5
TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Keuangan Keluarga Manajemen merupakan salah satu turunan ilmu ekonomi. Walaupun manajemen tidak membuat sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk pilihan yang disetujui oleh anggota keluarga. Uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus merupakan alat pengukur dari sumberdaya. Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga menunjukkan berapa banyak sumberdaya yang dimilikinya. Sumberdaya yang dimiliki suatu keluarga relatif terbatas, oleh karena harus digunakan secara optimal dengan melakukan pengelolaan yang baik agar seluruh kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik (Guharja et al. 1992). Tujuan dari pengelolaan sumberdaya atau manajemen keuangan keluarga adalah menggunakan sumberdaya pribadi dan keuangan untuk memenuhi kebutuhan di masa depan dan saat mendadak. Oleh karena itu, manajemen keuangan mempunyai tujuan saat ini dan tujuan masa depan. Tentunya kedua tujuan tersebut harus seimbang satu sama lain. Perencanaan keuangan merupakan sebuah proses pengelolaan keuangan yang dimiliki untuk mendapat kepuasan di masa yang akan datang. Altfest (2007) dalam Manurung (2008) mendifinisikan personal finance yaitu the study of how people develop the cash flows necessary to support their operations and provide for their well-being. Konsep ini memberikan pengertian sangat luas yaitu bagaimana seseorang atau keluarga dapat membiayai kehidupannya sehingga kehidupan dapat berlangsung dari arus kas yang diperoleh. Arus kas yang diperoleh bisa dari hasil pekerjaan atau usaha yang digeluti baik sejak bekerja/berusaha atau juga melalui pekerjaan sampingan yang tidak perlu dikelola. Menurut Senduk (2000), perencanaan keuangan merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan-tujuan keuangan baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan merencanakan keuangan yang dimiliki. Untuk mencapai tujuantujuan tersebut bisa dilakukan dengan menabung, melakukan investasi, melakukan budgeting, atau mengatur sumberdaya keuangan yang dimiliki saat ini. Sebuah
6
keluarga perlu melakukan perencanaan keuangan disebabkan karena adanya tujuan keuangan yang ingin dicapai, semakin meningkatnya biaya hidup, keadaan perekonomian yang tidak selalu baik, kondisi fisik manusia yang tidak akan selalu sehat, dan banyaknya alternatif produk- produk keuangan. Kapoor, Dlabay, dan Hughes (2004) dalam Manurung (2008) menyatakan ada enam tahap proses perencanaan keuangan yaitu: 1. Penentuan posisi saat ini, 2. Penentuan tujuan keuangan, 3. Identifikasi alternatif tindakan, 4. Evaluasi alternative, 5. Pelaksanaan rencana tindakan finansial, dan 6. Mereview dan merevisi perencanaan keuangan. Sebuah rencana keuangan (budget) merupakan sebuah rencana bagi pengeluaran yang akan datang yang mencerminkan langkah pertama dalam suatu proses manajemen keuangan. Agar suatu rencana keuangan dapat berhasil maka harus realistis dan fleksibel. Budget yang dibuat seteliti mungkin pun masih memiliki kekurangan, walaupun demikian budget dapat membantu untuk menghindari penggunaan sumberdaya untuk keperluan yang kurang atau tidak penting. Rencana keuangan seperti manajemen lainnya bersifat dinamis, walaupun nilai dan kebutuhan terhadapnya bersifat tetap dalam seluruh siklus hidup yang dihadapi keluarga (Gross et al. 1980). Tekanan Ekonomi Faktor ekonomi merupakan faktor terpenting dalam kehidupan keluarga, karena ekonomi merupakan salah satu tiang utama penyangga keseimbangan hidup keluarga. Di sisi lain, faktor ini dapat menjadi faktor yang menimbulkan tekanan
tersendiri
dalam
kehidupan
keluarga
sebagai
dampak
krisis
berkepanjangan sehngga menimbulkan tidak sedikit keluarga yang mengalami tekanan ekonomi. Tekanan ekonomi tersebut dapat disebabkan karena kehilangan pekerjaan, pendapatan rendah yang tidak mencukupi kebutuhan hidup, serta tidak seimbangnya asset dengan hutang. Kebutuhan hidup yang cukup bervariasi dari daya beli yang rendah dapat menimbulkan tekanan fisik maupun mental kepada anggota keluarga (Tati 2004). Kondisi keluarga yang memiliki pendapatan rendah dan kekurangan akan mengakibatkan tekanan ekonomi. Tekanan ekonomi dalam keluarga dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi
7
