6
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Fungsi Keluarga Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang memiliki peranan penting terhadap perkembangan sosial, terutama pada awal-awal tahapan perkembangan yang menjadi landasan bagi tahapan perkembangan kepribadian selanjutnya (Gunarsa 2008). Keluarga merupakan instansi pertama dan utama yang terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, adopsi, dan saling berinteraksi satu sama lain serta memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri individu dalam pembentukan kepribadian individu. Jika keluarga bukan merupakan instansi pertama bagi sosialisasi diri individu maka lingkungan luar akan mengambil alih posisi instansi pertama tersebut dan mempunyai peran terhadap pembentukan kepribadian individu tersebut. Menurut Burgess dan Locke (1960) empat ciri keluarga yaitu: 1) keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi; 2) anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap rumah serta merupakan susunan rumah tangga; 3) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi dan menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, serta saudara laki-laki dan saudara perempuan. Peranan-peranan tersebut diperkuat oleh kekuatan tradisi dan emosional yang menghasilkan pengalaman; 4) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai yakni membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Tujuan dalam membentuk keluarga antara lain mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi anggota keluarga, serta mendapatkan keturunan sebagai generasi penerus bangsa berikutnya. Keluarga yang sejahtera dapat diartikan sebagai keluarga yang dibentuk atas dasar pernikahan yang sah, dapat memenuhi kebutuhan hidup baik dalam segi fisik maupun psikologi, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta dapat menciptakan hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota
keluarga
maupun
antara
keluarga
dengan
masyarakat
lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992 dalam Puspitawati 2009).
atau
7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1994) menyebutkan ada delapan fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, antara lain: 1. Fungsi keagamaan yaitu keluarga perlu memberikan dorongan kepada seluruh anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan untuk menjadi insaninsan agama yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Fungsi sosial budaya yaitu memberikan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan. 3. Fungsi cinta kasih yaitu keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan isteri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. 4. Fungsi melindungi yaitu untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan. 5. Fungsi reproduksi yaitu mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa. 6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan yaitu dengan memberi peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar dapat melakukan penyesuaian dengan alam kehidupan masa depan. 7. Fungsi ekonomi, menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. 8. Fungsi pembinaan lingkungan yaitu memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah. Setiap
anggota
keluarga
sebaiknya
dapat
menjalankan
serta
mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga tersebut agar dapat tercipta keluarga yang berkualitas. Pengembangan kualitas diri dan fungsi keluarga dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, mental spiritual, nilai-nilai keagamaan, dan peningkatan usaha kesejahteraan lainnya (PP no. 21 1994). Jika anggota keluarga dapat melaksanakan fungsi-fungsi keluarga dengan baik, maka antar anggota keluarga dapat saling memberikan perhatian satu sama lain, secara emosional mereka dapat saling terhubung satu sama lain
8 dan saling mendukung anggota keluarganya. Borr (1970) dalam Puspitawati (2009) menyatakan bahwa semakin meningkatnya usia perkawinan maka semakin baik pula keluarga dalam melaksanakan fungsinya. Maneker dan Rankin (1985) dalam Puspitawati (2009)
menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara lama perkawinan, umur, dan tingkat pendidikan pasangan. Semakin lama usia perkawinan maka kesesuaian anggota keluarga akan semakin meningkat. Menurut Bulut (1990) dalam Puspitawati (2009) juga menunjukkan bahwa anggota keluarga melaksanakan fungsi keluarganya menjadi lebih baik seiring meningkatnya
lama
usia
perkawinan.
Menurut
Goleman
(1998)
dalam
Puspitawati (2009) berdasarkan penelitiannya yang mengukur kepuasan pasangan, menunjukkan bahwa dalam permasalahan perasaan di antara pasangan ’komunikasi yang efektif’ merupakan faktor yang paling penting bagi wanita. Penyesuaian dalam Perkawinan Perkawinan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Dalam perkawinan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya (Anjani dan Suryanto 2006). Hal ini berarti pasangan harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, oleh karena itu diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling menyesuaikan diri untuk mencapai keharmonisan. Tanpa memperhatikan tipe keluarganya, penyesuaian dalam perkawinan merupakan salah satu masalah yang paling sulit dan harus dialami oleh pasangan (Hurlock 2002). Pentingnya penyesuaian dan tanggung jawab sebagai suami atau istri dalam sebuah perkawinan akan berdampak pada keberhasilan dalam hidup berumah tangga. Keberhasilan dalam hal ini mempunyai pengaruh yang
kuat
kekecewaan
terhadap dan
adanya
kepuasan
perasaan-perasaan
dalam
bingung,
perkawinan, sehingga
mencegah
memudahkan
seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kedudukannya sebagai suami atau istri serta di kehidupan dalam bermasyarakat (Hurlock 2002). Menurut Hurlock (2002) pasangan suami istri yang melakukan penyesuaian diri berupaya untuk
9 dapat berhubungan dengan mesra, saling memberi dan menerima cinta, menunjukkan afeksi, dan melakukan konumikasi terhadap perbedaan yang dimiliki. Penyesuaian merupakan interaksi individu yang secara terus-menerus dengan dirinya, orang lain, dan dengan dunianya. Penyesuaian diri menurut Atwater (1983) adalah suatu perubahan yang dialami seseorang untuk mencapai suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Karakteristik penyesuaian diri yang baik yang harus dimiliki oleh seseorang menurut Haber dan Runyon (1984) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009) adalah memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas atau kenyataan, mampu mengatasi atau menangani tekanan atau kecemasan, memiliki citra diri yang positif, mampu untuk mengekspresikan perasaan, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Penyesuaian diri dalam perkawinan adalah perubahan dalam kehidupan pasangan selama masa perkawinan yang ditandai dengan adanya kecocokan, persetujuan dan kepercayaan serta kasih sayang antara suami istri sehingga pada hubungan di antara keduanya dapat berjalan dan berfungsi dengan baik (Hapsariyanti & Taganing Hapsariyanti dan Taganing
2009). Menurut Landis dan Landis (1970)
dalam
(2009) menyatakan bahwa ada beberapa area
penyesuaian pada suatu perkawinan, yaitu kepribadian dan kemampuan untuk saling menyesuaikan diri dengan pasangan. Hal ini menyangkut kemampuan untuk saling menyesuaikan terhadap pribadi serta kebiasaan pasangannya. Di sini termasuk bagaimana pasangan menyelesaikan konflik dan perbedaan pendapat. Penyesuaian dalam perkawinan harus dilakukan dengan cara yang berbeda sesuai dengan tingkat usia perkawinan pasangan (Hurlock 2002). Landis dan Landis (1970) dalam Hapsariyanti dan Taganing
(2009)
membatasi kriteria penyesuaian dalam perkawinan yang ditandai oleh adanya kesesuaian pendapat antara suami dan istri dalam hal yang dapat menjadi permasalahan
besar;
adanya
minat
dan
kegiatan
bersama;
adanya
pengungkapan kasih sayang dan rasa saling percaya; memiliki sedikit keluhan; dan tidak banyak memiliki perasaan kesepian, sedih, marah dan semacamnya. Hurlock (2002) membagi masalah penyesuaian diri dalam perkawinan ke dalam empat pokok yang paling penting dan umum bagi kebahagian perkawinan antara lain: penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian dengan seksual, penyesuaian
10 keuangan, dan penyesuaian dengan keluarga dari pihak masing-masing pasangan.
