7
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Fungsi Keluarga Kiranya perlu diketengahkan bahwa antara keluarga dan kelompok mempunyai pengertian yang berbeda. Klein (1996) menjelaskan mengenai perbedaan keluarga dengan kelompok sebagai berikut: a. Keluarga bertahan dalam waktu yang lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya (kedudukan orang tua bertahan mulai dari anak-anak lahir, dewasa, menikah, kelahiran cucu, dan berakhir dengan kematian salah satu pasangan), b. Keluarga merupakan kesatuan antar generasi (orang tua – anak), c. Keluarga meliputi hubungan yang bersifat biologis (kelahiran) dan affinal (hukum) di antara para anggotanya, d. Aspek biologis (dan juga affinal) keluarga menjalin mereka ke dalam organisasi kekeluargaan yang besar. Koenig dan Bayer (1967) menyebutkan bahwa ada tiga fungsi keluarga sebagai berikut: a. Fungsi keluarga bagi masyarakat, yaitu hubungan antara keluarga dengan satuan sosial yang luas. b. Fungsi dari subsistem dalam keluarga bagi keluarga itu sendiri, yaitu hubungan keluarga dengan subsistem. c. Fungsi keluarga bagi individu anggota keluarga termasuk perkembangan kepribadian, yaitu hubungan keluarga dan pribadi. Sifat-sifat di atas menjelaskan keluarga sebagaimana yang dimaksud dalam konsep keluarga tradisional/konvensional. Dengan demikian kesatuan orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas dapat dikatakan sebagai kelompok sosial, seperti hubungan gay dan lesbian, begitu pula pasangan kumpul kebo. Keragu-raguan akan bentuk keluarga konvensional tampak ketika pandangan struktural fungsional menghadapi kejadian-kejadian yang menguji pandangan tersebut. Scanzoni (1983) mengetengahkan adanya peningkatan angka perceraian, pelanggaran hukum, aktivitas seksual di luar pernikahan, aborsi, hidup bersama seperti suami istri dan lain sebagainya merupakan fenomena yang
8
mencerminkan perkembangan masyarakat yang bergeser dari nilai-nilai dan polapola keluarga konvensional ke arah new relationship. Jawaban terhadap tantangan tersebut dikemukakan oleh Carlson (1999) yang menekankan bahwa dari kebenaran sejarah, dari ilmu sosial, dari ilmu alam, dan agama-agama besar dinyatakan bahwa keluarga adalah alami dan merupakan unit pokok dalam masyarakat. Begitu juga dengan Rosen (1991) meletakkan keluarga dalam fungsi berdasarkan hukum. Bidang hukum dihadapkan pada penentuan keluarga, keluarga yang konvensional ataukah yang new relationship. Menurutnya, hubungan keluarga itu sah jika atas dasar ikatan darah, perkawinan, atau adopsi. Akan tetapi munculnya bentuk hubungan baru dalam rumah tangga, khususnya hubungan antara pasangan gay dan lesbian, mendorong pengadilan untuk memutuskan apakah konsep hubungan keluarga sah secara tradisional ataukah harus diperluas mencakup hubungan baru yang tidak mempunyai dasar hukum. Pengadilan menyatakan bahwa pasangan adalah orang yang mempunyai status perkawinan sah dan hukum tidak membuat ketentuan perkawinan antar jenis kelamin yang sama. Bahkan ditandaskan bahwa perkawinan adalah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kesimpulan dari uraian tersebut bahwa ternyata hubungan keluarga tradisional merupakan dasar yang dipakai dalam pengadilan. Ini artinya, bentuk keluarga yang konvensional masih menjadi bentuk keluarga yang dikehendaki oleh banyak orang dan oleh karena itu perlu dipertahankan. Dengan demikian posisi keluarga menurut pandangan struktural fungsional bagaimanapun membuktikan bahwa keberadaan bentuk keluarga yang konvensional masih menjadi bentuk utama di dalam masyarakat. Lebih lanjut Parson (1983) menjelaskan pengertian keluarga dengan solidaritas. Solidaritas diartikan sebagai kebersamaan anggota dalam suatu sistem yang tergantung satu dengan lainnya, adanya kepercayaan satu dengan yang lain, serta adanya tatanan sosial. Tatanan sosial ini didasarkan oleh norma yang menggiring orang untuk berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan norma tersebut. Pandangan Parson dan juga pandangan kaum konservatif pada umumnya adalah bahwa masyarakat menentukan apa yang terbaik bagi individu kemudian individu haruslah menyesuaikan diri dengan ketentuan masyarakat tersebut. Dengan kata lain struktur sosial menentukan perilaku sosial dari masing-masing
9
individu. Penyimpangan darinya akan dikendalikan oleh norma sosial dan dikenai sangsi sosial agar tidak mengancam keteraturan sosial. Ini sebagai wujud dari mekanisme equilibrium (keseimbangan) di dalam masyarakat. Pandangan konservatif menganggap keluarga dan masyarakat sebagai suatu organisme, dan masing-masing bagian memiliki fungsi untuk keseluruhan. Pandangan konservatif juga menekankan responsibilities (tanggung jawab) pada pria maupun wanita di dalam keluarganya. Tanggung jawab ini merupakan manifestasi social status (posisi sosial) seseorang dalam keluarga atau disebut juga sebagai peran sosial (social role). Peran tersebut bersifat saling melengkapi untuk mewujudkan fungsi keluarga sebagaimana mestinya. Atau dengan kata lain dikatakan bahwa keluarga memiliki aspek struktur internal dan fungsional. Megawangi (1999) mengutarakan bahwa keluarga mepunyai aspek struktural dan aspek fungsional. Ada tiga aspek sruktur internal dalam keluarga, yaitu: (1) status sosial, (2) fungsi sosial, dan (3) norma sosial, dimana ketiganya saling berkaitan. Pertama, status sosial, keluarga biasanya distruktur oleh tiga struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Keberadaan status sosial ini penting karena dapat memberikan identitas kepada individu dan juga adanya hubungan timbal balik antarindividu dengan status sosial berbeda. Kedua, peran sosial menggambarkan peran masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Atau dikatakan, bahwa setiap status sosial tertentu akan ada fungsi dan peran yang diharapkan dalam interaksinya dengan individu atau kelompok dengan status sosial sosial berbeda. Peran sosial dapat dikatakan sebagai bentuk menifestasi aktif dari status sosial, seperti halnya dalam suatu keluarga terjadi interaksi antara bapak, ibu, dan anak dengan fungsi dan peran masing-masing yang dilandasi oleh norma sosial yang berlaku. Ketiga, norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya, tersitimewa dalam sebuah keluarga. Norma sosial tersebut berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Norma sosial merupakan pedoman untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan terhadap fungsi dan peran pada status sosial tertentu. Norma sosial dapat berfungsi sebagai kendali terhadap
10
perilaku menyimpang agar berubah menjadi perilaku yang mengikuti norma sosial yang ada. Selanjutnya aspek fungsional keluarga tidak dapat dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Status sosial dalam struktur keluarga memiliki fungsi dan peran sesuai dengan yang diharapkan agar dapat menunjang kelangsungan hidup keluarga. Perubahan struktur keluarga akan merubah fungsi keluarga itu sendiri dan bahkan keluarga sebagai suatu sistem akan terganggu kinerjanya. Perubahan struktur keluarga tersebut dapat dicontohkan dengan kasus perceraian, kematian orang tua. Peristiwa-peristiwa tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi keluarga menjadi tidak normal. Levi (diacu dalam Megawangi 1999) menyebutkan bahwa agar keluarga dapat berfungsi maka diperlukan persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi: Pertama, differensiasi peran. Soekanto (1983) mendefinisikan diferensiasi peran sebagai proses dimana peranan-peranan dalam masyarakat bertambah banyak dan meningkat spesialisasinya. Keluargapun memiliki beragam peran, yaitu: ayah sebagai pemimpin, ibu sebagai pengelola rumah tangga, dan anak sebagai pengikat keluarga dan curahan kasih sayang. Diferensiasi peran dalam keluarga ini sangat penting karena pada masing-masing peran tersebut dialokasikan agar keluarga dapat berfungsi secara normal. Kedua, alokasi solidaritas. Distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi anta anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan Ketiga, alokasi ekonomi. Distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Differensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
11
Keempat, alokasi politik. Distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. Kelima, alokasi integrasi dan ekspresi. Distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. Apabila kelima fungsi tersebut berjalan normal maka secara khusus mempunyai pengaruh terhadap anak dimana anak menjadi mampu bertindak sesuai harapan keluarga dan masyarakat. Dari segi fungsi diferiensasi peran maka keluarga melakukan sosialiasi peran terhadap anak berupa peran sesuai dengan jenis kelamin dan kemampuan cognitif, afektif, dan psikomotorik kepada anak. Bilamana sosialisasi ini berhasil maka anak akan mampu menjalankan peran sebagaimana mustinya.
Dari
segi
alokasi
solidaritas
membutuhkan
keterkaitan emosional antara anggota keluarga, orang tua dengan anak. Ikatan emsoional yang erat antara orang tua dan anak menciptakan kehangatan interaksi dan rasa diterima anak dalam keluarga. Kondisi ini memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan emosi anak.
Dari segi alokasi ekonomi, keluarga
mendistribusikan pendapatannya untuk kepentingan keluarga berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Dari segi alokasi politik dibutuhkan agar keluarga mempunyai pemimpin keluarga atau kepala keluarga yang mampu membawa arah keluarga menjadi keluarga normal. Dan alokasi integrasi dan ekspresi merupakan suatu proses sosialisasi nilai-nilai sosial kepada anak dan diharapkan nilai-nilai sosial tersebut terinternalisasi pada diri anak, sehingga anak mampu bertindak sesuai dengan harapan masyarakat.
Tinjauan Teori Ekonomi Keluarga Pada hakekatnya ada dua konsep yang menyinggung masalah institusi keluarga, yaitu keluarga dan rumah tangga. Konsep keluarga menyangkut perihal jumlah anggota keluarga, struktur dan fungsi masing-masing anggota keluarga, nilai-nilai yang mempengaruhi sikap terhadap orang-orang di antara anggota keluarga atau terhadap satuan keluarga secara keseluruhan (Rahardjo 1984).
12
Konsep rumah tangga menunjukkan arti ekonomi dari suatu keluarga, misalnya: bagaimana keluarga mengelola kegiatan ekonomi keluarga; pembagian kerja dan fungsi; berapa pendapatan dan konsumsi suatu rumah tangga; jenis dan jasa apa yang dihasilkan; dan sebagainya (Rahardjo 1984). Kajian para ekonom cenderung memfokuskan pada rumah tangga daripada keluarga. Zeitlin (1995) menyebutkan bahwa di dalam rumah tangga para anggotanya menyatukan resources mereka untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga. Rumah tangga biasanya beranggotakan anggota keluarga yang berkaitan dengan darah (kerabat), perkawinan, dan kadang-kadang ditambah dengan anggota yang tidak ada hubungan darah (kerabat). Rumah tangga didefinisikan atas dasar residence, sedangkan family didefinisikan atas dasar kekerabatan. Keluarga mempunyai fungsi untuk bertanggung jawab dalam menjaga menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Oleh karena itu pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu: a. Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial b. Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual (Suprihatin Guhardja dkk 1992). Deacon (tanpa tahun) menyebutkan bahwa human capital pada diri seseorang maupun keluarga merupakan total stock dari kemampuan manusia yang sangat berpengaruh terhadap sumberdaya dan penggunaannya di masa yang akan datang. Para ekonom mengartikan human capital sebagai people resources yang mempengaruhi future income. Bahkan Deacon mencontohkan bahwa bagian yang berarti dari human capital development adalah proses pembelajaran yang tidak disadari dan pelatihan yang disadari yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarga. Hal ini dicontohkan dengan penggunaan waktu orang tua untuk melatih anak agar dapat melakukan tugasnya. Kegiatan melatih tersebut dapat dikatakan sebagai child’s human capital.
13
Schultz (1961) memfokuskan adanya lima hal utama yang dapat meningkatkan kemampuan manusia dimana orang melakukan investasi, sebagai berikut: a) fasilitas dan jasa kesehatan yang akan berpengaruh terhadap harapan hidup, kekuatan dan ketahanan, dan daya hidup serta ketahanan mental; b) on the job training, c) pendidikan formal, d) progam studi untuk orang dewasa, e) migrasi. Sedangkan Bryant (1990) menjelaskan bahwa melakukan investasi terhadap anggota keluarga yaitu (investing in human capital) dapat dilakukan melalui berbagai cara berikut: a) Pendidikan formal, b) Pelatihan dan pengalaman, c) Pemanfaatan waktu dan uang untuk memelihara kesehatan. Seseorang melakukan investasi pada kesehatan dengan melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan fisik dan mental seseorang. Ini dapat dilakukan dengan kegiatan aerobik, periksa ke ahli kesehatan, periksa ke dokter gigi, dan nutrisi yang baik. d) Migrasi. Investasi pada human capital tersebut didasarkan pada proposisi bahwa ada pengeluaran tertentu (sacrifies) yang dilakukan untuk menciptakan cadangan produktif pada manusia yang memberikan jasa di masa yang akan datang (Schultz, 1974). Anak-anak dipandang sebagai bentuk dari human capital. Ada pengorbanan yang diberikan kepada anak-anak berupa membesarkan dan merawat. Bahkan semakin bertambah umur maka akan semakin besar pengeluaran keluarga yang dibutuhkan. Tjiptoherijanto dan Hasmi (2000) menyebutkan bahwa investasi dalam human capital dimaksudkan sebagai upaya yang dicapai melalui kesehatan dan pendidikan. Dan dari sisi human development (UNDP, 1995) ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) usia panjang dan sehat, 2) berpendidikan baik, dan 3) mendapatkan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang baik. Bagaimanapun dalam melakukan investasi tersebut rumah tangga perlu mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya, baik dari segi human resources (pengetahuan, ketrampilan psikomotor, kasih sayang, kesehatan, tenaga, dan time) maupun material resources (konsumsi pangan, tempat tinggal, harta rumah tangga, tenaga fisik, uang, dan tabungan). Alokasi waktu merupakan pengorbanan waktu orang tua untuk keperluan perkembangan anak. Deacon (tanpa tahun) menyebutkan bahwa waktu sering menjadi ukuran yang menunjukkan ekonomi
14
bagi sumber daya manusia. Namun, di samping itu waktu juga dapat mempunyai makna kerja tanpa upah, karena waktu tersebut dialokasikan untuk perkembangan anak; sedangkan alokasi uang merupakan distribusi sumber daya ekonomi rumah tangga untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk perkembangan anak. Ananta dan Hatmadji (1985) mengemukakan beberapa indikator yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Indikator tersebut tidak berbeda dengan dua tipe investasi modal manusia, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang tersebut merupakan indikator kualitas anak yang ditentukan seberapa banyak alokasi investasi yang diberikan. Menurut Becker (1991 dalam Curtis dan Phipps 2000) children’s well being pada dasarnya tergantung pada keputusan investasi yang dilakukan oleh orang tua mereka. Pendekatan ini mengandaikan masing-masing individu hidup dalam dua periode yaitu masa kanak-kanak dan masa dewasa. Utility orang tua pada saat ini dianggap sebagai fungsi dari konsumi saat ini dan child’s income pada waktu yang akan datang:
u1 = U(c1, I2) dimana c1 adalah adult consumption saat ini dan I2 adalah child’s income pada waktu yang akan datang ketika anak sudah dewasa. Ketika anak menjadi dewasa maka utilitasnya akan menjadi: u2= U(c2, I3) Becker beranggapan bahwa orang tua mengalokasikan sumberdaya antara personal consumption saat ini dengan investasi di masa mendatang untuk anak mereka agar dapat memaksimalkan parent’s utility saat ini. Maksimisasi utility tergantung dari keterbatasan pendapatan yang ada, dan perbandingan harga dari barang konsumsi dengan investasi pada anak. Childen’s well being pada masa yang akan datang tergantung seberapa banyak orang tua melakukan investasi kepada anak-anak pada saat ini. Investasi pada anak berarti melakukan pengeluaran
untuk
skill,
kesehatan,
belajar,
motivasi,
credentials,
dan
15
karakteristik-karakteristik lainnya. Prediksi dari kerangka ini adalah bahwa pendapatan anak akan bergantung pada pendapatan orang tua (secara positif) dan jumlah anak dalam keluarga (secara negatif), karena bertambahnya anak berarti mengurangi uang yang dialokasikan kepada setiap anak. Investasi kepada anak tidak hanya bersifat material, akan tetapi berupa non material yaitu waktu. Leibowitz (1974) menambahkan gagasan bahwa investasi kepada anak juga tergantung pada kuantitas dan kualitas waktu orang tua yang diberikan kepada anak tidak berbeda dengan investasi material. Sebenarnya Leibowitz menjelaskan bahwa income merupakan penghasilan atas stock of human capital dimana tergantung dari empat sumber dari capital, yaitu home investment (mencakup kuantitas dan kualitas waktu dan barang), measured ability (IQ), final schooling level, dan postschool investment. Menurut Leibowitz karakteristik genetik orang tua berhubungan dengan ability anak (IQ). Karakteristik genetik orang tua menentukan sifat menurun pada anak. Sumbangan genetik dan pendidikan orang tua menentukan kuantitas dan kualitas waktu untuk anak. Pendapatan keluarga mempengaruhi kuantitas dan kualitas waktu dan barang. Home investment bersama dengan heredity menentukan human capital (IQ). Final schooling level ditentukan oleh family income dan ability (IQ). Pendidikan orang tua (ibu) berpengaruh baik secara langsung maupun melalui heredity pada schooling level Begitu juga pendidikan ibu secara signifikan berhubungan dengan IQ. Curtis dan Phipps (2000) membuktikan bahwa parental time berkorelasi dengan child outcome, khususnya pada keberhasilan sekolahnya. Parental time disini dirinci kedalam bentuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah (PR), membacakan untuk anak, mengajak tamasya, memberikan dukungan pada aktivitas sekolah ( pekerjaan rumah dan sekolah, mengantar sekolah, mengikuti piknik sekolah bersama anak).
Kuantitas – Kualitas Pilihan orang tua untuk menentukan pada kuantitas dan kualitas anak menjadi bahan yang menarik dipertimbangkan. Bryant (1990) membangun model
16
pilihan fertilitas yang menekankan pada family size. Ada lima hal yang perlu diperhatikan agar dapat menentukan family size secara benar: 1. Ukuran keluarga akan lengkap jika mempertimbangkan fecunditas perempuan sehingga merupakan jumlah anak yang dibesarkan hingga dewasa. 2. Anak merupakan barang yang dihasilkan oleh rumah tangga yang membutuhkan kombinasi parental time dan barang yang dibeli. 3. Fokus pada waktu ibu dikarenakan pada kenyataannya mayoritas waktu untuk melahirkan dan membesarkan anak ada pada ibu 4. Adanya kepuasan yang diterima oleh orangtua dari child service. Child service merupakan aliran service dari anak yang dinikmati oleh orangtua pada tiaptiap tahun yang berasal dari anak-anak mereka. 5. Child service berasal dari dua komponen anak, yaitu jumlah anak dalam keluarga dan human capital yang
diterima oleh masing-masing anak.
