II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TANAMAN NILAM Nilam merupakan salah satu jenis tanaman yang menghasilkan minyak atsiri. Tanaman nilam bukanlah tanaman asli indonesia. Terdapat ± 80 jenis tanaman nilam yang tersebar di Asia Selatan, Asia tenggara, China dan Jepang serta satu varietas di Australia. Pada abad 19, terdapat dua varietas tanaman nilam yang terkenal yaitu Pogostemon Cablin Benth dan Pogostemon Heuneanus. Penanaman Pogostemon Cablin Benth sebagai penghasil minyak atsiri pertama kali kemungkinan dilakukan di Penang, Malaysia pada abad 19 menggunakan tanaman dari Filipina. Pogostemon Cablin Benth yang ditanam di Malaysia kemudian dibawa ke Jawa pada tahun 1895 dan Sumatera pada tahun 1910. Pada tahun 1920 produksi minyak nilam dikembangkan di Aceh (Sumatera Utara). Sedangkan Pogostemon Heuneanus, tersebar luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pogostemon Heuneanus berasal dari India Utara dan Srilanka kemudian menyebar ke Indonesia dan Filipina (Oyen dan Dung 1998). Di Indonesia, Tanaman nilam merupakan tanaman yang budidayanya tersebar di berbagai wilayah yaitu di Aceh (seluruh wilayah), Sumatera (Nias, Tapanuli, dan Dairi), Bengkulu (daerah transmigran Kuro Tidur), Lampung, Sumatera Barat, Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, dan Majalengka), Jawa Tengah (Purwokerto, Pemalang, Banjarnegara) dan di beberapa daerah lainnya (Rajagukguk 2009). Berdasarkan penelitian Nuryani (2006a), tanaman nilam di Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak dan ketahanan terhadap biotik dan abiotik. Ketiga jenis minyak nilam tersebut yaitu: 1. Pogostemon Cablin Benth (nilam aceh), mempunyai bulu rambut dibagian bawah daun sehingga daun tampak pucat 2. Pogostemon Hortensis (nilam sabun), mempunyai daun yang lebih tipis bila dibandingkan dengan Pogostemon Cablin Benth. 3. Pogostemon Heuneanus (nilam jawa), merupakan tanaman nilam yang dalam proses bunganya cepat (Nuryani 2006a)
Nilam jawa Nilam aceh Gambar 1. Tanaman Nilam aceh dan Nilam jawa (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 2008).
Diantara ketiganya, nilam yang paling banyak ditanam dan luas penyebarannya adalah nilam aceh karena kadar dan kualitas minyak yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Nilam aceh merupakan tanaman yang berasal dari Filipina. Berdasarkan penelitian
16
yang telah dilakukan oleh Balai Tanaman Obat dan Aromatika diperoleh 3 varietas yang unggul yaitu Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang (Nuryani 2006a). Bentuk dari ketiga varietas tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2. Tanaman Nilam Aceh Varietas Lhokseumawe
Gambar 3. Tanaman Nilam Aceh Varietas Tapak Tuan
Gambar 4. Tanaman Nilam Aceh Varietas Sidikalang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2007) Masing-masing varietas tanaman nilam tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan serta perbedaan karakter morfologi, sifat fisika kimia minyak dan ketahanan terdahap penyakit seperti yang tercantum pada tabel 1 dan 2 dibawah ini. Tabel 1. Produksi Terna Kering, Kadar Minyak, Produksi Minyak dan Kadar Patchouli alcohol 3 Varietas Nilam.
