9 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Teori Keluarga Pengertian Keluarga Keluarga menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 6 adalah "unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya". Keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat juga sebagai wahana utama dan pertama bagi anggota-anggotanya untuk mengembangkan potensi dan aspek sosial dan ekonomi. Menurut Puspitawati (2009), keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi, dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai dalam setiap tahapan hidupnya. Adapun tujuan dari membentuk keluarga yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi setiap anggotanya (BKKBN 1992). Terdapat delapan fungsi utama untuk mencapai tujuan keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 yang terdiri dari fungsi keagamaan, sosial, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan (BKKBN 1996). Selanjutnya Rice & Tucker (1986) membagi peran keluarga menjadi dua peran utama yaitu peran ekpresif dan peran instrumental. Peran ekspresif adalah untuk memenuhi keutuhan emosi (cinta kasih, ikatan suami-istri, dan ikatan orangtua-anak) dan perkembangan anak yang di dalamnya meliputi moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sedangkan peran instrumental adalah peran manajemen sumberdaya keluarga yang dimiliki (fungsi ekonomi) untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak, serta dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Teori Struktural Fungsional Teori struktural fungsional merupakan teori dengan pendekatan sosiologi yang memandang bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu sama lain. Pendekatan ini mengakui adanya keragaman kehidupan sosial dalam struktur masyarakat (Megawangi 1999). Struktural fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga agar dapat berfungsi dengan baik dan kestabilan sosial dalam sitem masyarakat. Sebab
10 menurut Megawangi (1999), pendekatan ini tidak pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat tersebut. Teori struktural-fungsional dapat dilihat penerapannya dalam keluarga melalui struktur dan aturan yang diterapkan. Menurut Levy dalam Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa adanya pembagian tugas masing-masing anggota keluarga dengan jelas sesuai dengan status sosialnya maka fungsi keluarga akan terganggu. Pembagian peran dan tugas dalam keluarga dibutuhkan untuk dapat saling melengkapi dan menjaga keharmonisan sistem agar dapat berfungsi dengan baik. Untuk lebih lanjutnya Levy dalam Megawangi (1999) membuat daftar persyaratan yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, diantaranya sebagai berikut: 1.
Diferensiasi peran yaitu adanya pembagian peran dan tugas yang harus dijalankan oleh setiap anggota keluarga. Dari serangkaian tugas dan aktivitas yang perlu dilakukan dalam keluarga, maka harus terdapat alokasi peran untuk setiap anggota keluarga. Terminologi diferensiasi peran tersebut dapat dibagi berdasarkan umur, gender, generasi, posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. Sebagai ilustrasi yaitu menyetir “Seorang bapak adalah lebih kuat daripada anak lelakinya (karena juga lebih muda) sehingga bapak akan diberikan peran sebagai pemimpin dalam kegiatan instrumental”.
2.
Alokasi solidaritas yang menyangkut adanya distribusi relasi antar anggota keluarga. Distribusi relasi antar anggota menurut cinta, kekuatan, dan intensitas dalam hubungan. Cinta dan kepuasan dapat menggambarkan hubungan antar anggota. Misalnya keterikatan emosi antara ibu dengan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak mungkin lebih utama dibandingkan dengan hubungan suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas merupakan kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun kekuatan.
3.
Alokasi ekonomi menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk tercapainya tujuan keluaga. Distribusi barang-barang dan jasa ini untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas dalam hal ini dapat terlihat dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa dalam keluarga.
11 4.
Alokasi politik menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga. Yang dimaksud dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. agar keluarga dapat berfungsi, maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan.
5.
Alokasi integrasi dan ekspresi meliputi cara atau teknik sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku bagi setiap anggota keluarga. Teori struktural-fungsional mengasumsikan bahwa suatu keluarga terdiri
dari bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kemampuan struktur keluarga dapat berfungsi secara efektif pada keluarga inti yang tersusun dari seorang laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industri baru (Parsons & Bales 1956). Fungsi Ekonomi Keluarga Salah satu fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 yang terdapat dalam BKKBN (1996) adalah fungsi ekonomi. Sebagai suatu unit ekonomi keluarga merupakan alat untuk melakukan aktivitas agar memperoleh hasil yang diinginkan, seperti kepuasan, tujuan, gaya hidup, standar hidup, kesejahteraan, keamanan, kemampuan dan keterampilan untuk proses produksi dan konsumsi (Bryant 1990). Beberapa fungsi ekonomi keluarga menurut Rafella (2003) yaitu pengalokasian sumberdaya untuk pelayanan kesejahteraan dengan memproduksi, mendistribusikan dan mengonsumsi produk diantara anggota keluarga. Keluarga perlu melakukan aktivitas ekonomi secara produktif untuk memenuhi kebutuhannya dan memperoleh kepuasan. Menurut Garman (1993) aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh keluarga diantaranya: 1.
