3
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Nilam Secara taksonomi tanaman nilam (Pogostemon spp.) termasuk famili Labiateae, ordo Lamiales, klas Angiospermae dan divisi Spermatophyta (Nuryani 1998). Secara morfologi tanaman nilam (Pogostemon spp.) mempunyai ciri-ciri: berakar serabut, bentuk daun bulat sampai lonjong, berambut di permukaan bagian bawah, batang berkayu dengan diameter 10 sampai 20 mm. Sistem percabangan bertingkat, 3 - 5 cabang per tingkat. Tinggi tanaman yang berumur enam bulan dapat mencapai satu meter dengan radius cabang 60 cm (Sudaryani dan Sugiharti 2005). Menurut Guenther (1952), diacu dalam Syukur dan Nuryani (1998) di Indonesia dikenal tiga jenis tanaman nilam yaitu Pogostemon cablin Benth, Pogostemon hortensis Backer, dan Pogostemon heyneanus Benth (Gambar 1). Agroklimat Tanaman Nilam Tanaman nilam dapat tumbuh dan berproduksi pada dataran rendah dan dataran tinggi. Di Filipina nilam tumbuh secara liar pada ketinggian 1000 sampai 2000 m dari permukaan laut (dpl), di Aceh dan Sumatra Utara dapat tumbuh pada ketinggian 1500 m dpl (Soepadyo dan Tan 1978 diacu dalam Rosman et al. 1998). Tanaman nilam membutuhkan suhu udara harian yang berkisar 24-28 °C (Mansur dan Tasma 1987), kelembaban relatif harian dengan kisaran 60-90% (Rosman et al. 1998). Tanaman nilam membutuhkan intensitas cahaya yang cukup. Menurut Mansur dan Tasma (1987) tanaman yang diberi naungan tumbuh lebih subur dengan daun lebih hijau, lebar dan tipis, tetapi kadar minyaknya rendah. Sebaliknya tanaman tanpa naungan pertumbuhannya kurang rimbun, daun kecil dan tebal, berwarna kuning kemerahan namun kadar minyak lebih tinggi. Produksi terna dan minyak tertinggi diperoleh pada intensitas cahaya 75% sampai 100% (Emmyzar 1998, diacu dalam Rosman et al. 1998). Soepadyo dan Tan (1978), diacu dalam Rosman et al. (1998) mendapatkan kandungan minyak di pertanaman yang terbuka 5.1%, sedangkan yang ditanam sebagai tanaman sela di antara pohon karet dan kelapa sawit hanya 4.6%.
4
(a) Pogostemon cablin Benth Pogostemon cablin Benth dikenal dengan nama nilam Aceh. Bentuk daunnya agak membulat seperti jantung dan berambut di permukaan bagian bawah, tidak berbunga. Kadar minyak berkisar 2.5% sampai 5.0% dengan mutu bagus.
(b) Pogostemon heyneanus Benth Pogostemon heyneanus Benth dikenal dengan nama nilam Jawa atau nilam hutan. Jenis ini berasal dari India yang banyak tumbuh liar di hutan pulau Jawa. Bentuk daunnya tipis dengan ujung meruncing dan berbunga. Kandungan minyaknya berkisar 0.5% sampai 1.5% dengan mutu rendah.
(c) Pogostemon hortensis Backer Pogostemon hortensis Backer, sering disebut nilam sabun, bentuknya mirip dengan nilam Jawa, ujung daun meruncing dan lebih tipis, tetapi tidak berbunga. Kandungan minyaknya berkisar 0.5% sampai 1.5% dengan mutu rendah. Gambar 1 Tiga jenis tanaman nilam (Sudaryani dan Sugiharti 2005).
5 Curah hujan yang diperlukan berkisar 2300 mm sampai 3000 mm per tahun dengan penyebaran yang merata sepanjang tahun (Rosman et al. 1998). Tanaman dapat diusahakan pada daerah bercurah hujan rendah (1750 - 2500 mm tahun-1) dengan pemberian naungan dan mulsa (Werkhoven 1968, diacu dalam Rosman et al. 1998). Rosman et al. (1998) telah menyusun suatu kriteria kesesuaian iklim tanaman nilam seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kriteria kesesuaian iklim tanaman nilam Parameter Ketinggian tempat (m dpl)
Sangat sesuai 100-400
Iklim 1. Curah hujan tahunan (mm)
2300-3000
2.
