4
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Alasan Perkawinan Turner dan Helms (1986) menyebutkan lima alasan mengapa seseorang mau menikah, yaitu: 1. Komitmen Banyak orang mendambakan bahwa suatu hari seseorang yang dirasa tepat mau mendedikasikan dirinya hidup berdua selamanya tanpa syarat. Dalam hal ini perkawinan merupakan bentuk ekspresi dedikasi sepenuhnya dan upacara perkawinan itu sendiri merupakan simbol penting yang menunjukkan komitmen yang akan dijalani. 2. One to One Relationship Banyak individu yang mendambakan keadaan dimana mereka akan hidup bersama dengan orang yang sudi berbagi dukungan emosional, baik berupa kasih sayang, penghormatan, kepercayaan dan keintiman. Belajar bagaimana caranya mengikat diri dengan satu orang saja dalam waktu yang lama dapat merupakan suatu pekerjaan berat bagi pasangan muda (Conger 1981, diacu dalam Turner dan Helms 1986). 3. Hubungan Suami Isteri dan Keterbukaan Perkawinan merupakan usaha dalam menghindari kesendirian dan isolasi sosial. Perkawinan menawarkan sebuah hubungan dan keterbukaan eksklusif antara dua jiwa yang sendirian. Sebuah penelitian menyatakan bahwa keterbukaan antara suami isteri merupakan kunci keberhasilan dalam kehidupan perkawinan. Ketika kebutuhan jasmani maupun rohani terpenuhi dan saling terbuka, pasangan merasa perkawinannya mengalami peningkatan kualitas dengan perasaan puas yang bertambah pula (Ammons dan Stinnet, 1980, diacu dalam Turner dan Helms 1986). 4. Cinta Perkawinan menawarkan pemenuhan kebutuhan dasar akan cinta. Suatu kehidupan dirasa lebih bermakna ketika kehidupan tersebut memberikan manfaat besar bagi orang lain. Banyak orang yang mendambakan bertemu
5
dengan seseorang dengan cinta tanpa syarat dan berbagi perasaan cinta dengannya. 5. Kebaha giaan Banyak orang yang menyimpulkan bahwa perkawinan merupakan sumber kebahagiaan dan pencapaian tertinggi kehidupan. Namun perlu dipahami bahwa sebenarnya kebahagiaan dalam perkawinan tergantung dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (dalam hal ini suami dan isteri) dan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain dalam sebuah ikatan yang permanen. Pernikahan adalah anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia. Karena itulah, tidak seharusnya seseorang memutuskan untuk menikah dalam kegelisahan atau ketidaktenangan batin. Namun pada kenyataannya, banyak kasus perceraian yang dilatari keresahan akibat hidup sendiri (single). Keresahan seperti inilah yang justru menarik mereka pada alasan-alasan pernikahan yang salah. Angelis 2005, diacu dalam Brennen 2005a menjabarkan alasan-alasan pernikahan yang salah: 1. Tekanan (pressure) Biasanya tekanan ini dipengaruhi oleh teman-teman, keluarga atau bahkan diri sendiri, yang memberi pesan bahwa dia harus terlibat dalam sebuah hubungan atau ada sesuatu yang sala h dalam dirinya. Pesan yang negatif ini biasanya muncul pada saat: a) dia satu-satunya yang belum menikah diantara teman-temannya, b) umur menginjak 30 tahun namun masih berstatus single , c) desakan dari keluarga, d) baru saja bercerai. 2. Kesepian dan putus asa (Loneliness and Desperation) Angelis banyak menemukan banyak individu yang menikah karena kesepian dan putus asa. Orang-orang yang merasa sepi dan putus asa seperti ini akan mengalami perasaan yang sama pula setelah menikah. Beberapa ada yang mengalami kekosongan emosional sehingga benarbenar putus asa, berharap siapapun akan menikahinya. Namun pada akhirnya orang-orang tersebut berakhir pada perceraian juga. 3. Keinginan seksual yang tinggi (sexual hunger) Pernikahan di Indonesia melegalkan persetubuhan, sehingga mereka merasa harus menikah dahulu sebelum memenuhi kebutuhan seksualnya.
6
Ironisnya orang-orang seperti ini hanya merasakan indahnya hidup menikah—dan hubungan seksual— pada awal-awal pernikahan. Mereka tidak menyadari ada komitmen dan tanggung jawab yang terkandung di dalamnya, dan hal inilah yang menjerumuskan orang-orang seperti ini. 4. Kekacauan hidup (distraction from your own life) Angelis menemukan kasus dimana seseorang menikah bukan karena telah menemukan pasangan yang tepat, tetapi karena ingin membebaskan diri dari kehidupannya sendiri. Kebosanan dan ketidakpuasan terhadap kehidupannya sendiri membawa dirinya pada keingintahuan, apakah dia akan merasakan yang sama jika terlibat dalam hubungan cinta? Perasaan seperti ini mendorong individu tersebut mencoba untuk menikah dan membuktikannya sendiri. 5. Menolak untuk dewasa (to avoid growing up ) Di Amerika Serikat—dan mungkin juga di Indonesia—fenomena seperti ini banyak sekali dijumpai. Banyak orang-orang yang menikah karena ingin ‘dilindungi dan diperhatikan’. Orang-orang ini biasanya sangat bergantung pada pasangan mereka. Ciri-cirinya: a) selisih usia yang berbeda jauh dengan pasangan, b) perbedaan yang kontras dari segi finansial dan kesuksesan, c) perbedaan dari segi pengalaman hidup dengan pasangan. 6. Rasa bersalah (guilt) Individu tersebut menerima pinangan dari pasangannya karena merasa bersalah tidak bisa mencintainya sebesar cinta pasangannya. Selain rasa bersalah, orang-orang seperti ini juga dilingkupi perasaan tidak tega jika membayangkan apa yang kira -kira yang akan terjadi jika mereka memutuskan hubungan dengan pasangannya itu. Namun yang tidak mereka sadari adalah, keputusan untuk tidak putus karena kasihan dan rasa bersalah tidak menghasilkan konklusi apapun. Sebaliknya, mereka merusak masa depan mereka sendiri.