Mencari pendapatan: Orang melakukan aktivitas seperti bekerja untuk mendapatkan penghasilan berupa gaji atau upah, keuntungan pengusaha bisnis, dan perolehan dari investasi.
2.
Konsumsi: Konsumsi diartikan sebagai pemakaian atau penghabisan barang-barang seperti komoditi dan jasa yang bertujuan untuk memenuhi keinginan.
3.
Menggunakan: Menggunakan dapat diartikan sebagai tindakan pemakaian suatu sumber ekonomi dan non-ekonomi secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
12 4.
Meminjam: Agar tercapainya pemenuhan kebutuhan maka keluarga pasti pernah melakukan peminjaman atau berhutang dalam jangka waktu tertentu dengan perjanjian akan dikembalikan sejumlah peminjamannya tersebut.
5.
Menabung: Menabung merupakan aktivitas memindahkan alokasi uang untuk masa mendatang atau penghasilan saat ini yang tidak habis untuk dikonsumsi.
6.
Investasi: Investasi merupakan kegiatan mengerahkan sumberdaya yang ada berupa uang ataupun properti untuk memproduksi barang dan jasa agar memperoleh keuntungan berupa bunga, uang sewa, perolehan modal, dan pendapatan lainnya.
7.
Pembayaran Pajak: Pembayaran pajak merupakan perilaku sukarela seseorang untuk membayarkan pajak kepada pemerintah. Aspek ekonomi merupakan salah satu fungsi keluarga yang vital bagi
kehidupan keluarga, bahkan hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Teori Gender Gender
dapat
diartikan
sebagai
hasil
dari
sosio
kultural
yang
membedakan karakteristik antara laki-laki dan perempuan. Hubeis (2010) menyatakan bahwa gender merupakan suatu konsep mengenai sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan lelaki yang tidak hanya ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan juga oleh lingkungan sosial, politik, dan ekonomi. Adanya perbedaan konsep mengenai gender dari lingkungan sosial mengakibatkan adanya perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Peran gender menggambarkan kesepakatan antara pandangan dalam masyarakat dengan suatu budaya terkait perilaku yang harus ditampilkan berdasar jenis kelamin tertentu (Hubeis 2010). Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan peran (gender gap) yaitu perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang pekerjaan dan pendapatan. Perempuan cenderung mendapatkan kesulitan untuk memasuki pasar tenaga kerja karena adanya kekhawatiran budaya akan pergeseran peran seperti perempuan akan meninggalkan tugasnya sebagai istri dan ibu rumahtangga (Puspitawati 2009a). Menurut Puspitawati (2009a), hal ini disebabkan sistem patriarki mengatur bahwa suami memiliki peran sebagai pencari nafkah utama (main breadwinner) dan istri sebagai pengatur rumahtangga atau kegiatan domestik (home maker). Peran gender dapat bergeser dan mengalami perubahan sesuai dengan terjadinya perubahan
13 dalam suatu tatanan sosial, ekonomi di tingkat lingkungan masyarakat dan kesepakatan yang telah dibuat dalam lingkungan keluarga (Hubeis 2010). Pendekatan gender dilakukan untuk dapat mengubah situasi ketidakadilan atau deskriminasi terhadap kaum perempuan menjadi situasi tercapainya kesetaraan serta keadilan dengan mempertimbangkan sikap, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki (Nurulfirdausi 2010). Analisis Gender Kerangka Moser Menurut Lassa (2009) terdapat lima kerangka berpikir berbasis gender yang umum digunakan untuk menganalisis gender, yaitu: 1. The Harvard Analytical Framework, atau juga dikenal dengan the Gender Roles Framework 2. The Moser Gender Planning Framework 3. The Women’s Empowerment Framework (WEP) 4. The Social Relations Approach, dan 5. The Gender Analysis Pathway (GAP) Kerangka Moser (The Gender Roles Framework) tidak berfokus pada kelembagaan tertentu melainkan lebih berfokus pada rumahtangga. Adapun Moser (1993) membagi tiga konsep utama dari kerangka ini menjadi: 1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja produktif, dan kerja komunitas. Hal ini dilakukan untuk pemetaan pembagian kerja gender dan alokasi kerja. Adapun tiga kategori triple roles, yaitu: a. Peran reproduktif adalah peran yang berhubungan dengan tugas-tugas domestik
yang
menyangkut
kelangsungan
keluarga.
