729
Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang ... (Gunarto)
PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA PADA BUDIDAYA UDANG PENAEID DI TAMBAK Gunarto dan Abdul Mansyur Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Program pemerintah hingga 2014 memproyeksikan produksi perikanan budidaya rata-rata sebesar 353% dan khusus dari udang 201%. Hal tersebut perlu mendapat dukungan dari penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan teknik sederhana dalam upaya peningkatan produksi udang dari budidaya. Enam petak tambak masing-masing ukuran 500 m2 digunakan untuk penelitian penambahan sumber karbohidrat (tepung tapioka) pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) pola tradisional plus. Pada penelitian lainnya enam petak tambak masing-masing ukuran 4.000 m2 digunakan untuk budidaya udang windu (Penaeus monodon) pola intensif. Pada budidaya udang vaname pola tradisional plus, penambahan tepung tapioka dilakukan setiap selang waktu 3–5 hari sekali selama masa pemeliharaan dengan dosis sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan setiap hari. Pada budidaya udang windu intensif, penambahan tepung tapioka dilakukan setiap selang waktu 3–5 hari sekali selama masa pemeliharaan dengan dosis sebanyak 62% dari total pakan yang diberikan setiap hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada budidaya udang vanamei pola tradisional plus dengan penambahan tepung tapioka diperoleh produksi udang lebih tinggi yaitu sebanyak 58% dari produksi udang yang diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan tepung tapioka. Pada budidaya udang windu pola intensif penambahan tepung tapioka belum memberikan peningkatan produksi udang windu secara nyata. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh sifat udang windu yang lebih karnivora sehingga kurang memanfaatkan bakteri heterotrof yang terbentuk, kemungkinan lainnya yaitu apakah seharusnya perlu lebih sering lagi frekuensi pemberian tepung tapioka, sehingga populasi bakteri heterotrof bisa dimanfaatkan secara efektif oleh udang windu.
KATA KUNCI:
tepung tapioka, pola tradisional, pola intensif, udang penaeid
PENDAHULUAN Program pemerintah hingga 2014 memproyeksikan produksi perikanan budidaya rata-rata sebesar 353% dan khusus dari udang 201%. Hingga saat ini produktivitas tambak udang yang dikelola secara tradisional, khususnya di Sulawesi Selatan, masih sekitar 200 kg/ha. Oleh karena itu, dalam upaya untuk mendukung program tersebut perlu upaya peningkatan produksi udang dari budidaya baik untuk udang windu ataupun udang vaname. Permasalahan pada budidaya udang windu sejak tahun 1990-an sampai sekarang adalah serangan penyakit terutama White Spot Syndrome Virus (WSSV) yang belum bisa ditangani secara tuntas, sehingga kegagalan panen dari usaha budidaya udang windu terus terjadi baik pada pola tradisional, semi intensif dan intensif. Sehingga sampai sekarang hanya budidaya udang windu pola tradisional yang masih ada di masyarakat petambak, sedangkan budidaya udang windu semi intensif atau intensif tidak ada satu pun pengusaha tambak yang berani karena tingkat risiko kegagalan yang tinggi. Sejak di Introduksi ke Indonesia pada tahun 1999, pada masa sekarang ini budidaya udang vanamei baik tradisional, semi intensif ataupun intensif telah berkembang di beberapa daerah di Indonesia, dan telah mampu menyumbang 70% dari total produksi udang di Indonesia. Namun demikian permasalahan budidaya udang vanamei belakangan ini telah muncul