Varietas
Produksi Terna
Kadar Minyak
Kering (ton/Ha)
(%)
Produksi Minyak (kg/Ha)
Kadar Patchouli alcohol (%)
Tapak Tuan
19.70-110.00
2.07-3.87
111.50-622.26
28,69-39.90
Lhokseumawe
19.58 - 59.20
2.00-4.14
125.83-380.06
29.11-34.46
Sidikalang
13.66-108.10
2.23-4.23
78.90-624.89
30.21-35.20
(Nuryani 2006b)
17 3
Tabel 2. Ciri Varietas Nilam. Varietas
Tapak Tuan
Lhokseumawe
Sidikalang
Asal
NAD
NAD
Sumut
Panjang cabang primer (cm)
46-66
38-63
43-62
Panjang cabang sekunder (cm)
20-45
20-35
26-34
Bentuk daun
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Delta, bulat telur
Pertulangan
Menyirip,
Menyirip
Menyirip
Warna daun
Hijau
Hijau
Hijau keunguan
Panjang daun (cm)
6.47-7.52
6.23-6.75
6.30-6.45
Lebar daun (cm)
5.22-6.39
5.16-5.36
4.88-6.26
Panjang tangkai daun (cm)
2.667-4.13
2.66-4.28
2.71-3.34
Jumlah daun/cabang primer
35.37-157.84
48.05-118.62
58.07-130.43
Pangkal daun
Rata, membulat
Datar, membulat
Rata, membulat
Ketahanan terhadap penyakit Meloidogyne incognita
Sangat rentan
Rentan
Agak rentan
Pratylenchus bracyrus
Sangat rentan
Agak rentan
Agak rentan
Rodhopolus similis
Rentan
Rentan
Agak rentan
Raistonia solanacearum
Sangat rentan
Rentan
Toleran
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2007)
Faktor penting yang menentukan keunggulan tanaman nilam sebagai penghasil minyak atsiri adalah produksi, kadar dan mutu minyak serta ketahanan terhadap penyakit. Komponen mutu yang terdapat dalam minyak nilam diataranya yaitu warna dan aroma yang pada dasarnya dipengaruhi oleh komponen yang terdapat pada minyak nilam tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar dan mutu minyak nilam diantaranya adalah genetis (jenis), budidaya, lingkungan, panen dan pasca panen (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 2008). Untuk mendapatkan minyak nilam yang bermutu tinggi, tanaman nilam yang ditanam harus merupakan tanaman dari varietas unggul yaitu tanaman yang memiliki produktifitas, kadar minyak dan kemampuan adaptasi yang tinggi. Aspek varietas saja tidak akan cukup untuk mendapatkan minyak dengan kualitas yang tinggi. Aspek tersebut harus didukung oleh aspek budidaya dan lingkungan sebagai salah satu faktor non genetis yang penting dalam penentuan tinggi rendahnya mutu dan rendemen minyak nilam yang dihasilkan. Aspek budidaya yang harus diperhatikan diantaranya adalah persiapan bahan tanaman dan persemaian, persiapan lahan dan penanaman, pemeliharaan, pengendalian organisme pengganggu tanaman dan pola tanam. Aspek lingkungan yang akan mempengaruhi bagian tanaman dalam memproduksi atau membentuk kelenjar minyak adalah intensitas cahaya matahari, karakteristik tapak tumbuh dan iklim. Kondisi lingkungan lainnya yang harus diperhatikan adalah kesesuaian antara lahan dengan iklim untuk tanaman nilam, ketinggian tempat, jenis tanah dan ketersediaan air. Faktorfaktor tersebut merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap produksi dan kualitas minyak yang dihasilkan (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 2008). Proses pertumbuhan yang berlainan sebagai hasil input lingkungan yang berlainan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan morfologis maupun fisiologis tanaman. Sebagai hasil perpaduan
18 4
pertumbuhan morfologis maupun fisiologis yang berbeda, maka kemungkinan akan mempengaruhi mutu dan rendemen minyak nilam (Hidayat dan Sutrisno 2006). Nilam dapat tumbuh di dataran rendah hingga sedang (0-700 mdpl). Nilam yang ditanam pada ketinggian tersebut biasanya memiliki kadar minyak yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilam yang ditanam pada ketinggian lebih dari 700 mdpl. Nilam dapat tumbuh di berbagai jenis tanah yaitu andosol, latosol, regosol, podsolik dan kambisol (Pusat Penelitian dan Pengambangan Perkebunan, 2007). Nilam akan tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur dengan humus tinggi, curah hujan 1750-3500 mm/th dan kelembaban udara 7090% (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 2008). Tabel 3 . Kriteria Kasesuaian Tanah dan Iklim. Parameter 1. Ketinggian (m dpl) 2. Jenis tanah
Sangat sesuai 100-400 Andosol, latosol
3. Drainase 4. Tekstur
Baik Lempung
5. 6. 7. 8.