contohnya,
melahirkan, memasak, mengasuh anak, mencuci, membersihkan rumah, menjahit, dan lainnya. b. Peran produktif adalah peran yang dikerjakan oleh perempuan dan lakilaki untuk mendapatkan upah berupa uang secara tunai atau sejenisnya. Contohnya, bekerja di sektor formal ataupun non formal. c. Peran pengelolaan masyarakat dan politik. Peran ini dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1) Peran pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial) mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan dalam komunitas bersifat sukarela dan tanpa upah. 2) Peran pengelolaan politik (kegiatan politik) mencakup seluruh aktivitas
14 politik dalam komunitas yang biasanya tanpa dibayar dan untuk meningkatkan kekuasaan atau status. 2. Upaya untuk membedakan kebutuhan yang bersifat praktis dengan yang strategis bagi perempuan dan laki-laki. Kebutuhan strategis berhubungan dengan posisi perempuan (subordinasi). 3. Pendekatan analisis kebijakan menfokuskan pada kesejahteraan (walfare), kesamaan (equity), anti kemiskinan, efisiensi, dan pemberdayaan perempuan dari atau WID (Women in Development) ke GAD (Gender and Development). Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap Warga negara Indonesia (WNI) yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. TKI perempuan disebut sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Salah satu peran produksi yang dilakukan perempuan salah satunya dengan menjadi TKW. Selain itu adanya keterbatasan kesempatan kerja di bidang formal, menyebabkan banyaknya perempuan yang berminat menjadi TKW. Negara tujuan TKW terbesar yaitu Malaysia dan Saudi Arabia (BPS 2009a). Umumnya TKW bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Perempuan bekerja untuk mendapatkan penghasilan sehingga mampu mencukupi kebutuhan keluarga (Zehra 2008). Keputusan untuk bekerja di luar negeri sebagai TKW menjadi sebuah pilihan yang diambil oleh sebagian masyarakat agar dapat mengubah kehidupan perekonomian keluarganya. Bekerja di luar negeri menjadi sebuah daya tarik tersendiri dikarenakan tingkat pendapatan yang diterimanya jauh lebih besar dibandingkan bekerja di desanya. Pengiriman uang yang cukup lancar kepada keluarga yang ditinggalkan merupakan salah satu indikator keberhasilan menjadi TKW. Umumnya para istri mengirimkan pendapatannya pada bulan Januari, Februari, November, dan Desember (Nurulfirdausi 2010). Sedangkan menurut Norwanto (2007), tidak semua perempuan yang bekerja
sebagai
TKW
dapat
membantu
pergerakan
ekonomi
keluarga
dikarenakan pengiriman pendapatan yang tidak reguler. Sebagian TKW mengirimkan uang kepada keluarganya beberapa bulan sekali, sedangkan yang lainnya membawa penghasilan setelah kontrak kerja mereka usai.
15 Pendapatan TKW selama bekerja di luar negeri yang dikirimkan kepada keluarga lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan pendidikan. Selain itu ada juga yang menggunakan untuk melunasi hutang (Geerards 2010). Perubahan Struktur Keluarga Akibat Peran Istri dalam Pencarian Nafkah Dengan kepergian istri menjadi TKW maka terjadi perubahan struktur dalam keluarga. Padahal dalam sebuah keluarga, perempuan memiliki kewajiban berperan utama dalam pekerjaan domestik seperti mengurus anak dan suami serta anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Hal ini merupakan pengaruh budaya patriarki yang masih berlaku dalam masyarakat dimana nilai istri hanya sebagai pengasuh anak. Namun perlahan anggapan tersebut mulai bergeser seiring dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan dalam sektor publik. Berikut salah satu contoh perubahan peran perempuan dalam keluarga menurut Hubeis (2010): Seorang lelaki bekerja di rumah yaitu mengurus rumah tangga serta mengasuh anaknya yang masih bayi, sedangkan tugas mencari nafkah dilakukan istrinya. Hal ini terjadi karena pendapatan keluarga akan lebih baik jika istri yang bekerja dibanding suami. Akan tetapi jika keduanya bekerja maka mereka harus menyewa jasa pengasuh bayi dan hampir menghabiskan pendapatan yang diperoleh. Sebaliknya, jika istri diam di rumah dan suami bekerja maka pendapayan suami tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Karena itu, istrilah yang bekerja dan suami mengurus rumah.
Perempuan memiliki peran yang sangat berarti bagi keluarga, dimana sebagian besar waktunya sekitar 8-16 jam per hari dalam pekerjaan domestik seperti memasak, membersihkan rumah, menyetrika, mengasuh anak, dan sebagainya. Hal ini jelas tidak dapat dilakukan oleh perempuan atau istri yang memutuskan untuk bekerja di luar rumah (Zehra 2008). Terdapat beberapa alasan perempuan bekerja di luar rumah meskipun mereka menyadari peranannya dalam sektor domestik. Salah satu yang menjadi alasan utamanya untuk menambah pendapatan bagi keluarga. Perempuan memiliki peranan sosial yang beragam dalam kehidupan perekenomian dimana perempuan dituntut untuk mampu menjalani fungsinya dalam keluarga serta sebagai pencari nafkah tambahan atau bahkan pencari nafkah utama (main breadwinner) bagi keluarga dan membina hubungan sosial yang baik. Hal ini membuktikan bahwa perempuan memiliki eksistensi dalam bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya terutama dalam kehidupan perekonomian keluarga (Gulcubuk 2010).
