853
Upaya peningkatan produksi pada budidaya... (Gunarto)
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA Gunarto dan Nurbaya Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penambahan tepung tapioka pada budidaya udang vaname pola tradisional plus di tambak bertujuan untuk menumbuhkan bakteri heterotrof agar dapat dimanfaatkan sebagai subsitusi pakan bagi udang yang dibudidayakan. Tambak ukuran 500 m2 sebanyak enam petak ditebari udang vaname PL-10 dengan padat penebaran 8 ekor/m2. Perlakuan yang diuji yaitu: A) penambahan tepung tapioka ke air tambak dengan dosis sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan/hari dilakukan setiap 3–5 hari sekali, B). penambahan fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 5 mg/L/minggu selama masa pemeliharaan dan C). tanpa penambahan tepung tapioka atau fermentasi probiotik selama masa pemeliharaan. Pakan diberikan dengan dosis 100%–2% dari total biomassa udang, dimulai setelah satu minggu penebaran. Meskipun udang terserang White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada hari ke-55–60, namun tidak berakibat terjadi kematian massal. Pada hari ke-84 udang telah sehat kembali dan dilakukan pemanenan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan udang di perlakuan A = 48,1±13,7%, lebih tinggi daripada perlakuan B = 41,2±13,7% dan perlakuan C = 36,4±0,7%. Produksi udang di perlakuan A lebih tinggi dengan ukuran udang yang lebih besar (25,3±7,2 kg/500 m2 = 506 kg/ha, ukuran 75 sampai dengan 78 ekor/kg) dibanding di perlakuan B (20,3±5,6 kg/500 m2 = 406 kg/ha, ukuran 84 sampai dengan 89 ekor/kg) dan C (16,0±2,7 kg/500 m2 = 320 kg/ha, ukuran 80 sampai dengan 96 ekor/kg). Nilai konversi pakan yang paling efisien diperoleh pada perlakuan A.
KATA KUNCI:
tepung tapioka, fermentasi probiotik, pertumbuhan udang, produksi
PENDAHULUAN Proyeksi produksi udang pada tahun 2010 sebanyak 400.300 ton, di mana 275.000 ton dari udang vaname dan 125.300 ton dari udang windu (Anonim, 2010). Budidaya udang vaname pola intensif yang telah berkembang di beberapa daerah seperti Lampung, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan diandalkan untuk memenuhi target tersebut. Di samping budidaya udang vaname intensif, di beberapa daerah di Indonesia terutama di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah telah berkembang budidaya udang vaname pola tradisional plus dengan padat tebar 8–10 ekor/m2 atau bahkan lebih, tergantung kesesuaian lahan tambak, modal, dan teknologi yang dikuasai oleh petani yang bersangkutan. Kondisi tambak dan petani tambak yang demikian adalah kondisi riil yaitu sekitar 90% dari petambak di Indonesia yang masih banyak dengan keterbatasan. Oleh karena itu, perlu adanya sentuhan teknologi sederhana agar petambak udang pola tradisional plus dapat meningkatkan produksi udangnya. Dalam upaya untuk mendapatkan teknik budidaya udang vaname pola tradisional plus yang efektif, murah, dan efisien, maka penambahan sumber C karbohidrat misalnya glukosa, tepung singkong/tapioka, molase atau sorgum, dan fermentasi probiotik dipandang sangat tepat. Penambahan sumber karbohidrat ke dalam kolom air tambak pemeliharaan udang berfungsi untuk meningkatkan rasio C/N dalam air tambak yaitu menjadi sekitar 20:1, sehingga akan mampu memicu pertumbuhan bakteri heterotrof dalam tambak dan selanjutnya bakteri tersebut untuk pembentukan protein dalam tubuhnya akan menyerap N anorganik di air misalnya amoniak yang ada di kolom air tambak (Avnimelech, 1999; Hari et al., 2004; Hari et al., 2006; Samocha et al., 2007), sehingga secara langsung akan dapat memperbaiki kualitas air tambak. Amonia sangat membahayakan bagi udang yang dibudidayakan, maka upaya untuk mengurangi konsentrasi amonia di kolom air tambak pemeliharaan sangat penting. Dengan demikian penambahan
