II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Serbuk Gergaji Kayu
2.1.1 Pengertian serbuk gergaji kayu Serbuk gergaji kayu merupakan limbah industri penggergajian kayu. Selama ini limbah serbuk kayu banyak menimbulkan masalah dalam penanganannya yang selama ini dibiarkan membusuk, ditumpuk, dan dibakar yang kesemuanya berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga penanggulangannya perlu dipikirkan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah memanfaatkannya menjadi produk yang bernilai tambah dengan teknologi aplikatif dan kerakyatan sehingga hasilnya mudah disosialisasikan kepada masyarakat (Departmen Pertanian, 1970). Media tanam bisa dibuat dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan media dari serbuk gergaji kayu dan dengan menggunakan media potonganpotongan kecil dari kayu dengan bentuk silindris (lebih kecil dari ukuran lubang pengeboran). Serbuk gergaji dikeringkan dan diayak, kemudian dicampur dengan bahan-bahan lainnya. Penambahan sukrose, sebaiknya dilarutkan dalam air dan disemprotkan kedalam bahan dan dibasahi. Serbuk gergaji digenggam tangan untuk mengetahui bahwa kadar airnya 65%. Pelepasan serbuk dan terlihat pecah berantakan, berarti masih kering dan perlu ditambah air lagi. Genggaman dibuka dan serbuk bisa menggumpal berarti kadar airnya cukup, dan bila airnya menetes, berarti kadar airnya berlebihan. Bahan adukan tadi dimasukkan ke dalam kantong plastik tebal (polypropilene) atau ke dalam botol dan dipadatkan. Bagian atas kantong plastik diberi cincin dari bambu atau plastik tempat lubang untuk inokulasi. Lubang tersebut ditutup kapas dengan tambahan kertas penutup atau 7
8
aluminium foil. Media serbuk disterilisasi pada autoklaf selama kurang lebih dua sampai dengan empat jam pada tekanan 1,5 atmosfir. Tahapan setelah diinokulasi, media serbuk diinkubasikan di dalam ruangan yang bersuhu kamar 24oC – 25oC selama 30 s.d 40 hari. Kayu atau serbuk gergajian yang paling baik digunakan sebagai media tanam: kayu harus steril, yakni tidak mengandung pestisida atau bahan beracun lainnya (Departemen Pertanian, 1970). 2.1.2 Manfaat serbuk gergaji kayu Serbuk gergaji merupakan salah satu limbah yang dapat diperoleh dari hasil menggergaji yang biasa di lakukan di tukang kayu. Biasanya serbuk gergaji dapat dihasilkan setelah melakukan proses penggergajian kayu ataupun proses penghalusan dari kayu dan dilakukan dengan menggunakan alat penghalus kayu. Hasil dari serbuk gergaji akan langsung dibuang. Serbuk kayu hasil proses penggergajian ataupun limbah dari penghalusan kayu ternyata memilki berbagai manfaat (Departemen Pertanian, 1970). 1.
Sebagai bahan campuran pembuatan meubel Serbuk gergaji memiliki manfaat yang baik sebagai bahan campuran dalam pembuatan meubel. Beberapa pabrik meubel besar saat ini sudah tidak menggunakan bahan kayu utuh untuk membuat meubel. Hal ini dilakukan untuk menekan harga produksi, sehingga produk-produk meubel, seperti lemari kecil dan juga meja belajar dapat dijual dengan harga yang lebih rendah. Keuntungan dari produk meubel yang dicampur serbuk gergaji ini, antara lain. (1) Biaya produksi dapat ditekan
9
(2) Harga jual lebih murah (3) Bobot meubel yang lebih ringan Terdapat beberapa kelemahan dari produk meubel yang dibuat dengan menggunakan campuran serbuk gergaji kayu. Berikut ini adalah beberapa kelemahan dari meubel yang dibuat dengan menggunakan bahan campuran dari serbuk gergaji antara lain. (1) Tidak tahan lama (2) Mudah lapuk (3) Sering menimbulkan kotoran di lantai (4) Ringkih dan juga rapuh 2.
Bahan pembuatan batako Teknologi saat ini juga menggunakan manfaat serbuk gergaji kayu sebagai salah satu bahan campuran dalam pembuatan batako. Hasil penelitian mengatakan bahwa campuran serbuk gergaji pada batako dapat menekan biaya produksi, dan konon katanya kualitas batako yang dibuat juga tidak kalah baiknya dengan jenis batako yang tidak menggunakan campuran dari serbuk gergaji.
3.
Sebagai bahan bakar Selain pemanfaatan kayu bakar untuk memasak, serbuk gergaji juga dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar. Serbuk gergaji dapat menjadi pengganti kertas dan dapat mudah terbakar. Hal ini akan sangat membantu anda dalam membuat api lebih cepat dan proses pembakarannya menjadi lebih baik.
4.
Sebagai alas untuk memelihara hamster
10
Serbuk gergaji kayu diletakkan pada bagian dasar kandang hamster ataupun marmut. Kegunaannya adalah sebagai tempat hamster untuk tidur dan juga sebagai tempat buang air kecil dan besar agar tidak bau. Hamster ataupun marmut juga senang bermain-main pada kandang yang berisi serbuk gergaji dan juga serbuk kayu. 5.
Media tanam Manfaat serbuk gergaji kayu juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu media tanam yang baik. Media tanam ini yang dibuat dengan menggunakan serbuk kayu biasanya dapat mengoptimalkan penyerapan air dan unsur hara pada tanaman. Meningkatnya penyerapan air dan juga unsur hara oleh tanaman, maka kondisi kesuburan dari tanaman tersebut akan menjadi lebih baik. Serbuk gergaji kayu sebagai media tanam dalam polybag ataupun pot kecil dan bisa juga digunakan sebagai media tanam untuk tanaman yang lebih besar.
6.