serangan penyakit yaitu Taura Syndrome Virus (TSV), White Spot Syndrome Virus (WSSV), dan Infectious Mionecrosis Virus (IMNV) yang telah banyak menyebabkan kegagalan panen udang vaname di tambak. Selain permasalahan penyakit, harga pakan udang juga semakin tinggi, sehingga biaya produksi udang budidaya semakin meningkat, sementara harga udang stabil. Maka budidaya udang harus dilakukan secara efisien dan efektif dan satu di antaranya adalah dengan penambahan sumber karbohidrat yang berfungsi untuk merangsang penumbuhan bakteri heterotrof (Avnimelech, 1999; Hari et al., 2004; Hari et al., 2006; Samocha et al., 2006), yang selanjutnya bakteri heterotrof tersebut
730
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
dapat dijadikan sumber subsitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan. Sehingga diharapkan akan terjadi efisiensi biaya produksi. Penelitian penambahan tepung tapioka sebagai sumber karbohidrat yang ditambahkan ke media air tambak telah dilakukan baik pada budidaya udang windu pola intensif dan budidaya udang vanamei pola tradisional plus, dengan tujuan untuk melihat efeknya terutama pada peningkatan produksi dari masing-masing teknologi yang telah diujikan tersebut. BAHAN DAN METODE Metode penelitian diringkas seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Ringkasan bahan dan metode yang digunakan pada penelitian budidaya udang windu pola intensif dan budidaya udang vaname pola tradisional plus menggunakan penambahan tepung tapioka
Parameter
Budidaya udang windu intensif
Budidaya udang vaname tradisional plus
Lokasi Luas tambak (m2) Padat tebar, umur benur Salinitas (ppt) pada waktu benur ditebar
Tambak Takalar ± 4.000 m2/petak, enam petak 20 ekor/m2, PL-25 36
Tambak Marana, Maros 500 m2/petak, enam petak 8 ekor/m2, PL-10 42
36–42 Satu hari setelah tebar, dosis 2%–100% total biomassa 62% dari total pakan per hari
42–52 Satu minggu setelah tebar, dosis 2%–100% total biomassa 40% dari total pakan per hari
3–5 hari sekali Tepung tapioka 62% (A), fermentasi probiotik 5 mg/L (B), fermentasi probiotik 10 mg/L (C). 110
3–5 hari sekali Tepung tapioka 40% (A), fermentasi probiotik 5 mg/L (B), kontrol (C).
Salinitas (ppt) selama pemeliharaan Waktu dan dosis pemberian pakan Jumlah tepung tapioka yang ditebar di air tambak Frekuensi pemberian tepung tapioka Perlakuan yang diuji:
Lama pemeliharaan (hari)
84
Peubah yang diamati selama pemeliharaan meliputi pertumbuhan udang yang dimonitor setiap dua minggu. Sedangkan sintasan, produksi dan konversi pakan dihitung pada akhir penelitian. Parameter kualitas air (BOT, amoniak, nitrit, nitrat, fosfat) dari setiap petak tambak dimonitor setiap dua minggu sekali. Sedangkan pH air, suhu air, salinitas dan oksigen terlarut dimonitor langsung di lapangan. Sampel air tambak sebanyak 50 mL digunakan untuk analisis total bakteri heterotrof dan Vibrio sp. di air. Sampel sedimen tambak sebanyak 20 g digunakan untuk analisis total Vibrio sp., total bakteri heterotrof dan nilai redoks potensial sedimen tambak. Data pertumbuhan udang, produksi, sintasan, konversi pakan, kualitas air, total bakteri Vibrio sp., bakteri heterotrof dari setiap perlakuan yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varians pola Rancangan Acak Lengkap. Dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) apabila terdapat perbedaan yang signifikan di antara perlakuan yang diuji. HASIL DAN BAHASAN Pertumbuhan, sintasan, produksi, jumlah ekor/kg udang dan nilai konversi pakan udang dari setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Selama 112 hari pemeliharaan udang di tambak, pertumbuhan udang windu di tiga perlakuan yang diuji nampak semuanya lambat yaitu hanya mencapai ukuran 13,9±0,27 g/ekor (A); 13,7±1,41 g/ekor (B); dan 14,5±0,09 g/ekor (C). Lambatnya pertumbuhan udang windu kemungkinan karena udang dibudidayakan pada salinitas yang cukup tinggi yaitu 36–42 ppt, padahal udang windu akan tumbuh optimum pada salinitas 15–25 ppt. Sintasan udang windu cukup tinggi di semua perlakuan, yaitu 90,27±2,41% (A); 91,42±8,33% (B)
731
Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang ... (Gunarto)
Tabel 2. Parameter biologi yang diperoleh dari budidaya udang windu pola intensif dan budidaya udang vaname pola tradisional plus di tambak dengan penambahan sumber karbohidrat dibandingkan dengan penambahan fermentasi probiotik dan kontrol Parameter Lokasi Luas tambak (m2) dan jumlahnya Padat tebar Berat akhir (g) udang perlakuan A Berat akhir (g) udang perlakuan B Berat akhir (g) udang perlakuan C Sintasan (%) udang perlakuan A Sintasan (%) udang perlakuan B Sintasan (%) udang perlakuan C Produksi udang (kg)/ha di perlakuan A Produksi udang (kg)/ha di perlakuan B Produksi udang (kg)/ha di perlakuan C Jumlah udang/kg di perlakuan A Jumlah udang/kg di perlakuan B Jumlah udang/kg di perlakuan C Nilai Konversi pakan di perlakuan A Nilai Konversi pakan di perlakuan B Nilai Konversi pakan di perlakuan C
Budidaya udang windu *) intensif
Budidaya udang vaname **) tradisional plus
Tambak Takalar ± 4.000 m2, enam petak 20 ekor/m2, PL-25 13,99±0,97 13,7±1,44 14,46±0,09
Tambak Marana, Maros 500 m2, enam petak 8 ekor/m2, PL-10 13,5±0,14 13,3±0,37 12,4±1,99
90,27±2,41 91,42±8,30 98,86±0,23
48,1±13,7 41,2±13,7 36,4±0,7
1706,9±61,9 1665,1±194,6 1953,3±23,1
25,3±7,2 (± 500 kg/ha) 20,3±5,6 (± 400 kg/ha) 16,0±2,7 (± 320 kg/ha)
91–117 107–111 90–101
75–78 84–89 80– 96
2,44±0,85 2,43±0,36 2,06±0,08
1,3±0,49 1,7±0,43 2,4±0,45
*). Budidaya udang windu pola intensif, A: penambahan tepung tapioka sebanyak 62% dari total pakan yang diberikan, dengan frekuensi setiap 3–5 hari sekali, B: pemberian fermentasi probiotik sebanyak 5 mg/L/minggu, C: pemberian fermentasi probiotik sebanyak 10 mg/L/minggu **). Budidaya udang vanamei pola tradisional plus, A: penambahan tepung tapioka sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan, dengan frekuensi setiap 3–5 hari sekali, B: pemberian fermentasi probiotik sebanyak 5 mg/L/minggu, C: kontrol
dan 98,86±0,23% (C), di mana sintasan udang yang tertinggi adalah pada perlakuan dengan pemberian fermentasi probiotik dengan konsentrasi 10 mg/L. Sintasan yang tinggi di ketiga perlakuan, kemungkinan disebabkan karena benur yang digunakan adalah tokolan PL-25 yang berdasarkan deteksi PCR menunjukkan bebas penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV). Penggunaan PL-25 diharapkan benur sudah cukup kuat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Tokolan windu tersebut diperoleh dari panti benih yang jaraknya tidak jauh dari tambak penelitian, sehingga benur tidak banyak mengalami stres akibat dari transportasi. Produksi udang windu di perlakuan C (1953,3±23,1 kg/ha) cenderung lebih tinggi daripada produksi udang di perlakuan B (1665,1±194,6 kg/ha) dan A (1706,9±61,9 kg/ha). Dengan demikian nampak bahwa ada kecenderungan semakin tinggi konsentrasi probiotik yang diberikan, maka produksi udang yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini karena dengan semakin tinggi konsentrasi probiotik yang diberikan maka dampaknya adalah terjadi perbaikan kualitas air, sedimen tambak, peningkatan nafsu makan udang juga peningkatan imunitas udang dari serangan penyakit daripada perlakuan yang mendapatkan konsentrasi probiotik lebih sedikit. Ukuran udang windu hasil panen di semua perlakuan cukup rendah, meskipun telah dipelihara sampai 112 hari di tambak, sehingga jumlah ekor udang dalam setiap kg cukup banyak yaitu di perlakuan A berjumlah 91–117 ekor/kg, perlakuan B = 107–111 ekor/kg dan perlakuan C = 90–101 ekor/kg.