7
TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga Pengertian keluarga Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masingmasing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman 1998). Keluarga adalah sekelompok orang dengan ikatan perkawinan, darah, atau adopsi; terdiri dari satu orang kepala rumahtangga, interaksi dan komunikasi satu sama lainnya dalam peran suami istri yang saling menghormati, ibu dan ayah, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki dan perempuan, dan menciptakan serta mempertahankan
kebudayaannya
(Duvall
dan
Miller
1985).
Sedangkan
pengertian keluarga menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami, istri, dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Keluarga adalah suatu kelompok atau orang-orang yang disatukan oleh perkawinan, darah, dan adopsi yang berkomunikasi satu sama lain dan menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara lakilaki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Keluarga khususnya orangtua bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan, dan mengembangkan anggota-anggotanya. Ibu pada masa kini di samping mengurus rumahtangga juga bekerja untuk menambah pendapatan keluarga. Menurut Megawangi (1999) keluarga adalah sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Ada delapan fungsi keluarga utama menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 dalam BKKBN tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera yaitu fungsi keagamaan, fungsi sosial, fungsi budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Rice dan Tucker (1986) membagi fungsi keluarga menjadi dua fungsi utama, yaitu fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Contoh dari fungsi instrumental adalah memberikan nafkah, memenuhi kebutuhan biologis dan fisik pada anggota keluarga. Memenuhi kebutuhan psikologis, sosial, dan emosi, kasih sayang, kehangatan, aktualisasi dan pengembangan diri anak adalah contoh dari fungsi ekspresif. Keseimbangan
8
dalam menjalankan peran/fungsi instrumental dan ekspresif sangat diperlukan agar dapat mengintegrasikan suasana keluarga yang harmonis.
Teori Struktural-Fungsional Teori ini adalah teori yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang memiliki beberapa bagian (biasa disebut subsistem) dan subsistem tersebut saling berhubungan dan berkaitan. Teori ini menerima adanya
keanekaragaman
dalam
kehidupan
sosial
dan
sistem
tersebut
dilandaskan pada nilai-nilai agar terjadi keseimbangan, serta stabil. Dimensi penting dalam struktur fungsional ini adalah adanya kejelasan mengenai peran dan fungsi. Fungsi tersebut terstruktur pada hirarki yang harmonis dan terselenggara secara konsisten. Peran adalah beberapa kegiatan terkait fungsi yang diharapkan dapat dilakukan dengan baik oleh setiap anggota dalam keluarga untuk mencapai tujuan sistem secara optimal. Fungsi adalah sejumlah kegiatan yang memiliki kesamaan sifat dan tujuan. Adapun persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga menurut Levy (Megawangi 1999) sebagai sistem dapat berfungsi adalah : 1. Diferensiasi peran: Serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga sehingga mengharuskan adanya alokasi peran untuk setiap anggota di dalam keluarga. Diferensiasi peran dapat mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik. 2. Alokasi solidaritas: Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan mengambarkan hubungan antar anggota. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. 3. Alokasi ekonomi: Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Differensiasi tugas juga ada dalam hal ini, terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga. 4. Alokasi politik: Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. 5. Alokasi integrasi dan ekspresi: Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi dan pelestarian nilai-nilai serta perilaku untuk memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.
9
Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi 1999).
Teori Sosial-Konflik Asumsi teori sosial konflik berlawanan dengan teori struktur fungsional. Asusmsi Karl Marx menyatakan bahwa walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik
yang
sistematik,
pola
relasi
sebenarnya
menggambarkan
kepentingan pribadi, konflik yang tidak dapat dihindari dari sistem sosial, konflik akan terjadi pada keterbatasan pendistribusian sumberdaya terutama kekuasaan dan konflik adalah sumber utama dari perubahan. Situasi konflik dalam lingkungan sosial adalah sesuatu yang normal terjadi. Hubungan yang penuh konflik ini juga terjadi pada keluarga, sumber dari konflik tersebut adalah struktur dan fungsi dari keluarga itu sendiri. Seorang suami sebagai kepala keluarga dapat menjadi sumber konflik dengan istri sebagai ibu rumahtangga karena dalam struktur, mutlak terjadi penindasan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih tinggi kepada orang yang berada di bawahnya. Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarki. Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Megawangi 1999). Menurut perspektif sosial konflik, perempuan sebagai istri harus dapat dibebaskan dari belenggu keluarga agar dapat menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab dengan dirinya sendiri dan dapat mengaktualisasikan diri. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penghapusan atau perubahan dari suami sebagai pencari nafkah sedangkan istri hanya sebagai ibu rumahtangga. Hasil perubahan tersebut adalah terjadi perubahan peran yang
10
lebih fleksibel dan istri dapat lebih mengaktualisasikan diri, misalnya dengan bekerja.