7
7. Mengisi kekosongan emosional dan kekosongan spiritual (filling up emotional and spiritual emptiness) Angelis dengan tegas menyatakan bahwa jika kekosongan emosional dan kekosongan spiritual dijadikan alasan untuk menikah, kemungkinan besar mereka tidak bahagia bahkan setelah menikah nanti. Perkawinan Hill, Pepland dan Ruben 1976, diacu dalam Bird dan Melville 1994 mengemukakan bahwa persamaan tingkat pendidikan, usia—paling tidak rentang usianya tidak berbeda jauh, penampilan fisik (attractiveness) dan segi intelegensi mempengaruhi daya tahan perkawinan tersebut. Meskipun masing-masing pihak, baik suami maupun isteri, tidak mengharapkan pasangannya identik sama dengan dirinya, namun justru kesamaan-kesamaan kecil itulah yang akan membuat pernikahan menjadi langgeng dan harmonis. Selain itu kesadaran masing-masing untuk menghabiskan banyak waktu bersama pasangan, berbagi tugas (dalam hal ini pekerjaan rumah) dan pengambilan keputusan bersama memiliki peluang awet daripada pasangan yang tidak melakukannya (Berscheid, Snyder dan Omotu 1989, diacu dalam Bird dan Melville 1994). Saling dukung dari pasangan mendapat bagian penting dalam kelanggengan rumah tangga. Kepuasan dalam hubungan suami isteri—pasangan adalah pendengar yang baik, simpatik dan peduli—menciptakan pengaruh yang positif terhadap pernikahan (Davis dan Oathout 1987, diacu dalam Bird dan Melville 1994). Perkawinan adalah ikatan yang menyatukan dua orang yang memiliki perbedaan pandangan, prinsip bahkan tingkah laku. Jadi dapat juga dikatakan bahwa perbedaan tidak dapat terhindarkan dalam perkawinan. Namun pertanyaan selanjutnya adalah apakah perbedaan ini dibiarkan saja dan kemudian berkembang menjadi alasan untuk bercerai? Bradburry dan Fincham 1990, diacu dalam Bird da n Melville 1994 menyebutkan bahwa sudah selayaknya masing-masing, baik suami maupun isteri, menyadari perbedaan tersebut di dalam diri keduanya. Dan karena itu sepatutnya masing-masing menghargai perbedaan prinsip pasangannya. Berpikir positif dan
8
tidak me naruh kecurigaan terhadap pasangan dapat meningkatkan kualitas hidup pernikahan. Shavar
dan
Hazar
1998,
diacu
dalam
Bird
dan
Melville
1994
mengklasifikasikan pernikahan berdasarkan ikatan antara suami dan isteri, yaitu: 1. Secure (aman) dengan ciri-ciri: mudah dekat dengan pasangan, nyaman bergantung
dengan
pasangan,
dan
tidak
khawatir
akan
tersisih
(abandoned). 2. Avoidant (penghindaran) dengan ciri-ciri: tidak nyaman dengan pasangan, susah dipercaya maupun mempercayai, khawatir jika pasangan terlalu dekat dengan orang lain, menuntut pasangannya supaya lebih dekat dan intens lebih dari kemampuannya. 3. Anxious/Ambivalent (pencemas) dengan ciri-ciri: jengah atau segan untuk terlalu dekat dengan pasangan, khawatir jika pasangan tidak mencintai dan mau bersama dengannya namun takut terhadap komitmen. Pengambilan Keputusan Blood dan Wolfe, diacu dalam Sajogyo 1983, diacu dalam Agustiani 1988 menyatakan bahwa selain faktor kebudayaan, faktor sumber daya pribadi juga sangat menentukan alokasi kekuasaan yang tercermin dalam keputusan yang diambil dalam keluarga. Turner dan Helms (1986) membagi jenis hubungan dalam perkawinan berdasarkan alokasi kekuasaan dalam rumah tangga, yaitu: 1. Patriarkal, dimana suami berperan sebagai kepala rumah tangga. Meskipun isteri memiliki otoritas dalam bidang tertentu, seperti dalam hal pengasuhan anak, namun secara umum suamilah yang memegang kuasa dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Perkawinan patriarkal ini banyak dijumpai dalam berbagai budaya Timur khususnya di indonesia. 2. Matriar kal, dengan peran utama pengambil keputusan didominasi wanita. Selain merupakan bagian dari budaya, misalnya pada suku Minangkabau, Turner dan Helms (1986) menyatakan bahwa budaya matriarkal dapat ditemukan pada golongan ekonomi kelas rendah. Dalam rumah tangga ini peran suami dinyatakan hampir tidak ada, kemungkinan karena suami tidak ada atau meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama.
9
3. Egalitarian merupakan jenis yang kontemporer karena menghendaki kesamaan hak dan kewajiban antara suami dan isteri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga. Isteri dan suami secara bersama-sama mengatur keuangan, menentukan jenjang pendidikan anak dan urusan rumah tangga lainnya. Keputusan tentang siapa yang berkuasa dalam rumah tangga pada umumnya didasarkan pada siapa yang mencari nafkah atau penghasilan siapa yang lebih tinggi. Blumstein dan Schwartz 1983, diacu dalam Saxton 1993 menemukan bahwa dalam rumah tangga berlaku semacam pemahaman tidak tertulis bahwa semakin banyak uang yang dihas ilkan akan semakin dihargai, status naik dan memiliki kekuatan lebih dalam mengontrol pasangan. Pada rumah tangga dengan isteri tidak bekerja, kekuatan mengontrol terpusat pada suami. Isteri tidak bekerja pasrah suaminya berwewenang penuh dalam kebutuhannya. Isteri bekerja dianggap mempunyai kecenderungan tidak begitu menghormati suami, bahkan ada kecenderungan meremehkan. Tidak heran dalam beberapa kasus, suami tidak menginginkan isterinya bekerja. Mereka tidak mau kehilangan wibawa dan kekuatan mengontrol sebagai kepala rumah tangga. Meskipun demikian ditemukan keadaan bahwa suami tidak kekurangan wibawa dan isteri tetap tunduk pada suami meskipun dari segi pendapatan isteri sama atau lebih besar daripada pendapatan suami. Ada juga yang menunjukkan bahwa suami yang mempunyai kekuatan daripada isteri cenderung lebih bersemangat menambah pendapatan. Hal yang senada diungkapkan Tjok Isteri 1986, diacu dalam Agustiani 1988 bahwa besarnya peranan wanita di dalam dan di luar rumah tangga tidak selalu sejalan dengan besarnya kekuasaan wanita di dalam maupun di luar rumah tangga. Fungsi Keluarga Delapan fungsi keluarga (BKKBN, 1998) menurut PP Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan Keluarga Sejahtera yaitu: 1. Fungsi Keagamaan Fungsi keagamaan dalam keluarga dan anggotanya didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wadah persemaian nilai-
10
nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan taqwa kepada tuhan Yang Maha Esa. 2. Fungsi Sosial budaya Fungsi sosial budaya memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan. 3. Fungsi Cinta Kasih Fungsi cinta kasih dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dan anak, suami dengan isteri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir batin. 4. Fungsi Melindungi Fungsi melindungi dimaks udkan untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan. 5. Fungsi Reproduksi Fungsi reproduksi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa. 6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan Fungsi sosialisasi dan pendidikan memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaisan dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. 7. Fungsi Ekonomi Fungsi ekonomi menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. 8. Fungsi Pembinaan Lingkungan Fungsi pembinaan lingkungan memberikan kepada setiap keluarga untuk mampu menempatkan diri secara serasi selaras, seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
11
Mac Iver dan Page 1952, diacu dalam Khairuddin 1985 mengatakan bahwa fungsi-fungsi dasar keluarga modern adalah: 1. Prokreasi dan memperhatikan seta membesarkan anak 2. Kepuasan yang lebih stabil dari kebutuhan seks masing-masing pasangan 3. Bagian dari rumah tangga, dengan gabungan materialnya. 4. Kebudayaan 5. Kasih sayang Mac Iver dan Page 1952, diacu dalam Khairuddin 1985 juga menyatakan bahwa kemunduran dalam fungsi dapat diukur melalui perbandingan meratanya aktivitas di luar kota dengan meratanya aktivitas di kota, dimana praktek-praktek tradisional berubah lebih lambat di luar kota daripada di kota. Perubahanperubahan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Perubahan pada fungsi ekonomi Sebelum revolusi industri, pembuatan barang-barang dan produksi serta konsumsi makanan dilakukan semuanya di dalam keluarga. Namun sekarang pabrik-pabrik telah mengambil alih segala produksi barangbarang. Bukan itu saja, berdasarkan data 1939-1950 (Khairuddin 1985) di Amerika Serikat keluarga -keluarga dan individu telah berkurang makan di rumah dan lebih banyak makan di restoran. Diperkirakan fenomena ini masih akan terus berlanjut sampai saat ini. Selain itu, teknologi telah memberikan pengaruh besar terhadap kebiasankebiasaan dalam rumah tangga. Alat-alat elektronik, seperti oven, kulkas, penghisap debu, seterika listrik dan sebagainya, bermunculan untuk meringankan pekerjaan rumah tangga. 2. Perubahan pada fungsi proteksi Dewasa ini fungsi proteksi dalam keluarga mulai diambil alih oleh pemerintah dan lembaga-lembaga. Orang-orang muda menyerahkan anggota keluarganya yang sudah tua ke panti jompo, dan orangtua telah menyerahkan tanggung jawab jaminan bagi anak-anak mereka di tangan lembaga dan pemerintahan. Tanggung jawab ini dapat berupa dana pensiun, asuransi jiwa dan ganti rugi kecelakaan.
12
3. Perubahan pada fungsi pendidikan Terdapat perkembangan bahwa lembaga pendidikan dapat membantu keluarga dalam memperbaiki perkembangan fisik, mental dan emosional anak. Tidak heran jika playgroup dan taman kanak-kanak semakin menjamur. Tingginya permintaan terhadap lembaga -lembaga pendidikan seperti ini menunjukkan bahwa tanggung jawab keluarga sekarang dalam pendidikan dan pendidikan moral tidaklah sebesar tanggung jawab keluarga di masa lalu, dimana pendidikan pertama anak haruslah berasal dari orangtua. 4. Perubahan pada fungsi rekreasi Sebelumnya rekreasi keluarga lebih dipusatkan di dalam rumah, namun seturut perubahan jaman sebagian besar berkembang di luar rumah. Berbagai sarana rekreasi—spa, pusat kebugaran, salon, kolam renang, lapangan olah raga , taman hiburan, tempat rekreasi—dibangun untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan
tersebut.
Selain
itu
muncul
pula
kecenderungan bahwa rekreasi dilakukan secara individu, tidak lagi bersama -sama dengan keluarga. Anak-anak biasanya pergi dengan temanteman sebayanya, sedangkan orangtua dengan rekan-rekan sekantornya. Satu lagi fenomena rekreasi yang tidak bisa dihiraukan adalah televisi. Keluarga yang memilih diam di rumah bukan berarti komunikasi diantara mereka terjalin dengan baik. Keberadaan televisi yang memberi informasi secara satu arah justru mengurangi peluang berkomunikasi antar anggota keluarga. 5. Perubahan pada fungsi agama Tingkah laku religius masyarakat modern lebih bervariasi jenisnya dan tidak lagi berpusat pada tempat-tempat ibadah agama. Ketenangan spiritual bisa ditemukan melalui aktivitas yoga dan perkumpulan spiritual. Belum lagi isu terapi dengan batu-batuan dan aromaterapi yang perlahanlahan menggantikan kegiatan yang bersifat agama.
13
Rogers (1960) menjelaskan perubahan fungsi keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud: 1. Pergeseran fungsi keluarga: fungsi produksi, melindungi, mendidik dan fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi di luar keluarga . Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut. 2. Perubahan otoritas dalam rumah tangga : otoritas ayah sebagai pengambil keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentasi jumlah wanita bekerja. 3. Perubahan dalam pencarian pasangan: dewasa ini romantisme menjadi inti dalam pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan bertemu sekali saja sebelum pernikahan. 4. Perubahan sikap terhadap perceraian: dulu perceraian dianggap kotor dan dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-pasangan yang merasa tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian. Akibatnya angka perceraian meningkat drastis Tidak dapat dipungkiri pula remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat. 5. Perlakuan terhadap kaum tua : kaum tua atau yang sudah jompo kurang dihormati lagi. Kecenderungan keluarga muda saat ini memilih jauh dari tempat tinggal orangtua dan mertuanya. 6. Perubahan jumlah dan ukuran keluarga : rata-rata ukuran keluarga sejak 1800
menurun
akibat
peningkatan
metode
pengaturan
kelahiran,
pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan. 7. Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan orangtua. Dewasa ini individualisme justru yang diprioritaskan ketimbang familisme.
14
Lebih lanjut lagi Rogers menyebutkan empat alasan perubahan keluarga yaitu: (1) industrialisasi, (2) urbanisasi, (3) anak tidak lagi menjadi aset keluarga, (4) alat-alat rumah tangga modern. Ketegangan Suami Isteri Saxton (1990) menyebutkan beberapa bentuk ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami isteri yang mengarah pada konflik: (1) Frustrasi Frustrasi didefinisikan sebagai bentuk emosi yang dialami saat keinginan dihalangi atau perasaan puas yang terpasung. Frustrasi dalam hidup berpasangan terutama dialami oleh pihak yang paling tertekan karena situasi tersebut. Contoh yang diberikan Saxton adalah kasus dimana suami menginginkan hubungan seks sedangkan isteri menolak. Sebenarnya si isteri tidak menginginkan seks didasari oleh kelelahan fisik atau preferensi kegiatan lain,
menonton
televisi
misalnya.
