukan di alam, tetapi dihasilkan dari proses pemisahan yang cukup rumit di dalam industri (Parker, 1987). Nikel yang terdapat dalam sistem akuatik berada alam bentuk garam terlarut, padatan tersuspensi, dan membentuk kombinasi dengan bahan organik yang berasal dari sumber-sumber biologi. Nikel juga terdapat dalam sedimen dan biota perairan. Kebanyakan dari garam nikel umumnya relatif mudah larut dan masuk ke dalam badan air sebagai hasil pelindian alamiah dari bijih logam dan tanah. Pembentukan nikel yang terlokalisasi dalam air mungkin juga akibat dari proses-proses industri seperti peleburan, pelapisan, dan manufaktur atau dari pembakar dan penambangan minyak bumi. Dalam tubuh makhluk hidup perairan terutama alga dan bakteri, logam nikel berperan penting dalam mengkatalisis reaksi pembentukan urea dan hidrogen. Kadar nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore, 1991). Pada proses pelapukan, nikel membentuk mineral hidrolisat yang tidak larut. Di perairan nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan
16 sulfat. Pada pH > 9 nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida dan karbonat, dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore, 1991). Secara umum nikel di perairan merupakan unsur yang bersifat nonkonservatif, akan tetapi menunjukan sifat konservatif di muara sungai (Chester, 1993). Sumber utama nikel berasal dari pengikisan batuan yang ada di sungai (Bryan, 1976). Nikel di muara sungai menunjukan konsetrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorpsi dari partikelpartikel yang ada di muara sungai dan proses resuspensi. Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,001 – 0,003 mg/liter (Effendi, 2003); sedangkan pada perairan laut berkisar antara 0,005 – 0,007 mg/liter (McNeely et al., 1979). Untuk melindungi kehidupan organisme di akuatik, kadar nikel sebaiknya tidak lebih melebihi 0,025 mg/liter (Effendi, 2003). Nikel termasuk unsur yang memiliki toksisitas rendah. Nilai LC50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100 mg/liter. Urutan toksisitas beberapa logam dari yang sangat
rendah
sampai
yang
sangat
tinggi
berturut-turut
adalah
Sn
17 dan selanjutnya akan menyebabkan besi terpartikulasi sehingga konsentrasi besi terlarut pada muara sungai dan laut akan berkurang. 2.5.3. Seng (Zn) Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah berlimpah di alam. Kadar seng pada kerak bumi sekitar 70 mg/kg (Effendi, 2003). Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah. Seng yang berikatan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut, sehingga kadar seng dalam air sangat dipengaruhi oleh bentuk senyawanya. Ion seng mudah terserap ke dalam sedimen dan tanah. Silika terlarut dapat meningkatkan kadar seng, karena silika mengikat seng. Jika perairan bersifat asam, kelarutan seng meningkat. Kadar seng pada perairan alami < 0,05 mg/liter (Moore, 1990); pada perairan asam mencapai 50 mg/liter; dan pada perairan laut 0,01 mg/liter (McNeely et al., 1979). Sumber utama seng adalah calamine (ZnCO3), sphalerite (ZnS), smithsonite (ZnCo3), dan wilemite (Zn2SiO4) (Effendi, 2003). Seng banyak digunakan dalam industri besi, baja, cat, karet, tekstil, kertas, dan bubur kertas. Seng termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup, yakni berfungsi untuk membantu kerja enzim. Seng juga diperlukan dalam proses fotosintesis sebagai agen bagi transfer hidrogen dan berperan dalam pembentukan protein. Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan bahwa seng tidak bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi dapat menimbulkan rasa pada air. Toksisistas seng menurun seiring dengan meningkatnya kesadahan dan meningkat dengan meningkatnya suhu dan menurunnya oksigen terlarut. Toksisitas seng bagi organisme akuatik (alga, avertebrata, dan ikan) sangat bervariasi, < 1 mg/liter hingga >100 mg/liter. Bersama-sama dengan K, Mg dan Cd, seng bersifat aditif. Toksisitasnya merupakan penjumlahan dari masing-masing logam (Effendi, 2003). Toksisitas seng dan copper bersifat sinergetik, yaitu mengalami peningkatan, lebih toksik daripada penjumlahan keduanya. 2.5.4. Kromium (Cr) Khromium (Cr) termasuk unsur yang jarang ditemukan pada perairan alami. Kerak bumi mengandung kromium sekitar 100 mg/l (Moore, 1991). Dalam penelitian ini, kromium yang ditemukan adalah kromium heksavalen (Cr+6). Dalam
