5
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen Produksi Tanaman Kajian penting dalam
ilmu agronomi untuk meningkatkan produksi
tanaman melalui beberapa strategi, yaitu perbaikan kualitas benih, rekayasa genetika, aplikasi zat pengatur tumbuh, dan teknologi pemupukan. Selain beberapa bidang ilmu tersebut, kegiatan agronomi lain yang masih diterapkan untuk meningkatkan produksi seperti kegiatan pengolahan tanah, dan penambahan bahan organik. Kemajuan teknologi untuk meningkatkan produksi tanaman harus disinergikan dengan konservasi lingkungan tumbuh tanaman tersebut. Daya dukung lingkungan sebagai penunjang tanaman harus tetap terjaga dengan baik dan sistem pertanian berkelanjutan dapat terwujud (Andrews et al. 2004). Teknologi pertanian tanpa olah tanah merupakan hal yang jarang dilakukan di daerah pertanian di Indonesia, biasanya hanya pada perkebunan skala besar. Pada produk pertanian tanaman pangan dan sayuran, justru kegiatan pengolahan tanah ini mendapat porsi yang besar. Pengolahan tanah yang terlalu intensif menyebabkan erosi dan dampak negatif terhadap keseimbangan biologi lainnya. Hasil penelitian Nissen dan Wander (2003) menunjukkan bahwa tanpa olah tanah mengurangi kehilangan N lewat pencucian, meningkatkan kapasitas pengambilan hara N. Hasil penelitian itu juga menambahkan bahwa aplikasi bahan organik dapat meningkatkan kualitas tanah. Rotasi tanaman mempunyai efek positif terhadap indikator kualitas tanah. Total C organik merupakan indikator yang sangat sensitif, juga menunjukkan perbedaan pengukuran dan penilaian yang signifikan pada lokasi dengan tingkat rotasi tanaman yang berbeda (Karlen et al. 2006) Ancaman degradasi fungsi tanah bisa terjadi seiring dengan kegiatan pemupukan sintetis yang tidak terkendali. Hasil penelitian Russel et al. (2006) menunjukkan bahwa penambahan pupuk N yang bersumber dari bahan sintetis secara signifikan berpengaruh terhadap rendahnya pH tanah (0- 15cm kedalaman) dan rendahnya pertukaran Ca, Mg, dan K serta kapasitas tukar kation pada sistem penanaman jagung yang dilakukan terus menerus.
6
Siklus Hara dan Siklus Karbon Hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan bagian yang paling dinamis dalam ekosistem. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk dipergunakan dalamproses-proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah berupa daun dan ranting serta cabang yang rontok. Bagian akar tanaman memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar dan tudung akar yang mati serta dari eksudasi akar. Bahan organik yang ada di permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah selanjutnya akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah. Penyediaan hara secara terus menerus melibatkan juga masukan dari hasil pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan transformasi lain yang ada di biosfir, lithosfir dan hidrosfir (Hairiah 2002). Hara hasil mineralisasi dari bahan organik tanah (BOT), mineral tanah dan dari pemupukan memasuki pool hara tersedia dalam tanah. Hara tersedia selanjutnya dapat diserap oleh tanaman, atau mengalami imobilisasi karena adanya khelat oleh bahan organik tanah atau mineral tanah. Hara tersedia yang berada di dalam larutan tanah dapat terangkut oleh pergerakan air tanah keluar dari jangkauan perakaran tanaman sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Dengan kata lain hara tersebut telah mengalami pencucian (leaching). Beberapa hara terutama dalam bentuk anion sangat lemah diikat oleh partikel liat dan memiliki tingkat mobilitas tinggi (misalnya nitrat), sehingga hara ini mudah mengalami pencucian. Beberapa hara dalam bentuk kation (misalnya kalium), gerakannya sangat ditentukan oleh kapasitas pertukaran tanah (Hairiah 2002). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akhir-akhir ini, ada 3 proses utama yang terlibat dalam siklus hara : 1) Fiksasi N dari udara: peningkatan jumlahN hasil penambatan dari udara bila tanaman legume yang ditanam, 2) Mineralisasi bahan organik: peningkatan jumlah hara dari hasil mineralisasi serasah dan dari pohon yang telah mati, 3) Penyerapan ulang hara: peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar pepohonan yang menyebar cukup dalam. Akar pepohonan juga mengurangi jumlah kehilangan hara melalui
7
erosi dengan jalan memperlambat laju aliran permukaan dan meningkatkan air infiltrasi karena adanya perbaikan porositas tanah (Hairiah 2002). Sebagian besar CO2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati. Terdapat 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah yaitu: 1) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; 3) biota. Serasah dan akar akar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sedangkan kehilangan C dari dalam tanah dapat melalui a) respirasi tanah, b) respirasi tanaman, c) terangkut panen, d) dipergunakan oleh biota, e) erosi (Hairiah 2002).