Penyesuaian dengan Pasangan Masalah penyesuaian yang pertama kali dihadapi oleh keluarga adalah penyesuaian terhadap pasangannya (suami atau istri). Hubungan interpersonal mempunyai peranan yang penting dalam perkawinan. Hubungan interpersonal jauh lebih rumit dibandingkan dengan hubungan bisnis atau persahabatan. Hal ini dikarenakan di dalam perkawinan terdapat berbagai faktor yang tidak biasa timbul dalam kehidupan individual (Hurlock 2002). Semakin banyak pengalaman dalam membina hubungan interpersonal antara pria dan wanita yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula wawasan sosialnya, serta semakin baik pula dalam menyesuaikan diri satu sama lain dalam perkawinan. Hal
yang
lebih
penting
dalam
penyesuaian
perkawinan
adalah
kesanggupan dan kemampuan suami dan istri untuk berhubungan dengan mesra, serta saling memberi dan menerima cinta pasangan (Hurlock 2002). Berdasarkan
Hurlock
(2002)
terdapat
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penyesuaian terhadap pasangan antara lain: konsep pasangan yang ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar belakang, minat dan kepentingan bersama, kesamaan nilai, konsep peran, dan perubahan dalam pola hidup. Penyesuaian pada pasangan suami istri merupakan hal yang penting dalam perkawinan. Penyesuaian dalam perkawinan akan berjalan terus, sejalan dengan perubahan yang terjadi, baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan usaha yang optimal untuk dapat mempertahankan perkawinan (Anjani & Suryanto 2006). Sebuah perkawinan dapat bertahan dengan adanya kemampuan komunikasi yang efektif di dalam keluarga, baik antara suami-istri, orangtua-anak, maupun anak-anak. Hoffman dan Nye (1974) menyoroti penyesuaian perkawinan berdasarkan pembagian tugas rumah tangga antara suami istri. Wanita (istri) biasanya ditugaskan untuk mengurus masalah rumahtangga yakni: mengasuh, merawat, dan mendidik anak karena dianggap cocok dengan kondisi psikologis dan fisiologisnya. Sedangkan laki-laki (suami) ditugaskan sebagai pencari dan pemberi nafkah utama dan sebagai kepala keluarga yang harus dilayani dan dihormati oleh istri. Setiap suami maupun istri tentunya memiliki beberapa tugas yang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Menurut Gunarsa (1982)
11 setiap pasangan suami istri harus saling ikut serta dalam setiap perubahan yang terjadi melalui penyelesaian masalah demi masalah, khususnya perubahan dan perkembangan suasana rumah. Menurut Hapsariyanti dan Taganing (2009) penyesuaian lainnya adalah pembagian peran. Suami istri harus membicarakan peran yang berkaitan dengan tugasnya sebagai suami istri. Suami istri harus membentuk persetujuan timbalbalik yang berkaitan dengan masalah peran suami dan istri di dalam rumah tangga, misalnya siapa yang lebih banyak berperan dalam mencari nafkah bagi keluarga dan siapa yang lebih banyak berperan dalam mengurus kehidupan keluarga sehari-hari. Penyesuaian pada pendapatan keluarga, pasangan suami istri harus melakukan penyesuaian terhadap pengelolaan pendapatan atau sumber keuangan keluarga termasuk pemakaiannya. Penyesuaian juga perlu dilakukan dalam rekreasi. Rekreasi atau kegiatan waktu luang berhubungan dengan kesesuaian antara suami dan istri mengenai pemakaian waktu bagi keluarga untuk berekreasi atau bersenang-senang bersama keluarga. Alokasi waktu itu mempunyai arti yang penting bagi kebahagiaan perkawinan setiap pasangan suami istri. Penyesuaian diri di dalam perkawinan tidak terlepas dari kesediaan masing-masing individu untuk bisa memahami pasangannya dalam berbagai cara. Tetapi kepribadian, kesediaan berempati, latar belakang individu dan komunikasi yang baik juga merupakan syarat yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Untuk itu, penyesuaian perkawinan bukan merupakan suatu hal yang mudah tetapi justru harus diupayakan terus-menerus oleh pasangan suami istri (Hapsariyanti dan Taganing 2009). Keberhasilan dalam proses penyesuaian perkawinan terletak pada kemampuan mereka untuk saling menyesuaiakan sudut pandang mereka satu sama lain. Oleh karena itu Hurlock (2002), tokoh yang juga berpendapat bahwa hubungan interpersonal memegang peran penting dalam sebuah perkawinan, menambahkan bahwa hal utama yang paling menimbulkan permasalahan adalah penyesuaian terhadap pasangan. Menurutnya, ada dua hal yang perlu dimiliki oleh pasangan suami istri untuk mencapai penyesuaian yang baik adalah kemampuan untuk saling memberi dan menerima afeksi secara terbuka serta kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi dengan baik. Menurut Haber dan Runyon (1984) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009) ada beberapa karakteristik penyesuaian diri yang baik yang harus dimiliki
12 oleh seseorang, yaitu memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas atau kenyataan, mampu mengatasi atau menangani stres dan kecemasan, memiliki citra diri yang positif, mampu mengekspresikan perasaan, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Persepsi yang dimiliki individu biasanya diwarnai dengan keinginan dan motivasinya. Dalam hal penyesuaian diri dalam perkawinan, peran kecerdasan emosional sangatlah penting. Karena dengan memiliki kecerdasan emosional, maka
pasangan
akan
dapat
menyesuaikan
diri
dengan
baik
dengan
pasangannya. Kecerdasan emosional adalah suatu keajaiban dalam pemikiran yang memperlihatkan bagaimana keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh ukuran besar kecil otak seseorang tetapi lebih kepada gagasan atau pemikiran seseorang dalam mengamati, memahami dirinya dan berinteraksi dengan orang lain Schwartz (1997) dalam Hapsariyanti dan Taganing
(2009). Aspek
kecerdasan emosional antara lain mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain atau berempati, dan membina hubungan (Goleman 2003) dalam Hapsariyanti dan Taganing (2009). Keunikan yang terjadi dalam hubungan perkawinan adalah meskipun banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional, lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil. Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan hidup bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan dan masalah (Osborne 1988 dalam Suryani 2004).
