TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Anggrek Karakteristik Tanaman Anggrek Anggrek (Orchidaceae) merupakan satu grup terbesar diantara tumbuhan berbunga. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat 15.000-20.000 spesies anggrek dengan 900 genus (marga yang dihuni rimba belantara dan tersebar di 750 negara). Kurang lebih 5.000 spesies diantaranya tersebar di Indonesia. Secara garis besar 5 subfamili, 16 tribe (suku), dan 28 subtribe. Klasifikasi tanaman anggrek didasarkan pada keiistimewaan bunga khususnya pada bagian alat reproduksi (Sutarni 2002). Berdasarkan pola pertumbuhanya, tanaman anggrek dibedakan menjadi dua, yaitu tipe simpodial dan tipe monopodial. Anggrek tipe simpodial adalah anggrek yang tidak memiliki batang utama, bunga keluar dari ujung batang dan akan berbunga kembali pada pertumbuhan anakan atau tunas baru. Contoh anggrek tipe simpodial antara lain Dendrobium, Cattleya, Oncidium, dan Cymbidium. Dendrobium mempunyai kekhasan tersendiri, yaitu dapat mengeluarkan tangkai bunga baru di sisi batangnya. Adapun anggrek tipe monopodial adalah anggrek yang dicirikan oleh adanya titik tumbuh di ujung batang, pertumbuhanya lurus ke atas pada satu batang, bunga keluar dari sisi batang diantara dua ketiak daun. Contoh anggrek tipe monopodial antara lain Vanda, Arachnis, Rananthera, Phalaenopsis dan Aranthera. Bentuk daun anggrek ada beberapa macam yaitu agak bulat, lonjong sampai lanset. Tebal daun beragam dari tipis sampai berdaging, rata dan kaku. Daun anggrek tidak bertangkai, sepenuhnya duduk pada batang. Tepi daun anggrek tidak bergerigi (rata). Ujung daun berbelah, daun memanjang, tulang daun sejajar dengan tepi daun hingga ke ujung daun. Bentuk batang anggrek beraneka ragam, ada yang ramping, gemuk berdaging seluruhnya, atau menebal di bagian tertentu dengan atau tanpa umbi semu (pseudobulb). Pseudobulb yang sudah agak tua akan tampak berkerut. Pada umumnya anggrek tipe simpodial (Dendrobium, Cattleya, Oncidium, dan
5
Cymbidium)
mempunyai
batang
berumbi
semu
(pseudobulb)
dengan
pertumbuhan ujung batang terbatas. Pertumbuhan batang akan terhenti bila pertumbuhan ke atas telah mencapai maksimal. Pertumbuhan baru dilanjutkan oleh tunas anakan yang tumbuh di samping. Pada anggrek simpodial terdapat suatu penghubung dari tunas satu ke tunas lainya yang disebut rhizome atau batang di bawah media. Pertumbuhan tunas baru akan keluar dari rhizome tersebut. Anggrek tipe moopodial (Vanda, Arachnis, Rananthera, Phalaenopsis dan Aranthera) mempunyai batang utama dengan pertumbuhan tidak terbatas. Tangkai bunga akan keluar diantara dua ketiak daun. Bentuk batang ramping dan tidak berumbi. Pada umumnya akar anggrek berbentuk silindris dan berdaging, lunak serta mudah patah dengan ujung meruncing licin dan sedikit lengket. Dalam keadaan kering, akar tampak berwarna putih keperak-perakan pada bagian luarnya dan hanya pada bagian ujung akar saja yang berwarna hijau atau tampak agak keunguan. Akar-akar yang sudah tua akan menjadi coklat dan kering kemudian digantikan oleh akar yang baru tumbuh. Akar anggrek mempunyai velamen yang terdiri dari beberapa lapis sel berongga dan transparan serta merupakan lapisan pelindung pada sistem saluran akar. Velamen berfungsi melindungi akar dari kehilangan air selama proses transpirasi dan evaporasi, menyerap air dan melindungi bagian dalam akar, serta membantu melekatnya akar pada benda yang ditumpanginya. Pada anggrek simpodial, akar diproduksi pada bagian dasar pseudobulb atau sepanjang rhizome yang menghubungkan pseudobulb satu dengan lainya. Berbeda dengan anggrek monopodial, akarnya banyak tumbuh pada ruas-ruas batang. Bunga anggrek memiliki lima bagian utama yaitu sepal (daun kelopak), petal (daun mahkota), stamen (benang sari), pistil (putik) dan ovary (bakal buah). Sepal anggrek berjumlah 3 buah, satu buah sepal bagian atas disebut sepal dorsal sedangkan dua lainya disebut sepal lateral. Anggrek memiliki tiga buah petal, petal ke satu dan kedua letaknya berseling dengan sepal. Petal ketiga mengalami modifikasi menjadi labellum (bibir). Labellum anggrek biasanya berwarna lebih cerah dari pada sepal dan petal. Pada bibir bunga terdapat gumpalan-gumpalan seperti massa sel (callus) yang mengandung protein, minyak, dan zat pewangi.
