BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Orangtua tunggal (Single Parent) Definisi keluarga pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Namun, dalam kehidupan nyata sering dijumpai salah satu orangtuanya sudah meninggal atau bercerai, yang biasa disebut orangtua tunggal yaitu keluarga yang hanya terdiri dari seorang ibu ataupun seorang ayah dimana mereka secara sendirian membesarkan anak - anaknya tanpa kehadiran, dukungan, tanggung jawab pasangannya dan hidup bersama dengan anak - anaknya dalam satu rumah. Keadaan ini menimbulkan apa yang disebut dengan keluarga dengan orang tua tunggal (single parent) Menurut Hurlock (1999:199) orang tua tunggal (single parent) adalah orang tua yang telah menjanda ataupun menduda dengan mengasumsikan tanggung jawab untuk memelihara anak-anak tanpa bantuan pasangannya setelah kematian, perceraian dengan pasangannya ataupun kelahiran anak di luar nikah.
Hal ini sejalan dengan pendapat (Duvall & Miller, 1985) yang menyatakan bahwa orang tua (single parent) adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya. Sejalan dengan pendapat Sager, Perlmutter dan Hall (1985: 362) menyatakan bahwa single parent adalah: “Parents with out partner who continue to raise their children” (Perlmutter & Hall, 1985). Macam bentuk single parent Orangtua tunggal yang disebut dengan single parent adalah orang tua tunggal (ayah atau ibu saja). Ada banyak penyebab yang mengakibatkan peran orangtua yang lengkap dalam sebuah rumah tangga menjadi tidak sempurna. Hal ini bisa disebabkan banyak faktor.
9 Universitas Sumatera Utara
Penelitian (Laksono 2006) di antaranya :
1. Jikalau pasangan hidup kita meninggal dunia, otomatis itu akan meninggalkan kita sebagai orang tua tunggal. 2. Jika pasangan hidup meninggalkan kita baik dalam waktu yang sementara namun dalam kurun yang panjang. Misalnya seorang suami yang harus pergi ke pulau lain atau ke kota lain guna mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. 3. Lebih umum yakni mengakibat perceraian.
Problematika Orang tua Tunggal Kimmel (1980) dan Walsh (2003) menyatakan ada beberapa permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga dengan orang tua tunggal baik ibu tunggal maupun ayah tunggal yakni mereka merasa kesepian, dan merasa kesulitan dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan. Selain banyak kekurangan waktu untuk mengurus diri dan kehidupan seksual sendiri, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner special, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang muncul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, lebih rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit.
Sedangkan masalah khusus yang timbul pada keluarga dengan orang tua tunggal wanita adalah kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, kesulitan mendapat pekerjaan yang layak, kesulitan membayar biaya untuk anak, kesulitan menutupi kebutuhan lainnya. Sementara pada keluarga dengan orangtua tunggal pria masalah khusus yang timbul hanya dalam hal memberikan perlindungan dan perhatian pada anak (Kimmel, 1980). Pada kasus keluarga dengan orang tua tunggal yang terjadi karena perceraian, Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa baik bagi wanita maupun pria proses setelah terjadinya perceraian seperti orang yang baru mulai belajar berjalan dengan satu kaki, setelah kaki yang lainnya di potong. 10 Universitas Sumatera Utara
Perceraian adalah proses amputasi pernikahan. Tidak peduli seberapa pentingnya perceraian tersebut, perceraian tetap saja menyakitkan.
2.2. Ibu tunggal (single mother)
Ibu tunggal adalah wanita yang tanpa suami dan bertanggungjawab mendidik anakanak dengan menjalankan fungsinya yaitu menjaga dan mengurus keluarganya. Hal ini meliputi mereka yang mendapat anak tanpa pernikahan yang sah dan mendidiknya sendirian, istri yang telah berpisah dengan suami dan menjaga anak-anak dan isteri yang bercerai hidup atau mati. Selain itu ibu tunggal harus bekerja untuk menghidupi kelurganya dan terkadang mereka harus meninggalkan anak - anaknya kepada orangtuanya Tujuannya ialah untuk memudahkannya mereka bekerja mencari nafkah.
Seperti mana yang kita tahu, golongan ibu tunggal menghadapi berbagai masalah Seperti masalah stigma, konflik peranan, ekonomi, emosi, dan hubungan dengan anak-anak. Stigma atau anggapan buruk masyarakat terhadap mereka yang berstatus janda merupakan hambatan mental yang terbesar untuk mereka bergerak bebas dalam masyarakat. Pengambilalihan tugas - tugas suami di samping melaksanakan tugas sebagai ibu yaitu memelihara, mengurus dan membesarkan anak - anaknya. Sedangkan sokongan bagi mereka, baik dari segi keuangan, maupun emosi, amat sedikit sekali.
Masalah ekonomi merupakan masalah yang utama bagi ibu tunggal. Bagi ibu yang selama ini merupakan ibu rumahtangga, bukanlah sesuatu yang mudah untuk mereka memasuki ranah publik. Keadaan ini menjadi lebih buruk jika mereka tidak memiliki keahlian yang sesuai.
Sebagai pencari rezeki yang tunggal, mayoritas ibu tunggal
berpendapatan kecil. Sumber keuangan mereka sangatlah rendah. Hal ini tergambar dalam keadaan rumah yang sempit dan kurang terpenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan dan
11 Universitas Sumatera Utara
pakaian. Hal ini yang menyebabkan kualitas kehidupan mereka yang rendah. Dari segi emosi, bagi ibu tunggal yang di tinggal mati suami, mereka terpaksa menyesuaikan diri dengan kehilangan orang yang dicintai, tempat bergantung, teman suka dan duka. Bagi yang bercerai hidup, mereka juga terpaksa menerima ‘ketiadaan’ itu. Dalam menghadapi kehilangan ini, mereka terpaksa memainkan peranan suami yang telah tiada.
2.3. Teori Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau kelompok dari lapisan (strata sosial) yang satu ke lapisan yang lain. Mobilitas berasal dari bahasa Latin, yaitu mobilis yang berarti mudah dipindahkan dari satu ke tempat ke tempat lain. Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan “gerak” atau “perpindahan”. Mobilitas sosial merupakan suatu konsep dinamika sosial yang secara harfiah seringkali diartikan sebagai suatu gerakan yang terjadi akibat berpindah atau berubah posisi sosial seseorang atau sekelompok orang pada saat yang berbeda.
Berdasarkan tipenya, jenis - jenis mobilitas sosial terbagi menjadi: •
Mobilitas sosial vertical
Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan status yang dialami seseorang atau sekelompok pada lapisan sosial yang berbeda. Ada dua mobilitas vertikal yaitu : Mobilitas sosial vertikal ke atas : orang-orang berstatus sosial rendah ke status sosial yang lebih tinggi, dimana status itu telah tersedia. Contoh: seorang camat diangkat menjadi bupati. Terbentuknya suatu kelompok baru yang lebih tinggi dari pada lapisan sosial yang sudah ada. Contoh: Pembentukan
12 Universitas Sumatera Utara
organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut, sehingga status sosialnya naik.