Perbedaan ini perlu dilakukan karena pengeluaran untuk anak meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan. Dipihak lain, bertambahnya jumlah anak maka akan meningkatkan penggunaan waktu dan uang untuk anak. Oleh karena itu, anak yang memiliki human capital yang lebih banyak akan memberikan aliran child services yang lebih besar, dan orang tua lebih bahagia jika anak-anak mereka sehat, berpendidikan, berketrampilan, kecukupan pangan, pakaian, dan tinggal dalam rumah yang layak. Permintaan jumlah anak merupakan komponen dari permintaan child services dan mengabaikan hal ini akan menghilangkan aspek penting dari perilaku fertilitas. Child services tersebut dapat diwujudkan dalam notasi: C = NQ
Notasi tersebut menunjukkan bahwa kuantitas child services yang diproduksi dan dinikmati oleh orangtua (C) merupakan hasil produksi dari jumlah anak (N) dan human capital untuk per anak (Q). Kemudian anggapan dalam model fertilitas yang
sederhana adalah
kedua
orangtua
memperoleh
kepuasan dengan
memproduksi dan mengkonsumsi dua barang, yaitu child services dan parental
17
services. Jumlah parental services dilambangkan dengan S. Dengan demikian preferensi kedua orangtua ditampilkan dalam fungsi utility sebagai berikut: U = w (C, S)
Banyak penelitian memfokuskan kepada masalah preferensi orang tua terhadap kuantitas dan kualitas anak. Penelitian-penelitian tentang kuantitas dan kualitas anak tersebut mempunyai fokus sendiri-sendiri seperti: kajian tentang hipotesa kuantitas dan kualitas anak di negara-negara berkembang (Martina 1996); investasi pada anak dalam keluarga pedesaan di Indonesia (Hartoyo 1998); kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Lundholm & Ohlsson 2000); kuantitas dan kualitas sekolah (Handa & Simler 2000); struktur keluarga, fertilitas dan kualitas anak (Ribero 2000); investasi kepada anak (Brown & Flinn 2002); kuantitas versus kualitas: pengaruh ukuran keluarga terhadap sekolah (Millimet 2003); pengaruh family size terhadap investasi pada kualitas anak (Caceres 2004); kuantitas – kualitas: pengaruh positif dari ukuran keluarga terhadap kelulusan sekolah (Qian 2005); dan trade off kuantitas dan kualitas (Millimet & Wang 2005). Pendidikan Anak Sebagai Bentuk Investasi Pandangan para ahli ekonomi terhadap pendidikan adalah sebagai bagian dari investasi terhadap sumberdaya manusia (Bryant 1990; Schultz 1961&1974; Febrero&Schwartz 1995). Pendidikan dikatakan sebagai investasi karena investasi pada hakekatnya adalah pengorbanan di masa kini untuk memperoleh keuntungan di masa depan; sedang pendidikan itu sendiri harus melibatkan suatu bagian waktu, yang tentu saja mengurangi kesempatan untuk menghasilkan yang lain (Fadjri 2000). Selain itu pendidikan sendiri merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Sistem Pendidikan Nasional 1994). Dimana setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Oleh karena itu pendidikan menjadi salah satu sasaran utama dalam pembangunan nasional.
18
Sistim pendidikan nasional menyebutkan adanya penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. Jalur pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional. Sedangkan pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Dan pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. (Sistem Pendidikan Nasional, 1994). Pendidikan keluarga tersebut dapat disebut juga sebagai sosialisasi keluarga terhadap anak. Menurut Bryant (1988) alasan utama melakukan investasi human capital melalui pendidikan formal adalah untuk meningkatkan pendapatan mereka di masa datang dan juga untuk meningkatkan kemakmuran mereka.
Bahkan
dikemukakan bahwa tambahan pendidikan akan meningkatkan produktivitas individu di pasar tenaga kerja, dan para pekerja menerima upah yang lebih tinggi dengan pendidikannya yang lebih tinggi. Investasi terkadang mempertimbangkan akan harapan di masa datang dan jenis kelamin (Bryant 1990). Harapan aktivitas di masa yang akan datang menjadi bahan petimbangan penting untuk mengatur seberapa banyak dan macam investasi human capital bagi individu. Orang tua akan melakukan investasi agar meningkatkan produktivitas pasar tenaga kerja hanya jika ia mempunyai harapan anak dapat mengalokasikan banyak waktu dalam pasar tenaga kerja di masa yang akan datang. Semakin tinggi harapan ini maka semakin banyak pula investasi yang dilakukan. Sedangkan investasi human capital berdasarkan jenis kelamin dapat muncul jika orang tua mempunyai harapan aktivitas di masa mendatang berdasarkan jenis kelamin. Secara historis, perempuan diharapkan menggunakan sebagian besar waktunya
untuk household and leisure activities. Akibatnya,
19
investasi human capital terhadap perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga masyarakat dan orang tua menurunkan jumlah investasi seperti itu. Becker (Becker 1993 diacu dalam Yueh 2001) mengembangkan model tiga periode sebagai formulasi lebih lanjut dari keputusan investasi orang tua pada children’s human capital. Becker menentukan investasi tersebut dengan peragaan fungsi utility baik orang tua maupun anak dipengaruhi dengan altruism dan rasa bersalah. Yueh (2001) mengetengahkan tiga model investasi orang tua pada anak dengan mempertimbangkan dua rates of return, yaitu personal rate of return dan family rate of return. Pertama, personal rate of return, orang tua akan menginvestasikan lebih banyak resources pada anak dengan return yang lebih besar. Adanya diskriminasi dalam pasar tenaga kerja akan membedakan rates of return childrens’s human capital dan orang tua akan secara menginvestasikan sedikit kepada anak yang akan memberikan returns lebih rendah. Pertimbangan adanya perbedaan penerimaan gaji akan menurunkan return dari pendidikan anak perempuan dan orang tua akan menginvestasikan sedikit pada human capital anak perempuan. Kedua, familial rate of return, orang tua mempertimbangkan adanya transfer ketika pensiun. Familial rate of return didasarkan pada rate of return dari transfer yang diharapkan kepada orang tua ketika mereka pensiun dan ini merupakan bagian dari pendapatan keluarga anak mereka di masa yang akan datang. Akan tetapi faktor lain mempengaruhi keputusan investasi apabila transfer dilakukan oleh keluarga anak di masa mendatang daripada anak itu sendiri, karena ada potential return investasi yang lebih besar pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki berdasarkan pendapatan keluarga anak di masa mendatang. Penelitian lain menemukan bahwa investasi yang dilakukan oleh orang tua kepada anak tetap bersifat altruistic. Bhalotra (2004) melakukan penelitian yang mencari relevansi antara pembagian pendapatan dengan konsumsi anak dewasa, pendidikan, dan tengaga kerja anak. Ia mendapatkan bahwa meningkatnya konsumi anak dewasa berhubungan secara positif dengan proporsi anak dalam keluarga tersebut yang mengikuti pendidikan, dan berhubungan secara negatif dengan proporsi anak yang bekerja. Ia menemukan juga bahwa meningkatnya anak dalam tenaga kerja berhubungan dengan menurunnya konsumsi anak.
20
Penemuan ini diartikan sebagai penolakan terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa pilihan pada tenaga kerja anak merupakan pertimbangan orang tua untuk memperoleh kepentingan atau tujuan orang tua itu sendiri. Penelitian ini relevan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa keluarga bersifat altruistic dalam melakukan investasi terhadap anak. Kajian Yueh (2001) menghasilkan adanya perbedaan investasi human capital berdasarkan gender dan tidak bersifat altruistic. Sedangkan kajian Bhalotra (2004) menunjukkan bahwa investasi human capital oleh orangtua kepada anak adalah altruistic. Namun, kajian lain tentang motive investasi human capital terhadap anak berdasarkan gender memberikan hasil tidak adanya perbedaan investasi (Kevane & Levine 2003). Kevane & Levine melakukan penelitian di negara sedang berkembang, Indonesia. Mereka mencoba mengetahui pengaruh perkawinan yang dilakukan dengan investasi yang dilakukan oleh orang tua. Mereka menduga bahwa anak perempuan mendapatkan investasi lebih rendah daripada anak laki-laki. Perkawinan tersebut menjadikan investasi yang diberikan kepada anak perempuan pada akhirnya diperoleh pada pihak keluarga laki-laki, sehingga tidak perlu menginvestasikan banyak kepada anak perempuan. Namun pada kenyataannya ditemukan sedikit bukti adanya preferensi anak laki-laki di daerah virilocal dan ini konsisten dengan bukti lain tidak adanya preferensi anak laki-laki secara sistematis di Indonesia. Juga berdasarkan data Indonesian Family Life Survey tidak ditemukan adanya hubungannya yang kuat antara virilocality dengan perbedaan investasi atau perlakuan terhadap anak perempuan. Dengan demikian kajian ekonomi menunjukan adanya beberapa interest berkenaan dengan preferensi anak hubungannya dengan investasi yang akan dilakukan oleh keluarga. Di satu pihak investasi dilakukan kepada anak tanpa ada preferensi akan tetapi lebih pada sisi altruistic, namun di sisi lain dikarenakan pertimbangan pada kepentingan atau tujuan orangtua.
Alokasi Waktu Orang Tua Untuk Perkembangan Anak Ketika berbicara masalah alokasi waktu anggota keluarga, maka yang menarik adalah alokasi antara wanita dan pria. Adanya pemilahan antara domestic
21
work dan public work membawa konsekuensi terjadinya perbedaan alokasi waktu antara wanita dan pria dalam dunia publik dan domestik. Oleh karena itu dapat dilihat pula perbedaan penggunaan waktu antara wanita dan pria dalam rumah tangga. Hasil survey penggunaan waktu antara tahun 1970 – 1990 menunjukkan bahwa rata-rata alokasi waktu perhari dalam keluarga untuk wanita adalah 0.52, sedangkan pria sebanyak 0.2 (Klevmarken dan Stafford 1997). Hal tersebut menunjukkan bahwa wanita jauh lebih banyak dibandingkan dengan pria dalam hal mengalokasikan waktu untuk keluarga, khususnya dalam perawatan anak. Alokasi waktu yang lebih banyak tersebut memang sesuai dengan peran wanita dalam keluarga. Peranan wanita dapat diperinci atas tiga peranan, yaitu: a) sebagai penyumbang tenaga rumah tangga, b) sebagai pengatur rumah tangga dan pengambil keputusan, c) di luar rumah tangga sebagai pendukung beragam lembaga/organisasi sosial ekonomi dan politik yang ada di dalam masyarakat. (Sajogyo 1983). Guhardja (1992) mengemukakan bahwa pekerjaan rumahtangga adalah pekerjaan yang dilakukan dalam rumahtangga dan berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup anggotanya (barang maupun jasa), mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya sehingga kebutuhan yang diidentifikasikasi sebagai kebutuhan pangan maupun non-pangan dapat terpenuhi. Fungsi pekerjaan rumahtangga sebagai penghasil barang dan jasa maka pekerjaan rumahtangga sesungguhnya merupakan kegiatan produktif yang dilakukan oleh anggota rumahtangga itu sendiri atau oleh orang yang dipekerjakan sebagai pelaksana pekerjaan rumahtangga sehari-hari yang dikenal sebagai pembantu rumahtangga atau pramuwisma. Pekerjaan rumahtangga tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis pekerjaan antara lain: 1. menyediakan makanan dan keperluan yang berhubungan dengan makanan tersebut 2. memenuhi kebutuhan non-makanan: 3. mengasuh dan merawat serta mendidik anak Berkenaan dengan alokasi waktu rumah tangga, Bryant (1990) menjelaskan ada tiga kategori alokasi sebagai berikut: market work, household work, dan leisure. Market work mencakup semua penggunaan waktu per minggu
22
untuk melakukan pekerjaan dengan upah. Household work mencakup semua penggunaan waktu per minggu untuk kegiatan household production seperti: memasak, mencuci, merawat halaman, merawat anak, merawat anggota keluarga yang sakit, kegiatan perencanaan dan belanja serta kegiatan pengelolaan rumah tangga lainnya. Leisure time merupakan waktu yang tidak digunakan
untuk
market work maupun household work. Dengan adanya status sosial ekonomi yang berbeda antara rumah tangga yang satu dengan lainnya, maka dimungkinkan ada relevansinya dengan tiga kategori alokasi waktu rumah tangga. Status sosial ekonomi keluarga tinggi (lapisan atas) maka wanita cenderung mengalokasikan banyak waktu untuk kepentingan rumah tangga. Lapisan tengah mengalokasikan waktu untuk bekerja sehingga waktu wanita dalam rumah tangga berkurang. Pada lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi untuk bertahan hidup. Wanita dalam keluarga lapisan bawah cenderung mengalokasikan banyak waktu untuk mencari nafkah, sehingga waktu yang dialokasikan untuk keluarga berkurang. Dengan demikian dapat diketahui taraf alokasi wanita dalam tiga kategori alokasi terlebih berkaitan dengan alokasi waktu terhadap anak, semakin tinggi lapisan sosial ekonomi keluarga maka semakin tinggi curahan waktu untuk keluarga. Bryant dan Zick (1996) mengkaji investasi dari segi waktu yang dikorbankan oleh orang tua kepada anaknya. Mereka menaksir total time yang dicurahkan untuk merawat anak yang mencakup perawatan fisik (menyuapi, memandikan, memakaikan baju, memandikan) dan perawatan personal secara langsung seperti mengajari, menasihati, membimbing, mengarahkan, melatih, membahagiakan, dan menghibur. Meskipun wanita kulit putih menikah menggunakan .56 jam setiap hari untuk merawat anak di tahun 1924-1931, tahun 1981 waktu telah meningkat hingga 1.00 jam per hari untuk setiap anak. Pria menikah menggunakan waktunya 0.25 jam setiap hari untuk setiap anak pada tahun 1975. Tahun 1981 meningkat menjadi .33 jam perhari per anak. Bertambahnya dua anak sampai usia 18 membutuhkan sekitar 5.789 jam waktu wanita yang menikah, bekerja, dan berkulit putih dan 14.053 jam waktu wanita yang menikah, tidak bekerja, dan berkulit putih pada tahun 1981. Bertambahnya dua anak hingga usia 18 tahun mempengaruhi penggunaan waktu suami yang
23
menikah sekitar lebih 1.500 jam dibandingkan dengan suami menikah tidak bekerja berkulit putih. Waktu kerja ibu di luar rumah tangga mempunyai kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga begitu juga terhadap kualitas anak. Conger (dalam Robert 1999) mengemukakan bahwa keadaan ekonomi keluarga mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Ia menggunakan sampel anak-anak dewasa di pedesaan Amerika. Hasil yang ditemukan bahwa permasalahan ekonomi keluarga mempengaruhi
kemampuan
akademis
mereka.
Bahkan
tanpa
dengan
memperhatikan variabel pendidikan orang tua ditemukan hasil adanya hubungan langsung antara tekanan ekonomi dan prestasi rata-rata mereka. Pembagian alokasi waktu dalam rumah tangga tidak lepas dari gender. Susan Losh-Hesselbart (Sussman dan Steinmetz 1988) mengemukakan bahwa di dalam rumah tangga wanita mempunyai peran instrumental dan pria mempunyai peran ekspresif. Selama kegiatan wanita tercurahkan pada kegiatan rumah tangga dan pria pada kegiatan bekerja di luar rumah, maka alokasi waktu
untuk
mengelola rumah tangga tidaklah terganggu. Akan tetapi terserapnya wanita dalam dunia kerja menjadikan waktu yang dialokasikan untuk kegiatan instrumental (rumah tangga) menjadi kegiatan kerja berupah. Piotrkowski et al (Sussman dan Steinmetz 1988) dalam kajiannya tentang families and work mengetengahkan bahwa waktu yang dialokasikan dalam kerja berupah merupakan waktu yang tidak dialokasikan untuk melaksanakan fungsi-fungsi keluarga dan juga tidak untuk anggota keluarga. Pemisahan yang berhubungan dengan kerja melibatkan ketiadaan kontak tatap muka antara anggota keluarga. Waktu juga merupakan sumberdaya penting yang digunakan keluarga menyelesaikan tugastugas keluarga dan juga menjaga solidaritas keluarga. Selanjutnya Pitorkowski et al (1988) mengungkapkan adanya anggapan luas bahwa waktu yang dialokasikan untuk kerja mengganggu kinerja peran-peran keluarga dikarenakan konflik antara kerja dengan peran keluarga dan karena kuantitas peran dan keterbatasan peran. Kebanyakan pekerja mengeluhkan waktu yang
tidak
memadai
untuk
kegiatan-kegiatan
keluarga
dan
sulitnya
meyeimbangkan waktu untuk kerja dan peran-peran keluarga. Karena beratnya tanggung jawab mereka terhadap keluarga, para pekerja wanita merupakan subyek
24
yang mengalami keterbatasan peran. Beberapa kajian telah menemukan bahwa jumlah waktu kerja berkaitan dengan konflik keluarga dan kerja dengan kesulitan mengatur aktivitas pribadi dan keluarga. Ilahi
(2000) meninjau perbedaan region dan rural-urban menemukan
distribusi waktu berdasarkan gender, namun alokasi waktu pria dan wanita tersebut sebagai respon terhadap tekanan-tekanan dan insentif-insentif ekonomi. Apakah pasar tenaga kerja dan barang-barang ada atau tidak mempunyai pengaruh yang penting sebagai penentu apakah pria dan wanita merubah alokasi waktu mereka sebagai respon terhadap perubahan-perubahan dari luar dalam lingkungan mereka. Sebagai contoh, efek –efek perubahan komersialisasi pertanian pembedaan gender tersebut terhadap penggunaan waktu beragam menurut bagaimana fungsi tenaga kerja yang baik dan pasar barang-barang. Dengan demikian perubahan ekonomi yang meningkatkan akses individu ke pasar tenaga kerja, barang-barang, kredit, asuransi dan day-care pasti akan menurunkan kebutuhan penggunaan sumberdaya waktu perempuan sebagai buffer. Disebutkan juga
bahwa
pemanfaatan
waktu
dan
kemiskinan
sangatlah
berkaitan.
Rumahtangga miskin menunjukkan adanya beban kerja yang tinggi yang harus ditanggung oleh wanita. Beban kerja ini akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga karena tersedianya lapangan kerja. Penggunaan waktu dalam rumahtangga menjadi sangat penting untuk perkembangan anak, karena pada hakekatnya untuk mengasuh dan mendampingi anak dibutuhkan pengorbanan waktu. Penggunaan waktu tersebut dapat dikatakan mengikuti perkembangan usia anak. Semakin muda usia dibutuhkan banyak waktu untuk anak dikarenakan anak masih sangat tergantung kepada orang tua dalam berbagai hal. Akan tetapi semakin bertambah usia, kemampuan mobilitas sosialnya bertambah, maka dengan sendirinya waktu semakin berkurang Meskipun secara kuantitas waktu untuk anak berkurang, namun secara kualitas diperlukan penggunaan waktu secara efektif untuk anak.
25
Tinjauan Education Paradigm Pendidikan adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya mansia. Pendidikan secara umum mencakup pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal (UURI No 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Dan dalam undang-undang tersebut ditambahkan juga adanya pendidikan anak usia dini. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan Formal dan Non-formal Pada awal mula istilah school dalam bahasa Latin mempunyai arti leisure atau recreation (Giddens 1993). Arti tersebut masih relevan untuk tahap pendidikan taman-kanak-kanak (TK) sebagai tahap persiapan memasuki pendidikan dasar. Meskipun demikian di tingkat persiapan tersebut sudah dikenalkan juga baca tulis dan menghitung. Pada tahap ini anak diberi pelajaran yang dapat mengasah psikomotorik, afektif, dan cognitifnya. Namun semakin tinggi tingkat pendidikan maka tidak sekedar leisure dan rekreasi, akan tetapi semakin dituntut pada penguasaan ilmu dan teknologi yang beraneka ragam sesuai dengan jamannya. Kemampuan tersebut tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal akan tetapi juga dilengkapi dengan pendidikan nonformal sehinga akan menyempurnakan kinerja individu di kemudian waktu. Apalagi jika mempertimbangkan perlunya link and match antara dunia pendidikan dan pekerjaan, maka dunia pendidikan perlu mempersiapkan tenagatenaga profesional atau sumberdaya yang berkualitas sebagai modal pembangunan dalam segala sektor. Partisipasi mencetak sumberdaya manusia melibatkan
26
keluarga, lingkungan pendidikan (sekolah dan para guru) dan masyarakat. Keluarga menyediakan segala kebutuhan materi dan non materi untuk keberhasilan pendidikan anak. Para guru mengasah ketrampilan, ilmu dan teknologi dan juga moral. Masyarakat merupakan ajang belajar dan praktek dari penguasaan ilmu serta teknologi. Sumberdaya berkualitas ini diharapkan dapat menjadi faktor pendorong pembangunan nasional. Dan secara individual memberikan kontribusi kesejahteraan di masa mendatang. Pendidikan dianggap juga sebagai upaya untuk meraih kesetaraan sosial. Para
ekonom
perkembangan
pendidikan pendidikan
senantiasa secara
alami
menyampaikan akan
gagasan
mengurangi
bahwa
ketimpangan
pendapatan (Boudon 1977). Namun pada kenyataannya pendidikan itu sendiri secara tidak langsung menciptakan ketimpangan sosial. Peningkatan waktu untuk pendidikan tidaklah mengurangi ketimpangan sosial akan tetapi justru meningkatkan ketimpangan ekonomi. Dengan demikian pendidikan menjadi modal utama untuk melakukan persaingan dalam angkatan kerja sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan individu. Akan tetapi partisipasi anak ke dalam dunia pendidikan tersebut ditentukan oleh latar belakang keluarga. Finnie et al (2004) menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan orang tua yang tinggi memiliki partisipasi yang tinggi, sebaliknya anak yang berasal dari keluarga dengan pendidikan orang tua semakin rendah maka partisipasi dalam dunia pendidikan juga semakin merendah. Tipe keluarga juga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi anak kedalam dunia pendidikan. Anak yang berasal dari keluarga lengkap cenderung menunjukkan angka yang meningkat dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga tunggal. Latar belakang keluarga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
anak
dalam hal
keberhasilan
pendidikannya.