854
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
tepung tapioka ke dalam air tambak, diharapkan akan mampu memperbaiki kualitas air tambak dan menyebabkan efisiensi penggunaan pakan bagi udang yang dibudidayakan karena bakteri heterotrof dapat dimanfaatkan sebagai subsitusi pakan udang vaname yang dibudidayakan. BAHAN DAN METODE Tambak ukuran 500 m2 sebanyak enam petak sebelumnya dilakukan persiapan tambak. Setelah dilakukan pengisian air tambak, maka diberikan pupuk sesuai dosis yang direkomendasikan. Setelah plankton tumbuh baik, maka benur vaname (Litopenaeus vanamei) PL-10 ditebar di tambak dengan padat tebar 8 ekor/m2 . Perlakuan yang digunakan yaitu: a. penambahan sumber tepung tapioka ke air tambak setiap selang 3 hari dilakukan pada bulan pertama, kedua, dan bulan ketiga dilakukan setiap selang 5 hari sekali selama masa pemeliharaan udang di tambak dengan dosis sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan/hari, b. Penambahan fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 5 mg/L/minggu dan, c. Kontrol tanpa penambahan sumber karbohidrat atau fermentasi probiotik. Masing-masing perlakuan dengan dua ulangan. Pakan komersial diberikan sejak awal setelah satu minggu penebaran sebanyak 100% dari total biomassa dan menurun pada bulan ketiga pemeliharaan. Pemberian pakan dengan frekuensi 1 kali sehari. Peubah biologi yang diamati meliputi pertumbuhan udang, sintasan, produksi, dan konversi pakan dihitung pada akhir penelitian. Parameter kualitas air yang diamati meliputi amoniak, pH air, suhu, salinitas, dan oksigen terlarut. Analisis total bakteri heterotrof dan Vibrio sp. di air dan sedimen tambak, juga dilakukan monitoring nilai redoks potensial sedimen tambak. Data pertumbuhan udang, produksi, sintasan, konversi pakan, kualitas air, total bakteri Vibrio sp., bakteri heterotrof dari setiap perlakuan yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa varians pola Rancangan Acak Lengkap (RAL). Dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) apabila terdapat perbedaan yang signifikan di antara perlakuan yang diuji. HASIL DAN BAHASAN Selama 84 hari pemeliharaan udang di tambak dengan pola tradisional plus memperlihatkan bahwa pertumbuhan mutlak paling tinggi dicapai di perlakuan A = 13,495 g kemudian disusul perlakuan B = 13,295 g dan yang terendah perlakuan C = 12,395 g. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (P>0,05) di antara perlakuan yang diuji tersebut. Salinitas yang tinggi yaitu pada kisaran 42–52 ppt selama pemeliharaan di antaranya yang kemungkinan menyebabkan pertumbuhan udang vaname di ketiga perlakuan tidak begitu pesat. Produksi udang vaname di perlakuan A (25,3±7,2 kg/500 m2) = 500–550 kg/ha, lebih tinggi dibanding produksi udang di perlakuan B (20,3±5,6 kg/500 m2) = 400–450 kg/ha, dan C (16,0±2,7 kg/500 m2) = 300–350 kg/ha (Tabel 1). Analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) di antara ketiga perlakuan tersebut. Target produksi selama pemeliharaan 100 hari apabila tidak terserang penyakit diperkirakan mencapai Tabel 1. Produksi dan konversi pakan udang vaname yang dibudidayakan dengan pola tradisional plus di tambak Perlakuan
Bobot awal (g)
Produksi 2 (kg/500 m )
Produksi Jumlah udang (kg/ha) (ekor/kg)
A B C
0,005 0,005 0,005
25,3±7,2a 20,3±5,6a 16,0±2,7a
500–550 400–450 320–350
75–78 84–89 80–96
Sintasan
Nilai konversi pakan
48,1±13,7a 41,2±13,7a 36,4±0,7a
1,3±0,49a 1,7±0,43a 2,4±0,45a
a. Pemberian tepung tapioka ke air tambak setiap selang 3–5 hari sekali, sebanyak 40% dari pakan yang diberikan setiap hari ke udang selama pemeliharaan. b. Aplikasi fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 5 mg/L/minggu selama pemeliharaan. c. Tanpa aplikasi penambahan tepung tapioka atau fermentasi probiotik selama pemeliharaan.