Mobilitas vertikal ke bawah (Social sinking) : Sosial sinking merupakan proses penurunan status atau kedudukan seseorang. Proses sosial sinking sering kali menimbulkan gejolak psikis bagi seseorang karena ada perubahan pada hak dan kewajibannya. Social sinking dibedakan menjadi dua bentuk : Turunnya kedudukan seseorang ke kedudukan lebih rendah. Contoh: seorang prajurit dipecat karena melakukan tidakan pelanggaran berat ketika melaksanakan tugasnya.
•
Mobilitas sosial Horizontal
Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial lainnya dalam mobilitas sosial yang horizontal. Mobilitas sosial horizontal bisa terjadi secara sukarela tetapi bisa pula terjadi karena terpaksa karena ancaman kekeringan. Contohnya seorang buruh petani yang pada musim paceklik berpindah pekerjaan menjadi buruh bangunan. Hal ini bisa digolongkan sebagai mobilitas sosial horizontal terpaksa yang artinya, petani tersebut terpaksa pindah ke pekerjaan lain karena memang di desanya tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan dalam sektor pertanian dikarenakan ancaman kekeringan. Contoh mobilitas sosial sukarela yaitu, seorang pegawai bank yang sudah bosan dan jenuh dengan pekerjaannya kemudian berpindah karier menjadi pengusaha atau pekerjaan lainnya. Contoh lain yaitu : seperti Agama, Ras, dan Suku. 13 Universitas Sumatera Utara
•
Mobilitas antargenerasi
Mobilitas antargenerasi secara umum berarti mobilitas dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan itu sendiri, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Suatu studi yang sering menjadi acuan dalam bahasan mengenai mobilitas antargenerasi ialah penelitian Blau dan Duncan ( dalam Sunarto, 2004: 214) terhadap mobilitas pekerjaan di Amerika Serikat. Kedua ilmuwan sosial ini menyimpulkan dari data mereka bahwa masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang relatif terbuka karena di dalamnya telah terjadi mobilitas sosial antargenerasi dan didalam mobilitas intragenerasi pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang bersangkutan lebihbesar daripada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orang tua.
Dengan kata lain, dalam tiap-tiap generasi telah terjadi peningkatan status anak melebihi status orang tuanya, dan dalam tiap generasi pun telah terjadi peningkatan status anak sehingga melebihi status yang diduduki pada awal kariernya sendiri. Dalam hal ini pengrajin sepatu Bunut termasuk dalam mobilitas antargenerasi karena dulunya pengrajin tersebut merupakan pekerja di sebuah perusahaan karet pembuat sepatu. Namun, setelah pabrik tutup pekerja mulai membuka usaha dengan cara mengembangkan keterampilannya yang didapat ketika menjadi buruh dengan cara menjadi pengrajin sepatu Bunut dan keterampilan membuat sepatu tersebut diwariskan secara turun temurun kepada anaknya. •
Mobilitas intragenerasi
Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi yang sama. Mobilitas intragenerasi dapat mengacu 14 Universitas Sumatera Utara
pada mobilitas sosial yang dialami seseorang dalam masa hidupnya, misalnya dari status asisten dosen menjadi guru besar, atau dari perwira pertama menjadi perwira tinggi.
2.4. Faktor-faktor Yang Mendorong Terjadinya Mobilitas Sosial •
Motivasi
Setiap individu pasti memiliki keinginan tidak hanya memiliki cara hidup yang baik, tetapi juga ingin memperbaiki sikap sosialnya. Dalam sistem terbuka ada kemungkinan untuk mencapai status apapun. Keterbukaan ini memotivasi orang untuk bekerja keras dan memperbaiki keterampilan sehingga seseorang dapat mencapai status sosial yang lebih tinggi. Tanpa motivasi tersebut, upaya untuk mobilitas sosial pun akan mustahil. •
Prestasi (Achievement)
Prestasi dapat mengacu terjadinya mobilitas sosial. Contohnya, performa positif anda yang tidak terduga ketika muncul di depan umum, yang dapat menarik perhatian publik yang lebih luas dengan kemampuan seseorang. Namun tidak semua prestasi akan menghasilkan mobilitas sosial. •
Pendidikan (Education)
Pendidikan tidak hanya membantu seorang individu untuk memperoleh pengetahuan tetapi juga sebagai kunci untuk menuju prospek kerja yang lebih tinggi. Sebagai contoh, untuk menjadi dokter, setidaknya orang harus memiliki pendidikan dalam mata pelajaran sains, dan bisa meneruskan kejenjang perkuliahan.
15 Universitas Sumatera Utara
•
Keahlian dan Pelatihan (Skills and Training)
Setiap masyarakat membuat ketentuan untuk memberikan keterampilan dan pelatihan untuk generasi muda. Untuk memperoleh keterampilan dan pelatihan kita harus membutuhkan banyak waktu serta uang. Mengapa orang-orang membutuhkan waktu dan uang? Alasannya adalah bahwa masyarakat dapat memberikan dorongan pada orang-orang tersebut. Masyarakat tidak hanya memberikan status sosial yang lebih tinggi, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang lebih tinggi dan hak lainnya kepada orang-orang yang memiliki pelatihan tersebut. Tetap menjaga orang-orang yang menjalani pelatihan ini dengan harapan untuk naik di strata sosial. Dengan kata lain, keterampilan dan pelatihan memudahkan dalam perbaikan posisi, ini menyebabkan mobilitas sosial. •
Industrialisasi
Revolusi industri mengawali suatu sistem sosial yang baru di mana orang diberi status sesuai dengan kemampuan dan pelatihan mereka. Itu tidaklah penting diberikan kepada yang mempunyai kasta tertentu, ras, agama dan etnis. Industrialisasi mengakibatkan produksi massal pada harga yang lebih murah. Hal ini memaksa para pengrajin dari pekerjaan mereka. Dalam mencari pekerjaan, mereka bermigrasi ke kota-kota industri. Mereka mendapatkan pelatihan keterampilan kerja dan mendapat pekerjaan pada bidang industri. Dengan pengalaman dan pelatihan, mereka bisa pindah atau naik tingkat pada strata sosial. Dalam masyarakat industri, status pada pekerjaan meningkat capai dikarenakan pekerjaan dan pelatihan mereka memumpuni. Sedangkan di masyarakat sebagai contoh pada daerah Bali yang beragama hindu, status di anggap berasal dan sesuai dengan keturunan mereka.
16 Universitas Sumatera Utara
2.5. Dampak Mobilitas Sosial .
Setiap mobilitas sosial akan menimbulkan peluang terjadinya penyesuaian - penyesuaian atau sebaliknya akan menimbulkan konflik. Menurut Horton dan Hunt (1987), ada beberapa konsekuensi negatif dari adanya mobilitas sosial vertikal, di antaranya:
1. Adanya kecemasan akan terjadi penurunan status bila terjadi mobilitas menurun. 2. Timbulnya ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status jabatan yang meningkat. 3. Keterangan hubungan antara anggota kelompok primer, yang semula karena seseorang berpindah ke status yang lebih tinggi atau ke status yang lebih rendah.