Konsep Kualitas Tanah The Soil Science Society of America (1984) mendefinisikan kualitas tanah sebagai sifat yang melekat pada tanah yang diketahui dari karakteristik tanah atau observasi langsung (seperti kepadatan, dan kesuburan). Kualitas tanah secara sederhana difokuskan atau disamakan dengan produktivitas tanah. Beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi berinteraksi secara kompleks untuk menunjukkan kemampuan potensial tanah pada produksi berkelanjutan. Integrasi dari faktor faktor pemacu pertumbuhan yang menjadikan tanah produktif sering dimaksudkan sebagai “kualitas tanah”. Tanah bertindak sebagai filter lingkungan akibat kehilangan yang tidak diinginkan dari unsur unsur padat maupun gas dari udara dan air. Walaupun tidak diketahui dengan baik, kualitas tanah juga merupakan aturan penting untuk tanaman yang sehat dan kualitas gizi dari pangan yang dihasilkan. The Rodale Institute Research Center mensponsori workshop pada Juli 1991 untuk mendiskusikan sifat dari kualitas tanah dan apakah sifat tersebut akan dikuantitatifkan dalam sebuah arti yang dapat diprediksikan efeknya dari proses degradasi, penerapan konservasi, dan input manajemen. Workshop tersebut
8
mengusulkan bahwa konsep kualitas tanah seharusnya diperluas dengan memasukkan sifat kualitas lingkungan, kesehatan manusia dan hewan, keamanan dan kualitas pangan. Kemudian pada akhirnya workshop menyimpulkan bahwa kualitas tanah didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk berproduksi secara aman dan hara yang dibutuhkan tanaman pada kondisi berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama, mampu meningkatkan kesehatan manusia dan hewan, tanpa mengganggu sumberdaya alam atau merugikan lingkungan. Menurut Doran dan Parkin (1994) kualitas tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk berfungsi dalam berbagai batas ekosistem untuk mendukung produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Secara umum, terdapat tiga makna pokok dari definisi tersebut yaitu produksi berkelanjutan yaitu kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi, mutu lingkungan yaitu tanah diharapkan mampu untuk mengurangi pencemaran air tanah, udara, penyakit dan kerusakan sekitarnya dan ketiga kesehatan makhluk hidup. Doran dan Parkin (1994) menambahkan bahwa dampak negatif dari ketidakmampuan tanah dalam memenuhi fungsinya adalah terganggunya kualitas tanah. Kondisi tersebut menyebabkan bertambah luasnya lahan kritis, menurunnya produktivitas tanah, dan pencemaran lingkungan. Kondisi fisik, kimia dan biologi tanah dijadikan indikator untuk menentukan kualitas tanah (Sitompul & Setijono 1990; Karama et al. 1990). Doran dan Parkin (1994) juga menambahkan bahwa secara umum indikator kualitas tanah harus: 1) mengintegrasikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, 2) mudah diperoleh oleh para pengguna dan diaplikasikan pada berbagai kondisi lapangan, 3) peka terhadap perubahan pengolahan tanah dan iklim, 4) dapat diukur atau diprediksi di lapangan dan di laboratorium, dan 5) sedapat mungkin tersedia dalam basis data tanah.
Penilaian Kualitas Tanah Teknik penilaian kualitas tanah adalah metode untuk menilai kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah apakah sesuai dan mempunyai daya dukung terhadap tanaman. Menurut Departemen Pertanian Amerika terdapat empat teknik penilaian
9
kualitas tanah yaitu Soil Health Card, NRCS Soil Health Card Template, Soil Quality Test Kit Guide, dan Lab Analysis. Keempat teknik penilaian kualitas tanah tersebut mempunyai perbedaan penggunaan maupun hasilnya sehingga perlu di integrasikan dengan Soil Quality Index (Olson et al.1996). Penerapan studi kualitas tanah telah dilakukan
di Selandia Baru dan
Amerika. Penerapan teknologi produksi pertanian konvensional berdampak negatif terhadap fungsi tanah. Perbedaan aplikasi dosis pemupukan berpengaruh besar terhadap kondisi tanah, sehingga perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh pemupukan ini terhadap kualitas tanah. Pemupukan yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan tanah sekitar. Pengolahan tanah yang intensif dapat menyebabkan erosi lahan terutama pada tanah pertanian di perbukitan (Wandera 1999; Lia & Lindstrom 2001; Sparling & Schipper 2002).
Bahan Organik Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber (source) dan pengikat (sink) hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifatsifat kimianya. Aktivitas mikroorganisme dan fauna tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas. Telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa pelapukan BO dapat mengikat /mengkhelat Al dan Mn oleh asam-asam organik, sehingga dapat memperbaiki lingkungan pertumbuhan perakaran tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Hasil mineralisasi BO dapat meningkatkan ketersediaan hara tanah dan nilai kapasitas tukar kation tanah (KTK), sehingga kehilangan hara melalui proses pencucian dapat dikurangi (Hairiah 2002). Tanah-tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki kandungan bahan organik yang sangat rendah di lapisan atas. Pada tanah yang masih tertutup vegetasi permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di lapisan atas masih sangat tinggi. Perubahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan kadar BOT menurun dengan cepat. Hal ini antara lain disebabkan
10
oleh beberapa alasan: 1) Pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi; 2) Pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah kehilangan potensi masukan bahan organik (Hairiah 2002). Indikasi penurunan BOT diukur dari kadar C-total dan N-total sehingga diperoleh nilai nisbah C/N, yang selanjutnya oleh model simulasi dapat dipakai untuk menaksir ketersedian hara dari mineralisasi bahan organik. Namun penelitian terakhir membuktikan bahwa kadar C-total bukan merupakan tolok ukur yang akurat, karena hasil dari pengukuran tersebut diperoleh berbagai macam BOT yang dibagi dalam beberapa kelompok menurut umur paruh dan komposisinya. BOT lambat lapuk dan pasif (stabil) berada dalam tanah sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Kelompok ini meliputi asamasam organik dan bahan organik yang terjerap kuat oleh liat yang tidak tersedia bagi tanaman dan biota. Penetapan kandungan C-total berdasarkan oksidasi basah dengan metoda Walkey & Black adalah mengukur semua kelompok BOT baik yang masih baru maupun yang sudah lama. Hasil penetapan itu tidak dapat dipergunakan untuk studi dinamika BOT pada berbagai sistem pengelolaan lahan karena hasilnya tidak akan menunjukkan perbedaan yang jelas. Untuk itu diperlukan penetapan kandungan fraksi-fraksi BOT sebagai tolok ukur (Hairiah 2002). Berdasarkan fungsinya, bahan organik tersusun dari komponen labil dan stabil. Komponen labil terdiri dari bahan yang sangat cepat didekomposisi pada awal proses mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang tahan terhadap pelapukan) yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang terdahulu. Umur paruh atau turnover adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik sampai habis. Umur paruh dari fraksi labil dan stabil ini bervariasi dari beberapa bulan saja sampai ribuan tahun. Hasil percobaan isotop menunjukkan bahwa fraksi BOT dapat sangat stabil dalam tanah sampai lebih dari 9.000 tahun. Sekitar 60-80 % BOT dalam tanah-tanah pada umumnya terdiri dari substansi humus (Hairiah 2002).
11
Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur berkisar dari beberapa hari sampai beberapa tahun. Komponen BOT labil terdiri dari 3 kelompok: 1) Bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman seperti karbohidrat, asam amino, peptida, gula-amino, dan lipida; 2) Bahan yang agak lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin, lignin dan hemiselulosa; 3) Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass) dan bahan residu recalcitrant lainnya. Fraksi labil berperanan sangat penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya dan tingkat dekomposisinya yang cepat. Biomasa mikrobia sangat penting dalam mempertahankan status BOT yang berperanan sebagai source dan sink bagi ketersediaan hara karena daur hidupnya relatif singkat (Hairiah 2002). Faktor iklim makro yang menentukan kecepatan dekomposisi fraksi adalah temperatur dan kelembaban tanah serta keseimbangan biomasa mikrobia. Di daerah tropika basah yang memiliki resim temperatur isothermik atau isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang beragam sangat menentukan perkembangan populasi mikrobia tanah sehingga berpengaruh besar tehadap kecepatan dekomposisi komponen labil BO (Hairiah 2002). Salah satu indikator kualitas tanah adakah kandungan bahan organik tanah, selain indikator lain seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik sebagai salah satu indikator yang perlu diperhatikan, karena sifatnya yang sangat labil dan kandungannya berubah sangat cepat tergantung manajemen pengelolaan tanah (Six et al. 1998; Cerri et al. 1998; Blair et al. 1998). Kandungan bahan organik tanah sangat sedikit yaitu 1 – 5% dari berat total tanah mineral, namun pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah sangat besar. Manfaat bahan organik sudah teruji dalam memperbaiki kualitas tanah (Stevenson 1994). Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meningkatkan kemampuan tanah memegang air, menjaga kelembaban dan suhu tanah,
12
mengurangi energi kinetik langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades 1989; Elliott 1986; Puget et al. 1995; Jastrow et al. 1996; Heinonen 1985). Bahan organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah, dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson 1994; Tisdall & Oades 1982). Bahan organik juga mampu memperbaiki sifat biologi tanah dengan mengikat butir-butir partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari jamur micorhyza dan hasil eskresi tumbuhan dan hewan lainnya (Addiscott 2000).