855
Upaya peningkatan produksi pada budidaya... (Gunarto)
900 kg/ha. Namun pada hari ke-50–60 pemeliharaan udang di tambak, semua petak tambak udang terserang White Spot Syndrome Virus (WSSV) secara bergantian, sehingga sebagian udang mengalami kematian. Hal tersebut menyebabkan produksi udang menjadi lebih rendah daripada yang diharapkan. Berdasarkan hasil tersebut nampak bahwa di perlakuan A dengan penambahan tepung tapioka kemungkinan menyebabkan udang menjadi lebih tahan terhadap serangan WSSV dibanding dengan penambahan fermentasi probiotik ataupun dengan kontrol. Hal ini dibuktikan dengan sintasan udang yang lebih tinggi di perlakuan A dibanding dengan perlakuan B dan C, sehingga produksi udang di perlakuan A menjadi lebih tinggi daripada produksi udang di perlakuan B dan C. Penelitian terdahulu pada budidaya udang vaname pola tradisional plus padat tebar 8 ekor/m2 dengan pemupukan susulan dan penambahan fermentasi probiotik, setelah terjadi serangan WSSV pada hari ke-60, udang yang dipanen pada hari ke-76 diperoleh produksi tertinggi sebesar 13,63±3,3 kg (Gunarto & Mansyur, 2007). Dengan demikian pada penelitian ini produksi udang yang diperoleh masih lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya, meskipun sama-sama terserang WSSV pada waktu pemeliharaannya. Dengan demikian nampak bahwa pengaruh pemberian tepung tapioka berdampak positif terhadap peningkatan pertumbuhan, sintasan dan sekaligus produksi udang vaname meskipun di tengah proses budidayanya juga terserang WSSV. Hal ini karena penambahan tepung tapioka ke perairan tambak dapat dimanfaatkan oleh bakteri heterotrof sebagai sumber energi untuk perbanyakan bakteri tersebut, dan dalam pembentukan protein bakteri, maka bakteri tersebut mengambil nitrogen bebas atau terikat yang ada di air. Dengan demikian menyebabkan konsentrasi amoniak di perairan tambak menjadi menurun. Bakteri heterotrof tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai subsitusi pakan bagi udang vaname yang dibudidayakan. Sintasan udang vaname di perlakuan A = 48,1±13,7% lebih tinggi daripada di perlakuan B = 41,2±13,7%, dan C = 36,4±0,7% (Tabel 1). Lebih tingginya sintasan udang di perlakuan A disebabkan kualitas air di perlakuan A lebih baik daripada di perlakuan B dan C (Tabel 2). Hasil analisis statistik menunjukan perbedaan yang tidak signifikan (P>0,05) di antara ketiga perlakuan tersebut. Sintasan nampak rendah di ketiga perlakuan sebagai akibat serangan WSSV pada hari ke-55–60, di mana serangan tersebut dimulai pada petak dengan perlakuan penambahan fermentasi probiotik (perlakuan B). Berdasarkan analisis terhadap populasi Vibrio sp. nampak bahwa pada hari ke-55 populasi Vibrio sp. di perlakuan penambahan fermentasi probiotik (perlakuan B) tersebut lebih tinggi daripada di perlakuan A dan C. Hal ini telah membuktikan bahwa tambak dengan kandungan populasi Vibrio sp. yang paling tinggi, telah terserang wabah WSSV lebih dulu daripada tambak dengan populasi Vibrio sp. lebih rendah. Berdasarkan nilai sintasan yang diperoleh pada penelitian ini, maka masih lebih tinggi dibanding dengan yang diperoleh Gunarto & Mansyur (2007) pada budidaya udang vaname dengan pemupukan Tabel 2. Beberapa parameter kualitas air tambak budidaya udang vaname pola tradisional plus dengan penambahan tepung tapioka di kolom air tambak Parameter kualitas air Amoniak (mg/L) Nitrit (mg/L) Nitrat (mg/L) Fosfat (mg/L) BOT (mg/L) Oksigen terlarut (mg/L) Redoks potensial (Ưv)