Hari hujan tahunan (hari)
120-180
3. 4.
Bulan basah** / tahun (bulan) Kelembaban nisbi udara (%)
11-12* 70-80
5.
Suhu udara harian (°C)
25-26
Tingkat Kesesuaian Sesuai Kurang sesuai 0-100. >700 400-700 1750-2300, 3000-3500 100-120, 180-210 8-10* 60-70 80-90 24-25 26-28
>3500 1200-1750 210-230, 85-100 5-7* 50-60 >90 23-24
Tidak Sesuai >700
>5000 <1200 >230, <85 0-4* <50 <23
Sumber: Rosman R, Emmyzar, P Wahid (1998). * Rosman R 2006 (komunikasi pribadi) ** Bulan dengan curah hujan > 200 mm.
Hujan Daerah Tropis Iklim tropis sangat dipengaruhi oleh tingkah laku hujannya.
Hujan
merupakan salah satu bentuk pengembalian air hasil penguapan di atmosfer menuju permukaan bumi. Berdasarkan mekanisme pengangkatan massa uap air, hujan dapat digolongkan menjadi hujan konvektif, hujan orografik, hujan frontal dan hujan siklonik (Barry dan Chorley 1976; Murdiyarso 1980: Hidayati 1993). Hujan di daerah tropis termasuk tipe hujan konvektif dan hujan orografik. Menurut Hidayati (1993) hujan konvektif merupakan tipe hujan yang dihasilkan oleh naiknya udara hangat dan lembab akibat pemanasan permukaan, yang mengalami proses penurunan suhu secara adiabatik. Tipe hujan konvektif menurut Hidayati (1993) mempunyai cakupan wilayah yang terbatas (20-50 km2), yang berasal dari awan tipe comulus atau comulonimbus hasil pengangkatan
6 sel-sel arus udara lokal. Setengah dari total curah hujan jatuh pada awal 10% durasi hujan.
Hujan konvektif mempunyai siklus musiman dan harian yang
berhubungan dengan pemanasan radiasi surya. Hujan orografik merupakan tipe hujan yang dihasilkan oleh naiknya udara lembab secara paksa oleh dataran tinggi atau pegunungan. Menurut Hidayati (1993) pada hujan orografik, daerah dataran tinggi, terutama sisi hadap angin, mengalami curah hujan tahunan yang lebih tinggi daripada dataran rendah sekitarnya. Lebih lanjut dinyatakan, pengaruh dataran tinggi pada hujan tidak semata-mata tergantung ketinggiannya, tetapi juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara yang naik serta arah dan kecepatan angin. Jika udara yang dipaksa naik menghasilkan awan tipe stratus, maka hujannya bersifat hujan ringan dengan waktu hujan lama, tetapi jika terbentuk awan comulus maka menghasilkan hujan deras. Hujan orografik mempunyai siklus musiman dan harian yang tidak nyata dibandingkan dengan hujan konvektif.
Karakteristik Hujan Tropis Karakteristik hujan adalah hal-hal yang menyangkut jumlah (jeluk) curah hujan, intensitas, frekuensi, lama hujan (jujuh) dan penyebarannya menurut dimensi ruang dan waktu (Murdiyarso 1980). Bruce dan Clark (1977), diacu dalam Cholil (1993) menyatakan keragaman curah hujan menurut skala ruang dipengaruhi oleh kandungan uap air di atmosfer, letak geografi, topografi dan ketinggian tempat.
Deretan
pegunungan sangat besar pengaruhnya terhadap curah hujan yang diterima. Pada daerah dataran tinggi curah hujan biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah. Sedangkan variasi skala waktu dipengaruhi oleh arah angin. Riehl (1979), diacu dalam Cholil (1993) membagi variasi curah hujan berdasarkan skala waktu dalam tiga tipe yaitu harian, musiman dan tahunan. Variasi curah hujan harian dipengaruhi oleh faktor lokal, seperti topografi, tipe vegetasi, keadaan drainase, kelembaban dan warna tanah, albedo, bentuk permukaan dan adanya sumber air (sungai, rawa, danau dan laut).