keluarganya seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan (Mistry & Lowe 2006 dalam Mistry et al. 2008) dan dapat juga diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan tambahan atau keinginan seperti makan bersama di luar dan rekreasi (Mistry et al. 2008). Tekanan ekonomi bersumber pada tiga hal yaitu rendahnya penghasilan, terbatasnya asset dan ketidakmampuan untuk membayar atau membeli kebutuhan yang diperlukan (Lorenz et al. 1991). Tekanan ekonomi berkorelasi dengan interaksi pasangan suami istri, baik itu berupa konflik maupun kehangatan dan kualitas perkawinan serta berhubungan dengan timbulnya gejala depresi orang tua sehingga dapat menimbulkan konflik dan perilaku kekerasan oleh orang tua terhadap anaknya (Yoder & Hoyt 2005). Sejak krisis ekonomi terjadi, proporsi jumlah penduduk miskin meningkat secara signifikan. Krisis ekonomi membawa dampak terhadap penurunan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Mardiharini 2005) Tekanan ekonomi keluarga meliputi kesulitan
ekonomi
subjektif
(objective economic pressure) dan kesulitan ekonomi subjektif (perceived of economic pressure) keluarga. Karakteristik kesulitan ekonomi keluarga objektif meliputi pendapatan per kapita, rasio utang dengan aset, status pekerjaan, kehilangan pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif antara tekanan ekonomi dengan kualitas perkawinan, pengasuhan anak, kecerdasan emosi, dan prestasi belajar anak. Semakin tinggi tekanan ekonomi keluarga, semakin rendah kualitas perkawinan, pengasuhan anak, kecerdasan ekonomi anak, dan prestasi belajar anak (Sunarti 2005 dalam Firdaus 2008). Strategi Koping Koping adalah sebuah strategi yang dapat membantu seseorang untuk mengurangi stress dan membantu menyelesaikan masalah. Perbedaan budaya mempengaruhi perbedaan strategi koping seseorang. Perlu diketahui bahwa strategi koping tidak dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif tanpa mempertimbangkan keadaan individu. Perilaku koping yang dilakukan oleh keluarga dapat berbeda- beda. Menurut Corbett (1988) dalam Anonim (2004), bentuk strategi koping yang berbeda didasarkan pada kondisi yang bermacam- macam, sering dikategorikan ke
8
dalam empat tingkatan berdasarkan kondisi yang berbeda. strategi koping yang dilakukan diantaranya adalah dengan :1) Adaptasi terhadap perubahan pola makan, seperti konsumsi pangan bergeser kepada konsumsi jagung sebagai pengganti beras, pengurangan porsi makan perhari, konsumsi makanan yang jarang dikonsumsi, mencari tambahan pendapatan sebagai buruh, dan meminjan uang dari keluarga lainnya; 2) Menjual aset- aset tidak produktif, perhiasan, meminjam kepada selain keluarga, pindah pekerjaan sementara waktu, atau mengurangi makan sepanjang hari; 3) Menjual tanah, hewan ternak dan asset produktif lainnya; dan 4) Migrasi secara permanen dan mencari bantuan pangan. Beberapa faktor berpengaruh terhadap pengambilan bentuk koping yang dilakukan oleh keluarga untuk mengahadapi kesulitan ekonomi. Strategi yang paling efektif dipilih keluarga dalam menyikapi dampak krisis adalah mengurangi pengeluaran pangan dan non pangan serta meningkatkan produktivitas usaha. Faktor yang secara nyata berpengaruh terhadap strategi yang dipilih keluarga adalah jumlah anggota keluarga dan tingkat pendapatan. Tekanan ekonomi juga memberikan pengaruh terhadap strategi koping. Semakin tinggi tekanan ekonomi, maka semakin meningkat juga strategi koping dengan mengurangi pengeluaran non pangan (Firdaus 2008). Perubahan pendapatan yang terjadi pada suatu keluarga akan sangat berpengaruh pada alokasi pengeluaran yang dilakukan oleh keluarga tersebut. Hal ini juga berpengaruh pada nilai- nilai dan tujuan yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Keluarga- keluarga yang memiliki tingkat pendapatan rendah cenderung untuk lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masa kini atau sekarang, sebaliknya pada keluarga dengan pendapatan tinggi akan lebih cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masa depan. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari bagaimana keluarga tersebut menggunakan pendapatan yang ada (Deacon & Firebaugh 1988). Perubahan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara akan memberikan dampak yang besar terhadap tenaga kerja di negara tersebut. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup berat dalam kehidupan keluarga seperti menurunkan tingkat stabilitas keluarga, menimbulkan ketidakharmonisan dalam hubungan
