STIMULASI PEMBENTUKAN AGREGAT BAKTERI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei DENGAN TEKNOLOGI BIOFLOK MELALUI PENINGKATAN KEKUATAN ION
IVAN DANIEL NAPITUPULU
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
STIMULASI PEMBENTUKAN AGREGAT BAKTERI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei DENGAN TEKNOLOGI BIOFLOK MELALUI PENINGKATAN KEKUATAN ION
IVAN DANIEL NAPITUPULU
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : STIMULASI PEMBENTUKAN AGREGAT BAKTERI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei DENGAN TEKNOLOGI BIOFLOK MELALUI PENINGKATAN KEKUATAN ION adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012
IVAN DANIEL NAPITUPULU C.14080046
Judul Skripsi
: Stimulasi Pembentukan Agregat Bakteri pada Budidaya Udang Vaname Litopenaeus vannamei dengan Teknologi Bioflok Melalui Peningkatan Kekuatan Ion
Nama Mahasiswa
: Ivan Daniel Napitupulu
Nomor Pokok
: C.14080046
Disetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Eddy Supriyono NIP. 196302121989031003
Julie Ekasari, M.Sc. NIP. 197707252005012002
Diketahui, Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Sukenda NIP 19671013 199302 1 001
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME, karena atas berkat dan rahmat-Nya, dapat diselesaikannya laporan akhir skripsi yang berjudul “Stimulasi Pembentukan Agregat Bakteri pada Budidaya Udang Vaname Litopenaeus vannamei dengan Teknologi Bioflok Melalui Peningkatan Kekuatan Ion”. Penelitian yang menjadi bahan penulisan laporan ilmiah ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 sampai dengan Juli 2012. Laporan ini dibuat sebagai suatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu perikanan. Begitu banyak pihak yang telah membantu penyelesaian laporan akhir skripsi ini, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Eddy Supriyono selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta wejangan kepada penulis. 2. Julie Ekasari, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu menuntun setiap tahap dalam proses penelitian yang dilakukan penulis sejak awal. 3. Dr. Widanarni dan Dr. Mia Setiawati selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan evaluasi kepada penulis. 4. Dr. Sukenda selaku Ketua Departemen Budidaya Perairan dan Dr. Alimuddin selaku Ketua Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dari penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap, skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Terima kasih.
Bogor, November 2012
Ivan Daniel Napitupulu
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 22 Januari 1990 di Jakarta dari pasangan ayah Drs. Hasoloan Napitupulu (Alm.) dan ibu Pitta Dameria Tambunan. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMU ST. Theresia, Menteng, Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Bersamaan pada tahun tersebut, penulis berhasil lolos dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI/PMDK), dengan program studi yang dipilih yaitu Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, yang program tersebut diampu oleh Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menempuh masa perkuliahan, penulis telah melakukan kegiatan magang kerja di Balai Budidaya Laut Lampung dan kegiatan Praktek Lapang Akuakultur (PLA) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol, Bali. Selain itu, penulis juga telah menempuh pengalaman sebagai asisten pengajar pada mata kuliah Oseanografi Umum semester ganjil periode 2010/2011 dan 2011/2012, Dasar-dasar Mikrobiologi Akuatik semester genap periode 2010/2011 dan 2011/2012, Fisika Kimia Perairan semester genap periode 2010/2011, Manajemen Kualitas Air semester ganjil periode 2010/2011, dan Teknologi Produksi Plankton, Bentos, dan Alga periode 2011/2012. Selain itu penulis juga memperoleh prestasi sebagai Juara II Mahasiswa Berprestasi (Mapres) tingkat Departemen Budidaya Perairan periode 2010/2011 dan memperoleh beasiswa Prestasi Peningkatan Akedemik (PPA) dari Dikti periode 2010/2011-2011/2012. Tugas akhir yang menjadi syarat diperolehnya gelar strata satu perikanan, merupakan suatu skripsi dengan tema teknologi budidaya perikanan, yang berjudul “Stimulasi pembentukan agregat bakteri pada budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei dengan teknologi bioflok melalui peningkatan kekuatan ion.”
ABSTRAK
IVAN DANIEL NAPITUPULU. Stimulasi pembentukan agregat bakteri pada budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei dengan sistem bioflok melalui peningkatan kekuatan ion. Dibimbing oleh Eddy Supriyono dan Julie Ekasari. Aplikasi teknologi bioflok dalam perikanan budidaya sering kali menemui beberapa kendala, diantaranya adalah meningkatnya turbiditas dan total suspended solid (TSS). Hal ini diakibatkan oleh sisa metabolisme pakan dan partikel organik dari feses, serta rendahnya tingkat konsumsi flok oleh organisme budidaya yang disebabkan oleh ukuran agregat bakteri yang terlalu kecil. Oleh sebab itu, pembentukan agregasi bakteri sangat penting dalam manajemen sistem budidaya bioflok (BFT). Salah satu cara yang digunakan dalam menstimulasi pembentukan agregat bakteri adalah dengan manipulasi ion (kekuatan ion). Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, tahap I membandingkan berbagai sumber ion (flokulan) terhadap penurunan turbiditas. Flokulan yang digunakan adalah kaolin, bentonit, sodium silikat, dan CaCl2, dengan kekuatan ion yang digunakan sebesar 5.10-2. Berdasarkan hasil tahap I diperoleh bahwa CaCl2 merupakan flokulan terbaik dalam penurunan turbiditas (20 NTU). Penelitian tahap II bertujuan untuk menentukan tingkat kekuatan ion yang paling optimal dalam menstimulasi agregat bakteri. Kekuatan ion yang diuji pada tahap ini yaitu 5.10-5, 5.10-4, 5.10-3, 5.10-2, dan 5.10-1, dengan flokulan CaCl2. Hasil tahap tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekuatan ion 5.10 -2 (1,7.10-2 M CaCl2) memberikan penurunan turbiditas terbaik yaitu 13,2 NTU. Tahap III bertujuan untuk menguji apakah pemberian flokulan berpengaruh terhadap sintasan dan kinerja pertumbuhan udang vaname. Uji tersebut dilakukan pada udang vaname dengan bobot rerata 0,3 g, yang dipelihara selama 28 hari, dengan kepadatan 20 ekor/akuarium. Hasil uji biologis menunjukkan bahwa penambahan CaCl2 tidak berpengaruh terhadap sintasan. Penambahan CaCl2 sebanyak 0,46 g/L menghasilkan laju pertumbuhan spesifik yang tertinggi. Kata kunci : kekuatan ion, flokulan, bioflok, udang.