Sparkers
(1999)
menganggap bahwa keberhasilan pendidikan yang dicapai oleh anak tergantung juga dari latar belakang keluarga atau faktor-faktor bukan sekolah. Faktor-faktor tersebut adalah: • Karakteristik personal anak: prestasi sebelumnya, gender, dan kesehatan;
27
• Ekonomi Sosial: pendapatan rendah, orang tua tidak bekerja, klas sosial (pekerjaan orang tua) dan lingkungan tempat tinggal yang padat; • Pendidikan dan ketrampilan orang tua; • Struktur keluarga: family size, orang tua tunggal, tempat penitipan anak; • Etnisitas/bahasa: kelompok etnis, berbahasa Inggris; • Lainnya: kepentingan orang tua/keterlibatan/latihan-latihan. Dari sisi lembaga pendidikan maka kinerja sekolah berpengaruh terhadap prestasi anak. Artinya sekolah yang berkualitas akan menghasilkan output siswa yang berkualitas (Lloyd 2001; Bacolod and Tobias 2003). Lloyd (2001) menemukan bahwa kualitas sekolah (jam belajar, bahan pelajaran, kualitas guru, dinamika klas, perlakuan guru dam sikap guru) berhubungan dengan tingkat pencapaian prestasi siswa. Sedangkan Bacolod and Tobias (2003) menemukan adanya hubungan antara kualitas sekolah dengan prestasi akademik siswa. Fasilitas minimal pada sekolahan memberikan kontribusi pada prestasi belajar siswa. Fasilitas dasar minimal yang harus dimiliki sekolahan adalah fasilitas listrik, ukuran klas, dan program pelatihan guru. Proses pendidikan dapat dikatakan sebagai adanya input yang diolah dalam lembaga pendidikan dan menghasilkan output. Proses tersebut melibatkan lingkungan keluarga, karakteristik anak didik, dan lingkungan sekolah sebagai unsur yang menentukan kualitas output siswa. Sekolah memang merupakan ajang untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Latar belakang keluarga memberikan dukungan baik materiil maupun non materi untuk anak dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan karakteristik anak didik mencakup jenis kelamin, prestasi sebelumnya dan tingkat kecerdasan. Pada hakekatnya pendidikan itu sendiri merupakan sarana untuk melakukan mobilitas sosial. Semakin terbukanya kesempatan mengikuti pendidikan maka akan semakin mengurangi ketimpangan pendidikan sehingga akan meningkatkan social opportunity atau social mobility.
Apabila jumlah
division of labor dalam masyarakat relatif tetap maka social opportunity tersebut membutuhkan kemampuan bersaing yang semakin tinggi. Maka semakin banyak output pendidikan semakin meningkatkan persaingan. Kondisi ini merupakan
28
bentuk inflasi pendidikan dikarenakan perbandingan kuantitas dan kualitas output pendidikan yang semakin bertambah sementara penyerapan tenaga kerja terbatas sehingga dibutuhkan persyaratan sertifikasi pendidikan yang semakin tinggi untuk pekerjaan tertentu.
Pendidikan Informal dan Usia Dini Pendidikan informal dan usia dini tidak dapat dipisahkan. Pada hakekatnya pendidikan informal berlangsung dalam lingkungan keluarga, begitu juga dengan pendidikan usia dini. Pendidikan dalam lingkup keluarga ini dapat dikatakan sebagai bentuk sosialisasi keluarga kepada anak. Sosialisasi tersebut mencakup berbagai dimensi seperti: psikomotorik, afektif, dan cognitif. Sosialisasi psikomotorik merupakan pelatihan gerak agar dapat melakukan kegiatan mandiri. Sosialisasi afeksi merupakan pelatihan yang menumbuhkan perkembangan emosi anak secara positif. Dan sosialisasi cognitif merupakan pengenalan pengetahuan secara umum termasuk etika sesuai dengan perkembangan usianya. Pendidikan keluarga tersebut dapat dikatakan melengkapi pendidikan formal Nordblom (2001) menganggap bahwa pendidikan dalam keluarga dapat melengkapi dari pendidikan formal karena mencakup kebutuhan waktu dan barang-barang,
usaha-usaha
untuk
mengajari
kebiasaan-kebiasaan
anak,
membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah, membeli komputer, atau mengirim untuk mengikuti pendidikan bahasa. Begitu juga masalah kesehatan dan aspek fisik lainnya serta makanan bergizi dan obat merupakan hal yang penting untuk human investment. Proses pendidikan yang terjadi dalam keluarga tersebut melibatkan ragam sumberdaya untuk menghasilkan output, teristimewa child outcome yang berkualitas. Schultz (1961) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut mencakup segi kuantitas dan kualitas. Kuantitas sumber daya meliputi jumlah orang, proporsi orang yang bekerja, dan jam bekerja. Kualitas sumberdaya mencakup komponen ketrampilan, pengetahuan, dan atribut-atribut yang mirip yang mempengaruhi kemampuan produktif manusia. Sumberdaya tersebut dapat bersumber pada ayah atau ibu, atau anggota keluarga lainnya.
29
Sumberdaya tersebut ditransfer oleh orang tua kepada anak melalui pendidikan dalam keluarga. Hasil dari transfer tersebut ditunjukkan dalam peran yang ditampilkan anak dalam keluarga tersebut. Peran tersebut dapat dilakukan secara baik hanya jika anak mempunyai kondisi fisik yang sehat, memiliki kecerdasan intelektual maupun emosional. Kesemua faktor tersebut memberikan dukungan terhadap segi psikomotorik, afeksi, dan kognitif anak yang diwujudkan dalam peran anak dalam keluarga. Tinjauan Sumberdaya Keluarga Household resources dapat diartikan sebagai sumber dari kekuatan, potensi, dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat atau tujuan. Menurut Bryant (1990) household resources dapat dipilah ke dalam human resources dan physical resources. Human resources mencakup time, skill, dan energy dari setiap anggota rumah tangga. Physical resources mencakup financial resources yang dapat diurutkan dari yang most liquid sampai dengan yang less liquid. Sumber daya yang most liquid berupa cash, sedangkan yang less liquid berupa credit line, saving accounts, saham, surat obligasi, mobil, rumah, dan tanah. Dengan maksud yang sama Deacon (tanpa tahun) juga mengemukakan bahwa resources mencakup human resources dan material resources. Human resources merupakan segala sesuatu yang diberikan pada orang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Human resources menunjukkan personal characteristic seperti cognitive insights, psychomotoric skill, affective attributes, health, energy, dan time. Material resources merupakan nonhuman means untuk mencapai tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan. Material resources mencakup consumption good, housing, household capital, physical energy, money, dan investments. Guhardja dkk
(1992) menjelaskan bahwa sumberdaya mempunyai
berbagai jenis yang dapat diklasifikasikan berdasarkan : (1) jenisnya, (2) segi ekonomi, dan (3) letak/asalnya.
Berdasarkan jenisnya maka sumberdaya
dapat diklasifikasikan sebagai (a) sumberdaya manusia dan (b) sumberdaya bukan manusia atau materi. Sumberdaya manusia mempunyaai dua ciri, yaitu ciri-ciri
30
pribadi/personal dan ciri-ciri interpersonal. Ciri-ciri pribadi adalah semua pengetahuan (cognitve), perasaan (affective) dan ketrampilan (psichomotoric). Selain itu, ciri-ciri pribadi mencakup juga enerji manusia, status kesehatan, bakat, tingkat intelegensia, minat dansensitivitas (kepekaan)
Sedangkan ciri-ciri
interpersonal sumberdaya manusia adalah jalinan hubungan natar manusia dalam membentuk
suatu
kerjasama
gotong
royong
atau
keintiman,
keterbukaan/ketertutupan antar personal dalam kaitannya dengan pengembangan. Aspek koginitf
menyangkut nilai-nilai dalam hal jangkauan/penguasaan
pengetahuan dimana mengenal tahapan-tahapan, yaitu: mengetahui, memahami, menganalisa, mensintesis, dan mengevaluasi. Aspek afektif lebih berhubungan dengan sisi subyektif. Afektif merupakan ciri pribadi yang tampak sebagai sumberdaya dalam hubungan antara personal dan dalam penggunaan sumberdaya materi (non manusia). Ada tiga spek pribadi dalam afeksi, yaitu: sikap, perasaan, dan ciri-ciri pribadi (baik hati, lapang dada, pemurah, dan bertanggung jawab). Sedangkan aspek psikomotorik adalah sumberdaya yang berupa kekuatan gerak fisik untuk mengerjakan suatu pekerjaan serta kemampuan untuk menggunakan peralatan, seperti: mencangkul, menyopir traktor, memperbaiki alat, memasak, dan mencuci pakaian, serta lain-lainnya. Sumberdaya bukan manusia atau materi merupakan benda-benda yang mempunyai khasiat dan kegunaan pada individu dan keluarga dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Sumberdaya bukan manusia atau materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan enerji (Suprihatin Guhardja dkk 1992). Benda-benda yang digunakan dalam proses konsumsi dapat berlangsung malalui berbagai cara dibeli dan langsung dikonsumsi, dibeli kemudian diolah dahulu di rumahtangga, kemudian baru dikonsumsi, dan diperoleh dari luar (dari tetangga,, dari lembaga formal). Sumberdaya jasa mencakup jasa pembantu, jasa sopir, jasa ronda, jasa klinik, jasa perpustakaan, dan lain-lain. Sumberdaya waktu merupakan sumberdaya yang unik, karena selain tidak dapat dikategorikan sebagai sumberdaya manusia atau sumberdaya non manusia, juga tidak apat ditambah, dikurangi, diakumulasi atau disimpan. Sumberdaya waktu yang dimiliki oleh manusuia sama, yaitu dua puluh empat jam sehari. Waktu dapat menjadi ukuran yang mempunyai nilai ekonomis. Sumberdaya enerji merupakan sumberdaya
31
manusia maupun sumberdaya non manusia. Sumberdaya enerji merupakan sumberdaya manusia jika ditinjau dari sudut pandang bahwa enerji yang ada pada diri manusia tidak akan ada apabila manusia itu sendiri tidak ada. Sedangkan jika sumberdaya enerji merupakan sumberdaya non manusia jika ditinjau dari sudut pandang bahwa enerji dapat berada di alam bebas, seperti: enerji matahari, enerji gas dan minyak bumi, enerji angin, ombak, batu bara, kayu dan lainnya. Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
household
resources
menunjukkan pada dua kategori human resources dan physical atau material resoures. Kedua karakter tersebut dapat merupakan kontinuum dari yang asset lancar sampai dengan asset tidak lancar. Bagaimanapun sumberdaya rumahtangga tersebut merupakan sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan aktivitas suatu rumah tangga.
Secara khusus faktor-faktor sumberdaya
keluarga memberikan kontribusi dalam membentuk kualitas anak. Faktor sumberdaya manusia berupa cognitif, afektif, dan psikomotorik merupakan potensi orangtua yang disosialisasikan kepada anak agar anak memiliki potensi yang memadai untuk aktivitas pada tahap usianya. Begitu juga kontribusi sumberdaya bukan manusia menentukan kualitas anak. Sumberdaya bukan manusia ini berupa sandang, pangan, papan, waktu, dan enerji yang disediakan oleh keluarga untuk kepentingan perkembangan anak yang berkualitas baik. Begitu juga sumberdaya ekonomi merupakan hal penting dalam kesejahteraan anak yang dapat diukur melalui kesehatan dan keberhasilan pendidikan (Curtis & Phips 2000) Kajian Empiris Kualitas Anak Kajian Indikator Kualitas Anak pada Penelitian Terdahulu Kualitas anak merupakan suatu output dalam suatu keluarga. Berbagai faktor masukan dikelola dalam keluarga tersebut sehingga mampu menghasilkan output berupa sumber daya manusia yang berkualitas. Beberapa kajian (Hartoyo 1998; Ribero 2000; Brown & Flin 2002; Caceres 2004) langsung menyebut kualitas anak Hartoyo (1998) dalam penelitiannya mengenai investing in children: study of rural families in Indonesia menjelaskan kualitas anak mencakup dimensi
32
jasmani (status gizi) dan kecerdasan (IQ). Ribero (2000) mengungkap bahwa perkawinan mempunyai hubungan positif dengan child quality sedangkan fertility mempunyai hubungan negatif dengan child quality. Ribero mengukur child quality dengan indikator pendidikan anak. Brown & Flin (2000) melakukan kajian mengenai investasi kepada anak dengan memperhatikan status perceraian dan perkawinan pengaruhnya terhadap kualitas anak. Hasilnya menunjukkan bahwa anak dalam keluarga yang menikah memiliki hasil test yang lebih baik dibandingkan dengan anak dalam keluarga perceraian. Indikator kualitas anak adalah Peabody Individual Achievement Test (PIAT) dalam bidang matematika dan membaca. Caceres (2004) mengkaji pengaruh family size terhadap investasi pada child quality. Caceres menggunakan pencapaian pendidikan sebagai indikator kualitas anak. Hidayat (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence). Oleh karena itu, kualitas SDM dapat didefiniskan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya manusia berkualitas adalah anak. Kualitas anak tersebut mencakup faktor status gizi (jasmani), kecerdasan intelektual (akal), kecerdasan emosional (kalbu), dan prestasi belajar. Berbeda
dengan
penelitian-penelitian sebelumnya
yang menyebut
langsung kualitas anak, sebaliknya beberapa penelitian berikut tidak menunjuk langsung kualitas anak. Meskipun demikian beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.. Beberapa penelitian berikut merupakan penjabaran dari definsi kualitas anak sehingga merupakan bagianbagian dari karakteristik kualitas anak yang mencakup status gizi (jasmani), intelligence quotien (kecerdasan), dan emotional quotien (kecerdasan emsional).
Status Gizi Beberapa penelitian tentang status gizi dilakukan oleh Tambingon (1999), Nurhayati (2000), Paputungan (2000), Soedikarijati (2001), Rahmawati (2001),
33
Yuliana (2002).
Tambingon (1999) menggunakan variabel status ibu,
karakteristik keluarga, pola pengasuhan, dan jenis kelamin. Nurhayati (2000) menggunakan variabel
pengaruh langsung (konsumsi gizi dan infeksi) dan
pengaruh tidak langsung (sanitasi pangan dan lingkungan, pengetahuan sanitasi lingkungan dan pangan, pengeluaran pangan, pantangan pangan, pendapatan keluarga, dan pendidikan ibu. Paputungan (2000) menggunakan penerima PMT JPS-BK dan tidak , konsumsi pangan, status gizi bayi lahir, konsumsi energi, pola pengasuhan, karakteristik keluarga. Soedikarjati (2001) mengoperasikan variabel pendapatan keluarga, dsitribusi pangan, sosiobudaya pangan, kebiasaan pangan, konsumsi pangan, maslah makan anak, dan penyakit diare. Rahmawati (2001) menggunakan variabel kualitas pelaksanaan PMT-AS, karakteritik keluarga, kualitas makan, pengetahuan gizi , status kesehatan. Yuliana (2002) menggunakan variabel karakteristik keluarga, pola asuh makan, pola asuh perkembangan, konsumsi gizi. Status kesehatan, perkembangan. Ada kesamaan penggunaan variabel pada penelitian tersebut adalah sebagai berikut: pengetahuan gizi (Nurhayati 2000; Widayani 2000; Rahmawati 2001; Paputungan 2000; Yuliana 2002), pendapatan keluarga (Nurhayati 2000; Soedikarijati 2001; Widayani 2000; Tambingon 1999; Paputungan 2000; Yuliana 2002), konsumsi pangan (Soedikarijati 2001; Widayani 2000; Paputungan 2000), pola asuh (Widayani 2000; Tambingon 1999; Paputungan 2000; Yuliana 2002), sanitasi lingkungan (Widayani 2000; Nurhayati 2000), konsumsi gizi (Yuliana 2002; Paputungan 2000; Nurhayati 2000), karakteristik keluarga (Yuliana 2002; Paputungan 2000; Tambingon 1999; Rahmawati 2001), status kesehatan (Yuliana 2002: Rahmawati 2001), infeksi (Nurhayati 2000; Paputungan 2000). Adapun perbedaan variabel yang berhubungan dengan status gizi adalah sebagai berikut: status ibu, jenis kelamin anak (Tambingon 1999); perawatan anak, pemberian makan, pantangan makan, pengetahuan sanitasi lingkungan dan pangan (Nurhayati 2000); proses melahirkan dan status gizi bayi lahir (Paputungan 2000); distribusi pangan, sosio budaya pangan kebiasaan pangan (Soedikarijati 2001); alokasi waktu dan jenis pekerjaan (Widayani 2000); kualitas pelaksanaan PMT-AS dan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi (Rahmawati 2001); perkembangan (Yuliana 2000).
34
Penggunaan skala pengukuran dalam penelitian-penelitian tersebut beragam mencakup nominal, ordinal. Penggunaan skala nominal sebagai skala pengukuran dijumpai pada status ibu (Tambingon 1999); menerima dan tidak menerima PMT-AS JPS-BK (Paputungan 2000); masalah makan anak dan penyakit diare (Soedikarijati 2001). Penggunaan skala ordinal dijumpai pada karakteristik keluarga, konsumsi gizi bayi, perkembangan anak, status gizi (Yuliana 2000); jumlah anggota keluarga, pendapatan perkapita, pola pengasuhan, lama pendidikan, status gizi (Tambingon 1999); konsumsi gizi pengaruh tidak langsung dan pengaruh langsung, status gizi (Nurhayati 2000); status gizi bayi lahir, konsumsi pangan, pola pengasuhan anak, karakteristik keluarga, status gizi (Paputungan 2000); pendapatan keluarga, distribusi pangan, konsumsi pangan, status gizi (Soedikarijati 2001); pendapatan, pola asuh, pengetahuan gizi, konsumsi pangan, sanitasi lingkungan, status gizi (Widayani 2000); kualitas pelaksanaan PMT-AS, karakteristik keluarga, kualitas makanan, pengetahuan gizi, status kesehatan, status gizi (Rahmawati 2001). Variabel yang diteliti hubungannya dengan status gizi adalah sebagai berikut: pengetahuan, sikap dan perilaku gizi dan kesehatan siswa dengan status gizi siwa (Rahmawati 2001); pendapatan keluarga, distribusi pangan, konsumsi pangan anak balita dengan status gizi (Soedikarjati 2001); sanitasi lingkungan, pola asuh anak balita, dan kosnsumsi pangan dengan status gizi anak (Widayani 2000); proses melahirkan, status gizi bayi lahir, konsumsi energi (Paputungan 2000); pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap status gizi anak (Nurhayati 2000); karakteritik keluarga dan pola pengasuhan dengan status gizi (Tambingon 1999); karakteristik keluarga, pola asuh makan, pola asuh perkembangan, kosnumsi gizi bayi dengan status gizi (Yuliana 2002). Alat statistik yang diterapkan dalam penelitian tersebut adalah uji t (Rahmawati 2001; Widayani 2001; Paputungan 2000; Nurhayati 2000); korelasi Spearman (Widayani 2000; Paputungan 2000; Tambingon 19990; korelasi Pearson (Yuliana 2002);
regresi linier (Nurhayati 2000; Soedikarjati 2001;
Widayani 2000; Tambingon 1999; Yuliana 2002). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini beragam. Yuliana(2002) menggunakan sampel bayi usia 8-11 bulan. Nurhayati (2000)
35
menggunakan sampel anak usia 6-24 bulan. Rahmawati (2001 menggunakan sampel siswa SD PMT-AS dan Non-PMT-AS. Soedikarjati (2002) menggunakan sampel keluarga pra sejahtera dan sejahtera yang memiliki balita. Tambingon (1999) menggunakan sampel ibu bekerja dan tidak bekerja yang meiliki balita. Paputungan (2000) menggunakan sampel bayi usia 12 –27 bulan dalam keluarga miskin.