Namun
sang
suami
malah
menanggapinya sebagai penolakan terhadap kebutuhan biologisnya. Jika suami tidak mengubah persepsinya mengenai alasan isteri menolak berhubungan seks, suami kemungkinan besar akan mengalami frustrasi dan kesalahan menanggapi maksud isterinya. Tak jarang penolakan berhubungan seks disalahartikan sebagai ‘tidak cinta lagi’. Saxton melihat hal ini sebagai lubang-lubang kecil menuju perceraian. (2) Penolakan dan Pengkhianatan Sering ditemui pada keluarga muda yang beranjak pada tahun-tahun berat pernikahan. Romantisme masa-masa berpacaran pelan-pelan tergantikan oleh kesibukan dan konsentrasi pada urusan mencari nafkah keluarga dan anak. Tidak heran ada perasaan tersisihkan dan dilupakan oleh pasangannya. Orang yang merasa dirinya ditolak oleh pasangannya biasanya melancarkan balasan, bisa berupa sikap maupun kata-kata. Demikian pula halnya pada perasaan dikhianati pasangannya. Kekosongan dan berkurangnya komunikasi memicu pertengkaran suami dan isteri. Tak jarang ada yang memutuskan meninggalkan pasangannya (minggat) sebagai bentuk serangan atas ketersisihan yang dirasakannya.
15
(3) Berkurangnya Kepercayaan Saat seseorang dalam hidup berpasangan kepercayaannya berkurang terhadap pasangannya umumnya merambat pada kebinasaan hubungan. Hal ini cukup beralasan sebab kepercayaan menyangkut kesadaran membina keharmonisan dengan pasangan dalam bentuk peningkatan keintiman satu sama lain. Menurunnya kepercayaan (lowered self -esteem) dapat ditanggulangi dengan komunikasi yang jujur dan terbuka antara kedua belah pihak. (4) Displacement Saxton menemukan kasus bahwa respondennya pernah bertengkar dengan pasangannya dan tidak bertegur sapa selama dua hari tanpa alasan yang jelas. Saxton menyebutnya sebagai displacement, diperkirakan lahir dari perasaan yang terpendam sejak lama yang mendadak meledak sebagai klimaks. Menurutnya, masalah yang menjadi alasan pertengkaran cenderung sepele bahkan ada yang melenceng dari persoalan semula. (5) Psychological Games Psychological games didefinisikan sebagai interaksi dimana seseorang menyerang orang lain dalam perdebatan demi sebuah kemenangan terselubung. Berne 1967, diacu dalam Saxton 1990 berpendapat bahwa perasaan menang itu didapat saat pasangannya mengaku tunduk atas argumen
yang
dikeluarkannya.
Dalam
membuat
keputusan
pola
psychological games ini sangat berbahaya, sebab keputusan yang diambil cenderung tidak melihat pada masalah yang sedang diala mi, melainkan sejauh mana lawan berdebat baru mengaku kalah. Bird dan Melville (1994) menyebutkan tiga tanda-tanda berbahaya dalam perkawinan: 1. Komunikasi dengan pasangan berkurang a) Waktu bersama dengan pasangan sangat sedikit. b) Lebih memilih untuk menghabiskan waktu luang dengan teman-teman daripada dengan pasangan. 2. Keinginan untuk mengontrol pasangan a) Mencoba untuk menjadi dominan dalam pengambilan keputusan.
16
b) Pasangan gagal untuk berkomunikasi secara efektif mengenai masalah kontrol dalam hubungan mereka dan masalah ketergantungan dengan pasangan karena salah satu pihak—dalam hal ini yang dikontrol oleh pasangannya—memilih untuk menutup diri dan pesimis dengan rumah tangga yang mereka jalani (Holmes dan Rempel 1989, diacu dalam Bird dan Melville 1994). 3. Cembur u Parrot dan Smith 1987, diacu dalam Bird dan Melville 1994 menyatakan bahwa ketika individu bereaksi dengan keraguan, ketidakpercayaan dan kecurigaan karena ketakutan pasangan akan meninggalkannya, perasaan kesepian, dikhianati dan ketidakpercayaan akan hadir bersama -sama dengan perasaan cemburu. Bird dan Melville (1994) sendiri tidak menyalahkan perasaan cemburu tersebut. Sebaliknya, untuk memperjelas sejauh mana cemburu tersebut dapat mengarah pada konflik rumah tangga, mereka mengklasifikasikan kecemburuan tersebut menjadi dua jenis yaitu: 1. Normal jealousy (cemburu yang normal), adalah saat individu merasa kecewa dengan salah satu isu dalam hubungan mereka. Biasanya reaksi atas kecemburuan ini adalah dengan membicarakannya langsung dengan pasangan dan mencoba mencari jalan keluarnya bersama-sama. 2. Pathological jealousy (cemburu yang berbahaya), adalah kekecewaan terhadap pasangan yang dilatari oleh masalah yang tidak memiliki bukti atau malah masalah yang tidak ada sama sekali. Beberapa kasus membuktikan ba hwa terkadang kecemburuan itu sendiri muncul dari individu itu sendiri, yang merasa bahwa pasangan bersalah namun tanpa bukti atau argumen yang tidak berdasar. Kecemburuan jenis inilah yang membawa hubungan suami isteri ke arah pertengkaran bahkan perceraian. Brandon 1980, diacu dalam Bird dan Melville 1994 mengemukakan sebuah teori menarik mengenai alasan dasar ketidakharmonisan rumah tangga yang sering tidak disadari oleh pihak suami maupun isteri, yaitu kepercayaan diri. Individu yang memiliki kepercaya an diri tinggi mempunyai kemungkinan untuk menjalin hubungan yang intim dengan pasangannya. Hal ini disebabkan oleh kemampuan
17
individu tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi kasih sayang dua arah dan juga mampu untuk menjadi pendukung pasangannya. Berbeda sekali dengan individu yang memiliki kepercayaan diri rendah, dimana dia cenderung untuk bergantung dengan pasangannya karena memiliki kebutuhan akan kasih sayang dan ingin diperhatikan oleh pasangannya (Dion dan Dion 1988, diacu dalam Bird dan Melville 1994). Hal senada juga diungkapkan oleh Crawford dan Unger (2000) bahwa perasaan tersisih dan cemburu kerap dirasakan terhadap pasangan karena dirinya tidak memiliki cukup kepercayaan diri yang membuat dirinya layak merasa layak dicintai dan dipertahankan oleh pasangan. Pengkhianatan terhadap pasangan ternyata tidak sesederhana yang dikira selama ini. Dalam sebuah survei majalah Cosmopolitan Australia terhadap 1000 orang responden, ditemukan beberapa kesimpulan mengenai pengkhianatan. 47% dari total responden menganggap bahwa berpegangan tangan sudah termasuk pengkhianatan; 58% dari total responden menyatakan bahwa cyber-sex 1 adalah jenis pengkhianatan yang sama buruknya dengan hubungan seks dengan orang lain; 69% dari total responden memilih untuk tetap setia meskipun situasi memungkinkan untuk berkhianat tanpa ketahuan pasangan; dan 58% memilih untuk balas berselingkuh jika pasangan berkhianat. Meskipun survei di atas tidak bisa dijadikan patokan mengenai gambaran kehidupan berpasangan yang sebenarnya, namun bisa dikatakan bahwa pengkhianatan adalah isu yang tidak bisa diremehkan. Christensen 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001 membedakan alasan perselingkuhan berdasarkan gender: 1. Pria a) Menurut hasil penelitian The Wellcome Trust (UK) ditemukan bahwa pria yang kecanduan alkohol memiliki kecenderungan untuk menganggap bahwa berselingkuh adalah hal yang lumrah. b) Pria yang berstatus hidup mapan dan sukses biasanya memiliki keberanian lebih, yang mendorong ketertarikan untuk hal-hal beresiko tinggi seperti perselingkuhan. 1
cyber -sex : individu bertemu dengan seseorang di chatroom dan bertukar cerita erotis yang dimaksud untuk memancing gairah seksualnya satu sama lain.