ABSTRACT IVAN DANIEL NAPITUPULU. Stimulating microbial aggregation in Litopenaeus vannamei culture with biofloc technology application by ionic strength enhancement. Supervised by Eddy Supriyono dan Julie Ekasari. Biofloc technology application in aquaculture is limited by a number of limitations including the increasing of turbidity and total suspended solids (TSS). The aforementioned limitations were caused by the accumulation of metabolic wastes of feed and organic particles from the feces, as well as the low consumption level by the cultured organism, which is likely caused by the small size of bacterial aggregate. Therefore, the formation of bacterial aggregation is critical in the management system of biofloc cultivation (BFT). This study aims to evaluate the effect of ionic strength enhancement in stimulating bacterial aggregate in a BFT system. The objective of the first stage of the research was to evaluate the effect of several flocculants in stimulating bacterial aggregate represent by the decrease of turbidity. The flocculants used were kaolin, sodium sillicate, bentonite, and CaCl2. The result shows that CaCl2 is the best flocculant that reduced the water turbidity (20 NTU). The second stage was aimed to determine the most optimum ionic strength level of CaCl2. The levels tested were 5.10-5, 5.10-4, 5.10-3, 5.10-2, and 5.10-1. The result of this stage showed that I = 5.10-2 (1.7.10-2 M) resulted in the best turbidity decrease of 13.2 NTU. The third stage evaluated the effect of CaCl2 addition on shrimp survival and growth. White shrimp Litopenaeus vannamei with an average body weight of 0.3 g was stocked at a density of 20 shrimps/tank and cultured for 28 days. The result shows that CaCl2 addition has no effect on shrimp survival. CaCl2 addition at a dose of 0.46 g/L resulted in the best specific growth in this experiment. Keywords : ionic strength, flocculant, BFT, shrimp.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 II. BAHAN DAN METODE .............................................................................. 3 2.1 Prosedur Penelitian ..................................................................................... 3 2.1.1 Tahap I : Penentuan Sumber Ion (Flokulan) ......................................... 3 2.1.2 Tahap II : Penentuan Tingkat Kekuatan Ion .......................................... 4 2.1.3 Tahap III : Uji Biologis ........................................................................ 4 2.2 Parameter yang diukur ................................................................................ 7 2.2.1 Tingkat Kekeruhan Air (Turbiditas) ..................................................... 7 2.2.2 Volume Flok ........................................................................................ 7 2.2.3 Laju Pertumbuhan Spesifik .................................................................. 7 2.2.4 Sintasan ............................................................................................... 8 2.2.5 Total Amoniak Nitrogen (TAN) ........................................................... 8 2.2.6 Nitrit-Nitrogen (NO2-N) ....................................................................... 9 2.2.7 Pengamatan bentuk morfologi bioflok .................................................. 9 2.3 Analisis Data .............................................................................................. 9 III. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 10 3.1 Hasil ......................................................................................................... 10 3.1.1 Tahap I : Penentuan Sumber Ion (Flokulan) ....................................... 10 3.1.2 Tahap II : Penentuan Tingkat Kekuatan Ion ........................................ 10 3.1.3 Tahap III : Uji Biologis ...................................................................... 11 3.2 Pembahasan .............................................................................................. 14 IV. KESIMPULAN .......................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20 LAMPIRAN ..................................................................................................... 23
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ilustrasi pengaturan posisi wadah uji prosedur Tahap I dan II. .......................... 4 2. Ilustrasi pengaturan posisi wadah uji. ............................................................... 5 3. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok pada flokulan yang berbeda yaitu kalsium klorida (CaCl2), sodium silikat (Na2SiO3), kaolin (Al2Si2O5(OH)4), bentonit (Al2O3.4SiO2H2O), dan kontrol. ....................................................... 10 4. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok selama proses pengendapan dua jam pada perlakuan tingkat konsentrasi kekuatan ion yang berbeda menggunakan kalsium klorida (CaCl2) yaitu 1,7.10-5M, 1,7.10-3 M, 1,7.10-2 M, 1,7.10-1 M, dan kontrol. ................................................................................. 11 5. Tingkat kekeruhan pada media bioflok pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan ... ...................................................................................................................... 11 6. Volume flok pada media bioflok pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan. ... ...................................................................................................................... 12 7. Laju pertumbuhan spesifik (%/hari) udang vaname Litopenaeus vannamei pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan). .......................... 13 8. Sintasan (%) udang vaname Litopenaeus vannamei pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan). ........................................................ 13 9. Pengamatan mikroskopik bioflok (t: hari ke-9) pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei (perbesaran 40x) (a) Kontrol (b) Bioflok sebelum pemberian CaCl2 (I = 5.10-2). ......................................................................... 13 10. Penampang lapisan permukaan partikel sel dan muatannya serta area potensial elektrik (De Schryver et al. 2008). ............................................................... 15 11. Pengaruh dosis polimer flokulan terhadap flokulasi (Poirier et al. 2001). ...... 16 12. Mekanisme aktivasi oleh kation divalen pada partikel bermuatan negatif (Poirier et al. 2001). .................................................................................... 16