Briket serbuk gergaji Briket ini dapat digunakan untuk memasak dalam kebutuhan sehari-hari. Briket yang terbuat dari limbah gergaji kayu ini memiliki harga yang jauh lebih murah daripada briket batubara. Perbandingan antara penggunaan gas alam dan minyak tanah, briket dari serbuk gergaji jauh lebih efektif dan pastinya dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga sehari-hari. Mampu mengolah serbuk gergaji ini menjadi bentuk briket pun pastinya akan mendatangkan keuntungan, karena akan meningkatkan omzet penjualan.
7.
Pembuatan casing sosis
11
Setiap sosis yang dijual di pasaran pasti memiliki lapisan luar yang melapisi olahan daging sosis. Lapisan luar yang melapisi olahan daging sosis ini bukan plastic pembungkus sosis, namun lapisan dari olahan daging yang berwarna merah ataupun krem pada sosis. Lapisan ini pun diolah dengan manfaat serbuk kayu. Tidak perlu khawatir, karena lapisan yang dibuat dari serbuk gergaji atau serbuk kayu ini sudah diolah sedemikian rupa dan aman untuk dikonsumsi. Hal ini tidak akan membahayakan kesehatan, karena memang sudah terstandarisasi secara internasional. 2.2
Pengertian Persediaan Bahan Baku
2.2.1 Pengertian persediaan Setiap perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan produksi akan memerlukan persediaan bahan baku. Tersedianya persediaan bahan baku maka diharapkan sebuah perusahaan industri dapat melakukan proses produksi sesuai kebutuhan atau permintaan konsumen. Persediaan bahan baku yang cukup tersedia digudang juga diharapkan dapat memperlancar kegiatan produksi perusahaan dan dapat menghindari terjadinya kekurangan bahan baku. Keterlambatan jadwal pengadaan produk yang dipesan konsumen dapat merugikan perusahaan dalam hal ini image yang kurang baik. Penulis akan mengemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian dari persediaan, sebagai berikut. 1.
Menurut Prawirosentono (2001:61), persediaan adalah aktiva lancar yang terdapat dalam perusahaan dalam bentuk persediaan bahan mentah (bahan baku/raw material, bahan setengah jadi/work in process, dan barang jadi/finished goods).
12
2.
Persediaan adalah bagian utama dari modal kerja, merupakan aktiva yang pada setiap saat mengalami perubahan (Gitosudarmo, 2002:93).
3.
Soemarsono (1999:246), mengemukakan pengertian persediaan sebagai barang-barang yang dimiliki perusahaan untuk dijual kembali atau digunakan dalam kegiatan perusahaan.
4.
Inventory atau persediaan barang sebagai elemen utama dari modal kerja merupakan aktiva yang selalu dalam keadaan berputar, dimana secara terusmenerus mengalami perubahan (Riyanto, 2001:69). Kesimpulan dari persediaan yang dimaksud adalah suatu bagian dari
kekayaan perusahaan industri yang digunakan dalam rangkaian proses produksi untuk diolah menjadi barang setengah jadi atau akhirnya menjadi barang jadi. 2.2.2 Alasan diadakannya persediaan Prinsipnya semua perusahaan melaksanakan proses produksi akan menyelenggarakan persediaan bahan baku untuk kelangsungan proses produksi dalam perusahaan tersebut. Beberapa hal yang menyebabkan suatu perusahaan harus menyelenggarakan persediaan bahan baku menurut Ahyari (2003:150), sebagai berikut. 1.
Bahan yang akan digunakan untuk pelaksanaan proses produksi perusahaan tersebut tidak dapat dibeli atau didatangkan secara satu persatu dalam jumlah unit yang diperlukan perusahaan serta pada saat barang tersebut akan dipergunakan untuk proses produksi perusahaan tersebut. Bahan baku tersebut pada umumnya akan dibeli dalam jumlah tertentu, dimana jumlah tertentu ini akan dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan proses produksi perusahaan yang bersangkutan dalam beberapa waktu tertentu
13
pula. Keadaan semacam ini maka bahan baku yang sudah dibeli oleh perusahaan namun belum dipergunakan untuk proses produksi akan masuk sebagai persediaan bahan baku dalam perusahaan tersebut. 2.
Perusahaan tidak mempunyai persediaan bahan baku, sedangkan bahan baku yang dipesan belum datang maka pelaksanaan proses produksi dalam perusahaan tersebut akan terganggu. Ketidaktersediaan bahan baku tersebut akan mengakibatkan terhentinya pelaksanaan proses produksi pengadaan bahan baku dengan cara tersebut akan membawa konsekuensi bertambah tingginya harga beli bahan baku yang dipergunakan oleh perusahaan. Keadaan tersebut tentunya akan membawa kerugian bagi perusahaan.
3.
Perusahaan dapat menyediakan bahan baku dalam jumlah yang banyak untuk menghindari kekurangan bahan baku tetapi persediaan bahan baku dalam jumlah besar tersebut akan mengakibatkan terjadinya biaya persediaan bahan yang semakin besar pula. Besarnya biaya yang semakin besar ini berarti akan mengurangi keuntungan perusahaan. Resiko kerusakan bahan baku juga akan bertambah besar apabila persediaan bahan bakunya besar.