Widayani
(2000)
menggunakansampel
rumah
tangga
petani
yangmempunyai anak berusia 12-36 bulan. Persamaan dengan variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini yang berhubungan degan status gizi adalah sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi, sikap gizi dan konsumsi pangan.
Kecerdasan Emosional Beberapa penelitian tentang kecerdasan emosional dilakukan oleh Nurani (2003 ), Handayani (2004), Nuraida (2003), dan Mafriana (2003). Nurani (2003) menggunakan variabel
karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pendapatan,
pekerjaan, besar keluarga), kualitas perkawinan (kepuasan, kebahagiaan perkawinan),
pengasuhan
,
kecerdasan
emosional.
Handayani (2004)
menggunakan variabel karakteristik ayah (umur, pendapatan keluarga) kepuasan ayah (terhadap kehidupan keluarga, pekerjaan, anak), tipe pengasuhan anak, karakteristik
anak
(jenis
kelamin,
urutan
kelahiran).
Nuraida
(2003)
menggunakan variabel kurikulum nasional dan kecerdasan emosional. Mafriana (2003) menggunakan variabel karakteristik keluarga (tipe keluarga, pendapatan keluarga, dukungan keluarga, modernitas keluarga), karakteristik pribadi (motivasi orang tua, religiusitas orangtua, karakteristik orang tua, karakteristik anak), dukungan komunitas (institusi pendidikan, institusi kesehatan, lingkungan bermain anak), fungsi ekspresif-instrumental. Dalam penelitian-penelitian tersebut dijumpai adanya kesamaan variabel sebagai berikut: variabel pendidikan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); pendapatan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002; Mafriana 2003); karakteristik anak (Handayani 2004; Maulani 2002); pengasuhan (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); kecerdasan emosional (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002; Mafriana 2003).
36
Adapun perbedaan variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: kualitas perkawinan (kepuasan, kebahagiaan perkawinan) (Nurani 2003); kepuasan ayah (terhadap kehidupan keluarga, pekerjaan, dan anak) (Handayani 2004); besar keluarga dan status ibu (Maulani 2002); keadaan ekonomi keluarga, karakteristik
Pribadi,
dukungan
komunitas,
fungsi
ekspresif-instrumental
(Mafriana 2003). Penggunaan skala pengukuran dalam penelitian-penelitian tersebut beragam mencakup nominal, ordinal, dan skala Likert. Penggunaan skala nominal dijumpai pada etnisitas (Mafriana 2003); pekerjaan (Nurani 2003);
tipe
pengasuhan anak, jenis kelamin (Handayani 2004); jenis kelamin, tingkat pengasuhan/bermain, tipe permainan, pola premainan (Maulani 2002). Sedangkan penggunaan skala ordinal dijumpai pada pendidikan, pendapatan, besar keluarga, kualitas perkawinan, pengasuhan, dan kecerdasan emosional (Nurani 2003); kepuasan ayah, kecerdasan emosional (Handayani 2004); pengasuhan anak, alokasi waktu, kecerdasan emosional (Maulani 2002); keadaan ekonomi keluarga, karakteristik pribadi, dukungan komunitas, fungsi ekspresif-instrumental, kecerdasan emosional (Mafriana 2003). Adapun hubungan yang diteliti adalah sebagai berikut: hubungan keadaan sosial ekonomi, karakteristik pribadi, dukungan komunitas, fungsi ekspresifinstrumental dengan kecerdasan emosional (Mafriana 2003); hubungan kualitas perkawinan, pengasuhan anak dengan kecerdasan emosional (Nurani 2003); hubungan karakteristik ayah, kepuasan ayah, tipe pengasuhan emosional, karakteristik anak dengan kecerdasan emosional (Handayani 2004); hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengasuhan anak, pengasuhan sosial dengan kecerdasan emosional (Maulani 2002). Alat statistik yang diterapkan dalam penelitian tersebut adalah uji beda (Kruskal-Allis, t-test, ANOVA) (Mafriana 2003); korelasi Spearman (Nurani 2003; Handayani 2004; Maulani 2002); regresi linier berganda (Nurani 2003; Mafriana 2003). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini beragam sebagai berikut: siswa SLTP (Nurani 2003); keluarga utuh yang mempunyai anak berusia
37
11 tahun SD (Handayani 2004); anak TK dalam keluarga inti lengkap (Maulani 2002); keluarga dari etnik yang berbeda (Mafriana 2003). Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan variabel dan sampel. Penelitian ini menggunakan variabel sosial ekonomi keluarga dan pengasuhan anak hubungannya dengan kecerdasan emosional siswa SLTP. Sampel penelitian ini adalah siswa SLTP yang duduk di kelas dua.
Kecerdasan (IQ) Penelitian dalam kajian kecerdasan (IQ) tergolong jarang dibandingkan dengan penelitian lainnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang dijumpai dapat disimpulkan bahwa kajian psikologi lebih banyak memposisikan IQ sebagai independent variable daripada dependent variable. Kajian kecerdasan sebagai dependent variable justru ditemukan dalam kajian ilmu gizi (Arnelia 2002; Mutmainah 1996), sekalipun jumlahnya sedikit. Arnelia (2002) meneliti tentang gizi buruk usia dini dan dampaknya terhadap tingkat kecerdasan dan keragaan sekolah. Arnelia (2002) menempatkan gizi buruk usia dini sebagai independent variable dan IQ serta keragaan sekolah sebagai dependent variable. Sedangkan Mutmainah (1996) meneliti beberapa variabel yang berhubungan dengan tingkat kecerdasan anak usia 2-5 tahun. Mutmainah (1996) menempatkan variabel IQ sebagai dependent variable dan pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, ukuran keluarga, serta status gizi sebagai dependent variable. Dengan demikian tampak jelas bahwa kesamaan variabel hanya pada status gizi (Arnelia 2002; Mutmainah 1996), sedangkan perpedaannya tampk dalam penapatan keluarga, pendidikan orangtua, ukuran keluarga (Mutmainah 1996). Dan
penggunaan
skala
pengukuran
dalam
penelitian-penelitian tersebut adalah ordinal (Mutmainah 1996; Arnelia 2002), kecuali untuk mengukur IQ Arnelia (2002) menggunakan Eschler Intelligence Scale for Children (WISC). Adapun alat statistik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah cross-tab dengan analisa deskriptif (Mutmainah 1996); uji beda t-student, uji chi square, ANCOVA (Arnelia 2002). Penelitian tersebut meenggunakan sampel anak
38
usia sekolah SD (Arnelia 2002) dan keluarga yang memiliki anak usia 2-5 tahun (Mutmainah 1996). Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penggunaan variabel dan sampel penelitian. Penelitian ini menggunakan kecerdasan emosional sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kecerdasan (IQ). Ini merupakan pengaruh internal indikator kualitas anak. Sampel penelitian ini adalah siswa SLTP. Sedangkan persamaannya adalah penggunaan variabel sosial ekonomi dan status gizi.
Faktor-Faktor Berpengaruh Terhadap Kualitas Anak Pengetahuan Gizi Gizi sangat tergantung pada kondisi pangan yang dikonsumsinya. Pengetahuan akan makanan yang bergizi akan dapat mempengaruhi pemilihan jenis makanan yang benar, aman serta berkhasiat untuk dikonsumsi. Salah satu sebab penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk meresapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo 1989). Notoatmodjo (1993) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi dan kesehatan adalah pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat. Sedangkan Sapp dan Helen (1997) mendefinisikan pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat (recall) kembali kandungan gizi makanan, sumber serta kegunaan zat gizi tersebut di dalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dubutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan. Tampak jelas bahwa pengetahuan gizi merupakan faktor utama sebagai stock of knowledge tentang gizi yang tidak hanya berhenti sebagai pengetahuan akan tetapi perlu diaktualisasikan dalam pilihan konsumsi makanan. Pentingnya
39
pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan: 1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2) setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh optimal, pemeliharaan dan energi, 3) ilmu gizi memberikan
fakta-fakta
yang
perlu
sehingga
penduduk
dapat
belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 1996). Madanijah (2004) menjelaskan bahwa aspek-aspek dalam pengetahuan gizi mencakup: a) pangan dan gizi (pengertian, jenis, fungsi, sumber, akibat kekurangan), b) pangan/gizi bayi (ASI, MPASI, umur pemberian, jenis), c) pangan/gizi balita, d) pangan/gizi ibu hamil, e) pertumbuhan anak (pengertian, cara pengukuran, KMS), f) kesehatan anak (jenis, guna dan umur imunisasi, penyakit yang sering terjadi pada anak dan cara penanggulangan), g) pengetahuan tentang pengasuhan anak (tugas pengasuhan, asuh makan). Apabila
diperhatikan
maka
diketahui
bahwa
aspek-aspek
dalam
pengetahuan gizi tersebut sangat dekat dengan peran ibu rumah sebagai pengelola rumah tangga. Pada keluarga konvensional kebanyakan wanita (ibu rumah tangga) memiliki peran fungsional dalam rumah tangga baik secara sosial (nurture) maupun secara alami (nature) untuk menjalankan peran sebagai pengelola rumah tangga. Dengan demikian peran untuk mengelola masalah pangan tergantung pada wanita atau ibu rumah tangga. Ibu adalah sebagai pengambil keputusan dalam menentukan menu makanan keluarga memang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan makanan, penyiapan dan pendistribusian makanan di antara anggota-anggota keluarga (Hartog 1995). Sejauh mana peran ibu dalam keluarga sebagai pengelola rumah tangga membuat prioritas dapat ditemukan dalam penelitian Handa (1996). Handa (1996) menemukan bahwa dua alasan mengapa anak-anak dalam rumah tangga miskin yang dikepalai wanita tidak buruk dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh pria. Pertama, bahwa wanita cenderung memfokuskan pola pengeluarannya untuk anak, maka jika wanita mempunyai kebebasan untuk melakukan preferensi secara efisien, kemudian banyak sumber daya yang dibelanjakan diperuntukkan pada anak-anak dalam keluarga tersebut. Kedua, rumah tangga yang dikepalai oleh wanita mampu memberikan perawatan dan
40
pengasuhan yang lebih baik sehingga anak-anak tidak menderita karena kemiskinan relatif mereka. Hal ini tidak berbeda dengan apa yang diungkapan oleh Khomsan (2004) bahwa pada hakekatnya kesejahteraan rumah tangga tidak hanya tergantung pada penghasilan yang diperoleh, akan tetapi juga oleh siapa yang mencari nafkah dan mengontrol pengeluaran rumah tangga. Kaum perempuan, dibandingkan kaum pria, ternyata cenderung mengalokasikan uang untuk belanja pangan keluarganya. Sementara pendapatan yang berasal dari perempuan berkorelasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan status gizi anak. Dengan demikian dalam kondisi kecukupan maupun keterbatasan ekonomipun wanita (ibu rumah tangga) masih dapat membuat prioritas pengeluaran untuk anak. Kategori pengetahuan gizi bisa dibagi dalam tiga kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang (Khomsan 2000). Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen. Untuk keseragaman maka dianjurkan menggunakan cut of point sebagai berikut: a. Baik
: > 80% jawaban benar
b. Cukup
: 60-80% jawaban benar
c. Kurang
: < 60% jawaban benar
Sikap Gizi Sikap adalah kecenderungan pada diri subyek untuk menerima atau menolak sesuatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu sebagai obyek yang berharga atau tidak berharga, baik atau tidak baik (Winkel 1984). Sikap dapat juga diartikan sebagai suka atau tidak suka pada diri seseorang terhadap obyek. Sedangkan Engel et.al (1994) mendefinisikan sikap sebagai suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikiran atau daya nalar yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap sesuatu hal, sehingga secara langsung dapat mempengaruhi perilaku.
Beberapa definisi tersebut mengandung pengertian
menerima dan menolak, suka dan tidak suka, baik dan tidak baik, dan pertimbangan nalar.
41
Begitu halnya dengan sikap gizi merupakan suka dan tidak suka, menerima dan menolak, dan pertimbangan rasional. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya cadangan pengetahuan pada diri seseorang sehingga dapat membuat keputusan menerima atau menolak, suka atau tidak suka, dan pertimbangan yang rasional.
Oleh karenanya sikap terhadap makanan dapat bernilai positif atau
negatif. Sikap tersebut dipengaruhi oleh lingkungan alam, budaya, sosial ekonomi dimana orang tersebut hidup (Khumaidi 1994).
Konsumsi Pangan Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan manusia seutuhnya. Pangan merupakan faktor yang dapat menghasilkan
sumberdaya
manusia
yang
berkualitas.
Baliwati
(2004)
menjelaskan bonsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi sosial makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta simbol kekuatan dan kekuasaan (Mudanijah 2004). Menurut Baliwati (2004) ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain. Ekspresi tersebut akan membentuk pola perilaku makan yang disebut kebiasaan makan. Tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh zat gizi yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Menurut Baliwati (2004) kebutuhan pangan dan gizi berbeda antar individu, karena dipengaruhi oleh beberapa hal berikut. 1. Tahap perkembangan meliputi kehidupan sebelum lahir dan sewaktu bayi ( < 1 tahun), masa kanak-kanak (umur 1 – 9 tahun), remaja (10 - 19 tahun), dewasa (20 – 60 tahun), dan lansia ( > 60 tahun). 2. Faktor fisiologis tubuh (misal kehamilan) 3. Keadaan sakit dan dalam penyembuhan 4. Aktivitas fisik yang tinggi makin banyak mememerlukan energi. 5. Ukuran tubuh (berat dan tinggi badan)
42
Meskipun tujuan mengkonsumsi pangan merupakan penentu dari asupan pangan yang bergizi bagi tubuh ditemukan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga, serta faktor sosio-budaya dan religi (Madanijah 2004). Pertama, faktor ekonomi dan harga.
Keadaan ekonomi
keluarga relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Keluarga miskin menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memnuhi kebutuhan makanan. Ada dua peubah ekonomi yang cukup dominan sebegai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan harga. Suhardjo (1993) mengemukakan bahwa daya beli merupakan fungsi dari pendapatan. Jika pendapatan meningkat, maka keterjaminan pangan dan konsumsi atau ketersediaan menu makanan akan lebih baik bagi rumah tangga tersebut. Kedua, faktor sosio – budaya dan religi. Kebudayaan suatu masyarakat mempunyai kekuatan yang berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk dikonsumsi. Aspek sosio – budaya pangan adalah fungsi pangan dalam amsyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat, kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut. Begitu pula adanya pantangan yang berdasarkan agama terhadap jenis makanan tertentu. Pelanggaran terhadap pantangan tersebut memberikan sangsi dosa bagi pelanggar. Karsin (2004) penggolongan pangan dapat dijumpai dalam daftar komposisi bahan makanan (DKBM). DBKM mengklasifikasikan pangan menjadi 10 golongan, yaitu serealia, umbi-umbian dan hasil olahannya, biji-bijian, kacangkacangan dan hasil olahannya; daging dan hasil olahannya; telur, ikan, kerang, udang and hasil olahannya; sayuran; buah-buahan; susu dan hasil olahannya; lemak dan minyak serta serba-serbi. Selanjutnya Karsin (2004) mengemukakan bahwa secara khusus di Indonesia dikenal penggolongan makanan sesuai dengan pola makan masyarakat. Hal
ini
mencerminkan
perilaku
keluarga/rumah
tangga
dalam
menyusun/menyediakan hidangan sehari-hari. Pengelompokan tersebut meliputi pangan pokok (beras, jagung, sagu, ubi, terigu, singkong), lauk pauk (daging, ikan, telur, tahu, tempe), sayuran, buah, dan susu. Ini dikenal dengan konsep
43
empat sehat lima sempurna dan merupakan salah satu jabaran dai pedoman gizi seimbang. Kemudian Departemen Kesehatan mempromosikan pedoman pangan atau pedoman gizi yang disebut dengan PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang) (Madanijah 2004). PUGS ini merupakan penyempurnaan dari empat sehat lima sempurna. PUGS meliputi 13 pesan dasar gizi seimbang seperti berikut: 1. Makanlah aneka ragam pangan 2. Makanlah pangan untuk memenuhikecukupan energi 3. Makanlah sumber karbohidrat, setengah dari kebutuhan energi. 4. Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi 5. Gunakan garam beryodium 6. Makanlah sumber zat besi 7. Berikan ASI saja pada bayi sampai usia 4 bulan (ASI eksklusif) 8. Biasakan makan pagi 9. Minumlah air bersih, aman, dan cukup jumlahnya. 10. Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur 11. Hindari minuman beralkohol 12. Makan pangan yang aman bagi kesehatan 13. Bacalah label pada pangan yang dikemas. Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Dan Perkembangan Anak
Kesejahteraan ekonomi rumah tanngga sangat tergantung dari sumber daya yang dimilikinya, khususnya uang. Sumber daya ekonomi dipenuhi dengan cara melakukan aktivitas kerja yang medatangkan upah. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan suami isteri untuk memperoleh sumber daya tersebut. Priyono (1999) mengemukakan bahwa ada dua alasan mengapa seseorang memutuskan untuk bekerja, yaitu motivasi ekonomi (mencari nafkah) dan motivasi aktualisasi diri. Barangkali untuk rumah tangga di pedesaan cenderung memenuhi alasan yang pertama, yaitu memenuhi kebutuhan ekonomi. Dengan alasan seperti itu maka dimungkinkan terjadinya pola nafkah ganda. White 1990 dan Sajogyo 1991 merumuskan arti dan alasan strategi pola nafkah ganda berdasarkan lapisan rumahtangga di pedesaan sebagai berikut: a. Lapisan atas: pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi (accumulation strategy), dimana surplus pertanian mampu membesarkan usaha luar pertanian dan sebaliknya;
44
b. Lapisan tengah: pola nafkah ganda merupakan strategi konsolidasi (consolidation strategy), dimana sektor luar pertanian dipertimbangkan sebagai potensi untuk perkembangan ekonomi; c. Lapisan bawah: pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan hidup (survival strategy), dimana sektor luar pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan di sektor pertanian. Berdasaran tipologi tersebut maka dapat diketahui kecenderungan alokasi income dari nafkah ganda, dimana dimungkinkan melakukan investasi kedalam physical capital, financial capital, dan human capital. Floro dan Seguino (2002) mengkaji keterkaitan kepemilikan pendapatan atau tabungan oleh perempuan dalam rumah tangga dengan kemampuan melakukan bargaining power. Dikemukakan bahwa pergeseran pendapatan ratarata perempuan, yang mana mempengaruhi bargaining power mereka dalam rumah tangga, memiliki pengaruh yang dapat dilihat di dalam household saving, dan secara lebih luas jumlah tabungan tersebut mengakibatkan perbedaan kepemilikan tabungan oleh gender. Suatu kerangka analisa untuk tabungan rumah tangga yang pooled dan non-pooled dikembangkan guna mengkaji mengapa kepemilikan tabungan perempuan dan laki-laki berbeda dan bagaimana perubahan upah rata-rata perempuan berpengaruh terhadap tabungan-tabungan rumah tangga pada pria yang mana menciptakan komponen yang berarti bagi tabungan kotor domestik. Suatu analisa empiris dilakukan dengan menggunakan data 20 ekonomi semi
industri,
yang
dikumpulkan
pada
periode
1975-95.