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan konsentrasi penambahan flokulan dengan prinsip dasar kekuatan ion…………. ................................................................................................ 23 2. Perhitungan konsentrasi flokulan (g/L) berdasarkan molaritas. ...................... 24 3. Perhitungan jumlah penambahan molase mengacu pada komposisi pakan, komposisi molase, dan jumlah nutrien yang terekskresi. ............................... 25 4. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok pada pemberian flokulan yang berbeda yaitu kalsium klorida, kaolin, bentonit, sodium silikat, dan kontrol. . 26 5. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok pada tingkat kekuatan ion yang berbeda menggunakan kalsium klorida (CaCl2) yaitu 1,7.10-5M, 1,7.10-4 M, 1,7.10-3 M, 1,7.10-2 M, 1,7.10-1 M, dan kontrol. ............................................ 27 6. Tingkat kekeruhan pada media pemeliharaan udang vaname dengan pmberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan. ............................................................ 28 7. Tingkat volume flok pada media pemeliharaan udang vaname dengan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan. ........................................... 29 8. Laju pertumbuhan spesifik dan sintasan udang vaname pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan)……………………………………....30
xi
I. PENDAHULUAN Teknologi bioflok merupakan teknologi baru dalam bidang akuakultur, yang bertujuan untuk mencapai fase berkelanjutan, dari segi lingkungan, maupun ekonomi. Bioflok merupakan suatu konglomerasi kumpulan bakteri, alga, protozoa, detritus, maupun berbagai partikel organik (Avnimelech 2012). Teknologi ini umumnya diterapkan pada sistem budidaya intensif, dengan pola pergantian air yang minim atau tanpa ganti air (zero water discharge), serta dengan memanfaatkan aktivitas bakteri dalam mendegradasi akumulasi residu bahan organik di dalam air (Avnimelech 2012). Tujuan dikembangkannya teknologi bioflok ini adalah untuk memperbaiki dan mengontrol kualitas air budidaya, biosekuriti, membatasi penggunaan air, serta efisiensi penggunaan pakan (Avnimelech 2012). Sampai saat ini penerapan teknologi bioflok telah dilakukan pada organisme-organisme tertentu, yang memiliki tapis insang, seperti Litopenaeus vannamei,
Penaeus
monodon,
Macrobrachium
roserbegii,
Litopenaeus
stylirostris, tilapia, turbot, catfish, dan sea bass (kakap putih) (Conquest & Tacon 2006). Sedangkan penerapan bioflok di Indonesia, pertama kali dilakukan pada budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei oleh Central Pertiwi Bahari (Conquest & Tacon 2006). Bioflok yang terbentuk optimal dipengaruhi oleh beberapa aspek, baik biologis maupun teknis. Pembentukan bioflok yang tidak optimal menimbulkan dampak buruk bagi spesies budidaya maupun media budidaya. Beberapa kendala yang sering dijumpai pada penerapan teknologi ini diantaranya adalah pertama meningkatnya turbiditas dan total suspended solid (TSS) dalam air seiring dengan meningkatnya akumulasi sisa metabolisme pakan dan partikel organik dari feses. Peningkatan TSS dapat menyebabkan terjadinya peningkatan nilai biological oxygen demand (BOD), penyumbatan insang pada organisme budidaya, menekan pertumbuhan alga yang menguntungkan, dan meningkatkan potensi pertumbuhan mikroorganisme yang berbahaya (Ray et al. 2010). Menurut Ray et al. (2010), tanpa adanya kontrol yang baik terhadap jumlah partikel organik tersuspensi tersebut, maka kumpulan bakteri dan alga akan membentuk suatu koloni yang
1
mendominasi media budidaya, yang selanjutnya dapat menyebabkan kompetisi alamiah dengan organisme yang dibudidayakan, khususnya dalam hal konsumsi oksigen terlarut. Solusi yang mungkin dilakukan untuk mengatasi masalah tingginya TSS pada sistem bioflok adalah dengan menerapkan proses sedimentasi dalam bak pengendapan dan konsumsi oleh organisme secara in situ maupun ex situ (Ray et al. 2010). Pada proses sedimentasi, laju pengendapan dipengaruhi oleh ukuran partikel, semakin kecil partikel tersebut maka semakin sulit untuk mengendap (Ray et al. 2010). De Schryver et al. (2008) menyatakan bahwa bakteri dalam kondisi sel tunggal, tidak mampu mencapai fungsi optimalnya sebagai pendegradasi limbah. Masalah kedua dalam aplikasi teknologi bioflok yaitu rendahnya tingkat konsumsi bakteri heterotrof oleh organisme budidaya yang disebabkan oleh ukuran agregat bakteri yang terlalu kecil. Sel tunggal bakteri umumnya berukuran ± 1µm, sehingga terlalu kecil untuk dimanfaatkan sebagai protein mikroba (Avnimelech 2012). Bahkan spesies yang berbeda ukuran ternyata memanfaatkan agregat/flok yang sesuai dengan ukurannya, karena menurut De Schryver et al. (2008), spesies dewasa cenderung memanfaatkan flok yang berukuran besar, sedangkan spesies yang masih stadia juvenil cenderung memilih flok yang berukuran kecil. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan agregasi bakteri sangat penting dalam manajemen teknologi bioflok (BFT). Agregasi bakteri di dalam air dapat distimulasi melalui beberapa cara seperti manipulasi intensitas pengadukan, oksigen terlarut, sumber karbon organik, pH, suhu, dan jumlah kandungan bahan organik. (De Schryver et al. 2008). Salah satu metoda yang digunakan dalam menstimulasi pembentukan agregat bakteri adalah dengan manipulasi ion (kekuatan ion). Untuk itu tujuan penelitian ini adalah mengaplikasikan penambahan sumber ion kaolin, bentonit, sodium silikat, dan kalsium klorida untuk stimulasi agregasi bakteri pada budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei sistem BFT.
2
II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Tahap I : Penentuan Sumber Ion (Flokulan) Penelitian Tahap I bertujuan untuk menentukan kandidat sumber ion (flokulan) terbaik dalam pembentukan flok. Pada tahap ini wadah yang digunakan berupa botol kaca berukuran 1,5 L sebanyak 12 unit yang telah dilengkapi dengan sistem aerasi yang memadai (Gambar 1). Setiap botol diisi dengan 300 mL media bioflok yang telah dikultur secara terpisah, dengan kondisi tingkat kekeruhan flok minimal 15 nephelometric turbidity unit (NTU). Media bioflok yang digunakan merupakan media budidaya pendederan udang sistem bioflok (t= 20 hari), dalam wadah akuarium berukuran 60 cm x 28 cm x 35 cm dengan kepadatan 149 individu per m2. Pemberian pakan (protein 36% bobot kering) dilakukan dengan feeding rate (FR) 15% dengan frekuensi 4 kali sehari, serta pemberian molase (kadar C 44,42%) setiap 2 jam setelah pemberian pakan. Pada perlakuan Tahap I ini diujikan beberapa flokulan yaitu kalsium klorida (CaCl2), sodium silikat (Na2SiO3), kaolin (Al2Si2O5(OH)4), dan bentonit (Al2O3.4SiO2H2O). Konsentrasi sumber ion yang digunakan merupakan hasil kekuatan ion terbaik dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zita dan Hermansson. (1994), yakni pada kekuatan ion 5.10-2..Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka konsentrasi molaritas flokulan yang diterapkan untuk masingmasing bahan pada tahap ini yaitu 1,7.10-2 M CaCl2, 1,7.10-2 M Na2SiO3, 5.10-3 M Al2Si2O5(OH)4, 5.10-3 M Al2O3.4SiO2H2O, dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Pengambilan sampel awal media flok dilakukan dengan mengambil sebanyak 15 mL dari tiap wadah uji untuk pengukuran parameter kekeruhan. Pengambilan sampel selanjutnya dilakukan pada jam kedua setelah perlakuan, dengan jumlah sampel yang diambil sama seperti pada pengambilan awal. Pengamatan tingkat kekeruhan dilakukan setelah proses pengendapan pada tabung sampel selama 30 menit. Sampel yang diukur adalah supernatan, yang berupa larutan bening, hasil dari proses pengendapan tersebut.