Perlakuan A
B
C
0,0014–0,335 0,0040–0,142 0,0190–0,080 0,0310–0,401 31,370–44,47 2,300–8,000 -176
0,0014–0,823 0,0070–0,589 0,0190–0,233 0,0270–0,274 31,430–39,23 2,500–8,700 -212
0,0014–0,883 0,0140–0,125 0,0150–0,108 0,0210–0,264 27,770–44,31 2,200–5,750 -188
a. Pemberian tepung tapioka ke air tambak setiap selang 3–5 hari sekali, sebanyak 40% dari pakan yang diberikan setiap hari ke udang selama pemeliharaan. b. Aplikasi fermentasi probiotik ke air tambak sebanyak 5 mg/L/minggu selama pemeliharaan. c. Tanpa aplikasi penambahan tepung tapioka atau fermentasi probiotik selama pemeliharaan.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
856
susulan dan penambahan fermentasi probiotik yang memperoleh sintasan 25% setelah udang vaname terserang WSSV. Sintasan udang dengan perlakuan pemberian tepung tapioka ternyata lebih tinggi dibanding sintasan udang dengan perlakuan fermentasi probiotik dan kontrol. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan fungsi bakteri heterotrof yang mungkin banyak dikonsumsi oleh udang di perlakuan A, sehingga udang menjadi lebih tahan terhadap serangan WSSV. Nilai konversi pakan adalah suatu nilai yang menggambarkan berapa jumlah pakan yang diperlukan guna memperoleh satu kilogram bobot udang. Penggambaran nilai yang mendekati riil adalah apabila dalam proses budidayanya di tambak, udang tidak terjadi masalah akibat serangan penyakit. Namun apabila terjadi masalah serangan penyakit sehingga udang sebagian mati, maka nilai konversi pakan akan menjadi lebih tinggi seperti yang terjadi pada penelitian ini, di mana nilai konversi pakan terendah adalah 1,3 yang diperoleh pada perlakuan A dan tertinggi 2,4 pada kontrol (perlakuan C). Hendrajat & Mangampa (2007) pada penelitian perbedaan padat tebar 4, 6 dan 8 ekor/m2, mendapatkan nilai konversi pakan terendah 1,79 pada padat tebar 8 ekor/m2 dengan sintasan 60,97%. Pada penelitian ini dengan perlakuan pemberian tepung tapioka dan fermentasi probiotik masing-masing diperoleh nilai konversi pakan 1,3 dan 1,7 ternyata lebih efisien dibanding dengan yang diperoleh Hendrajat & Mangampa (2007). Pada budidaya udang vaname pola tradisional plus nilai konversi pakan seharusnya <1. Hal ini karena udang yang ditebar dengan kepadatan rendah (8 ekor/m2), juga dilakukan pemupukan pada tahap persiapan, sehingga pada awal pemeliharaan diharapkan udang makan pakan alami yang tersedia di tambak. Pada penelitian ini di perlakuan A dengan penambahan karbohidrat akan memacu pertumbuhan bakteri heterotrof yang dapat dijadikan subsitusi pakan bagi udang di perlakuan A. Dengan demikian pemberian pakan di perlakuan A menjadi yang paling hemat dibanding dengan pemberian