Hasilnya
mengindikasikan bahwa beberapa ukuran pendapatan perempuan dan bargaining power meningkat, jumlah tabungan meningkat, yang menyatakan pengaruh signifikan gender terhadap jumlah tabungan. Temuan ini menunjukkan pentingnya memahami gender relations pada tingkat rumah tangga dalam perencanaan mobilisasi tabungan dan dalam perumusan kebijakan finansiil dan tabungan. Handa (1996) melakukan penelitian lain berkenaan dengan perilaku pengeluaran dan kesejahteraan anak dalam rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di Jamaika. Bukti-bukti di Jamaika menunjukkan bahwa status jenis kelamin dan unit kepala rumah tangga mempunyai pengaruh yanng signifikan terhadap perilaku pengeluaran rumah tangga dengan implikasi bagi anggota-
45
anggota rumah tangga secara perseorangan. Sementara adanya pembuat keputusan pada wanita meningkatkan bagian alokasi pendapatan rumah tangga untuk anak dan barang-barang kebutuhan keluarga, rumah tangga yang dikepalai oelh wanita juga banyak membelanjakan untuk pakaian dewasa dan sedikit membelanjakan untuk kesehatan. Pada keluarga yang dikepalai oleh wanita pengeluaran untuk kesehatan yang rendah sebagian diimbangi dengan pemanfaatan input kesehatan yang lain. Perbedaan alokasi sumber daya ini menjelaskan mengapa rumah tangga miskin yang dikepalai oleh wanita tidak mempunyai kualitas anak yang rendah. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada dua alasan mengapa anak-anak dalam rumah tangga miskin yang dikepalai wanita tidak buruk dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh pria. Pertama, bahwa wanita cenderung memfokuskan pola pengeluarannya untuk anak maka jika wanita mempunyai kebebasan untuk melakukan preferensi secara efisien, kemudian banyak sumber daya yang dibelanjakan diperuntukkan pada anak-anak dalam keluarga tersebut. Kedua, rumah tangga yang dikepalai oleh wanita mampu memberikan perawatan dan pengasuhan yang lebih baik sehingga anak-anak tidak menderita karena kemiskinan relatif mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Haddad (1997) bahwa apabila wanita memiliki penguasaan terhadap sumber daya, maka mereka cenderung menggunakannya tidak sama jika dikuasai oleh pria, dimana wanita cenderung lebih banyak membelanjakannya untuk keperluan anak, dan menunjukkan perbedaaan hasil terhadap kesejahteraan rumah tangga. Duncan
(1998) mengemukakan
bahwa
kelangkaan
sumber daya
memberikan akibat terhadap ketidakberuntungan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga dengan anak-anak. Satu sisi anak-anak dalam keluarga yang berkecukupan uang dan sumber daya ekonomi pada umumnya memiliki kondisi kehidupan yang lebih aman dan kedekatan, juga mempunyai kemudahan akses terhadap peluang sosial, kesehatan, pendidikan dan rekreasi. Hal tersebut merupakan faktor-faktor penting untuk membentuk perkembangan anak yang positif dan sehat. Di sisi lain anak-anak berasal dari keluarga berpendapatan rendah memiliki resiko sosial, fisik dan emosional, khususnya bagi masalahmasalah perilaku dan emosi, dan juga kemampuan akademis yang rendah. Dengan
46
demikian ada korelasi antara kondisi ekonomi rumah tangga terhadap perkembangan anak. Lebih lanjut hasil studi yang dikemukakan oleh Ross (2000) menunjukkan keterkaitan antara pendapatan rumah tangga dan kesejahteraan anak. Hasil dari kajian tersebut adalah sebagai berikut: o
Anak anak dari keluarga berpendapatan rendah mengalami dua kali hidup dalam keluarga yang berfungsi buruk seperi anak-anak dari keluarga berpendapatan tinggi
o
Lebih dari seperempat anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah mempunyai permasalahan dengan ketetanggaan: penggunaan obatobatan, mabuk-mabukan, kerusuhan anak-anak muda – dibandingkan dengan 1 dari 10 anak dari keluarga berpendapatan tinggi.
o
Anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah dua kali dalam 10% frekuensi perilaku penyimpangannya dibandingkan dengan anak dari
keluarga
berpendapatan menengah, dan mereka mendekati tiga kali skor penyimpangan yang tinggi seperti dalam keluarga yang berpendapatan tinggi. o
Anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah dua dan satu setengah kalinya lebih banyak dibandingkan dengan anak dari keluarga berpendapatan tinggi dalam hal permasalahan dengan satu atau lebih kemampuan seperti penglihatan, pendengaran, kemampuan bicara atau mobilitas
o
Lebih dari sepertiga anak dari keluarga berpendapatan rendah tertunda perkembangan penguasaan kosa kata dibandingkan dengan hanya 8% dari anak-anak dari keluarga berpendapatan tinggi.
o
Tiga perempat anak-anak dari keluarga berpendapatan rendah jarang terlibat dalam kegiatan olah raga yang terorganisisr dibandingkan dengan seperempat dari anak-anak keluarga berpendapatan tinggi
o
Satu dari anak-anak berusia belasan tahun (16 – 19) dari keluarga berpendapatan rendah tidak bekerja maupun bersekolah, dibandingkan dengan yang hanya satu dari 25 anak dari keluarga berpendapatan menengah dan tinggi.
47
Apabila disimak maka penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa bagaimanapun pendapatan keluarga, akan dimungkinkan membuat keputusan berkenaan dengan alokasi sumber daya keluarga, khususnya alokasi kepada anak dimana hasilnya merupakan kualitas anak itu sendiri. Kualitas anak mengandung pengertian adanya pengorbanan sumber daya keluarga terhadap anak agar mencapai kualitas yang baik. Hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk investasi. Tjiptoherijanto dan Hasmi (2000) menyebutkan bahwa investasi dalam human capital dimaksudkan sebagai upaya yang dicapai melalui kesehatan dan pendidikan. Dan dari sisi human development (UNDP 1995) ada tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1) usia panjang dan sehat, 2) berpendidikan baik, dan 3) mendapatkan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang baik. Sama halnya diungkapkan oleh Ananta dan Hatmadji (1985) yaitu beberapa indikator yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Indikator tersebut tidak berbeda dengan dua tipe investasi modal manusia, yaitu bidang pendidikan dan kesehatan. Struktur Keluarga Dan Kualitas Anak Struktur keluarga adalah hubungan terpola antara posisi tertentu (ayah, ibu dan anak) dalam satu unit keluarga. Sumarti (1999) menyebutkan bahwa struktur keluarga di Indonesia telah berkembang menjadi 3 pola keluarga tunggal (single headed family), keluarga batih (2 generasi, suami-istri dengan anak), dan keluarga luas (3 generasi, suami-isteri dengan anak, orang tua, menantu, cucu). Giddens(1993) membedakan keluarga dengan nuclear family (keluarga batih) dan extended family (keluarga luas). Keluarga batih beranggotakan dua orang dewasa yang hidup bersama dalam suatu rumah tangga dengan anak sendiri maupun adopsi. Dikebanyakan masyarakat tradisional dalam keluarga batih tidak ada marga lain. Sedangkan keluarga luas dimaksudkan sebagai kelompok beranggotakan tiga atau lebih generasi yang tinggal bersama atau sangat dekat satu dengan lainnya. Ini bisa mencakup kakek, saudara laki-laki dan istri mereka, adik perempuan dan suami mereka, bibi, dan paman, keponakan laki-laki dan perempuan.
48
Kondisi struktur keluarga tersebut tidak selamanya seperti itu, artinya dimungkinkan terjadi adanya perubahan struktur keluarga. Picot (1999) mengemukakan bahwa perubahan struktur keluarga dapat terjadi melalui perceraian, pisah ranjang dan kawin lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berpengaruh cepat dan dalam terhadap kondisi ekonomi keluarga dimana anak tersebut hidup. Perceraian itu sendiri menciptakan kesulitan dan tekanan yang mempengaruhi masyarakat, anak-anak, relasi dan sahabat. Beberapa bentuk perceraian sebagai berikut: a. Emotional divorce, yang menciptakan prkawinan itu sendiri meburuk yang menciptakan tekanan antara pasangan, yang menghantar ke arah perceraian. b. Legal divorce, yang melibatkan hal utama dimana perkawinan diakhiri. c. Economic divorce, tentang pemilahan kesejahteraan dan hak milik. d. Co-parental divorce, yang mencakup permsalahan hak pengasuhan anak dan hak kunjung anak. e. Community divorce, tentang perubahan hubungan persahabatan dan hubungan sosial lainnya dimana seseorang telah bercerai. f. Physical divorce, dimana individu akhirnya memutus ketergantungan emosional, dan menghadapi tuntutan untuk hidup sendiri. (Giddens 1993). Lebih lanjut Giddens menjelaskan bahwa perceraian itu sendiri mempunyai pengaruh buruk terhadap anak. Berbagai hal dapat mempengaruhi dan berpengaruh terhadap proses penyesuaian seperti: peristiwa konflik antar orang tua, usia anak saat cerai, apakah ada atau tidak kakak atau adik, adanya kakek dan nenek serta anggota keluarga lainnya, hubungan dengan orang tuanya, sesering apa ia bisa menyaksikan kedua orang tuanya. Bagaimanapun perubahan struktur keluarga berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak. Kerr (2000) menggunakan Survey of Consumer Finances (1981, 1989 dan 1997) menemukan kecenderungan pendapatan rendah seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur keluarga di keluarga Canadian yang memiliki anak. Ditemukan bahwa ada kecenderungan dalam hal lone parenthood, jumlah anak perkeluarga, dan usia orang tua. Keseluruhan perubahan tersebut mempunyai pengaruh yang mengiringi dengan kejadian
49
kemiskinan anak. Selain itu anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga miskin konsekuensinya mereka hidup dalam keadaan kemiskinan anak yang jumlahnya relatif tinggi hingga tahun 1990 dan mereka menghadapi permasalahan pasar tenaga kerja ketika menginjak dewasa. Family structure sangat berpengaruh baik secara positif maupun negatif terhadap child outcome. Beberapa penelitian menjelaskan pengaruh antara family structure dengan child outcome: Hartoyo (1998) melakukan penelitian investasi terhadap anak pada keluarga Jawa dan Minang; Ribero (2000) melakukan analisa terhadap family structure dan fertility yang menentukan terhadap child quality di Columbia; Kuan (2000) menjelaskan family structure dan prestasi sekolah; Adams & Ryan (2000) melakukan penelitian longitudinal mengenai keluarga utuh dan orang tua tunggal terhadap prestasi sekolah anak; Kalil et al (2001) melakukan penelitian variasi dan transisi susunan tinggal bersama single-mother families dan perkembangan anak; dan Maralani (2004) membedakan family size dan pendidikan anak dalam keluarga pedesaan dan perkotaan. Hartoyo (1998) melakukan penelitian investasi terhadap anak. Penelitian ini menjelaskan faktor eksternal dan faktor internal pengaruhnya terhadap human capital investment (parental time dan parental monetary). Begitu juga pengaruh human capital investment terhadap child quality. Ribero (2000) melakukan analisa terhadap family structure dan fertility yang menentukan terhadap child quality di Columbia. Ribero menemukan bahwa wanita yang menikah menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap child quality (pendidikan anak) sedangkan fertilitas menunjukkan hubungan negatif terhadap child quality. Kuan (2000) menjelaskan family structure dan prestasi sekolah. Kuan merinci family structure kedalam beberapa tipe: keluarga utuh, keluarga utuh multigenerasi, keluarga dengan orangtua tunggal multigenerasi, keluarga dengan orang tua tunggal. Kuan menemukan bahwa ada kontribusi positif keberadaan kakek-nenek terhadap prestasi sekolah baik dalam keluarga utuh maupun keluarga single parent. Namun adanya orangtua tiri dan nenek-kakek yang bertanggung jawab mengasuh cucu tidak dapat mengatasi ketidakadaan orangtua terhadap pestasi sekolah. Keluarga utuh menunjukkan hal positif dalam prestasi sekolah
50
dimana mempunyai sumberdaya ekonomi yang lebih baik, keterlibatan orang tua, harapan pendidikan yang lebih tinggi, dan banyaknya jaringan sumberdaya. Adams & Ryan (2000) melakukan penelitian longitudinal mengenai keluarga utuh dan orang tua tunggal terhadap prestasi sekolah anak. Mereka menemukan perbedaan antara keluarga utuh (kedua orang tua biologis) dibandingkan
keluarga
dengan
orang
tua
tunggal.
Perbedaan
tersebut
menunjukkan bahwa keluarga utuh mempunyai status ekonomi yang lebih tinggi, lebih banyak dukungan kepada keluarga, orang tua mengalami sedikit depresi, dan sedikit disfungsi keluarga daripada keluarga dengan orang tua tunggal. Keluarga utuh juga menunjukkan adanya anak yang sedikit hiperaktif, memiliki kemampuan akademis yang baik, sedikit kekawatiran dan depresi, dan mempunyai prestasi akademis yang baik. Kalil et al (2001) melakukan penelitian variasi dan transisi susunan tinggal bersama single-mother families dan perkembangan anak. Mereka merinci kedalam 4 tipe susunan tinggal bersama terhdap anak: tinggal bersama ibu yang menikah, tinggal bersama orang tua tunggal (ibu) dan nenek-kakek, tinggal bersama dengan orang tua tunggal (ibu) dan kekasihnya, tinggal dengan orang tua tunggal (ibu). Mereka menemukan bahwa tinggal bersama orang tua tunggal (ibu) atau tinggal dalam pasangan yang hidup bersama berhubungan dengan perkembangan anak yang buruk dibandingkan tinggal dengan ibu yang menikah. Sebaliknya, anak yang tinggal bersama orang tua tunggal (ibu) dan nenek-kakek tidak menunjukkan perkembangan anak yang lebih buruk dibandingkan dengan anak yang tinggal dalam keluarga ibu menikah. Maralani (2004) membedakan family size dan pendidikan anak dalam keluarga pedesaan dan perkotaan. Pada kelompok umur 40-49 di pedesaan ditemukan bahwa keluarga yang lebih besar berhubungan dengan semakin banyak yang bersekolah. Hubungan positif tersebut berangsur-angsur menurun dan hubungan negatif tidak muncul dalam kelompok umur yang lebih muda. Pada keluarga perkotaan hubungan ukuran keluarga dengan pendidikan bersifat netral pada kelompok umur yang paling tua akan tetapi hubungan positif antara keluarga kecil dan banyak yang sekolah tampak pada kelompok umur 30-39. Pada kelompok umur 20-29 tampak adanya hubungan positif antara keluarga kecil
51
dengan pencapaian pendidikan dan hubungan negatif antara keluarga besar dengan pencapaian pendidikan.
Pada kelompok umur paling muda di perkotaan
hubungan antara ukuran keluarga dengan pendidikan menunjukan negatif. Ukuran keluarga besar berhubungan dengan taraf penyelesaian studi dan penddikan yang rendah. Hubungan ini tampak di daerah pedesaan.
Gender dan Kualitas Anak Pengambilan keputusan untuk melakukan alokasi sumberdaya dalam keluarga pada dasarnya dipengaruhi oleh norma-norma sosial, budaya, kesempatan dalam pasar tenaga kerja, dan faktor kelembagaan. Dengan pengaruh tersebut, maka dimungkinkan terjadi ketimpangan antara kaum pria dan wanita. Ini tampak dalam pengalokasian sumberdaya keluarga kepada anak dimana alokasi untuk pendidikan, kesehatan dan makanan dimana anak laki-laki cenderung mendapat bagian lebih banyak dibandingkan dengan wanita. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh berbagai faktor sebagaimana digambarkan di atas. Apa yang terjadi di dalam masyarakat adalah adanya diskriminasi dalam alokasi sumberdaya di dalam rumah tangga dimana bagian yang didistribusikan dalam bentuk pengeluaran untuk anak laki-laki dan perempuan berbeda. Pengeluaran tersebut untuk pendidikan, kesehatan, dan makanan dimana biasanya anak laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada anak perempuan. Ini dapat dicontohkan dengan hasil penelitian Bian (1996) di China bahwa orang tua lebih banyak menginvestasikan human capital pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan.
Ini
membuktikan adanya preferensi anak laki-laki dibandingkan perempuan dalam pembuatan keputusan orang tua. Dengan demikian orang tua memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara berbeda baik dalam jumlah dan jenis investasi. Terlebih lagi di dalam pembuatan keputusan mengenai alokasi sumberdaya keluarga juga dapat ditentukan oleh bargaining power antara suami dan isteri. Ini dikarenakan baik persepsi masyarakat maupunn nilai sosial dalam masyarakat menempatkan perempuan dalam sektor domestik, dimana waktunya
52
lebih banyak dialokasikan pada pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan ini tidak mendatangkan uang tunai atau pekerjaan tidak bergaji. Padahal kemampuan melakukan tawar menawar dalam membuat keputusan sangat ditentukan dengan seberapa banyak materi yang dapat dikontribusikan ke dalam rumah tangga. Artinya, kesenjangan antara suami-isteri dapat dikurangi dengan adanya kesejajaran tawar menawar untuk membuat keputusan, khususnya keputusan tentang alokasi sumberdaya rumah tangga untuk anak. Quisumbing dan Maluccio (1999) bahwa alokasi dalam rumah tangga mencerminkan perbedaan pilihan dan bargaining power dari para individu di dalam rumah tangga. Dengan menggunakan serangkaian data rumah tangga yang baru dari Bangladesh, Indonesia, Ethiopia, dan Afrika Selatan, diketengahkan ukuran-ukuran karakteristik individu yang sangat berhubungan dengan bargaining power, yakni human capital dan penguasaan aset-aset secara individu, yang dievaluasi sepanjang pernikahan. Hasilnya menunjukkan bahwa penguasaan aset oleh perempuan mempunyai pengaruh yang berarti dan positif terhadap alokasi pengeluaran untuk generasi berikutnya, seperti pendidikan dan pakaian anak-anak. Dikaji juga hasil pendidikan di tingkat individu dan menemukan bahwa orang tua tidak mempunyai pilihan yang sama untuk anak laki-laki dan perempuan di dalam atau antar negara. Berkaitan dengan kekuatan tawar menawar dalam membuat keputusan, Luis Rubalcava (2002) mengetengahkan pengaruh welfare program terhadap kekuatan perempuan untuk melakukan tawar menawar dalam rumah tangga. Welfare policy ini memberikan keuntungan berupa suatu faktor kekuatan bargaining yang alami dari luar bagi perempuan dalam rumah tangga miskin. Kebijakan kesejahteraan ini memberikan hak penerimaan uang tunai hanya pada perempuan. Karena uang di tangan wanita maka banyak sumberdaya dialokasikan kepada anak perempuan dan laki-laki dalam bentuk pakaian, dan sedikit pengeluaran untuk kebutuhan laki-laki dewasa, seperti pakaian laki-laki. Sejalan dengan, perempuan dengan kekuatan besar cenderung mengalokasikan banyak sumberdaya kepada apa yang diaanggap sebagai suatu perbaikan barang-barang makanan, - seperti sayur-sayuran, tortilla dan kacang-kacangan – diganti dengan banyak sumberdaya yang dialokasikan kepada pembelanjaan barang-barang
53
berprotein baik seperti telur, daging ayam dan sapi. Dapat disimpulkan bahwa welfare program yang secara eksplisit menyatukan kedalam rancangan mereka untuk mengembangkann status perempuan, sesungguhnya mempengaruhi kekuatan tawar menawar perempuan dalam rumah tangga sebagai manifestasi dalam household resource allocation decisions. Bahkan adanya deskriminasi dalam alokasi sumberdaya menjadikan perempuan mengalami perbedaan pula dalam kualitas sumberdaya manusianya. Sebagian besar perempuan berpendidikan rendah. Pendidikan rendah ini mengakibatkan mereka memiliki daya serap rendah dalam pasar tenaga kerja, deskriminasi upah, serta akses ke pelayanan dan sumber ekonomi tidak merata. Dengan demikian secara umum tentunya akan berdampak pada pendapatan perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan laki-laki. Kemudian rendahnya pendapatan perempuan bekerja atau bahkan tidak bekerja sama sekali akan mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga mereka. Artinya, siklus kesenjangan ini terus akan berlanjut kecuali perempuan diberdayakan agar mampu membuat keputusan alokasi sumberdaya rumahtangga ke kualitas anak. Kualitas anak tersebut diakibatkan juga karena perbedaan pemanfaatan waktu antara mengikuti pendidikan dengan beban kerja domestik. Flora Nankhuni and Jill Findeis (2002) melaporkan hasil penelitiannya yang mengkaji relationship antara degradasi lingkungan dengan status pendidikan anak di Malawi. Studi ini mengkhususkan dalam berapa lama waktu (jam) kerja yang digunakan oleh anak dalam pengumpulan bakar kayu dan air dihubungkan dengan probabilitas usia anak 6-14 tahun yang bersekolah. Dengan menggunakan data Integrated Household Survey yang dilaksanakan pada tahun 1997-98 di Malawi oleh Malawi National Office, studi tersebut menemukan bahwa anakanak terlibat secara nyata dalam pengumpulan suberdaya dan probabilitas kehadiran di sekolah menurun sejalan dengan meningkatnya waktu yang digunakan untuk mengumpulkan bahan bakar dan air. Lebih lanjut studi ini menunjukan bahwa anak-anak perempuan secara tidak seimbang tidak beruntung dimana mereka menggunakan lebih banyak waktunya untuk resource work dan kehadirannya di sekolah dibebani dengan pekerjaan tersebut. Hasil ini mengetengahkan bahwa para orang tua tidak membedakan antara anak perempuan dan laki-laki dalam kehadiran di sekolah
54
akan tetapi anak-anak perempuan mempunyai beban berat dengan domestic work sehingga anak-anak perempuan mempunyai kesulitan untuk maju di dalam sekolahnya. Sesungguhnya data menunjukkan bahwa saat ini 80% dari seluruh anak-anak perempuan dan 79% anak laki-laki Malawi mengikuti primary school. Bagaimanapun anak perempuan lebih banyak drop out dibandingkan dengan anak laki-laki, karenanya menghasilkan kesenjangan pada secondary school level. Sebagai contoh, data dari Population Preference(PRB 2002) menunjukkan bahwa hanya 12% anak perempuan dan 21% anak laki-laki Malawi didaftarkan sekolah. Bank Dunia (2000) melaporkan bahwa ketidaksetaraan gender dalam pendidikan dan kesehatan paling banyak terjadi di kalangan kaum miskin. Selain itu juga dilaporkan bahwa perempuan masih memiliki keterbatasan akses atas beragam sumber daya produktif, termasuk pendidikan, tanah, informasi, dan keuangan. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki, dan jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah hanya dua pertiga dari jumlah anak laki-laki. Berdasarkan Statistik Indonesia tahun 2002 (2002) diketahui jumlah penduduk usia 7 – 24 tahun yang masih sekolah. Jumlah penduduk usia sekolah usia 7 – 24 tahun laki-laki adalah 22.401.933 dan perempuan adalah 20.793.850. Angka tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan keterserapan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia pendidikan. Pada hakekatnya pendidikan dimaksudkan untuk semua warga negara sebagaimana diundangkan dalam UUD 45 bahwa pendidikan adalah merupakan hak semua warga negara. Akan tetapi pendidikan itu sendiri merupakan tempat yang secara tidak langsung menciptakan strata sosial ekonomi. Pendidikan merupakan sarana mobilitas sosial. Sebaliknya pendidikan itu sendiri merupakan investasi yang membutuhkan sumber daya sebagaimana yang diperlukan. Para siswa secara tidak langsung melakukan seleksi diri ketika mendaftarkan ke jenjang pendidikan berikutnya yaitu memilih sekolah favorit sampai dengan sekolah yang merupakan pilihan kesekian kalinya. Ini sudah menunjukkan adanya kecenderungan
strata pendidikan.