6
Buah anggrek berbentuk kapsular dengan biji yang sangat banyak didalamnya. Biji berukuran sangat kecil dan halus seperti tepung. Biji-biji tersebut tidak memiliki endosperm (cadangan makanan) sehingga dalam perkecambahanya diperlukan tambahan nutrisi dari luar atau dari lingkungan sekitarnya. Perkecambahan baru terjadi jika biji jatuh pada medium yang sesuai dan melanjutkan perkembangannya hingga kemasakan (Darmono 2002).
Syarat Tumbuh Anggrek Tanaman anggrek dapat dibedakan menurut habitatnya yaitu anggrek epifit, teresterial, dan saprofit. Anggrek epifit adalah jenis anggrek yang menupang pada batang/pohon lain tetapi tidak merusak/merugikan yang ditumpangi. Alat yang dipakai untuk menempel adalah akarnya, sedangkan akar yang fungsinya untuk mencari makanan adalah akar udara. Anggrek ini memiliki akar serabut, tidak dalam. Jenis-jenis epifit yaitu mengembangkan akar sukulen dan melekat pada batang pohon tempatnya tumbuh, namun tidak merugikan pohon inang. Anggrek ini membutuhkan naungan dari cahaya matahari, misalnya Cattleya memerlukan cahaya sekitar 30%, Dendrobium 55-65%, Phalaenopsis sekitar 25% dan Oncidium sekitar 65%. Suhu malam yang diperlukan sekitar 21oC, sedangkan suhu siang antara 27-30 oC. Selain itu anggrek epifit membutuhkan kelembaban relatif (RH) 60-85% (Setiawan 2005). Anggrek teresterial, yaitu anggrek yang tumbuh dipermukaan tanah dan membutuhkan
cahaya
matahari
langsung.
Contohnya
Vanda,
Arachnis,
Rananthera, dan Aranthera. Tanaman anggrek teresterial membutuhkan cahaya matahari sekitar 70-100% dengan suhu siang berkisar antara 19-38 oC dan malam hari sekitar 21 oC anggrek ini juga membutuhkan kelembahan relatif sebesar 6085% (Setiawan 2005). Anggrek saprofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada media yang mengandung humus atau daun-daun kering, serta membutuhkan sedikit cahaya matahari, misalnya anggrek Goodyera sp. Anggrek litofit, yaitu anggrek yang tumbuh pada batu-batuan serta tahan terhadap cahaya matahari penuh dan hembusan angin kencang, misalnya Dendrobium phalaenopsis (Darmono 2002).
7
Virus Anggrek Faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anggrek meliputi cahaya matahari, suhu udara, kelembaban udara, penyiraman, pemupukan, sirkulasi udara, media tanam, repotting, hama dan penyakit. Tanaman yang terserang penyakit akibat infeksi patogen dapat menyebabkan penghambatan atau gangguan dari aktivitas fisiologis atau perubahan struktural yang dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan bentuk tanaman yang abnormal, menyebabkan susunan bagian tanaman yang berbeda, menyebabkan kematian bagian tanaman atau seluruh tanaman sebelum waktunya. Virus yang dapat menginfeksi tanaman anggrek diantaranya adalah Cymbidium mosaic virus (CyMV), Odontoglosum ringspot virus (ORSV), Cymbidium ringspot virus (CRSV), Cucumber mosaic virus (CMV), Orchid fleck virus (OFV) (Kondo et al.2006), Bean yellow mosaic virus (BYMV), Vanilla mosaic virus (VMV), Tomato ringspot virus (TRSV) (Lawson & Hsu 1995), Dendrobium mosaic virus, Clover yellow vein virus, Dendrobium vein necrosis virus, Cypripedium filamentous virus, Turnip mosaic virus, Tobacco rattle virus, Cymbidum mild mosaic virus, Trichopilia isometric virus, Masdevallia isometric virus, Short orchid
rhabdovirus,
Grammatophyllum
bacilliform
virus,
Long
orchid
rhabdovirus, Laelia red leafspot virus, Tomato spotted wilt virus, dan Impatiens necrotic spot virus (Lawson & Hsu 1995) Capsicum chlorosis virus (CaCV) (Zheng et al. 2008). CyMV dan ORSV adalah virus yang paling banyak menimbulkan kerugian secara ekonomi (Lawson & Branningam 1986; Zettler et al. 1990; Matthews R 1992). Burnet (1974) mengemukakan bahwa virus dapat menyerang genera anggrek dalam kisaran yang luas. Ditemukan penyakit yang disebabkan oleh virus paling sedikit pada 55 genera anggrek, tetapi ini bukan berarti bahwa terdapat 55 jenis virus yang berbeda, karena virus yang sama sering dapat menginfeksi genera yang berlainan. Gejala yang dihasilkan bermacam-macam tergantung pada virus, spesies, atau hibrida anggrek yang diinfeksi, dan kondisi lingkungan.