16 Menurut Sumarwan (1993) peningkatan jumlah angkatan tenaga kerja wanita disebabkan oleh beberapa fakor, diantaranya: 1.
Peningkatan tuntutan ekonomi yang menyebabkan sebagian keluarga tidak dapat
mempertahankan
tingkat
kesejahteraannya
hanya
dari
satu
pendapatan; 2.
Perubahan gaya hidup atau selera keluarga dalam mengkonsumsi barang dan jasa;
3.
Semakin terbukanya kesempatan kerja bagi semua warga negara Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Sedangkan Hoffman & Nye (1974) mengemukakan bahwa terdapat tiga
faktor yang mendorong perempuan mencari penghasilan tambahan, yaitu: 1.
Alasan ekonomi: Tujuannya untuk menambah pendapatan keluarga, terutama jika pendapatan suami relatif kecil. Selain itu karena istri memiliki suatu keahlian tertentu yang membuatnya merasa lebih efektif apabila waktunya digunakan untuk mencari nafkah.
2.
Mengangkat status diri: Tujuannya untuk meningkatkan kekuasaan lebih besar atau minimal setara dengan suami dalam kehidupan keluarga.
3.
Terdapat
motif
intrinsik
(dari
dalam
dirinya)
untuk
menunjukkan
eksistensinya seperti kemampuan berprestasi sebagai manusia, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Suami, orangtua, atau kerabat yang lainnya harus menyadari terdapat peran serta kewajiban menggantikan ibu (istri) agar tetap dapat tercapinya keseimbangan. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran tiga pola pergeseran peran, antara lain: 1.
Suami mengambil alih peranan penuh dalam keluarga yang ditinggalkan oleh istri seperti mengurusi berbagai pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.
2.
Suami mengambil alih sebagian peranan keluarga yang ditinggalkan oleh istri. Suami biasanya dibantu oleh ibu atau anggota keluarga lain.
3.
Suami sama sekali tidak mengambil peranan apapun. Pola ini dapat dikatakan sebagai kegagalan keluarga dalam melaksanakan transformasi
17 nilai yang menyebabkan ibu atau mertua TKW mengambil alih seluruh peran domestik keluarga. Keputusan istri untuk berpartisipasi di sektor publik dengan menjadi TKW merupakan pilihan yang sulit dan sangat tergantung pada keadaan ekonomi keluarga. Ketiadaan istri di rumah berdampak meningkatkan tingkat stress pada suami karena suami harus menggantikan peran istri yang ditinggalkannya sehingga suami memiliki peran ganda dalam rumah tangga, yaitu sebagai penggerak ekonomi keluarga dan melakukan pekerjaan domestik. Laporan penelitian Sunarti (2009a) menyatakan bahwa "Semakin besar sumbangan pendapatan dari istri, maka semakin sejahtera keluarga". Kontribusi Ekonomi Perempuan Salah satu tujuan seseorang bekerja di bidang nafkah adalah untuk memperoleh penghasilan berupa uang. Hal tersebut yang mendorong peran perempuan sebagai penunjang perekonomian rumahtangga menjadi sangat penting dan ikut serta berperan dalam sektor ekonomi untuk menambah penghasilan keluarga dan memenuhi kebutuhan (Hubeis 2010). Tenaga kerja perempuan umumnya dihargai dengan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Seringkali upah yang dihasilkan oleh istri untuk keluarga dianggap sebagai hasil kontribusi suami terhadap pendapatan keluarga,
meskipun
istrilah
yang
menghasilkannya.