Sehingga
ada kecenderungan sekolah
55
berkualitas diminati oleh keluarga mampu dan semakin turun peringkat sekolah ada kecenderungan menampung anak-anak dengan kualitas lebih rendah.
Lingkungan Keluarga dan Kualitas Anak Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) Inventory (Caldwell & Bradley 1984) dirancang untuk mengukur kualitas dan kuantitas dari stimulasi dan dukungan yang tersedia bagi anak-anak di lingkungan rumah masing-masing. Fokusnya adalah pada anak-anak dalam lingkungannya, anak-anak merupakan penerima inputs dari objek, peristiwa, dan transaksi yang muncul dalam hubungannya dengan lingkungan keluarga. Versi mula inventory dikenal sebagai the Infant/Toddler (IT) HOME. Ini dirancang untuk digunakan pada kehamilan ( lahir hingga usia tiga tahun). Ini terdiri dari 45 item yang dicakup dalam 6 subbagian: 1) Parental Responsivity, 2) Acceptance of child, 3) Organization of the Environment, 4) Learning Materials, 5) Parental Involvement, dan 6) Variety in Experience. Tiga versi inventory telah dikembangkan semenjak waktu itu; yaitu untuk usia 3 – 6 tahun, 6 – 10 tahun, dan 10 – 15 tahun yang dirinci sebagai berikut (HOME, situs.):
The Early Childhood (EC) HOME dirancang digunakan pada usia 3 sampai dengan 6 tahun. EC HOME ini terdiri dari 55 item yang dicakup dalam 8 subbagian: 1) Learning Materials, 2) Language Stimulation, 3) Physical Environment, 4) Parental Responsivity, 5) Learning Stimulation, 6) Modeling of Social Maturity, 7) Veriety in Experience, and 8) Acceptance of Child.
The Middle Child (MC) HOME yang dirancang untuk usia antara 6 sampai dengan 10 tahun. MC HOME terdiri dari 59 item yang dicakup dalam 8 subbagian: 1) Parental Responsivity, 2) Physical Environment, 3) Learning Materials, 4) Active Stimulation, 5) Encouraging Maturity, 6) Emotional Climate, 7) Parental Involvemenet, 8) Family Participation.
The Early Adolescent (EA) HOME dirancang untuk usia antara 10 sampai 15 tahun. EA HOME teridir dari 60 item yang dicakup dalam 7 subbagian: 1) Physical Environment, 2) Learning Materials, 3) Modeling, 4) Instruction
56
Activities, 5) Regulatory Activities, 6) Variety of Experience, dan 7) Acceptance and Responsivility Kontribusi home environment terhadap perkembangan anak dapat dibuktikan melalui beberapa penelitian. Hine (1991) melakukan penelitian dengan fokus The Home Environment of Gifted Puerto Rican Children: Family Factors Which Support High Achievement. Penelitian ini mengkaji persepsi 10 siswa Puerto Rico yang mampu dan orang tua mereka untuk mengidentifikasi faktorfaktor keluarga yang mampu mendukung prestasi yang tinggi (high achievement). Selanjutnya Hine mengemukakan bahwa ada 8 faktor home environment dengan dukungan kuat terhadap prestasi akademik yang tinggi pada anak sebagai berikut: 1. Press for Achievement, dimaksudkan : a) Orang tua memperhatikan kemajuan sekolah anak mereka dengan memantau hasil sekolah dan berusaha jika sang anak kurang berprestasi, b) Orang tua menawarkan bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang dirasa sulit atau mencarikan orang yang mampu, c) Orang tua membantu anak untuk menetapkan tujuan akademis yang realistik, d) Orang tua memberikan pujian atas prestasi dan kemampuan yang menonjol, e) Orang tua mengawasi penggunaan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah, f) Orang tua menunjukkan topik menarik yang dipelajari di sekolah. 2. Press for Language Development dimaksudkan para orang tua dalam pendidikan: a) membaca dan menyanyikan untuk anak-anak ketika masih kecil b) mendorong anak-anak mereka untuk membaca dan membicarakan apa yang sedang dibaca oleh para anggota keluarga c) menunjukkan penggunaan bahasa Spanyol dan Inggris secara benar d) mendorong anak-anak mereka untuk melestarikan bahasa Spanyol sementara mereka mempelajari bahasa Inggris. 3. High Educational and Occupational Aspirations
57
Para orang tua yang berprestasi tinggi mempunyai aspirasi pendidikan dan pekerjaan yang tinggi bagi anak-anaknya dan menekankan pentingnya memperoleh pendidikan yang baik untuk meraih tujuan tersebut. 4. Strong Family Support System Keluarga yang mempunyai anak bersemangat prestasi yang tinggi mempunyai dukungan yanga kuat bagi anak-anak mereka. Aspek-aspek dukungan tersebut adalah sebagai berikut: a. terjadi percakapan informal dalam aktivitas keseharian b. kebijakan pembuatan keputusan keluarga c. memonitor dan mengarahkan dalam kondisi waktu luang d. penjelasan dan nasehat dari orang tua e. memberikan dorongan untuk mencapai tujuan-tujuan 5. Ikatan Keluarga Faktor ikatan keluarga mencakup loyalitas pada keluarga dan kebudayaan, family pride dan motivasi, dan keeratan ikatan keluarga. Keluarga mengajarkan kepada anaknya berkenaan dengan bahasa dan budayanya agar kelak dapat mengembangkan dirinya dalam masyarakat. Orang tua juga memberikan dukungan emosional dan keuangan kepada anak-anak mereka baik keluarga dekat maupun extended dan berupaya penuh untuk menyiapkan masa depan mereka yang lebih baik. Terkadang apa yang dialami oleh siswa adalah ia merupakan anak yang pertama memasuki collegge (baik dari garis ibu maupun bapaknya, sehingga ia dapat menjadi model bagi generasi berikutnya (adikadiknya). 6. Pandangan yang optimis Ada pandangan optimis di lingkungan keluarga siswa bahwa masa depan harus lebih baik dengan persiapan dan kerja keras, dan mereka bersedia menghadapi tantangan dan kendala yang dihadapinya. 7. Reaksi terhadap harapan pengajar dan masyarakat. Keluarga siswa yang mempunyai achievemnet tinggi mengungkapkan bahwa stereotip bias dan negatif dari para pengajar dan orang –orang lain dalam komunitas dapat menjadi motivasi.
58
8. Keterlibatan dalam Extrakulikuler/Ikatan Sosial Semua siswa yang mempunyai achievement tinggi aktif terlibat dalam kegiatan sekolah maupun ekstrakulikuler, dan orang tua mereka perhatian serta mendukung keterlibatan tersebut. Penelitian Levine dan Havighurst (1992) tentang Home Environment and Cognitive Development memberikan kontribusi
korelasi antara home
environment dengan perkembangan kognitif. Meskipun latar belakang sosial ekonomi keluarga secara statistik berkorelasi dengan achievement siswa namun ada perkecualian. Rendahnya achievement pada siswa dari kelas bawah dikarenakan pada karakteristik keluarga si anak dan bukan secara universal diakibatkan status sosial ekonomi. Walaupun status sosial ekonomi keluarga secara statistik berkorelasi dengan school achievemen anak, namun ada segi lain yang perlu diketahui. Segi lain tersebut adalah home environment yang mempengaruhi taraf achievemen anak di sekolah. Para sosiolog dan psikolog mengidentifikasikan karakteristik home environment yang secara langsung berhubungan dengan perkembangan kognitif dan achievement di sekolah. Ada 6 karakteristik home environment: 1. Achievement pressure: a. aspirasi orang tua terhadap pendidikan sang anak b. aspirasi sang orang tua sendiri c. ketertarikan orang tua terhadap kegiatan akademis d. pengetahuan kemajuan pendidikan sang anak e. persiapan dan perencanaan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan 2. Language models: a. a.kualitas bahasa yang digunakan oleh orang tua b. peluang untuk mengembangkan dan mengguanakan kosa kata dan polapola kalimat c. kepandaian orang tua dalam menggunakan bahasa yang benar dan efektif 3. Academic guidence: a. ketersediaan penuntun permasalahan berkaitan dengan pekerjaan sekolah b. kualitas penuntun tersebut c. ketersediaan dan penggunaan bahan-bahan dan fasilitas untuk pelajaran sekolah
59
4. Kegiatan keluarga: a. tingkat dan isi dari kegiatan di luar dan dalam keluarga b. pemakaian televisi dan media serupa lainnya c. penggunaan buku, perpustakaan, dan fasilitas serupa lainnya 5. Intelektualitas di rumah: a. sifat dan kualits mainan, permainan, dan hoby yang tersedia bagi sang anak b. kesempatan untuk berpikir dan berimajinasi dalam aktivitas keseharian 6. Kebiasaan kerja keluarga: a. tingkatan struktur dan rutinitas dalam pengelolaan rumah b. pilihan terhadap aktivitas sekolah diantara hiburan yang menyenangkan. Dalam beberapa kajian terhadap hubungan antara latar belakang sosial siswa dan academic achievement ditemukan prediktor paling baik untuk achievement adalah tersedianya jumlah bahan bacaan di rumah (para pembaca menyadari bahwa klas sosial, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan indikator status sosial lainnya sangat berhubungan dengan bahan bacaan di rumah dan ukuranukuran lainnya dari home environment) Vandivere (2000) dalam Snapshots meringkaskan temuan-temuan dari NSAF 1999 pengukuran children’s family environment dari 13 negara bagian di USA. Pengukuran tersebut membandingkan lingkungan keluarga dari anak-anak berpendapatan rendah dengan anak-anak dari keluarga berpendapatan tinggi. Juga membandingkan lingkungan keluarga anak dalam orang tua tunggal dan orang tua utuh. Pengukuran tersebut mencakup: 1. Struktur keluarga (untuk anak usia 0 – 17 th) 2. Frekuensi orang tua membaca cerita kepada anak-anak mereka (untuk anak usia 1–5 th) 3. Frekuensi orang tua mengajak anaknya pergi rekreasi (untuk anak usia 0 – 5 th) 4. Keterlibatan orang tua secara sukarela (untuk anak usia 0 – 17 th) 5. Kehadiran orang tua pada kegiatan keagamaan (untuk anak usia 0 – 17) 6. Tingkatan kejengkelan orang tua (untuk anak usia 0 – 17 th) 7. Gejala-gejala kesehatan mental orang tua miskin (untuk anak usia 0 – 17)
60
Masing-masing dijelaskan sebagai berikut: 1. Family Structure Para ibu tunggal mempunyai kecenderungan miskin, dan kemiskinan berhubungan dengan segi negatif pada diri sang anak. (McLoyd 1998). Dengan bukti yang sama, anak-anak yang hidup bersama dengan kedua orang tua biologisnya mempunyai pengalaman yang lebih positif dibandingkan dengan anak-anak di dalam keluarga tunggal. 2. Membacakan atau Menceritakan Cerita-cerita pada anak Hal ini jika dilakukan akan membantu mereka mengembangkan kemampuan berbahasa, cognitive, dan kemampuan membaca. 3. Mengajak anak berekreasi Hal ini ini jika dilakukan akan merangsang perkembangan cognitive anak. 4. Parent Volunteering Keterlibatan orang tua dengan tindakan sukarela menjadikan orang tua sebagai model peran bagi anak-anak mereka. 5. Keterlibatan orang tua dalam kegiatan keagamaan Keterlibatan orang tua dalam kegiatan keagamaan berhubungan dengan positive child outcome yang mencakup kemampuan cognitive dan sosial, menghindari aktivitas sexual dini, bertanggung jawab, dan kurangnya peristiwa yang menunjukkan adanya depresi. Cara mengukur parental religiosity melalui seberapa seringkah orang tua mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. 6. Kejengkelan orang tua Para orang tua yang sering menceritakan perasaan frustasi dan stresnya berkenaan dengan pengalaman mengasuh anaknya diartikan sebagai orang tua yang mempunyai parental aggravation tinggi. Anak-anak dengan orang tua yang mengalami aggravation tinggi
mempunyai kecenderungan adanya
permasalahan dalam segi cognitive dan emosi sosial. 7. Para Orang Tua dengan Gejala Kesehatan Mental yang Buruk Anak-anak yang mempunyai orang tua depresi menghadapi resiko negatif pada masalah kesehatan, cognitive, dan emosi sosial.
61
Begitu pula penelitian William (2002) membuktikan relasi antara HOME Environment dengan kesiapan anak masuk sekolah taman kanak-kanak di pedesaan Tennessce Timur. Variabel yang digunakan adalah family income dan family structure, parent’s education, participation in literacy activities, availability of home learning tools, dan waktu yang digunakan anak untuk menonton televisi. Penelitian ini melibatkan 338 anak dan orang tua. Data penelitian dianalisa dengan statistik deskriptif, hubungan antar variabel tergantung dan bebas dengan Kendall,s tau-b dan Cramer,s V, serta t-test dan ANOVAs untuk mengetahui perbedaan Brigances score antar kelompok. Adapun hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Pengkajian analisa hubungan menunjukkan bahwa family income sangat erat berhubungan dengan keberhasilan dalam Brigance K Screen dibandingkan pada variabel lainnya; hal yang penitng lainnya adalah pendidikan orang tua.
Korelasi positif yang signifikan menunjukkan adanya nilai pembacaan orang tua bagi anak-anak mereka, sinau wisata, ketersediaan alat-alat pendidikan, family structure, mealtime conversation, dan jumlah buku anak-anak yang ada di rumah. Namun ditemukan korelasi negatif yang signifikan berkaitan dengan waktu yang digunakan untuk menonton televisi terhadap brigance Scores. Semakin banyak waktu yang digunakan untuk menonton televisi maka nilai anak tersebut semakin rendah.
ANOVAs dan t-test menunjukkan perbedaan yang berarti pada Brigance scores anak-anak pra taman kanak-kanak dari kelompok status ekonomi sosial yang berbeda yang didasarkan pada struktur keluarga, pendapatan keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua. Anak-anak berasal dari keluarga lengkap mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan situasi keluarga lain, hal ini begitu juga terjadi pada anak-anak dalam keluarga yang ekonominya semakin tinggi. Tigkat pendidikan orang tua juga berpengaruh pada Brigance score; semakin tinggi pendidikan orang tua maka nilai anak juga semakin tinggi.
Analisa multiple regression menunjukkan kekuatan hubungan dan signifikansi antara faktor sosial ekonomi dengan kesiapan anak-anak masuk sekolah taman kanak-kanak.
62
Hasil dari penelitian tersebut memperkuat koreksi yang dilakukan oleh Robert (2001) terhadap hasil penelitiannya yang memfokuskan pada Children and Familial Economic Welfare: The Effect of Income on Child Development. Ia menemukan kekaburan hasil penelitian berdasarkan dua masa penelitian untuk menganalisa hubungan antara perubahan perekonomian keluarga dengan hasil perkembangan anak. Bahkan dalam analisa untuk membuktikan pengaruh variabel bebas pendapatan terhadap hasil perkembangan anak menunjukkan bahwa pengaruh pendapatan terhadap perilaku anak dan kognitifnya relatif kecil, akan tetapi sebagian besar menjadi menguat setelah dilakukan pengontrolan. Temuan
tersebut
ditunjang
dengan
banyaknya
penelitian-penelitian
sebelumnya. Kajian literatur telah menunjukkan bahwa pendapatan berpengaruh terhadap anak melalui home environment mereka. Setelah dilakukan penyusunan index home environment ditemukan bahwa anak-anak berasal dari keluarga yang berkecukupan menunjukkan kecenderungan lebih baik dan mempunyai banyak stimulasi home environment dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berekonomi lebih rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa pengaruh income terhadap perkembangan anak adalah lemah untuk menjembatani berbagai perkembangan anak. Bagaimanapun, temuan ini memberikan gagasan bahwa melalui berbagai ragam variabel maka pendapatan dapat benar-benar mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Meskipun faktor ekonomi tidak langsung berkorelasi dengan perkembangan anak, melalui mediasi faktor-aktor sumberdaya dalam keluarga, tetap memiliki kontribusi terhadap lingkungan keluarga. Taraf lingkungan keluarga inilah yang kemudian akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Campbell dan Parcel (2002) mengemukakan, bahwa pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan dan investasi dalam pendidikan dan aspirasi pendidikan yang tinggi berhubungan dengan
semakin
baiknya
lingkungan
keluarga
anak-anak.
Begitu
juga
diungkapkan, bahwa keluarga utuh dan berstatus sosial ekonomi tinggi berhubungan dengan home environment yang baik. Sebaliknya keluarga yang besar cenderung mempunyai home environment yang kurang baik. Begitu juga status pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi cenderung memperkuat home environment.