8
CyMV Penyakit yang disebabkan oleh CyMV adalah penyakit yang paling umum pada anggrek di seluruh dunia yang memiliki dampak ekonomi. Adanya penyakit ini di Indonesia untuk pertama kalinya dilaporkan Suseno (1976) pada Cattleya. CyMV merupakan spesies dari genus Potexvirus dan famili Flexiviridae. Bentuk partikel virus adalah memanjang, lentur dan panjangnya rata-rata 448 nm hingga 488 nm, tidak memiliki enveloped dan memiliki RNA berukuran ±600bp (Lee & Chang 2006). Genom CyMV merupakan ss-RNA linier dan berukuran 8.1 kb (Frowd & Tremaine 1977). CyMV dapat ditularkan secara mekanik dengan cairan perasan, melalui perkembangbiakan vegetatif, tetapi tidak dapat ditularkan dengan biji dan secara alami oleh serangga vektor. CyMV di lapangan dapat ditularkan melalui kontak langsung antara tanaman sakit dengan tanaman sehat, kontaminasi peralatan potong dan pot selama perawatan dan pada saat panen bunga (Lawson 1995). CyMV dapat bertahan dalam cairan perasan tanaman sakit pada temperatur 65oC selama 10 menit, tetapi tidak dapat diinaktifkan pada temperatur 70 oC. Selain itu virus tersebut juga tidak aktif pada tanaman yang direndam dalam air yang bertemperatur 45 oC selama 2 jam (Smith 1972). Menurut Jensen (1951) CyMV banyak menyerang spesies dalam famili Orchidaceae dan hanya beberapa spesies pada famili lainya. Pada famili Orchidaceae virus ini dijumpai pada 8 genera, yaitu Aranthera sp., Calanthe sp., Cattleya sp., Cymbidium sp., Grammatophyllum sp., Phalaenopsis sp., Oncidium sp., dan Vanda sp. Gejala mosaik akan tampak lebih jelas pada daun-daun muda berupa garisgaris klorotik memanjang searah serat daun. Bunga pada tanaman Cattleya sp. yang terinfeksi biasanya memperlihatkan gejala bercak-bercak coklat nekrosis pada petal dan sepal. Bunga biasanya berukuran lebih kecil dan mudah rontok dibandingkan dengan bunga tanaman sehat
(Jensen 1951). Pada tanaman
Grammatophyllum menunjukan gejala mosaik pada daun, pada tanaman Phalaenopsis menunjukkan gejala mosaik, dan nekrosis pada bagian daun (Inouye 1996).
9
ORSV ORSV merupakan spesies dari genus Tobamovirus. Partikel virus berbentuk batang berukuran 18 x 300 nm, tidak memiliki enveloped, terdiri atas molekul ssRNA berukuran 6 kb. Virus ini mudah ditularkan secara mekanik melalui ekstrak bagian tanaman sakit, tetapi tidak menular melalui serangga vektor dan biji. (Lawson dan Brannigan 1986). ORSV menyerang anggrek jenis Aranda, Epidendrum, Calanthe, Cattleya, Dendrobium, Aruundinia, Miltonia, Oncidium, Spathoglottis dan Vanda (Suseno 1976). Pada jenis anggrek Cattleya sp. gejala infeksi ini bervariasi yaitu berupa garis-garis klorotik dan mosaik pada daun muda, bercak klorotik sampai nekrotik atau bercak berbentuk cincin. Pada Oncidium sp. bercak nekrotik berwarna hitam tampak nyata pada permukaan bawah daun.