3
2.1.2 Tahap II : Penentuan Tingkat Kekuatan Ion Penelitian Tahap II bertujuan untuk menentukan konsentrasi kekuatan ion terbaik dalam proses agregasi flok. Perlakuan kekuatan ion yang digunakan adalah 5.10-5, 5.10-4, 5.10-3, 5.10-2, 5.10-1, dan kontrol. Satuan kekuatan ion tersebut dikonversi dalam satuan molaritas (Lampiran 1) untuk memudahkan perhitungan, sehingga menjadi 1,7.10-5 M, 1,7.10-4 M, 1,7.10-3 M, 1,7.10-2 M, 1,7.10-1 M, dan kontrol. Untuk setiap perlakuan tersebut dilakukan dua kali pengulangan dengan penempatan posisi wadah seperti Tahap I (Gambar 1). Bahan flokulan yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan ion adalah flokulan terbaik hasil penentuan Tahap I, yaitu kalsium klorida (CaCl2). Perlakuan diawali dengan pengambilan sampel untuk pengukuran kekeruhan awal sebanyak 20 mL dari masing-masing wadah uji. Selanjutnya CaCl2 ditambahkan ke dalam masing-masing wadah sesuai dengan konsentrasi perlakuan dan dibiarkan teraduk oleh agitasi aerasi selama 15 menit. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel untuk pengukuran kekeruhan sebanyak 20 mL. Pengambilan sampel selanjutnya dilakukan pada jam kedua setelah perlakuan dengan jumlah yang sama pada pengambilan awal yaitu 20 mL. Sampel yang diambil setelah perlakuan adalah supernatan, yang berupa larutan bening yang terdapat di dalam wadah uji. Pengamatan tingkat kekeruhan dilakukan setelah proses pengendapan pada tabung sampel selama 30 menit.
Gambar 1. Ilustrasi pengaturan posisi wadah uji prosedur Tahap I dan II. 2.1.3 Tahap III : Uji Biologis Pada penelitian Tahap III dilakukan pengujian biologis penambahan sumber ion, dengan jenis dan konsentrasi yang dihasilkan pada Tahap I dan II, pada pendederan udang vaname Litopenaues vannamei. Wadah yang digunakan berupa
4
akuarium kaca dengan dimensi 60 cm x 28 cm x 35 cm sebanyak 12 unit, yang dilengkapi dengan tiga titik aerasi dan diletakkan secara acak (Gambar 2).
Gambar 2. Ilustrasi pengaturan posisi wadah uji. Sebelum digunakan, wadah didesinfeksi dengan menggunakan klorin 100 mg/L dan dibiarkan selama 24 jam dalam kondisi tertutup. Selanjutnya wadah dibilas dengan air tawar dan dibiarkan kembali hingga mengering selama semalam dalam kondisi tertutup. Keesokan harinya wadah diisi dengan air laut sebanyak 31,5 L, lalu air didesinfeksi dengan klorin 30 mg/L pada kondisi aerasi yang dinyalakan selama 5 menit, kemudian aerasi dimatikan dan dibiarkan selama semalam. Pada hari berikutnya air dinetralkan dengan menggunakan natrium thiosulfat (Na2S2O3) 15 mg/L dalam kondisi aerasi kuat. Berikutnya, setelah air netral atau tidak tercium bau klorin, ke dalam wadah ditambahkan 10,5 L air limbah hasil pemeliharaan udang vaname, sebagai inokulan pembentukan bioflok. Setelah wadah terisi air, dilakukan pengukuran parameter kualitas air awal yang meliputi total ammonia nitrogen (TAN) dan nitrit nitrogen (NO2-N). Selain itu selama pemeliharaan, bagian atas akuarium ditutupi oleh paranet, sedangkan bagian bawah dan dinding akuarium ditutupi plastik hitam, untuk mereduksi penyerapan cahaya dan melindungi udang dari gangguan fisik, maupun kondisi stress. Setelah wadah dan media siap, ke dalam wadah dimasukkan udang vaname yang telah ditimbang sebelumnya, dengan kepadatan 119 individu per m2. Pemeliharaan dilakukan selama 28 hari dengan pola tanpa pergantian air (zero
5
water discharge). Penambahan air dilakukan untuk mengganti volume air yang berkurang akibat faktor penguapan. Pemberian pakan menggunakan pakan buatan dengan kandungan protein 36%, dengan FR (awal-akhir pemeliharaan) 10%, dengan frekuensi pemberian 4 kali sehari, yaitu pukul 06.00, 12.00, 18.00, dan 22.00. Molase dengan kadar karbon (C) organik sebesar 44,42% digunakan sebagai sumber karbon dengan estimasi rasio C/N sebesar 15 yang dihitung berdasarkan jumlah N dan C yang diberikan melalui pakan dan molase berdasarkan Avnimelech & Kochba (1999) (Lampiran 3). Pemberian molase dilakukan selama pemeliharaan dengan frekuensi 1 kali sehari, yaitu pada pukul 10.00. Pada tahap ini digunakan flokulan serta tingkat kekuatan ion terbaik, yang diketahui dari hasil penelitian Tahap I dan II yaitu CaCl2 dengan kekuatan ion sebesar 5.10-2. Untuk mengetahui konsentrasi efisien dari penambahan ion, maka dilakukan perlakuan dengan pemberian jumlah flokulan sebanyak 100% (1,85 g/L), 50% (0,93 g/L), dan 25% (0,46 g/L) dari konsentrasi optimal pada perlakuan sebelumnya serta kontrol (tanpa flokulan), dengan tiga kali ulangan (Lampiran 2). Pemberian CaCl2 dilakukan setelah konsentrasi bakteri dalam media pemeliharaan sudah cukup padat melalui pengukuran tingkat kekeruhan air yaitu pada hari keempat setelah penebaran, selama 5 hari berturut-turut, 1 jam setelah pemberian molase pada hari tersebut (pukul 11.00). Pengambilan sampel untuk pengukuran tingkat kekeruhan dan volume flok dilakukan dua kali, yakni sebelum perlakuan dan jam kedua setelah perlakuan. Sampel yang diambil berupa air pemeliharaan sebanyak 50 mL dari tiap akuarium. Pengamatan tingkat kekeruhan dan volume flok dilakukan setelah proses pengendapan pada botol sampel selama 45 menit (Mogadham et al. 2005). Khusus pengukuran tingkat kekeruhan, sampel yang diukur adalah supernatan, yang berupa larutan bening hasil pengendapan. Parameter pendukung yang diukur pada tahap ini adalah total ammonia nitrogen (TAN) dan nitrit nitrogen (NO2-N) pada akhir pemeliharaan. Sementara parameter biologis yang diamati adalah pertumbuhan udang dan sintasan udang yang dihitung setelah 28 hari masa pemeliharaan. Pengamatan bentuk flok juga dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya.
6
2.2 Parameter yang diukur 2.2.1 Tingkat Kekeruhan Air (Turbiditas) Kekeruhan (turbiditas) adalah gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air (APHA 1989). Kekeruhan diukur dengan alat turbidity meter dengan satuan hitung kekeruhan NTU. Pengukuran kekeruhan pada penelitian ini menggunakan alat turbidity meter HACH Ratio Turbidity. Pengukuran parameter tingkat kekeruhan air ini dilakukan selama penambahan CaCl2 (hari ke 4-8 setelah penebaran) di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2.2 Volume Flok Volume flok merupakan representasi dari kepadatan partikel flok dalam suatu kolom air (Avnimelech 2012). Volume flok diukur dengan menggunakan measuring cone setelah melalui proses pengendapan suspensi. Persamaan perhitungan volume flok adalah sebagai berikut.
Keterangan:
ൌ
ଵ ୱ
FV : Floc Volume/ Volume Flok (mL/L) Vs : Volume total sampel air yang diukur (mL) Vn : Volume natan/ volume endapan flok yang terukur (mL) Pengukuran parameter volume flok dilakukan selama penambahan CaCl2 (hari ke 4-8 setelah penebaran) di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2.3 Laju Pertumbuhan Spesifik Laju pertumbuhan spesifik adalah persentase pertambahan bobot individu setiap harinya selama pemeliharaan. Laju pertumbuhan spesifik ditunjukkan dalam satuan persen (%). Berikut ini adalah persamaan dalam menghitung laju pertumbuhan spesifik (Effendi, 1979) :
7
౪
Keterangan:
ൌ ቈට
୲
୭
െ ͳ ͳͲͲΨ
LPS : Laju pertumbuhan spesifik individu (%) t
: Waktu pemeliharaan (hari)
Wi
: Bobot rata-rata individu pada waktu ke- i (gram/ekor)
Wo : Bobot rata-rata individu pada waktu ke- o (gram/ekor)
2.2.4 Sintasan Sintasan dihitung menggunakan persamaan (Effendi 1979) : ୧
Keterangan:
ൌ ୭ ൈ ͳͲͲΨ
Sintasan : Tingkat kelangsungan hidup (%) Ni : Jumlah individu pada waktu pengukuran sintasan/ saat sampling (ekor) N0 : Jumlah individu pada awal penebaran (ekor)
2.2.5 Total Amoniak Nitrogen (TAN) Pengukuran parameter TAN dilakukan dengan menggunakan metode indophenol/phenate (APHA 1989) yang dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Konsentrasi TAN yang terukur, disajikan dalam satuan mg NH3N/L, yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut
Keterangan:
ሾሿ ൌ
Cst : Konsentrasi larutan standar As : Nilai absorban sampel terukur Ast : Nilai absorban larutan standar terukur
8
2.2.6 Nitrit-Nitrogen (NO2-N) Metode
sulfanilamide
merupakan
metode
yang
digunakan
dalam
pengukuran nitrit (APHA 1989). Nilai nitrit yang disajikan merupakan nilai kadar nitrit (mg NO2-N/L) dan dapat dihitung menggunakan rumus berikut
Keterangan:
ሾଶ ሿ ൌ
Cst : Konsentrasi larutan standar As : Nilai absorban sampel terukur Ast : Nilai absorban larutan standar terukur Pengukuran kadar nitrit ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2.7 Pengamatan bentuk morfologi bioflok Pengamatan bentuk morfologi bioflok dilakukan untuk membandingkan perbedaan hasil bioflok yang diberi perlakuan flokulan dengan yang tanpa diberi perlakuan. Sample bioflok diamati secara visual menggunakan mikroskop cahaya. Pengamatan ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.3 Analisis Data Data yang diperoleh dari ketiga tahap penelitian, diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan dianalisis secara deskriptif.
9
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Tahap I : Penentuan Sumber Ion (Flokulan) Flokulan yang berbeda ternyata memberikan efek yang berbeda pula terhadap profil kekeruhan air. Gambar 3 menunjukkan bahwa pada tingkat kekuatan ion yang sama, flokulan kalsium klorida (CaCl2) memberikan efek penurunan turbiditas air yang terbaik, dibandingkan dengan ketiga bahan lainnya,
Tingkat Penurunan Kekeruhan (NTU)
yaitu sodium silikat, kaolin, dan bentonit (Lampiran 4). 40.0 25.0 10.0 -5.0 -20.0 -35.0 -50.0 -65.0 -80.0 -95.0 -110.0 -125.0
20.0
9.6 Kontrol CaCl2 -15.6
-24.40
Kaolin
Silikat Bentonit
-109.6
Gambar 3. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok pada flokulan yang berbeda yaitu kalsium klorida (CaCl2), sodium silikat (Na2SiO3), kaolin (Al2Si2O5(OH)4), bentonit (Al2O3.4SiO2H2 O), dan kontrol. 3.1.2 Tahap II : Penentuan Tingkat Kekuatan Ion Peningkatan kekuatan ion ternyata memberikan efek penurunan tingkat kekeruhan air. Hal tersebut terlihat pada Gambar 4. Perlakuan kekuatan ion 5.10-2 (1,7.10-2 M) memberikan pengaruh yang terbaik terhadap tingkat penurunan kekeruhan air media bioflok sebesar 13,2 NTU (Lampiran 5). Nilai penurunan kekeruhan yang negatif pada perlakuan kekuatan ion 5.10-1 (1,7.10-1 M) yaitu -3,6 NTU, menunjukkan tingkat kekeruhan air yang meningkat.
10
16.0 13.2
Tingkat Penurunan Kekeruhan (NTU)
14.0 12.0
10.0 10.0
Kontrol
10.0
1,7.10-5
8.0
1,7.10-4
6.0 4.0
1,7.10-3
2.7
2.0
1,7.10-2
0.5
1,7.10-1
0.0 -2.0 -4.0
-3.6
-6.0
Gambar 4. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok selama proses pengendapan dua jam pada perlakuan tingkat konsentrasi kekuatan ion yang berbeda menggunakan kalsium klorida (CaCl2) yaitu 1,7.10-5M, 1,7.10-4 M, 1,7.10-3 M, 1,7.10-2 M, 1,7.10-1 M, dan kontrol. 3.1.3 Tahap III : Uji Biologis Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian jumlah CaCl2 dengan dosis konsentrasi 1,85 g/L memberikan efek penurunan kekeruhan air terbaik, selama lima hari perlakuan (Lampiran 6). Tingkat Kekeruhan (NTU)
60.00 50.00 40.00 Kontrol
30.00
0,46 g/L 20.00
0,93 g/L
10.00
1,85 g/L
0.00 0
1
2
3
4
5
Hari keGambar 5. Tingkat kekeruhan pada media bioflok pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan.
11
Hasil yang sama juga diperoleh pada parameter volume flok (Gambar 6). Peningkatan volume flok secara konsisten dihasilkan pada pemberian CaCl2 dengan dosis konsentrasi 1,85 g/L dan 0,93 g/L sejak pemberian pertama hingga kelima kalinya (Lampiran 7). 35.00 Volume Flok (ml/L)
30.00 25.00 20.00
Kontrol
15.00
0,46 g/L
10.00
0,93 g/L
1,85 g/L
5.00 0.00 0
1
2
3
4
5
Hari keGambar 6. Volume flok pada media bioflok pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan. Kenaikan volume flok secara jelas terlihat dari perlakuan penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 1,85 g/L selama lima hari perlakuan. Pengukuran parameter kualitas air yang berupa TAN dan nitrit pada awal dan akhir pemeliharaan, masih dalam rentang aman yang dianjurkan dalam kegiatan budidaya udang vaname. Kadar TAN berkisar 0,5-0,9 mg/L, sedangkan kadar nitrit berada pada kisaran 2-2,5 mg/L. Gambar 7 dan 8 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian flokulan CaCl2 dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap parameter laju pertumbuhan harian. Pertumbuhan spesifik tertinggi terlihat pada perlakuan penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 0,46 g/L dengan nilai 5,34 ± 0,11%/hari (Lampiran 8). Sedangkan sintasan relatif sama untuk semua perlakuan dengan kisaran 93,33-100% (Lampiran 8).
12
SGR (%/hari)
6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
4.89
5.34
4.92 4.74
Kontrol 0,46 g/L 0,93 g/L
1,85 g/L
Gambar 7. Laju pertumbuhan spesifik (%/hari) udang vaname Litopenaeus vannamei pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan). 100
100
92
92
95
Kontrol
SR (%)
80
0,46 g/L
60
0,93 g/L
40
1,85 g/L
20 0
Gambar 8. Sintasan (%) udang vaname Litopenaeus vannamei pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan). Pada pengamatan visual mikroskopik (Gambar 9), bioflok yang diberi flokulan dengan aplikasi kekuatan ion, menghasilkan struktur yang kompak dan menyatu, dibandingkan yang tanpa pemberian flokulan (CaCl2).
(a)
(b)
Gambar 9. Pengamatan mikroskopik (perbesaran 40x) bioflok yang diambil dari media pemeliharaan pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei (hari ke-9): (a) Kontrol, (b) Bioflok setelah pemberian CaCl2 (I = 5 .10-2). 13
3.2 Pembahasan Mekanisme flokulasi dalam pembentukan bioflok ada 3 jenis, tergantung dari kondisi limbah atau media yang akan diberi perlakuan flokulasi, yang meliputi bridging mechanism, charged-patch neutralization, dan network model (Poirier 2001). Charged-patch neutralization merupakan mekanisme penetralan partikel akibat adanya penambahan ion. Flok yang bermuatan negatif, dengan diberi penambahan polimer atau flokulan bermuatan positif, menyebabkan flok bermuatan netral dan polimer menjadi perekat antar partikel, sehingga secara simultan koagulasi dapat terjadi (Poirier 2001). Sedangkan network model adalah proses pelekatan antar partikel akibat penambahan polimer yang membentuk ikatan dengan ikatan hidrogen, ikatan Van der Waals, maupun mekanisme pengikatan partikel yang lain (Poirier 2001). Bridging mechanism merupakan proses alamiah yang umum terjadi pada aplikasi teknologi bioflok. Mekanisme ini merupakan proses ketika rantai polimer yang dihasilkan suspensi partikel saling terkait, sehingga membentuk flok yang dapat mengendap melalui proses sedimentasi (Poirier 2001). Suazo (2006) juga menyatakan bahwa komponen polimer adalah sarana utama dalam agregasi individu sel bakteri dalam membentuk partikel flok. Komponen biopolimer produk sampingan yang dihasilkan dari proses perkembangan maupun lisis sel bakteri (Suazo 2006). Selain keberadaan polimer mekanisme lain yang mungkin berperan dalam pembentukan flok bakteri adalah kondisi eksternal yang melingkupi sel bakteri, konfigurasi bioreaktor, kation, kekuatan ion, serta jumlah partikel (Suazo 2006). Pelekatan sel-sel bakteri merupakan komponen utama dalam flokulasi. Pelekatan ini berlangsung dalam 2 fase yaitu fase I yang bersifat reversible dan fase II yang irreversible (Zita dan Hermansson 1994) Pelekatan fase I merupakan proses yang berdasar pada prinsip teori DLVO (Derjaugin, Landau, Verwey, and Overbeek), sedangkan fase II proses yang terjadi akibat pelekatan polimer maupun flagel bakteri penyusun bioflok (Zita dan Hermansson 1994). Bioflok, pada bagian permukaan memiliki muatan yang bernilai negatif (Gambar 10) (De Schryver et al. 2008). Oleh sebab itu, dengan diketahui muatan flok yang negatif, penerapan penambahan ion bermuatan positif maupun polimer dapat diterapkan dengan dasar ketiga teori yang dijelaskan sebelumnya.
14
Gambar 10. Penampang lapisan permukaan partikel sel dan muatannya serta area potensial elektrik (De Schryver et al. 2008). Ketika partikel berada dalam suatu medium cair, sebagian dari diffuse layer akan terlepas, berikut dengan muatan ion yang terdapat didalamnya. Mekanisme ini mengikuti prinsip dasar dari hukum Van der Waals (De Schryver et al. 2008). Pelepasan inilah yang menyebabkan polarisasi molekul dan meningkatkan induksi antar partikel, yang selanjutnya menciptakan agregasi diantara partikel-partikel tersebut (De Schryver et al. 2008). Pada Tahap I, kekuatan ion diterapkan pada berbagai flokulan yang umumnya sudah dipakai pada aplikasi teknologi bioflok. Tingkat kekuatan ion yang diaplikasikan pada tahap ini merupakan hasil penelitian sebelumnya pada limbah pertanian air tawar yang dilakukan oleh Zita dan Hermansson (1994). Flokulan merupakan bahan yang dapat memberikan efek flokulasi pada partikelpartikel terlarut (Triphaty dan De Ranjan. 2006). Gambar 11 memperlihatkan bahwa pada dosis flokulan yang optimal akan menghasilkan flok yang optimal pula. Pemilihan bahan-bahan uji pada penelitian Tahap I bertujuan untuk menguji keoptimalan pembentukan bioflok dari flokulan yang selama ini dipakai dalam aplikasi teknologi bioflok pada budidaya perairan. Penggunaan kaolin dalam budidaya udang intensif telah diterapkan oleh Central Pertiwi Bahari (Conquest dan Tacon 2006) dengan tujuan untuk memacu pembentukan flok bakteri. Sementara sodium silikat dan bentonit dipilih
15
berdasarkan penelitian sebelumnya pada budidaya ikan sistem bioflok (Rohmana 2009, Avnimelech 2009). Selain itu kedua bahan tersebut merupakan flokulan golongan an-organik, dimana komponen utama yang terkandung adalah alumunium (Triphaty dan De Ranjan 2006). Sedangkan kalsium klorida adalah bahan flokulan yang sudah dikenal dan termasuk dalam jenis polimer kation (Triphaty dan De Ranjan 2006).
Gambar 11. Pengaruh dosis polimer flokulan terhadap flokulasi (Poirier et al. 2001). Hasil Tahap I menunjukkan bahwa pada tingkat kekuatan ion yang sama (5.10-2), flokulan CaCl2 memberikan penurunan kekeruhan air yang paling tinggi dibandingkan ketiga bahan lainnya. Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh De Schryver et al. (2008), bahwa penambahan ion divalen, seperti Ca2+, dapat memberi pengaruh yang signifikan dalam formasi flok. Gambar 12 menunjukkan bahwa keberadaan kation dijadikan sebagai penghubung antara partikel yang bermuatan sama (negatif). Hal tersebut terjadi dan dapat dijelaskan melalui teori DCBT (Divalent Cation Bridging Theory), yang menjelaskan bahwa kation divalen bertindak sebagai ‘jembatan’ penghubung diantara kumpulan partikel yang bermuatan negatif, sehingga menciptakan matriks biopolimer tambahan, yang dapat menstimulasi bioflokulasi (Suazo 2006).
Gambar 12. Mekanisme aktivasi oleh kation divalen pada partikel bermuatan negatif (Poirier et al. 2001).
16
Ketiga bahan lain yang diuji, selain kalsium klorida, justru mengakibatkan peningkatan kekeruhan air. Hal ini disebabkan karena adanya akumulasi dari bahan flokulan yang tidak terlarut yang diduga diakibatkan oleh jenuhnya konsentrasi bahan tersebut dalam air (Gambar 12). Zita dan Hermansson (1994) dan Mogadham et al. (2005) menyatakan hal yang sama bahwa peningkatan kekuatan ion mencapai 0,1 - 0,5 mengakibatkan pendispersian/pelepasan bagianbagian partikel. Tingkat kekuatan ion yang tinggi, menurut Mogadham et al. (2005) dapat menyebabkan deflokulasi. Berdasarkan hasil, konsentrasi bahan sodium silikat, kaolin, bentonit yang digunakan, berturut-turut adalah 1,7.10-2 M, 5.10-3 M, 5.10-3 M. Pasa penelitian Tahap II dilakukan pengujian pengaruh tingkat kekuatan ion terhadap agregasi bakteri. Bakteri yang teragregasi akan membentuk partikel yang lebih besar dan memiliki kemampuan untuk mengendap apabila dilakukan proses sedimentasi (Suazo 2006), sehingga berpengaruh pada tingkat kekeruhan air. Gambar 4 menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan kekuatan ion, penurunan tingkat kekeruhan air juga semakin besar. Penurunan kekeruhan tertinggi diperoleh pada tingkat kekuatan ion 5.10-2 (1,7.10-2 M). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zita dan Hermansson (1994) yang menyatakan bahwa kekuatan ion 5.10-4 - 5.10-2, memberikan efek flokulasi yang paling baik. Ditambahkan pula oleh Mogadham et al. (2005), perubahan kecil dari komponen kekuatan ion maupun komposisi ion di dalam air, secara langsung akan memberikan pengaruh terhadap struktur dari flok. Sedangkan peningkatan nilai kekeruhan yang dihasilkan pada tingkat kekuatan ion 5.10-1 (1,7.10-1 M) disebabkan karena flok yang terdispersi atau membentuk partikel yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Mogadham et al. (2005) bahwa peningkatan kekuatan ion dapat mereduksi ketebalan double layer yang dapat memacu terjadinya flokulasi. Namun pada tingkat kekuatan ion yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan deflokulasi, yaitu pada ambang batas 10-100 mM. Flok yang terdispersi tersebut diakibatkan adanya mekanisme pergantian ion, perubahan interaksi adhesif substrat polimer, serta salting-out effects (DLVO Tahap II) (Zita dan Hermansson 1994).
17
Hasil penelitian Tahap III diperoleh bahwa hasil terbaik diperoleh pada dosis yang sama seperti awal pemberian CaCl2 pada Tahap II yaitu 1,85 g/L. Berdasarkan pengukuran parameter tingkat flokulasi, turbiditas dan volume flok, 1,85 g/L merupakan konsentrasi terbaik dalam menstimulasi pembentukan bioflok. Namun dari sisi biologis terutama pertumbuhan udang, perlakuan penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 0,46 g/L, justru menunjukkan hasil terbaik. Penyebab dari dihasilkannya laju pertumbuhan yang baik namun dalam konsentrasi flokulan yang rendah, diduga karena konsentrasi kalsium yang tinggi menghambat pertumbuhan udang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Abidin (2011) bahwa kadar kalsium yang terlalu tinggi menghambat transfer kalsium dari lingkungan ke dalam tubuh udang. Peningkatan bobot udang akibat pertumbuhan juga meningkatkan kadar kalsium kulit pada tubuh udang (Abidin 2011). Indikasi lain yaitu penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 1,85 g/L menyebabkan pembentukan flok menjadi ukuran yang terlalu besar, sehingga ukurannya tidak sesuai dengan kebutuhan udang yang dipelihara sehingga tidak termanfaatkan secara baik. De Schryver et al. (2008) menyatakan spesies dewasa cenderung memanfaatkan flok yang berukuran besar, sedangkan spesies yang masih stadia juvenil cenderung memilih flok yang berukuran
kecil. Namun, berdasarkan
parameter sintasan, penambahan CaCl2 dengan konsentrasi 0,46 g/L menghasilkan sintasan yang kecil. Hal ini diduga bahwa pada konsentrasi kalsium yang rendah, molting berlangsung dengan frekuensi sedikit dengan waktu yang lama, sehingga menyebabkan kanibalisme. Dugaan tersebut sesuai dengan penelitian Abidin (2011) yang menyimpulkan bahwa penambahan kalsium memberikan pengaruh terhadap kecepatan dan frekuensi molting udang. Pemberian CaCl2 pada pendederan udang vaname ternyata juga tidak memberikan dampak negatif terhadap spesies budidaya. Hal ini tercermin dari nilai sintasan yang masih tinggi. Pengaruh ion kalsium terhadap spesies Litopenaeus vannamei telah diuji oleh Cheng et al. (2006) melalui pemberian pakan, yang menyatakan bahwa pakan udang yang mengandung kandungan 1% kalsium, dan 2% potassium akan memberikan performa pertumbuhan udang yang baik.
18
IV. KESIMPULAN Pemberian stimulan berupa CaCl2 dengan aplikasi kekuatan ion sebesar 1,85 g/L memberikan pengaruh paling baik pada stimulasi agregat bakteri/flok, serta tidak memberikan dampak negatif dalam penerapannya pada pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei.