18
c) Pria yang tinggal di daerah perkotaan (urban) memiliki kemungkinan untuk berselingkuh yang lebih tinggi daripada pria yang tinggal di daerah pedesaan (rural). Teori ini didasarkan oleh hasil penelitian University of Chicago 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001. d) Pria yang memiliki jam kerja sampai tengah malam punya alasan yang kuat
untuk
merahasiakan
keberadaannya.
Hal
ini
memperbesar
kesempatan untuk berselingkuh (McKechnie 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001). 2. Wanita a) Wanita memiliki kebutuhan emosional yang lebih tinggi daripada pria, karena itu kondisi kesepian mendorongnya untuk berselingkuh di belakang pasangannya (Block 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001). b) Wanita yang memiliki sifat narsistik—cinta pada diri sendiri— berselingkuh karena kebutuhannya untuk dipuja dan dikagumi. c) Wanita yang terobsesi dengan kekuatan untuk mengontol keadaan (mempunyai keinginan mendominasi yang besar) sangat memungkinkan untuk berselingkuh. d) Seperti halnya pria, beberapa wanita memiliki karakter yang senang bermain -main dengan resiko dan bahaya menganggap perselingkuhan sebagai tantangan tersendiri (Christensen 2001, diacu dalam Keyishian dan Goins 2001) Lalu bagaimana cara untuk mendeteksi pasangan yang berselingkuh? Berikut adalah ciri-ciri seseorang yang berselingkuh berdasarkan artikel dalam Keyishian dan Goins (2001) dan Colon (2004): 1. Mulai mengacuhkan pasangan. Dari hari ke hari muncul jarak yang nyata antara dirinya dan pasangan. Jarak ini bisa saja dengan membiasakan diri dengan kegiatan baru yang tidak ada hubungannya dengan pasangan. Dengan begitu dia dapat dengan mudah berselingkuh tanpa harus takut ketahuan oleh pasangan. 2. Membuat janji-janji kosong terhadap pasangannya, yang bisa saja berupa upaya meyakinkan pasanga n supaya lain kali pulang tepat waktu dan sebagainya, dan ternyata di kemudian hari janji ini tidak terlaksana.
19
3. Peduli terhadap penampilan. Tanda-tandanya bisa berupa frekuensi membeli pakaian baru dalam sebulan atau tampil lebih wangi dan rapi. 4. Sering me ngkritik pasangannya. Sikapnya jadi lebih menjengkelkan daripada yang biasanya, sebab ini gejala-gejala untuk menutupi rasa bersalahnya atas perselingkuhan yang dijalani. 5. Menuduh pasangannya berselingkuh. Gejala overprotektif yang mendadak ini dikarenakan oleh perang batin yang dia rasakan selama berselingkuh sehingga dia seakan-akan melihat ketidakjujuran yang sama pada diri pasangannya. 6. Gelagat menerima telepon dari orang yang tidak dikenal saat bersama dengan pasangan. Dia mengawasi pasangan saat menerima telepon, atau bisa juga dengan cara menghindar dan pergi ke tempat yang lebih aman dengan alasan privasi. 7. Pengeluaran yang tidak sewajarnya. Beberapa kali alokasi uang untuk jumlah yang cukup besar tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan pasangannya. Karena itu pasangan perlu sesekali mengecek pengeluaran suami, baik kontan maupun dari tagihan kartu kredit yang dibebankan setiap bulannya. 8. Menghujani pasangan dengan banyak hadiah. Ini adalah salah satu upaya untuk mengurangi rasa bersalah dalam dirinya. 9. Menjauhkan pasangan dari kegiatan-kegiatan di luar jam kerja, seperti pesta kantor dan sejenisnya, dengan berbagai alasan yang kadang-kadang tidak rasional. Gelagat ini umumnya ditemui pada kasus perselingkuhan dengan rekan kerja. 10. Sering berbohong. Hal ini tak dapat dihindari sebab hanya dengan berbohonglah rahasia perselingkuhan tidak dapat dibongkar. Konflik Skolnick dan Skolnick (1983) menjabarkan lima jenis pernikahan berdasarkan sikap terhadap pasangan dan cara menghadapi konflik: 1. Conflict-habituated (terbiasa dengan konflik) a) Banyak konflik dan ketegangan di dalam pernikahan jenis ini walaupun secara umum bisa dikontrol.