Penyesuaian Seksual Menurut Hurlock (2002) masalah penyesuaian seksual merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam perkawinan serta salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam perkawinan, jika kesepakatan tidak dapat dicapai dengan memuaskan. Penyesuaian seksual bagi wanita cenderung lebih sulit untuk mengakhirinya secara memuaskan. Rubin dalam Hurlock (2002) menjelaskan bahwa wanita sejak bayi disosialisasikan untuk menutupi dan menekan gejolak seksualnya, wanita tidak dapat segera berubah untuk tidak malu-malu menunjukkan rasa nikmat seperti perubahan sikap yang disarankan oleh budaya suami. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian seksual dalam perkawinan antara lain:
13 perilaku terhadap seks, dorongan seksual, dan sikap terhadap penggunaan alat kontrasepsi (Hurlock 2002). Hasil penelitian Anjani dan Suryanto (2006) menyatakan bahwa meskipun setiap subjek mengakui tidak memiliki masalah dalam kehidupan seksualnya, namun hal ini bisa saja terjadi. Seperti adanya kehadiran seorang anak. Mungkin hal ini berpengaruh kecil, tetapi seringkali pasangan suami istri yang telah memiliki anak lebih mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kepada anak, sehingga waktu untuk bersama dengan pasangan menjadi berkurang bahkan sampai tidak ada. Kecemasan tentang anak akan membelokkan perhatian istri dari seks, hal ini mungkin dikarenakan istri merasa kelelahan dan kekurangan waktu untuk bersama suami (Beardsley & Sanford 1994 dalam Anjani & Suryanto 2006).
Penyesuaian Keuangan Memiliki uang yang lebih dan kurangnya uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri pasangan dalam perkawinan. Banyak istri merasa sulit untuk menyesuaikan keuangan dengan pendapatan suami, hal ini dikarenakan istri telah terbiasa membelanjakan uang sesuka hatinya (Hurlock 2002). Begitupula dengan suami, ia merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan keuangan, terutama pada saat istri bekerja setelah menikah dan kemudian berhenti bekerja karena melahirkan anak pertama. Hal tersebut menyebabkan
pendapatan
keluarga
menjadi
berkurang,
hanya
dengan
pendapatan suami saja mereka harus menutupi semua pengeluaran keluarga (Hurlock 2002). Menurut Anjani dan Suryanto (2006) masalah keuangan pun berpengaruh kuat
terhadap
penyesuain
perkawinan.
Berdasarkan
hasil
penelitiannya
beberapa subjek yang diteliti menyatakan bahwa dalam hal keuangan biasanya suami lebih menyerahkan semua hal keuangan kepada istrinya dan suami merasa kewajibannya hanya mencari uang saja. Banyak suami yang merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan keuangan. Apabila suami tidak mampu menyediakan barang-barang keperluan, maka dapat menimbulkan perasaan tersinggung yang dirasakan oleh istri, dimana perasaan ini dapat berkembang ke arah pertengkaran (Hurlock 2002). Gillin dalam Gunarsa (2008) mengemukakan bahwa kemiskinan dapat dianggap sebagai kondisi dimana seseorang tidak dapat menyesuaikan diri
14 dengan standar kehidupan dalam kelompok serta tidak mampu mencapai tingkat fisik dan mental tertentu untuk menyesuaikan. Gillin juga mengungkapkan faktor yang menghambat penyesuaian dalam segi ekonomi, yakni: 1) ketidakmampuan seseorang yang berhubungan dengan kelainan karena kelahirannya atau karena lingkungan; 2) kondisi lingkungan fisik yang miskin akan sumber daya alam, cuaca yang buruk dan terjangkitnya penyakit menular; 3) ketidakseimbangan dalam kesejahteraan atau penghasilan, akibat dari kurang sempurnanya lembaga ekonomi dalam menjalankan fungsinya, hal ini dapat terlihat dari timbulnya pengangguran.
Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan Suami dan istri harus mampu mempelajari dan menyesuaiakan diri dengan anggota keluarga pasangan yang memiliki perbedaan usia, minat, nilai, pendidikan, budaya, dan latar belakang sosialnya dengan dirinya. Masalah penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan menjadi serius pada tahun-tahun awal perkawinan (Hurlock 2002). Menurut Hurlock (2002) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan anatara lain: stereotipe tradisional, keinginan untuk mandiri, keluargaisme (lebih banyak menggunakan waktunya bersama keluarga), mobilitas sosial, anggota keluarga berusia lanjut, dan bantuan keuangan untuk keluarga pasangan. Keluarga masing-masing pasangan pun memiliki pengaruh dalam kehidupan rumah tangga. Pengaruh dari keluarga masing-masing pasangan dapat menimbulkan masalah, hal ini dikarenakan adanya ikatan keluarga besar. Setiap orangtua masih merasa mempunyai hak atas anaknya yang telah menikah. Mertua ataupun orangtua merasa bahwa hak-hak atas anaknya direbut oleh menantunya dan sering terjadi perebutan cinta kasih antara mertua dan menantu. Persaingan ini bisa meruncing dan bisa menimbulkan percekcokkan (Gunarsa 1982). Menurut Hurlock (2002) keberhasilan perkawinan tercermin pada besar kecilnya hubungan interpersonal dan pola perilaku. Ada beberapa kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan antara lain: kebahagiaan suami istri, hubungan yang baik antara anak dan orangtua, penyesuaian yang baik dari anak-anak, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan,
penyesuaian
yang
baik
dalam
penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.