>100 5.5-7 2300-3000 10-11
Kedalaman air (cm) pH (keasaman) Curah hujan (mm) Jumlah bulan basah (curah hujan >200 mm/bulan)
Tingkat kesesuaian Sesuai Kurang sesuai 0-700 >700 Regosol, Lainnya podsolik, kambisol Baik Agak baik Liat Lainnya berpasir 75-100 50-75 5-5.5 4.5-5 3000-3500 >3500 9-10 <9
Tidak sesuai >700 Lainnya
Terhambat Lainnya <50 <4.5 >5000 <8
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2007)
Pemanenan tanaman nilam dilakukan setelah tanaman berumur 6 bulan (untuk panen pertama) dan panen selanjutnya dapat dilakukan setiap 4 bulan sampai tanaman berumur tiga tahun (Nuryani 2006a). Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari dengan tujuan agar kandungan minyak yang terdapat dalam tanamannya lebih tinggi. Hasil panen selanjutnya dikering-anginkan selama 3-5 hari sampai kadar airnya mencapai 15%. Daun yang telah kering harus langsung disuling agar produksi minyak tidak turun (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 2008).
2.2 MINYAK NILAM Minyak nilam adalah minyak yang diperoleh dengan cara menyuling tanaman nilam yang dalam dunia perdagangan biasa disebut dengan Patchouli oil. Rata-rata produksi minyak nialm pada tahun 2003 yaitu 199.48 kg/ha dan 80.67 kg/ha pada tahun 2006 dengan luas areal 19.901 ha. Produksi tersebut masih tergolong rendah yang disebabkan karena rendahnya produksi daun (4-5 ton/ha terna kering) dan kadar minyak 1-2% (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2007). Kualitas minyak nilam masih tergolong rendah jika dilihat dari persentase nilai Patchouli alcoholnya. Menurut hasil penelitian Sari dan Sundari (2009), persentase Patchouli
19 5
alcohol minyak nilam yang disuling oleh rakyat adalah 23.47%. Nilai ini sangat jauh jika dibandingkan dengan standar minimal Patchouli alcohol dalam SNI yaitu 30%. Rendahnya produksi dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan selain disebabkan oleh kualitas bahan baku yang digunakan, juga disebabkan karena kebanyakan petani melakukan penyulingan tanpa memperhatikan kondisi operasi. Kondisi operasi yang perlu diperhatikan antara lain perlakuan terhadap bahan baku, proporsi batang dengan daun, cara penyulingan, jenis bahan alat suling yang dipakai dan penambahan air umpan ketel, serta sirkulasi pendinginan yang kurang memadai. Parameter yang mempengaruhi penyulingan antara lain kualitas daun, berat daun, kepadatan dan tinggi daun, perbandingan uap dan massa daun, temperatur dan tekanan, kecepatan uap, kecepatan pemanasan, laju suplai energi, bahan dan dimensi peralatan (Sari dan Sundari 2009). Proses penyulingan minyak nilam sendiri terdiri dari tiga cara yaitu penyulingan dengan sistem rebus (menggunakan air secara langsung), kukus (menggunakan air dan uap) dan uap langsung (menggunakan uap air berasal dari boiler). Masing-masing sistem penyulingan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyulingan dengan sistem rebus dapat menyebabkan rendemen minyak banyak yang hilang (tidak tersuling) dan mutu minyak yang diperoleh juga menurun. Penyulingan langsung juga bisa mengakibatkan terjadinya pengasaman serta persenyawaan zat ester yang dikandung dengan air dan timbulnya berbagai hasil samping yang tidak dikehendaki. Penyulingan dengan uap air langsung memiliki kelebihan diantaranya adalah satu ketel uap dapat dimanfaatkan untuk beberapa buah ketel penyulingan yang dipasang paralel sehingga proses produksi berlangsung lebih cepat. Namun, proses tersebut membutuhkan ketel dengan konstruksi