2.2.3 Kerugian dari ketidakpastian pengadaan persediaan bahan baku Menurut Ahyari (2003), secara umum penggunaan bahan baku didasarkan pada anggapan bahwa setiap bulan selalu sama, sehingga secara berangsur-angsur akan habis pada waktu tertentu. Mengantisipasi kehabisan bahan baku yang berakibat akan mengganggu kelancaran proses produksi sebaiknya pembelian bahan baku dilaksanakan sebelum habis. Secara teoritis keadaan tersebut dapat diperhitungkan, akan tetapi tidak semudah itu. Kadang-kadang bahan baku masih
14
cukup
banyak
namun
sudah
dilakukan
pembelian
sehingga
berakibat
bertambahnya bahan baku digudang. Hal ini bisa menurunkan kualitas bahan dan akan meningkatkan biaya penyimpanan. Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi ketidakpastian bahan baku yaitu dari dalam perusahaan dan faktor dari luar perusahaan. Ketidakpastian dari dalam perusahaan disebabkan oleh faktor dari perusahaan itu sendiri dalam pemakaian bahan baku, karena pemakaian bahan baku oleh perusahaan tidaklah selalu tepat dengan apa yang selalu diencanakan. Suatu saat mungkin ada gangguan teknis sehingga akan mengganggu proses produksi yang akan menyebabkan pemakaian bahan baku berkurang. Pemborosan-pemborosan atau karena bahan baku yang kurang baik sehingga pemakaian bahan baku keluar dari rencana semula (Ahyari, 2003). Ketidakpastian bahan baku selain berasal dari dalam perusahaan terdapat pula ketidakpastian dari luar perusahaan. Ketidakpastian dari luar perusahaan ini disebabkan oleh faktor-faktor dari luar perusahaan. Perusahaan pada saat melaksanakan pembelian sudah diperhitungkan agar bahan baku yang dibeli tersebut datangnya tepat pada saat persediaan yang ada sudah habis. Kenyataannya bahan baku tersebut datangnya sering tidak sesuai dengan yang telah diperhitungkan atau bahan tersebut datang sebelum waktu yang dijanjikan (Ahyari, 2003). 2.2.4 Fungsi-fungsi persediaan Fungsi-fungsi persediaan penting artinya dalam upaya meningkatkan operasi perusahaan, baik yang berupa operasi internal maupun operasi eksternal
15
sehingga perusahaan seolah-olah dalam posisi bebas. Fungsi persediaan pada dasarnya terdiri dari tiga fungsi sebagai berikut. 1.
Fungsi Decoupling Perusahaan akan dapat memenuhi kebutuhannya atas permintaan konsumen
tanpa tergantung pada supplier barang. Pemenuhan fungsi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) persediaan bahan mentah disiapkan agar perusahaan tidak sepenuhnya tergantung penyediaannya pada suplier dalam hal kuantitas dan pengiriman; (2) persediaan barang dalam proses ditujukan agar tiap bagian yang terlibat dapat lebih leluasa dalam berbuat; dan (3) persediaan barang jadi disiapkan pula dengan tujuan untuk memenuhi permintaan yang bersifat tidak pasti dan langganan (Asdjudiredja, 1999:114). 2.
Fungsi Economic Lot Sizing Tujuan dari fungsi ini adalah pengumpulan persediaan agar perusahaan
dapat berproduksi serta menggunakan seluruh sumber daya yang ada dalam jumlah yang cukup dengan tujuan agar dapat mengurangi biaya perunit produk. Pertimbangan yang dilakukan dalam persediaan ini adalah penghematan yang dapat terjadi karena pembelian dalam jumlah banyak yang dapat memberikan potongan harga serta biaya pengangkutan yang lebih mudah dibandingkan dengan biaya-biaya yang akan terjadi karena banyaknya persediaan yang dimiliki (Asdjudiredja, 1999:114). 3.
Fungsi Antisipasi Perusahaan sering mengalami suatu ketidakpaastian dalam jangka waktu
pengiriman barang dari perusahaan lain, sehingga memerlukan persediaan pengamanan (safety stock) atau perusahaan mengalami fluktuasi permintaan yang
16
dapat diperkirakan sebelumnya yang didasarkan pengalaman hal tersebut, perusahaan sebaiknya mengadakan persediaan musiman (seaseonal inventory) (Asdjudiredja, 1999:114). Selain fungsi-fungsi diatas menurut Herjanto (1997:168), terdapat enam fungsi penting yang terkandung oleh persediaan dalam memenuhi kebutuhan perusahaan antara lain: (1) menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman bahan baku; (2) menghilangkan resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan; (3) menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang atau inflasi; (4) untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga perusahaan tidak akan sulit bila bahan tersebut tidak tersedia dipasaran; (5) mendapatkan keuntungan dari pembelian berdasarkan potongan kuantitas (quantity discount); dan 6) memberikan pelayanan kepada langganan dengan tersedianya barang yang diperlukan. 2.2.5 Jenis-jenis persediaan Persediaan dapat dikelompokkan menurut jenis dan posisi barang, sebagai berikut. 1.
Persediaan bahan baku, yaitu persediaan barang-barang berwujud yang digunakan dalam proses produksi. Barang ini diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari supplier atau perusahaan yang membuat atau menghasilkan bahan baku untuk perusahaan lain yang menggunakannya.
2.
Persediaan komponen-komponen rakitan, yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain yang dapat secara langsung dirakit atau di-asembling dengan komponen lain tanpa melalui proses produksi sebelumnya.
17
3.
Persediaan bahan pembantu atau penolong, yaitu persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.
4.
Persediaan barang setengah jadi atau barang dalam proses, yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah.
2.2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku Donald
Delmar
(1985)
mengemukakan
bahwa
dalam
melakukan
perencanaan dan pengendalian persediaan terdapat beberapa faktor terkait yang memerlukan perhatian. Faktor-faktor tersebut antara lain. 1.
Inventory turnover Inventory turnover (perputaran persediaan) merupakan frekuensi perputaran
suatu item sediaan yang telah digantikan selama periode waktu tertentu. Perhitungan Perputaran Persediaan (inventory turnover) bagi suatu perusahaan sangat penting, yaitu antara lain untuk mengetahui: (1) apakah pengelolaan persediaan telah dilakukan dengan baik atau tidak; (2) kecepatan dari pergantian persediaan, dimana semakin tinggi pergantian persediaan, maka semakin tinggi biaya yang dapat dihemat sehingga laba perusahaan naik; dan (3) pada dasarnya suatu perusahaan yang baik adalah apabila persediaan barang yang dijual atau diproduksi cepat berganti sehingga biaya penyimpanan serta tingkat kerusakan barang semakin rendah yang dapat menyebabkan kenaikan laba perusahaan. Perputaran dari persediaan didapat dengan jalan membagi harga pokok penjualan dengan persediaan rata-rata.
18
2.