masalah
keluarga,
dan
15 Pola Komunikasi Di setiap sisi kehidupan, manusia tidak akan pernah terlepas dari komunikasi. Hal ini disebabkan karena setiap saat manusia selalu melakukan interaksi dengan orang lain (Paruntu 1998). Komunikasi adalah proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna yang ada dalam lingkungan (Turner & West 2007) Komunikasi juga merupakan pembelajaran dasar dari suatu interaksi, dan interaksi tersebut adalah dasar dari sosialisasi (Orenstein 1985 dalam Puspitawati 2009). Menurut Day et al. (1995) dalam Puspitawati (2009) komunikasi merupakan proses mendapatkan respon melalui simbol-simbol verbal. Beberapa konsep komunikasi meliputi pembelajaran, pengertian, subjektivitas, timbal balik, dan negosiasi serta mediasi (Ruben 1988; Leaky 2002 dalam Puspitawati 2009). Dalam pendekatan ilmu sosiologi, hubungan antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia ini kemudian saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang diberikan, dan seluruh pesannya membentuk pengetahuan. Komunikasi manusia juga terjadi dalam suatu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas tertentu (Rubrn 1988; Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2009). Aplikasi komunikasi dalam keluarga berkaitan dengan fokus pemahaman diri dari para anggota keluarga. Teori yang digunakan dalam pendekatan
komunikasi
adalah
teori
sistem
dengan
konsep
yang
memperkenalkan organisasi, sirkularitas, keutuhan, interdependensi antar elemen-elemen sistem, keseimbangan dan perubahan, serta interaksi (Ruben 1988; Hinde & Hinde 1988 dalam Puspitawati 2009). Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini menjadi semakin melemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga memudarkan fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Disatu sisi, saat ini pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi dan globalisasi (Sunario 1995 dalam Puspitawati 2009). Dalam menyampaikan komunikasi, terdapat perbedaan pola komunikasi antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dipandang lebih tenang dan malu-malu. Kaum perempuan juga seringkali terbuai oleh angan-angan dan impian yang indah sehingga pola komunikasi mereka
16 selalu dibumbui oleh kata-kata mesra, ungkapan-ungkapan cinta, dan harapanharapan (Surbakti 2008). Menurut Surbakti (2008) perempuan selalu diidentifikasikan dengan kelemahlembutan, kehalusan perasaan, kehangatan cinta, kerentanan fisik dan psikis, dan hal-hal yang berkaitan dengan keindahan. Kelemahlembutan perempuan tercermin dari pola komunikasi yaitu tidak berterus terang, sering ragu-ragu dalam mengambil keputusan, kurang percaya diri, bersikap pasif dan menunggu, serta membiarkan pasangannya menafsirkan komunikasi yang ditunjukkannya. Kesalahan yang dilakukan laki-laki umumnya adalah tidak peka terhadap hati nurani sehingga salah menasfsrikan komunikasi sang istri. Sehingga berakibat timbul perselisihan karena perbedaan persepsi. Salah satu pola komunikasi yang sangat dikuasai perempuan adalah menggunakan bahasa tubuh. Perempuan umumnya pandai menggunakan bahasa tubuh sebagai alat komunikasi yang ampuh dan memaksimalkan kelebihan tersebut untuk mendapatkan keinginannya. Mereka juga pandai menyembunyikan perasaan dan membungkusnya dalam kemasan keluhan sehingga melibatkan pasangannya untuk menyelesaikannya (Surbakti 2008). Sedangkan pola komunikasi laki-laki lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan rasional daripada emosional, laki-laki lebih dianggap tegas, terus terang, berani, dan rasional. Rasionalisasi komunikasi dalam rumahtangga juga menyebabkan peristiwa komunikasi kehilangan sukma. Bagaimanapun, pola komunikasi dalam rumahtangga pasti selalui dibumbui oleh unsur-unsur yang melibatkan emosional, hal ini dikarenakan ikatan suami istri tidak didasarkan pada ikatan formal berdasarkan kontrak hukum, melainkan didasarkan pada komitmen yang melibatkan jiwa dan raga (Surbakti 2008). Rasionalisasi
pola
pikir
menyebabkan
laki-laki
lebih
sering
menyembunyikan dan memikul sendiri beban pikiran dan perasaannya daripada kaum perempuan. Hal ini tidak terlepas dari pandangan budaya dan tradisi yang selalu menempatkan kaum laki-laki pada posisi yang kuat, tangguh, jantan, tidak mudah mengeluh, dan berani menghadapi tantangan (Surbakti 2008). Pandangan ini menyebabkan suami tidak berani berterus terang untuk mengungkapkan
ketakutan,
kegelisahan,
ketidakberdayaan
maupun
kekhawatirannya (Surbakti 2008). Perbedaan pola komunikasi antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 1.