lebih kuat, alat-alat pengaman yang lebih baik dan sempurna, dan biaya yang diperlukan pun lebih mahal (Rumondang 2004). Sedangkan penyulingan dengan air dan uap lebih disarankan karena pada sistem ini hidrolisa terhadap beberapa komponen minyak atsiri, difusi minyak atsiri dengan air panas serta dekomposisi akibat panas akan lebih mudah diminimalkan. Berdasarkan kelebihan dan kekurangannya, penyulingan dengan sistem rebus sudah jarang dilakukan oleh para penyuling nilam. Metode penyulingan yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah metode kukus (uap-air) dengan ketel yang digunakan terbuat dari besi (dapat dilihat pada tabel 14 dan 15). Menurut Sari dan Sundari (2009), kriteria penyulingan minyak nilam yang bermutu yang disimpulkan dari penelitian beberapa peneliti adalah sebagai berikut: Tabel 4. Kriteria Penyulingan Minyak Nilam Bermutu No Variabel Kriteria 1 Perlakuan bahan awal a. Pengeringan bahan 5 jam dan kering angin selama 3 hari b. Kadar air 15-25% c. Perbandingan daun dan batang 2:1 d. Jenis bahan nilam Aceh (P. Cablin Benth) 2 Proses penyulingan a. Sistem penyulingan Uap-air b. Massa daun/volume daun (kerapatan) 0.12-0.13 kg/liter c. Perbandingan massa kukus dan massa daun 7.34-7.41: 1 3 Penyimpanan minyak nilam Stainless steel
20 6
2.3 KOMPONEN MINYAK NILAM Komponen minyak nilam terdiri dari komponen utama yaitu Patchouli alcohol yang merupakan senyawa sesquiterpene trisiklik dan beberapa komponen kecil seperti patchoulene, azulene, eugenol, benzaldehide, sinamaldehide, keton dan senyawa sesquiterpene lainnya (Anonimous dalam Rahendas 2005). Aroma yang khas pada minyak nilam disebabkan karena minyak nilam tersusun dari campuran persenyawaan terpen dengan alkohol-alkohol. Menurut Maryadi (2007), minyak nilam mengandung lebih dari 30 jenis komponen kimia, diantaranya adalah 4 hydrocarbon monoterpene, 9 hydrocarbon sesquiterpene, 2 oxygenated monoterpene, 4 epoksi, 5 sesquiterpene alcohol, 1 non sesquiterpene alcohol, 2 sesquiterpene keton dan 3 sesquiterpene ketoalcohol. Penelitian mengenai komponen yang menyusun minyak nilam juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini: . Tabel 5. Komponen Penyusun Nilam dari Beberapa Penelitian. Penelitian Komponen senyawa
No 1
Penelitian Hu et al. (2005) : Suhu awal
β-Patchoulene,
80◦C; kenaikan 10◦C/menit sampai
Seychellene,
110◦C; 3 ◦C/ menit hingga 120 ◦C
Pathulenol, Patchouli alcohol dan Pogostone
Caryophyllene, β-Guaiene,
α-Guaiene, δ-Guaiene,
ditahan selama 10 menit; 2◦C/menit hingga 134◦C; 1◦C/ menit 143◦C ditahan 5min; 5◦C/ menit hingga 240 ◦C; akhirnya 20◦C/menit hingga 280 ◦C ditahan selama 5 menit 2
β-Patchoulene (1.7-4.8%), α-Gurjunene (0.0-
Maryadi 2007
5.0%),
α-Guaiene
Caryophyllene
(9.9-15.2%),
α-Patchoulene
(2.0-3.9%),
(8.5-12.7%),
Seychellene
β-
(5.9-9.4%),
α-
Bulnesene (13.1-17.2%), α-Bulnesenepoxide (0.2-0.4%),
α-Guaienepoxide
(0.1-0.2%),
(0.5-0.6%),
Patchoulol
Nonpatchoulenol
(31.2-46.0%), Pogostol (1.9-2.7%) 3
Penelitian terhadap Pogostemon cablin
β-Patchoulene (3.2%), β-Elemene (0.7%), β-
Benth yang tumbuh di Vietnam (Dung
Caryophyllene (2.8%), α-Guaiene (13.4%),
et al. 1989)
Seychellene (7.5%), α-Patchoulene (8.0%), αBulnesene
(14.7%),
δ-Cadinene
(1.2%),
Pogostol (2.4%), Patchouli alcohol (37.8%), komponen lainnya (8.3%) 4
Nikiforov et al. (1988) : Suhu Injector 0
0
250 C ; program suhu 70 C hingga 0
0
240 C kenaikan 6 C
(-)-Patchoulol,
α-Guaiene,
Seychellene, α-Bulnesene,
α-Patchoulene, Norpatchoulenol
dan Pogostol.