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
732
Nilai konversi pakan pada perlakuan C (1:2,06±0,08) lebih kecil dari pada nilai konversi pakan pada perlakuan B (1:2,41±0,37) dan A (1:2,44±0,85). Dengan demikian nampak bahwa pada perlakuan A, yang menggunakan penambahan sumber C karbohidrat, di mana diharapkan terbentuk bakteri heterotrof dan bakteri tersebut dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi udang windu yang dibudidayakan, ternyata yang terjadi tidak demikian, justru menjadi paling boros pakan dengan nilai konversi pakan paling tinggi. Menurut Boyd & Clay (2002), udang windu bersifat lebih karnivora sehingga memerlukan protein yang lebih tinggi dan kemungkinan tidak dapat memanfaatkan bioflok secara efektif dibanding udang vaname yang bersifat lebih omnivora sehingga rakus makan semua bahan organik di sekitarnya termasuk bioflok. Selama 84 hari pemeliharaan udang vaname di tambak pertumbuhan paling tinggi dicapai di perlakuan A = 13,495 g, kemudian disusul perlakuan B = 13,295 g dan yang terendah perlakuan C = 12,395 g. Salinitas yang tinggi yaitu pada kisaran 42–52 ppt selama pemeliharaan kemungkinan menyebabkan pertumbuhan udang vaname di ketiga perlakuan tidak begitu pesat. Sintasan udang vaname di perlakuan A = 48,1±13,7% lebih tinggi daripada di perlakuan B = 41,2±13,7% dan C = 36,4±0,7% (Tabel 2). Sintasan nampak rendah di ketiga perlakuan sebagai akibat serangan WSSV pada hari ke-55–60, di mana serangan tersebut dimulai pada petak dengan perlakuan penambahan fermentasi probiotik (perlakuan B). Berdasarkan analisis terhadap populasi Vibrio sp. nampak bahwa pada hari ke-55 populasi Vibrio sp. di perlakuan penambahan fermentasi probiotik tersebut lebih tinggi daripada di perlakuan A dan C. Hal ini telah membuktikan bahwa tambak dengan kandungan populasi Vibrio sp. yang paling tinggi, telah terserang wabah WSSV lebih duluan dari pada tambak dengan populasi Vibrio sp. lebih rendah. Sintasan udang vaname pada perlakuan pemberian tepung tapioka lebih tinggi dibanding sintasan udang vaname dengan perlakuan yang diberi fermentasi probiotik. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan fungsi bakteri heterotrof yang mungkin banyak dikonsumsi oleh udang vaname di perlakuan A, sehingga udang menjadi lebih tahan terhadap serangan WSSV. Produksi udang vaname di perlakuan A (25,3+7,2 kg/500 m2) lebih tinggi dibanding produksi udang di perlakuan B (20,3+5,6 kg/500 m2) dan C (16,0+2,7 kg/500 m2). Dengan kepadatan 8 ekor/ m2, target produksi mencapai 900 kg/ha. Namun karena adanya serangan penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada hari ke-50–60 di semua petak tambak secara bergantian, sehingga sebagian udang mengalami kematian. Hal tersebut menyebabkan produksi udang menjadi lebih rendah dari pada yang diharapkan apabila udang tidak terserang WSSV yaitu hanya sekitar 500 kg/ha pada perlakuan A; 400 kg/ha pada perlakuan B; dan 320 kg/ha pada perlakuan C. Berdasarkan hasil tersebut maka perlakuan