17
Pola Komunikasi
Pria
Wanita
‐Tegas -Berani -Rasional -Terus terang
‐Emosional -Ragu-Ragu -Tersembunyi -Bahasa Tubuh Menyatakan pendapat
Gambar 1 Pola komunikasi pria dan wanita Kreppner
dan
Lerner
(Zeitlin
1995)
dalam
Puspitawati
(2009)
mengemukakan pendapat bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang menekankan pada dimensi interaksi keluarga, suatu seri dari interaksi timbal balik dua arah, dan juga gabungan dari interaksi antar seluruh sub kelompok keluarga (dyadic, triadic, tetradic), serta suatu sistem hubungan internal yang menyangkut dukungan sosial, dan hubungan intergenerasi. Menurut Burgess dalam Boss et al. (1993), keluarga merupakan kesatuan dari interaksi antar pribadi. Keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, karena masing-masing anggota keluarga mempunyai intensitas hubungan satu sama lain dan saling tergantung. Sistem interaksi interpersonal dapat dilukiskan pada Gambar 2. Ayah
Anak ke-1
Ibu
Anak ke-2
Gambar 2 Sistem Interpersonal dalam Keluarga Berdasarkan Gambar 2 sistem interaksi yang terjadi dalam keluarga yang terdiri dari orangtua (ayah dan ibu) serta dua orang anak, terjadi enam buah interaksi interpersonal, yang digambarkan dengan tanda panah. Makin banyak anggota keluarga, maka makin banyak pula jumlah interaksi interpersonal yang
18 terjadi dan semakin kompleks (Puspitawati 2009). Komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi. Guardja et al., (1992) menjelaskan bahwa jenis komunikasi yang terjadi dalam keluarga pada umumnya berupa komunikasi langsung, baik secara verbal maupun secara nonverbal. Kecuali dalam keadaan tertentu terjadi komunikasi tidak langsung dalam keluarga. Komunikasi dalam keluarga merupakan aspek yang dianggap perlu untuk dibahas dalam penelitian karena setiap anggota keluarga terikat satu sama lain melalui proses interaksi dan komunikasi (Nugroho 2007). Komunikasi keluarga adalah proses mengembangkan intersubjektifitas (intersubjetivity) dan pengaruh (impact) lewat penggunaan kode antara kelompok akrab yang memunculkan perasaan dan identitas kelompok, lengkap dengan ikatan kuat kesetiaan dan emosi. Intersubjektivitas (intersubjetivity) adalah pembentukan arti yang dibagi atau proses dimana kita mengerti pihak lain dan pihak lain mengerti kita. Pengaruh (impact) adalah tingkat efektifitas suatu pesan dalam mengubah kognisi, emosi, atau perilaku penerima (Noller & Fitzpatrick 1993 dalam Nugroho 2007). Komunikasi keluarga yang efektif akan dapat menimbulkan saling pengertian, kesenangan, saling mempengaruhi sikap dan penghormatan, kedekatan, serta tindakan bersama-sama (family identity) (Pemdadiy 2005 dalam Nugroho 2007). Peran yang ada di dalam keluarga dilaksanakan melalui komunikasi (Suleeman 1990 dalam Nugroho 2007). Komunikasi antar pribadi mengharuskan terjadi pertukaran kode atau pengaturan simbol secara sistematis seperti huruf, kata, dan isyarat yang mempunyai makna yang telah dikenal dan dipergunakan oleh komunikator. Identitas keluarga (family identity) adalah identitas yang terbentuk lewat budaya dan peleburan antara bermacam identitas sosial (melding of various social identities). Keluarga selalu terpapar dengan norma dan nilai dalam satu budaya tertentu (Nugroho 2007). Ikatan kuat kesetiaan dan emosi dalam keluarga memaparkan bahwa antar anggota keluarga menjadi saling ketergantungan (interdependence) yaitu seseorang mempunyai pengaruh bagi orang lain: mempengaruhi perasaan, pikiran, atau perilaku orang lain, dan komitmen (commitment) yaitu anggota keluarga terikat dengan kesejahteraan anggota lain. Ikatan emosi menimbulkan pengaruh yang kuat dalam komunikasi dan bagaimana komunikasi tersebut diterjemahkan (Nugroho 2007).
19 Menurut Friedman (1998) pola komunikasi dibagi menjadi dua jenis yaitu pola
komunikasi
fungsional
dan
pola
komunikasi
nonfungsional
atau
disfungsional. 1.
Pola komunikasi fungsional Pola komunikasi fungsional dapat dikaji dari adanya komunikasi yang
jelas dan kongruen, adanya ekspresi perasaan, komunikasi terbuka dan terfokus, adanya konflik dan solusinya, adanya kesesuaian antara perintah dengan isi pesan, dan penerima pesan mempunyai suatu pemahaman terhadap arti dari pesan
mirip
dengan
pengirim.
Dalam
komunikasi
fungsional
terdapat
keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas antar anggota keluarga (Friedman 1998). 2.
Pola komunikasi nonfungsional atau disfungsional Pola komunikasi nonfungsional dapat dilihat dengan adanya kondisi yang
berpusat pada diri sendiri, kurangnya empati, adanya komunikasi tertutup (tidak langsung), serta tidak ada kesesuaian antara isi pesan dengan perintah (Friedman 1998). Pola komunikasi keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu situasi dan kondisi, latar belakang etnik keluarga, bentuk keluarga, siklus kehidupan keluarga, perbedaan jenis kelamin, status sosioekonomi keluarga dan budaya khas keluarga (Friedman 1998). Komunikasi dalam perkawinan Komunikasi yang baik antara suami istri adalah bagian yang penting dalam kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Hasil penelitian menunjukkan komunikasi yang efektif akan mengarah pada kualitas perkawinan yang baik (Lewis & Spanier 1979 dalam Kammeyer 1987). Rathus, Nevid, dan Fichner Rathus (1993) dalam Paruntu (1998) menyatakan bahwa komunikasi yang baik merupakan hal penting dalam hubungan yang intim seperti perkawinan. Penelitian lain menunjukkan bahwa komunikasi yang baik adalah alat ukur dari kualitas hubungan perkawinan (Spanier 1976 dalam Kammeyer 1987). Pasangan yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik akan memperbaiki hubungan mereka. Dengan adanya hubungan yang membaik, pasangan akan termotivasi untuk memperbaiki komunikasi mereka pada kejadian yang lain (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987). Dimensi-dimensi dari komunikasi yang penting antara lain: keterbukaan dan kejujuran, dukungan, dan keterbukaan diri.
20
Keterbukaan dan kejujuran Menurut Satir (1972) dalam Kammeyer 1987 salah satu dimensi dari kejujuran
yaitu
leveling.
Leveling
adalah
cara
berkomunikasi
yang
mengungkapkan perasaan seseorang secara akurat, dan tanpa pesan yang membingungkan. Untuk berkomunikasi akurat berarti bahwa jika seseorang marah kepada pasangan atas sesuatu yang telah dilakukan, maka perasaan tersebut diungkapkan secara langsung. Sebuah gambaran kedua dari kejujuran dan keterbukaan yakni pembicara harus memberikan dorongan secara tersembunyi. Jika tujuan untuk mendapatkan pengendalian tersembunyi, kekuasaan di atas orang lain, situasi sulit, memanipulasi orang lain, hal tersebut merupakan komunikasi tidak jujur. Ketika keterbukaan dan kejujuran menjadi bernilai dalam komunikasi, hal tersebut tidak mengikuti suami istri harus selalu melengkapi dan benar-benar ikhlas. Khayalan yang idealis yaitu berpikir bahwa seseorang dapat jujur di setiap waktu. Banyak orang yang menikah mengetahui bahwa ada batasan untuk keterbukaan dan kejujuran secara intuitif.
