TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga adalah suatu kelompok orang yang terdiri dari suami isteri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan perempuan yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi untuk mencapai tujuan bersama. Keluarga menurut U.S Census Bureau adalah dua atau lebih orang-orang yang memiliki hubungan darah, adopsi atau perkawinan yang tinggal dalam satu rumah tangga (Saxton, 1990). Menurut Undang Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, berjumlah delapan yang meliputi fungsi-fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik yang terdiri atas fungsi keagamaan, sosial, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Rice & Tucker (1986), fungsi keluarga terdiri dari fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental adalah manajemen sumber daya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak serta dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Fungsi ekspresif adalah memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Orangtua didefinisikan sebagai individu yang merawat seluruh segi dari pertumbuhan anak, yang mengasuh, melindungi dan membimbing kehidupan baru melalui tahap-tahap perkembangan (Brooks, 2001). Menurut para ahli sosial, tugas utama orangtua adalah untuk menyediakan kebutuhan fisik (makanan, tempat tinggal, pakaian) dan emosional (cinta, kasih sayang, perhatian dan pengasuhan yang sensitif dan responsif) anak; perlindungan dan keamanan; stimulasi yang pantas dan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan fisik, intelektual dan sosial; nilai dan moral dan teladan sebagai anggota yang bahagia dan berkontribusi terhadap keluarga dan masyarakat (Brooks, 2001). Secara umum, orangtua memiliki tiga tujuan utama dalam pengasuhan anak
yaitu
menjamin
kesehatan
fisik
dan
kelangsungan
hidup
anak,
9 mempersiapkan anak untuk menjadi orang dewasa yang mandiri secara ekonomi dan mendorong perilaku personal dan sosial yang positif, misalnya penyesuaian psikologis, kompetensi intelektual dan kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan teman (Brooks, 2001).
Teori Keluarga Struktural Fungsional Dalam kajian keluarga, salah satu grand theory yang menjadi landasan pengembangan kajian yang dilakukan adalah teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional menitikberatkan pada struktur dan fungsi dari sebuah sistem. Teori ini bersumber dari filsafat Platonik, yaitu filsafat yang mengakui kebenaran adanya pembagian tugas (Megawangi, 2005). Perspektif teori struktural fungsional pada awalnya dikembangkan untuk menganalisa keadaan sosial kemasyarakatan secara umum (Klein & White, 1996). Pendekatan teori struktural fungsional yang merupakan teori sosiologi kemudian lebih lanjut dikembangkan oleh Ogburn dan Parsons dalam institusi keluarga
karena
keluarga
sebagai
sebuah
institusi
dalam
masyarakat
mempunyai prinsip-prinsip serupa dengan yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mempunyai warna yang jelas yaitu mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat pada akhirnya, keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Struktur dan fungsi ini tidak pernah lepas dari pengaruh budaya, norma dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi, 2005). Menurut Parsons, fungsi keluarga pada zaman modern terutama dalam hal sosialisasi anak dan manajemen tekanan untuk masing-masing anggota keluarga, justru akan semakin terasa penting. Keluarga tidak bersifat statis atau tidak dapat berubah, melainkan keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan atau suatu kondisi yang disebut dynamic equilibrium. Perspektif teori struktural fungsional terhadap keluarga menganggap keluarga sebagai salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat misalnya sistem ekonomi, politik, pendidikan dan agama. Dalam interaksinya dengan subsistemsubsistem tersebut, keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat atau equilibrium state (Megawangi, 2005). Teori struktural fungsional memiliki enam konsep yaitu struktur organisasi yang jelas, diferensiasi peran, menjalankan fungsi atau tugas-tugas, mempunyai
10 h diikutii dan penca apaian tujuan (Megaw wangi, aturan, nilai dan norrma yang harus alam keluarrga menuru ut perspektiff struktural fungsional, harus terd dapat 2005). Da struktur hirarkis yang g menganu ut paham konservatif bahwa b pria a adalah pe encari an wanita sebagai ibu rumah ta angga (Bosss, 1993). Setiap ang ggota nafkah da keluarga memiliki pe eran, fungssi serta tug gas masing g-masing yyang diatur oleh suatu aturran keluarg ga yang sesuai denga an nilai dan n norma da alam masya arakat dan memp punyai tujua an untuk me encapai keh harmonisan n dan keseim mbangan.
Teori Eko ologi Kelua arga Psikkolog
pe erkembanga an
Bronffenbrenner
(1979)
ndang meman
perkemba angan anakk dalam perrspektif eko ologi. Anak selalu berrkembang dalam d konteks hubungan se eperti kelua arga dan ba ahwa perke embangan m merupakan hasil a denga an keluarga a kandung dan komp ponen lain d dari masya arakat interaksi anak (Klein & White, 199 96). Bronfe enbrenner meyakini bahwa b kontteks sosiall dari interaksi dan penga alaman individu mene entukan sejjauh mana a individu dapat d mengemb bangkan da an menyad dari kemam mpuan me ereka dan model ek kologi perkemba angan manusia yang dikembang gkannya me empelajari manusia dalam d lingkungan
sosial
yang
beragam
(B Berns,
199 97).
Berda asarkan
model m
Bronfenbrrenner, terd dapat empa at struktur dasar (sisttem lingkun ngan) dimana di dalamnya terjadi hu ubungan dan interaks si yang membentuk m pola-pola yang garuhi perke embangan manusia. m Keempat K stru uktur dasarr tersebut ad dalah mempeng mikrosiste em, mesosisstem, eksossistem, dan makrosiste em.