Lead time Lead time adalah interval waktu antara penyampaian pesanan dan
diterimanya pesanan sediaan itu dari pemasok. Produk atau komponen yang diproduksi secara internal, lead time dapat didefinisikan sebagai waktu total yang diperlukan untuk memperoleh bahan baku yang diperlukan atau membeli komponen, melaksanakan pengolahan yang diperlukan, pabrikasi, dan langkahlangkah perakitan serta pengepakan serta pengiriman barang-barang itu ke divisi lain di dalam perusahaan atau kepada pelanggan. 3.
Customer service level Customer service level merupakan derajat layanan kepada pelanggan yang
mengacu pada persentase dari pesanan yang dapat diisi dengan sediaan atau produk jadi yang akan diserahkan, berdasarkan suatu tanggal tertentu yang telah disetujui. Derajat layanan kepada pelanggan ini merupakan fungsi langsung dari titik pemesanan kembali (reorder point) dan didefinisikan sebagai level sediaan atau waktu mana suatu order telah ditetapkan untuk mengganti unit sediaan yang sudah terpakai atau terjual. 4.
Stock-out cost Stock-out cost adalah biaya atas kekurangan sediaan yang terjadi ketika
permintaan melebihi tingkat persediaan biaya yang dihubungkan dengan ketidakcukupan sediaan meliputi hilangnya citra baik dari pelanggan, terhentinya proses produksi yang sedang berlangsung, dan tindakan cepat yang perlu diambil untuk menghindari atau memperkecil tekanan kekurangan sediaan tersebut. Citra baik dari pelanggan berhubungan langsung dengan derajat layanan kepada pelanggan dengan anggapan citra baik itu berhubungan dengan kuantitas, bukan
19
pada aspek kualitas yang rendah. Saat citra baik dan pelanggan terjadi, berarti pada saat yang sama timbul derajat layanan kepada pelanggan. 5.
Biaya persediaan bahan baku Biaya persediaan terdiri atas biaya pemesanan dan biaya penyimpanan,
sebagai berikut. (1)
Ordering cost (biaya pemesanan) Biaya ini mencakup biaya sewa bensin, upah sopir, dan biaya sewa pick up.
Sehubungan dengan itu, untuk meminimumkan biaya pemesanan, perusahaan harus melakukan pemesanan dalam jumlah besar, yang pada gilirannya meminimumkan biaya pemesanan. Jumlah unit yang dipesan berbanding terbalik dengan frekuensi pemesanan. Jumlah unit yang dipesan diperbesar maka frekuensi pemesanan berkurang. Unit yang dipesan diperkecil maka frekuensi pemesanan meningkat. Tingkat biaya pemesanan yang optimal diperoleh pada titik keseimbangan antara biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan. (2)
Storage or holding (biaya penyimpanan), or carrying costs Biaya atas sediaan yang terjadi sehubungan dengan penyimpanan sejumlah
sediaan tertentu dalam perusahaan. Biaya ini mencakup biaya penyusutan gudang, biaya listrik, biaya air, dan upah tenaga kerja. Biaya penyimpanan umumnya dihitung dengan persen tertentu terhadap harga sediaan, misalnya 10% s.d 35%. Menurut Assauri (1999), dalam menentukan jumlah pembelian atau pemesanan ekonomis dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu. (1)
Menggunakan tabel (tabular approach) Pendekatan ini jumlah pemesanan yang ekonomis dapat dilakukan dengan
menyusun tabel jumlah biaya per tahun, dimana nantinya jumlah pesanan yang
20
menunjukkan biaya terendah merupakan jumlah pesanan atau pembelian yang paling ekonomis. (2)
Menggunakan grafik (graphical approach) Penentuan jumlah pesanan atau pembelian yang ekonomis dengan
pendekatan grafik ini dilkukan dengan cara menggambarkan grafik-grafik, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan total biaya dalam satu gambar. Sumbu horizontal menentukan jumlah besarnya pesanan, biaya penyimpanan, dan total biaya. (3)
Menggunakan rumus (formula approach) Pendekatan ini menggunakan rumus matematika dalam menentukan jumlah
pemesanan
yang
paling
ekonomis.
Pendekatan
ini
dilakukan
dengan
memperhatikan bahwa total biaya persediaan yang minimum terjadi pada biaya pemesanan sama dengan biaya penyimpanan.
2.3
Pengertian Pengendalian Persediaan Bahan Baku Pengendalian bahan baku yang diselenggarakan dalam suatu perusahaan,
tentunya diusahakan untuk dapat menunjang kegiatan-kegiatan yang ada dalam perusahaan yang bersangkutan. Keterpaduan dari seluruh pelaksanaan kegiatan yang ada dalam perusahaan akan menunjang terciptanya pengendalian bahan baku yang baik dalam suatu perusahaan. Pengendalian persediaan merupakan fungsi manajerial yang sangat penting bagi perusahaan, karena persediaan fisik pada perusahaan akan melibatkan investasi yang sangat besar pada pos aktiva lancar. Pelaksanaan fungsi ini berhubungan dengan seluruh bagian yang bertujuan agar usaha penjualan dapat intensif serta produk dan penggunaan sumber daya dapat maksimal.
21
Perencanaan adalah proses untuk memutuskan tindakan apa yang akan diambil dimasa depan. Perencanaan kebutuhan bahan adalah suatu sistem perencanaan yang pertama-tama berfokus pada jumlah dan pada saat barang jadi yang diminta yang kemudian menentukan permintaan turunan untuk bahan baku, komponen dan sub perakitan pada saat tahapan produksi terdahulu (Horngren, 1992:321). Pengawasan bahan adalah suatu fungsi terkoordinasi didalam organisasi yang terus-menerus disempurnakan untuk meletakkan pertanggungjawaban atas pengelolaan bahan baku dan persediaan pada umumnya, serta menyelenggarakan suatu pengendalian internal yang menjamin adanya dokumen dasar pembukuan yang mendukung sahnya suatu transaksi yang berhubungan dengan bahan, pengawasan bahan meliputi pengawasan fisik dan pengawasan nilai atau rupiah bahan (Supriyono, 1999:400). Kegiatan pengawasan persediaan tidak terbatas pada penentuan atas tingkat dan komposisi persediaan, tetapi juga termasuk pengaturan dan pengawan atau pelaksanaan pengadaan bahan-bahan yang diperlukan sesaui dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan dengan biaya yang serendah-rendahnya. 2.3.1 Tujuan pengendalian persediaan Menurut Assauri (1998:177), tujuan pengawasan persediaan dapat diartikan sebagai usaha untuk. 1.
Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga menyebabkan proses produksi terhenti.
2.
Menjaga agar penentuan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar sehingga biaya yang berkaitan dengan persediaan dapat ditekan.
22
3.
Menjaga agar pembelian bahan baku secara kecil-kecilan dapat dihindari. Tujuan dasar pengendalian bahan adalah kemampuan untuk mengirimkan
surat pesanan pada saat yang tepat pada pemasok terbaik untuk memperoleh kuantitas yang tepat pada harga dan kualitas yang tepat (Matz, 1994:229). Kesimpulan, dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pengendalian persediaan dan pengadaan perencanaan bahan baku yang dibutuhkan baik dalam jumlah maupun kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan untuk produksi serta kapan pesanan dilakukan. 2.3.2 Prinsip-prinsip pengendalian Menurut Matz (1994:230), sistem dan teknik pengendalian persediaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut: 1.
Persediaan diciptakan dari pembelian bahan dan suku cadang, tambahan biaya pekerja, dan overhead untuk mengelola bahan menjadi barang jadi.
2.
Persediaan berkurang melalui penjualan dan kerusakan.
3.
Perkiraan yang tepat atas skedul penjualan dan produksi merupakan hal yang esensial bagi pembelian, penanganan, dan investasi bahan yang efisien.
4.
Kebijakan manajemen, yang berupaya menciptakan keseimbangan antara keragaman dan kuantitas persediaan bagi operasi yang efisien dengan biaya pemilikan persediaan tersebut merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan investasi persediaan.
5.
Pemesanan bahan merupakan tanggapan terhadap perkiraan dan penyusunan rencana pengendalian produksi.
23
6.
Pencatatan persediaan saja tidak akan mencapai pengendalian atas persediaan.
7.
Pengendalian bersifat komparatif, relatif dan tidak mutlak. Matz (1994:229) berpendapat bahwa pengendalian persediaan yang efektif
harus. 1.
Menyediakan bahan dan suku cadang yang dibutuhkan bagi operasi yang efisien dan lancar.
2.
Menyediakan cukup banyak stock dalam periode kekurangan pasokan (musiman, siklus, atau pemogokan) dan dapat mengantisipasi perubahan harga.
3.
Menyiapkan bahan dengan waktu dan biaya penanganan yang minimum serta melindunginya dari kebakaran, pencurian, dan kerusakan selama bahan tersebut ditangani.
4.
Mengusahakan agar jumlah persediaan yang tidak terpakai, berlebih, atau yang rusak sekecil mungkin dengan melaporkan perubahan produk secara sistematik, dimana perubahan tersebut mungkin akan mempengaruhi bahan suku cadang.
5.
Menjamin kemandirian persediaan bagi pengiriman yang tepat waktu kepada pelanggan.
6.
Menjaga agar jumlah modal yang diinvestasikan dalam persediaan berada pada tingkat yang konsisten dengan kebutuhan operasi dan rencana manajemen.
24
2.3.3 Sistem pengendalian persediaan Menurut Assauri (1998), penentuan jumlah persediaan perlu ditentukan sebelum melakukan penilaian persediaan. Jumlah persediaan dapat ditentukan dengan dua sistem yang paling umum dikenal pada akhir periode antara lain. 1.
Periodic system, yaitu setiap akhir periode dilakukan perhitungan secara fisik agar jumlah persediaan akhir dapat diketahui jumlahnya secara pasti.
2.
Perpetual system, atau book inventory yaitu setiap kali pengeluaran diberikan catatan administrasi barang persediaan. Beberapa cara yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan penilaian
persediaan yaitu. 1.
First In, First Out (FIFO) atau masuk pertama keluar pertama Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa arus harga bahan adalah sama
dengan arus penggunaan bahan. Sejumlah unit bahan dengan harga beli tertentu sudah habis dipergunakan, maka penggunaan bahan berikutnya harganya akan didasarkan pada harga beli berikutnya. Atas dasar metode ini maka harga atau nilai dari persediaan akhir adalah sesuai dengan harga dan jumlah pada unit pembelian terakhir. 2.
Last In, First Out (LIFO) atau masuk terakhir keluar pertama Perusahaan beranggapan bahwa harga beli terakhir dipergunakan untuk
harga bahan baku yang pertama keluar sehingga masih ada stock dinilai berdasarkan harga pembelian terdahulu.
25
3.
Weighted Average (Rata-rata tertimbang) Cara ini didasarkan atas harga rata-rata perunit bahan adalah sama dengan
jumlah harga perunit yang dikalikan dengan masing-masing kuantitasnya kemudian dibagi dengan seluruh jumlah unit bahan dalam perusahaan tersebut. 4.
Harga standar Besarnya nilai persediaan akhir dari suatu perusahaan akan sama dengan
jumlah unit persediaan akhir dikalikan dengan harga standar perusahaan. Harga pokok produksi suatu unit atau sekelompok produk selama periode tertentu, yang ditentukan dimuka.