Dukungan dalam komunikasi Dukungan dalam komunikasi berarti harus memperlakukan seseorang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan menghormati. Peran pendukung dalam komunikasi adalah mendengarkan dan merespon seluruh aktivitas ketika orang lain berbicara atau memulai kegiatan. Ketika seseorang berbicara pada orang lain, mungkin untuk merespon dalam berbagai cara. Kita dapat mengabaikan mereka, menolak mereka, atau dapat memberikan respon positif pada mereka. Respon positif untuk orang lain adalah perkataan yang telah ditegaskan (Watzlawick et al 1967 dalam Kammeyer 1987). Hal ini penting terutama ketika pasangan berbicara satu sama lain bahwa mereka saling memberi ketegasan satu sama lain. Secara keseluruhan yang penting yaitu memperhatikan orang lain ketika berbicara. Melalui bahasa tubuh dan isyarat verbal mungkin
pembicara dapat tertarik dan terlibat. Hubungan
yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah memperhatikan kualitas komunikasi mereka, maka kepuasan dan kualitas
21 pernikahan mereka juga akan lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987). Keterbukaan Diri Keterbukaan diri sama dengan keterbukaan dan kejujuran, tetapi ada beberapa elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan oranglain tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari keterbukaan diri (Jourard 1971 dalam Kammeyer 1987). Tetapi tidak hanya perkataan dan pertukaran keakraban antara dua orang. Rubin (1983) dalam Kammeyer (1987) menyebutnya dengan keakraban. Keakraban adalah salah satu jenis timbal balik dari perasaan dan pikiran tidak keluar dari ketakutan atau tergantung kebutuhan, tetapi keluar dari keinginan untuk mengetahui kehidupan orang lain dan untuk dapat berbagi satu sama lain (Rubin 1983 dalam Kammeyer 1987). Penelitian menunjukkan bahwa secara umum self-disclosure dengan kepuasan pernikahan berhubungan positif (Hendrick 1981 dalam Kammeyer 1987). Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa jika keterbukaan diri terlalu berlebihan, bahkan jika tidak negatif, maka bisa merusak hubungan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa ketika pasangan terlalu membuka diri, khususnya keraguan diri, akan berakibat buruk bagi kepuasan perkawinan (Cozby 1973 dalam Kammeyer 1987). Bagaimanapun, jika terlalu banyak keterbukaan diri kadang-kadang dapat meredam suatu hubungan, ada kesepakatan yang berkembang bahwa jika terlalu sedikit keterbukaan diri akan menjadi masalah yang lebih serius bagi banyak pasangan yang sudah menikah. Keterbukaan diri yang terlalu sedikit dapat berbahaya bagi hubungan perkawinan, jika salah satu dari pasangan mengungkapkan perasaan lebih akrab daripada yang lain. Bahkan jika salah satu pasangan merasakan ketidakseimbangan dalam jumlah pengungkapan diri, akan berakibat pada hubungan buruk (Davidson et al,. 1983 dalam Kammeyer 1987). Pria sering menemukan kesulitan untuk mengungkapkan perasaan dan emosi, dan lebih memilih untuk tetap diam. Pandangan lain menemukan sumber dari perbedaan laki-laki dan perempuan dalam ungkapan emosional pada kenyataannya yaitu dari pengasuhan ibu (Chodorow 1978; Rubin 1983 dalam Kammeyer 1987). Karena ibu adalah pengasuh utama pada bulan-bulan pertama dan tahun pertama dalam kehidupan balita, balita membuat kelekatan dengan ibu. Selanjutnya balita membuat identifikasi dengan ibu.
22 Menurut Paruntu (1998) komunikasi yang ada dalam sebuah perkawinan digolongkan sebagai sebuah bentuk dari komunikasi interpersonal karena di dalamnya terlibat dua pihak yang saling melakukan komunikasi dan masingmasing pihak memandang pasangan komunikasi sebagai individu yang utuh. Komunikasi yang ada di dalam perkawinan merupakan sebuah komunikasi yang unik karena komunikasi interpersonal terjadi pada dua orang yang terlibat hubungan intim. Pearson (1983) dalam Paruntu (1998) menyebutnya sebagai komunikasi intim.Komunikasi interpersonal menurut Pearson (1983) adalah proses pertukaran arti (informasi) antar individu. Hubungan interpersonal akan terlihat baik jika dua orang anggotanya memiliki persepsi yang sama dalam berkomunikasi serta keduanya melakukan komunikasi yang efektif. Haber dan Runyon (1984) dalam Paruntu (1998) mengatakan bahwa dengan adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah perkawinan, maka masing-masing individu merasa bebas untuk mengungkapkan ide-ide kepada pasangannya. Strong dan De Vault (1989) dalam Paruntu (1998) mengatakan bahwa komunikasi dalam perkawinan adalah perasaan senang yang dirasakan pasangan karena dapat saling menemani, perasaan gembira dalam melakukan pembicaraan, bertukar sentuhan dan senyum, serta perasaan cinta yang tidak terucap. Keharmonisan sebuah keluarga sangat didukung oleh komunikasi yang baik dari suami istri. Tidak heran bahwa riset dan statistik memperlihatkan bahwa penyebab utama perceraian, ataupun kegagalan sebuah rumah tangga, adalah dikarenakan gagalnya suami istri berkomunikasi dengan baik. Untuk mengatasi hal itu, ada beberapa prinsip dasar dalam komunikasi yang perlu diketahui oleh suami dan istri (Paulpla 2009). Beberapa prinsip dasar dalam komunikasi suami istri antara lain: 1. Komunikasi adalah kebutuhan, dan alat untuk memenuhi kebutuhankebutuhan lainnya. Manusia adalah mahluk pribadi dan sekaligus sosial. Baik sebagai pribadi, maupun sebagai dalam hubungan sosial, ada kebutuhan mendasar yang perlu diisi lewat komunikasi. Kebutuhan itu adalah: rasa aman lahir batin, saling menghargai, saling berbagi, kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, kebutuhan kenyamanan fisik, dan kebutuhan seksual. 2. Komunikasi suami istri adalah sebuah proses menuju keintiman. Sewaktu berpacaran komunikasi dilakukan ketika kita ingin, namun ketika sudah menikah mau tidak mau, tepat atau tidak tepat kita akan berkomunikasi.