Gambar 1 Model ekologi perkem mbangan ma anusia Bron nfenbrennerr (Sumber: htttp://www.em meraldinsight.com)
11 1. Mikrosistem Lapisan pertama ini adalah lingkungan yang langsung mempengaruhi anak seperti misalnya keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan lingkungan tetangga. Perkembangan anak dipengaruhi oleh interaksinya dengan komponen dalam mikrosistem. 2. Mesosistem Lapisan kedua adalah mesosistem yang terdiri dari hubungan dan interaksi antara dua atau lebih mikrosistem yang mempengaruhi perkembangan anak, misalnya hubungan keluarga dengan sekolah atau keluarga dengan kelompok teman sebaya anak. 3. Eksosistem Lapisan ketiga ini adalah sistem dimana anak tidak berpartisipasi secara langsung namun mempengaruhi perkembangannya di dalam salah satu mikrosistemnya. Yang termasuk dalam eksosistem misalnya tempat kerja orang tua, keluarga besar, dan media massa. 4. Makrosistem Makrosistem adalah sistem budaya dimana anak tinggal dimana nilai, gaya hidup, pilihan, dan pola interaksi sosial mempengaruhi anak dan keluarga. Menurut
Couchenour
&
Chrisman
(2004),
teori
bioecological
Bronfenbrenner menyediakan dukungan substansial terhadap praktek melibatkan keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan anak sejak usia dini. Keluarga termasuk dalam mikrosistem yang merupakan pengaruh pertama dan langsung terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu, orang tua harus memperhatikan pengasuhan yang tepat untuk mengoptimalkan perkembangan anak.
Gaya Pengasuhan Pengasuhan anak yang tepat terdapat dalam keluarga yang sehat (healthy family). Keluarga disebut sehat jika memiliki karakteristik umum tertentu yaitu menunjukkan cinta dan penerimaan, saling berkomunikasi, kesatuan atau keeratan hubungan antar anggota keluarga, komunikasi nilai dan standar dan kemampuan untuk mengatasi masalah dengan efektif. Cinta dan penerimaan ditunjukkan dalam keluarga secara fisik (tersenyum, memeluk, menyentuh) dan verbal (perkataan positif yang menunjukkan penghargaan). Komunikasi dalam keluarga ditunjukkan oleh anggota keluarga secara spontan, jujur, terbuka dan penuh penerimaan dan konflik yang terjadi dalam keluarga diselesaikan dengan
12 baik. Kesatuan dan keeratan keluarga terlihat dari kegiatan bersama yang dilakukan oleh keluarga namun kegiatan pribadi dan kemandirian tiap anggota keluarga juga dihargai. Orang tua dalam keluarga yang kuat dan sehat mengkomunikasikan nilai-nilai dan batasan yang jelas bagi anak-anak mereka, termasuk di dalamnya konsekuensi, toleransi dan rasa hormat. Orangtua adalah teladan
bagi
anak-anak.
Permasalahan
yang
dihadapi
dalam
keluarga
diselesaikan dengan optimis dan ada dukungan dari tiap anggota keluarga (Berns, 1997). Hubungan antara anak dengan keluarga adalah hal yang sangat penting bagi perkembangannya. Pendekatan orang tua yang hangat dan peduli terhadap anak, ekspektasi mereka dari anak, komunikasi dan sikap disiplin dari orang tua membentuk sikap pengasuhan anak oleh orangtua (Bartell, 2005). Darling dan Steinberg (1993) membuat konseptualisasi mengenai gaya pengasuhan sebagai kumpulan sikap terhadap anak yang dikomunikasikan kepada anak dan menciptakan
iklim
emosional
yang
di
dalamnya
perilaku
orang
tua
terekspresikan. Gaya pengasuhan orang tua dapat mempengaruhi anak dalam hal karakteristik kepribadian dan penyesuaian diri terhadap lingkungan (Locke, 2002). Selain itu, gaya pengasuhan yang tepat penting untuk mendukung kompetensi anak. Baumrind menyatakan dalam teorinya “Family Attitudes” (1967) bahwa terdapat tiga tipe gaya pengasuhan yaitu authoritarian atau otoriter, permissive atau permisif, dan authoritative atau otoritatif (Lamb & Baumrind, 1978). Ketiga gaya pengasuhan ini berdasarkan dua konstrak ortogonal dari perilaku pengasuhan
yaitu
demandingness
dan
responsiveness.
Demandingness
mengacu pada seberapa jauh orang tua menunjukkan kontrol, kekuasaan, pengawasan, tuntutan kedewasaan, dan menetapkan batasan. Responsiveness mengacu pada seberapa jauh orang tua menunjukkan kehangatan kasih sayang dan
penerimaan
terhadap
anak
mereka,
memberikan
dukungan
dan
menjelaskan alasan. Gaya pengasuhan otoriter yaitu orang tua memiliki tingkat demandingness yang tinggi dan responsiveness yang rendah, gaya pengasuhan permisif menunjukkan orang tua memiliki tingkat demandingness rendah dan responsiveness yang tinggi, dan gaya pengasuhan otoritatif adalah gaya pengasuhan
dimana
orang
tua
memiliki
tingkat
demandingness
dan
responsiveness yang tinggi. Berikut tiap gaya pengasuhan tersebut dijelaskan satu persatu.
13 Gaya pengasuhan otoriter merupakan gaya pengasuhan yang mengontrol perilaku anak dengan tegas, berorientasi kekuasaan, menuntut ketaatan dan tanpa memperhatikan karakteristik individual anak. Orang tua
tipe ini
menekankan pada kontrol tanpa sikap mengasuh dan dukungan terhadap anak (Brooks, 2001), menilai perilaku dan sikap anak dengan standar absolut serta menghargai ketaatan, rasa hormat terhadap otoritas dan tradisi (Berns, 1997). Peraturan dan batasan yang ditetapkan orang tua bersifat kaku dan dibentuk dengan tingkat otoritas yang tinggi. Dalam gaya pengasuhan tipe ini, yang bernilai bagi orang tua adalah ketaatan anak tanpa bertanya dan orang tua ikut campur dan membatasi perilaku anak tanpa ragu untuk kebaikan anak (Önder & Gülay, 2009). Orang tua tipe ini tidak memberi dukungan dan kekuatan bagi anak dan percaya bahwa apa yang mereka katakan harus diterima oleh anak sebagai kebenaran (Bartell, 2005). Meskipun tingkat kepedulian terhadap anak rendah, orang tua memiliki tingkat tertinggi dari kontrol (Johnson, 2006). Mereka menerapkan hukuman verbal dan nonverbal (fisik) untuk mengatasi perilaku anak yang tidak diinginkan dan tidak memuji perilaku positif serta mengalami stress dalam hal menghilangkan perilaku anak yang tidak diharapkan (Lamb & Baumrind 1978). Dalam gaya pengasuhan otoriter, orang tua memiliki ekspektasi terhadap anak di luar kemampuan nyata anak (Cunningham, 1993), tidak menyukai
perubahan
dan
memutuskan
sesuatu
dengan
cepat
tanpa
mengevaluasi pengaruh dari keputusan mereka terhadap anak (Locke, 2002). Anak-anak yang diasuh dengan pola otoriter cenderung tidak bahagia, menarik diri, dan penuh rasa curiga (Brooks, 2001), serta penuh rasa takut, tidak memiliki tujuan dan tidak puas (Berns, 1997). Hasil penelitian Lamborn et al. (1991) menunjukkan bahwa remaja dari orang tua otoriter cukup berprestasi secara akademik tetapi rendah kepercayaan dirinya (tingkat self reliance dan self concept rendah). Gaya pengasuhan permisif merupakan gaya pengasuhan dimana orang tua menunjukkan penerimaan dan menyetujui segala tingkah laku anak dan memberikan kebebasan sepenuhnya (Brooks, 2001) tanpa melihat akar atau sumber permasalahan/perilaku (Önder & Gülay, 2009). Orang tua tipe ini tidak mengontrol dan tidak menuntut apapun (Berns, 1997), bersikap masa bodoh dan tidak terlibat, tidak pernah menetapkan aturan dan memberikan pengarahan kepada
anak
(Brooks,
2001).