Kontribusi
ekonomi
perempuan masih dianggap sekunder dan hanya sebagai pelengkap hasil dari laki-laki (Sobary 1992). Perempuan seringkali dipandang sebagai orang kedua yang hanya membantu pasangan (subordinat), berpendidikan rendah, dan memiliki keterbatasan keterampilan untuk menghasilkan kontribusi ekonomi bagi keluarga (Zehra 2008). Tidak jarang perempuan yang bekerja sebagai pencari nafkah tidak mendapatkan imbalan berupa uang sehingga tidak dapat memberikan kontribusi ekonominya pada pendapatan rumah tangganya. Banyak perempuan di desa yang mencari kesempatan bekerja di luar atau kota besar agar bisa memperoleh penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan bekerja di desanya. Namun hal ini tidak diikuti dengan jaminan keamanan sosial seperti asuransi (Gulcubuk 2010). Menurut Zehra (2008) alasan utama perempuan berpartisipasi aktif bekerja dengan upah di luar rumah untuk menambah kontribusi pendapatan keluarga secara langsung. Hubeis (2010) menyatakan bahwa umumnya perempuan di pedesaan dan berusia muda bekerja karena membutuhkan penghasilan untuk melanjutkan
18 kelangsungan kehidupan keluarga (terutama anak-anaknya) bukan untuk mengejar karir sehingga menerima berbagai jenis pekerjaan apapun tanpa memperhatikan besarnya pendapatan yang ditawarkan dari lingkungan kerja. Menurut Lasswell dan Laswell (1987), kontribusi ekonomi perempuan dalam ekonomi keluarga akan menghasilkan peningkatan dalam keuangan keluarga, kepemilikan barang mewah, standar hidup yang lebih tinggi dengan pencapaian rasa aman yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan status sosial keluarga. Meskipun pekerjaan mereka memiliki kontribusi yang sangat penting untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan keluarga, namun pada kenyataannya perempuan masih saja dipandang sebelah mata dalam masyarakat (Zehra 2008). Disamping itu, Adriyani (2000) menyatakan, “tinggi rendahnya kontribusi ekonomi wanita ditentukan juga oleh jumlah anggota rumah tangga yang bekerja mencari nafkah dan memperoleh pendapatan berupa uang”. Meskipun demikian beberapa fakta empiris yang dikemukakan oleh Hubeis (2010) menunjukkan hal-hal berikut: 1. Perempuan mengalokasikan pendapatannya dalam jumlah yang lebih besar untuk keluarga dan kerabatnya dibandingkan untuk dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan sifat bawaan perempuan yaitu unselfish (tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi selalu mendahulukan keluarga) sebagai produk dalam masyarakat yang membentuk bagaimana perempuan bersikap terutama dalam tatanan keluarga. 2. Perempuan yang bekerja pada umumnya membantu usaha rumahtangga dengan atau tanpa memperoleh upah, baik di sektor publik maupun di sektor domestik. 3. Tenaga kerja perempuan lapisan bawah yang terkena PHK umumnya akan langsung pulang kembali ke kampung halaman untuk mencari perlindungan sosial dan keamanan, sedangkan perempuan yang berpendidikan tinggi akan secara langsung aktif untuk mencari kesempatan kerja yang lain. Arus Kas Keuangan Keluarga (Family Cash Flow) Setiap keluarga akan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya. Pada umumnya seluruh kebutuhan keluarga memerlukan uang. Oleh sebab itu tidak jarang uang dijadikan sebagai alat pengukur dari sumberdaya (Guhardja et al., 1993). Kebutuhan yang harus dipenuhi keluarga tidak hanya kebutuhan rutin saat ini saja, tetapi juga kebutuhan masa depan atau jangka panjang, sedangkan pendapatan yang
19 diterima keluarga terbatas (Krisnatuti et al., 2009). Dengan demikian keluarga perlu memiliki kemampuan mengatur keuangan yang baik dan bijak antara pendapatan, pengeluaran dan rencana tabungan masa depan (Garman dan Forgue 1988). Manajemen keuangan berkaitan dengan pembuatan anggaran. Menurut Garman dan Forgue (1988), membuat anggaran merupakan suatu proses perencanaan
dan
pengontrolan
keuangan
yang
berhubungan
dengan
penggunaan catatan keuangan untuk menetapkan tujuan, perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengontrolan, dan evaluasi. Laporan arus kas (cash flow) memperlihatkan aliran uang yang masuk (pendapatan) dan aliran uang yang keluar (pengeluaran) yang rutin dilakukan oleh individu atau keluarga pada beberapa waktu yang telah lewat, seperti dalam bulanan atau tahunan. Menurut Garman dan Forgue (1988), pendapatan keluarga adalah seluruh perolehan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Pendapatan teridiri dari upah dan gaji, bonus dan komisi, warisan, uang lembur, beasiswa, bunga deposito, dll. Pengeluaran adalah segala aktivitas yang mengakibatkan jumlah keuangan berkurang. Sebuah keluarga dapat membuat perencanaan pengeluaran, tetapi ketika uang tersebut telah dikeluarkan oleh keluarga disebut sebagai pengeluaran aktual (actual expenditure). Pengetahuan tentang cash flow penting dan wajib diketahui agar keuangan keluarga kita tidak akan berantakan dan terpantau (Anonim 2007). Manajemen cash flow yang efektif dapat membatasi pengeluaran bulanan, meningkatkan
pemasukan,
menggunakan
tabungan
atau
melakukan
peminjaman (hutang). Hal tersebut bermanfaat dalam mengontrol pengeluaran tidak tetap seperti biaya rekreasi, pengeluaran pribadi, dan pengeluaran pangan. Adapun cash flow dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Tujuan dari pembuatan laporan cash flow yaitu untuk memberikan informasi kondisi keuangan keluarga, termasuk di dalamnya menunjukkan sumber pendapatan sekaligus gambaran pola pengeluaran, tabungan, dan investasi (Garman dan Forgue 1988). Dalam banyak peristiwa, keluarga tidak dapat menyisihkan uangnya untuk dimasukkan ke dalam tabungan karena tidak berhasil menekan jumlah pengeluaran.
