4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Anggrek Anggrek di klasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Classis
: Monocotyledoneae
Ordo
: Orchidales
Familia
: Orchidaceae
Genus
:
a. Paphiopedilum b. Coelogyne c. Dendrobium
Species
: a. Paphiopedilum glaucophyllum b. Coelogyne speciosa c. Dendrobium crumenatum Tanaman anggrek merupakan salah satu jenis tanaman hias yang
memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga banyak disenangi oleh masyarakat luas.Budidaya tanaman anggrek tidak hanya sekedar untuk kesenangan tetapi dapat dikembangkan menjadi suatu agribisnis yang menjanjikan (Rukmana, 2000). Anggrek alam atau anggrek hutan biasanya dikenal sebagai anggrek spesies. Anggrek-anggrek spesies ini tumbuh secara alami di tempat-tempat yang tidak dipelihara oleh manusia. Anggrek-anggrek spesies ini memegang peranan penting sebagai induk persilangan (Sarwono, 2002). Paphiopedilum glaucophyllum adalah salah satu spesies dari genus Paphiopedilum dalam famili Orchidaceae. Anggrek tersebut memiliki tipe pertumbuhan simpodial. Secara umum tanaman dewasa yang telah selesai berbunga akan menghasilkan tunas anakan (offshoot) dari bagian pangkal batang bawah (Azmi dan Wiendi, 2013). Cribb (1997) memperkirakan 25 dari 60 spesies Paphiopedilum yang terdapat di alam liar sangat terancam keberadaannya, dengan
4
5
penyebab utamanya adalah perambahan untuk tujuan komersial. Perdagangan internasional terhadap spesies liar Paphiopedilum telah dibatasi dengan menempatkan seluruh spesiesnya dalam Appendix I dari CITES (Convention in Trade on Endangered Spesies of Flora and Fauna). Paphiopedilum glaucophyllum J.J.Sm. var. glaucophyllum yang lebih dikenal sebagai anggrek selop atau anggrek kantung merupakan salah satu jenis anggrek endemik Jawa Timur yang termasuk dalam kategori tumbuhan langka di Indonesia (Mogea JP et al., 2001). Karakter menonjol dari anggrek P. glaucophyllum J.J.Sm. var. glaucophyllum terletak pada bagian bunga yang memiliki bibir berbentuk kantung berwarna ungu. Nama penunjuk jenis glaucophyllum berasal dari 2 kata Latin yaitu ”glaucus” dan ”phyllus”. Kata ”Glaucus” mencerminkan bagian bibir berwarna ungu hijau dan ”phyllus” menggambarkan helai kelopak punggung yang berwarna hijau biru keputihan (Bob & Wellenstein 2006).
Gambar 1. Anggrek Paphiopedillum glaucophyllum
6
Coelogyne speciosa yang telah ditemukan termasuk dalam anggrek epifit. Tipe pertumbuhan syimpodial. Pseudobulb yang tumbuh dekat satu sama lain. Daun berbentuk lanset memanjang yang tumbuh di ujungpanjang sekitar 16 cm. Pada setiap pseudobulb ada satu daun. Bunga ini memiliki warna kuning kehijauan. Akar memiliki warna putih. Anggrek ini biasanya ditemukan menempel di pohon damar ketinggian 2 meter (Aminatun et al,. 2015).
Gambar 2. Anggrek Coelogyne speciosa Anggrek
Dendrobium
crumenantum
adalah
anggrek
epifit,
bergerombol. Batang di dekat pangkal membengkak membentuk umbi semu, beruas-ruas. Daun terdapat di ujung batang, tersusun berseling, berbentuk bundar telur. Bunga terdapat pada bagian ujung batang yang tidak berdaun, berwarna putih.
Jenis
ini
dikenal
dengan
nama
daerah
anggrek
merpati
(Sulistiarini et al. 2009). Berdasarkan hasil pengamatan Yulia (2009) terhadap ketahanan mekar bunga anggrek, anggrek merpati merupakan anggrek dengan ketahanan mekar bunga terpendek yaitu satu hari. Anggrek merpati merupakan salah satu jenis anggrek yang pembungaannya memerlukan stimulasi kondisi lingkungan berupa suhu dingin. Temperatur yang dingin akan merangsang organ bunga- nya untuk mekar serentak (Seidenfaden dan Wood, 1992).