2.4
Penggunaan Bahan Baku
2.4.1 Pengertian bahan baku Salah satu fungsi pokok perusahaan manufaktur adalah fungsi produksi. Perusahaan bertugas mengolah bahan baku menjadi produk jadi. Bahan baku adalah barang-barang yang dibeli perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi (Jusup 1999: 408). Pendapat tersebut tidak berbeda jauh dengan pendapat Suadi (2000: 64) bahwa bahan baku adalah bahan yang menjadi bagian produk jadi dan dapat diidentifikasikan ke produk jadi. Menurut Syamsudin (2001: 281) bahwa bahan baku adalah persediaan yang dibeli oleh perusahaan untuk diproses menjadi barang setengah jadi dan akhirnya barang jadi atau produk akhir dari perusahaan. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahan baku merupakan bahan yang dibuat menjadi barang jadi. 2.4.2 Perkiraan kebutuhan bahan baku Menurut Syamsudin (2001), perkiraan kebutuhan bahan baku merupakan suatu perkiraan banyaknya bahan baku yang akan digunakan dalam proses
26
produksi dalam suatu periode. Perkiraan kebutuhan bahan baku untuk proses produksi biasanya didasarkan pada pengalaman tahun-tahun yang lalu sehingga dalam proses produksi tidak terjadi kekurangan atau kelebihan bahan baku. Secara umum, tingkat penggunaan bahan baku yang diperkirakan sebagai kebutuhan suatu perusahaan untuk proses produksi relatif tetap atau bertambah dengan pertambahan yang teratur. Tujuannya agar proses produksi berjalan dengan lancar, diperlukan kecermatan dalam memperkirakan kebutuhan bahan baku. Memperkirakan kebutuhan bahan baku secara rutin untuk proses produksi, perusahaan juga perlu memperkirakan kebutuhan bahan baku secara khusus, misalnya menjelang hari raya atau hari- hari besar atau adanya pesanan yang tidak diduga. 2.4.3 Penentuan kebutuhan bahan baku Menurut Suadi (2000), setelah kebutuhan bahan baku untuk proses produksi diprediksi atau diperkirakan, manajemen perusahaan perlu mengambil keputusan untuk menentukan jumlah bahan baku yang harus dibeli dan kapan harus dilakukan pembelian. Bertujuan agar pengambilan keputusan manajemen tentang jumlah bahan baku yang harus dibeli dan kapan harus membeli tepat waktu, dapat digunakan perhitungan pembelian optimal dengan metode EOQ.
2.5
Langkah-Langkah dalam Melaksanakan Pengendalian Persediaan Bahan Baku
2.5.1 Menentukan jumlah pemesanan yang ekonomis (EOQ) Menurut Gitosudarmo (2002: 101), EOQ merupakan volume atau jumlah pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada setiap kali pembelian. Begitu juga pendapat Hansen dan Mowen (2005: 473). Menurut mereka, EOQ
27
atau kuantitas pesanan ekonomis adalah sebuah contoh dari sistem persediaan yang bertujuan menentukan kuantitas pesanan yang akan meminimalkan total biaya. Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa EOQ merupakan suatu metode pembelian bahan baku yang optimal yang dilakukan pada setiap kali pembelian dengan meminimalkan biaya persediaan. Perusahaan manufaktur dalam rangka proses produksi akan melakukan pembelian bahan baku. Pembelian bahan baku tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan selama satu periode tertentu dengan biaya yang minimal agar perusahaan tidak kekurangan bahan baku. Tujuannya agar pembelian (carrying) dan persediaan bahan baku (ordering cost) optimal, dalam perhitungan biaya dapat digunakan metode EOQ (Hansen dan Mowen, 2005). Langkah ini sesuai dengan yang dikatakan Ahyari (1999: 160) bahwa pembelian dalam jumlah yang optimal untuk mencari jumlah pembelian yang tepat dalam setiap kali pembelian guna menutup kebutuhan yang tepat sehingga menghasilkan total biaya persediaan yang paling minimal. EOQ dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu biaya penyimpanan per unit, biaya pemesanan per pesan, kebutuhan bahan baku untuk satu periode, dan harga pembelian. Berkaitan dengan hal tersebut, Harahap (1999) dan Indra (2008) menyimpulkan bahwa EOQ memiliki beberapa asumsi sebagai berikut. (1)
Harga per unit barang konstan dan tidak memengaruhi jumlah barang yang akan dipesan nantinya.
(2)
Biaya penyimpanan per unit per tahun konstan.
(3)
Pada saat pemesanan barang tidak terjadi kehabisan barang atau Back Order yang menyebabkan perhitungan menjadi tidak tepat.
28
(4)
Permintaan konsumen, biaya pemesanan, biaya transportasi, dan waktu antara pemesanan barang sampai dengan barang tersebut dikirim dapat diketahui secara pasti dan bersifat konstan.
(5)
Jumlah barang yang dipesan pada setiap pemesanan selalu stabil.