Meskipun
perilaku
anak
membahayakan
lingkungannya, orang tua tetap menerima perilaku tersebut dan tidak dapat
14 membujuk anak untuk menaati peraturan (Önder & Gülay, 2009). Meskipun orang tua memiliki kemampuan untuk mengasuh anak, namun mereka memiliki kompetensi yang rendah untuk mengendalikan perilaku anak-anak mereka (Johnson, 2006; Mussen et.al., 1990). Orang tua memberikan tingkat kebebasan yang tinggi dan tingkat disiplin yang rendah serta memiliki ekspektasi yang rendah terhadap anak-anak mereka (Cunningham, 1993). Anak-anak yang diasuh dengan gaya permisif cenderung tidak mandiri, impulsif, agresif, tidak berani bereksplorasi dan memiliki kendali diri yang lemah (Berns, 1997). Gaya pengasuhan otoritatif mempunyai karakteristik mengatur namun fleksibel, menuntut namun rasional, hangat, menerima komunikasi dari anak dan menghargai disiplin, kemandirian dan keunikan. Orangtua menentukan batasan dan aturan yang jelas dalam keluarga namun tetap menerima komunikasi dan bertoleransi terhadap anak (Hurlock, 1997). Peraturan yang ditetapkan bersifat terbuka, jelas, dapat didiskusikan, dan siap untuk diubah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan. Peraturan dapat diatur kembali karena bersifat fleksibel (Mussen et al., 1990). Hubungan antara orang tua dan anak adalah hubungan yang dekat dan orang tua menerapkan pendekatan kooperatif dan peka terhadap anak dan mendukung anak dengan ekspresi verbal dan fisik (Önder & Gülay, 2009). Ekspektasi orang tua dihubungkan dengan kompetensi anak (Johnson, 2006; Lamb & Baumrind, 1978) dan orang tua menyadari akan ide, perasaan, dan sikap anak dan menghormatinya (Bartell, 2005). Gaya pengasuhan otoritatif ini akan menghasilkan perilaku anak yang mandiri, eksploratif, percaya diri dan kooperatif (Berns, 1997). Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan hubungan antara gaya pengasuhan orang tua dengan perkembangan remaja, misalnya hubungan yang positif antara pengasuhan oleh orang tua dengan self esteem (Hopkins & Klein, 1994 dalam Berns, 1997) dan gaya pengasuhan otoritatif yang dapat mendukung konsep diri remaja (Papalia et.al, 2008). Suatu survey kuesioner terhadap 8700 remaja Sekolah Menengah Atas di Amerika menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat keterlibatan, pemberian otonomi, dan struktur yang dirasakan remaja dari orang tua mereka, maka semakin positif remaja menilai tingkah laku mereka secara umum, perkembangan psikososial, dan kesehatan mental (Gray & Steinberg, 1999, dalam Papalia et.al, 2008). Remaja dengan orang tua yang tegas dalam menentukan peraturan tingkah laku, memiliki tingkat disiplin diri yang lebih tinggi dan masalah tingkah laku yang lebih sedikit dibandingkan
15 mereka yang memiliki orang tua dengan gaya pengasuhan permisif. Remaja yang orangtuanya memberikan otonomi psikologis cenderung memiliki tingkat penghargaan diri yang tinggi dan kompeten dalam bidang akademik dan sosial. Para remaja ini ingin meraih pencapaian dan percaya bahwa mereka mampu melakukannya (Papalia et.al, 2008). Baumrind
(1967,
1991)
dalam
penelitiannya
menemukan
bahwa
authoritative parenting berhubungan dengan kematangan psikososial, kerjasama dengan peer dan orang dewasa, dan sukses di bidang akademik. Hasil penelitian Lamborn et al. (1991) menunjukkan bahwa remaja dengan orang tua permisif memiliki skor rendah dalam beradaptasi dan remaja dari orang tua otoriter cukup berprestasi secara akademik tetapi rendah kepercayaan dirinya (tingkat self reliance dan self concept rendah). Penelitian Birndorf et al. (2005) menunjukkan bahwa salah satu penyebab tingkat self esteem yang tinggi pada remaja akhir baik laki-laki maupun perempuan adalah komunikasi keluarga yang positif. Penelitian membuktikan bahwa gaya pengasuhan berpengaruh terhadap kesehatan mental remaja (Fletcher et.al, 1999). Werner dan Smith (1982) menemukan bahwa anak-anak yang ditangani secara positif oleh ibu mereka melalui penerimaan, kebaikan, kontrol dan dukungan menunjukkan tingkat resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak mengalami pengasuhan seperti itu. Ritter (2005) menemukan bahwa gaya pengasuhan otoritatif berhubungan dengan tingkat resiliensi yang tinggi, sedangkan gaya pengasuhan otoriter dan permisif paling sering dihubungkan dengan partisipan yang memiliki tingkat resiliensi rendah. Orang tua yang otoritatif memperhatikan kebutuhan anak dan hal tersebut menolong anak untuk menguasai tugas perkembangan tahap awal dan mengembangkan kapasitas yang beragam dan kompleks yang diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan lingkungan (Wyman et al., 1999). Keluarga juga dapat menjadi faktor resiko. Remaja yang tumbuh dalam keluarga yang memiliki tingkat stres yang kronis cenderung mengembangkan masalah sosial emosi yang serius (Jaffe, 1998) sehingga mempengaruhi kemampuan remaja untuk mengatasi stres. Menurut Stevens (2008), mengaplikasikan gaya pengasuhan otoritatif adalah strategi yang telah terbukti sebagai praktek pengasuhan yang berhubungan dengan pengembangan kepercayaan diri, resiliensi, dan kapasitas untuk tindakan moral.
16 Metode Sosialisasi Orang Tua Fungsi sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua merupakan salah satu dari delapan fungsi keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Menurut Rice dan Tucker (1986), sosialisasi termasuk dalam fungsi instrumental maupun fungsi ekspresif keluarga. Fungsi instrumental mempunyai pengertian yaitu manajemen sumber daya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak serta dukungan dan pengembangan anggota keluarga. Sedangkan fungsi ekspresif adalah memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak (Sunarti, 2001). Ditinjau dari definisi, sosialisasi (socialization) adalah proses interaksi sosial yang melaluinya manusia sejak lahir memperoleh pengetahuan, sikap, nilai, perilaku, dan keterampilan-keterampilan yang penting untuk berfungsi sebagai makhluk sosial dan partisipan yang efektif dalam masyarakat (Berns, 1997; Zanden, 1986). Dengan kata lain, sosialisasi adalah proses yang membuat manusia menjadi manusiawi, karena itu sosialisasi merupakan proses kompleks yang
berkelanjutan
dan
berlangsung
seumur
hidup.
Tanpa
sosialisasi,
pembaharuan budaya tidak dapat berlangsung antar generasi, artinya, baik individu maupun masyarakat sama-sama tergantung pada sosialisasi (Zanden, 1986). Jadi, sosialisasi tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dan selalu mensyaratkan adaptasi yang terus-menerus dari manusia. Dalam masyarakat yang beragam dan maju dalam teknologi, maka semakin banyak yang harus dipelajari anak untuk dapat beradaptasi secara efektif. Semakin banyak agen dan pengalaman sosialisasi, maka semakin lama sosialisasi akan berlangsung (Berns, 1997). Sosialisasi manusia mensyaratkan dua hal yaitu warisan genetik yang cukup dan lingkungan yang memenuhi syarat. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa kemanusiaan merupakan produk dari faktor-faktor genetik dan lingkungan (Zanden, 1986). Dalam
konteks
perkembangan
anak,
seiring
dengan
tahap-tahap
perkembangan yang dilaluinya, perilaku anak semakin tidak tergantung pada proses genetik (fisik dan kimia) dalam dirinya, melainkan semakin tergantung pada
proses
pembelajaran
(Zanden,
1986)
dari
lingkungannya.
Untuk
beradaptasi dengan lingkungan, individu harus dapat berkomunikasi satu sama lain, seperti yang dinyatakan oleh Grimshaw (1980) bahwa seluruh interaksi sosial melibatkan komunikasi. Definisi komunikasi adalah proses yang di
17 dalamnya manusia menyampaikan informasi, ide, sikap, dan kondisi mental terhadap satu sama lain. Komunikasi melibatkan proses verbal dan non verbal yang digunakan untuk mengirimkan dan menerima pesan (Zanden, 1986). Berkaitan dengan hal ini, penanaman nilai moral oleh orang tua terhadap anak juga disampaikan melalui komunikasi baik dalam bentuk verbal maupun non verbal. Anak disosialisasikan oleh banyak orang dalam masyarakat yang disebut sebagai agen sosialisasi, yaitu keluarga (orang tua, saudara kandung, kerabat lainnya), guru, peer group, pelatih, bahkan karakter yang diteladani dari media (televisi, film, buku, internet). Setiap agen sosialisasi menerapkan berbagai macam teknik dengan tujuan mempengaruhi anak untuk bersikap, bertindak dan merasa berdasarkan apa yang patut. Kepercayaan agen akan sesuatu yang patut merupakan hasil dari proses sosialisasi yang telah mereka alami sendiri yaitu nilai, moral, sikap, dan konsep diri. Anak dan lingkungan juga memainkan peranan dalam sosialisasi. Perilaku anak dapat mempengaruhi orang lain untuk bersikap dalam cara tertentu dan lingkungan juga berperan dalam sosialisasi melalui keadaan lingkungan (setting), peran, dan interaksi (Berns, 1997). Lebih spesifik ke dalam peran keluarga atau orang tua dalam sosialisasi anak, Saxton (1990) menyatakan bahwa pentingnya keluarga terlihat dari fungsi utama keluarga, termasuk di dalamnya produksi dan sosialisasi anak. Keluarga memainkan peran utama sebagai agen pertama untuk menginternalisasi norma budaya dan sosial ke dalam diri anak, dan karenanya membentuk garis besar masyarakat dalam generasi selanjutnya. Mode berpikir dan berperilaku, sistem nilai,
dan
standar
etika
cenderung
dapat
menjadi
kebiasaan
ketika
diinternalisasikan kepada anak sejak dini dan menjadi dasar bagi sikap dan perilaku di masa yang akan datang. Berns (1997) menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan pendahuluan/perkenalan anak dengan masyarakat, dan karena itu memiliki tanggung jawab yang besar dalam mensosialisasikan anak. Keluarga merupakan sistem interaksi dan hubungan dalam keluarga memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkembangan psikososial anak. Dalam hal nilai atau norma, keluarga merupakan kelompok pertama referensi bagi anak. Hal ini sesuai dengan teori Bronfenbrener bahwa keluarga adalah lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan anak. Menurut Berns (1997), terdapat enam metode sosialisasi yang dilakukan orang tua terhadap anak yaitu metode affective, operant, observational,
18 cognitive, sociocultural, dan apprenticeship. Keenam metode tersebut berbeda dalam sumber yang menghasilkan perilaku atau sikap penanda berhasilnya sosialisasi dengan efektif. 1. Metode sosialisasi affective (afektif) mengacu kepada perasaan atau emosi. Pembentukan seorang anak, baik disengaja maupun tidak, dihasilkan melalui interaksi antar pribadi yang menghasilkan attachment (kelekatan). Elkin dan Handel (1989) menyatakan bahwa sosialisasi dimulai dengan adanya personal attachment. Dalam metode sosialisasi ini, perilaku dihasilkan dari perasaan (feeling). 2. Metode sosialisasi operant mengacu pada menghasilkan suatu efek atau pengaruh dengan keyakinan bahwa ketika suatu perilaku diikuti oleh hasil yang diinginkan, maka kemungkinan perilaku tersebut berulang akan meningkat. Sebaliknya, jika suatu perilaku diabaikan atau diikuti oleh hasil yang tidak diinginkan, maka kemungkinan perilaku tersebut berulang akan menurun. Hal ini berdasarkan teori behaviorism yang meyakini individu sebagai responden dan perilaku dikendalikan oleh lingkungan (Papalia et.al., 2008). Beberapa teknik sosialisasi untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan adalah melalui reinforcement (penguatan) baik positif maupun negatif, extinction (hilangnya suatu perilaku akibat hilangnya penguatan), punishment (hukuman), feedback (informasi evaluatif mengenai perilaku yang bersifat positif maupun negatif), learning by doing (melalui pengalaman dan interaksi). Dalam metode sosialisasi ini, perilaku dihasilkan dari berbuat sesuatu (acting). 3. Dalam metode sosialisasi observasional perilaku dihasilkan dari melakukan imitasi (imitating) atau disebut dengan istilah modeling. Modeling adalah bentuk pembelajaran yang terjadi dengan mengamati perilaku orang lain dan mengalami konsekuensinya. Model yang diamati dapat merupakan orang tua, saudara kandung, kerabat, teman, guru, pelatih atau karakter televisi. Metode sosialisasi ini sesuai dengan teori social learning Bandura yang memandang individu berperan aktif dalam pembelajaran (Papalia et.al., 2008). 4. Metode sosialisasi kognitif melibatkan cara-cara yang secara spesifik fokus pada proses berpikir individu yaitu cara individu mengetahui sesuatu, yaitu melalui instruction, setting standards, dan reasoning. Instruksi menyediakan pengetahuan dan informasi dan merupakan mekanisme sosialisasi yang bermanfaat dengan syarat instruksi harus menyediakan informasi yang
19 spesifik sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Menetapkan standar merupakan salah satu metode sosialisasi kognitif yang menyediakan pengetahuan dini bagi anak mengenai apa yang diharapkan atau tidak diharapkan
dari
mereka.
Standar
adalah
tingkat
pencapaian
atau
keberhasilan yang dianggap sebagai tujuan atau ukuran kelayakan. Ketika orang tua menetapkan standar bagi anak, orang tua sedang memberitahukan anak
apa
yang
harus
mereka
lakukan.
Metode
reasoning
adalah
menggunakan penjelasan mengenai suatu perilaku dan konsekuensinya. Tujuan dari pemberian penjelasan atau alasan dalam proses sosialisasi adalah untuk memampukan anak menarik suatu kesimpulan ketika menemukan suatu situasi yang serupa. Dalam metode sosialisasi kognitif, perilaku dihasilkan dari berpikir (thinking) sesuai dengan teori cognitive-stage Piaget (Papalia et.al., 2008). 5. Metode
sosialisasi
sosiokultural
mengacu
kepada
karakteristik
dari
lingkungan sosial dimana individu tumbuh dewasa yaitu suatu budaya yang melibatkan perilaku yang telah dipelajari, termasuk pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan tradisi. Ekspektasi sosiokultural mempengaruhi perilaku individu. termasuk di dalamnya group pressure, tradition, rites and rituals, dan symbols. Jika ditinjau dari teori perkembangan, metode sosialisasi ini sesuai dengan teori sociocultural Vygotsky yang menekankan bahwa interaksi sosial memegang peran utama dalam perkembangan kognitif (Papalia et.al., 2008). Dalam metode sosialisasi sosiokultural, perilaku dihasilkan dari menyetujui (conforming). 6. Metode sosialisasi apprenticeship (pendampingan) mengandung pengertian bahwa anak dibimbing untuk berpartisipasi dalam berbagai macam aktivitas sosial oleh seseorang yang memiliki keahlian lebih misalnya orang tua, saudara kandung, kerabat, guru, teman, pelatih, dan lain sebagainya. Metode ini melibatkan tiga teknik yaitu structuring, collaborating dan transferring. Artinya, seorang yang berkeahlian lebih membuat struktur bagi anak berdasarkan kemampuannya, lalu berlanjut dengan proses kolaborasi dalam aktivitas bersama sehingga dukungan dapat diberikan ketika diperlukan, sampai pada akhirnya mentransfer tanggung jawab untuk mengatur aktivitas ketika aktivitas telah dikuasai. Metode sosialisasi ini sesuai dengan teknik scaffolding yang didasarkan pada teori sociocultural Vygotsky yaitu dukungan sementara yang diberikan guru, orang tua, atau individu lain kepada anak
20 dalam melakukan suatu hal sampai saat anak dapat melakukannya sendiri (Papalia et.al., 2008).
Karakter Karakter berasal dari bahasa Perancis Tengah yaitu “caractere” dan bahasa Latin yang berarti “mark, distinctive quality”. Adapun dalam bahasa Yunani, karakter berasal dari kata “charassein” yang artinya memberi goresan (to scratch) atau mengukir (to engrave). Menurut Lickona (1991) karakter terdiri dari nilai yang berlaku dan nilai dalam tindakan. Karakter berkembang dari nilai menjadi kebaikan, yaitu sifat dalam diri yang dapat dipercaya untuk merespon situasi dengan moral yang baik. Lickona (2004) menulis beberapa pernyataan para filsuf dan ahli mengenai karakter. Cicero mengatakan bahwa, “di dalam karakter seorang warga negara terletak kesejahteraan negara tersebut.” Emerson, seorang dosen di Harvard University menyatakan bahwa “karakter lebih tinggi dari intelektualitas.” Covey mengatakan bahwa “Anda harus melakukan hal yang baik dan untuk melakukan hal yang baik, Anda harus lebih dulu menjadi baik.” Lickona berpendapat bahwa setiap orang tua yang menginginkan anak-anaknya sukses pasti mengetahui secara alami bahwa tanpa karakter, misalnya kualitas seperti kejujuran, tanggung jawab, kebaikan, dan keyakinan hati pada saat mengalami masalah, kesuksesan tersebut sulit untuk diraih atau dipertahankan. Dalam Megawangi (2007) tertulis betapa pentingnya karakter dalam kehidupan seseorang yaitu di antaranya, McCarroll mengatakan bahwa “virtue is the muscle tone that develops from daily and hourly training of a spiritual warrior (karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang spiritual). Luther menyatakan bahwa “good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some extent a gift. Good character, by contrast, is not given to us. We have to build it piece by piece – by thought, choice, courage and determination (karakter yang baik adalah lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras). Menurut Lickona (2004), isi dari karakter adalah kebaikan (virtues) yang bersifat obyektif, disetujui oleh masyarakat dan seluruh agama dan melampaui
21 waktu dan budaya. Sepuluh nilai kebaikan utama yang mendefinisikan karakter yang kuat yaitu kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), keteguhan hati (fortitude), pengendalian diri (self-control), cinta (love), sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard work), integritas (integrity), rasa terima kasih (gratitude) dan kerendahan hati (humility). Kesepuluh nilai kebaikan utama ini dapat dianggap sebagai hidup menurut kelakuan yang benar. Hidup berkarakter memiliki dua sisi yaitu kelakuan yang benar dalam hubungan dengan orang lain, dan kelakuan yang benar dalam hubungan dengan diri sendiri. Nilai-nilai kebaikan yang berhubungan dengan orang lain contohnya adalah nilai keadilan, kejujuran, rasa berterima kasih, dan cinta, sedangkan nilai kebaikan yang berhubungan
dengan
diri
sendiri
contohnya
adalah
nilai
ketabahan,
pengendalian diri, kerendahan hati, dan berusaha yang terbaik. Klasifikasi nilai kebaikan yang lain dijabarkan oleh Peterson & Seligman (2004) yang menulis bahwa virtues sebagai karakteristik utama yang dinilai oleh filsuf moral dan pemikir agama terdiri dari kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage),
kemanusiaan
(humanity),
keadilan
(justice),
kesederhanaan
(temperance), dan transenden (transcendence). Ciri-ciri dimensional yang mendefinisikan nilai-nilai kebaikan umum ini disebut kekuatan karakter atau character strengths. Sebagai contoh, nilai kebijaksanaan dapat dicapai melalui beberapa kekuatan seperti keingintahuan, cinta akan belajar, keterbukaan pikiran, kreativitas, dan perspektif. Terbentuknya karakter (kepribadian) manusia ditentukan oleh dua faktor yaitu nature (faktor alami atau fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan). Pengaruh nature terlihat dari agama yang mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini bersifat potensial atau belum termanifestasi ketika anak dilahirkan. Seorang filsfuf Cina, Confucius, pada abad ke-5 SM menyatakan bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti instruksi (pendidikan dan sosialisasi) maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Brooks dan Goble, 1997 dalam Megawangi, 2009). Fitrah manusia yang menurut perspektif agama adalah cenderung kepada kebaikan ini, masih mengakui adanya pengaruh lingkungan yang dapat meningkatkan atau bahkan mengganggu proses tumbuhnya fitrah. Hal ini memberikan pembenaran perlunya faktor nurture, atau lingkungan budaya, pendidikan, dan nilai-nilai yang perlu disosialisasikan kepada anak-anak. Faktor lingkungan (nurture) yaitu usaha
22 memberikan pendidikan dan sosialisasi adalah sangat berperan di dalam menentukan ‘buah’ seperti apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang anak. Tujuan semua orang tua, pendidik, dan bahkan masyarakat adalah membesarkan anak-anak yang berbudi luhur (virtuous) atau berkarakter baik (Park et.al, 2006).
Hal tersebut mendapat perhatian dalam bidang psikologi
dengan berkembangnya psikologi positif yang secara spesifik menekankan pada pembangunan hidup yang baik dengan mengidentifikasi dan memelihara kekuatan karakter individu (Seligman, 2002). Karakter mengandung tiga hal yang saling berhubungan yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action, yang artinya bahwa karakter yang baik terdiri dari mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik (Lickona, 1991). Moral knowing mencakup sisi kognitif dari karakter yaitu meliputi kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral, pandangan, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan diri. Moral feeling merupakan sisi emosi dari karakter yang terdiri dari nurani, penghargaan diri, empati, mencintai kebaikan, kendali diri, dan rendah hati. Moral knowing dan moral feeling menghasilkan outcome yaitu moral action. Aspek karakter dari moral action adalah kompetensi, hasrat, dan kebiasaan. Jika individu telah memiliki kualitas moral secara pengetahuan dan emosi, maka dapat dipastikan individu tersebut suka melakukan kebenaran yang mereka tahu dan rasakan. Menurut Blasi (2005), karakter moral mengacu kepada sintesis penilaian moral, reasoning moral, kepekaan moral, emosi moral, identitas moral, dan tindakan moral dan menekankan pada penanaman nilai seperti tanggung jawab sosial. Karakter disebut juga kompetensi sosiomoral yang mencakup rentang luas karakteristik psikologis yang memampukan individu untuk menempatkan nilai moral, reasoning, dan identitas ke dalam tindakan (Berkowitz et al., 2004). Kekuatan karakter pada remaja berhubungan dengan lebih sedikit masalah dan tingkat pencapaian akademik yang lebih tinggi (Park et al., 2006).
Teori Karakter Perkembangan moral manusia dapat dilihat dari dua landasan teori yaitu Cognitive Development Piaget dan Moral Development Kohlberg. Piaget menekankan bahwa perkembangan kognitif membentuk perkembangan moral, dan bahwa kemampuan seseorang dalam memberikan penjelasan dan tingkat pengetahuannya terhadap moral menentukan aktivitas moralnya (moral conduct).
23 Dalam pandangan Piaget, ketidakmampuan anak untuk melihat permasalahan yang kompleks karena keterbatasan kemampuan berpikirnya, menyebabkan anak tidak mampu memahami isu moral tertentu (Lickona, 1991). Piaget membagi perkembangan moral ke dalam empat tahap. Pada tahap pertama (usia 2 - 4 tahun) anak belum mempunyai konsep yang nyata tentang moral. Umumnya perilaku mereka terfokus pada permainan dan aktivitas imajinatif yang tidak memiliki aturan. Pada tahap kedua (usia 5 - 7 tahun), anak mulai belajar peraturan sosial (social rules). Anak mengenal peraturan yang didikte (heteronomous) dan dilatih oleh pemegang otoritas (dalam hal ini orangtuanya). Tahap kedua ini disebut moral realism yaitu masa saat anak tidak terpikir untuk mempertanyakan tujuan suatu peraturan walaupun mereka tidak memahami tujuan tersebut. Pada tahap ketiga (8 – 11 tahun) anak-anak secara perlahan mulai mengenal peraturan sebagai kesepakatan (moral relativism) yang menolong
dan
melindungi
masing-masing
individu,
anak
mampu
mempertimbangkan faktor lain (motif dan tujuan) untuk mengevaluasi moral. Pada tahap terakhir (di atas 11 tahun) seseorang mulai mampu untuk membuat peraturan baru. Konsep formal operational telah memungkinkan mereka untuk membayangkan imajinasi hipotesis yang ada di sekitarnya dan telah mampu menggunakan penjelasan moralnya (moral reasoning) ke dalam konteks yang lebih luas (lingkungan sosial dan politik). Kohlberg dalam tesisnya membahas secara khusus perkembangan moral manusia
dan
menyempurnakan
pemikiran
Piaget.
Menurut
Kohlberg
perkembangan moral adalah perubahan tingkat moral dari yang berorientasi sosial kepada yang berorientasi nurani diri sendiri. Moral manusia tersusun dalam tiga tingkat yaitu pre-conventional, conventional, dan post-conventional (Papalia et.al., 2008). Tahap pre-conventional terdiri atas dua level yaitu heteronomous dan individualism/instrumental. Pada level heteronomous anak cenderung egosentris dengan anggapan bahwa perasaannya dapat dimengerti oleh orang lain sehingga moral diarahkan oleh kekuatan dan otoritas orang tertentu. Pada level individualism/instrumental, anak mulai memahami bahwa orang lain mempunyai kebutuhan dan pandangan yang berbeda namun moral masih diartikan sebagai mencari sesuatu untuk dirinya sendiri dan keinginan untuk mendapatkan reward. Tahap conventional terdiri atas level interpersonal conformity, yaitu ketika moral baik tercapai jika ia disukai orang lain, dan law and order, yaitu ketika moral baik adalah ketika hal tersebut sah atau legal sesuai
24 hukum yang berlaku. Tahap post conventional terdiri dari level social contract dan universal ethical principles. Pada level social contract moral ditentukan oleh hak-hak asasi manusia sedangkan pada level universal ethic principles, diasumsikan adanya prinsip universal dari moral dan nurani sebagai pedoman kebajikan. Menurut Lickona (1994), perkembangan moral melalui 5 tahapan dari tahap 0 sampai tahap 5. Tahap 0 adalah egocentric reasoning (usia pra sekolah sampai
4
tahun)
dimana
orientasi
moral
adalah
untuk
mendapatkan
imbalan/pujian dan menghindari hukuman. Tahap 1 adalah unquestioning obedience atau fase otoritas tak berpihak dimana orientasi moral adalah melakukan apa yang diperintahkan agar terhindar dari kesalahan atau masalah. Tahap 2 adalah fase balas-membalas (usia sekolah dasar) yaitu fase dimana orientasi moral adalah bersikap baik kepada orang lain yang juga baik kepada saya, untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat tertentu. Tahap 3 adalah interpersonal conformity (usia sekolah dasar – remaja awal) dimana orientasi moral adalah mementingkan diri sendiri namun juga bersikap adil terhadap orang yang juga adil kepada saya, dan juga bersikap baik agar diterima oleh orang lain (social approval) dan merasa diri baik (self-esteem). Tahap 4 adalah tahap responsibility to the system (usia sekolah menengah atas/remaja akhir). Dalam fase menjaga kelompok ini, orientasi moral adalah perasaan harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sosial karena sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari sistem tersebut dan untuk mempertahankan self-respect. Tahap 5 adalah
principled
conscience
(usia
dewasa
awal)
atau
fase
universalitas,moralitas tak berpihak. Orientasi moral pada fase ini adalah kesadaran untuk menunjukkan tanggung jawab yang besar dan kewibawaan kepada semua orang dan mendukung sistem yang menghormati hak asasi manusia. Kewajiban nurani adalah untuk bertindak sesuai prinsip menghormati kepada seluruh makhluk hidup.
Karakter Jujur dan Tanggung Jawab Karakter jujur dan tanggung jawab, jika didasarkan pada klasifikasi kekuatan karakter (Peterson & Seligman, 2004), dapat dimasukkan dalam pengertian integritas (integrity) yang merupakan bagian dari kekuatan keberanian atau strengths of courage. Integritas memotret ciri karakter dimana seseorang jujur terhadap dirinya sendiri dan menampilkan keadaan internal diri, tujuan, dan
25 komitmen mereka secara akurat. Orang-orang yang menunjukkan ciri-ciri tersebut menerima dan bertanggung jawab terhadap perasaan dan perilakunya dan mengakuinya sebagaimana adanya. Berbeda
dengan
klasifikasi
kekuatan
karakter,
Thomas
Lickona
menyatakan bahwa integritas berbeda dengan kejujuran. Menurutnya, integritas adalah mengatakan yang sebenarnya pada diri sendiri, sedangkan kejujuran adalah mengatakan yang sebenarnya pada orang lain (Lickona, 2004). Lickona (2004) menulis bahwa berdasarkan sepuluh nilai kebaikan utama (ten essential virtues), kejujuran dan tanggung jawab termasuk dalam nilai keadilan (justice). Keadilan berarti menghormati hak semua orang dan prinsip keadilan adalah memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita sendiri ingin diperlakukan. Nilai keadilan terdiri dari berbagai nilai-nilai kebaikan interpersonal seperti kesopanan, kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, dan toleransi. Jujur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti lurus hati, tidak berbohong, tidak curang. Kejujuran berarti sifat (keadaan) jujur, ketulusan dan kelurusan hati. Jika diartikan secara baku jujur adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Kejujuran menjadi salah satu nilai terpenting yang diajarkan dalam pendidikan karakter di Amerika Serikat di samping kesetiaan, pengabdian, kewarganegaraan, integritas, keberanian, ketekunan dan motivasi diri (Was et al., 2006). Modal utama keberhasilan seseorang dalam bekerja adalah kejujuran, seperti hasil penelitian Boggs dalam Megawangi (2007). Suatu eksperimen di seluruh dunia dilakukan beberapa tahun sebelum 2004 untuk menguji karakter “ketika tidak ada orang yang melihat” (Lickona, 2004). Eksperimen tersebut disebut eksperimen dompet yang hilang untuk melihat berapa banyak yang akan dikembalikan. Dompet-dompet tersebut ditempatkan di pinggir jalan, dalam boks telepon umum, di depan perkantoran, toko, gereja, tempat parkir, dan restoran. Secara keseluruhan, 56 persen dompet dikembalikan dan 44 persen hilang, namun terdapat hasil yang sangat bervariasi antar negara. Peringkat pertama untuk kejujuran adalah untuk Norwegia dan Denmark dimana 100 persen dompet dikembalikan, Amerika Serikat menempati peringkat tengah dengan 67 persen dan peringkat terakhir ditempati oleh Mexico dengan 21 persen. Namun dalam suatu negara, hasil tiap kota atau daerah juga sangat bervariasi, misalnya di Amerika Serikat masyarakat yang paling jujur adalah di Seattle dan Concord, New Hampshire dengan masing-masing 90
26 persen dan 80 persen dompet dikembalikan sedangkan tempat yang menempati peringkat bawah diantaranya adalah Las Vegas dan Atlanta. Kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam
menentukan
karakter.
Karakter
suatu
negara
atau
masyarakat
mempengaruhi karakter penduduknya, dalam eksperimen tersebut yaitu norma sosial yang menyangkut karakter kejujuran. Berdasarkan data wawancara dalam eksperimen karakter tersebut, terungkap beberapa hal yang memotivasi kejujuran, yaitu penanaman nilai dan norma dari orang tua untuk melakukan hal yang benar, keyakinan religius, dan rasa empati (Lickona, 2004). Karakter jujur secara umum dapat ditemukan dalam perilaku berkata yang sebenarnya, tidak berbuat curang, tidak menyontek, berani mengakui kesalahan, dan tidak mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Bertanggung jawab adalah berkewajiban menanggung,
memikul
jawab,
menanggung
segala
sesuatunya,
atau
memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja dan juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Lickona (1991) menyatakan bahwa tanggung jawab adalah salah satu dari “two great moral values” di samping rasa hormat. Rasa tanggung jawab (sense of responsibility) mengacu pada sikap positif dan kewajiban seseorang terhadap pemenuhan tugas-tugas yang ditugaskan secara langsung maupun tidak langsung kepadanya (Mahmud et al., 2011). Penelitian Mahmud et.al (2011) terhadap 903 remaja Malaysia menunjukkan adanya hubungan signifikan antara komunikasi keluarga dengan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) remaja. Hal tersebut membuktikan pentingnya penanaman perilaku bertanggung jawab pada anak. Dalam penelitian tersebut, hasil wawancara dengan remaja sampel mengungkapkan keyakinan remaja bahwa orang tua sepatutnya mendorong dan membimbing remaja agar dapat menjadi orang-orang yang bertanggung jawab melalui pemberian tanggung jawab sejak dini, komunikasi yang terbuka dan menghargai serta melalui teladan/mencontohkan (modeling) perilaku bertanggung jawab. Dalam keluarga, salah satu cara untuk menumbuhkan karakter tanggung jawab dalam diri anak adalah dengan memberikan mereka tanggung jawab dalam kehidupan keluarga, misalnya pekerjaan rumah tangga tertentu,
27 membersihkan halaman, membantu menyiapkan makanan dan membersihkan meja setelah makan, membantu mengurus saudara kandung yang lebih kecil, dan lain sebagainya (Lickona, 2004). Selain memiliki tanggung jawab di rumah, tanggung jawab penting lain yang dimiliki sejak anak memasuki usia sekolah adalah tanggung jawab di sekolah yaitu untuk berusaha melakukan yang terbaik di sekolah dan pendidikan, salah satunya dengan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah)
sebaik-baiknya.
Pengerjaan
PR
melibatkan
disiplin
diri
dan
mendahulukan kewajiban sebelum kesenangan (Lickona, 2004), karenanya dalam hal tanggung jawab di sekolah terdapat juga aspek tanggung jawab terhadap diri sendiri. Dalam masyarakat Indonesia, keyakinan agama dipandang sangat penting dan sudah menjadi bagian hidup keseharian. Oleh karena itu, salah satu tanggung jawab yang dimiliki oleh remaja Indonesia adalah tanggung jawab terhadap Tuhan, misalnya menjalankan ibadah, berbuat yang sesuai ajaran agama, dan menjauhi laranganNya. Bentuk tanggung jawab yang lain yang dimiliki oleh remaja adalah tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa/negara. Hal tersebut dalam ruang lingkup yang lebih kecil terlihat dalam tanggung jawab remaja di dalam suatu kelompok yang melibatkan dimensi kerja sama tim, melakukan bagian dalam kelompok, dan kepemimpinan (Peterson & Seligman, 2004). Selanjutnya, tanggung jawab yang dimiliki oleh setiap manusia adalah tanggung jawab terhadap lingkungan (alam) dimana ia tinggal melalui tindakan
menjaga
kebersihan
lingkungan,
tidak
membuang
sampah
sembarangan, dan tidak melakukan praktek vandalisme. Karakter tanggung jawab secara umum dapat ditemukan dalam perilaku menepati janji, tidak membolos dari sekolah/pekerjaan, berani menanggung konsekuensi atas perbuatan, komitmen, dan ketuntasan dalam mengerjakan segala sesuatu.