Variasi
musiman dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, aliran udara di atas permukaan bumi, variasi sebaran daratan dan lautan. Sedangkan
7 variasi curah hujan tahunan ditentukan oleh prilaku sirkulasi atmosfer global, kejadian badai dan adanya siklus bintik matahari (sun spot). Hidayati (1993) menyatakan curah hujan tertinggi tahunan terjadi di sekitar equator pada daerah ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone). Daerah tersebut merupakan daerah konvergensi tropis pertemuan angin yang bergerak dari zone tekanan tinggi sub tropis yang merupakan bagian dari sirkulasi Hadley. Pada daerah ini terjadi pengangkatan secara aktif massa udara yang hangat, lembab dan tidak stabil, sehingga menghasilkan hujan yang tinggi. Sistem ITCZ ini bersama-sama sistem monsun mempunyai peranan penting dalam penyebaran curah hujan di daerah tropis, termasuk Indonesia (Suharsono 1993). ITCZ selalu bergerak ke utara dan selatan mengikuti pergeseran surya. Pada bulan Juli, ITCZ berada terjauh di belahan bumi di utara dan bulan Januari berada terjauh di belahan bumi selatan.
Daerah yang dilalui ITCZ akan
mempunyai curah hujan yang tinggi (Suharsono 1993). Hal ini menyebabkan di daerah katulistiwa terjadi pola curah hujan yang memiliki dua nilai curah hujan maksimum (bimodal) dalam setahun (Prawirowardoyo 1996; Winarso dan McBride 2002; Suharsono 2005). Menurut Hidayati (1993); Suharsono (1993; 2005); Prawirowardoyo (1996); Winarso dan McBride (2002); Amien et al. (2005) keragaman curah hujan di Indonesia terutama dipengaruhi oleh monsun.
Angin monsun yang
berkembang di wilayah Indonesia, yaitu monsun barat dan monsun timur, yang dipicu oleh sistem tekanan tinggi dan tekanan rendah di atas benua Asia dan Australia. Pada waktu monsun barat, daerah Indonesia bagian timur dipengaruhi angin passat timur laut yang kaya uap air, yang datang dari samudra Pasifik. Sedangkan Indonesia bagian barat dipengaruhi massa udara yang berasal dari benua Asia yang melewati samudra Indonesia yang kaya dengan uap air. Pada periode ini (Desember-Maret) sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim hujan (Prawirowardoyo 1996; Suharsono 2005). Monsun timur terjadi pada bulan Juni-September, pada periode ini bertiup angin tenggara yang berasal dari antisiklon di Australia (Prawirowardoyo 1996; Suharsono 2005). Lebih lanjut dinyatakan, pada saat ini di Australia terjadi
8 tekanan udara maksimum dan di daratan Asia terjadi tekanan udara minimum, sehingga terjadi angin dingin melewati Indonesia. Karena melewati laut yang tidak luas maka, angin ini sedikit membawa uap air, sehingga daerah yang dilewatinya umumnya memiliki curah hujan rendah, dan sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Prawirowardoyo (1996) menyatakan peralihan antara musim hujan dan musim kemarau dikenal dengan musim pancaroba, yaitu perubahan arah angin dengan pola yang tidak jelas, terjadi pada periode Maret-Mei dan SeptemberNovember. Umumnya perubahan ini disertai dengan kecepatan angin yang agak kencang. Selain keragaman antar musim, curah hujan di daerah tropis juga beragam di dalam musim, yang diakibatkan oleh fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation) (Winarso dan McBride 2002; Amien et al. 2005).
MJO sering
disebut sebagai gelombang 30-60 hari, yang dicirikan oleh peningkatan hujan pada musim kemarau atau penurunan curah hujan pada musim hujan, untuk wilayah yang luas yang bergeser ke arah timur dari Samudra Hindia sampai Samudra Pasifik pada lintang 10 ˚LS – 10 ˚LU.