Teori Gender Peran ganda Michelle et al. (1974) menyatakan bahwa peran ganda disebutkan dengan konsep dualisme cultural yakni adanya konsep lingkungan domestik dan publik. Peran domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumahtangga. Sementara peran publik meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat, dan organisasi masyarakat. Pada peran publik perempuan sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia. Peran ganda perempuan berimplikasi pada: (1) Peran kerja sebagai ibu rumahtangga, meski tidak langsung menghasilkan pendapatan, secara produktif bekerja membantu kaum laki-laki untuk mencari penghasilan, dan (2) Berperan sebagai pencari nafkah (tambahan ataupun utama). Peran ganda perempuan adalah peran perempuan di suatu pihak keluarga sebagai pribadi yang mandiri, ibu rumahtangga, mengasuh anak-anak dan sebagai istri serta dipihak lain sebagai anggota masyarakat, sebagai pekerja dan sebagai warga negara yang dilaksanakan secara seimbang. Perempuan dianggap melakukan peran ganda apabila ia bertanggung jawab terhadap tugas-tugas domestik yang berhubungan dengan rumahtangga seperti membersihkan rumah, memasak, melayani suami dan merawat anak-anak, serta ketika perempuan bertanggung jawab atas tugas publik yang berkaitan dengan kerja di sektor publik yakni bekerja di luar rumah dan bahkan seringkali berperan sebagai pencari nafkah utama. Peran ganda adalah jumlah peran yang berorientasi pada pendekatan hubungan dengan orang lain dan frekuensi peran (frekuensi kontak face to face dengan orang lain selama satu tahun) (Chen 2010). Peran ganda dan efek kesejahteraan berbeda untuk setiap budaya yang berbeda dan peran ganda lebih
menguntungkan
untuk
kesejahteraan
psikologi
laki-laki
daripada
perempuan di Jepang dan Barat (Sugihara 2008). Hasil penelitian Chen (2010) menyatakan bahwa klasifikasi peran ganda istri terdiri dari 12 aspek: sebagai anak, istri, orangtua, nenek, saudara kandung, teman, bagian dari keluarga besar, tetangga, pekerja, anggota grup, aktivis keagamaan, dan sukarelawan.
11
Herzog et al. (1998) yang menyatakan bahwa perempuan yang terlibat dalam peran ganda seperti aktivitas grup akan meningkatkan kesejahteran subjektifnya. Strategi menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga Persepsi kesuksesan keseimbangan antara bekerja dan keluarga adalah hasil proses kompleks psikologi ketika individu mengevaluasi antara permintaan bekerja dan sumberdaya keluarga dengan permintaan keluarga dan sumberdaya kerja (Voydanof 2005). Terdapat dua adaptasi strategis yaitu menambah sumberdaya keluarga dan mengurangi permintaan jam kerja. Voydanof (2005) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara adaptasi strategis dengan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Clarke et al. (2004) mengungkapkan
bahwa
hubungan
antara
adaptasi
strategis
dengan
keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga bervariasi tergantung pada karakteristik personalnya. Karakteristik personal juga berkontribusi untuk kesuksesan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga seiring dengan peran ganda. Lai (1995) mengungkapkan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga berhubungan negatif signifikan dengan kesejahteraan psikologis dan Milkie (1999) menyatakan bahwa jam kerja dan pembagian pekerjaan domestik yang adil akan mempengaruhi keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan. Keene (2004) menyatakan bahwa jam kerja berhubungan negatif signifikan dengan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga dan anak terkecil berhubungan negatif dengan kesuksesan dalam menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan (Milkie 1999). Strickland (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan keseimbangan pekerjaan dan keluarga kemudian Lee (2006) menyatakan bahwa tujuan keluarga, pendidikan, keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga, manajemen aktifitas berhubungan positif dengan kesejahteraan. Hasil penelitian Beham (2010) mengungkapkan
bahwa
keseimbangan
antara
pekerjaan
dan
keluarga
berpengaruh terhadap kepuasan. Milkie (2010) menyatakan bahwa jam kerja berhubungan negatif dengan penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga, alokasi waktu dengan anak berhubungan negatif dengan penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Hasil penelitian Sidin (2010) menyatakan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga berhubungan dengan kesejahteraan subjektif.