18 Effendi (2003), menyatakan bahwa kromium yang ditemukan di perairan adalah kromium trivalen (Cr3+) dan kromium heksavalen (Cr6+). Namun pada perairan yang memiliki pH kurang dari 5, kromium trivalen tidak ditemukan. Apabila masuk di perairan, kromium trivalent akan dioksidasi menjadi kromium heksavalen dan bersifat lebih toksit. Kromium trivalen biasanya terserap ke dalam larutan partikulat, sedangkan kromium heksavalen tetap berada dalam bentuk larutan. Kromium tidak pernah ditemukan di alam sebagai logam murni. Sumber utama kromium sangat sedikit, yaitu batuan chromite (FeCr2O4) dan chromic oxide (Cr3O3) (Effendi, 2003). Kadar kromium pada perairan air tawar biasanya kurang dari 0,001 mg/liter dan pada perairan laut sekitar 0,00005 mg/liter. Kromium trivalen bisanya tidak ditemukan pada perairan tawar, sedangkan pada perairan laut sekitar 50% kromium merupakan kromium trivalen (McNeely et al., 1979). Toksisitas kromium dipengaruhi oleh bentuk oksidasi kromium, suhu, dan pH. Kadar kromium yang diperkirakan aman bagi kehidupan akuatik adalah sekitar 0,05 mg/liter (Effendi, 2003). Kadar kromium 0,1 mg/liter dianggap berbahaya bagi kehidupan organisme laut. Pada perairan yang lunak (soft water) atau kurang sadah, toksisitas kromium lebih tinggi. Tetapi sumber-sumber masukan logam Cr ke dalam starata lingkungan yang umum dan diduga paling banyak adalah dari kegiatan-kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga dan dari pembakaran serta mobilisasi bahan-bahan bakar (Palar, 1994). 2.5.5. Timbal (Pb) Unsur Pb umumnya ditemukan berasosiasi dengan Zn - Cu dalam tubuh bijih. Logam ini penting dalam industri modern yang digunakan untuk pembuatan pipa air karena sifat ketahanannya terhadap korosi dalamsegala kondisi dan rentang waktu lama. Pigmen Pb juga digunakan untuk pembuatan cat, baterai, dan campuran bahan bakar bensin tetraethyl (Jensen et al., 1981). Timah adalah logam berwarna putih keperakan, dengan kekerasan yang rendah, berat jenis 7,3 g/cm3, serta mempunyai sifat konduktivitas panas dan listrik yang tinggi. Dalam keadaan normal (13ºC – 1600ºC), logam ini bersifat mengkilap dan mudah dibentuk. Timah terbentuk sebagai endapan primer pada batuan granit dan pada daerah sentuhan batuan endapan metamorf yang biasanya berasosiasi dengan turmalin dan urat
19 kwarsa timah, serta sebagai endapan sekunder, yang di dalamnya terdiri dari endapan alluvium, elluvial,dan koluvium. Timbal pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kelarutan timbal dalam air relatif lebih sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas dan kadar oksigen. Timbal diserap baik oleh tanah sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar timbal dikerak bumi sekitar 15 mg/kg. Timbal banyak digunakan dalam industri baterei, kabel, cat, keramik, pestisida dan dalam penyepuhan. Penggunaan Pb terbesar adalah dalam produksi baterey penyimpan
untuk mobil, selain itu juga banyak digunakan
sebagai bahan aditif yang sering digunakan untuk meningkatkan mutu bensin (Fardiaz, 1992). Bijih logam timbal (Pb) dapat terbentuk dalam cebakan-cebakan seperti stratabound sulfida massif, replacement, urat, sedimentasi, dan metasomatisma kontak dengan mineral-mineral utama terdiri atas: galena (PbS), cerusit (PbCO3), anglesit (PbSO4), wulfenit (PbMoO4), dan piromorfit [Pb5(PO4, AsO4)3Cl]. Larutan pembawa Pb diantaranya: air connate, air meteorik artesian, dan larutan hidrotermal yang naik ke permukaan; dengan sebagian besar Pb berasal dari larutan hidrotermal yang membentuk cebakan bijih pada suhu rendah, berupa pengisian rongga batuan induk (Danny, 2006). Pb dalam batuan berada pada struktur silikat yang menggantikan unsur kalsium/Ca, dan baru dapat diserap oleh tumbuhan ketika Pb dalam mineral utama terpisah oleh proses pelapukan. Pb di dalam tanah mempunyai kecenderungan terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, dan kemudian terakumulasi sebagai hasil pelapukan di dalam lapisan humus (Danny, 2006). Toksisitas timbal pada organisme akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Toksisitas timbal lebih rendah daripada kadmium (Cd), merkuri (Hg), tembaga (Cu), akan tetapi lebih tinggi daripada kromium (Cr), mangan (Mn), barium (Ba), seng (Zn) dan besi (Fe). Kadar timbal yang berkisar antara 0,1 – 8,0 mg/liter dapat menghambat pertumbuhan mikroalga Chlorella saccharophila. Toksisitas akut timbal terhadap beberapa jenis avertebrata air tawar dan laut berkisar antara 0,5 – 5,0 mg/liter toksisitas akut (LC50) timbal