Adapun dampak mobilitas sosial bagi masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif antara lain sebagai berikut. •
Dampak Positif :
Pertama, mendorong seseorang untuk lebih maju Terbukanya kesempatan untuk pindah dari strata ke strata yang lain. Menimbulkan motivasi yang tinggi pada diri seseorang untuk maju dalam berprestasi agar memperoleh status yang lebih tinggi. Kedua mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Contoh: Indonesia yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika didukung oleh sumber daya yang memiliki kualitas. Kondisi ini perlu di dukung dengan peningkatan dalam bidang pendidikan. Ketiga meningkatkan Intergrasi Sosial Terjadi nya mobilitas sosial dalam suatu masyarakat dapat meningkatkan integrasi sosial. Misalnya, ia akan menyesuaikan diri dengan gaya hidup, nilai-
17 Universitas Sumatera Utara
nilai dan norma - norma yang di anut oleh kelompok orang dengan status sosial yang baru sehingga tercipta intergrasi sosial. •
Dampak Negatif :
Timbulnya Konflik Konflik yang ditimbulkan oleh mobilitas sosial dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut : Pertama konflik antar kelas. Dalam masyarakat terdapat lapisan-lapisan. Kelompok dalam lapisan tersebut disebut kelas sosial. Apabila terjadi perbedaan kepentingan antar kelas sosial, maka bisa memicu terjadinya konflik antar kelas. Kedua konflik antar kelompok sosial. Konflik yang menyangkut antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Konflik ini dapat berupa konflik antara kelompok sosial yang masih tradisional dengan kelompok sosial yang modern. Proses suatu kelompok sosial tertentu terhadap kelompok sosial yang lain yang memiliki wewenang. Ketiga konflik antar generasi. Konflik yang terjadi karena adanya benturan nilai dan kepentingan antara generasi yang satu dengan generasi yang lain dalam mempertahankan nilai - nilai dengan nilai - nilai baru yang ingin mengadakan perubahan. Keempat berkurangnya solidaritas kelompok penyesuaian diri dengan nilai-nilai dan norma -norma yang ada dalam kelas sosial yang baru merupakan langkah yang diambil oleh seseorang yang mengalami mobilitas, baik vertikal maupun horizontal. Hal ini dilakukan agar mereka bisa diterima dalam kelas sosial yang baru dan mampu menjalankan fungsi - fungsinya. Kelima Timbulnya gangguan psikologis mobilitas sosial dapat pula mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, antara lain sebagai berikut. : Menimbulkan ketakutan dan kegelisahan pada seseorang yang mengalami mobilitas menurun. Adanya gangguan psikologis bila seseorang turun dari jabatannya. Mengalami frustasi atau putus asa dan malu bagi orang-orang yang ingin naik ke lapisan atas, tetapi tidak dapat mencapainya.
18 Universitas Sumatera Utara
2.6. Penelitian Terdahulu Tentang Mobilitas Sosial
Penelitian (Ravik Kardisi) mengenai tranformasi pekerja buruh petani menjadi pengrajin industri kecil. Peristiwa ini terjadi akibat keterbatasan pekerjaan di sektor pertanian dari buruh tani sehingga harus berpindah pekerjaan ke buruh industri kecil. Tidak hanya itu, keterbatasan jumlah upah sebagai buruh tani juga sangat rendah sedangkan kebutuhan ekonomi keluarga masih kurang, sehingga mereka memilih bekerja sebagai buruh pengrajin. Dengan demikian pekerjaan buruh pengrajin industri kecil menjadi pekerjaan yang paling utama bagi mereka.
Selain itu buruh pengrajin yang masih memiliki lahan pertanian, mereka hanya bekerja sebagai buruh sambilan. Pekerjaan tersebut hanya untuk menambah pendapatan yang mereka harapkan. Bagi pengrajin (sering kali disebut sebagai juragan kecil) umumnya masih bekerja sebagai pengrajin sekaligus mengolah pertanian mereka atau bekerja sebagai buruh tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena sebelum mereka bekerja sebagai buruh pengrajin indutri kecil dahulu mereka bekerja sebagai buruh tani dimana pekerjaan tersebut adalah pekerjaan utama bagi mereka. Namun sebagian buruh tani tidak mengelola lahan pertanian mereka maka lahan pertanian tersebut akan disewakan kepada petani lain untuk di kelola. Meskipun yang terlihat mereka belum sepenuhnya menaruh harapan kepada idustri kecil yang merupakan pekerjaan utamanya, hal ini dikarenakan lahan pertaniannya dijadikan penyangga/ alternatif jika terjadi kerugian dalam usaha industri tempatnya bekerja, maka mereka dapat kembali mengelola lahan pertaniannya. Selain itu ada juga pengrajin pengusaha yang umumnya tidak lagi mempunyai lahan pertanian, karena lahan pertanian mereka sudah dijual untuk modal usaha bagi pengembangan usaha industri kecil yang menjadi pekerjaan utamanya. Mereka hanya tergantung / menggantungkan hidupnya pada industri kecil, karena
19 Universitas Sumatera Utara
pengalaman mereka telah menunjukkan hasil yang sangat menjaminan hidup keluarganya yang akan datang.
Dari penelitian di atas terdapat orang – orang yang semula bekas petani non pemilik lahan (buruh tani) dan kini telah mejadi pengrajin pengusaha. Hal ini merupakan suatu sukses yang menarik perhatian. Dalam penelitian ini ditemukan empat orang, mereka tersebut adalah tiga orang menjadi pengrajin industri kecil dan seorang menjadi pengrajin pengusaha. Keempat orang tersebut jika dilihat dari pendidikannya tiga orang berpendidikan SMTA (Sekolah Menengah Tingkat Atas) dan seorang diantaranya tidak tamat sekolah selain itu juga di antara mereka ada pernah kuliah diperguruan tinggi tetapi tidak selesai sampai sarjana. Keempatnya magang menjadi buruh, dan dua diantaranya pernah kursus yang diselenggarakan oleh depertemen perindustrian setelah yang bersangkutan menjadi pengrajin, dan seluruhnya menjadi konsultan usaha dengan Lembaga Suadaya Masyarakat (LSM) pembina pengrajin. Mereka berhubungan dengan bank dan pernah mendapatkan bantuan pinjaman dari BUMN/PLN. Usia mereka 43 tahun, 48 tahun, 49 tahun dan 52 tahun. Keempatnya berstatus sebagai pedagang pengumpul sekaligus pengrajin, yaitu menjadi penghubung pengrajian dengan mengespor, ini merupakan contoh dari mobilitas sosial vertikal. Mereka menjadi patron dan motivasi bagi petani kecil lain yang beralih ke pekerjaan industri kecil dan berhasil dalam usaha tersebut.