20
Gambar 1 Diagram Cash flow manajemen keuangan keluarga (Anonim 2007). Pengeluaran Keluarga Dalam suatu keluarga pendapatan akan mempengaruhi aktivitas keluarga dalam upaya pemenuhan kebutuhan keluarga (Suryawati 2002). Hal ini terjadi karena tingkat pendapatan keluarga menentukan jenis pangan yang akan dibeli. Teori Bennet mengungkapkan bahwa persentase bahan pokok pangan dalam konsumsi suatu keluarga akan semakin menurun dengan meningkatnya pendapatan dan cenderung akan beralih pada pangan yang mengandung energi lebih mahal. Seiring dengan meningkatnya pendapatan maka akan terjadi pergeseran porsi pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non pangan. Pergeseran pola pengeluaran tersebut dikarenakan elastisitas terhadap pangan umumnya rendah, sebaliknya elastisitas terhadap non-pangan tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makannya sudah mencapai titik jenuh, sehingga peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan atau ditabung (BPS 2002). Salah satu cara untuk mengetahui tingkat kehidupan suatu masyarakat dapat dilihat dari pola pengeluaran rumah tangganya (BPS 2002). Keluarga dapat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan setiap anggota keluarganya dapat terpenuhi. Kebutuhan dasar manusia secara umum dibagi menjadi dua yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer merupakan
21 kebutuhan dasar yang sangat diperlukan agar dapat hidup dengan layak, seperti gizi, perumahan, pelayanan, pengobatan, pendidikan, dan sandang. Sedangkan kebutuhan sekunder meliputi waktu luang, ketenangan hidup, dan lingkungan hidup. Bryant (1990) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi konsumsi keluarga yaitu pendapatan, ukuran (besar keluarga), komposisi keluarga, dan harga. Menurut Sumarwan (1993), pola konsumsi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dari kepala rumah tangga, tingkat pendapatan keluarga, jumlah keseluruhan anggota keluarga dan selera makan keluarga. Teori Engel menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga maka akan semakin rendah persentase untuk pangan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendapatan rumahtangga maka akan semakin tinggi persentase pengeluarannya untuk pangan. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, umumnya pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) dan sebagian besar dari mereka sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup secara layak, sehingga terjadi penurunan kualitas hidup atau kesejahteraannya (Rambe et al., 2008). Hal ini didukung dengan pernyataan BPS (2002) yang menyebutkan bahwa pada negara yang sedang berkembang, persentase pengeluaran rumahtangga yang terbesar adalah pengeluaran untuk pangan. Tingkat kesejahteraan suatu keluarga akan dikatakan semakin baik apabila persentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil jika dibandingkan dengan total pengeluaran keluarga (Rambe 2004). Jenis pengeluaran keluarga yang digunakan oleh BPS (2008) yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Pengeluaran untuk pangan adalah pengeluaran untuk konsumsi terhadap bahan pangan kelompok padi-padian, ikan, daging, telur, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan lemak. Komoditi pangan yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap pergeseran garis kemiskinan adalah beras, gula pasir, telur, tahu, tempe, mi instan, dan minyak goreng. Sementara itu, pengeluaran non pangan meliputi biaya untuk perumahan, bahan bakar, penerangan dan air, barang dan jasa, pakaian dan barang-barang tahan lama lainnya. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Mangkuprawira (1985) bahwa jenis pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Secara naluriah seseorang dalam keluarga akan
22 terlebih dahulu menggunakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan baru kemudian untuk non pangan. Jika dikaitkan dengan teori Maslow seperti yang dikemukakan Rambe et al. (2008), maka akan dipenuhi terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar keluarga, salah satunya adalah pangan. Walaupun
demikian,
perilaku
ini
tidak
lepas
dari
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, tempat tinggal, musim, dan pendidikan (Mangkuprawira 1985). Kesejahteraan Keluarga Pengertian Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh sebuah keluarga. Keluarga dikatakan sejahtera apabila sudah dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarganya, baik sandang, pangan, papan, sosial, dan agama (Sulaeman 2008). Menurut Rambe et al. (2008), kesejahteraan merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, termasuk spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Setiap orang memiliki penilaian terhadap tingkat kesejahteraan dimana antara satu sama lain tidak sama. Sejahtera bagi seseorang belum tentu sama dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki pengalaman dan tingkat kepuasan yang berbeda yang sangat bergantung pada kepribadian masing-masing individu terhadap tingkat kepuasan dan persepsi yang dimilikinya akibat dari pengalaman sebelumnya (Angur et al., 2004). Kesejahteraan keluarga dapat dibedakan menjadi kesejahteraan ekonomi (family well-being) yang dapat diukur dari terpenuhinya kebutuhan dari pemasukan keluarga (contohnya diukur melalui pendapatan, upah, aset, dan pengeluaran keluarga) dan kesejahteraan meterial (family material well-being) yang diukur dari berbagai bentuk barang dan jasa yang digunakan keluarga (Sunarti 2008). Umumnya pengukuran kesejahteraan material dapat dilihat dari tingkat pendapatan. Menurut Sunarti (2008) tingkat kesejahteraan dapat diukur melalui dua cara, yaitu kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan objektif. Angur & Robin (2002) dalam Angur et al. (2004) mengemukakan dalam pengukuran
23 kesejahteraan objektif dapat digunakan indikator seperti kondisi perumahan, demografi, dan ekonomi. Robin (2004) dalam Angur et al. (2004) mengemukakan indikator untuk kesejahteraan subjektif terhadap kualitas hidup (subjective quality of
life)
seperti
kepuasan,
persepsi,
komitmen,
aspirasi,
dan motivasi.