pakan untuk perlakuan B dan C. Kualitas Air Salinitas pada penelitian ini cukup tinggi karena sedang berlangsung musim kemarau, di mana pada waktu dilakukan penebaran benur vaname di tambak yaitu tanggal 5 September 2009 salinitas air tambak telah mecapai 42 ppt, selanjutnya salinitas terus meningkat hingga 52 ppt di semua perlakuan pada awal Oktober 2009. Meskipun udang vaname tingkat toleransinya tinggi terhadap perubahan salinitas, tetapi telah diketahui bahwa salinitas optimum untuk pertumbuhan udang vaname adalah pada level 15–25 ppt. Suhu air tambak pada pagi hari antara jam 8.00–9.00 WITA pada kisaran 28,6°C–31,1°C di perlakuan A; 29°C–30,8°C perlakuan B; dan 29,3°C–31,2°C di perlakuan C. pH air nampak berfluktuasi yaitu 8,1–8,7 di perlakuan A; 7,75–8,75 di perlakuan B; dan 7,75– 8,55 di perlakuan C. Populasi Bakteri Vibrio sp. Populasi bakteri Vibrio sp. di air tambak pada periode awal penebaran adalah 102 cfu/mL di semua perlakuan. Pada hari ke-55 populasi Vibrio sp. meningkat mencapai 103 cfu/mL di perlakuan B, sedangkan di perlakuan A dan C populasi Vibrio sp. masih pada kepadatan 102 cfu/mL. Karena populasi Vibrio sp. tinggi di perlakuan B pada hari ke-55 baik di air maupun di sedimen tambak, maka munculnya penyakit WSSV diawali dari petak perlakuan B. Pada perlakuan B digunakan fermentasi probiotik komersial yang tujuannya untuk menekan perkembangan populasi Vibrio sp. di tambak. Namun pada kenyataannya pada tambak dengan perlakuan penambahan fermentasi probiotik populasi Vibrio sp. di air tambak tersebut justru meningkat lebih tinggi daripada perlakuan yang menggunakan penambahan sumber karbohidrat maupun kontrol terutama pada hari ke-55. Data populasi bakteri heterotrof di perlakuan B juga paling tinggi pada hari ke-55. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kalau sedang terjadi wabah WSSV di sekitar tambak, maka yang akan terserang terlebih dahulu adalah tambak dengan populasi Vibrio sp. tertinggi. Oleh karena itu, serangan WSSV dimulai pada petak perlakuan B dan selanjutnya beralih ke petak-petak lainnya secara bergantian (Gambar 1). Populasi bakteri heterotrof di air tambak perlakuan A hingga hari ke-55 menunjukkan paling rendah, kemudian pada hari ke-69–84 paling tinggi, dengan demikian nampak bahwa pengaruh
857
Upaya peningkatan produksi pada budidaya... (Gunarto)
3.5
Log CFU/mL
3 2.5 2 1.5
A (KH 40%)
1
B (5 mg/L)
0.5
C (kontrol)
0 1
24
39
55
69
84
Hari
10
Log CFU/mL
8 6 A (KH 40%)
4
B (5 mg/L)
2
C (kontrol)
0 1
24
39
55
69
84
Hari
Gambar 1. Fluktuasi Vibrio sp. (atas) dan bakteri heterotrof (bawah) pada air tambak pola tradisional plus dengan perlakuan pemberian tepung tapioka dan fermentasi probiotik penambahan tepung tapioka terhadap peningkatan populasi bakteri heterotrof di air tambak tidak nampak secara jelas, juga pengaruhnya terhadap penekanan populasi bakteri Vibrio sp. di air tidak kelihatan. Di sedimen tambak, nampak bahwa total populasi bakteri Vibrio sp. pada perlakuan A dan B lebih rendah dari pada di perlakuan C terutama pada hari ke-24–55 (Gambar 2 atas). Rendahnya populasi