21 7
No 5
Tabel 5. Komponen Penyusun Nilam dari Beberapa Penelitian (lanjutan). Penelitian Komponen senyawa Bunratep et al. (2006) : GC-MS A
δ-Elemene (sedikit), β-Patchoulene (sedikit),
Matt 95 spectrometer yang dilengkapi
β-Elemene (0.33%), cis-thujopsene (0.25%),
dengan Sun Mash, kolom HP-5MS
Trans-Caryophyllene
Suhu oven 50°C hingga 250°C, pada
(7.22%), γ-Patchoulene (3.89%), α-Humulene
7°C /menit; suhu injector dan detektor
(0.48%), α-Patchoulene (2.27%), Seychellene
250°C dan 280 °C
(0.98%), Valencene (0.85%), Germacrene D (0.15%),
β-Selinene
(2.24%),
(sedikit),
α-Guaiene
α-Selinene
(0.23%), Viridiflorone (1.91%), Germacrene A (11.73), α-Bulnesene (0.84%), 7-epi-αSelinene (0.17%), Longipinenol (sedikit), Globulol
(4.62%),
Patchouli
alcohol
(60.30%), 1-octen-3-ol (0.20%) 6
Patchouli
2010, MS QP2010, kolom DB-1 suhu
(15.91%), α-Patchoulene (5.99%), α-Guaiene
0
awal 50 C ditahan selama 2 menit, 0
0
kenaikan 4 C per menit hingga 220 C
(12.32%),
alcohol
(23.27%),
δ-Guaiene
Xu et al. (2009): GC-MS Shimadzu
Caryophyllene
(3.49%),
β-
Patchoulene (3.31%) dan lainnya.
ditahan selama 2 menit juga Dari beberapa penelitian diatas dapat dilihat bahwa komponen utama yang sering teridentifikasi pada minyak nilam diantaranya adalah β-Patchoulene, α-Guaiene, Caryophyllene, α-Bulnesene, dan Patchouli alcohol. Sari dan Sundari (2009) telah melakukan penelitian terhadap komponen minyak nilam dengan membandingkan hasil minyak nilam yang disuling di laboratorium dan disuling oleh industri rakyat yang berada di daerah Sumatera Barat dan konsentrasi komponen penyusun minyak nilam rakyat yang diperoleh setiap jam penyulingan. Hasil dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 6. Konsentrasi Senyawa Komponen Minyak Nilam Pada Industri Rakyat dan Penelitian Di Laboratorium % konsentrasi komponen minyak nilam No Senyawa Penelitian Industri rakyat 1 α-Pinene 0.02 0.05 2 β-Pinene 0.05 1.12 3 β-Patchoulene 1.57 1.85 4 α-Guaiene 13.17 17.56 5 α-Patchoulene 9.15 13.12 6 Bulnesene 22.78 19.61 7 Norpatchoulenol 8.07 1.92 8 Patchouli alcohol 40.98 23.47 9 Pogostol 0.34 1.45 Sari dan Sundari, 2009
22 8
untuk konsentrasi komponen penyusun minyak nilam rakyat dan penelitian yang diperoleh setiap jam penyulingan, Sari dan Sundari (2009) menyimpulkan bahwa komponen Patchouli alcohol yang tertinggi berada pada jam ke lima dan yang terendah berada pada jam pertama. Menurut Sari dan Sundari (2009), hal tersebut terjadi karena diperkirakan pada jam pertama minyak yang mengandung komponen-komponen ringan (bobot molekul kecil) terlebih dahulu keluar dan berikutnya dilanjutkan dengan komponen-komponen berat (bobot molekul besar) yang merupakan golongan sesquiterpene dengan berat molekul yang tinggi.
Tabel 7. Syarat Mutu Minyak Nilam Berdasarkan SNI 06-2385-1006 tentang Minyak Nilam. No Jenis Uji Persyaratan 1
Warna
Kuning muda-coklat kemerahan 0
0
2
Bobot jenis 20 C/20 C
0.950-0.975
3
Indeks bias (nD20)
1.507-1.515
4
Kelarutan dalam ethanol 90% pada suhu
Larutan jernih atau opalesensi ringan
0
20 C
dalam perbandingan 1:10
5
Bilangan asam
Maksimum 8
6
Bilangan ester
Maksimum 20
7
Putaran optik
(-)480 – (-)650
8
Kandungan Fe (mg/kg)
Maksimum 25
9
Profil kromatografi nilam menggunakan Kromatografi Gas Cair (GLC) dan FID detektor Komponen
Minimum (%)
α -Copaene
-
Patchoulol
30
Maksimum (%) 0,5 -
(Badan Standarisasi Nasional 2006)
2.4 ANALISIS KOMPONEN MINYAK ATSIRI DENGAN GC-MS Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap. Sifat inilah yang menjadi dasar untuk melakukan analisis komponennya menggunakan cara pemisahan kromatografi. Menurut Cserhati (2008), prinsip dari Gas Chromatography (GC) adalah distribusi senyawa volatile diantara fase diam dan fase gerak. GC hanya dapat digunakan untuk komponen yang mudah menguap dan stabil pada suhu analisis. Pemisahan pada GC juga tergantung pada kolom yang digunakan. Pemisahan yang sederhana dapat dilakukan pada suhu kolom yang konstan (isocratic) dan untuk menganalisis komponen yang kompleks suhu tersebut dapat diatur sesuai program (suhu analisis gradien). Detektor yang digunakan untuk GC juga bermacam-macam (contoh: Flame Ionization Detector (FID), Nitrogen-phorporus, Thermal Conductivity (TCD), Spectrophotometer massa dll). Detektor yang akan digunakan dipilih berdasarkan sensitivitas dan selektivitasnya. Kromatografi yang digunakan untuk menganalisis minyak atsiri adalah jenis kromatograf gas dengan spectrophotometer massa sebagai detektor (GC-MS). Analisis menggunakan GC merupakan fenomena yang mirip dengan pemisahan suatu komponen kimia.