A dengan penambahan tepung tapioka kemungkinan menyebabkan udang menjadi lebih tahan terhadap serangan WSSV dibanding dengan penambahan fermentasi probiotik ataupun dengan kontrol. Hal ini dibuktikan dengan sintasan udang yang lebih tinggi di perlakuan A dibanding dengan perlakuan B dan C. Penelitian terdahulu pada budidaya udang vaname pola tradisional plus padat tebar 8 ekor/m2 dengan pemupukan susulan dan penambahan fermentasi probiotik, setelah terjadi serangan WSSV pada hari ke-60, udang yang dipanen pada hari ke-76 diperoleh produksi tertinggi sebesar 13,63±3,3 kg (Gunarto & Mansyur, 2007). Dengan demikian pada penelitian ini produksi udang yang diperoleh masih lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya, meskipun samasama terserang WSSV pada waktu pemeliharaannya. Nampak bahwa pemberian tepung tapioka berdampak positif terhadap peningkatan pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname meskipun ditengah proses budidayanya juga terserang WSSV. Ukuran udang vaname hasil panen bervariasi, dengan pemeliharaan selama 84 hari di tambak, jumlah ekor udang dalam setiap kg di perlakuan A = 75–78 ekor/kg, perlakuan B = 84–89 ekor/kg dan perlakuan C = 80–96 ekor/kg. Dengan demikian nampak bahwa ukuran udang vaname yang dipanen lebih seragam daripada udang windu dan ukuran udang vaname lebih besar pada perlakuan penambahan tepung tapioka apabila dibandingkan dengan perlakuan pemberian fermentasi probiotik dan kontrol. Nilai konversi pakan terendah adalah 1,3 yang diperoleh pada perlakuan A dan tertinggi 2,4 pada kontrol (perlakuan C). Hendrajat & Mangampa (2007) pada penelitiannya dengan perbedaan padat tebar yaitu 4,6 dan 8 ekor/m2, mendapatkan nilai konversi pakan terendah 1,79 pada padat tebar 8
733
Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang ... (Gunarto)
ekor/m2 dengan sintasan 60,97%. Pada penelitian ini dengan perlakuan pemberian tepung tapioka dan fermentasi probiotik masing-masing diperoleh nilai konversi pakan 1,3 dan 1,7 ternyata masih lebih efisien dibanding dengan yang diperoleh Hendrajat & Mangampa (2007). Dari dua penelitian yang telah dilakukan di lapangan, nampak bahwa penambahan tepung tapioka sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan perhari dan diberikan setiap 3–5 hari sekali pada budidaya udang vaname pola tradisional plus lebih berdampak positif terhadap peningkatan sintasan dan produksi udang hasil panen, meskipun dalam proses budidayanya udang terserang WSSV. Sedangkan pada budidaya udang windu pola intensif, penambahan tepung tapioka sebanyak 62% dari total pakan yang diberikan setiap hari dan diberikan setiap 3–5 hari sekali belum berdampak positif terhadap peningkatan produksi udang windu. Hal ini sesuai dengan hasil uji laboratorium yang diperoleh informasi bahwa dengan penambahan tepung tapioka ke air media pemeliharaan benur windu sebanyak 2x62% dari jumlah pakan yang diberikan setiap hari, menghasilkan produksi udang yang signifikan dibanding dengan kontrol dan pemberian tepung tapioka sebanyak 1x62% dari jumlah pakan yang diberikan setiap hari (Gunarto & Burhanuddin, 2009). Namun demikian hal ini akan sangat tidak efisien apabila diterapkan di tambak. Kualitas Air Beberapa parameter kualitas air tambak budidaya udang windu pola intensif dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Beberapa parameter kualitas air tambak budidaya udang windu pola intensif padat tebar 20 ekor/m2 dengan penambahan tepung tapioka dan fermentasi probiotik di kolom air tambak.