Dengan menggunakan perbedaan ciri – ciri komunitas masyarakat industri dan komunitas desa pertanian (Suparlan,1994), komunitas pedesaan sentral industri kecil di sekitar Surakarta. Dapat diidentifikasi bahwa : pertama desa – desa ini telah banyak menggunakan alat – alat reproduksi berupa mesin – mesin yang memunculkan berbasis produksi berupa bengkel atau semacam pabrik/gudang. Kedua telah terjadi hubungan antara pemberian upah dan buruh yang mencirikhaskan hubungan majikan buruh walaupun belum
20 Universitas Sumatera Utara
seketat birokrasi pabrik. Ketiga telah mulai dominan berkembangnya ekonomi pasar dan hubungan kekeluargaan semakin mengendor dalam urusan perdagangan. Keempat, pekerjaan buruh industri lebih menjadi pilihan daripada buruh tani. Kelima, dengan adanya tuntunan jual produk bagi kebutuhan ekspor menjadikan pembagian waktu bagi pengrajin relatif ketat batas - batasnya. Jadi dapat di simpulkan kondisi yang terjadi tersebut dari sisi prosesnya tidak dapat di lepaskan dengan peranan pendidikan magang. Sebagai yang menjembatani transformasi pekerjaan yang semula sebagai petani menjadi industri kecil. Motivasi untuk berpindah pekerjaan merupakan kesempatan belajar berusaha terutama melalui magang, proses kesinambungan belajar yang di dukung oleh pemilik modal keterampilan dan modal usaha sebagai pemilik aset usaha dan ini merupakan mobilitas sosial vertikal namun dari segi pekerjaanya tetap sama. Selain itu tersedianya pasar yang menampung produksinya yang akan mengantarkan seseorang yang menjadi pengrajin yang berhasil. Demikian juga makna belajar yang terus menerus diterapkan bagi setiap orang yang ingin meningkatkan diri yang menjadi pengrajin berhasil. Selain itu ada penelitian (Arini Fitria Utami) mengenai mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat nelayan Jangkar baik secara horizontal atau vertikal baik ke atas maupun ke bawah. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perubahan formasi armada penangkapan ikan yaitu dengan adanya perubahan penggunaan perahu motor yang bermuatan 1<5 GT yang banyak digunakan nelayan pada tahun 2010 yang kemudian terjadi penurunan pada tahun 2011. Pada tahun 2012 terjadi perubahan teknologi penangkapan dimana nelayan Jangkar tidak lagi menggunakan perahu motor melainkan menggantinya dengan perahu layar. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, banyaknya nelayan yang beralih menggunakan perahu layar dikarenakan dalam perahu layar dapat menggunakan dua tenaga penggerak yaitu tenaga angin dan tenaga mesin dan bahan bakar yang dihabiskan tidak sebanyak seperti 21 Universitas Sumatera Utara
menggunakan perahu motor, sehingga biaya operasional dalam kegiatan melaut lebih efisien. Berdasarkan hasil penelitian perubahan kondisi sumber daya laut serta tersedianya peluang pekerjaan di luar sektor penangkapan ikan menjadi faktor terjadinya mobilitas sosial di Desa Jangkar. Mobilitas sosial yang
dilakukan nelayan jangkar merupakan perpindahan dari
pekerjaan sebelumnya ke pekerjaan yang baru. Perpindahan pekerjaan tersebut seseorang akan memperoleh status sosial yang baru yang berbeda dengan status yang lama yang menempatkan mereka berada di posisi atau kedudukan tertentu atau bahkan tetap pada kedudukan yang tidak jauh beda dengan kedudukan sebelumnya hanya saja pekerjaannya saja yang berbeda. Untuk mengetahui bentuk-bentuk beserta proses-proses mobilitas sosial yang dialami oleh nelayan Jangkar berdasarkan penelitian yang dilakukan antara lain: Pada mobilitas vertikal ke bawah hal ini karena nelayan beralih pekerjaan yang status ekonomi dan sosial lebih rendah dari pekerjaan sebelumnya. Umumnya nelayan yang mengalami mobilitas vertikal ke bawah dalam penelitian ini adalah juragan darat. Berdasarkan hasil wawancara, hal yang melatarbelakangi juragan darat mengalami mobilitas vertikal ke bawah dikarenakan mereka sering mengalami kerugian akibat dari pendapatan yang diperoleh sering tidak dapat menggantikan biaya operasional yang harus dikeluarkan dalam kegiatan melaut oleh juragan darat yang disebabkan dar sedikitnya hasil tangkapan ikan diperoleh sehingga akibat dari seringnya juragan darat mengalami kerugian tersebut menyebabkan ia menjadi bangkrut. Pekerjaan sekarang yang dipilih oleh juragan darat didasarkan oleh modal dan keterampilan yang dimilikinya, hanya saja dalam pekerjaan yang ditekuninya saat ini penghasilan dan jenis pekerjaannya lebih rendah dari pekerjaan sebelumnya seperti juragan darat memilih beralih pekerjaan sebagai pengebor sumur atau pengecer ikan sehingga dilihat dari penghasilan dan jenis pekerjaan tersebut mereka mengalami mobilitas vertikal ke bawah. 22 Universitas Sumatera Utara
Selain itu ada juga nelayan yang mengalami mobilitas vertikal ke atas dikarenakan dalam perpindahan pekerjaannya ia mengalami peningkatan baik status ekonominya maupun status sosialnya yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya. Mobilitas vertikal ke atas dalam penelitian ini dialami oleh buruh nelayan yang beralih pekerjaan sebagai juragan darat, buruh nelayan yang beralih pekerjaan sebagai juragan laut, buruh nelayan dan juragan darat yang beralih pekerjaan sebagai pedagang ikan. Berdasarkan data lapangan dapat dijelaskan bahwa nelayan yang mengalami peningkatan status dari pekerjaan sebelumnya sebagai buruh nelayan menjadi juragan darat, sebagian besar dikarenakan mereka menyisihkan penghasilan mereka untuk ditabung yang digunakan oleh mereka untuk membeli perahu. Selain itu dalam proses mobilitas yang dialami oleh buruh nelayan sebelum menjadi juragan dara kebanyakan dari mereka pernah menekuni pekerjaan sebagai juragan laut, sehingga ketika informan menjadi juragan darat, mereka memilih untuk merangkap sebagai juragan laut juga di perahu mereka sendiri. Selain itu juga buruh nelayan yang memiliki pengalaman sebagai juragan laut memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi juragan darat dibandingkan buruh nelayan yang tidak memiliki pengalaman sebagai juragan laut. Hal ini dikarenakan buruh nelayan yang memiliki pengalaman sebagai juragan laut lebih mudah mendapatkan bantuan modal dari pengambe’ untuk membeli perahu dibandingkan buruh nelayan yang tidak memiliki pengalaman sebagai juragan laut. Selain itu, proses mobilitas sosial buruh nelayan yang menjadi juragan darat dapat disebabkan juga karena faktor pernikahan yang didasarkan ikatan kekerabatan antara buruh nelayan dan pihak istri yang merupakan anak dari juragan darat. Tetapi disisi lain ada juga nelayan yang mengalami mobilitas horizontal yaitu nelayan yang beralih pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya tetapi status ekonomi keluarganya tidak berbeda jauh dengan pekerjaan sebelumnya. Nelayan yang mengalami mobilitas ini adalah buruh nelayan baik yang bekerja sebagai tukang becak atau tukang kayu.