63
Akan tetapi faktor lingkungan keluarga tidak selamanya mendukung prestasi akademik anak. Agustina (2003) menemukan dari hasil penelitiannya bahwa semakin banyak fasilitas bermain di rumah akan mempengaruhi semakin banyak alokasi waktu untuk leisure, sedangkan semakin baik lingkungan fisik untuk belajar maka semakin sedikit alokasi waktu leisure anak. Begitu juga semkain bertambah umur anak menyebabkan semakin besar alokasi waktu untuk menonton televisi atau VCD. Jadi perlu ada penekanan dalam hal fasilitas dimana fasilitas yang menunjang pendidikan dan belajar akan mendukung kemajuan belajar dan keberhasilan pendidikan. Beberapa penelitian tentang lingkungan keluarga dengan perkembangan anak menunjukkan adanya beberapa faktor lingkungan keluarga yang berperan terhadap perkembangan anak. Faktor-faktor tersebut adalah dorongan berprestasi, aspirasi pendidikan dan pekerjaan, struktur keluarga, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan keluarga, Lingkungan Sekolah Sutanto (1998) mengartikan lingkungan secara fisiologis, psikologis, dan sosio kultural. Fisiologis diartikan bahwa lingkungan meliputi segala kondisi dan materiil jasmaniah di dalam tubuh seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu, sistem syaraf, peredaraan darah, pernapasan, pencernaan makanan, kelenjar, sel-sel pertumbuhan, dan kesehatan jasmani. Psikologis diartikan bahwa lingkungan mencakup segenap stimuli yang diterima oleh individu mulai sejak konsesi, kelahiran sampai matinya. Stimuli tersebut misalnya sifat-sifat genes, interaksi genes, selera, keinginan, perasaan, tujuan-tujuan, minat, kebutuhan, kemauan, emosi, dan kapasitas intelektual. Sedangkan dari segi sosio kultural diartikan bahwa lingkungan mencakup segenap stimuli interaksi dan kondisi eksternal dan hubungannya dengan perlakuan ataupun karya orang lain. Pola hidup keluarga, pergaulan kelompok, pola hidup masyarakat, latihan, belajar, pendidikan pengajaran, bimbingan dan penyuluhan, kesemuanya adalah termasuk lingkungan ini. Menurut Ki Hadjar Dewantara (Habsullah 1999) pendidikan secara umum berlangsung dalam lingkungan-lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga,
64
lingkungan sekolah, dan lingkungan orgaisasi pemuda, yang disebut Tri Pusat Pendidikan. a. Lingkungan Keluarga Pendidikan keluarga berfungsi: •
Sebagai pengelaman pertama masa kanak-kanak
•
Menjamin kehidupan emosional anak
•
Menanamkan dasar pendidikan moral
•
Memberikan dasar pendidikan sosial
•
Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak
b. Lingkungan Sekolah Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepada sekolah. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan di antaranya adalah: •
Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.
•
Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di alam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
•
Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
•
Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membedakan benar atau salah, dan sebagainya.
c. Lingkungan Organisasi Pemuda Peran organisasi pemuda ini utamanya adalah dalam upaya pengembangan sosialisasi kehidupan pemuda. Melalui organisasi pemuda berkembanglah semacam kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan di dalam pergaulan dengan sama kawan (social skill) dan sikap yang tepat di dalam membina hubungan dengan sesama manusia (social attitude). Dalam pengertian disini pendidikan tersebut adalah pendidikan yang secara khusus dilaksanakan di lingkungan sekolah.
Pendidikan tersebut
berlangsung di suatu tempat dengan lingkungan tertentu dengan segala ciri-ciri,
65
sifat dan wataknya (Hadisusanto 1995). Sebagaimana dikemukakan oleh Dalyono (2001) bahwa sekolah sangat berperan dalam meningkatkan pola pikir anak, karena di sekolah mereka dapat belajar bermacam-macam ilmu pengetahuan. Namun dalam pendidikan tidak hanya cukup menguasai segi pengetahuan akan tetapi banyak segi sebagaimana dicantumkan dalam tujuan pendidikan nasional. Masbullah (1999) menekankan bahwa pendidikan nasional mempunyai tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa b. berbudi pekerti luhur c. memiliki pengetahuan dan ketrampilan d. sehat jasmani dan rohani e. kepribadian yang mantap dan mandiri f. bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa Agar pendidikan dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan proses pendidikan yang baik dan benar untuk mengahsilkan otuput pendidikan yang memadai. Proses pendidikan tersebut memerlukan input dan output. Input pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tersebut mencakup guru, murid, fasilitas sekolah, kurikulum, peraturan, anggaran, dan lain sebagainya dimana dihasilkan otuput yaitu siswa lulus untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Proses pendidikan tersebut membutuhkan tenaga pengajar atau pendidik, sarana dan prasarana dalam upaya menciptakan output pendidikan yang baik. Pendidik yaitu guru ialah orang yang memikul pertanggungan jawab untuk mendidik. Guru secara khusus di lingkungan sekolah bertugas merangsang dan membina perkembangan intelektual anak serta membina pertumbuhan sikap-sikap dan nilai-nilai dalam diri anak (Munandar 1992). Selain itu menurut Masbullah (1999) guru sebagai pendidik formal diperlukan syarat profesional (ijasah), syarat biologis (kesehatan jasmani), syarat psikologis (kesehatan mental), dan syarat paedagogis dan didaktik (pendidikan dan pengajaran). Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka diharapkan mendukung proses pendidikan secara baik. Akan tetapi untuk menghasilkan otuput pendidikan yang baik dibutuhkan juga
66
faktor pelayanan,
sarana dan
prasarana
yang mencakup
perpustakaan,
laboratorium dan bengkel, olahraga dan rekreasi, musik dan seni lainnya, serta bimbingan dan penyuluhan (Munandar 1992). Pada kenyataannya sekolah tidak hanya sekedar sebagai institusi akan tetapi juga merupakan sistem organisasi. Sebagai sistem berarti memiliki unit-unit bagian yang menjalankan peran agar intitusi sekolah dapat mencapai tujuannya. Sekolah dapat berperan sebagai agen transformasi ilmu maupun nilai sosial (Sukadi 1994) Oleh karena itu, beberapa aspek penting sekolah yang perlu diperhatikan adalah: a. Guru, yaitu orientasi nilai guru, pola kepemimpinan guru, keteladanan guru, dorongan dari guru dan kontrol guru; b. Aktivitas siswa, yaitu meliputi kegiatan siswa di dalam dan luar kelas dalam bidang kurikuler dan aktivitas siswa dalam organisasi kesiswaan (ko-kurikuler) serta orientasi tugas; c. Kondisi sekolah, yaitu kelengkapan fasilitas dan sarana sekolah seperti sarana olah raga, kesenian, laboatorium, perpustakaan serta lokasi sekolah; d. Iklim belajar, yaitu menyengkut tata tertib sekolah, disiplin siswa, persaingan dan kerja sama dalam belajar dan inovasi dalam proses pembelajaran serta penilaian yang obyektif. Coulson (2003) mengutarakan hal yang sama dalam lingkungan sekolah yaitu adanya orderly (aturan tata tertib), congenial dan well maintained school (ruang sekolah, tanah lapang, fasilitas air dan toilet, fasilitas ruang kelas)
Nilai anak Keberadaan anak dalam suatu keluarga memberikan konsekuensi relasi antara orang tua dan anak. Artinya, relasi antara orang tua dengan anak membutuhkan keterediaan waktu, tenaga, dan biaya dari orang tua masingmasing. Namun keberadaan anak juga dapat memberikan suasana yang dinamis dalam keluarga. Keberadaan anak dalam suatu keluarga mempunyai nilai tersendiri bagi orang tua masing-masing. Pandangan terhadap nilai anak tersebut dapat mempengaruhi berapa jumlah dan jenis kelamin apa anak yang diharapkan oleh suatu keluarga. Pandangan banyak anak banyak rejeki sudah tidak relevan
67
lagi dengan tuntutan terhadap kualitas sumber daya manusia. Banyak anak membutuhkan alokasi waktu, tenaga, dan biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anak yang sedikit. Sesuai anjuran dari program Keluarga Berencana adalah dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja. Upaya meningkatkan kualitas smber daya manusia melalui keluarga tertuang dalam Rencana Pembagunan Jangka Menengah 2004-2009, sebagai berikut: “.......Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas merupakan langkah
penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Hal ini
diselenggarakan melalui pengendalian penduduk dan peningkatan kualitas insani dan sumberdaya manusia. Karakteristik pembangunan antara lain dilaksanakan melalui pengendalian pertumbuhan penduduk, melalui perwujudan keluarga kecil berkualitas….. “ (RPJM 2004-2009). Keluarga kecil berkualitas tersebut dimaksudkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Jumlah anak sedikit dapat memberikan pengaruh terhadap alokasi waktu, tenaga, dan biaya oleh orang tua untuk anak mereka. Alokasi yang mencukupi kebutuhan anak tersebut dapat mendukung pengembangan kualitas anak. Dengan kata lain, kuantitas anak berbanding dengan kualitas anak. Qian (2005) menyebutkan bahwa pembuatan kebijakan di negara berkembang dengan pembatasan ukuran keuarga merupakan strategi yang baik untuk meningkatkan rata-rata investasi
modal manusia (human capital). Artinya bahwa sedikit
kuantitas anak maka meningkatkan kualitas anak. Berapa banyak jumlah anak dipengaruhi oleh persepsi berkenaan dengan nilai anak untuk keluarga. Nilai diatributkan pada anak dapat dipandang sebagai aspek penting dari pengasuhan, relasi orang tua – anak, dan perkembangan anak. Nilai anak ini telah dikonsepkan sebagai kebutuhan bahwa anak memberikan kepuasan terhadap orang tua, yakni, kebutuhan akan keamanan ekonomi, status sosial, dan kasih sayang atau keceriaan. Sussman & Steinmetz (1987) menyebutkan bahwa nilai anak dtitentukan oleh persepsi fungsi-fungsi yang dapat diberikan oleh anak dan kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh anak. Hoffman & Manis (1979 dalam Sussman & Steinmetz 1987) mengidentifikasikan nilai-nilai sebagai berikut:
68
1. Ikatan-ikatan kelompok primer, kasih sayang (cinta dan persahabatan, mempunyai keluarga yang lengkap, manfaat pernikahan, memberikan cinta). 2. Pendorong dan keceriaan (kegiatan, rasa senang menyaksikan anak tumbuh dan berkembang). 3. Pengembangan diri (tujuan hidup, belajar pengalaman, pemenuhan harapan, pengalaman hidup) 4. Status dan identitas sebagai orang dewasa (kedeasaan, merasa berguna, harapan masyarakat, identitas seks). 5. Usaha dan kreativitas (menciptakan kehidupan, melakukan pekerjaan yang bagus, pendidikan). 6. Kegunaan ekonomi (tenaga kerja di rumah, jaminan sosial di hari tua). 7. Moralitas (menjadi orang yang lebih baik).
Esphenshade (1977 dalam Ihromi 1999) menyebutkan sebagai berikut: “The value of children can be thought as the functions they serve or needs they fullfill for parent” (nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orang tua oleh anak). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa nilai anak dilihat dari sudut pandang kepentingan orang tua terhadap keberadaan anak. Keberadaan anak dapat memberikan atau memenuhi kebutuhan yang diharapkan oleh orang tua. Keberadaan anak (kelahiran anak dan pertambahan anak) tersebut dapat dikatakan sebagai wujud dari beberapa faktor pertimbangan yang dilakukan oleh orang tua. Hoffman & Hoffman (1973 dalam Suckow & Klaus, 2002 ) memberikan pengkategorian nilai anak ke dalam tiga dimensi sebagai berikut: nilai psikologi emosional anak, nilai kegunaan ekonomi anak, dan nilai normatif sosial anak. Alasan nilai psikologis mempunyai anak karena mempunyai seseorang untuk disayangi dan dirawat, karena rasa bahagia yang didapat dari menyaksikan anakanak tumbuh dan karena kebahagiaan mempunyai anak berada disekeliling rumah. Alasan nilai kegunaan ekonomi mempunyai anak
karena anak dapat
membantu di rumah, mempunyai lebih dari satu orang membantu keluarga secara ekonomi, atau anak-anak dpat membantu ketika orang tua telah tua. Alasan nilai
69
normatif anak diekspresikan dengan pernyataaan melestarikan nama keluarga atau dengan kata lain memperbaiki reputasi orang tua lebih baik dihadapan anak. Selain itu Sam (2001) juga mengemukakan bahwa nilai anak mencakup juga nilai psikologis, nilai sosial, dan ekonomi anak. Nilai psikologis menunjuk kepada kebahagiaan, senang, dan keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan serta stres karena orang tua mempunyai pengalaman mempunyai anak. Nilai sosial menunjukkan kepada keuntungan sosial yang diinginkan atau tidak diinginkan karena memiliki anak (yakni, pengakuan sosial dan status sosial ketika pasangan pernikahan mempunyai anak; penerusan garis keluarga dlm kasus mempnyai anak laki-laki seperti dalam masyarakat patrilinie). Meskipun niai sosial anak dilihat seagai suatu tipe nilai instrumental. Hal ini berbeda dari nilai ekonomi/kegunaan anak. E-voc menunjukan kepada keuntungan material yang diiginkan dan biaa untuk anak ketika mereka muda dan ketika mereka menjadi dewasa (yakni; dukungan ekonomi yang diberikan orang tua terhadap anak-anak muda mereka dan dukungan ekonomi yang diberikan oleh para anak-anak dewasa kepada orang tua mereka masing-masing). Disisi lain Social-voc lebih berkaitan dengan keyakinan tentang keluarga ideal, perkawinan, atau peran perempuan. Social-voc merupakan orientasi kultural dan mungkin lebih relevant dalam kebudayaan tertentu daripada kebudayaan lainnya. Tergantung pada nilai budaya secara umum, nilai sosial ini mempunyai implikasi yang berbeda. Mempunyai anak memenuhi kebutuhan untuk memperbaiki kehidupan keluarga atau perkawinan, atau, dalam masyarakat terttentu, agar supaya dapat diterima sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Harapan Siswa terhadap Guru Harapan (expectation) merupakan suatu tindakan berpengharapan atau sesuatu yang diharapkan pada masa mendatang (Longman 1987). Harapan dapat menjadi tujuan hidup sehingga dapat menjadi pengarah segala upaya untuk meraihnya. Harapan tersebut berada pada masa yang mendatang berkaitan dengan keadaan yang lebih baik (Collins 2003). Ini diartikan bahwa harapan bersifat positif untuk maju dibandingkan dengan keadaan yang ada pada saat ini. Sebagaimana para siswa dalam mengikuti proses pendidikan di sekolah mengalami berbagai muatan pendidikan dalam berbagai mata pelajaran dan
70
aktivitas ketrampilan. Harapan dapat menyerupai motivasi untuk maju pada diri siswa yang terwujudkan dalam bentuk harapan memperoleh materi pendidikan dan ketrampilan sebanyak mungkin dari sekolah melalui para pengajar/guru. Ekspektasi dapat diartikan juga dengan harapan atau keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi atau seseorang akan memperoleh sebagaimana yang diharapkan (Collins 2003). Apabila demikian maka harapan untuk maju dari para siswa dapat dikatakan sebagai harapan atau keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi atau memperoleh sebagaimana yang diharapkan. Guru merupkan sumber informasi lmu dan ketrampilan. Maka, harapan siswa terhadap guru merupakan harapan siswa akan kemampuan guru sebagai sumber iformasi ilmu dan ketrampilan. Harapan siswa terhadap guru merupakan cerminan keinginan siswa untuk maju dalam hal pelajaran dan ketrampilan. Guru menjadi sangat berperan untuk dapat menunjukkan kemampuan sesuai dengan kompetensinya. Maka hubungan guru dan murid merupakan hubungan kooperatif dalam pendidikan dimana guru mengambil bagian untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam bidang tertentu. Oleh karena itu, masalah kualitas guru merupakan faktor yang utama agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab mengajar secara baik. Leigh & Mead (2005) mengungkapakan bawa pengetahuan dan ketrampilan para guru merupakan faktor yang sangat penting yang mempengaruhi pembelajaran anak. Bahkan bagi anak yang mempunyai latar belakang yang tidak beruntung atau lingkungan keluarga yang yang bermasalah, kualitas pengajaran guru menjadi lebih penting. Leigh & Mead (2005) bahwa pengetahuan guru terhadap materi khusus, tersitimewa di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prediktor yang baik terhadap prestasi belajar anak.
Harapan siswa terhadap
penguasaan guru terhadap materi khusus tersebut merupakan orientasi maju para siswa terhadap materi khusus yang dikuasai oleh guru atau para guru. Oleh karena itu para siswa yang mempunyai harapan baik terhadap para guru mereka mempunyai prestasi akademik yang baik. Schilling & Schilling (1999 diacu dalam Miller 2001)
menngungkapkan bahwa ekspektasi membentuk pengalaman
pembelajaran yang begitu berdayaguna, ekspektasi mampu meningkatkan kinerja dimana seseorang yang mempunyai harapan yang tinggi maka mempunyai
71
kinerja/prestasi yang tinggi, dan seseorang dengan ekspektasi yang tinggi menampilkan taraf kinerja/prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpengharapan rendah, bahkan meskipun mereka dalam keadaan kemampuan yang sama. Dengan demikian harapan menjadi pendorong siswa untuk meraih prestasi akademik lebih baik melalui kinerja guru yang mampu meningkatkan penguasaan terhadap suatu materi belajar tertentu. Kualitas Remaja Salah satu bidang pembangunan yang perlu ditinjau kondisinya adalah mengenai kualitas sumberdaya manusia, yang pada dasarnya merupakan modal dasar bagi pembangunan. Dan kualitas sumberdaya manusia tersebut ditentukan oleh oleh tiga faktor utama: tingkat pendidikan, status kesehatan, dan pendapatan per kapita (Basuni 2002). Sedangkan Ananta dan Hatmadji (1985) menentukan faktor pendidikan, kesehatan dan lingkungan sebagai indikator berkaitan dengan kalitas sumber daya manusia. Syarief (1997) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karkateristik yang menentukan derajat kehandalan (degree of excellence). Kualitas SDM dapat didefiniskan sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan kehandalan manusia baik sebagai makhluk indiividu maupun makhluk sosial. Kualitas fisik dicerminkan oleh kesehatan dan ketahanan jasmani yang memungkinkan seseorang dapat hidup sehat, aktif, produktiof, dan berumur panjang. Kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir atau kecerdasan intelektual. Manusia yang berakal selalu terdorong untuk menggali rahasia alam dan kehidupan, dan dengan itu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berkembang. Kualitas kalbu dicerminkan oleh keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak. Pada hakekatnya manusia merupakan makhluk individu dan sosial yang hidup dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, kualitas SDM terbentuk melalui proses yang panjang dalam keseluruhan siklus hidup manusia. Keluarga merupakan institusi pertama yang mempunyai peran amat penting dalam mewujudkan SDM yang berkualitas. Keseluruhan siklus hidup manusia, masa janin (pe-natal) sampai dengan usia remaja (sekitar 15 tahun) merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM. Periode yang paling kritis – terutama
72
ditinjau dari aspek gizi, kesehatan dan psikologi – adalah sampai usia bawah lima tahun (balita). Pada usia selanjutnya faktor gizi tetap berperan penting bagi setiap orang untuk dapat hidup secara sehat, aktif, kreatif dan produktif. Kekuranga gizi pada anak sekolah mengakibatkan lemahnya kemampuan belajar, karena daya tahan tubuhnya yang rendah, cepat lelah dan sakit-sakitan. Dalam kondisi seperti itu, tidak mungkin terbentuk SDM yang berkualitas. Pada usia dewasa, faktor gizi berperan untuk meningkatkan fisik, dan produktivitas kerja. Dengan demikian kualitas anak dapat ditinjau dari kualitas akal, kualitas kalbu, dan kualitas fisik. Kualitas akal merupakan kualitas intelektual. Kualitas kalbu mencerminkan moral yang akan ditinjau melalui kecerdasan emosi. Sedangkan kualitas fisik mencerminkan kesehatan dan katahanan jasmani yang akan ditinjau melalui status gizi anak. Status Gizi Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia. Kekurangan gizi menyebabkan efek serius seperti: kegagalan pertumbuhan fisik, menurunnya perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas, menurunkan daya tahan terhadap penyakit serta meningkatkan resiko kesakitan dan kematian. Dan menurut peringkat HDI (Human Development Index) Indonesia berada diurutan 109 dari 174 negara, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia (peringkat 56), Philipina (77), Thailand (67), Singapore (22) dan Brunei (25). Tiga faktor penentu HDI yang dikembangkan UNDP adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ketiga faktor tersebut sangat erat kaitanya dengan status gizi masyarakat. (Gizi Anak 2001). Salah satu indikator status gizi penduduk yang rendah adalah tingginya prevalensi gizi kurang (berat menurut umur atau BB/U –2.0 SD median baku WHO-NCHS). Pada tahun 1999 pevalensi gizi kurang pada balita Indonesia berdasarkan data Susenas adalah 25,4%. Pada tahun 1995 dan 1998 prevalensi gizi buruk yang tinggi ini terutama dijumpai pada balita usia antara 6-23 bulan. Pada tahun 1999 prevalensi gizi kurang di Indonesia masih tertinggi di antara negara-negara tetangga ASEAN. Prevalensi balita gizi kurang di Indonesia tahun 2000 masih 25%, yang mengindikasikan bahwa target penurunan prevalensi sampai 19% pada akhir dekade 20 masih belum tercapai. (Basuni 2002).