total Vibrio sp. di sedimen tambak pada perlakuan A dan B, kemungkinan berkaitan dengan tingginya populasi bakteri heterotrof di sedimen tambak pada perlakuan tersebut terutama pada hari ke-24– 55 (Gambar 2 bawah). Dengan demikian pengaruh pemberian tepung tapioka terhadap peningkatan populasi bakteri heterotrof nampak lebih terlihat pada sedimen tambak, daripada di air tambak, begitu juga pengaruhnya terhadap penekanan populasi Vibrio sp. di sedimen tambak lebih kentara daripada di air tambak. KESIMPULAN Pada budidaya udang vaname pola tradisional plus, penambahan tepung tapioka sebanyak 40% dari total pakan yang diberikan setiap hari dan hanya diberikan setiap 3–5 hari sekali berdampak pada perbaikan kualitas air tambak khususnya amoniak, nitrit, dan nitrat, sehingga cenderung menghasilkan produksi udang vaname yang lebih tinggi dibanding dengan penambahan fermentasi probiotik dan kontrol. Di samping itu, populasi bakteri heterotrof terutama di sedimen tambak cenderung lebih tinggi pada perlakuan penambahan tepung tapioka dibanding dengan perlakuan penambahan fermentasi probiotik dan kontrol. Begitu pula populasi Vibrio sp. di sedimen tambak perlakuan pemberian tepung tapioka cenderung lebih rendah dari pada kontrol.
858
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
6
Log CFU/mL
5 4 3
A (KH 40%)
2
B (5 mg/L)
1
C (kontrol)
0 1
24
39
55
69
84
Hari
12
Log CFU/mL
10 8 6
A (KH 40%)
4
B (5 mg/L)
2
C (kontrol)
0 1
24
39
55
69
84
Hari
Gambar 2. Fluktuasi Vibrio sp. (atas) dan bakteri heterotrof (bawah) pada sedimen tambak pola tradisional plus dengan perlakuan pemberian tepung tapioka, fermentasi probiotik dan kontrol DAFTAR ACUAN Anonimous, 2010. Agar si bongkok mengaum di tahun macan. Trobos, 126: 78–80. Avnimelech, Y. 1999. Carbon/Nitrogen ratio as control element in aquaculture systems. Aquaculture, 176: 227–235. Hari, B., Kurup, B.M., Varghese, J.T., Schrama, J.W., & Verdegem, M.C.J. 2004. Effects of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture systems. Aquaculture, 241: 179–194. Hari, B., Kurup, B.M., Varghese, J.T., Schrama, J.W., & Verdegem, M.C.J. 2006. Effects of carbohydrate addition on water quality and the nitrogen budget in extensive shrimp culture systems. Aquaculture, 252: 248–263. Hendrajat, E.A. & Mangampa, M. 2007. Pertumbuhan dan sintasan udang vaname pola tradisional plus dengan kepadatan berbeda. J. Ris. Akuakultur, 2(2): 149–155. Gunarto, Tangko, A.M., Tampangalo, B.R., & Muliani. 2006. Bududaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan penambahan probiotik. J. Ris. Akuakultur, 1(3): 303–313. Gunarto & Mansyur, A. 2007. Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di tambak engan padat tebar berbeda menggunakan sistem pemupukan susulan. J. Ris. Akuakultur, 2(2): 167–176. Samocha, T.M., Susmita, P., Mike, S., Abdul-Mehdi, A., Burger, J.M., Almeida, R.V., Zarrein, A., Harisanto, M., Horowitz, A., & Brock, D.L. 2007. Use of molasses as carbon source in limited discharge nursery and grow-out systems for Litopenaeus vannamei. Aquaculture Engineering, 36: 184–191.