23 Universitas Sumatera Utara
Sebagian besar alasan buruh yang nelayan keluar dari pekerjaan sebagai nelayan adalah karena penghasilan nelayan yang sering tidak mencukupi kebutuhan, sedangkan resiko dari pekerjaan tersebut sangat tinggi dan juga intensitas untuk berkumpul dengan keluarga sangat sedikit. Karena buruh nelayan yang berhenti bekerja sebagai nelayan tidak memiliki modal, akhirnya pekerjaan yang mereka pilih adalah pekerjaan yang membutuhkan modal sedikit dan sesuai dengan keterampilan mereka, sehingga mobilitas yang dialami mereka hanya bersifat horizontal saja. Meskipun penghasilan mereka kurang lebih sama tetapi berdasarkan data yang diperoleh mereka merasa lebih nyaman dengan pekerjaan sekarang. Berdasarkan hasil penelitian, proses mobilitas juragan darat yaitu mereka memilih untuk keluar dari sektor penangkapan (nelayan). Alasan yang melatarbelakangi mereka melakukan perpindahan kerja karena mereka sering mengalami kerugian karena penghasilan yang diperoleh sering tidak mampu mengganti biaya yang harus dikeluarkan ketika melaut akibat dari sedikitnya memperoleh hasil tangkapan ikan
sedangkan biaya operasional yang harus ditanggung
juragan darat dalam kegiatan melaut cukup besar. Pekerjaan yang ditekuni mereka saat ini dipilih atas dasar dorongan dari diri sendiri dan keluarga (istri) termasuk juga modal yang dimiliki. Bagi juragan darat yang memiliki modal yang banyak ia lebih memilih untuk bekerja sebagai pedagang ikan, karena penghasilan sebagai pedagang ikan sangat menguntungkan dan waktu kerjanya tidak begitu lama yaitu hanya 3 - 4 jam saja sehingga mereka memiliki banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Sedangkan bagi juragan darat yang tidak memiliki modal yang banyak, ia akan memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan (keterampilan) mereka. Proses mobilitas sosial yang dialami oleh juragan laut ada yang bersifat vertikal ke atas dan vertikal ke bawah, tetapi perlu diketahui bahwa pekerjaan sebagai juragan laut tidak
24 Universitas Sumatera Utara
diperoleh dengan mudah, biasanya nelayan yang menjadi juragan laut pasti pernah menekuni pekerjaan sebagai buruh nelayan, hal ini karena pengetahuan (keterampilan) mengetahui daerah penangkapan yang memiliki potensi ikan paling banyak yang harus dimiliki oleh juragan laut diperoleh dari pengalaman empiris ketika ia bekerja di laut. Tetapi lamanya pengalaman kerja di laut tidak dapat menjamin buruh nelayan memiliki keterampilan sebagai juragan laut. Dari data lapangan yang diperoleh, mobilitas bagi juragan laut di Desa Jangkar lebih banyak bersifat vertikal ke atas hal ini dikarenakan juragan laut di Desa Jangkar beralih pekerjaan yang status pekerjaan lebih tinggi dari pekerjaan sebelumnya. Mobilitas pekerjaan tersebut yaitu sebagai juragan darat. Juragan laut yang menjadi juragan darat, dan memilih untuk mempertahankan pekerjaan sebelumnya sebagai juragan laut. Alasan mereka tetap ikut dalam kegiatan melaut karena mereka tidak memiliki pekerjaan lain di darat dan mereka sudah terbiasa dan menyukai pekerjaan tersebut. Selain itu dengan turut andilnya juragan darat dalam kegiatan melaut, ia dapat mengawasi anggotanya dan memperhitungkan biaya yang akan dihabiskan selama melaut, termasuk juga terkait dengan masalah pembagian hasil juragan akanmemperoleh penghasilan ganda yaitu sebagai juragan darat dan juragan laut. Sedangkan bagi juragan laut yang bekerja di perahu milik orang lain memiliki konsekuensi mengalami penurunan status pekerjaan atau mobilitas vertikal ke bawah jika dalam kegiatan penangkapan sering tidak memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak kecuali ketika kegiatan penangkapan tersebut memang tidak musim ikan, hal ini karena juragan laut bertanggung jawab untuk memperoleh hasil tangkap ikan yang banyak. Berdasarkan hasil wawancara, disebabkan karena ketidakmampuannya menjadi juragan laut melainkan karena adanya salah satu anggota awak kapal yang dengki kemudian
25 Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi anggota awak kapal yang lain agar juragan laut toron lako, tetapi kebanyakan juragan laut yang toron lako dikarenakan ketidakmampuan ia menentukan posisi ikan-ikan banyak berkumpul, sehingga anggota nelayan sering tidak mendapatkan hasil tangkap yang memuaskan yang mengakibatkan juragan darat mengalami kerugian karena tidak bisa mengembalikan biaya operasional yang dikeluarkan, sedangkan bagi awak perahu mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sedangkan pada proses mobilitas buruh nelayan yang ada di Desa Jangkar ada yang bersifat horizontal dan vertikal ke atas. Buruh nelayan yang memilih keluar dari pekerjaan sebagai nelayan tetapi tidak memiliki modal untuk mengembangkan usaha lain, mereka memilih pekerjaan yang hanya membutuhkan tenaga saja sehingga mobilitas yang dialami mereka hanya bersifat horizontal, hal ini karena pada umumnya pekerjaan yang dipilih status pekerjaan dan penghasilannya kurang lebih tidak jauh berbeda dengan pekerjaan sebelumnya yaitu buruh nelayan, tetapi ada juga buruh nelayan yang mengalami mobilitas horizontal sekaligus vertikal ke atas yaitu buruh nelayan yang beralih pekerjaan sebagai pedagang ikan yang penghasilannya lebih besar dibandingkan pekerjaannya sebelumnya yaitu sebagai buruh nelayan, hal dikarenakan ia memanfaatkan lembaga keuangan yang ada. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam proses mobilitas sosial yang dialami oleh juragan darat di Desa Jangkar yaitu mereka memilih beralih pekerjaan di luar sektor penangkapan. Hal yang melatarbelakangi mereka melakukan mobilitas yaitu karena mereka mengalami kerugian akibat dari hasil tangkapan yang diperoleh tidak mampu mengganti biaya operasional yang harus dikeluarkan selama dan setelah melaut yang menjadi tanggung jawab juragan darat. Dalam mobilitas sosial yang dilakukan ada yang mengalami mobilitas vertikal ke bawah dan mobilitas vertikal ke atas. Sedangkan pada proses mobilitas sosial yang dialami oleh juragan laut lebih banyak bersifat vertikal ke atas yaitu mereka mengalami peningkatan pada status pekerjaan sebagai juragan darat.