7
Gambar 3. Anggrek Dendrobium crumenantum Kekerabatan diantara anggrek spesies perlu diketahui untuk melakukan persilangan dalam program pemuliaan. Persilangan antara anggrek-anggrek spesies yang berkerabat dekat akan meningkatkan peluang keberhasilan persilangan (Purwantoro et al,. 2005).
B. Kromosom Kromosom adalah suatu struktur makromolekul yang berisi DNA di mana informasi genetik dalam sel disimpan. Kata kromosom berasal dari kata kroma yang berarti warna dan soma yang berarti badan. Kromosom terdiri atas dua bagian yaitu sentromer atau kinekthor yang merupakan pusat kromosom
8
berbentuk bulat dan lengan kromosom yang mengandung kromonema dan gen berjumlah dua buah (Crowder, 1991). Pada sel berinti, kromosom merupakan komponen utama inti yang mengandung informasi genetik. Kromosom tersusun atas benang-benang kromatin dan tiap serabut kromatin dipercaya mengandung satu molekul DNA. Meskipun molekul DNA mengandung informasi genetik yang tersimpan dalam sel atau organisme dan selanjutnya dapat diteruskan ke sel atau generasi berikutnya, namun mekanismenya cukup rumit. Informasi genetik yang tersimpan dalam molekul DNA adalah informasi untuk ekspresi fenotip melalui pembentukan molekul protein (Abdul, 1994). Tiap-tiap kromosom disusun oleh matrika yang bersifat non genik dan mengandung protein dan dua helai benang halus berkelok-kelok yang disebut kromonema. Pada kromonema terdapat butiran butiran yang berbeda-beda ukurannya dan disebut kromomer. Kromonema berserta butiran-butiran kromomer inilah yang bersifat “genik” yang membawa sifat-sifat keturunan. Pada suatu tempat tertentu, tiap-tiap kromosom mempunyai daerah yang menyempit dan disitu terdapat bagian yang bentuknya membulat dan dalam pewarnaan hampir tidak diwarnai, sehingga kelihatan bening. Daerah ini disebut sentromer atau kinekthor, dan berfungsi untuk mengendalikan pergerakan kromosom dalam pembagian sel (Hedddy, 1987). Perbedaan kromosom menggambarkan perbedaan kandungan genetik pada suatu individu.Variasi utama yang dapat diamati yaitu ukuran atau panjang absolut, sifat kromosom terhadap pewarnaan, morfologi, ukuran relative dan jumlah kromosom. Individu dalam satu spesies mempunyai jumlah kromosom sama tetapi spesies yang berbeda dalam satu genus mempunyai jumlah kromosom berbeda (Suliartini et al., 2004). Dalam mempelajari sitogenetika tidak dapat dilepaskan dari proses pembelahan sel. Pembelahan sel dibedakan menjadi dua yaitu pembelahan mitosis dan meiosis (Suryo,1995). Pembelahan mitosis merupakan pembelahan duplikasi dimana sel memproduksi dirinya sendiri dengan jumlah kromosom sel anak sama
9
dengan induknya. Mitosis berlangsung dalam beberapa fase yaitu interfase, profase, metafase anafase, dan telofase. 1. Interfase : Sel belum memperlihatkan kegiatan membelah tetapi aktif dalam fungsi mekanisme fisiologi dan biokimia organisme. Inti sel tampak sebagai gumpalan padat. 2. Profase : Inti sel terlihat bulat, membesar dan gelap. Benang benang kromatin mulai terlihat. Semakin lama benang kromatin makin pendek dan tebal sehingga terbentuk kromosom. Tiap kromosom lalu membelah, memanjang dan anakan kromosom disebut kromatid. Dinding mulai menghilang dan sentriol membelah. 3. Metafase : kromosom berada di bidang ekuator sel dan sentromer melekat pada serabut gelendong yang bertanggung jawabterhadap arah pergerakan kromosom selama pembelahan. 