9
keluarga atau mengganggu komunikasi yang ada dalam suatu perkawinan (Voydanoff & Donnelly 1988 dalam Samon 2005). Strategi koping yang diadopsi oleh rumah tangga pasca krisis ekonomi dan sebagai dampak dari penurunan pendapatan riil adalah dengan mengurangi konsumsi ikan, daging dan makanan instan sehingga terjadi adanya peningkatan konsumsi makanan dengan bahan baku kedelai, seperti tahu dan tempe. Pengeluaran untuk non-makanan juga menurun secara nyata di daerah pedesaan dan perkotaan. Keluarga- keluarga di daerah perkotaan mengurangi pengeluaran untuk perumahan, sandang, transportasi, pendidikan, dan kegiatan sosial. Keluarga
mengurangi
pengeluaran
kesehatan
dengan
memilih
untuk
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang lebih murah. Strategi yang paling efektif dalam menyikapi dampak krisis, adalah mengurangi pengeluaran untuk makanan dan non - makanan dan meningkatkan produktivitas usaha (Mardiharini 2005). Kesejahteraan Keluarga Keluarga sejahtera dalam Undang- Undang No.10 tahun 1992 diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan Kesejahteraan menurut Sawidak (1985) merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari mengonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengonsumsi pendapatan tersebut, sedangkan menurut Park (2002) yang diacu dalam Rambe (2004) kesejahteraan ekonomi dari suatu keluarga biasanya didefinisikan sebagai tingkat kepuasan atau tingkat pemenuhan kebutuhan yang telah diperoleh dari rumah tangga. Secara umum, pengukuran tingkat kesejahteraan dapat dibedakan melalui dua pendekatan yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan objektif didefinisikan sebagai pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga yang diukur dengan rata- rata patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya, sementara kesejahteraan subjektif diukur dengan
10
tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain (Suandi 2007). Diener (2009) mendefinisikan kesejahteraan subjektif sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan seseorang atau keluarga sesuai dengan evaluasi subjektif terhadap kehidupan mereka. Evaluasi tersebut dapat berupa negatif maupun positif, mencakup di dalamnya
penilaian dan
perasaan tentang kepuasan hidup, minat dan keterlibatan, reaksi afektif seperti kegembiraan dan kesedihan karena suatu peristiwa, dan kepuasan dengan pekerjaan, hubungan perkawinan, kesehatan, rekreasi, makna dan tujuan hidup serta hal- hal penting lainnya. Diener & Biswas-Diener (2008) dalam Diener (2009) menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif memiliki hubungan dengan modal sosial. Keluarga- keluarga yang memiliki lebih banyak tetangga dan anggota keluarga cenderung memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi, dan keluarga- keluarga yang memiliki kesejahteraan lebih tinggi cenderung lebih dekat dan lebih mendukung hubungan-hubungan sosial daripada mereka yang memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih rendah. Pengukuran kesejahteraan dapat dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan. Secara nasional terdapat dua versi pengukuran kesejahteraan keluarga yaitu pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (Suandi 2007). Perumusan konsep kesejahteraan dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Hasil rumusan BPS mengemukakan bahwa sebuah keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila: 1. Seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari keluarga tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup masing-masing keluarga itu sendiri 2. Mampu menyediakan sarana untuk mengembangkan hidup sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. BPS mengukur tingkat kesejahteraan berdasarkan jumlah penduduk miskin. Pengukuran penduduk miskin ini dilakukan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi
11