Parameter kualitas air Amoniak (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L) Fosfat (mg/L) BOT (mg/L) Oksigen terlarut (mg/L) Potensial redoks sedimen pada bulan ke IV Pop Vibrio sp. di air (log cfu/mL) Pop Vibrio sp. di sedimen (log cfu/g) Pop bakt heterotrof di air (log cfu/mL) Pop bakt heterotrof di sedimen (log cfu/g) Salinitas selama pemeliharaan (ppt) pH air tambak
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
0,047–0,314 0,002–0,042 0,008–0,144 0,002–0,191 20,06–41,23 4,3–6,70 -130 sd -164 1,2–3,23 3,33–4,92 5,65–7,44 8,21–10,94 34–46 7,5–8,0
0,016–0,339 0,001–0,030 0,006–0,111 0,002–0,214 17,1–44,56 4,4–6,75 -164 s/d -245 1,3–3,40 3,35–5,27 5,72–8,14 8,23–10,23 34–46 7,5–8,0
0,016–0,78 0,003–0,035 0,006–0,114 0,002–0,274 16,83–43,45 4,15–7,80 -146 sd -355 1,4–3,39 3,51–4,99 5,54–8,38 8,84–10,5 34–46 7,5–8,0
A: penambahan tepung tapioka sebanyak 62% dari total pakan yang diberikan, dengan frekuensi setiap 3–5 hari sekali, B: pemberian fermentasi probiotik sebanyak 5 mg/L/minggu, C: pemberian fermentasi probiotik sebanyak 10 mg/L/minggu
Pada budidaya udang windu intensif nampak bahwa di perlakuan C, fluktuasi amoniak tertinggi yaitu pada kisaran 0,016–0,78 mg/L, selanjutnya di perlakuan B (0,016–0,339 mg/L) dan yang terendah adalah di perlakuan A (0,047–0,314 mg/L). Konsentrasi nitrit hampir sama di antara ketiga perlakuan yaitu pada kisaran 0,002–0,042 mg/L (A), 0,001–0,03 mg/L (B) dan 0,003–0,035 mg/L (C). Konsentrasi nitrat juga hampir sama di ketiga perlakuan yaitu pada kisaran 0,008–0,144 mg/L (A), 0,006–0,111 mg/L (B) dan 0,006–0,114 mg/L (C). Konsentrasi fosfat paling tinggi kisarannya dijumpai di perlakuan C (0,002–0,274 mg/L), selanjutnya disusul oleh perlakuan B (0,002–0,214 mg/L) dan yang paling rendah adalah di perlakuan A (0,002–
734
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
0,191 mg/L). Fluktuasi BOT paling rendah adalah di perlakuan A (20,06–41,23 mg/L), kemudian disususul oleh perlakuan B (17,1–44,56 mg/L) dan kemudian perlakuan C (16,83–43,45 mg/L). Konsentrasi oksigen terlarut pada jam kritis pada bulan keempat pemeliharaan masih dalam batas yang baik untuk mendukung kehidupan udang windu di tambak, karena di semua perlakuan konsentrasi oksigen terlarut masih > 3 mg/L pada pukul 4.00–7.00 pagi hari. Nilai potensial redoks yang paling menurun adalah di perlakuan C yaitu -146 sd -355 U’v, kemudian disusul oleh perlakuan B (-164 s/d -245 U’V) dan selanjutnya pada perlakuan A (-130 sd -164 U’V). Populasi Vibrio sp. di air tambak semakin meningkat yaitu dari 10 1 cfu/mL pada awal penelitian dan meningkat hingga mencapai 103 cfu/mL pada akhir penelitian. Total bakteri heterotrof di air tambak nampak lebih tinggi di perlakuan penggunaan fermentasi probiotik daripada perlakuan penambahan tepung tapioka yaitu pada perlakuan