26 Universitas Sumatera Utara
Cara yang mereka lakukan untuk menjadi juragan darat yaitu dengan menyisihkan sebagian penghasilan mereka termasuk juga meminjam kepada pengambe’ yang digunakan untuk membeli perahu. Sedangkan juragan laut yang mengalami mobilitas vertikal ke bawah yaitu dari juragan laut dan menjadi buruh nelayan biasanya dikarenakan ia tidak bisa menjalankan tugasnya untuk memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak. Pada proses mobilitas buruh nelayan ditentukan oleh modal dan keterampilan yang dimiliki. Bagi buruh nelayan yang memiliki modal yang banyak dan keterampilan maka mobilitas sosial yang dialami umumnya adalah mobilitas vertikal keatas, sebaliknya buruh nelayan yang sedikit modal dan keterampilan maka mobilitas sosial yan dialami umumnya hanya bersifat horizontal. Berdasarankan penelitian yang di lakukan (Hermansyah tahun 2014) tentang Mobilitas Sosial Hozisontal yang terjadi
di Kelurahan Sungai Siring. Mobilitas Sosial
Horizontal Pergeseran-pergeseran tersebut tidak menurunkan atau menaikkan posisi yang bersangkutan, tetapi bukan berarti tidak mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Kesulitan yang muncul umumnya terjadi pada saat penyesuaian diri (adaptasi).Adakalanya yang bersangkutan harus mempelajari dan melatih keterampilan yang baru. Begitu pula penyesuaian terhadap kelompok yang didatangi, harus dimulai dengan mengenal dan menerima kembali sifat-sifat dan perilaku rekan sekerjanya agar dapat bekerja sama untuk meningkatkan prestasi kerja di kelompoknya. Eratnya hubungan sosial dan kerja sama yang telah terbina di kelompok yang ditinggalkan, dijalin kembali di kelompok yang baru. Mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring. Ada dua faktor yaitu antar wilayah dan antar generasi, semenjak dibangunnya Bandara Samarinda Baru, banyak masyarakat pendatang yang tinggal di Kelurahan Sungai Siring khususnya di sekitar Bandara Samarinda Baru, karena di sekitar Bandara Samarinda Baru akan ramai seperti di bandara udara sepinggan Balikpapan,sedangkan masyarakat asli
27 Universitas Sumatera Utara
yang tinggal di Kelurahan Sungai Siring akan meneruskan usaha atatu kegiatan orang tuanya yang suda tidak ada. Selain itu mereka juga merasa butuh akan kehadiran masyarakat pendatang di Kelurahan Sungai Siring khususnya di sekitar Bandara Samarinda Baru. Dengan adanya masyarakat pendatang akan membuat ramai di wilayah RT 07 Kelurahan Sungai Siring dengan secara tidak sadar masyarakat yang pindah di sekitar Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring,sudah melakukan mobilitas sosial horizontal karena rata-rata usaha yang mereka buka sama seperti di daerah asalnya,karena merak tauh kalau di sekitar Bandara Samnarinda Baru akan menjadi ramai seperti misalnya di sekitar Bandara Udara Sepinggan Balikpapan. Berdasarkan hasil penelitian terkait penjelasan mereka terhadap mobilitas sosial horizontal yang terjadi,bahwa mereka memiliki penjelasan yang baik sehingga keberadaan keberadaan mereka dianggap dapat membantu pemerintah dan masyarakat untuk meramaikan atau menamba volume masyarakat di Kelurahan Sungai Siring khususnya di sekitar Bandara Samarinda Baru atau di RT 07 Kelurahan Sungai Siring, selain itu juga dapat memberikan peluan pekerjaan bagi masyarakat asli setempat untuk bekerja, disaat pemerintah tidak bisa memberikan lapangan pekerjan bagi mereka. Persoalan lain yang menganngap bahwa mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring menimbulkan dampak positif, hal ini dikarenakan dengan banyaknya pendatang di Kelurahan Sungai Siring atau di RT 07 akan membuat menjadi ramai dan tidak sunyi lagi selai itu juga di berbatasan antara Samarinda dengan Kutai Karta Negara tidak sepih lagi,dan juga masyarakat yang bepergian ke luar samarinda misalnya. Muara Badak,Bontang,sangata dan sebagainya tidak takut lagi untuk bepergian sendirian. Penjelasan Masyarakat tentang Proses terjadinya Mobilitas Sosial Horizontal di Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara. Proses mobilitas sosial horizontal
28 Universitas Sumatera Utara
yang terjadi di akibatkan karena orang yang sifatnya terbuka suka berinteraksi sesama orang dan untuk mendapat pengalaman baru dan pekerjaan yang baik dan orang yang sifatnya tertutup tidak mudah melakukan mobilitas sosial horizontal karena sesama orang tidak ada interaksi yang baik dan hubungannya kurang baik sesame masyarakat setempat’’ Struktur Pekerjaan di setiap masyarakat terdapat beberapa kedudukan tinggi dan rendah yang harus di isi oleh anggota masyarakat yang bersangkutan Perbedaan Fertilitas Setiap masyarakat memiliki tingkat ferilitas (kelahiran) yang berbeda-beda. Tingkat fertilitas akan berhubungan erat dengan jumlah jenis pekerjaan yang mempunyai kedudukan tinggi atau rendah Ekonomi Ganda Suatu negara mungkin saja menerapka sistem ekonomi ganda (tradisional dan modern), contohnya di negara-negara Eropa barat dan Amerika. Hal itu tentu akan berdampak pada jumlah pekerjaan, baik yang bersetatus tinggi naupun rendah. Faktor individu adalah kualitas seseorang , baik ditinjau dari segi tingkat pendidikan, penampilan, maupun keterampilan pribadi. Faktor Individu meliputi :Perbedaan Kemampauan Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Mereka yang cakap mempunyai kesempatan dalam mobilitas sosial. Setiap manusia dilahirkan dalam status sosial yang dimiliki oleh orang tuanya, karena ketika ia dilahirkan tidak ada satu manusia pun yang memiliki statusnya sendiri. Apabila ia tidak puas dengan kedudukan yang diwariskan oleh orang tuanya, ia dapat mencari kedudukannya sendiri dilapisan sosial yang lebih tinggi. Keadaan ekonomi dapat menjadi pendorong terjadinya mobilitas sosial. Orang yang hidup dalam keadaan ekonomi yang serba kekurangan, misalnya daerah tempat tinggal nya tandus dan kekurangan SDA (Sumber Daya Alam), kemudian berpindah tempat ke tempat yang lain atau ke kota besar. Secara sosiologis mereka dikatakan mengalami mobilitas. Situasi Politik dapat menyebabkan terjadinya mobilitas sosial suatu masyarakat dalam sebuah negara. Keadaan negara yang tidak menentu
29 Universitas Sumatera Utara