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS 2007). Menurut BPS (2008), komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk komponen pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan Indikator kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pangan, dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein. 2. Sandang, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. 3. Perumahan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air. 4. Pendidikan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku). 5. Kesehatan, dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obatobatan. Perumusan konsep kesejahteraan yang dikemukakan oleh BKKBN tentang kesejahteraan keluarga adalah: 1. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya baik kebutuhan sandang, pangan, perumahan, sosial, dan agama. 2. Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dengan jumlah anggota keluarga. 3. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga, kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk di samping terpenuhi kebutuhan pokoknya. BKKBN mengidentifikasi kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator ekonomi dan bukan ekonomi yang mencakup: kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, dan kesehatan), sosial psikologis (pendidikan, rekreasi, transportasi,
12
interaksi sosial, internal dan eksternal), kebutuhan pengembangan (tabungan, pendidikan khusus/kejuruan dan akses informasi). Berdasarkan indikatorindikator tersebut BKKBN membagi kriteria keluarga ke dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III-Plus). Nelayan Ditjen Perikanan (2002), diacu dalam Satria (2002) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu atau kapal tidak dikatagorikan sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap disebut sebagai nelayan meskipun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Sama halnya dengan penangkapan ikan, pada kegiatan pembudidayaan, orang yang disebut sebagai petani ikan adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja. Selanjutnya Ditjen Perikanan (2002), diacu dalam Satria (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan, yaitu: 1. Nelayan/petani ikan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/ tanaman air. 2. Nelayan/ petani ikan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi mpenangkapan/ pemeliharaan ikan/ binatang air lainnya/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan/ pemeliharaan, nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain. 3. Nelayan/ petani ikan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu
kerjanya
digunakan
untuk
melakukan
pekerjaan
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/ tanaman air.
operasi
13
Imron (2003) diacu dalam Mulyadi (2007) membagi nelayan ke dalam beberapa kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiaannya tidak melibatkan orang lain. Mubyarto et al. (1984) mengatakan bahwa nelayan dapat dibedakan berdasarkan kelas ekonominya menjadi dua yaitu nelayan kelompok kaya dan kaya sekali serta nelayan yang termasuk dalam kelompok ekonomi sedang, miskin dan miskin sekali. Kelompok kedua ini mempunyai ciri-ciri yaitu bertempat tinggal di tepi pantai dan umumnya membentuk suatu perkampungan tersendiri yang sering disebut perkampungan nelayan, serta memiliki mata pencaharian utama dan terpenting pada usaha perikanan. Nelayan terbagi ke dalam dua kategori, yaitu nelayan penggarap dan nelayan pemilik atau disebut patron klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh risiko dan ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatannya karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi (Eidman 1991 diacu dalam Anonim 2009). Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka (Satria et al. 2002). Tak heran jika dalam stratifikasi sosial, kaum nelayan menjadi penghuni kelas terbawah dengan kemiskinan dan keterbelakangan yang dihadapinya, meski mereka menjadi penyumbang lebih dari 90 persen produksi perikanan nasional. Hingga saat ini, aktivitas ekonomi perikanan yang sangat didominasi oleh nelayan kecil dan tradisional dengan tingkat pendidikan yang rendah sehingga tingkat teknologi, inovasi dan penyerapan informasi menjadi rendah, produktivitasnya kemudian menjadi rendah (Damanhuri 2000).
14
Masyarakat pesisir memiliki kehidupan yang khas, yang dihadapkan langsung dengan keadaan ekosistem yang keras, dan sumberdaya kehidupan yang bergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut (SDP). Masyarakat pesisir,
khususnya
nelayan,
masih terbelit
oleh persoalan kemiskinan,
keterbelakangan, dan kesulitan mengakses berbagai layanan publik. Terdapat persoalan tertentu yang terkait dengan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi sehingga masyarakat di kawasan pesisir masih tertinggal (Hanson, 1984, diacu dalam Amanah et al. 2005).