2.5.2 Frekuensi pembelian bahan baku Frekuensi pembelian bahan baku berpengaruh terhadap biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Semakin sering perusahaan melakukan pembelian bahan baku, semakin banyak biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang dikeluarkan. Frekuensi pembelian bahan baku perlu ditetapkan secara cermat. Menurut Carter (2009: 315), penetapan frekuensi pembelian bahan baku didasarkan pada kebutuhan bahan baku per tahun dan kuantitas pemesanan atau pembelian ekonomis. 2.5.3 Menentukan persediaan pengaman (SS) Perusahaan manufaktur membutuhkan ketersediaan bahan baku untuk menjamin kelancaran produksi. Persediaan bahan baku itu disebut persediaan pengaman, yang oleh Ahyari (1999: 199) diartikan sebagai persediaan yang dicadangkan sebagai pengaman dari kelangsungan proses produksi perusahaan. Pendapat Ahyari tersebut hampir sama dengan pendapat Hansen dan Mowen (2005: 474) bahwa persediaan pengaman adalah persediaan ekstra yang disimpan sebagai jaminan atas fluktuasi permintaan. Martono dan Harjito (2008: 88) juga berpendapat senada dengan kedua pendapat tersebut bahwa persediaan pengaman adalah persediaan minimal yang ada di perusahaan untuk berjaga-jaga apabila perusahaan kekurangan barang atau ada keterlambatan bahan yang dipesan sampai di perusahaan. Atas dasar beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
29
persediaan pengaman merupakan jumlah persediaan bahan baku minimal yang harus ada untuk menjaga kemungkinan keterlambatan bahan baku yang akan dibeli perusahaan. Mengacu pada hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa persediaan pengaman penting dalam perusahaan manufaktur karena pada kenyataannya jumlah bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi tidak selalu tepat seperti yang direncanakan. Menurut Hansen dan Mowen (2005: 475), persediaan pengaman (safety stock) dapat dihitung melalui perkalian tenggang waktu dengan selisih antara tingkat penggunaan bahan baku maksimal dan tingkat rata-rata penggunaan. 2.5.4 Menentukan titik pemesanan kembali (ROP) Perusahaan juga harus menentukan reorder point (titik pemesanan kembali) apabila besar persediaan pengaman telah diketahui. Menurut Hansen dan Mowen (2005: 470), reorder point adalah titik waktu di mana sebuah pesanan baru harus dilakukan (atau persiapan dimulai). Pendapat tersebut hampir sama dengan pendapat Martono dan Harjito (2008: 88) bahwa reorder point adalah saat harus diadakan pesanan lagi sehingga penerimaan bahan yang dipesan tepat pada waktu persediaan di atas safety stock sama dengan nol. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa titik pemesanan kembali atau reorder point adalah saat perusahaan harus mengadakan pemesanan kembali bahan baku sehingga datangnya pesanan tersebut tepat dengan habisnya bahan baku yang ada dalam persediaan pengaman. Titik pemesanan kembali bahan baku perlu ditentukan dengan cermat karena kekeliruan pemesanan kembali bahan baku dapat mengakibatkan proses
30
produksi terganggu. Menurut Martono dan Harjito (2008: 88), dalam menentukan titik pemesanan kembali perlu diperhatikan dua faktor berikut. (1)
Penggunaan bahan selama Lead Time.
(2)
Safety stock (persediaan pengaman)
2.5.5 Menentukan jumlah persediaan maksimum (Maximum Inventory) Persediaan maksimum merupakan jumlah persediaan yang paling besar yang sebaiknya dapat diadakan oleh perusahaan. Batas maksimum ini kadangkadang tidak didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan efektifitas kegiatan perusahaan. Besarnya persediaan maksimum dalam hal ini hanya didasarkan atas kemampuan keuangan perusahaan, kemampuan gudang yang ada dan kerusakan barang tersebut. Menurut Assauri (1999), persediaan maksimum ditentukan dengan cara menjumlahkan safety stock (persediaan penyelamat) dengan EOQ (jumlah pemesanan ekonomis). 2.5.6 Total biaya persediaan Perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk keperluan persediaan bahan baku dalam mengadakan persediaan bahan baku tersebut. Biaya persediaan bahan baku tersebut yaitu biaya persediaan untuk pembelian bahan baku yang terdiri atas total biaya pemesanan dan total biaya penyimpanan.
2.6
Penelitian Terdahulu Penulis mendapat rujukan dari beberapa materi dari peneliti dahulu yang
mengangkat topik yang sama yaitu “analisis pengendalian persediaan bahan baku” untuk melengkapi materi pada penelitian ini. Para peneliti terdahulu tersebut, sebagai berikut.
31
Menurut penelitian Arga Mahardhika (2011) dengan judul “Analisis Perbandingan Pengendalian Persediaan Bahan Baku dengan pendekatan metode EOQ dan metode Kanban” diketahui bahwa menggunakan metode EOQ dapat diketahui kuantitas pemesanan paling ekonomis Wiper Pivot sebesar 1461 unit, Safety Stock 567 unit dan ROP sebesar 630 unit. Komponen Wiper Assy sebesar 1215 unit, Safety Stock 575 unit dan ROP sebesar 638 unit. Komponen Arm & Blade sebesar 1157 unit, Safety Stock 934 unit dan ROP sebesar 1010 unit. Menggunakan metode Kanban dapat diketahui memerlukan satu kartu kanban dengan kuantitas pemesanan Wiper Pivot sebesar 192 unit. Komponen Wiper Assy dapat diketahui memerlukan satu kartu kanban dan kuantitas pemesanan ekonomis sebesar 192 unit. Komponen Arm & Blade memerlukan satu kartu kanban dengan kuantitas pemesanan sebesar 288 unit. Penerapan metode EOQ untuk periode perencanaan selama satu periode dihasilkan penghematan dari TIC sebesar Rp. 13.006.808 untuk komponen Wiper Pivot, sebesar Rp. 11.363.563 untuk komponen Wiper Assy dan sebesar Rp. 6.533.310 untuk Arm & Blade. Kesimpulannya adalah penelitian tersebut berfokus pada metode EOQ dan sistem kanban. Persamaan dari penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan penulis saat ini adalah sama-sama menggunakan metode EOQ. Hal tersebut dilihat dari persamaannya, jika dilihat dari segi perbedaannya terletak pada lokasi penelitian dan jenis komoditi yang diteliti juga berbeda serta tidak menggunakan sistem kanban. Penulis juga mencantumkan tabel yang berisi model biaya variabel total persediaan, hubungan antara EOQ, safety stock, reorder point, dan persediaan maksimum serta perbandingan antara data aktual perusahaan dengan analisis persediaan bahan baku yang efisien.