20 terhadap beberapa jenis ikan air tawar berkisar antara 0,5 – 10 mg/liter (Effendi, 2003). Pb masuk ke perairan melalui pengendapan dan jatuhan debu dari udara yang mengandung Pb yaitu hasil pembakaran bensin, erosi dan limbah industri. Perairan tawar alami biasanya memiliki kadar timbal < 0,05 mg/liter. Pada perairan laut, kadar timbal sekitar 0,025 mg/liter (Effendi, 2003). Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah sekitar 0,5 mg/liter, sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/liter. Timbal atau timah hitam (Pb) dalam suatu perairan di temukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan Pb cukup rendah sehingga kadar Pb di dalam air relatif kecil. Kadar dan toksisitas Pb dipengaruhi oleh kesadahan Pb, alkalinitas dan kadar oksigen. Timbal diserap dengan baik oleh tanah sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar Pb kerak bumi sekitar 15 mg/Kg. Sumber alami utama Pb adalah galena (PbS), gelessite (PbSO4) dan cerrusite (PbCO3) (Odum, 1996). Bahan bakar yang mengandung Pb (leaded gasoline) juga memberikan kontribusi yag berarti bagi keberadaan Pb di dalam air. Di dalam perairan air tawar, Pb membentuk senyawa kompleks dan memiliki sifat kelarutan rendah dengan beberapa anion, misalnya hidroksida, karbonal, sulfida dan sulfat. Timbal (Pb) banyak digunakan dalam industri baterai. Timbal
(Pb)
terakumulasi
dalam
tubuh
manusia
sehingga
dapat
mengakibatkan gangguan pada otak dan ginjal, serta kemunduran mental pada anak yang sedang dalam pertumbuhan. Konsentrasi Pb dalam perairan tawar alami biasanya < 0,05 mg/L sedangkan perairan laut sekitar < 0,025 mg/L (Effendi, 2003). Kelarutan Pb pada perairan lunak (soft water) sebesar 0,5 mg/L sedangkan pada perairan sadah (hard water) sebesar 0,003 mg/L. Canadian council of resource and enviromental ministry (1987) mengemukakan bahwa hubungan antara kadar Pb dengan nilai kesadahan adalah berbanding lurus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 yang memperlihatkan bahwa jika kesadahan naik maka konsentrasi Pb juga akan naik. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l, dapat membunuh ikan sedangkan crustacea setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada badan air konsentrasi Pb adalah 2,75 – 49 mg/l (Palar, 2004). Direktorat Jenderal pengawasan obat dan makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89
21 membatasi kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah 2,0 ppm. Tabel 1 Kadar Pb pada beberapa nilai kesadahan Kesadahan (mg/L CaCO3) 0 – 60 (Lunak/soft) 60 – 120 (sedang/Medium) 120 -180 (Sadah/Hard) > 180 (sangat Sadah/Very hard)
Kadar Timbal (mg/L) 1 2 4 7
Maka dispersi unsur Pb dapat juga terjadi akibat pembuangan tailing dari usaha pertambangan logam. Hal ini harus diwaspadai karena dapat mencemari lingkungan dengan akibat timbulnya berbagai penyakit berbahaya atau bahkan kematian. Dampak lebih jauh dari keracunan Pb adalah dapat menyebabkan hipertensi dan salah satu faktor penyebab penyakit hati. Ketika unsur ini mengikat kuat sejumlah molekul asam amino, haemoglobin, enzim, RNA, dan DNA; maka akan mengganggu saluran metabolik dalam tubuh. Keracunan Pb dapat juga mengakibatkan gangguan sintesis darah, hipertensi, hiperaktivitas, dan kerusakan otak (Danny, 2006). 2.5.6. Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair 321ºC dan titik didih 765 ºC. Kadmium merupakan hasil sampingan dari pengolahan bijih logam seng (Zn), yang digunakan sebagai pengganti seng. Unsur ini bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, memiliki titik lebur rendah serta dapat dimanfaatkan untuk pencampur logam lain seperti nikel, perak, tembaga, dan besi. Senyawa kadmium juga digunakan bahan kimia, bahan fotografi, pembuatan tabung TV, cat, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil dan pigmen untuk gelas dan email gigi (Jensen et al., 1981). Di perairan, Cd terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar kadmium pada kerak bumi sekitar 0,2 mg/kg. Sumber kadmium adalah greennockite (CdS), hawleyite, sphalerite dan otavite (Moore, 1991). Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan, selain itu keberadaan Zn dan Pb dapat meningkatkan toksisitas kadmium. Canadian counsil