23 Ketika bersatu sebagai suami istri, sebenarnya kita sedang berproses dalam hal-hal berikut: •
Proses memahami satu sama lain
•
Proses menciptakan suatu lingkungan yang aman
•
Proses menyelesaikan masalah
3. Komunikasi suami istri adalah bentuk kasih. Tentu saja disini bukan hanya bersifat kata-kata semata, tetapi lebih dalam dari itu yaitu kehadiran dan mendengar. Memberikan dukungan yang positif, bisa lewat kata-kata yang memberi semangat, bisa juga lewat komunikasi non verbal, misalnya dengan memeluk, menepuk pundak, dan lain-lain. 4. Komunikasi suami istri adalah alat mencapai tujuan dan menyelesaikan masalah. Suami dan istri perlu memiliki tujuan bersama yang jelas. Untuk itu perlu ada waktu untuk berbagi aspirasi dan perasaan, sehingga tujuan bersama itu dapat didiskusikan. Tidak penah ada dua orang yang benar-benar serupa. Selalu ada perbedaan latar belakang, pandangan, kepribadian atau pekerjaan sekali pun. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk menyatukan dua hal yang berbeda dalam hubungan seumur hidup. Pasti akan terjadi konflik dan gesekan, yang bisa terjadi dari suami istri sendiri, ataupun gesekan dari luar, yang memicu ketegangan dalam hubungan suami istri. Untuk itu komunikasi berperan sangat besar untuk menyelesaikan masalah ini (Paulpla 2009). Keharmonisan Keluarga Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui proses akad nikah yang memiliki tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (Bakry 1996 dalam Aisyah 2004). Menurut Fittro (2002) dalam Aisyah (2004) terdapat beberapa ciriciri pasangan yang bahagia dalam perkawinannya, antara lain: 1. Pasangan saling memberi dan menemukan kebutuhan emosionalnya yang akan diberikan pada orang lain. 2. Pasangan memiliki kekuatan komitmen dalam perkawinannya. Pasangan tidak memaksakan kebahagiaannya untuk dapat diterima dengan benar, melainkan bertekad untuk bekerjasama dalam membangun perkawinan. 3. Pasangan memiliki kekuatan hubungan. Pasangan tidak kehilangan satu sama lain dalam berhubungan meskipun masing-masing memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, mengambil keputusan, dan mengejar cita-
24 cita pribadi. Akan tetapi yang menjadi prioritas utama pasangan adalah keharmonisan perkawinan. 4. Pasangan memiliki gairah seksual yang tinggi. Berhubungan seksual merupakan aspek yang sangat penting dan pusat dalam perkawinan. 5. Pasangan senang berbicara. Orang yang bahagia dalam perkawinannya lebih banyak meluangkan waktu untuk berbincang-bincang mengenai berbagai hal dengan
pasangannya.
Masing-masing
langsung
terbuka
dan
tidak
memanipulasi pembicaraan. 6. Pasangan memiliki pandangan positif tentang hidup. Kepercayaan tentang suatu hal sangat membantu pasangan dalam menanggulangi krisis yang muncul dalam perkawinan. 7. Pasangan
mengekspresikan
apresiasinya
(penghargaan)
serta
saling
memberikan pujian. 8. Pasangan memiliki keteguhan dalam beragama. 9. Pasangan sensitif terhadap orang lain (berempati). 10. Pasangan bersama-sama tumbuh, berubah, dan bekerja keras untuk perkawinan. Menurut Gunarsa (2008) sebuah keluarga dikatakan harmonis jika seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental, emosi, dan sosial. Hurlock (2002) mendefinisikan suami istri yang bahagia yaitu suami istri yang memperoleh kebahagiaan bersama dan menghasilkan keputusan yang diperoleh dari peran yang dimainkan secara bersama, mempunyai cinta yang matang dan mantap satu sama lain, serta dapat melakukan penyesuaian dengan baik. Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa keharmonisan dalam keluarga banyak ditentukan oleh keharmonisan dalam hubungan antara anggota keluarga dan hal ini juga tergantung pada pribadi-pribadi yang berada di dalam rumah. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kondisi pribadi antara lain: 1. Stabilitas kepribadian Stabilitas
kepribadian
terbentuk
melalui
proses
perkembangan
kepribadian yang telah dialami seseorang. Peranan latar belakang keluarga, pendidikan, sosial dan lingkungan fisik, sangat berpengaruh dalam proses perkembangan tersebut. Stabilitas kepribadian dipengaruhi pula oleh keadaan keluarga saat ini, yaitu ukuran keluarga. Keluarga yang berukuran besar akan
25 membentuk pola hubungan yang bertambah majemuk, dengan kemungkinan akan terjadi ketegangan yang lebih besar dalam hubungan antar anggota keluarga. Perbedaan pola pikir, tujuan hidup, dan pola sikap sehari-hari yang berbeda-beda antar anggota keluarga juga dapat menimbulkan suasana tegang, tidak sepaham, saling menuntut atau memaksa. Apabila stabilitas kepribadian kurang dipahami oleh anggota keluarga maka penyesuaian diri akan menjadi lebih sulit terbina. 2. Tekanan ekonomi Tekanan ekonomi dapat menimbulkan ketegangan tersendiri dalam keluarga. Akan tetapi ketegangan yang dirasakan oleh setiap keluarga berbedabeda, hal ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana sebuah keluarga tinggal serta kebutuhan yang diperlukan setiap keluarga juga berbeda-beda. Tekanan ekonomi mengakibatkan lingkungan dan ruang hidup seseorang dirasakan menjadi sempit dan tertekan. Menurut Hetherington dan Parke (1979) dalam Gunarsa (2008) menyatakan bahwa tekanan ekonomi dan kepadatan dalam keluarga berkontribusi timbulnya stres dalam keluarga. Kepadatan dalam keluarga berpengaruh besar terhadap hubungan antar pribadi dalam keluarga. Hal ini dikarenakan setiap anggota keluarga memiliki usia, pendidikan, tugas, kegiatan dan tanggung jawab yang berbeda-beda satu sama lain. Keharmonisan keluarga adalah salah satu dimensi dalam keluarga yang menunjukkan adanya keseimbangan dan keteraturan serta kepuasan terhadap apa yang telah dicapai dalam keluarga (Aisyah 2004). Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memilki konflik yang minimal, menciptakan komunikasi terbuka, saling menghargai dan memiliki kepuasan terhadap apa yang diperoleh keluarga. Deaux dan Wrightsman (1988) dalam Paruntu (1998) mengatakan bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah hubungan antar individu yang memiliki intensitas dan keintiman yang tinggi, komunikasi merupakan proses pusat untuk melakukan hubungan tersebut. Menurut Nurzainun dan Prihatiningsih (2006) sebuah keluarga akan harmonis bila para anggota keluarga dapat berhubungan secara serasi dan seimbang, saling memuaskan kebutuhan anggota lainnya serta memperoleh pemuasan atas segala kebutuhannya. Hubungan suami istri yang serasi dapat ditunjukkan dengan adanya penyesuaian diri antara keuarga, adanya saling pengertian antara pasangan, adanya saling penghargaan, adanya saling bertanggung jawab, adanya saling gotong royong, dan adanya pengakuan dari