penambahan tepung tapioka pada kepadatan 105–107 cfu/mL, sedangkan pada perlakuan penambahan fermentasi probiotik populasi mencapai kepadatn 105–108 cfu/mL. Pada budidaya udang vaname pola tradisional plus fluktuasi konsentrasi amoniak yang paling rendah (0,001–0,335 mg/L) dijumpai pada perlakuan A (penambahan tepung tapioka sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan dan diberikan setiap 3–5 hari sekali). Sedangkan pada perlakuan penambahan probiotik fluktuasi konsentrasi amoniak lebih tinggi (0,001–0,823 mg/L), dan yang tertinggi adalah pada kontrol (0,001–0,883 mg/L) lihat Tabel 4. Begitu juga fluktuasi nitrit dan nitrat nampak yang paling rendah adalah di perlakuan A, dibanding dengan di perlakuan B dan C. Hal ini menandakan bahwa bakteri heterotrof tumbuh lebih baik di perlakuan A daripada di perlakuan B dan C, sehingga penyerapan amoniak sebagai sumber N untuk pembentukan protein dalam selnya berlangsung secara efektif, kemudian regenerasi nutrien berlangsung cepat, ditandai dengan konsentrasi nitrat yang rendah akibat banyak dimanfaatkan oleh fitoplankton. Tabel 4. Beberapa parameter kualitas air tambak budidaya udang vaname pola tradisional plus padat tebar 8 ekor/m2 dengan penambahan tepung tapioka di kolom air tambak
Parameter kualitas air Amoniak (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L) Fosfat (mg/L) BOT (mg/L) Oksigen terlarut (mg/L) Redoks potensial (mV) hari ke-80 Populasi Vibrio sp. di air (log cfu/mL) Populasi Vibrio sp. di sedimen (log cfu/g) Pop bakt heterotrof di air (log cfu/mL) Pop bakt heterotrof di sedimen (log cfu/g) Salinitas selama pemeliharaan (ppt) pH air tambak
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
0,001–0,335 0,004–0,142 0,019–0,080 0,031–0,401 31,370– 4,470 2,30–8,40 -198 2,29–2,98 3,50–4,81 5,65–9,0 7,2–8,64 42–51 8,1–8,7
0,001–0,823 0,007–0,589 0,0190–0,233 0,027–0,274 31,430–39,230 2,10–9,00 -155 2,41–3,10 3,34–4,80 5,43–7,90 7,11–7,87 42–51 7,75–8,75
0,001–0,883 0,014–0,125 0,015–0,108 0,021–0,264 27,770–44,310 2,10–7,70 -164 2,3–2,94 3,29–4,71 6,03–8,60 6,40–7,65 42–51 7,75–8,55
A). Pemberian tepung tapioka ke air tambak setiap selang 3–5 hari sekali, sebanyak 40% dari pakan yang diberikan setiap hari ke udang selama pemeliharaan B). Aplikasi fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 5 mg/L/minggu selama pemeliharaan C). Tanpa aplikasi penambahan tepung tapioka atau fermentasi probiotik selama pemeliharaan
Fluktuasi fosfat nampak paling tinggi di perlakuan A, sedangkan perlakuan B dan C lebih rendah fluktuasi fosfatnya. Konsentrasi BOT hampir sama di ketiga perlakuan, namun konsentrasi oksigen terlarut selama 12 jam (19.00 sampai dengan 7.00 pagi hari) pada umur pemeliharaan 70 hari, nampak bahwa di perlakuan A dan B fluktuasi oksigen terlarut lebih tinggi dari pada di perlakuan C.