22 of resource and eviromental ministry (1987) mengemukan bahwa hubungan antara kadar Cd dengan nilai kesadahan adalah berbanding lurus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 yang memperlihatkan bahwa jika kesadahan naik maka kosentrasi Cd mengikutinya. Tabel 2 Kadar Cd pada beberapa nilai kesadahan Kesadahan (mg/L CaCO3) 0 – 60 (Lunak/soft) 60 – 120 (sedang/Medium) 120 -180 (Sadah/Hard) > 180 (sangat Sadah/Very hard)
Kadar Timbal (mg/L) 0,2 0,8 1,3 1,8
Menurut WHO, kadar Cd maksimum pada air yang diperuntukkan untuk air minum adalah 0,005 mg/L dan untuk peruntukkan pertanian dan perikanan sebaiknya tidak lebih dari9 0,05 mg/L (Moore, 1991). Kadmium bersifat akumulatif dan toksik bagi manusia karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru, meningkatkan tekanan darah tinggi, dan kemandulan pada pria dewasa. Kadmium juga bersifat sangat toksik dan bersifat bioakumulasi terhadap organisme. Di Jepang telah terjadi keracunan oleh Cd, yang menyebabkan penyakit lumbago yang berlanjut ke arah kerusakan tulang dengan akibat melunak dan retaknya tulang (O’Neill, 1994). Batas toleransi Cd dalam tubuh manusia dewasa yang ditetapkan oleh badan kesehatan dunia (WHO) dan FAO adalah 57-71 µg perhari. Sedangkan batas masukan per minggu adalah sebesar 400 - 500 µg per 70 kg berat badan ( Hutagalung et al., 1995). 2.6.
Pencemaran Air Pencemaran lingkungan disebabkan oleh produksi polusi seperti fly ash,
belerang bioksida, karbon dan nitrogen, dan logam berat (Cicek et al., 2004). Pencemaran sebagaimana didefinisikan oleh keputusan menteri negara lingkungan hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut adalah ”masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya”. Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi yang tidak
23 dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri (Odum, 1971). Pencemaran dari limbah sungai menyebabkan eutrophication badan air yang akhirnya akan mengarah ke degradasi kualitas air (Søndergaard et al., 2003). Pencemaran air adalah suatu perubahan kualitas fisik, kimia dan biologi air yang tidak diinginkan, sehingga dapat organisme
perairan
(Odum,
menimbulkan kerugian bagi konsumen dan
1971).
Menurut
keputusan
menteri
negara
kependudukan dan lingkungan hidup No.51/MENKLH/I/2004, yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran air merupakan segala pengotoran atau penambahan organisme atau zat-zat lain ke dalam air, sehingga mencapai tingkat yang mengganggu penggunaan dan pemanfaatan kelestarian perairan tersebut (Saeni, 1989). Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a) pencemaran fisik (warna, karena zat organik dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa), b) pencemaran fisiologi (rasa dan bau), c) pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri patogen), d) pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik (Siregar, 1987). Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di daerah aliran sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a) pencemaran fisik (warna, karena zat organik dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa),
24 b) pencemaran fisiologi (rasa dan bau), c) pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri patogen), d) pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik (Siregar, 1987). Sumber pencemaran laut dan pantai secara umum berasal dari berbagai kegiatan baik di darat maupun di laut sendiri (Wardoyo, 1981). Namun demikian sumber pencemaran laut dapat berasal dari : a) limbah indutri, b) limbah pemukiman, c) limbah pertanian, dan d) limbah alami. Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya. 2.7.