26 kedua belah pihak bahwa masing-masing berhak atas perwujudan diri pribadi. Dalam komunikasi suami istri ada beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi oleh pasangan seperti kebutuhan rasa aman lahir batin, saling menghargai, saling berbagi pengalaman, kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, kebutuhan kenyamanan fisik dan kebutuhan seksual. Jika salah satu kebutuhan ada yang tidak terpuaskan maka akan berdampak pada salah satu pihak menjadi tidak bahagia dan akhirnya dapat menganggu keharmonisan keluarga (Nurzainun dan Prihatiningsih 2006). Adanya konflik baik fisik maupun non fisik antar pasangan akan menyebabkan ketidakharmonisan keluarga yang dapat mengarah pada distabilitas dan disorganisasi dalam keluarga. Perceraian merupakan akhir dari konflik yang tidak dapat diselesaikan oleh pasangan suami istri (Hastuti 2002 dalam Aisyah 2004). Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menjadikan keluarga yang harmonis menurut Munandar (1983) dalam Aisyah (2004) antara lain: keadaan kesehatan dan warisan biologi untuk menjamin keturunan yang sehat, latar belakang atau lingkungan hidup pasangan, norma-norma tingkah laku yang dianut pasangan, faktor ekonomis, status sosial pasangan, pendidikan, usia, agama, budaya, dan kebangsaan. Kepuasan perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah perasaan subyektif dari pasangan suami istri terhadap perkawinan mereka secara keseluruhan maupun terhadap aspek-aspek spesifik dari hubungan perkawinan
(Paruntu
1998). Hal ini berarti kepuasan perkawinan bagi suami istri memiliki arti yang berbeda. Redy, Birent dan Scaie dalam Perlmuter dan Hall (1985) dalam Paruntu (1998) menemukan bahwa kepuasan perkawinan bagi suami adalah terpenuhinya perasaan dihargai, kesetiaan dan komitmen terhadap masa depan. Sedangkan bagi istri adalah terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan adanya keintiman (intimacy). Menurut Gottman (1998) dalam Wisnubroto (2009) aspek-aspek
kebahagiaan
perkawinan
antara
lain:
pengetahuan
tentang
pasangan, memelihara rasa suka dan kagum, saling mendekati, menerima pengaruh dari pasangan, kemampuan memecahkan masalah, dan menciptakan makna bersama. Studi menunjukkan apabila pasangan memiliki latar belakang (agama, ras, dan sosial ekonomi) keluarga yang sama maka kualitas perkawinan akan lebih besar. Kualitas perkawinan berhubungan positif dengan sumberdaya dan kemampuan diri, seperti pendidikan, fisik dan mental yang baik, serta ekonomi
27 yang tinggi. Dukungan teman dan tetangga juga berhubungan dengan tingginya kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Adanya saling pengertian antara suami istri merupakan faktor yang penting supaya tercapai hubungan yang harmonis. Mengertikan motif-motif tingkah
lakunya,
sebab-sebab
mengapa
pasangan
berbuat
demikian,
mempunyai pengertian untuk latar belakang hidup pasangannya. Jika ada saling pengertian antara kedua belah pihak, ini menjadikan mereka lebih toleran. Toleransi sangat
penting
dalam
hubungan
suami
istri.
Toleransi
atas
kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, dan kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dari pihak yang lain. Hal tersebut juga penting untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana kedua belah pihak merasakan kebahagian dan kepuasan, jika saling menghargai antara keduanya. Penghargaan dalam hal kepribadian, prestasi, minat, dan individualitas dari pasangannya. Hal ini erat hubungannya dengan pengakuan diri kedua belah pihak, bahwa masing-masing berhak atas kehidupan pribadinya (Munandar 1985).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga Menurut Florence Issac dalam Bastaman (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga antara lain: a. Komitmen: niat dan itikad dari suami istri untuk tetap mempertahankan perkawinan dari berbagai masalah yang dihadapai keluarga. b. Harapan-harapan realistis: pada awal perkawinan biasanya masing-masing pihak memiliki harapan lebih terhadap sikap dan tindakan yang ideal dari pasangannya. c. Keluwesan: kesediaan suami istri untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan toleransi terhadap hal-hal yang berbeda dari pihak pasangannya, baik dalam sikap, minat, sifat dan kebiasaan. d. Komunikasi: kesediaan dan keberhasilan suami istri untuk saling memberi dan menerima pendapat, tanggapan, ungkapan, keinginan, saran, umpan balik tanpa menyakitkan hati salah satu pihak. Komunikasi yang efektif bersifat terbuka, demokratis dan dua arah (timbal balik antara suami istri). e. Silang pendapat dan kompromi: perbedaan pendapat merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari perkawinan. Oleh karena itu suami istri harus dapat menemukan cara-cara efektif untuk mencapai kesepakatan dan meredakan kemarahan.
28 f. Menyisihkan waktu untuk berduaan: menyediakan waktu bersama sangat penting bagi keluarga terutama suami istri. g. Hubungan seks: Maslow mengatakan bahwa kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup. Salah satu kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan seks. Karena merupakan kebutuhan dasar, maka kebutuhan-kebutuhan fisiologis akan didahulukan pemuasannya. Oleh karena itu, hubungan seks harus tetap dilakukan dan dipertahankan dengan kesadaran bahwa hal itu merupakan salah satu bentuk komunikasi dan kebersamaan yang paling intim. h. Kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan: bila terjadi kesulitan dan
masalah-masalah
menghadapi
dan
di
dalam
keluarga,
menyelesaikannya
secara
menyebabkan semakin erat hubungan suami istri.
pasangan
harus
bersama.
Hal
ini
mampu dapat