Penularan Virus Secara Mekanik Macam virus yang menyerang suatu tanaman biasaya tidak selalu dapat ditentukan berdasarkan gejala saja. Suatu macam virus dapat menimbulkan gejala yang berlainan pada tanaman yang berbeda, semantara virus yang berbeda dapat menyebabkan gejala yang hampir sama pada tanaman inang yang sama (Badwen 1964; Withren 1959) Penularan secara mekanis merupakan metode penularan yang mudah dilakukan dan banyak digunakan untuk percobaan penularan di laboratorium. Inokulasi secara mekanik dilakukan dengan mengoleskan sap (ekstrak daun) pada permukaan daun tanaman yang mengalami luka mikro secara mekanis (Wahyuni 2005). Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan inokulasi adalah konsentrasi virus dalam sap, sumber inokulum, metode penyiapan inokulum, ketahanan virus dalam sap, dan tanaman inang. Kondisi lingkungan sebelum dan sesudah inokulasi, seperti cahaya dan suhu juga mempengaruhi keberhasilan inokulasi. Konsentrasi virus yang tinggi biasanya didapatkan pada daun muda yang telah menunjukkan gejala penyakit. Metode penyiapan inokulum juga menjadi faktor penentu keberhasilan penularan virus secara mekanis. Selama
10
penggerusan daun, berbagai metabolit dan debris dari sel daun akan terlepas secara bersamaan dengan virus. Beberapa senyawa itu dapat merusak virion atau dapat menghambat keefektifan virus. Oleh sebab itu, ekstraksi daun yang akan digunakan sebagai inokulum perlu dilakukan dalam larutan bufer fosfat pada pH 7-7,5 dengan konsentrasi yang sesuai untuk virus yang akan ditularkan. Senyawa penstabil virus seperti senyawa pengelat dan antioksidan dapat ditambahkan untuk menghilangkan atau menghambat aktivitas senyawa yang dapat merusak virus. Penambahan senyawa pereduksi seperti merkaptoetanol dapat menghambat senyawa yang dapat merusak virus (Akin 2006). Penambahan zat abrasif, seperti karborundum. Zat abrasif menyebabkan luka yang kecil pada sel tanaman dan memudahkan penetrasi virus ke dalam sel (Agrios 2005). Tanaman yang tumbuh dalam keaadaan intensitas cahaya rendah akan lebih rentan daripada yang tumbuh dalam cahaya terang. Kerentenan juga meningkat dengan menyimpan tanaman yang tumbuh dalam gelap selama beberapa waktu atau beberapa hari sebelum inokulasi (Bawden 1964; Noordam 1973).
Deteksi Virus Serologi Teknik serologi ELISA (Enzime-Linked Immunosorbent Assay), yang dikembangkan pada akhir 1970-an telah digunakan secara luas oleh ahli penyakit tumbuhan untuk mendeteksi virus tumbuhan. Teknik ini memiliki kelebihan, yaitu dapat mengidentifikasi banyak sampel sekaligus dengan dengan biaya yang relatif murah dan cepat dilakukan. Prinsip ELISA adalah mereaksikan antara antigen dan antiserum yang membentuk kompleks antigen-antiserum (Ag-As) pada lubang plat mikrotiter yang terbuat dari polystyrene. Zat-zat yang dapat mengindikasikan terbentuknya antibodi di dalam serum disebut antigen. Antigen umumnya adalah protein. Serum yang mengandung antibodi disebut antiserum. Interaksi antara antigen dan antiserum bersifat spesifik, artinya antiserum hanya mengenali satu jenis epitop dan antigen. Epitop merupakan bagian dari antigen yang dapat dikenali oleh antibodi dari antigen yang dapat berinteraksi dengan antibodi (Crowther 1996).
11
Metode ELISA dibagi dalam Direct ELISA atau Double Antibody Sandwich (DAS) ELISA dan Indirect-ELISA. Perbedaan kedua metode tersebut adalah pada Direct-ELISA, enzim konjugat terdapat pada molekul immunoglobulin pertama yang langsung bereaksi dengan antigen. Pada Indirect-ELISA, enzim konjugat terdapat pada molekul immunoglobulin kedua yang bereaksi dengan antiserum (Crowther 1996; Dijkstra & De Jegger 1998). Deteksi CyMV dan ORSV telah berhasil dilakukan Hu et al. (1994); Navalinskiene (2005); dan Khalimi (2008) dengan menggunakan metode serologi DAS-ELISA.
