7
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Megawangi (2007) menyatakan bahwa keluarga dimiliki sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan sosialisasi anak, serta mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam masyarakat. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa ada delapan fungsi keluarga yaitu keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, sosialisasi dan pendidikan, reproduksi, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Pengasuhan merupakan salah satu bentuk keluarga untuk memenuhi tanggung jawab pemeliharaan terhadap anaknya. Menurut Berns (1997), keluarga memiliki fungsi ekonomi, sosialisasi/pendidikan, peran sosial, dan reproduksi.
Nilai Anak Nilai adalah sesuatu yang dipercaya oleh seseorang maupun masyarakat yang berlaku secara umum (Berry et al. 1999). Nilai anak merupakan fungsi anak dalam melayani atau mememenuhi kebutuhan orang tua (Hoffman & Hoffman 1973) diacu dalam (Trommsdorff & Nauck 2005). Anak merupakan sumberdaya yang utama dan berharga, anak merupakan representasi orang tua di masa depan. Secara alami orang tua mengangap anak merupakan nilai investasi yang paling efisien pada masa yang akan datang yang meliputi nilai psikologis dan nilai materi. Investasi yang ditanamkan orang tua pada anak diwujudkan dalam proses pengasuhan yang baik, perawatan, pendidikan di sekolah, dan pemenuhan gizi seimbang yang terdapat dalam menu makanan sehari-hari demi perkembangan anak yang maksimal (Becker & Murphy 1995). Menurut Hoffman dan Hoffman (1973), diacu dalam Santrock (2007), nilai anak adalah harapan orang tua terhadap anak yang terdiri dari nilai psikologi (anak sebagai sumber kepuasan), nilai sosial (anak sebagai pencegah perceraian
8
dan meningkatkan status sosial keluarga), dan anak sebagai nilai ekonomi yaitu sebagai investasi jangka panjang untuk meningkatkan ekonomi keluarga dimasa yang akan datang. Presepsi dan harapan orang tua pada anak berbeda di berbagai budaya. Persepsi orang tua terhadap nilai anak mempengaruhi pola asuh dalam keluarga (Myers 1992). Hasil penelitian Hartoyo (1998) juga mengungkapkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh menyetujui bahwa anak sebagai nilai psikologi antara lain memperkuat ikatan perkawinan, dan merupakan suatu tujuan utama yaitu memberikan hiburan dan kebahagiaan, anak juga dapat menjamin ketenangan orang tua dimasa tuanya. Hal senada juga disampaikan Sunarti (2008) yaitu pada dimensi emosi anak dipandang dapat membuat hidup terasa lengkap dan memberikan kebahagiaan pada orang tua, pada dimensi sosial anak diyakini dapat menggantikan peran orang tua dalam masyarakat dan dapat meningkatkan status sosial orang tua, pada dimensi ekonomi diyakini bahwa anak dapat memberikan bantuan ekonomi dihari tua dan membantu adik-adiknya sekolah ketika anak sudah dewasa dan bekerja bahkan sejak kecil anak diharapakan dapat meringankan beban pekerjaan orang tua, baik di rumah ataupun di tempat kerja. Orang tua mengharapkan anaknya untuk belajar mengenai nilai-nilai yang lebih kompleks sebagai bekal hidup sebelum memasuki lingkungan yang lebih luas jika dibandingkan dengan keluarga. Harapan-harapan orang tua tersebut yang memberikan motivasi kepada anak untuk belajar berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Hurlock 1991). Namun terkadang potensi yang dimiliki oleh anak tidak sesuai dengan harapan orang tua, hal ini akan mempengaruhi pengasuhan terhadap anak. Orang tua harus menetapkan harapan-harapan yang realistis sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya sehingga memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya dan dengan demikian mendorong anak untuk membentuk konsep diri yang baik (Hurlock 1991). Hasil penelitian Hernawati (2002) menemukan bahwa orang tua tidak membedakan jenis kelamin anak dalam memberikan penilaian terhadap anak, baik nilai psikologi, nilai sosial, nilai ekonomi, dan nilai religius. Sebagian besar
9
contoh dalam penelitian tersebut memiliki nilai yang sama baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan.
Kualitas Pengasuhan Anak Pengasuhan adalah segala perlakuan yang diberikan orang tua kepada anaknya sehingga anak menjadi orang yang bertanggung jawab, memiliki nilainilai yang baik dan menjadi bagian dari masyarkat yang berbudi pekerti yang berlangsung sejak masa prenatal hingga dewasa. Caplan dan Caplan (1983) menyatakan bahwa peran pengasuhan tidak diperoleh secara otomatis namun melalui proses yang dipelajari sepanjang waktu meliputi pengetahuan, pengalaman dan keahlian. Proses pengasuhan dipengaruhi oleh interaksi ibu dan anak secara timbal balik dan stimulasi psikososial. Interaksi ibu dan anak adalah salah satu lingkungan pengasuhan anak yang merupakan faktor eksternal dan yang paling berpengaruh terhadap perkembangan anak (Satoto 1990). Interaksi tersebut dilakukan secara timbal balik, interaksi yang terjadi dalam pengasuhan yaitu interkasi antara ibu dan anak, ayah dan anggota keluarga lainnya. Hubungan yang harmonis dalam keluarga dapat menumbuhkan suasana yang kondusif dan akan mempengaruhi kualitas pengasuhan (Hurlock 1991). Lingkungan keluarga merupakan suatu bentuk stimulasi psikososial yang merupakan tempat pertama dan utama dalam menstimulasi tumbuh kembang anak (Soetjiningsih 1995). Berdasarkan aspek lingkungan keluarga yang dibutuhkan anak, Cadwell dan Bradley (1984) mengembangkan HOME (Home Observation for the Measurement of the Environment) untuk anak bayi dan batita (bawah tiga tahun), anak 3-6 tahun, dan anak usia sekolah dasar. Aspek HOME untuk anak sekolah dasar meliputi: emosi dan tanggung jawab verbal, dorongan untuk kematangan anak, suasana emosi, mendorong pengalaman anak dan penyediaan material, ketersediaan stimulasi aktif, partisipasi keluarga dalam pengalaman yang penuh stimulasi, keterlibatan ayah, dan aspek lingkungan fisik. Hasil penelitian longitudinal dan komrehensif dari National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) tahun 2001, 2002, 2003, dan 2005, diacu dalam Santrock (2007) yang mengevaluasi kualitas pengasuhan
10
berdasarkan beberapa karakteristik, jumlah anggota keluarga, rasio anak dan orang tua dewasa, lingkungan fisik, karakteristik pengasuh (seperti pendidikan, pelatihan, dan pengalaman pengasuhan) dan juga perilaku pengasuh (seperti sensitifitas terhadap anak-anak). Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa anak dari keluarga dengan penghasilan rendah mendapatkan pengasuhan dengan kualitas
yang
lebih rendah dibandingkan dengan anak
dari keluarga
berpengahasilan tinggi. Ketika kualitas pengasuhan tinggi, anak akan lebih baik dalam tugas kognitif dan bahasa, lebih kooperatif terhadap ibu ketika bermain, menunjukkan interaksi yang positif dan terlatih dengan teman sebaya, dan memiliki masalah perilaku yang lebih sedikit.