MJO hanya terjadi pada kondisi
El Niňo dan La Niňa yang lemah atau netral, tidak terjadi pada kondisi El Niňo dan La Niňa yang kuat. Selain keragaman antar musim dan dalam musim, pola dan jumlah hujan juga beragam antar tahun yang dipengaruhi oleh fenomena El Niňo, La Niňa dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) (Amien et al. 2005). Fenomena El Niňo dan La Niňa berhubungan dengan sirkulasi Walker di Samudra Pasifik. Sirkulasi Walker adalah sirkulasi massa udara timur-barat di wilayah ekuatorial Pasifik yang disebabkan oleh gradien suhu permukaan laut (Prabowo dan Nicholls 2002; Amien et al. 2005). Dijelaskan lebih lanjut, di Samudra Pasifik terdapat massa air laut yang suhunya selalu di atas 27 ˚C (warm pool) yang selalu bergerak ke arah barat dan timur. Pada keadaan normal, warm pool bergerak mengikuti musim, yaitu bulan Desember-Februari berada lebih ke barat yang membuat sirkulasi Walker menjadi lebih panjang sampai jauh ke Indonesia dengan membawa uap air yang menghasilkan hujan. Pada bulan MaretMei, warm pool bergeser sedikit ke timur sehingga sirkulasi Walker menjadi
9 lebih pendek dan tidak memasok uap air untuk Indonesia. Pada saat terjadi El Niňo, warm pool bergerak jauh ke timur hingga ke pantai Pasifik di Peru dan Equador, yang berimplikasi kekeringan di Indonesia terutama pada daerah yang bertipe hujan musiman. Sebaliknya, jika warm pool bergerak jauh ke barat maka terjadi La Niňa, yang mengakibatkan terjadi hujan yang berlebihan di Indonesia. IODM adalah fenomena suhu muka laut di Samudra Hindia yang rendah di bagian timur dan tinggi di bagian barat (Amien et al. 2005). Rendahnya suhu muka laut di bagian timur Samudra Hindia, disebut dipole positif, menyebabkan berkurangnya uap air di Indonesia bagian barat, sehingga hujan orografis sangat berkurang. Sebaliknya, jika suhu muka laut di bagian timur Samudra Hindia lebih tinggi, disebut dipole negatif, menyebabkan meningkatnya curah hujan di Indonesia. Analisis Komponen Utama Adanya variasi curah hujan bulanan, musiman dan tahunan harus dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengelolaan tanaman pada suatu wilayah. Salah satu prosedur yang dapat digunakan untuk mempelajari variasi curah hujan, baik dalam skala ruang dan waktu adalah analisis komponen utama (principal component analysis) (Haan 1979). Penggunaan analisis ini dalam bidang klimatologi telah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Paterson et al.
(1978), diacu dalam Cholil (1993)
menggunakannya untuk klasifikasi iklim di Australia Barat; Gray (1981), diacu dalam Cholil (1993) menggunakannya untuk pengujian stabilitas suhu tahunan di Eropa; Wigley et al. (1984), diacu dalam Cholil (1993) menggunakannya untuk menentukan variabilitas curah hujan menurut ruang dan waktu, dan penggolongan daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang homogen di England dan Wales. Hal yang sama dilakukan oleh Akuba (1988) dalam pengelompokan wilayahwilayah yang memiliki kisaran curah hujan sama di Kalimantan Timur dan Cholil (1993) mengelompokkan curah hujan wilayah di Sumatra Selatan. Menurut Siswadi dan Suharjo (1998), analisis komponen utama biasanya digunakan untuk: 1) mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda, 2) mengurangi banyaknya dimensi himpunan peubah asal yang biasanya
10 banyak dan saling berkorelasi menjadi peubah-peubah baru yang tidak berkorelasi, dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman data asal, 3) menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai sumbangan informasi relatif kecil. Lebih lanjut dijelaskan, peubah baru tersebut disebut komponen utama yang mempunyai ciri-ciri : 1) merupakan kombinasi linear terbobot dari peubahpeubah asal, 2) jumlah kuadrat koefisien dalam kombinasi linear tersebut bernilai satu, 3) tidak berkorelasi (orthogonal), dan 4) mempunyai ragam berurut dari yang terbesar ke yang terkecil. Dipertegas oleh Supranto (2004) bahwa tujuan utama analisis komponen utama adalah menjelaskan sebanyak mungkin (≥ 80%) jumlah ragam data asal dengan sesedikit mungkin komponen utama. Jika tidak ada korelasi antar peubah asal maka analisis komponen utama tidak bermanfaat untuk mereduksi banyaknya peubah asal menjadi beberapa peubah baru yang dapat menjelaskan dengan baik keragaman peubah asal. Semakin tinggi keeratan hubungan antar peubah asal maka semakin baik hasil yang diperoleh dari analisis ini (Siswadi dan Suharjo 1998). Menurut Haan (1979); Siswadi dan Suharjo (1998); Johnson dan Wichern (2002) jika peubah asal X yang berukuran p ditransformasi menjadi peubah Z yang berukuran j, yang disebut komponen utama, dalam bentuk notasi matriks dituliskan sebagai berikut: Z = AX , dengan A adalah matriks yang melakukan transformasi peubah asal X, maka vektor komponen utama Z dapat ditentukan. Secara umum komponen utama ke-j dapat ditulis sebagai berikut:
z j = a j1 x1 + a j 2 x 2 + ... + a jp x p , atau : z j = a 'j x . Koefisien pembobot a 'j adalah vektor normal yang dipilih sehingga keragaman komponen utama ke-j ' maksimum, serta ortogonal terhadap kefisien pembobot ai dari komponen utama
ke-i.