Molekuler Deteksi dan identifikasi virus tanaman dapat juga dilakukan melalui teknik molekuler misalnya reverse transcriptase-polimerase chain reaction (RT-PCR) (Khalimi 2009). Metode ini merupakan metode pengembangan metode PCR yaitu dengan menambahkan enzim transcriptase balik (reverse transcriptase). Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcription) terhadap molekul mRNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Enzim transcriptase balik adalah enzim DNA polimerase yang menggunakan molekul RNA sebagai cetakan untuk mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Metode RT-PCR telah terbukti dapat digunakan sebagai teknik deteksi virus yang memiliki sensitifitas yang tinggi (Yuwono 2006). Deteksi CyMV dan ORSV telah dilakukan pada tanaman anggrek dengan teknik RT-PCR terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi dan identifikasi CyMV dan ORSV (Khalimi 2008; Ajjikuttira et al. 2005).
Respon Tanaman terhadap Patogen Respon tanaman terhadap infeksi patogen dapat digolongkan menjadi empat yaitu imun, resisten, toleran, dan rentan (Matthews 1992). Tanaman yang memiliki respon imun terhadap patogen merupakan tanaman yang sel-selnya tidak
12
dapat dipenetrasi oleh patogen, sehingga patogen tidak dapat masuk (Wheeler 1975) dan tidak terjadi infeksi (Hull 2002). Seandainya virus diinokulasikan pada tanaman yang imun, virus ditemukan masih terbungkus selubung protein dan tidak mampu untuk bereplikasi di dalam sel tanaman. Selain itu, bila virus tersebut mampu melepaskan selubung proteinnya (hanya asam nukleatnya saja yang ada di dalam sel), virus tidak mampu untuk memperbanyak genomnya (Hull 2002). Tanaman resisten merupakan tanaman yang dapat diinfeksi oleh patogen, tetapi sel-sel tanaman tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangan patogen, sehingga tidak terjadi penyakit (Wheeler 1975). Pada tanaman yang toleran, patogen dapat menginfeksi, sel-sel tanaman mendukung pertumbuhan dan perkembanganya, tetapi tanaman terlihat normal karena gejala tidak muncul (Hull 2002) atau mengalami kehilangan hasil yang tidak berarti secara ekonomi (Wheeler 1975). Tanaman yang rentan adalah tanaman yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan patogen, serta patogen mampu menimbulkan kerusakan pada tanaman dan menyebabkan kehilangan hasil (Wheeler 1975).
Interaksi Virus pada Tanaman yang Terinfeksi Gejala pada tanaman yang sakit dapat disebabkan oleh lebih dari satu virus dan hal tersebut sering terjadi di lapangan (Falk & Duffus 1981). Virus-virus yang terdapat pada tanaman yang terinfeksi akan berinteraksi, sehingga dapat mempengaruhi gejala penyakit yang timbul. Interaksi tersebut dapat bersifat sinergis, aditif (Oku 1994) atau antagonis (interferensi) (Matthews 1991). Interaksi akan mempengaruhi jumlah lesio lokal yang timbul, replikasi virus, pergerakan virus dan gejala yang timbul. Sel-sel tanaman inang akan mengalami nekrosis dan virus-virus yang berinteraksi akan bereplikasi dan membentuk badan inkusi pada sel-sel yang tidak mati (Matthews 1991). Interaksi yang bersifat sinergis akan menyebabkan gejala penyakit yang lebih parah pada tanaman yang terinfeksi dibandingkan bila virus menginfeksi tanaman sendiri-sendiri (Kosaka & Fukunishi 1997; Murphy & Kyle 1995; Zhang et al. 2001). Fenomena yang timbul dari interaksi yang bersifat aditif sebenarnya hampir sama dengan sinergistik, yaitu infeksi campuran yang menyebabkan kerusakan yang timbul lebih parah dibandingkan infeksi tunggal, tetapi kerusakan
13
yang timbul tidak separah gabungan kerusakan yang ditimbulkan dari infeksi tunggal. Interaksi yang bersifat antagonis menyebabkan gejala penyakit yang timbul tidak separah bila hanya ada satu virus pada tanaman (Hull 2002). Hal tersebut dimanfaatkan dalam proteksi silang, yaitu dalam menginfeksi tanaman dengan menggunaklan strain virus yang lemah untuk menghambat infeksi strain yang lebih virulen (Gibbs & Harrison 1980).