Bahan Pencemar Dan Ekosistem Perairan Kualitas air dipengaruhi oleh faktor alami (iklim, musim, mineralogi,
vegetasi) dan kegiatan manusia. Bilamana air di alam (sungai-sungai, danau-danau dan lain-lain) dikotori oleh kegiatan manusia sedemikian rupa sehingga tidak memenuhi syarat untuk suatu penggunaan yang khusus maka disebut terkena pencemaran (Manan, 1992). Tanpa adanya kebijakan untuk mencegah dan mengendalikan pencemaran perairan sungai, kemungkinan besar menyebabkan persediaan sumber daya air untuk segala kehidupan tidak dapat dipenuhi. Keadaan demikian akan menyebabkan terganggunya suatu faktor ekosistem kehidupan manusia yaitu faktor kesehatan lingkungan yang mempengaruhi hidup manusia itu sendiri. Dalam sebuah daerah aliran sungai, terdapat berbagi penggunaan lahan, seperti hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan persawahan, pemukiman, perikanan, industri dan sebagainya. Beban bahan pencemar yang menyebabkan penurunan kualitas air pada sebagian sungai, terutama yang berasal dari limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertambangan dan limbah dari penggunaan lahan pertanian (Manan, 1992). Bahan pencemaran yang masuk ke dalam air dapat dikelompokan atas limbah organik, logam berat dan minyak. Masing-masing
25 kelompok ini sangat berpengaruh terhadap organisme perairan. Logam berat merupakan bahan pencemar yang paling banyak ditemukan di perairan akibat limbah Industri dan limbah perkotaan (Suin dan Nurdin, 1994). Secara alamiah, unsur logam berat terdapat dalam perairan, namun dalam jumlah yang sangat rendah. Kadar ini akan meningkat bila limbah yang banyak mengandung unsur logam berat masuk ke dalam lingkungan perairan sehingga akan menjadi racun bagi organisme perairan (Hutagalung et al., 1992). Menurut Poels (1983), masuknya logam berat ke dalam tubuh organisme perairan dengan tiga cara yaitu melalui makanan, insang dan diffusi melalui permukaan kulit. Untuk ikan, 90% masuknya logam berat melalui insang, sehingga dengan masuknya logam berat ke dalam insang dapat menyebabkan keracunan, karena bereaksinya kation logam tersebut dengan fraksi tertentu dari lendir insang. Kondisi ini menyebabkan proses metabolisme dari insang menjadi terganggu. Lendir yang berfungsi sebagai pelindung diproduksi lebih banyak sehingga terjadi penumpukan lendir. Hal ini akan memperlambat ekresi pada insang dan pada akhirnya menyebabkan kematian (Sudarmadi, 1993). Logam berat hampir selalu ada dalam setiap pencemaran oleh limbah industri karena selalu diperlukan dalam setiap proses industri (Forstner dan Wittmann, 1983). Manifestasi dari keracunan logam berat pada manusia adalah diare, demam, fesis biru kehijauan dan kelainan fungsi ginjal. Bila kadarnya tinggi dalam tubuh dapat merusak jantung, hati dan ginjal. Absorbsi logam berat yang masuk ke dalam darah dapat menimbulkan hemolisis yang akut, karena banyak sel darah yang rusak. Akibat yang serius dari keracunan logam berat dapat menimbulkan kematian (Tewari et al., 1987). Pendedahan logam berat kadmium pada ikan Pleuronectes flesus berakibat berkurangnya nilai hematokrit, kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah sehingga menyebabkan anemia. Anemia sering ditandai dengan meningkatnya volume plasma oleh karena sistem keseimbangan dalam tubuh ikan terganggu. Lebih jelasnya penyebab anemia tersebut adalah menurunya kecepatan produksi sel darah merah atau rusaknya sel darah merah lebih cepat (Larsson et al., 1976). Efek lain logam berat terhadap ikan air tawar dapat menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin serta nilai hematokrit (Tewari et al., 1987).