akan mempengaruhi situasi keamanan yang bisa mengakibatkan terjadinya mobilitas manusia ke daerah yang lebih aman. Faktor kependudukan biasanya menyebabkan mobilitas dalam arti geografik. Di satu pihak, pertambahan jumlah penduduk yang pesa mengakibatkan sempitnya tempat permukiman, dan di pihak lain kemiskinan yang semakin merajalela. Keadaan demikian yang membuat sebagian warga masyarakat mencari tempat kediaman lain. Adanya keingina melihat daerah lain mendorong masyarakat untuk melangsungkan mobilitas geografik dari satu tempat ke tempat yang lain. Struktur kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya karena adanya perubahan dari dalam dan dari luar masyarakat.Misalnya, kemajuan teknologi membuka kemungkinan timbulnya mobilitas ke atas.Perubahan ideologi dapat menimbilkan stratifikasi baru. Ekspansi teritorial dan perpindahan penduduk yang cepat membuktikan cirti fleksibilitas struktur stratifikasi dan mobilitas sosial. Misalnya, perkembangan kota, transmigrasi, bertambah dan berkurangnya penduduk. Situasi-situasi yang membatasi komunikasi antarstrata yang beraneka ragam memperkokoh garis pembatas di antara strata yang ada dalam pertukaran pengetahuan dan pengalaman di antara mereka dan akan mengahalangi mobilitas sosial. Besarnya kemungkinan bagi terjadinya mobilitas dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja yang ada. Jika tingkat pembagian kerja tinggi dan sangat dispeliasisasikan, maka mobilitas akan menjadi lemah dan menyulitkan orang bergerak dari satu strata ke strata yang lain karena spesialisasi pekerjaan nmenuntut keterampilan khusus. Kondisi ini memacu anggota masyarakatnya untuk lebih kuat berusaha agar dapat menempati status tersebut. Jika pendidikan berkualitas mudah didapat, tentu mempermudah orang untuk melakukan pergerakan/mobilitas dengan berbekal ilmu yang diperoleh saat menjadi peserta didik.Sebaliknya, kesulitan dalam mengakses pendidikan yang bermutu, menjadikan orang
30 Universitas Sumatera Utara
yang tak menjalani pendidikan yang bagus, kesulitan untuk mengubah status, akibat dari kurangnya pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian, terkait dengan bagaimana mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring, berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa masyarakat disekitar Bandara Samarinda Baru (BSB) Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara, memiliki beragam penjelasan tentang mobilitas sosial horizontal yang terjadi di Kelurahan Sungai Siring. Sebagaian besar masyarakat menjelaskan bahwa mobilitas sosial horizontal yang terjadi adalah yaitu yang menyangkut perpindahan antar kedudukan yang sejajar, perubahan antar wilayah yang sejajar, atau sebaliknya, bahkan ada juga yang memiliki penjelasan atau pendapat, dimana menurut mereka mobilitas sosial horizontal itu adalah perpindahan sekelompok atau individu dari tempat yang satu ketempat yang lain tetapi status pekerjaan tidak berubah. keberadaan masyarakat pendatang yang melakukan mobilitas sosial horizontal bisa membuat pertambahan penduduk di kelurahan sungai siring kuhusnya di sekitar Bandara Samarinda Baru atau di RT 07 Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samaeinda Utara dan juga membantu masyarakat untuk mempromosikan Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring karena di sana nantinya menjadi ramai dengan beroprasinya Bandara tersebut. Dalam masyarakat, proses sosial menunjukkan terjadinya bermacam-macam interaksi sosial antar komponen masyarakat. Proses interaksi sosial mengakibatkan terjadinya pengesahan pola pikir dan tata nilai dari satu pihak ke pihak yang lain. Interaksi sosial memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan pola pikir dan terjadinya mobilitas sosial dalam masyarakat.Terjadinya mobilitas sosial berarti telah terjadi perubahan-perubahan status orang-orang baik secara vertikal maupun secara horizontal. Setiap saat status sosial dapat mengalami perubahan karena proses evolusi alam, misal dalam lingkungan kerja di pemerintahan, yaitu dengan bertambahnya usia pejabat sehingga memasuki usia pensiun.
31 Universitas Sumatera Utara
Kondisi ini memungkinkan generasi di bawahnya mengisi kekosongan jabatan-jabatan tersebu Berdasarkan hasil penelitian, terkait dengan bagaimana status pekerjaan dalam perpindahan ke sekitar Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring,berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa masyarakat disekitar Bandara Samarinda Baru (BSB) Kelurahan Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara, memiliki beragam penjelasan tentang status pekerjaan dalam perpindahan ke sekitar Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring Sebagaian besar masyarakat menjelaskan bahwa status pekerjaan adalah ada sebagai petani, wirasuasta dan petukangan, mereka pindah kesekitar bandara karena di tempat asal mereka susah untuk melanjutkan usaha mereka karena sudah banyak orang yang menjalankan usaha yang sama-sama, sedangkan di sekitar bandara baru orang-orang yang berusah atau melakukan pekerjan yang mereka lakukan di tempat asal masih sedikit dan bgus untuk kedepannya. Jadi kesimpulannya Mobilitas sosial horizontal yang terjadi di kalangan masyarakat di kelurahan sungai siring banyak di lakukan dengan suka relah dan terpaksa,karena di tempa asal pekerjan yang di lakukan atau usaha yang di jalankan tidak memenuhi kebutuhan sehari hari,di karenakan supaya apa yang di lakukan di tempat asal bias meningkatkan pengasilan dengan pekerjan yang sama di lakukan di daerah asal. Proses terjadinya mobilitas sosial horizontal di karenakan ketidak seimbang jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia di bandingkan dengan jumlah pelamar atau pencari pekerja.atau sifat masyarakat terbuka mau melakukan perubahan sosial.
Selain itu ada juga penelitian mengenai Dampak Pendidikan Terhadap Mobilitas Sosial Di Bali Utara Pada Zaman Kolonial Belanda oleh (Made Pageh 2014). Pendidikan barat zaman kolonial secara umum bertujuan untuk menyiapkan tenaga administratif birokrasi kolonial yang hanya sekadar bisa membaca, menulis, dan aritmatik sederhana. Pelaksanaan pendidikan banyak bersifat menghafal dengan sistem drill, dengan karakter guru yang menakutkan. Sedangkan peserta didiknya sangat diskriminatif, sangat memanjakan 32 Universitas Sumatera Utara
golongan feodal (raja dan bangsawan), mengutamakan prestige dibandingkan dengan prestasi. Dalam perundangan tentang penggajian guru, peluang untuk mensejahterakan guru sangat besar. Namun masih sebatas perundangan dalam kenyataannya diskriminasi penggajian sangat tampak, dari besarnya fee take home kalangan guru pribumi kalau dibandingkan dengan guru dari bangsa kulit putih. Campur tangan pemerintah kolonial dalam pendidikan sangat besar, terutama dalam menentukan mata ajar yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan saat itu. Pendidikan sangat bersifat sentralistik. Hal ini mudah dapat dipahami karena kolonial Belanda memandang investasi pendidikan dalam jangka panjang sangat menentukan mati-hidupnya kolonisasi Belanda itu sendiri, di Indonesia umumnya dan Bali Utara khususnya. Dengan demikian maka pengawasan isi mata ajar sangat ketat, terutama dalam mengajarkan tentang kekuasaan, sistem pemerintahan, dan keadilan sosialpolitik yang terjadi dalam masyarakat kolonial. Selain itu, Beberapa Ide Pembaharuan dalam Masyarakat : Pembaharuan banyak muncul dari golongan elite terpelajar, terutama dari golongan keluarga di kalangan elite jaba. Bentuk pembaharuan dapat ditemukan dalam ide pembentukan organisasi formal, sekaha, bank rakyat (volk bank) sistem banjar, majalah Surya Kanta, dan sebagainya. Keanggotaan organisasi pada mulanya lebih banyak berdasarkan kepengikutan (volgelinzijn) atau pola pegustian (hubungan sisia-gusti) menjadi berdasarkan hubungan formal secara organisatoris, seperti sekolah dan kursus-kursus. Dalam sistem komunikasi organisasi dari sistem kulkul ke surat-menyurat dan atau ke majalah ilmiah. Dalam majalah ilmiah Surya Kanta misalnya, banyak gagasan pembaharuan muncul, terutama dalam menciptakan masyarakat literasi yang elegan secara luas, dalam mengatasi kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural di masyarakat (lihat Waanders, 1859; Caron, 1926). Di samping itu, elite jaba terpelajar terus menuntut agar diadakan perubahan sosial vertikal, seperti demokratisasi (egalitarian), kesamaan hak dan kewajiban, dan persamaan 33 Universitas Sumatera Utara