32
Menurut penelitian Aris Nuryanto (2010) dengan judul “Analisis Perbandingan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kain Micropolar Fleece antara pendekatan model EOQ dengan Just In Time Inventory Control (JIT/EOQ) pada CV Cahyo Nugroho Jati Sukoharjo” diketahui bahwa kebijakan pengadaan bahan baku yang dilakukan CV Cahyo Nugroho Jati Sukoharjo selama ini belum optimal dan belum menunjukan biaya yang minimum, artinya biaya persediaan yang selama ini dikeluarkan perusahaan masih lebih besar jika dibandingkan dengan perusahaan menerapkan pengendalian persediaan bahan baku dengan menggunakan metode EOQ maupun metode JIT/EOQ. Kesimpulannya adalah penelitian tersebut berfokus pada metode EOQ dan JIT/EOQ. Persamaan dari penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan penulis saat ini adalah sama-sama menggunakan metode EOQ. Hal tersebut dilihat dari persamaannya, jika dilihat dari segi perbedaannya terletak pada lokasi penelitian dan jenis komoditi yang diteliti juga berbeda. Penulis menjabarkan metode EOQ. Penulis juga mencantumkan tabel yang berisi model biaya variabel total persediaan; hubungan antara EOQ, safety stock, reorder point, dan persediaan maksimum serta perbandingan antara data aktual perusahaan dengan analisis persediaan bahan baku yang efisien. Menurut penelitian Lulus Kantimaulida Fatma (2014) dengan judul “Analisis Persediaan Bahan Baku Kedelai di Pabrik Tahu UD. Jaya Abadi Situbondo” diketahui bahwa total biaya persediaan bahan baku aktual yang dikeluarkan perusahaan adalah sebesar Rp 20.701.698,55 dan total biaya persediaan menggunakan analisis pengendalian persediaan bahan baku yang
33
ekonomis sebesar Rp 20.014.050,38. Perusahaan dapat menghemat anggaran atau pengeluaran sebesar Rp 687.648,17. Kesimpulannya adalah penelitian tersebut berfokus pada metode EOQ. Persamaan dari penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan penulis saat ini adalah sama-sama menggunakan metode EOQ. Hal tersebut dilihat dari persamaannya, jika dilihat dari segi perbedaannya terletak pada lokasi penelitian dan jenis komoditi yang diteliti juga berbeda. Menurut penelitian Ni KT. Puspasari K. Dewi (2004) dengan judul “Analisis Persediaan Bahan Baku pada Perusahaan Kopi Bubuk UD Mekar Sari di Kabupaten Karangasem” diketahui bahwa jumlah pembelian bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan adalah sebesar 1.260,37 kg kopi bijian dengan frekuensi pembelian sebanyak 30 kali. Jumlah persediaan penyelamat adalah sebesar 127,08 kg kopi bijian. Reorder Point dilakukan pada saat persediaan kopi bijian sebanyak 254,16 kg. Jumlah persediaan maksimum yang sebaiknya dipertahankan perusahaan sebesar 1.387,45 kg kopi bijian sedangkan total biaya persediaan yang sesungguhnya yang dikeluarkan perusahaan pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp 2.163.840,00 dengan jumlah bahan baku yang dibutuhkan sebesar 36.600 kg kopi bijian. Total biaya persediaan bahan baku yang seharusnya dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp 1.331.879,00 (kebutuhan bahan bakunya sebesar 38.125 kg). Kesimpulannya adalah penelitian tersebut berfokus pada metode EOQ. Persamaan dari penelitian sebelumnya dan penelitian yang dilakukan penulis saat ini adalah sama-sama menggunakan metode EOQ. Hal tersebut dilihat dari
34
persamaannya, jika dilihat dari segi perbedaannya terletak pada lokasi penelitian dan jenis komoditi yang diteliti juga berbeda.
2.7
Kerangka Pemikiran Oka Jamur Bali merupakan salah satu perusahaan yang memproduksi
baglog jamur tiram dan ketersediaan bahan bakunya terkadang belum dapat mencukupi kebutuhan proses produksinya. Bahan baku merupakan salah satu faktor penting selain tenaga kerja yang sangat menentukan keberhasilan jalannya proses produksi suatu perusahaan. Ketidaklancaran proses produksi terjadi apabila jumlah bahan baku tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan, sehingga output yang diperoleh tidak maksimal. Sebaliknya jika ketersediaan bahan baku yang terlalu besar akan meningkatkan biaya produksi tersebut. Bahan baku utama yang diperlukan adalah serbuk gergaji kayu. Mengontrol ketersediaan bahan baku dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk menjawab tujuan pertama penelitian yaitu untuk mengetahui pola pembelian bahan baku serbuk gergaji kayu sedangkan metode kuantitatif untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga penelitian yaitu untuk mengetahui penerapan analisis persediaan bahan baku yang efektif dan seberapa besar efisiensi biaya persediaan. Perlu diterapkan sistem pengendalian persediaan bahan baku dengan tujuan agar mengefisiensikan biaya persediaan dari pembelian bahan baku. Biaya persediaan meliputi biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Langkah selanjutnya, peneliti akan melakukan perhitungan dengan menggunakan metode EOQ guna untuk membandingkan antara total biaya persediaan aktual yaitu total biaya persediaan yang dikeluarkan perusahaan
35
sebelum perusahaan menerapkan analisis pengendalian persediaan bahan baku dengan total biaya persediaan normatif yaitu total biaya persediaan yang dikeluarkan
oleh
perusahaan
setelah
perusahaan
menerapkan
analisis
pengendalian persediaan bahan baku. Berdasarkan hal tersebut, apabila total biaya persediaan yang dikeluarkan oleh perusahaan menunjukkan nilai yang lebih besar, maka hasil analisis tersebut akan direkomendasikan kepada Oka Jamur Bali. Hal ini menunjukkan bahwa biaya persediaan yang dikeluarkan oleh perusahaan belum menunjukkan nilai yang ekonomis dan perusahaan perlu melakukan penghematan-penghematan terhadap pengeluaran yang tidak perlu. Secara sistematis, kerangka pemikiran pengendalian persediaan bahan baku pada Oka Jamur Bali di Desa Penarungan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung disajikan seperti pada Gambar 2.1.
36
OKA JAMUR BALI
Bahan Baku
Metode Deskriptif
Metode Kuantitatif
(Pola Pembelian Bahan Baku)
Analisis Pengendalian Persediaan BB
Biaya Aktual
Biaya Normatif 1. Jumlah Pemesanan Ekonomis 2. Frekuensi 3. Safety Stock
TIC Aktual (Total Inventory Cost)
4. Reorder Point
TIC Normatif
(Total Inventory Cost) 5. Maximum Inventory
Efisiensi Biaya
Kesimpulan
Rekomendasi Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Serbuk Gergaji Kayu di Oka Jamur Bali