23 9
Beberapa sifat fisiko-kimia dari suatu molekul menyebabkan mereka dapat bergerak melalui kolom dengan kecepatan yang berbeda. Jika molekul memiliki massa kecil, mungkin perjalanan lebih cepat. Bentuk molekul juga mungkin mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk keluar kolom. Sejauh mana komponen yang berbeda atau berhubungan satu sama lain dapat menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan kolom meningkat atau menurun. Interaksi antara molekul sampel dan permukaan kolom dapat menyebabkan molekul yang akan ditahan di dalam kolom untuk jumlah waktu yang berbeda dari molekul-molekul serupa yang berinteraksi dengan kolom yang berbeda (Hittes 2010). Ketika sampel organik yang teruapkan melewati kamar ionisasi spectrophotometer massa, uap akan ditembak oleh berkas elektron. Elektron-elektron ini mempunyai energi yang cukup untuk mengeluarkan sebuah elektron dari molekul organik untuk membentuk ion positif (ion molekuler). Ion-ion molekuler tidak stabil secara energetika, dan beberapa diantaranya akan terpecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, satu bagian ion positif dan bagian lain berupa radikal bebas tak bermuatan. Radikal bebas tak bermuatan tidak akan menghasilkan garis pada spektrum massa. Hanya partikel-partikel bermuatan yang akan dipercepat, dibelokkan, dan dideteksi oleh spectrophotometer massa. Partikel tak bermuatan ini akan dengan mudah hilang dalam mesin dan akhirnya terbuang ke pompa vakum (Clark 2007). Beberapa penelitian yang menggunakan GC-MS sebagai alat untuk analisis diantaranya dapat dilihat pada tabel 8 di bawah ini: Tabel 8. Beberapa Penelitian yang Menggunakan GC-MS untuk Meneliti Komponen Minyak Atsiri yang Terdapat dalam Suatu Bahan. No Alat dan kondisi proses Komponen utama yang teridentifikasi 1 Brophy et al. (2003) : Shi-madzu GC-MS Carvacrol, (E,E)-α-farnesene, β-Caryophyllene QP5000; kolom DB-wax dan DB-5, suhu dan carvacrol methyl ether dan ekstraksi 350C hingga 2200 C (kenaikan suhu 30C menggunakan SPME [(E,E)-α-farnesene, β/menit) bisabolene, cis-hex-3-en-1-ol dan carvacrol methyl ether 2 Kaul et al. (1997): GC-MS Packard 439 Camphene, limonene, borneol, isobornyl GC dikombinasikan dengan prosesor acetate, β-Caryophyllene, intermedeol dan Shimadzu CR-3A dan kolom kapiler silika acorenone tipe CP sil 5 CB suhu 600C hingga 2800C kenaikan 50C /menit 3 Guo-bin et al. (2009) : Agilent 6890N Aristolene, Cuparene, β-Gurjunene, δGC/5973MSD-SCAN; HP-5MS; suhu Amorphene, α-Muurolene, α-Cadinol, injection 220°C, program suhu 600C Camphor, γ-Elemene, τ-Cadinol hingga 150°C; kenaikan 3°C/menit setelah 3.5 menit 4 Sousa et al. (2010) : GC-MS Shimadzu Germacrene D, Biciclo Germacrene, Pathulenol, Eremophilene, Valecene, GC-17A;MS QP5050A; kolom DB-5HT; Viridiflorene, dan 1,10-di-epi-cubenol 0 0 suhu injector 270 C; suhu detektor 290 C; suhu kolom 600C (2 menit) hingga 1800C (1 menit)
40C/ menit, kemudian 1800C
hingga 2600C kenaikan 10º C/menit (10 menit)
10 24