Kesejahteraan objektif diasumsikan penghitungannya melalui kesesuaian jumlah objektivitas atau angka (kuantitatif) berbeda dengan kesejahteraan subjektif yang diukur melalui asumsi subjektivitas (kualitatif) pengalaman seseorang. Tingkat kesejahteraan
objektif
seseorang
akan
mempengaruhi
kesejahteraan
subjektifnya. Dimana persepsi seseorang terhadap suatu kondisi (objektif) akan membentuk suatu perilaku tertentu (subjektif). Kesejahteraan Subjektif (Quality of Life) Kesejahteraan subjektif (Quality of Life) adalah pengukuran tingkat kepuasan dan kebahagiaan seseorang secara subjektif terhadap keadaannya dalam waktu tertentu (Krueger 2009). Pendekatan subjektif dapat diukur melalui standar kualitas sikap, opini, dan skala persepsi. Menurut Diener & Eunkook (1997), tingkat kesejahteraan subjektif secara langsung menggambarkan perasaan seseorang dalam konteks standar yang telah ditetapkannya. Semakin tinggi kepuasan dibandingkan dengan standar hidup yang berlaku, maka semakin
tinggi
kepuasan
terhadap
kualitas
hidupnya.
Haydron
(2005)
mengemukakan bahwa tingkat kepuasan seseorang tidak hanya bergantung pada prioritas dalam hidupnya, tetapi juga bagaimana ia merespon terhadap suatu keadaan yang terkadang tidak sesuai dengan harapan. Menurut Puspitawati et al. (2008), puas atau tidaknya seseorang dapat dihubungkan dari nilai-nilai yang terbentuk dari pengalaman sebelumnya dan tujuan yang ingin dicapainya. Seseorang akan merasa semakin puas dan bahagia apabila semakin tinggi kekayaan yang dimilikinya (Angur et al., 2004). Kesejahteraan subjektif erat kaitannya dengan pandangan mengenai kualitas hidup. Menurut University of Toronto-Canada (2008) kualitas hidup dapat didefinisikan sebagai berikut: “Quality of life is the degree to which a person enjoys the important possibilities of his/her life. Possibilities result from oppurtunities and limitations each person has in her/his life and reflect the interaction of personal and environmental factors” (University of Toronto 2008).
Menurut
Kruenger
kesejahteraan subjektif, yaitu:
(2009),
terdapat
dua
komponen
kualitatif
24 •
Pertama terkait pandangan hidup dalam bagaimana menyikapi aktivitas sehari-hari yang dipengaruhi emosi positif dan negatif serta pengalaman.
•
Kedua terkait evaluasi kehidupan seseorang dengan mengukur tingkat kepuasan
hidupnya,
misalnya
dengan
menanyakan
“sejauh
apa
kepuasan yang Anda rasakan terhadap hidup Anda sehari-hari?”. Kesejahteraan Objektif Kesejahteraan objektif diperoleh dengan hasil melalui pengamatan atau observasi dari suatu objek yang dapat dibandingkan dengan standar baku dengan hasil kuantitatif. Umumnya pendekatan fisik (objektif) lebih sering digunakan untuk mengukur kualitas hidup penduduk suatu daerah (Angur et al., 2004). Kesejahteraan objektif dapat diukur dengan menggunakan dua indikator, yaitu indikator utama dan indikator tambahan. Indikator utama merupakan tingkat pendapatan per kapita per bulan dengan mengacu standar garis kemiskinan daerah.