12
Kontribusi Ekonomi Perempuan Penelitian Ministry of Health, Labour and Welfare (2005) menyebutkan bahwa meningkatnya partisipasi perempuan yang sudah menikah sebagai pekerja dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga. Hal tersebut dapat menyimpulkan bahwa kontribusi ekonomi perempuan terhadap total pendapatan keluarga tidak dapat diabaikan urgensinya. Urgensi tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa besarnya kontribusi yang diberikan oleh buruh perempuan terhadap pendapatan keluarga cukup besar yakni sebesar 52,3 persen (Fadah et al. 2004). Kontribusi perempuan terhadap pertanian keluarganya adalah sebesar 66,6 persen (Ukoha 2003). Herawati (2000) mengungkapkan bahwa semakin tinggi jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah dapat disebabkan oleh tuntutan ekonomi keluarga, meningkatnya pendidikan, terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan dan teknologi yang semakin maju. Hal ini dapat dikatakan bahwa alasan perempuan mencari penghasilan tambahan, yaitu: uang, peranan sosial dan pengembangan diri. Hasil laporan penelitian di Wellington menyebutkan bahwa 86 persen perempuan Pasifik memberikan kontribusi ekonomi pada keluarganya, kontribusi tersebut digunakan untuk biaya pengeluaran hidup sehari-hari (Koloto 2005). Hasil penelitian Yamato (2003) menjelaskan bahwa istri dengan kontribusi pendapatan
yang
tinggi
dan
rendah
akan
meningkatkan
kepuasan
pernikahannya jika suami ikut andil dalam pengasuhan anaknya. Buruh perempuan Buruh merupakan pekerja di sektor informal yaitu industri kecil dan rumahtangga. Ketika kita melihat Indonesia, kelas buruh ternyata didominasi oleh kalangan perempuan. Jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah sebesar 35.479.000 orang dan 87 persen dari angkatan kerja tersebut merupakan perempuan (Sakernas; Survei Angkatan Kerja Nasional 2003). Pada satu sisi, masuknya perempuan ke dalam sektor industri adalah sebagai proses upaya pemberian kontribusi perempuan sebagai istri pada ekonomi keluarga. Pada sisi lain kondisi buruh ini masih sangat memprihatinkan (masih terjadi marginalisasi, subordinasi dan stereotipe), seperti kondisi upah yang
masih
sangat
rendah,
persoalan-persoalan
kesehatan
reproduksi,
diskriminasi, pelecehan seksual, dan lain-lain (Daulay 2006). Padahal, keputusan perempuan untuk bekerja sebagai buruh merupakan suatu upaya koping strategi keluarga dalam hal ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan keluarga.
13
Kesejahteraan Keluarga Pengukuran tingkat kesejahteraan dapat dilakukan dengan pendekatan objektif dan subjektif. Pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan objektif didasarkan pada standar yang telah disepakati negara atau provinsi, namun pada pengukuran kesejahteraan subjektif didasarkan pada pertimbangan individual (Raharto dan Romdiati) (2000). Kesejahteraan subjektif ini biasa disebut Quality of life (QOL), Subjective Quality of life (SQOL) atau Subjective Well- Being (SWB). Menurut UU No. 52 tahun 2009 ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin (www.hsph.harvard.edu). BKKBN membagi keluarga dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus). Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I) termasuk dalam kategori miskin. Ada lima indikator yang harus dipenuhi agar suatu keluarga dikategorikan sebagai Keluarga Sejahtera I, yaitu: 1) Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masingmasing; 2) Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih; 3) Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja dan bepergian; 4) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah; dan 5) Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB pergi ke sarana/petugas kesehatan serta diberi cara KB modern. Adapun suatu keluarga termasuk Keluarga Pra-Sejahtera jika tidak memenuhi salah satu dari lima indikator tersebut (BPS 2008). Sunarti (2001) melakukan penelitian ketahanan keluarga dengan menggunakan pendekatan sistem (input-prosesoutput). Hasilnya ditemukan faktor laten ketahanan keluarga, yaitu ketahanan fisik, sosial, dan psikologis. Ketahanan fisik mencakup kesejahteraan fisik, ketahanan sosial mencakup kesejahteraan sosial, dan ketahanan psikologis mencakup kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan fisik menggambarkan kondisi tingkat pemenuhan kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Adapun kesejahteraan sosial dicerminkan dari persepsi dan harapan terhadap lingkungan yang merupakan hasil dari suatu rangkaian proses interaksi sosial. Sedangkan, kesejahteraan psikologi terukur dari frekuensi emosi