' Koefisien pembobot a j yang merupakan koefisien pembobot peubah-
peubah asal bagi komponen utama ke-j yang diperoleh dari matriks peragam S atau matriks korelasi R. terdapat pada Lampiran 1.
Prosedur analisis komponen utama selengkapnya
11 Analisis Gerombol Analisis gerombol (Cluster Analysis) telah banyak digunakan peneliti untuk pewilayahan iklim di berbagai negara, yaitu di India (Gadgil dan Joshi 1976), Australia dan Afrika Selatan (Russel dan Moore 1976), Afrika Barat (Anyadike 1987), Amerika Serikat dan Kanada (DeGaetano dan Schulman 1990), dan Negara Bagian Queensland Australia (Puvaneswaran 1990).
Di Indonesia,
analisis ini digunakan untuk pewilayahan komoditas perkebunan di Irian Jaya (Palililingan 1993),
pewilayahan alpukat di Sumatra Barat (Leni 1995),
pewilayahan periodisitas hujan di DI Yogyakarta (Popi et al. 1995), pewilayahan komoditas kapas di Indonesia (Pujiwati 1998), pewilayahan tingkat kerawanan terhadap kekeringan dan banjir di Merauke Papua (Rouw 2004), dan pewilayahan hujan di Indramayu dan Cirebon (Sumarno et al. 2005). Analisis gerombol digunakan untuk mengelompokkan obyek-obyek menjadi beberapa gerombol, berdasarkan pengukuran peubah-peubah yang diamati, sehingga diperoleh kemiripan obyek dalam gerombol yang sama dibandingkan antar obyek dari gerombol yang berbeda. Manfaat penggerombolan antara lain untuk eksplorasi, reduksi dan stratifikasi data. Eksplorasi bertujuan untuk memperoleh informasi tentang himpunan data tersebut, reduksi bertujuan untuk mewakili himpunan data, dan stratifikasi bertujuan untuk penarikan contoh atau penggolongan tipe obyek (Siswadi dan Suharjo 1998). Teknik yang dapat digunakan untuk melakukan pengelompokan dapat dikatagorikan menjadi: teknik berhirarki, yang dipilah menjadi teknik penggabungan (agglomerative) dan pembagian (divisive), teknik tak berhirarki seperti teknik penyekatan (partitioning) dan penggunaan grafik (Siswadi dan Suharjo 1998; Supranto 2004). Dalam teknik berhirarki penggabungan (hierarchical agglomerative), setiap obyek awalnya terpisah, lalu dua obyek yang terdekat bergabung, langkah berikutnya obyek ketiga bergabung dengan dua obyek yang pertama, atau dua obyek lain bergabung membentuk kelompok yang berbeda. Proses ini berlanjut sampai semua kelompok bergabung ke dalam kelompok tunggal (Siswadi dan Suharjo 1998).
12 Tahapan penggabungan dengan menggunakan metode hirarki dapat disajikan dalam bentuk dendrogram (diagram pohon), yang memungkinkan penelusuran pengelompokan obyek-obyek amatan dengan lebih mudah dan informatif (Siswadi dan Suharjo 1998; Supranto 2004). Kemiripan obyek paling umum ditunjukkan oleh nilai jarak euclidean. Semakin besar jarak euclidean maka semakin kecil kemiripan dua obyek tersebut. Jarak euclidian dirumuskan sebagai berikut (Johnson dan Wichern ⎛ 2 ⎞ d ik = ⎜⎜ ∑ (z ij − z kj ) ⎟⎟ ⎝ j ⎠
1
2
2002):
dengan dik jarak antara obyek ke-i dan ke-k, xij sifat ke-j
pengamatan ke-i, xkj sifat ke-j pengamatan ke-k. Metode penggabungan berhirarki yang umum digunakan adalah single linkage (nearest nieghbor), complete linkage (farthest nieghbor) dan average linkage (Johnson dan Wichern
2002: Supranto 2004).