735
Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang ... (Gunarto)
Namun di ketiga perlakuan konsentrasi oksigen pada pukul 4.00 dini hari pada hari ke-70 pemeliharaan udang di tambak telah berada di bawah konsentrasi yang disarankan yaitu < 3 mg/L, di mana pada perlakuan A = 2,3 mg/L; perlakuan B = 2,1 mg/L; dan perlakuan C = 2,1 mg/L. Nilai potensial redoks di perlakuan A nampak paling tinggi (-176 mV), perlakuan B (-212 mV) dan perlakuan C (-188 mV). Total populasi Vibrio sp. di air tambak di semua perlakuan pada kisaran 102–103 cfu/mL. Sedangkan total populasi bakteri heterotrof di air tambak perlakuan A konsentrasinya paling tinggi yaitu 105– 109 cfu/mL, sedangkan di perlakuan B dan C masing-masing adalah 105–10 7 cfu/mL, begitu juga konsentrasi populasi bakteri heterotrof di sedimen tambak perlakuan A, hingga hari ke 69 pemeliharaan udang di tambak populasi bakteri heterotrof juga lebih tinggi (107–108 cfu/g) dari pada di perlakuan B (107 cfu/g) dan C (106–107 cfu/g). Hal tersebut juga yang kemungkinan berpengaruh terhadap sintasan dan produksi udang di perlakuan A lebih tinggi dari pada di perlakuan B dan C. KESIMPULAN Pemberian tepung tapioka pada media air tambak pemeliharaan budidaya udang vaname pola tradisional plus dengan dosis 40% dari jumlah pakan yang diberikan dan pemberiannya dengan frekuensi setiap 3–5 hari sekali, nampak pengaruhnya terhadap peningkatan populasi bakteri heterotrof di air dan sedimen tambak juga terhadap penurunan konsentrasi amoniak di air tambak. Sedangkan pada budidaya udang windu pola intensif nampak tidak kelihatan pengaruhnya terhadap peningkatan populasi bakteri heterotrof dan penurunan konsentrasi amoniak di air tambak. Peningkatan populasi bakteri heterotrof tersebut kemungkinan ikut andil dalam peningkatan sintasan dan produksi udang vaname pola tradisional plus, meskipun dalam proses budidayanya udang vaname tersebut terserang WSSV, namun sintasan dan produksi yang diperoleh lebih tinggi dari pada perlakuan menggunakan penambahan fermentasi probiotik dan tanpa penambahan tepung tapioka ataupun fermentasi probiotik (kontrol). DAFTAR ACUAN Avnimelech, Y. 1999. Carbon/Nitrogen ratio as control element in aquaculture systems. Aquaculture, 176: 227–235. Boyd, C.E., & Clay, J. 2002. Evaluation of Belize Aquaculture LTD: A superintensive shrimp aquaculture system. A report prepared for the word bank, network of aquaculture centres in Asia Pacific, Word Wildlife Fund and food and Agriculture Organization of the United Nations, Consorsium Program and Shrimp farming and the Environment, 17 pp. Hari, B., Kurup, B.M., Varghese, J.T., Schrama, J.W., & Verdegem, M.C.J. 2004. Effects of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture systems. Aquaculture, 241: 179–194. Hari, B., Kurup, B.M., Varghese, J.T., Schrama, J.W., & Verdegem, M.C.J. 2006. Effects of carbohydrate addition on water quality and the nitrogen budget in extensive shrimp culture systems. Aquaculture, 252: 248–263. Hendrajat, E.A. & Mangampa, M. 2007. Pertumbuhan dan sintasan udang vaname pola tradisional plus dengan kepadatan berbeda. J. Ris. Akuakultur, 2(2): 149–155. Gunarto & Burhanuddin. 2009. Pemeliharaan benur windu dengan penambahan sumber C-karbohidrat pada skala laboratorium. Prosiding seminar Tahunan VI, Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Jilid I, Budidaya Perikanan, Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian UGM, hlm: 1–7. Gunarto & Mansyur, A. 2007. Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di tambak dengan padat tebar berbeda menggunakan sistem pemupukan susulan. J. Ris. Akuakultur, 2(2): 167–176. Samocha, T.M., Susmita, P., Burger, J.S., Almeida, R.V., Abdul-Mehdi, A., Zarrein, A., Harisanto, M., Horowitz, A., & Brock, D.L. 2006. Use of molasses as carbon source in limited discharge grow-out systems for Litopenaeus vannamei. Aquaculture America,p: 1–2.