14
tertentu, harapan terhadap masa datang, tingkat kepuasan, konsep diri, dan kepedulian suami terhadap isteri. Quality of life (QOL) adalah kesejahteraan yang menyeluruh berdasarkan standar personal yang bernama kesejahteraan subjektif (Kamitsuru 2004). Definisi dari kesejahteraan subjektif adalah kepuasan hidup berdasarkan atas standar personal (Chen 2010). Subjective Well-Being (SWB) adalah kategori besar dari fenomena yang terdiri dari respon emosional, domain kepuasan dan pendapat global dari kepuasan hidup (Hoorn 2007). Spesifikasi dari SWB terdiri dari 2 komponen berbeda: bagian afektif yang dapat menimbulkan efek positif dan negatif. Bagian afektif adalah evaluasi hedonik yang diarahkan oleh emosi dan perasaan, bagian kognitif adalah informasi dengan dasar harapan hidup yang ideal. Dimensi dari SWB adalah: 1) Faktor personality, 2) Faktor kontekstual dan situasional, 3) Faktor demografi, 4) Institusional, 5) Lingkungan, dan 6) Ekonomi. Beberapa
studi
menyebutkan
bahwa
faktor
yang
mempengaruhi
kesejahteraan subjektif adalah umur, gender dan pendidikan, status finansial (Zhang 2007), status perkawinan dan kesehatan fisik (Chen 2000). Hasil penelitian Chen (2010) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan lansia di China adalah perbedaan gender dan frekuensi peran. Semakin banyak frekuensi peran, kontak dengan tetangga dan aktivitas grup maka semakin tinggi rata-rata kesejahteraan perempuan.
Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai kontribusi ekonomi perempuan, peran ganda dan kesejahteraan keluarga telah banyak dilakukan. Kontribusi ekonomi istri terhadap ekonomi keluarga memiliki proporsi yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Irzalinda (2010) yang menyatakan bahwa rata-rata kontribusi nilai ekonomi pekerjaan istri terhadap pendapatan total keluarga adalah sebesar 16,4 dan 46,2 persen pada desa dan kota Bogor. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Ukoha (2003) yang menyebutkan bahwa kontribusi perempuan terhadap pertanian keluarganya adalah sebesar 66,6 persen, merupakan angka yang cukup signifikan. Fadah et al. (2004) juga mengungkapkan
bahwa
kontribusi
ekonomi
pendapatan keluarga sebesar 52,3 persen.
buruh
perempuan
terhadap
15
Herawati (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah dapat disebabkan oleh tuntutan ekonomi keluarga, meningkatnya pendidikan, terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan dan teknologi yang semakin maju. Chen (2010) mengungkapkan bahwa semakin banyak jumlah peran yang dimiliki perempuan, semakin sering kontak dengan tetangga dan banyak aktivitas grup lainnya maka semakin tinggi kesejahteraan subjektif perempuan. Penelitian Rambe (2004) menyatakan bahwa faktor determinan kesejahteraan subjektif adalah pendidikan kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga, persepsi kerja, dan pendapatan. Perempuan yang memiliki peran ganda akan berusaha untuk melakukan penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga untuk mencapai keluarga yang sejahtera. Beberapa penelitian mengenai penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga, yaitu Lai (1995), Milkie (1999), Keene (2004), Milkie (1999), Strickland (2006), Lee (2006), Beham (2010), Milkie (2010), dan Sidin (2010). Judul dan hasil penelitian pendahulu terkait topik penelitian secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian No. 1.
Tahun 1995
Penulis Lai
2.
1999
Milkie et. al
3.
2000
Herawati
Judul Work and Family Roles and Pscychologycal WellBeing in Urban China Playing All The Roles: Gender and The Work-Family Balancing Act
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Remaja SMU tentang Peran Gender Tradisional
Hasil Konflik antara pekerjaan dan keluarga berhubungan negatif signifikan dengan kesejahteraan psikologis Jam kerja dan pembagian pekerjaan domestik yang adil mempengaruhi keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan Anak terkecil berhubungan negatif dengan kesuksesan dalam menyeimbangkan antara keluarga dan pekerjaan Semakin tinggi jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah dapat disebabkan oleh tuntutan ekonomi keluarga, meningkatnya pendidikan, terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan dan teknologi yang semakin maju
16 Lanjutan Tabel 1 No. 4.
Tahun 2003
Penulis Ukoha
5.
2004
Rambe
6.
2004
Fadah et al.
7.
2004
Keene et. Al
8.
2006
Strickland
9.