Masing masing
persamaannya adalah: single linkage: d ( ik ) l = min {d il , d kl }, complete linkage:
d(ik )l = max{dil , dkl } , average linkage:
d ( ik ) l = mean {d il , d kl } dengan d(ik)l
jarak antara kelompok ke-ik dan pengamatan ke-l, dil jarak antara pengamatan ke-i dan ke-l, dkl jarak antara pengamatan ke-k dan ke-l. Penentuan jumlah kelompok yang optimal dilakukan dengan membuat kurva hubungan jarak atau tingkat kesamaan (similarity) pada sumbu absis dan jumlah kelompok pada sumbu ordinat. Jumlah kelompok optimum ditentukan pada saat gradien kurva berubah mendadak (Supranto 2004). Analisis Peluang
Kejadian hujan sulit ditentukan kapan terjadi, dimana dan berapa besarnya. Kesulitan dalam memperkirakan saat mulai dan berakhirnya musim hujan sering menimbulkan masalah dalam perencanaan masa tanam terutama daerah non irigasi.
Untuk menjawab pertanyaan, kapan saat mulai tanam dengan resiko
kegagalan yang paling kecil atau berapa besar tingkat kegagalan, seandainya hujan yang diharapkan tidak terpenuhi, maka perlu dilakukan analisis peluang. Harapan untuk memperoleh curah hujan yang melampaui nilai tertentu bagi suatu wilayah, dinyatakan sebagai peluang hujan wilayah tersebut (Boer et al. 1990).
13 Analisis peluang hujan telah digunakan untuk memperkirakan keadaan kering mingguan di Jawa Tengah (Hudoyo 1981), penentuan awal musim hujan di Serang Jawa Barat (Sugio 1987), dan pewilayahan curah hujan bulanan peluang 75% di Kabupaten Indramayu dan Cirebon (Sumarno et al. 2005). Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam analisis peluang adalah menentukan pola sebaran peluang. Pola sebaran peluang hujan memperlihatkan gambaran penyebaran nilai-nilai peluang hujan di suatu wilayah. Menurut Boer et al. (1990) sebaran Gamma, yang mempunyai batas bawah nol, baik untuk mendekati parameter-parameter iklim yang mempunyai nilai terkecil nol seperti curah hujan.
Apabila data tidak mempunyai sifat sebaran Gamma, maka perlu
diuji dengan sebaran Normal. Fungsi peluang kumulatif menurut sebaran Gamma dinyatakan dengan x
persamaan: Px ( X ) = ∫ λη xη −1e − x / Γ(η )dx , dengan Px(X) sebaran peluang kumulatif, 0
λ parameter skala, η parameter bentuk dan Г(η) fungsi Gamma (Haan 1979). Fungsi peluang Normal baku kumulatif dinyatakan dengan persamaan: ⎛ ∫− ∞⎜⎝ z
Pz ( z ) =
1 2Π
e
− 12 z 2
⎞ ⎟dz dengan Pz(z) sebaran peluang normal baku kumulatif, ⎠
z peubah acak normal baku transformasi dari peubah acak x dengan fungsi: z = (x – µ)σ-1, µ rata-rata peubah x, dan σ simpangan baku peubah x. Dalam penentuan peluang kejadian hujan yang datanya menyebar normal, digunakan bantuan tabel peluang Normal baku (Haan 1979). Untuk menguji kesesuaian sebaran data dapat digunakan analisis chi-square goodness of fit test (Boer et al. 1990). Rumus umum dari chi – square (χ2hitung) k
(Oi − Ei )2
i =1
Ei
adalah: χ = ∑ 2
, dengan Oi frekuensi kejadian hujan yang berada pada
kelas hujan ke-i, Ei frekuensi kejadian hujan harapan kelas hujan ke-i, yang dihitung dengan cara mengalikan peluang suatu kelas dengan jumlah pengamatannya, dan k adalah banyaknya kelas. Prosedur selengkapnya terdapat pada Lampiran 2.