4. Anafase : Sentromer membelah dan kedua kromatid memisahkan diri dan bergerak pada serabut gelendong menuju kutup sel yang berlawanan. Tiap kromatid hasil pembelahan merupakan kromosom baru dan memeiliki sifat keturunan yang sama. 5. Telofase : Setiap kutup sel terbentuk stel kromososm yang identik. Serabut gelendong inti lenyap dan dinding inti terbentuk. Kemudian plasma sel terbagi menjadi dua bagian yang disebut sitokenese. Sitokenese pada tumbuhan ditandai dengan terbentuknya dinding pemisah ditengah – tengah sel. Berdasarkan fase pembelahan, kromosom dapat dilihat dengan jelas pada tahap metafase yaitu fase dimana kromosom berada di bidang tengah sel atau prometafase (metafase awal) karena pada prometafase ukuran kromosom jauh lebih panjang dan struktur kromosom tampak lebih jelas dibanding pada tahap metafase (Parjanto et al., 2003). Berdasarkan letak sentromernya, bentuk kromosom dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain : 1. Kromosom Metasentrik
10
Kromosom mempunyai sentromer ditengah , sehingga kromosom dibagi atas dua lengan sama panjang. Biasanya kromosom membengkok di tempat sentromer sehingga kromosom membentuk huruf V. 2. Kromosom Submetasentrik Kromosom yang mempunyai sentromer tidak ditengah, sehingga kedua lengan kromosom tidak sama panjang. Bila Kromosom ini membengkok di tempat sentromer, maka kromosom berbentuk huruf j, lengan yang pendek biasanya diberi simbol (tanda) p, sedang lengan panjang q. 3. Kromosom Akrosentrik Kromosom yang mempunyai sentromer disalah satu ujungnya, sehingga kedua lengan kromosom tidak sama panjang. Biasanya kromosom ini lurus, tidak bengkok. 4. Kromosom Telosentrik Kromosom yang mempunyai sentromer di salah satu ujungnya sehingga kromosom tetap lurus dan tidak terbagi atas dua lengan. Kromosom telosentris ditemukan pada manusia jarang terjadi pada tumbuhan (Suryo, 1995). Sik, Kesercioglu dan Candan (2009) menyatakan jumlah kromosom C. burttii adalah 2n = 60 + 2B, menunjukkan bahwa spesies ini hexaploid (x = 10). Di sisi lain, jumlah kromosom C. balansae ditemukan sebagai 2n = 90. Sebelumnya, jumlah kromosom spesies ini dilaporkan sebagai 2n = 32, 54 dan 108. Dalam Kesimpulannya, jumlah kromosom dari sampel yang diperoleh dengan penyelidikan ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Sitologi adalah cabang ilmu dari biologi yang mempelajari morfologi sel. Hal yang dipelajari dalam sitologi mencakup sifat sifat fisiologis sel seperti struktur dan organel yang terdapat di dalam sel, lingkungan, daur hidup sel pembelahan sel dan fungsi sel hingga kematian sel. Secara khusus, ilmu sitologi yang melibatkan genetika dipelajari dalam sitogenetika (Suryo,1995). Untuk
mempermudah
pengembangan
pemuliaan
tanaman
maka
diperlukan juga deskripsi tanaman berdasarkan analisis sitologinya. Pengamatan sifat genetik berdasarkan uji sitologis tersebut akan sangat diperlukan untuk
11
memberikan informasi yang akurat mengenai sifat genetik pada suatu tanaman (Akagi et al, 1996). Bahan yang umum digunakan dalam analisis sitogenetika adalah bagian tanaman yang aktif membelah (meristematis) seperti ujung akar, ujung batang, primordia daun, petala daun, ovulum muda, dan kalus. Namun yang paling umum digunakan dalam studi mitosis adalah ujung akar karena mudah tumbuh dan seragam (Setyawan dan Sutikno, 2000). Salah satu metode yang sering digunakan dalam penelitian sitogenetika adalah metode pencet (squash). Metode squash adalah suatu metode untuk mendapatkan sediaan dengan cara memencet potongan jaringan sehingga di dapat suatu sediaan yang tipis dan dapat diamati dibawah mikroskop (Suntoro, 1983). Pra perlakuan bisa dilakukan dengan menggunakan air suling dan zat kimia. Zat kimia yang dapat digunakan di