2006
Lee et. Al
10.
2010
Beham et. Al
11.
2010
Chen
12.
2010
Firdauasi
Judul Contibution of Women to Farm Family Income in Ikuwano Local Government Area of Abia State, Nigeria Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga dan Tingkat Kesejahteraan
Karakteristik Demografi dan Sosial Ekonomi Buruh Perempuan serta Kontribusinya terhadap Pendapatan Keluarga Predictors Of Perceived WorkFamily Balance The Relationship Between Work Role Centrality, Social Support System, Work-Family Dynamics, and Job Satisfaction in Women Work Roles, Management and Perceived Well-Being for Married Women Within Family Businesses Satisfaction With Work-Family Balance Among German Office Workers Factor Related to Well-Being Among The Elderly In Urban China Focusing on Multiple Roles
Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan
Hasil Kontribusi perempuan terhadap pertanian keluarganya adalah sebesar 66,6 persen
Faktor determinan kesejahteraan subjektif adalah pendidikan kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga dan pendapatan Kontribusi ekonomi buruh perempuan terhadap pendapatan keluarga sebesar 52,3 persen
Jam kerja berhubungan negatif signifikan dengan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan keseimbangan pekerjaan dan keluarga
Tujuan keluarga, pendidikan, keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga, manajemen aktifitas berhubungan positif dengan kesejahteraan Keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga berpengaruh terhadap kepuasan Semakin banyak jumlah peran yang dimiliki perempuan, semakin sering kontak dengan tetangga dan banyak aktivitas grup lainnya maka semakin tinggi kesejahteraan subjektif perempuan Kontribusi ekonomi TKW tidak berpengaruh pada kesejahteraan keluarga Kesejahteraan subjektif dipengaruhi nyata positif oleh jumlah anak
17 Lanjutan Tabel 1 No. 13.
Tahun 2010
Penulis Milkie
14.
2010
Sidin et. Al
15.
2010
Vivi Irzalinda
Judul Time With Children, Children's WellBeing, and WorkFamily Balance Among Employed Parents
Relationship between work-family conflict and quality of life Kontribusi Ekonomi, Peran Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga di Kota dan Kabupaten bogor
Hasil Jam kerja berhubungan negatif dengan penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga Alokasi waktu dengan anak berhubungan negatif dengan penyeimbangan antara pekerjaan dan keluarga Konflik antara pekerjaan dan keluarga berhubungan dengan kesejahteraan subjektif Rata-rata kontribusi nilai ekonomi pekerjaan istri terhadap pendapatan total keluarga adalah 16,4 dan 46,2 persen pada masingmasing dua dearah lokasi penelitian Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif adalah permasalahan keluarga.
Firdausi (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kesejahteraan subjektif dipengaruhi nyata positif oleh jumlah anak dan menurut hasil penelitian Irzalinda (2010) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga subjektif (Subjective Quality of Life) adalah permasalahan keluarga. Meskipun menurut hasil penelitian Firdausi (2010) kontribusi ekonomi TKW tidak berpengaruh pada kesejahteraan keluarga namun tidak menutup kemungkinan akan berpengaruh sebaliknya pada hasil penelitian ini. Berdasarkan dari hasilhasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kontribusi ekonomi perempuan terhadap pendapatan keluarga cukup tinggi yaitu 66,6 persen (Ukoha 2003), 16,4 dan 46,2 persen di desa dan kota Bogor (Irzalinda 2010), 52,3 persen (Fadah et al. 2004). Hal-hal yang dapat mempengaruhi kesejahteraan adalah pendidikan dan umur kepala rumah tangga, persepsi kerja dan pendapatan (Rambe 2004), jumlah anak (Firdausi 2010), permasalahan keluarga (Irzalinda 2010), peran ganda (Chen 2010) terdapat hubungan anatara karakteristik keluarga, tekanan ekonomi, manajemen keuangan, mekanisme koping dan kesejahteraan keluarga (Firdaus 2008). Lai (1995) mengungkapkan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga berhubungan negatif signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Lee (2006) menyatakan bahwa tujuan keluarga, pendidikan, keseimbangan antara
18
pekerjaan dan keluarga, manajemen aktifitas berhubungan positif dengan kesejahteraan.
Hasil
penelitian
Beham
(2010)
mengungkapkan
bahwa
keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga berpengaruh terhadap kepuasan. Hasil penelitian Sidin (2010) menyatakan bahwa konflik antara pekerjaan dan keluarga berhubungan dengan kesejahteraan subjektif. Hasil-hasil tersebut digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini.