TINJAUAN PUSTAKA Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
pendapatan
per
kapita
dan
pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982). Sementara itu, menurut Suhardjo (1989) jumlah anggota keluarga mempunyai andil dalam permasalahan gizi. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masingmasing anggota keluarga. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah yang paling rawan terhadap kurang gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya terpengaruh oleh kekurangan pangan, sebab semakin besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Pendidikan Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Orang yang berpendidikan tinggi juga cenderung memilih makanan yang murah tetapi memiliki kandungan gizi yang tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1996). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Jaenudin 2010). Pekerjaan dan Pendapatan Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989). Penduduk dengan tingkat pendapatan yang rendah cenderung memenuhi kebutuhan protein dari bahan makanan nabati, begitu pula sebaliknya, penduduk dengan tingkat pendapatan tinggi, akan memenuhi kebutuhan protein dari bahan makanan hewani. Hal ini karena protein hewani harganya relatif lebih mahal dibanding dengan protein nabati. Dengan kata lain, tingkat pendapatan akan menentukan akses dalam memperoleh ragam bahan makanan yang membentuk suatu pola konsumsi pangan tertentu. Tingginya tingkat pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan akan mencerminkan kemampuan untuk membeli bahan pangan. Secara teoritis terdapat hubungan positif antara pendapatan dengan jumlah permintaan pangan. Makin tinggi pendapatan akan semakin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan, sehingga akan membawa pengaruh terhadap semakin beragam dan banyaknya pangan yang dikonsumsi (Soekirman 1994). Konsumsi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan za-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktifitas fisik (Almatsier 2002). Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan
jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis pangan yang dapat dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan (Martianto 1992). Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1996). Sanjur (1982) menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Pengukuran Konsumsi Pangan Secara umum, tujuan dari survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan pangan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei konsumsi pangan secara kuantitatif akan diketahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Survei konsumsi pangan secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara memperoleh pangan (Suhardjo 1989). Informasi mengenai konsumsi pangan dapat diperoleh dengan cara survei dan akan menghasilkan data yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode-metode pengukuran konsumsi pangan yang bersifat kualitatif antara lain food frequency questionnaire dan dietary history (Baliwati et al. 2004). Selain itu, terdapat pula metode telepon dan metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa et al. 2001). Secara kuantitatif, metode pengumpulan data yang dapat dilakukan antara lain metode recall 24 jam, food records, dan weighing method (Baliwati et al. 2004). Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar konversi bahan makanan (DKBM), atau daftar lain yang diperlukan seperti daftar ukuran rumah tangga (URT), daftar konversi mentah masak (DKMM) dan daftar penyerapan minyak (DPM) (Supariasa et al. 2001). Berikut merupakan penjelasan mengenai metode pengumpulan data secara kuantitatif (metode recall) dan secara kualitatif (metode frekuensi makanan) : 1. Metode recall Metode mengingat-ingat (recall method) merupakan salah satu penilaian konsumsi pada tingkat individu. Metode ini dilakukan dengan cara mencatat
jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam ukuran rumah tangga, setelah itu dikonversikan dalam ukuran berat (gram). Pada metode ini subjek diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dikonsumsi selama 24 jam atau sehari yang lalu. Metode ini menaksir asupan gizi pada individu (Gibson 2005). Menurut Sediaoetama (2006), Metoda recall biasanya dipergunakan recall tiga hari berturut-turut, yaitu menanyakan semua makanan yang telah dikonsumsi responden selama tiga hari berturut-turut yang baru lalu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Pewawancara menanyakan dengan lengkap apa yang telah dikonsumsi ketika makan pagi kemarin, makan siang dan makan malam serta makanan kecil di luar waktu makan tersebut, dan makanan lain yang didapat di luar rumah. Metode ini memiliki kelemahan dalam tingkat ketelitiannya karena keterangan-keterangan
yang
diperoleh
adalah
hasil
ingatan
responden.
Kelebihan dari metode ini adalah murah dan sederhana. Metode ini bisa digunakan untuk survei konsumsi keluarga bila semua anggota keluarga diwawancarai atau salah satu anggota keluarga yang mengetahui tentang konsumsi anggota keluarga lainnya, biasanya ibu rumah tangga (Suhardjo 1989). 2. Metode frekuensi makanan (food frequency) Metode ini dikenal sebagai metode frekuensi pangan, dimaksudkan untuk memperoleh informasi pola konsumsi pangan seseorang. Untuk itu, diperlukan kuesioner yang terdiri dari dua komponen yaitu daftar jenis pangan dan frekuensi konsumsi pangan (Baliwati et al. 2004). Pada metode ini, dicatat frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu (seminggu, sebulan, atau semusim). Data yang diperoleh bersifat kualitatif. Metode ini berguna untuk mengetahui pola konsumsi pangan seseorang atau keluarga serta untuk mengetahui konsumsi pangan sumber zat gizi tertentu seperti konsumsi pangan sumber vitamin A, konsumsi lemak, dan lain sebagainya (Kusharto dan Sa’diyyah 2008). Kelemahan dari metode ini antara lain : (1) Tidak dapat menghasilkan data kuantitatif tentang konsumsi pangan karena pangan yang disantap tidak diukur, (2) Pengisian kuesioner hanya mengandalkan ingatan. Kelebihan metode ini antara lain (1) Relatif murah, (2) Cocok jika diterapkan pada penelitian kelompok besar yang konsumsi pangan setiap hari sangat variatif, dan (3) Pengisian formulir dapat diserahkan pada responden (mudah didistribusikan) (Arisman 2004).
Angka Kecukupan Gizi (AKG) Tingkat kecukupan adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah (1) Defisit tingkat berat (<70% AKG), (2) Defisit tingkat sedang (70-79% AKG), (3) Defisit tingkat ringan (80-89% AKG), (4) Normal (90-119% AKG), dan (5) Kelebihan (>120% AKG). Menurut Hardinsyah & D Briawan (1994), untuk menghitung kecukupan gizi seseorang dapat mengacu pada faktor kecukupan gizi, yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan zat gizi rata-rata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia. Angka kecukupan gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan seseorang. Kebiasaan Makan Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makan dan makanan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan, distribusi makanan di antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya (Suhardjo 1989). Menurut
Khumaidi
(1989),
pada
dasarnya
ada
dua
faktor
yang
mempengaruhi kebiasaan makan manusia yaitu faktor intrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia) antara lain asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan dan faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar diri manusia) yang meliputi lingkungan alam, lingkungan budaya dan agama, lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi. Lingkungan Alam Pola makanan masyarakat pada umumnya berasal dari bahan makanan yang umum dan dapat diproduksi daerah setempat. Jenis atau jumlah pangan di suatu wilayah biasanya berkembang dari pangan setempat atau pangan yang ditanam di tempat tersebut dalam jangka waktu yang lama atau panjang (Suhardjo 1989). Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah pantai, ikan merupakan makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat diproduksi sendiri.
Daerah-daerah pertanian padi, masyarakatnya berpola pangan beras. Daerah dengan produksi pangan utama jagung seperti Madura dan Jawa Timur bagian selatan,
masyarakatnya
berpola
pangan
jagung.
Pola
pangan
pokok
menggambarkan salah satu ciri dari kebiasaan makan. Di daerah dengan pola pangan pokok beras biasanya belum puas atau mengatakan belum makan apabila belum makan nasi, meskipun sudah kenyang oleh makanan lain non beras. Lingkungan Budaya Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun-temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, menyajikan, dan cara-cara makan. Adat dan tradisi merupakan dasar dari perilaku tersebut, yang biasanya sekurang-kurangnya dalam beberapa hal berbeda di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Nilai-nilai, sikap dan kepercayaan yang ditentukan budaya, merupakan kerangka kerja dimana cara makan, daya terima terhadap makanan terbentuk, yang dijaga dengan seksama dan diajarkan dengan tekun kepada setiap generasi berikutnya (Suhardjo 1989). Lingkungan budaya yang berkaitan dengan kebiasaan makan biasanya meliputi nilai-nilai kehidupan rohani dan kewajiban-kewajiban sosial. Budaya menentukan apa yang akan digunakan sebagai makanan, dalam keadaan bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya, apa saja yang dianggap tabu (pantangan). Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip gizi. Berbagai budaya memberikan peran dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu karena alasanalasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial (Suhardjo 1989). Frekuensi Konsumsi Pangan Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan ada yang terikat pada pola makan tiga kali per hari, tetapi banyak pula yang mengonsumsi pangan antara 5-7 kali per hari atau lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar.
Pembagian Makan dalam keluarga Secara tradisional, ayah mempunyai prioritas utama atas jumlah dan jenis makanan tertentu dalam keluarga, jika kebiasaan budaya tersebut diterapkan, maka setelah kepala keluarga anak pria dilayani, biasanya dimulai dari yang tertua. Wanita, anak wanita, dan anak yang masih kecil boleh makan bersama anggota keluarga pria, akan tetapi di beberapa lingkungan budaya, mereka makan terpisah pada meja lain atau bahkan setelah anggota pria selesai makan. Pada beberapa kasus, wanita dan anak kecil hanya memperoleh pangan yang disisakan setelah anggota keluarga pria makan. Jika terjadi kekurangan pangan yang parah dalam rumah tangga karena sebab-sebab seperti panceklik, kelaparan, kemiskinan yang khronis atau suatu musibah yang lain, kecukupan gizi anggota keluarga mungkin terganggu. Bayi, anak-anak yang masih muda, dan
wanita
selama
tahun-tahun
penyapihan,
pengaruh
tambahan
dari
pembagian makanan yang tidak merata dalam unit keluarga, dapat merupakan bencana, baik bagi kesehatan maupun kehidupan (Suhardjo 1989). Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga adalah sangat penting untuk mencapai gizi baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang di dalam keluarga. Anak, wanita yang mengandung dan ibu yang menyusui harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Orang tua memerlukan pangan yang akan membantu memperbaiki jaringan tubuh yang usang dan robek. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi dan zat makanan yang cukup (Suhardjo 1988). Pantangan Pangan (Taboo) Pantangan atau tabu merupakan fungsi dari kebiasaan makan, yaitu suatu larangan untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap barang siapa yang melanggarnya. Ada pantangan atau tabu makanan yang berdasarkan agama dan bukan berdasarkan agama atau kepercayaan. Pantangan atau tabu yang berdasarkan agama bersifat absolut, tidak dapat ditawar bagi penganut agama atau kepercayaan tersebut, sedangkan pantangan atau tabu lainnya masih dapat diubah atau dihilangkan. Pantangan atau tabu merupakan sesuatu yang diwariskan dari leluhur melalui orang tua, terus ke generasi-generasi yang akan datang (Suhardjo 1989).