20
b) Pertengkaran bersifat pribadi—antara suami dan isteri saja, mengomel dan mengungkit-ungkit masa lalu. c) Pertengkaran sebisa mungkin diketahui oleh anak-anak dan keluarga dekat, meskipun yang terjadi adalah sebaliknya. d) Ada semacam pengertian diantara suami dan isteri yang menganggap bahwa ketidakcocokan, konflik dan ketegangan adalah bumbubumbu pernikahan yang sewajarnya ada dalam rumah tangga. Malah beberapa menganggap bahwa konflik adalah pernyataan dari kepedulian dari pasangan. 2. Devitalized (rasa cinta yang perlahan-lahan mati) a) Awal-awal tahun pernikahan, pasangan tergila-gila satu sama lain, saling mencintai, menikmati kehidupan seks yang baik dan memiliki keintiman dengan pasangan. b) Seiring perjalanan pernikahan mereka, waktu untuk bersama pun berkurang, frekuensi berhubungan seks pun menurun. c) Kebersamaan dianggap sebagai keterpaksaan (duty time). d) Jenis pernikahan ini umumnya mengalami konflik yang sedikit, namun sampai pernikahan berakhir baik suami maupun isteri bersikap apatis dan masa bodoh. e) Kebiasaan lain pernikahan jenis devitalized ini adalah suka membanding-bandingkan kehidupan rumah tangganya dengan pasangan lain. 3. Passive-Congenial (pasif tapi cocok) a) Memiliki banyak kesamaan dengan pasangan. b) Memiliki kesamaan kesukaan dan aktivitas yang diminati dengan pasangan. c) Konflik minim. d) Hanya sedikit perhatian yang bisa mereka curahkan dengan pasangannya
sebab
gaya
hubungan
passive-congenial
ini
mengarahkan keduanya untuk lebih intens menyibukkan diri dengan kegiatan untuk masyarakat di luar rumah.
21
4. The vital (cinta yang membara) a) Pasangan melakukan kegiatan hampir secara bersama-sama. b) Antara pasangan saling mengisi dan menjadi sama-sama siap terlibat menjadi bagian yang penting bagi kehidupan pasangannya. c) Kelemahan the vital adalah konflik yang dialami pasangan biasanya seputar hal-hal penting bagi mereka berdua. 5. The total (cinta yang sepenuhnya buat pasangan) a) Ciri pasangan the total adalah rasa nyaman terhadap keintiman dengan pasangannya. b) Hubungan pasangan the total lebih awet dibandingkan jenis pernikahan yang dijelaskan sebelumnya. c) Isteri dan suami berperan sebagai pendamping sekaligus sahabat. d) Model pernikahan seperti ini jarang sekali ditemukan, namun bukan berarti tidak ada dalam kehidupan nyata. Brennen (1999a) menemukan ada lima halangan yang sering dihadapi pasangan dalam menyelesaikan konflik rumah tangga: 1. Salah satu pihak merasa bahwa pada akhirnya harus ada yang disalahkan dalam setiap pertengkaran. 2. Salah satu pihak enggan untuk bertentangan dengan pasangannya. 3. Perbedaan diantara keduanya seakan-akan tidak bisa diselesaikan. 4. Masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda dalam memecahkan masalah sehingga terkadang muncul salah paham. 5. Pertengkaran serius untuk masalah yang tidak penting (remeh). Selanjutnya, Brennen (1999a) menyatakan bahwa dalam konflik ada empat tipe interaksi yang tidak sehat: 1. Escalation. Tipe ini dicirikan sebagai sikap yang memberi penjelasan secara berbelit-belit sehingga memperburuk keadaan. 2. Invalidation. Tipe ini dicirikan dengan sikap yang merendahkan atau menjelek-jelekkan atau memojokkan pasangan dengan harapan dirinya bisa lepas dari tuduhan sebagai ‘penyebab masalah’. 3. Withdrawal and Avoidance. Tipe ini berusaha menghindari konflik dan enggan membicarakan masalah-masalah dengan pasangan
22
4. Negative Interpretation. Tipe ini bisa juga dikarenakan salah paham, menganggap bahwa membicarakan konflik akan berakhir dengan dirinya sebagai orang yang bersalah. Kecur igaan yang tidak beralasan berperan penting dalam tipe ini. Berdasarkan karakter yang terlibat dalam konflik, Brennen (1999a) menemukan lima jenis kecenderungan sikap dalam memecahkan masalah rumah tangga: 1. Pursuers. Pasangan yang memilih resolusi tipe pursuers menganggap masalah-masalah
yang
terjadi
adalah
karena
hubungan
dinilai
merenggang. Pemikiran tersebut dilahirkan dari pendapat bahwa bersikap menjauh dari pasangan berarti pasangan ingin berpisah. Karena itu resolusi jenis pursuers ditandai dengan sikap memperbaiki keintiman dan kedekatan dengan pasangan. 2. Distancers. Penganut resolusi gaya distancers memilih menjauhkan diri sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik, sebab mereka memiliki kesulitan dalam menyatakan perasaan mereka. Mereka menyalurkan e mosi dengan bekerja dan mengesampingkan interaksi dengan pasangan jika konflik semakin buruk. 3. Underfunctioners. Penganut resolusi gaya underfuncioners melihat konflik sebagai penyebab kekacauan dalam hidup mereka. Masalah membuat hidup mereka berubah, karena itu underfunctioners melihat masalah secara serius dan berusaha untuk menyelesaikannya sesegera mungkin. 4. Overfunctioners. Penganut resolusi gaya overfunctioners memberikan saran dan nasehat jika pasangan terlibat masalah. Namun kadang-kadang penganut overfunctioners sukar untuk berempati, sehingga hanya menanggapi masalah dari pandangan dirinya saja—bukan dari pihak yang mempunyai masalah. 5. Blamers. Resolusi gaya blamers muncul dari keinginan untuk tampil ‘bersih’ di depan lawan konfliknya, dicirikan dengan sikap menyalahkan pasangannya. Wahlroos (1988) yang lebih banyak menyorot pada komunikasi yang tidak sehat sebagai latar belakang ketidakharmonisan rumah tangga, menganalisis
23