dalam kemungkinan untuk menempati posisi penting, yaitu fungsi triwangsa di masyarakat, sesuai dengan sastra agama dan sistem catur warna. Catur warna seperti disebutkan di atas adalah konsep berdasarkan swadharma agama, sementara kasta adalah konsep berdasarkan kelahiran (jati), berbeda dengan konsep dwijati. Jati di sini diartikan lahir dari rahim keluarga triwangsa, sementara konsep dwijati pada elite terpelajar jaba, yang sesuai dengan sastra Agama Hindu adalah dalam arti seorang yang lahir dua kali, yaitu jati pertama lahir dari rahim ibu (siapa saja), dan jati kedua “lahir” dari upacara pediksaan. Ketika gagasan ini dipublikasikan dalam majalah Suryakanta oleh golongan Jaba terpelajar, konflik kasta terjadi, dan berkepanjangan. Berbagai ide pembaharuan muncul di Bali Utara itu tidak mendapat sambutan positif, karena masyarakat dari golongan triwangsa belum siap menerimanya. Dampak Pendidikan Terhadap Mobilitas Sosial di Bali Utara, Pendidikan zaman kolonial Belanda berdampak positif dalam mengantarkan masyarakat menuju pencerahan/ kemajuan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah, banyaknya golongan jaba menempati posisi penting dalam birokrasi kolonial Belanda. Terutama dengan dibangunnya Sekolah-sekolah Rakyat (SR) di berbagai desa, MULO, dan sekolah kejuruan lainnya di keresidenan Bali–Lombok. Banyak pegawai dan gurunya diangkat oleh Belanda dari golongan Jaba berpendidikan guru, sesuai dengan spesialisasi atau spesifikasinya. Status sosial sebagai pegawai negeri ini oleh masyarakat luas, dikategorikan sebagai priyayi, yang beredudukan sangat terhormat. Dengan demikian, pendidikan banyak memberikan peluang terjadinya mobilitas sosial masyarakat, terutama perubahan horizontal. Pertentangan kasta antara golongan Jaba dan triwangsa (elite tradisional), dalam mempertentangkan penerapan konsep warna. mudah dapat dipahami, karena sistem kasta hanya menguntungkan elite tradisional, sehingga golongan triwangsa sangat konservatif mempertahankannya. Di pihak lain, elite jaba 34 Universitas Sumatera Utara
terpelajar memandang sistem warnalah yang sesuai dengan agama Hindu, yaitu status berdasarkan pada fungsinya, atau mendasarkan diri pada kemampuan dan status yang disandang seseorang, terutama elite jaba terpelajar pada posisi birokrasi kolonial Belanda, ketika itu. Perebutan sumber daya status sosial ini, sebagai konsekuensi dari sebuah perubahan digagaskan memunculkan konflik sosial di masyarakat Bali Utara. Masing-masing golongan, yaitu jaba dan triwangsa menggunakan media komunikasinya sebagai alat bela diri, atau pembenaran diri yaitu: majalah Suryakanta bagi golongan jaba dan Bali Adnyana bagi golongan triwangsa. Tuntutan elite jaba terpelajar mendasarkan diri pada pengetahuan yang dimiliki (satra agama) terus menggebu-gebu. Mereka menuntut agar diadakan perubahan sosial vertikal, seperti demokratisasi (egalitarian), kesamaan hak dan kewajiban, dan persamaan dalam berbagai kesempatan dan kemungkinan menempati status sosial yang ada di masyarakat, terutama untuk menempati posisi penting yang selama ini fungsi itu dimonopoli oleh golongan triwangsa, berdasarkan tradisi yang ada di Bali umumnya. Hal itu dipandang tidak benar dan tidak adil, karena tidak sesuai dengan sastra agama (catur warna). Dijelaskan oleh golongan jaba terpelajar, catur warna yang berdasarkan swadharma agama atau fungsi-fungsi dalam pembagian pekerjaan dalam masyarakat Hindu, telah dilencengkan menjadi konsep kasta yang berdasarkan kelahiran natural dari rahim ibu atau keturunan (lihat pula Wiana dan Raka Santri, 1997). Yang sangat berbeda dengan konsep dwijati, yaitu pertama dari rahim ibu, kedua “lahir” dari upacara pediksaan. Dengan demikian disimpulkan, siapun juga sebenarnya berhak menjadi brahmana, asal mampu melaksanakan fungsi dan swadharmanya sebagai pemimpin upacara keagamaan di masyarakat, dengan catatan mereka telah
di
dwijati/didiksa (lihat Agung,1983; Atmadja, 1987). Protes golongan elit jaba terutama di daerah basis elite terpelajar seperti daerah Banjar Jawa, Banjar Tegal, Banyumala, dan Bubunan, mengembangkan bahasa ‘prokem’ (ngoko) 35 Universitas Sumatera Utara
yang berusaha melawan bahasa sor-singgih (bahasa halus) seperti kata “nani, cicing nani, ake, oke, hanya menyebut gus, gung, ti bagi golongan triwangsa Ida Bagus, Anak Agung dan Gusti, dan sebagainya. Sejak zaman Orde Baru ada kenyataan klan dalam masyarakat membentuk Sri Empu dari golongan jaba (luar triwangsa). Warga pande memang telah mewarisi tradisi Bali menggunakan pemuput sendiri dari warga pande, disebut Sri Empu Pande, karena ada bisama bahwa golongan brahmana dan golongan pande dalam melaksanakan perupacaraan boleh mandiri, tetapi bukan untuk seluruh umat hindu di Bali. Sedangkan fungsi kolosal warga pande dari sejak zaman kerajaan adalah sebagai pemasupati berbagai peralatan upacara dan upakara seperti: pretima, keris, patung, senjata, perlengkapan pakaian raja, cincin; wadah, petulangan, termasuk bangunan raja, menggunakan dharma kepandean. Sebagai tradisi memang harus diartikan dalam konteks desa, kala, dan tatwa (tempat, waktu, dan ajaran leluhur). Pertentangan kasta di Bali Utara, tidak terselesaikan dengan bijak karena penyelesaiannya dengan menggunakan streotif ideologi komunis (Suryakanta,1927) sehingga masalah ini menjadi bom waktu sampai sekarang. Terbukti dari pertentangan kepengurusan Parisada Pusat dengan Parisada Daerah Bali, yaitu adanya dua keinginan di satu sisi ingin mengadakan pembaharuan-pembaharuan terhadap tradisi Bali terutama bebantenan disesuaikan dengan tatwa yang didapat dari India, sementara di lain pihak ingin Agama Hindu di Indonesia itu mendekati perkembangan Hindu di Bali terakhir. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan, Pendidikan dapat mengantarkan orang Bali memasuki birokrasi pemerintah kolonial, bahkan ada yang dapat menduduki posisi penting di mata masyarakat, seperti pegawai, guru, dan ajudan pemerintah kolonial. Kondisi ini memberikan peluang bagi elit jaba untuk mengadakan pembaharuan sistem kasta menjadi sistem warna. Hal ini mendapat tantangan dari golongan triwangsa. Protes golongan elit jaba masih
36 Universitas Sumatera Utara
berlanjut hingga sekarang di Bali Utara, bahkan idenya merembes ke daerah lain. Sehingga bom waktu pertentangan kasta (konflik) di Bali Utara dapat dilihat dalam konteks ini.
37 Universitas Sumatera Utara