26 Kerusakan ekosistem akibat pencemaran logam berat sering dijumpai khususnya untuk ekosistem perairan. Hal ini terjadi karena adanya logam berat yang bersifat racun bagi organisme dalam perairan. Akibatnya organisme yang paling sensitif pertama kali mengalami akibat buruk dan juga organisme yang tidak mampu bertahan akan musnah, sehingga keseimbangan rantai makanan dan ekosistem perairan akan mengalami kerusakan (Sudarmadi, 1993). Menurut Sudarmadi
(1993), dalam ekosistem alami perairan, hampir dapat dipastikan
bahwa kematian sejenis ikan tidak selalu karena sebab faktor tunggal tetapi karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang dimaksud adalah : 1. Fenomena sinergis, yaitu kombinasi dari dua zat atau lebih yang bersifat memperkuat daya racun. 2. Fenomena antagonis, yaitu kombinasi antara dua zat atau lebih yang saling menetralisir, sehingga zat-zat yang tadinya beracun berhasil dikurangi dan dinetralisir daya racunya sehingga tidak membahayakan. 3. Jenis ikan dan sifat polutan, yang tertarik dengan daya tahan ikan serta adaptasinya terhadap lingkungan, serta sifat polutan itu sendiri 2.8.
Pencemaran Logam Berat Pada Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun yang terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, dan perembesan air asin sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pencemaran (Dahuri et al., 1996). Jadi wilayah pesisir merupakan ekosistem yang paling rawan terkena dampak kegiatan manusia. Menurut Sutamihardja et al., (1982), faktor-faktor penyebab pencemaran adalah : 1.
Erosi dan sedimentasi yang disebabkan oleh rusaknya hutan di daerah hulu sungai yang bermuara ke laut serta penggalian pasir dan kerikil di sungaisungai tersebut.
27 2.
Limbah pertanian berupa sisa pestisida dan pupuk yang digunakan dalam usaha peningkatan produksi pertanian yang masuk ke dalam sistem perairan dan akhirnya sampai keperairan laut.
3.
Air selokan dari kota yang mengandung berbagai bahan, yang kemudian masuk melalui sungai dan bermuara keperairan.
4.
permasalahan yang pokok dari aktifitas perminyakan yang dapat menimbulkan pencemaran adalah a). Masalah operasional berupa ceceran minyak dan buangan secara kontinyu; pembuangan air bekas pencucian tanki dan kapal, b). Masalah kecelakaan berupa gangguan transortasi seperti pecahnya pipa-pipa penyalur tanki penimbunan, kandasnya kapal tanki, dan tumpahan minyak yang berasal dari kegiatan di pelabuhan.
5.
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), berupa air panas yang berasal dari air pendingin yang dibuang ke perairan sehingga akan meningkatkan suhu perairan, akibat pembuangan air panas tersebut akan menimbulkan masalah lingkungan terutama bagi organisme akuatik yang hidup di sekitar perairan tersebut.
6.
Industri, peningkatan jumlah industri yang pesat disamping memberi dampak positif terhadap peningkatan perekonomian penduduk, juga menimbulkan masalah terhadap lingkungan, akibat limbah yang di hasilkan oleh industri. Logam berat masuk kedalam perairan melalui air hujan, aliran air
permukaan, erosi korofikasi batuan mineral, dan berbagai kegiatan manusia seperti aktifitas industri, pertambangan, pengolahan atau penggunaan logam dan bahan yang mengandung logam. Kelarutan logam berat dalam air bisa berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung kondisi lingkungan perairan. Pada perairan yang kekurangan oksigen akibat tingginya konsentrasi bahan organik, kelarutan beberapa jenis logam, seperti Zn,Cu,Cd, Pb dan Hg, semakin rendah dan lebih mudah mengendap. Logam berat yang masuk ke sistem perairan baik di sungai maupun lautan akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses yaitu pengendapan, adsorbsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan (Bryan, 1976).
28 Dalam perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang membentuk komplek dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi (Razak, 1980). Masuknya logam berat kedalam tubuh organisme perairan dapat melalui rantai makanan dan difusi melalui kulit dan insang selanjutnya di dalam tubuh biota perairan akan terjadi bioakumulasi dan biomagnifikasi logam berat hal ini mengakibatkan “factor concentrate” (rasio konsentrasi logam berat dalam tubuh organisme dan konsentrasi dalam badan air semakin meningkat) (Hutagalung et al., 1999).