komunikasi keluarga yang destruktif terjadi akibat ketidakpekaan tiap-tiap elemen keluarga akan perasaan satu sama lain. Ada beberapa peraturan komunikasi yang menurut Wahlross penting dilakukan dalam hubungan suami-isteri: (1) Berkomunikasi secara positif, jelas, spesifik dan tidak menggunakan teknik pertengkaran kotor (mengejek, menyalahkan). (2) Mengakui bahwa setiap kejadian dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. (3) Mengakui bahwa pasangan benar-benar mengenal pribadi anda dan perilaku anda. (4) Bersikap terbuka dan jujur mengenai perasaan anda. (5) Belajar menghormati dan memahami perasaan pasangan. (6) Belajar tidak menyetujui tanpa perdebatan yang destruktif. (7) Jangan mengomel, berteriak dan menggerutu. (8) Pendekatan dengan pasangan yang berbeda pendapat tanpa bersikap menggurui atau mengkotbahi. (9) Belajar mendengarkan. (10)belajar memahami keadaan, kapan harus bergurau kapan serius. Paries (2001a, 2001b) merumuskan tiga langkah yang sebaiknya dilakukan dalam berkomunikasi dengan pasangan: 1. Tentukan konteks Pada tahap ini diperlukan persiapan yang matang sebelum melontarkan masalah yang akan dibicarakan dengan pasangan. Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah: a) masalah yang hendak dibicarakan; b) hubungannya dengan kehidupan rumah tangga; c) tujuan yang ingin dicapai; d) meyakinkan bahwa masalah tersebut sangat mengganggu dan sebaiknya cepat diselesaikan; e) keuntungan dari memecahkan masalah tersebut 2. Hindari komunikasi yang tidak sehat Mencari siapa yang salah hanya akan melahirkan sakit hati bagi suami dan isteri. Jadi, sebaiknya pembicaraan dilakukan tanpa ledakan emosi yang tidak perlu. 3. Berinteraksi dengan pasangan Dalam percakapan perlu sekali diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
24
a) Berkomunikasi secara jujur dan terbuka. b) Mengatakan semua yang perlu dikatakan. Jangan menyisakan masalah untuk kemudian hari. c) Berilah penjelasan yang lengkap dan jelas. Bertele -tele hanya akan membuat pasangan menjadi bingung dan salah paham. d) Menjelaskan hasil yang ingin diperoleh dari pembicaraan tersebut. e) Untuk menghindari kesalahpahaman, sesekali tanyakan pada pasangan tentang bagian penjelasan mana yang kurang jelas. f) Meminta pasangan untuk mengulangi kembali penjelasan yang baru saja diberikan untuk memastikan pasangan mengerti maksud pembicaraan g) Menanyakan pada pasangan, apakah pasangan menghargai permintaan penyelesaian tersebut. h) Bernegoisasi i) Berkomunikasi secara lembut namun tegas. Menghindari gerutu, omelan atau pembicaraan dengan nada tinggi (emosi). j) Jika perlu, pembicaraan bisa ditunda dan dilanjutkan lain waktu. Hal ini juga dilakukan untuk memberi waktu kepada pasangan untuk berpikir. k) Berkomunikasi lagi dan mencari pemecahannya secara bersama. Perceraian Pada tahun 1900 tidak wajar bagi wanita bekerja di luar rumah. Wanita tidak diberi pilihan kecuali menikah dan tinggal di rumah. Suami dan isteri biasanya ‘dipaksa’ tetap bersama suka maupun tidak. Fenomena ini dilatari karena perceraian dianggap dosa dan kesan negatif terhadap wanita yang bercerai di masa itu. Setelah perang dunia, tingkat perceraian di Amerika meningkat dua kali lipat setiap 20 sampai 25 tahun. Fenomena ini dijelaskan karena perubahan opini publik mengenai liberalisasi perceraian dalam berbagai studi. Tren ini diikuti oleh tren baru yang datangnya dari Timur yaitu Asia. Orang-orang Timur memilih bercerai ke Barat karena di Asia perceraian tidak terlalu banyak kasusnya dan
25
kesan negatif tentang perceraian yang melekat dalam budaya ketimuran yang menjunjung nilai- nilai pernikahan (Oakley 1974). Perceraian di Indonesia hanya mungkin dengan salah satu alasan seperti yang di sebutkan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang Perkawinan (Saleh 1980), yang diulang kembali sama bunyinya dalam pasal 19 Peraturan Pelaksanaan, sebagai berikut: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-uturt tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak mela kukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri. 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Augustine (2004c) disebutkan beberapa alasan pasangan memutuskan untuk mengakhiri perkawinannya: 1. Prinsip dasar yang bertentangan dengan pasangan 2. Ketidakpuasan terhadap kehidupan pernikahan 3. Pasangan meninggalkan keluarga 4. Perzinahan 5. Perlakuan kejam (kekerasan dalam rumah tangga) 6. Pasangan dipenjara 7. Pasangan ingin menikah lagi (bigami/poligami) 8. Penghinaan pasangan 9. Lain-lain atau tanpa alasan (jenis perceraian tanpa alasan disebut juga dengan istilah no-fault divorce)
26
No-fault divorce (perceraian tanpa alasan) sendiri baru muncul pada tahun 1970 di California (Alan dan Crow 1989). No fault divorce didefinisikan sebagai perbedaan yang tak dapat dijelaskan yang menyebabkan gangguan yang tak terselesaikan yang mendorong ke arah kehancuran rumah tangga. Adapun no-fault divorce ini mengubah empat elemen dasar dari proses perceraian tradisional: 1. No-fault divorce menghapus alasan-alasan yang mendasari perceraian. Sekarang perceraian dapat dimulai dengan permohonan netral tanpa tindakan khusus atau pembahasan latar belakang bercerai sebagai dasar pertimbangan putusan. 2. Hukum yang baru menghapuskan proses konseling (biasanya mencoba untuk merujukkan kembali kedua pasangan) yang biasanya dilakukan sebelum keputusan bercerai dinyatakan final. 3. Aspek pembagian harta atau yang bersifat finansial lebih didasari oleh hak kekayaan, persamaan dan kebutuhan ekonomi daripada besarnya kesalahan (berdasarkan aasan bercerai) dan keputusan berbasis gender (bahwa suami wajib menyantuni isterinya setelah bercerai). 4. No-fault divorce memberi pemahaman baru tentang tanggung jawab suami dan isteri dengan mengadopsi norma baru persamaan hak gender dalam rumah tangga. Goode 1956, diacu dalam Bird dan Melville 1994 mengemukakan teori bahwa alasan bercerai disebabkan oleh ketidakpuasan dan konflik dengan pasangan dan kurangnya peran suami dalam rumah tangga. Sedangkan Thompson 1984, diacu dalam Bird dan Melville 1994 berpendapat bahwa perceraian bisa terjadi dikarenakan oleh peran serta dalam rumah tangga yang berbasis gender— laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah dan perempuan (isteri) merawat anak dan mengurus rumah, kualitas hubungan seksual, komunikasi pasangan dan perubahan sikap pasangan. Keberhasilan dalam suatu perkawinan dapat dilihat dari kematangan masingmasing pasangan. Kematangan dapat diasosiasikan dengan usia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa usia muda dapat menjadi batu sandungan dalam perkawinan dan memiliki kemungkinan besar gagal atau bercerai. Di Jawa Barat wanita kebanyakan menikah pada usia belia. Hull dan Hull 1976, diacu dalam