Tabu berasal dari polynesia yang berarti suatu larangan yang ditujukan terhadap mahkluk tertentu atau benda tertentu yang tidak boleh disentuh atau dimakan. Larangan ini biasanya karena tradisi. Banyak faktor yang mendasari tabu makanan, misalnya karena magis, kepercayaan, takut berkomunikasi, kesehatan, dan lain-lain. Masyarakat mengenal bermacam-macam tabu makanan yang diklasifikasikan sebagai berikut (Suhardjo 1989) : 1. Menurut waktu meliputi tabu yang bersifat permanen dan tabu yang bersifat sementara. 2. Menurut besarnya kelompok, tabu dapat dibagi dalam : -
Tabu bagi seluruh anggota masyarakat
-
Tabu bagi kelompok-kelompok tertentu di dalam sistem kekerabatan
-
Tabu bagi kelompok profesi sosial
-
Tabu berdasarkan kelas sosial
-
Tabu menurut jenis kelamin
-
Tabu bagi individu-individu tertentu
3. Menurut periode-periode di dalam lingkaran hidup, meliputi : -
Tabu pada saat hamil
-
Tabu pada saat menyapih bayi
-
Tabu pada saat sesudah menyapih bayi
-
Tabu pada saat puber
-
Tabu pada saat menderita penyakit
Beberapa jenis bahan makanan dilarang untuk dikonsumsi oleh anakanak, ibu hamil, ibu menyusui, ataupun kaum remaja. Jika ditinjau dari konteks gizi, bahan makanan tersebut justru mengandung nilai gizi yang tinggi, tetapi tabu itu tetap dijalankan dengan alasan takut menanggung risiko yang akan timbul. Sehingga masyarakat yang demikian akan mengkonsumsi bahan makanan yang bergizi dalam jumlah yang kurang, dengan demikian maka penyakit kekurangan gizi akan mudah timbul di masyarakat, terutama anak-anak. Tabu berkenaan dengan makanan banyaknya bersangkutan dengan emosi sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar tabu makanan terutama dianut oleh para wanita atau dikenakan pada anak-anak yang masih di bawah perlindungan dan asuhan wanita tersebut. Praktis semua tabu makanan berhubungan dengan status kesehatan (Suhardjo 1989). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jaenudin (2010), diketahui bahwa suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu memiliki pantangan
terhadap pangan hewani karena alasan spiritual, yang dalam ajarannya sesama makhluk bernyawa (manusia dan hewan) dilarang saling membunuh bahkan menyakiti. Preferensi Pangan Setiap masyarakat mengembangkan cara turun temurun untuk mencari, memilih dan menangani, menyiapkan, menyajikan dan mengkonsumsi makanan yang dihidangkan. Hal ini dimulai dari permulaan hidupnya dan menjadi bagian perilaku yang berakar di antara kelompok penduduk. Bersamaan dengan pangan yang disajikan dan diterima langsung atau tidak langsung anak-anak menerima pula informasi yang berkembang menjadi perasaan, sikap, tingkah laku dan kebiasaan mereka yang berkaitan dengan pangan (Suhardjo 1989). Menurut Pilgrin
(1957)
diacu
dalam
Suhardjo
(1989),
preferensi
pangan
(food
preferences) adalah tindakan atau ukuran suka atau tidak suka seseorang terhadap pangan. Fisiologi, perasaan dan sikap integrasi membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan. Preferensi yang bersifat positif berarti penerimaan terhadap pangan tersebut. Preferensi ini dapat berubah dan dapat dipelajari sejak kecil. Preferensi terhadap pangan bersifat plastis terutama pada orang-orang muda dan akan permanen bila telah memiliki gaya hidup yang kuat (Sanjur 1982). Suatu makanan memenuhi selera atau tidak bukan hanya ditentukan oleh fisik pangan, akan tetapi karena pengaruh sosial budaya. Faktor penting dalam pemilihan pangan adalah flavor yang meliputi bau, tekstur, dan suhu. Penampilan yang meliputi warna dan bentuk juga akan mempengaruhi sikap terhadap pangan. Selain pengaruh reaksi indera terhadap pemilihan pangan (warna atau bentuk), kesukaan pribadi semakin terpengaruh oleh pendekatan melalui media radio, televisi, pamflet, iklan dan bentuk media massa lain (Suhardjo 1989). Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) diacu dalam Suhardjo (1989), ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik pangan, dan karakteristik lingkungan. Suatu model atau kerangka pemikiran yang dapat mempelajari konsumsi pangan kaitannya dengan berbagai karakteristik tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Konsumsi Pangan
Preferensi Pangan
Karakteristik Individu
Karakteristik pangan
Karakteristik Lingkungan
•
Umur
•
Rasa
•
Musim
•
Jenis kelamin
•
Rupa
•
Pekerjaan
• •
Pendidikan Pendapatan
• •
Tekstur Harga
• •
•
Pengetahuan gizi
•
Tipe makanan
Mobilitas Perpindahan penduduk
•
Bentuk
•
•
Keterampilan memasak
•
Bumbu
•
•
Kesehatan
Kombinasi makanan
Tingkat sosial pada masyarakat
Gambar 1 Model studi preferensi konsumsi pangan