Perkembangan Anak Anak Usia Sekolah Perkembangan diartikan sebagai serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman, perkembangan berlangsung secara berkesinambungan dalam diri individu mulai dari lahir hingga meninggal (Hurlock 1991). Perubahan dan stabilitas muncul kedalam beberapa dimensi perkembangan, seperti perkembangan kognitif dan perkembangan sosial dan perkembangan emosional anak. Perkembangan sosial anak pada usia sekolah (6-12 tahun) ditandai dengan hubungan yang luas dengan teman sebayanya. Selain keluarga anak juga membentuk ikatan baru dengan teman sebaya (peer group) atau teman sekelasnya, sehingga ruang gerak hubungan sosialnya menjadi lebih luas. (Papalia, Olds & Feldman 2009). Teori perkembangan psikososial Erik Erikson menempatkan anak usia sekolah pada tahap industri versus perasaan rendah diri (industry versus inferiority). Pada tahapan ini, imajinasi dan antusias anak meningkat. Anak mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Hal yang membahayakan dalam tahapan ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif pada anak (Santrock 2007). Vineland Sosial Maturity Scale (Doll 1953) dapat digunakan untuk mengukur perkembangan sosial anak usia sekolah. Aspek yang diukur pada instrumen sosial ini mencakup kemandirian umum, kemandirian dalam makan,
11
minum, berpakaian, kemandirian dalam mengatur diri, pekerjaan, komunikasi, kemandirian bergerak serta kemandirian dalam bergaul. Anak usia sekolah adalah anak yang berada periode aktif dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan sosial (Turner & Helms 1991). Anak usia sekolah dalam teori kognitif Piaget termasuk pada tahapan operasional konkret (concrete operations). Anak bisa menggunakan berbagai operasi mental seperti penalaran, memecahkan masalah-masalah konret (nyata). Anak-anak usia ini dapat berfikir logis karena anak tidak terlalu egosentris dari usia sebelumnya dan dapat mempertimbangkan banyak aspek dari berbagai macam situasi (Papalia, Olds & Feldman 2009). Perkembangan
emosional
anak
usia
sekolah
telah
dapat
menginternalisasikan rasa malu dan bangga serta dapat memahami secara lebih baik dan mengatur emosi negatif sehingga empati dan perilaku sosial meningkat. Selain dengan lingkungan rumah, kelompok teman sebaya menjadi lebih penting pada anak usia sekolah, kelompok teman sebaya umumnya terdiri dari persamaan usia, jenis kelamin, suku bangsa, dan status sosial ekonomi serta kedekatan tempat tinggal dan sering berangkat ke sekolah bersama. Kelompok sebaya membantu anak mengembangkan keterampilan sosialnya, hal ini dapat membantu mengembangkan konsep diri dan indentitas gender (Papalia, Olds & Feldman 2009). Menurut Mayer & Salovey (1997), diacu dalam Mayer, Caruso, dan Salovey (2000) kecerdasan emosi adalah kemampuan individu untuk mengenali, menggunakan dan mengekspresikan emosi;
kemampuan individu untuk
mengikutsertakan emosi sehingga memudahkan ia dalam melakukan proses berpikir; kemampuan individu untuk memahami emosi dan pengetahuan mengenai emosi; serta kemampuan
individu dalam meregulasi emosi untuk
mengembangkan emosi dan menampilkan tingkah laku yang sesuai dengan tuntutan lingkungan. Berdasarkan definisi tersebut emotional intelligence dibagi kedalam empat dimensi, yaitu: Persepsi Emosi, Integrasi Emosi, Pemahaman Emosi dan Pengaturan Emosi, Berdasarkan Meyer dan Salovey (1997), Goleman (2007) menempatkan kecerdasan emosional ke dalam lima dimensi utama yaitu:
12
Kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan membina hubungan sosial. Setiap tahap perkembangan memiliki tugas yang harus dilakukan. Menurut Havighurst (1976), diacu dalam Hurlock (1991), tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan individu pada masa kanak-kanak (6-12 tahun), yaitu (1) mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum, (2) membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, (3) belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya, (4) mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat, mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung, (5) mengembangkan pengertian-pengertian yang yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, (6) mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata nilai, (7) mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga, dan (8) mencapai kebebasan pribadi.