27
Ariani 1983 meneliti bahwa di Serpong, Jawa Barat, usia wanita pertama kali menikah rata -rata 15, 6 tahun. Lewis dan Spanier 1979, diacu dalam Steinberg 1997 meneliti tentang pernikahan di usia remaja dan menemukan fenomena bahwa tingkat perceraian pria yang menikah di usia remaja tiga kali lipat daripada tingkat perceraian pria yang menikah di usia dua puluh tahun ke atas. Sedangkan pada wanita yang menikah di usia belasan tahun, tingkat perceraiannya empat kali lipat daripada tingkat perceraian wanita yang menikah di usia dua puluh tahun ke atas. Teti, Lamb dan Elsten 1987 diacu dalam Hendricks dan Hendricks 1993 menyatakan bahwa pernikahan di usia remaja memiliki konflik tinggi yang cenderung membawa pernikahan tersebut ke akhir berupa perceraian. Hal ini senada dengan pernyataan Heitler 1991, diacu dalam Perron 1991 bahwa individu pada usia remaja memiliki keterbatasan pengalaman dan pandangan untuk memilih pasangan yang tepat dengan dirinya—lebih dikuasai emosional daripada rasionalitas—dan mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membina rumah tangga. Berdasarkan pasal 7 (1) Kitab Undang-undang Perkawinan (Saleh 1980) usia yang diizinkan untuk melangsungkan pernikahan adalah 19 tahun untuk mempelai pria dan 16 tahun untuk mempelai wanita. Pasal 6 (2) mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari orangtua atau dari Pengadilan Agama berdasarkan permintaan orang yang bersangkutan. Bohannan 1970, diacu dalam Bird dan Melville 1994 menyebutkan ada enam tahap perceraian yang dialami oleh pasangan, yaitu: 1. Emotional divorce, proses pertentangan pribadi karena ketidakpuasan terhadap pernikahan, perubaha n sikap, konfrontasi langsung dengan pasangan, bertengkar dan yakin untuk mengakhiri pernikahan. 2. Legal divorce, pasangan berpisah dan menyerahkan proses perceraian yang legal ke lembaga hukum perkawinan yang berwenang 3. Economic divorce , menyelesaikan pembagian keuangan dan harta keluarga 4. Coparented divorce , menyelesaikan masalah hak asuh anak dan tanggung jawab membesarkan anak
28
5. Community divorce, masing-masing pasangan secara tersendiri merasakan perubahan dalam jaringan persaudaraan dan relasi. Dalam tahap ini juga, masing-masing mulai mencari minat dan kegiatan baru 6. Physcic divorce, mulai membebaskan diri dari perasaan ketergantungan dan rasa aman yang diperoleh saat masih bersama dulu. Berdasarkan
ketentuan
tentang
perceraian
dalam
Undang-undang
Perkawinan (pasal 39 sampai dengan pasal 41) dan tentang Tata Cara Perceraian dalam Peraturan Pelaksanaan (pasal 14 sampai dengan pasal 36) ada dua macam perceraian yaitu: 1. Cerai Talak, yaitu jika seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa dia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu (Pasal 14 Peraturan Pelaksanaan dalam Undang-undang Perkawinan). Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa cerai talak hanya khusus bagi yang beragama Islam. 2. Cerai gugat, adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dengan suatu putusan Pengadilan. Isu anak sangat kental dengan perceraian. Khairuddin (1985) menyatakan bahwa banyak pasangan suami isteri yang tidak harmonis segan untuk bercerai demi kesejahteraan anaknya. Hal yang senada juga diungkapkan oleh situs divorce.co.uk, yang menyatakan bahwa anak-anak dalam keluarga yang bercerai memiliki kemungkinan-kemungkinan psikologi seperti: 1. Hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. 2. Miskin ketika beranjak dewasa. 3. Bermasala h dalam hal perilaku. 4. Prestasi di sekolah menurun. 5. Membutuhkan pengobatan atau terapi kesehatan. 6. Meninggalkan sekolah/rumah semasa muda. 7. Menjadi aktif secara seksual, hamil atau menjadi orangtua di usia muda.
29
8. Gejala-gejala depresi, pecandu rokok dan minuma n keras, ketergantungan pada obat-obatan pada usia remaja atau dewasa. Meskipun demikian, kedua teori di atas mendapat sanggahan dari Nye 1957, diacu dalam Khairuddin 1985 menyatakan bahwa kehidupan anak akan jauh lebih baik jika orangtuanya bercerai daripada tinggal seatap bersama orangtua yang utuh tetapi selalu bertengkar. Emery, diacu dalam Agustine 2005 juga setuju dengan Nye, dan menyatakan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai dapat mengalami hidup yang bahagia jika orangtuanya mempertimbangkan keputusan (bercerainya) dengan sebaik-baiknya dan memilih cara yang tepat untuk berinteraksi dengan anaknya. Interaksi ini dapat dengan cara komunikasi terbuka orangtua-anak mengenai alasan kenapa keputusan bercerai dianggap sebagai solusi yang tepat untuk masalah rumah tangga mereka, mendengarkan perasaan dan pendapat mereka dan bersama-sama mencari jalan keluar. Berakhirnya pernikahan bagi seseorang yang masih berusia di awal dua puluhan jauh lebih menyakitkan daripada yang dirasakan seorang wanita yang berusia lebih dewasa. Perceraian adalah kekecewaan yang besar dalam hidup dan tidak semua orang bisa melewatinya dengan mudah. Meskipun demikian, karena remaja memiliki sifat emosional yang masih labil dan keterbatasan cara pandang menyebabkan coping strategy-nya tidak sematang wanita dewasa. Berkov dan Sklar 1976, diacu dalam Becker 1981 menyatakan bahwa janda (wanita yang bercerai) lebih lama mengalami remarried—pernikahan untuk kedua kalinya—ketimbang duda (pria yang bercerai) walaupun mereka bercerai pada usia muda. Janda pada umumnya mendapat hak asuh anak dan hal inilah yang menghambat pernikahan kembali tersebut. Hal senada diungkapkan oleh Weitzman dan Dixon 1979, diacu dalam Becker 1981 bahwa anak yang masih kecil menaikkan biaya dalam mencari pasanga n baru dan secara signifikan mengurangi sumber daya —dalam hal ini uang—janda tersebut.