73
Ukuran lain untuk mengetahui status gizi anak ada ukuran lain yaitu tinggi badan. Departemen Kesehatan melakukan Pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Masuk
Sekolah (TBABS). Pada tahun 1994, pertama kali dilaksanakan
pemantauan TBABS di seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Untuk memudahkan pengukuran telah dibuat standart penggolongan status gizi berdasarkan indeks tinggi badan dan umur (TB/U) untuk laki-laki dan anak perempuan umur 60 – 102 bulan (5 – 8,5 tahun). Pengukuran ini telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan untuk mengetahui kecenderungan pertumbuhan fisik penduduk, dan pada tahun 1998/1999 kembali melakukan TBABS yang kedua pada siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). Karena keterbatasan dana baru dapat dilakukan di 5 propinsi daerah bantuan CHN3 (Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya). Selanjutnya pada tahun 1999/2000 dilaksanakan di 22 propinsi lainnya. (Indonesian Nutrition Network 2001). Jellieffe (1989) menyatakan bahwa anthropometry merupakan metode langsung yang lazim digunakan untuk mengukur dua atau lebih permasalahan gizi: 1) malnutrisi enerji dan protein, khususnya pada anak-anak dan wanita hamil, dan 2) obesitas pada semua umur. Adapun keuntungan dengan pengukuran antrhopometry: 1) relatif ekonomis untuk digunakan; 2) obyektif; 3) mudah dipahami; 4) hasilnya berupa angka-angka yang berjenjang; 5) informasi berkenaan pertumbuhan yang lamban, malnutrisi enerji-protein dini dan obesitas tidaklah semudah dan seekonomis metode ini dibandingkan dengan metode lainnya. Namun untuk mendapatkan hasil pengukuran yang optimal maka perlu memperhatikan segi potensi kerugian metode ini. Ada 4 (empat) potensi kerugian yang perlu diperhatikan: 1) mempunyai potensi pengukuran yang kurang akurat; 2) dibutuhkan ketepatan umur anak; 3) mempunyai relefansi diagnosa nutrisi secara terbatas, terutama malnutrisi enerji dan protein; 4) permasalahan berkenaan dengan seleksi referensi data yang memadai dan penetapan poin level atas atau bawah yang berpengaruh pada ketidak normalan. Adapun pengukuran yang lazim digunakan metode antropometri mengukur: 1) body mass (berat tubuh); 2) linier dimension, ketinggian atau panjang; 3) body composition dan reserves kalori dan
74
protein yang dicerminkan dengan lemak subkutan dan otot (WHO 1995; Arisman 2002). Pemantauan dini terhadap pertumbuhan fisik anak tersebut merupakan informasi yang penting untuk melakukan antisipasi dan penanganan berkenaan dengan malnutrisi agar kualitas hidup penduduk menjadi baik. Soekirman (2002) mengemukakan betapa pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup ini. Menurutnya, dari sudut gizi kualitas sumberdaya manusia dikaitkan dengan perkembangan siklus hidup manusia sejak dalam kandungan sampai memasuki usia lanjut. Dengan demikian pengembangan kualitas SDM diawali dengan memperhatikan kondisi bayi dalam kandungan dengan memperhatikan kondisi bayi dalam kandungan agar lahir dengan selamat dan sehat. Kemudian menjaga agar bayi tumbuh normal fisik dan mentalnya sebagai bayi sampai anak berumur 5 tahun (balita), agar menjadi anak dan remaja yang cerdas di sekolah, hidup dengan produktif pada usia dewasa, panjang usia dan tetap produktif pada usia lanjut. Penggunaan antropometri juga diterapkan dalam penelitian Soekirman dkk (1999) terhadap siswa sekolah dasar di Jawa Barat dan Bogor berusia antara 8 – 10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 8 – 10 tahun anak lakilaki relatif lebih berat dibandingkan dengan anak perempuan. Bagaimanapun anak perempuan berusia 10 tahun rata-rata berat badannya lebih berat 1 (satu) kilogram dibandingkan dengan anak laki-laki. Pola yang sama juga ditunjukkan pada mean tinggi badan anak-anak. Pada usia 8 dan 9 tahun, anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan, akan tetapi pada usia 10 tahun anak perempuan rata-rata 1,5 cm lebih tinggi daripada anak laki-laki. Soekirman dkk. (1999) juga membandingkan tinggi dan berat badan antara siswa sekolah swasta dan negeri. Sekolah-sekolah swasta menunjukkan hasil baik berat maupun tinggi badan lebih berat dan tinggi dibandingkan dengan sekolah siswa sekolah negeri. Gejala ini membenarkan status sekolah (sekolah swasta dan negeri) berkaitan denngan status sosial ekonomi orang tua siswa. Kenyataan bahwa tinggi dan berat badan berkorelasi secara positif terhadap status sosial telah dibukukan dalam literatur gizi.
75
Penelitian Usfar (2002) juga menggunakan metode anthropometric terhadap 214 anak-anak dimana 45% laki-laki dan 54,7% perempuan berusia bawah lima tahun. Metode tersebut digunakan untuk meneliti hubungan antara keamanan pangan dan status gizi. Ia mengukur tinggi dan berat badan dengan masa pengambilan dua periode antara Februari-Juni sampai dengan AgustusOktober 2000. Kemudian dari data tersebut diperbandingkan untuk mengetahui perubahan status gizi, khususnya status gizi balita. Bagaimanapun penelitian mengenai status gizi anak masih menarik untuk dilakukan. Ini dimaksudkan untuk memberikan perhatian secara berkelanjutan mengenai status gizi, dimana kebanyakan penelitian diarahkan kepada anak-anak usia balita. Namun tidak menutup kemungkinan untuk melihat status gizi anak usia sekolah yang lebih lanjut, karena ada keterkaitan antara status gizi dengan kemampuan akademis anak. Reynaldo (1998) mengetengahkan betapa pentingnya untuk negara berkembang melakukan perbaikan nutrisi anak. Alasan sederhana. Pertama, kekurangan gizi pada anak-anak merupakan permasalahan umum di negara miskin. Kedua, kekurangan gizi mempunyai konsekuensi buruk dalam jangka pendek dan panjang bagi individu yang dipengaruhi dan masyarakat dimana mereka tinggal. Ketiga, jika nutrisi anak diperbaiki, masa depan generasi akan menjadi lebih sehat dan lebih produktif, dan ini akan menjadi aset bagi perkembangan ekonomi nasional. Dari beberapa penerapan metode antropometri di atas maka dapat dilihat bahwa metode cukup handal untuk mengukur status gizi anak sebagai indikator kualitas
anak.
Dan
didasarkan
pertimbangan
segi
keuntungan
metode
antropometri dengan memperhatikan kelemahan metode ini maka metode ini akan diterapkan dalam penelitian ini. Meskipun kebanyakan penelitian mengarahkan pengukuran kepada anak balita, maka dalam penelitian ini akan memusatkan pengukuran kepada anak sekolah lanjutan tingkat pertama. Kecerdasan Emosi Ketika para psikolog mulai menulis dan berpikir tentang inteligensi, mereka memfokuskan pada aspek kognitif, seperti memory dan pemecahan masalah. Bagaimanapun para peneliti yang mengenal awal terhadap aspek non
76
cognitif merupakan hal yang penting juga. Emotional Intelligence (EI) merupakan hal penting lainnya atau merupakan suatu prediktor yang lebih baik dalam melakukan pengukuran kecerdasan dan keberhasilan manusia. Pengertian EI pada awalnya dikenalkan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan konsep social intelligence – kemampuan bertindak secara bijaksana dalam berinteraksi dengan manusia lainnya. Kemudian tahun 1940 David Wechsler mengartikan kecerdasan sebagai kumpulan atau kemampuan menyeluruh dari individu untuk bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungan secara efektif (Cherniss 2000). Ia mengemukakan bahwa faktor non intellective sama pentingnya dengan faktor intellective, yang ia maksudkan adalah faktor affective, personal, dan sosial. Selanjutnya pada tahun 1943 ia membuat proposisi bahwa kemampuan non-intellective merupakan hal yang penting untuk memprediksi kemampuan seseorang dalam hal keberhasilan hidup. Istilah emotional intelligence dicipta oleh Peter Salovey dan John Mayer pada tahun 1990 dan yang kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam bestsellernya tahun 1995, Emotional Intelligence. (Aziz, tt). Ketika Salovey dan Mayer menciptakan istilah emotional intelligence pada tahun 1990, mereka tertarik pada karya-karya sebelumnya pada non-cognitive aspects dari kecerdasan. Mereka mendeskripsikan emotional intelligence sebagai suatu bentuk social intelligence yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, untuk membeda-bedakan antara emosi itu, dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan seseorang (Salovey and Mayer 1990). Pada awal tahun 1990an Daniel Goleman tertarik dengan karyanya Salovey dan Mayer yang kemudian mengilhami karya bukunya Emotional Intelligence. Menurut Goleman (1995), emotional intelligence adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Goleman mengemukakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Oxford Dictionary emosi diartikan
77
sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Sejumlah teoritikus menggolongkan emosi adalah sebagai berikut (Goleman 1995): o Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersiinggung, bermusuhan, dan barangkali yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis. o Kesedihan: pedih, sedih, muram, melankolis, mengsihani, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat. o Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut; sebagai patologi, fobia dan panik. o Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya, mania. o Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih. o Terkejut: terkejut, terkesiap, takjub, terpana. o Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah. o Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur. Orang perlu mempelajari emosi dirinya sendiri sejak muda (Goleman 1995). Karena, pada umumnya
keberhasilan dipikirkan sebagai kemampuan
seseorang yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi (IQ) yang dapat mengendalikan orang-orang atau uang. Hal ini membawa mentalitas masyarakat terhadap pengawasan yang tidak mengabaikan segi kata hati pada pengawasan hirarkis korupsi para politisi, tokoh yang tidak punya hatinurani, pelaksana periklanan yang sinis, eksekutif bisnis yang bermental chainsaw (Steiner 1997). Goleman (1998) mempopulerkan EQ dengan menunjukkan emotional intelligence sebagai kemampuan mengenal perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan mengelola emosi secara baik pada diri mereka sendiri dan hubungan antar emosi. EQ berbeda dengan IQ, namun EQ menunjang kecerdasan akademik, dimana secara murni kemampuan kognitif diukur dengan IQ. Dengan kata lain, EQ menentukan kemampuan belajar
78
ketrampilan sehari-hari yang didasarkan pada lima elemen: self awareness, motivation, self-regulation, empathy, dan adeptness in relationships. Emosi merupakan piranti agar membuat hidup ini berhasil dan bermakna. Akan tetapi ketidakmampuan mengendalikan emosi maka emosi akan menghasilkan kekacauan. Dalam kehidupan keseharian, emosi mempengaruhi hubungan kita dengan orang lain, identitas diri kita, dan kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas. Agar efektif, proses kognitif kita harus dikendalikan oleh emosi-emosi kita, sehingga emosi berfungsi positif untuk kita bukannya merugikan kita. Salovey (1990) menggabungkan karya beberapa peneliti untuk menentukan ukuran-ukuran penggunaan emosi secara efektif sebagai berikut: 1. Knowing one’s emotions: Self-awareness – mengenali perasaan yang terjadi – merupakan dasar dari EQ. Kemampuan untuk memonitor perasaan dari waktu ke waktu, segi kognitif sama baiknya dengan segi afektif, merupakan hal yang penting bagi tinjauan psikologi dan pemahaman diri sendiri. Ketidakmampuan membaca perasaan kita yang sebenarnya menjauhkan kia dari rasa belas kasihan. 2. Managing emotion: Penguasaan terhadap perasaan-perasaan agar perasaanperasaan tersebut memadai menjadi kemampuan untuk membangun selfawareness. Mempunyai kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari ketegangan yang hebat, kemuraman atau sifat lekas marah merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan dari penurunan dan gangguan kehidupan. 3. Motivating oneself: Penyusunan emosi-emosi untuk mencapai tujuan adalah penting diperhatikan, untuk penguasaan dan motivasi diri, dan untuk kreativitas. Pengendalian emosi diri – dengan penundaan kegembiraan dan mengikuti suara hati - mendasari pencapaian setiap jenis. Dan menemukan keadaan yang mengalir membuat mampu menyelesaikan berbagai ragam kinerja. Orang berketrampilan seperti ini lebih produktif dan efektif terhadap apa saja yang dilakukannya. 4. Recognizing emotions in others: Empathy merupakan kemampuan lain untuk membangun emotional self-awareness. Empathy tersebut merupakan dasar dari ketrampilan orang. Orang yang mampu menunjukkan empatinya membiasakan diri terhadap tanda-tanda sosial yang telah menyatu yang
79
menunjukkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang lain. Orang berkemampuan seperti ini cenderung lebih produktif dan efektif pada apapun yang ia kerjakan. 5. Handling Relationship: Bagian terbesar dari seni menjalin hubungan adalah ketrampilan didalam mengelola emosi terhadap orang lain. Kemampuan ini mendasari efektivitas kepemimpinan dan hubungan antar pribadi Upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosi dapat ditempuh melalui kurikulum
pendidikan.
Program
akademik
yang
menyertakan
pelatihan
Kecerdasan Emosi sebagai bagian dari kurikulum diciptakan oleh sekolah yang mempunyai pandangan kedepan seperti Nueva School di California (Stone 1978). Kurikulum self science di Nueva berkaitan dengan topik-topik sebagai berikut: 1. Self-awareness: melakukan observasi diri dan pengenalan perasaan diri; membangun perbendaharaan kata berkenaan dengan perasaan; mengenal hubungan antara pikiran, perasan, dan reaksi. 2. Personal decision-making: mengkaji tindakan diri dan mengenal akibatakibatnya; mengenal bahwa pikiran atau perasan menentukan pembuatan keputusan; menggunakan pemahaman tersebut terhadap masalah seperti seks dan obat-obatan. 3. Managing feeling: memperhatikan self talk untuk menangkap pesan-pesan negatif seperti memadamkan keadaan di dalam diri dengan mewujudkan apa yang ada di balik perasaan (yakni luka yang melandasi kemarahan); menemukan acra-cara untuk menangani rasa takut dan kawatir, marah, dan sedih. 4. Handling stress: belajar menghargai latihan, perbandingan pedoman, metode relaksasi. 5. Empathy: memahami perasaan dan perhatian orang lain dan dapat menghubungkan pada perspektif mereka; menyadari perbedaan dalam bagaimana orang merasakan sesuatu. 6. Communications: berbicara tentang perasaan secara efektif; belajar menjadi pendengar dan penanya yang baik; membedakan antara apa yang dilakukan dan dibicarakan seseorang dan reaksi diri sendiri atau penilaian tentang reaksi tersebut; pengiriman pesan diri sebagai ganti rasa malu
80
7. Self disclosure: penilaian terhdap keterbukaan dan pembangunan kepercayaan di dalam berhubungan dengan orang lain; mengetahui keadaan aman terhadap resiko membicarakan perasaan yang bersifat pribadi. 8. Insight: menlakukan identifikasi pola-polaemosi dan rekasi diri; mengenal pola-pola yang sama pada diri orang lain. 9. Self-acceptance: memiliki rasa harga diri dan memandang diri dalam sisi positif; mengenali kekuatan dan kelemahan diri; dapat tertawa terhadap diri sendiri. 10. Personal responsibility: mengambil tanggung jawab, mengenali akibat keputusan dan tindakan yang dibuat. Menerima perasaan dan suasan hati, mengikuti komitmen. 11. Assertiveness: menetapkan ketertarikan dan perasaan tanpa marah atau pasif. 12. Group dynamic: bekerjasama; mengenali dan bagaimana memimpin, kapan menjadi pengikut. 13. Conflict resolution: bagaimana bertarung secara fair dengan anak-anak yang lain, dengan orang tua, dengan guru; ini model win/win untuk melakukan negosiasi agar didapat kompromi
Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient) Tingkat kecerdasan menurut Binet dalam Hadisubrata (1989) adalah suatu kemampuan umum untuk memahami dan memecahkan persoalan dengan penalaran.
Utami Munandar (1992) dan Djamarah (2000) merumuskan
kecerdasan sebagai : a) kemampuan untuk berpikir abstrak, b) kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan kemampun untuk belajar, dan c) kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi baru.
Intelligence Quotien tersebut
merupakan kemampuan yang berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya (Barret 2004). Cattel (Wikipedia 2009) menciptakan teori untuk menjelaskan kecerdasan manusia mencakup fluid intelligence dan crystalized intelligence. Fluid intelligence dan crystalized intelligence merupakan faktor-faktor dari kecerdasan secara umum. Fluid intelligence merupakan kemampuan untuk menemukan makna dalam ketidakjelasan dan memecahkan permasalahan baru. Kemampuan
81
ini menggambarkan kesimpulan dan pemahaman hubungan-hubungan dari berbagai konsep, tidak tergantung pada pengetahuan yang diperlukan. Crystallized
intelligence
merupakan
kemampuan
untuk
menggunakan
ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman. Kecerdasan ini tidak dianggap sama dengan memori atau pengetahuan, namun kecerdasan ini mendasarkan pada pengaksesan informasi dari memory di masa yang lalu. Dengan kata lain kecerdasan ini diperoleh dari proses pembelajaran dan pengalaman hidup dan dapat meningkat selama manusia berusaha belajar. Cattel (iPedianet tanpa tahun) mengembangkan dan menemukan test IQ yang memisahkan faktor-faktor lingkungan dan genetik yaitu CFIT atau cultural fair intelligence test untuk mengukur kecerdasan manusia secara umum yang mencakup fluid intelligence dan crystallized intelligence. Klasifikasi IQ berdasarkan test CFIT skala 2A dapat diperiksa pada Tabel 1: Tabel 1 Klasifikasi Rendah Agak Rendah Cukup Cukup Tinggi Tinggi
Klasifikasi IQ IQ ≤ 79 81 - 89 90 – 109 110 – 130 >131
Alat test psikologi CFIT merupakan alat ukur dengan item-item yang berwujud gambar-gambar dengan skala 2 dan 3. Hoge (1999) menyebutkan bahwa dalam satu set alat test CFIT terdiri dari 4 subset sebagai berikut: Set 1: test series (series). Test series menguji kemampuan untuk membuat rangkaian menjadi sesuatu yang sistimatis. Set 2: test kalasifikasi (classification). Test klasifikasi adalah test kemampuan melakukan pengelompokkan gambar menjadi satu kesatuan yang memiliki kesamaan. Set 3: test matrik (matrices). Test matrik adalah test kemampuan melakukan pengelompokkan dengan ciri-ciri yang lebih khusus. Set 4: test persyaratan (condition): Test persyaratan adalah test kemampuan melakukan pengelompokkan dengan membedakan dengan lainnya.