Sedangkan,
indikator
tambahan
meliputi
indikator
pemenuhan
kebutuhan pangan, pakaian, perumahan, pendidikan anak, dan perawatan kesehatan keluarga (Sunarti 2009). Sumarwan (1993a) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sejahtera apabila terpenuhinya kebutuhan fisik dan material, dimana kebahagiaan berhubungan dengan perasaan atau emosi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan keluarga dikatakan lebih baik apabila presentase
pendapatan
yang
digunakan
untuk
pangan
lebih
rendah
dibandingkan presentase untuk kebutuhan lainnya atau non pangan. Salah satu indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan objektif yaitu menggunakan batas garis kemiskinan BPS yang didasarkan pada data konsumsi dan pengeluaran pangan dan non pangan (Rambe et al., 2008). Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan seseorang atau keluarga yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Pengukuran tingkat kemiskinan suatu masyarakat secara luas dan keluarga secara khususnya dapat digunakan pendekatan secara objektif dengan cara penetapan garis kemiskinan suatu daerah yang kemudian dapat digunakan sebagai pembanding. Garis kemiskinan (GK) didapatkan dari hasil survey modul konsumsi Susenas yang dinyatakan dalam bentuk rupiah setiap bulannya (Cahyat 2004). GK terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) (BPS 2010).
25 Kesejahteraan Ekonomi Keluarga Lingkungan dan tempat tinggal. Rumah menjadi salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia dalam hidupnya. Disamping sebagai tempat untuk berlindung, baik dari hujan maupun panas, rumah juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang memberikan rasa aman bagi penghuninya dari gangguan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu sangat penting keluarga memelihara kualitas rumah yang ditinggalinya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, maka semakin sejahtera keluarga yang menempati rumah tersebut. (BPS 2002).
Adapun
berbagai
fasilitas
yang
dapat
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan tersebut berdasarkan Indikator Kesejahteraan Rakyat BPS (2002) diantaranya: •
Jenis lantai dimana semakin baik kualitas lantai perumahan maka semakin baik tingkat kesejahteraan penduduk. Rumah tangga dengan jenis lantai keramik atau marmer memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada rumah tangga yang menggunakan jenis lantai semen, ubin atau tanah.
•
Atap yang layak dan dinding permanen dimana pada umumnya kualitas perumahan di pedesaan lebih rendah dibandingkan di daerah perkotaan.
Kepemilikan Aset. Menurut Bryant (1990) sumberdaya rumahtangga dapat dibedakan menjadi human resources (sumberdaya manusia) dan physical resources (sumberdaya fisik). Termasuk dalam human resources yaitu waktu, keahlian, dan energi dari seluruh anggota rumahtangga. Sedangkan physical resources lebih kepada sumberdaya materi berupa fasilitas kredit, saham, rekening tabungan, obligasi, mobil, rumah, dan tanah. Sementara itu Guharja et al. (1993) membedakan aset keluarga menjadi dua jenis, yaitu: •
Aset lancar terdiri dari barang-barang yang dapat cepat diuangkan, contoh: emas, perhiasan, dan tentu saja uang.
•
Aset tidak lancar terdiri dari barang-barang yang relatif agak lama diuangkan, contoh: tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi modal.
Penelitian Pendahulu Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis. Adapun penelitian-penelitian terdahulu dapat dilihat secara lebih rinci pada Tabel 1.
26 Tabel 1 Hasil penelitian pendahulu
Nama Yani Adriani
Tahun 2000
Judul Penelitian Pengaruh Kontribusi Ekonomi Wanita Bekerja terhadap Pola Pengambilan Keputusan dan Tingkat Kesejahteraan dalam Rumahtangga Nelayan, Kasus Dusun Petoran, Desa Gebang Mekar, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon Analisis Tingkat Stress dan Strategi Koping pada Suami yang Istrinya Bekerja Sebagai TKW di Luar Negeri, Kasus di Desa Sukasari, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi
Eka Aprilianti
2007
Vivi Irzalinda
2010
Kontribusi Ekonomi, Peran Istri dan Kesejahteraan Keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor, Studi Kasus pada Istri di Kelurahan Situ GedeKecamatan Bogor dan Desa Hambaro-Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor
Khairunnisa Nurulfirdausi
2010
Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW), Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
Hasil Persentase rata-rata kontribusi ekonomi wanita bekerja sebesar 33,3-75,0 persen terhadap pendapatan keluarga.
Sebanyak 46,7 persen istri setelah TKW berkontribusi terhadap pendapatan suami sebesar lebih dari 75 persen dengan rata-rata sebesar Rp 1.676.666,70 per bulan. Hal ini berarti sumbangan pendapatan istri terhadap pendapatan suami sangat besar. Semakin besar kontribusi nilai ekonomi produktif terhadap pendapatan total keluarga per bulan maka akan semakin lebih besar tingkat kesejahteraan keluarga. Rata-rata kontribusi nilai ekonomi prduktif istri terhadap pendapatan total keluarga di Kelurahan Situ Gede sebesar Rp 2.475.333,per bulan (71,8%) dan di Desa Hambaro sebesar Rp 673.033,- (46,6%). Sebanyak tiga perempat istri (70,2%) menyumbang pendapatan terhadap pendapatan total keluarga setelah menjadi TKW sebesar lebih dari 60,0 persen. Dengan pengeluaran contoh lebih banyak untuk pengeluaran non-pangan dibandingkan untuk pengeluaran pangan (85,1%).