antaranya. Kolkhisin, Acenaphtnene, Caumarin, hydroxiquinoline. Pra-perlakuan dilakukan untuk pemisahan dan penguraian kepadatan kromosom, perjernihan sitoplasma, dan melunakkan jaringan, yang memungkinkan untuk dapat mengamati kromosom dengan jalan menguraikan bagian bagian yang lebih menggumpal, juga untuk lebih memungkinkan penetrasi dari fiksatif dengan jalan melepaskan berbagai deposit yang mengganggu pada tisu, serta untuk mempelajari struktur spiral pada kromosom (Gunarso, 1988;Suryo,1995). Parjanto et al (2003) menyatakan pra perlakuan dalam air dingin pada suhu 5-10º C selama 24 jam menghasilkan sediaan mikroskopis dengan kromosom yang sangat menyebar. Fiksasi merupakan suatu usaha untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan agar tetap pada tempat dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran. Oleh karena itu, fiksasi berfungsi untuk mempertahankan bentuk jaringan sedemikian rupa sehingga perubahan bentuk atau struktur sel/jaringan terjadi hanya sekecil mungkin (Suntoro, 1983). Larutan yang digunakan sebagai larutan fiksatif antara lain formalin, asam asetat, eter, dan lain lain. Asam asetat merupakan bahan fiksatif yang paling sering digunakan untuk menganalisa kromosom karena selain mudah dalam
12
pembuatan dan memiliki daya penetrasi yang cepat juga bisa dikombinasikan dengan berbagai bahan fiksatif yang lain (Gunarso, 1988). Hidrolisis dilakukan untuk mendapatkan sel-sel yang menyebar dalam pengamatan kromosom. Penyebaran sel merupakan akibat dari lamela tengah yang larut pada jaringan meristem yang belum kuat. Asam klorida dan enzim hidrolase dapat digunakan untuk proses hidrolisis. Hidrolisis yang terlalu lama dapat mengurangi affinitas pewarna terhadap kromosom dan menyebabkan kromosom terurai karena denaturasi protein dan asam nukleat (Jahier et al, 1996; Setyawan dan Sutikno, 2000). Untuk pengamatan kromosom, maka kromosom perlu diwarnai. Larutan yang biasa digunakan dalam pewarnaan kromosom antara lain acetic-orcein, iron aceto-orcein, safranin, dan lain lain. Acetic-orcein paling sering digunakan karena pembuatannya mudah, cocok digunakan pada jaringan meristem seperti ujung akar, pewarnaanya lebih cepat dibandingkan dengan larutan pewarna yang lain, dan bisa dipadukan dengan larutan fiksatif asam asetat (Gunarso,1988).
C. Kariotipe Kariotipe adalah susunan kromosom berurutan dari ukuran terpanjang sampai terpendek.Penyusunan kariotipe dinyatakan dalam bentuk kariogram dan idiogram. Kariogram merupakan penyusunan kromosom secara berurutan dari ukran terpanjang sampai terpendek dan memasangkan masing-masing kromosom pada kromosom homolognya, sedangkan idiogram disusun dengan menyatukan pasangan kromosom berdasarkan rata-rata panjang total dan bentuk kromosom (Parjanto et al., 2003). Kariotipe suatu individu pada dasarnya konstan, namun dalam kondisi tertentu dapat terjadi penyimpangan sehingga morfologii kromosomnya berubah. Perubahan tersebut dapat berupa penambahan atau pengurangan bagian kromosom dan penyusunan kembali bagian kromosom, yang secara genetik melibatkan bagian-bagian penting kromosom (Sybenga, 1992 cit. Pramashinta et al. 2003).
13
Peran kariotipe dalam pengamatan sifat keturunan besar sekali. Menurut Snustad dan Simmons (2000), susunan kariotipe dapat digunakan untuk mengetahui penyimpangan kromosom yang terjadi pada waktu pembelahan sel dan dapat dicari hubungannya dengan kelainan yang terjadi pada waktu pembelahan sel dan dapat dicari hubungannya dengan kelainan yang terjadi pada anatomi, morfologi dan fisiologi suatu makhluk hidup.