19
DAFTAR PUSTAKA Abidin, J. 2011. Penambahan kalsium untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan juvenil udang galah Macrobrachium rosenbergii de Man pada media bersalinitas [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 15th edition. United States: APHA, AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control Federation). Avnimelech, Y. 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture 176: 227-235. Avnimelech, Y. 2012. Biofloc Technology- A Practical Guide Book, 2nd edition. United States: The World Aquaculture Society. Avnimelech, Y., Kochba, M. 2009. Evaluation of nitrogen uptake and excretion by tilapia in bio floc tanks, using 15N tracing. Aquaculture 287: 163-168. Cheng, K., Hu, C., Liu, Y., Zheng, S., Qi, X. 2006. Effects of dietary calcium, phosphorus and calcium/phosphorus ratio on the growth and tissue mineralization of Litopenaeus vannamei reared in low-salinity water. Aquaculture 251: 472-483. Conquest, L., Tacon, A. 2006. Utilization of microbial floc in aquaculture systems: A review. Aquaculture America: 13-17. De Schryver, P., Crab, R., Defoirdt, T., Boon, N., Verstraete, W. 2008. The basics of bio-flocs technology: the added value for aquaculture. Aquaculture 277: 125-137. Effendi, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Mogadham, M.A., Soheili, M., Esfahani, M.M. 2005. Effect of ionic strength on settling of activated sludge. Iranian Journal Environment Health Science & Engineering 2: 1-5. Poirier, M.R. 2001. Evaluation of flocculation and filtration procedures applied to WSRC sludge. WSRC-TR-2001-00213. Ray, A.J., Lewis, B.L., Browdy, C.L., Leffler, J.W. 2010. Suspended solids removal to improve shrimp (Litopenaeus vannamei) production and an evaluation of a plant-based feed in minimal-exchange, superintensive culture systems. Aquaculture 299: 89–98. Rohmana, D. 2009. Konversi limbah budidaya ikan lele Clarias sp. Menjadi biomassa bakteri heterotrof untuk perbaikan kualitas air dan makanan udang 20
galah, Macrobrachium rosenbergii [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suazo, F.J.C. 2006. Effect of reactor feeding pattern on performance of an activated sludge SBR [Tesis]. San Fransisco: Virginia Polytechnic Institute and State University. Tripathy, T., De Ranjan, B. 2006. Flocculation : A new way to treat the waste water. Journal of Physical Sciences 10: 93 – 127 Zita, A., Hermansson, M. 1994. Effects of ionic strength on bacterial adhesion and stability of flocs in a wastewater activated sludge system. Applied and Environmental Microbiology 60: 3041-3048.
21
LAMPIRAN
LAMPIRAN Lampiran 1. Perhitungan konsentrasi penambahan flokulan dengan prinsip dasar kekuatan ion. Contoh : Sumber ion (flokulan) CaCl2 dengan kekuatan ion 5.10-2 CaCl2 → Ca2+ + 2ClRumus :
I (kekuatan ion) = (0,5 Σ Ci Zi2) . Y Ci : koefisien ion Zi : bilangan oksidasi ion Y : molaritas molekul/flokulan (M)
I (CaCl2)
= [0,5 (1.((+2)2) + 2.((-1)2))] . Y
5.10-2
= 3Y
Y
= 0,0167 M
23
Lampiran 2. Perhitungan konsentrasi flokulan (g/L) berdasarkan molaritas.
Rumus:
n = Y.V n : jumlah mol (mol) V : volume (misal 1 L) Y : molaritas molekul/flokulan (M)
n (CaCl2) = 0,0167.1 = 0,0167 mol
Rumus:
m = n.Mr m : massa (g) Mr : bobot molekul
m (CaCl2) = 0,0167. (40 + (35,5 x 2)) = 1,85 g Jadi, konsentrasi CaCl2 pada tingkat kekuatan ion 5.10-2 yaitu 1,85 g/L.
24
Lampiran 3. Perhitungan jumlah penambahan molase mengacu pada komposisi pakan, komposisi molase, dan jumlah nutrien yang terekskresi. ·
Pakan Udang Ø Protein : 36% (360 g/kg pakan) Ø N : Protein/6,25 (57,6 g/kg pakan) Ø 1 kg pakan mengandung 57,6 g N : v Dikonsumsi udang : 16% v Menjadi Limbah
: 90% (De Schryver et al. 2008)
Ø N limbah : 90% x 57,6 g : 51,84 g Ø Jika C/N yang diinginkan adalah 15 : 1, maka : (C pakan + C yang dibutuhkan) : 15 51, 84 (C pakan + C yang dibutuhkan) : 15 x 51,84 C yang dibutuhkan : (15 x 51,84) – C pakan Ø Rumus :
Cd = ( Y x N ) - Cs Cd : C yang dibutuhkan Y : C/N ratio yang dikehendaki Cs : C Pakan
·
Molase Ø Kandungan C : 44,42 % (hasil uji lab) Ø Kebutuhan molase : Md = Cd/Cm
25
Lampiran 4. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok pada pemberian flokulan yang berbeda yaitu kalsium klorida, kaolin, bentonit, sodium silikat, dan kontrol. Perlakuan
Ulangan
Jam 0
Jam 2
Penurunan
1
66.4
53.6
12.8
2
66.4
60.0
6.4
Kontrol
Rataan
9,6 ± 4,5
1
66.4
46.4
20
2
66.4
46.4
20
CaCl2
Rataan
20,0 ± 0
1
66.4
168.0
-101.6
2
66.4
184.0
-117.6
Kaolin Rataan
-109,6 ± 11,3
1
66.4
81.6
-15.2
2
66.4
82.4
-16
Silikat Rataan
-15,6 ± 0,6
1
21.6
42.4
-20.80
2
20.8
48.8
-28.00
Bentonit Rataan
-24,4 ± 5,1
26
Lampiran 5. Tingkat penurunan kekeruhan media bioflok pada tingkat kekuatan ion yang berbeda menggunakan kalsium klorida (CaCl2) yaitu 1,7.10-5M, 1,7.10-4 M, 1,7.10-3 M, 1,7.10-2 M, 1,7.10-1 M, dan kontrol. Perlakuan
Ulangan
Jam 0
Jam 2
Penurunan
1
51.20
50.80
0.4
2
51.20
50.60
0.6
Kontrol Rataan 1,7.10-5
0,5 ± 0,1
1
51.20
49.00
2.2
2
51.20
48.00
3.2
Rataan 1,7.10-4
2,7 ± 0,7
1
51.20
42.40
8.8
2
51.20
40.00
11.2
Rataan 1,7.10-3
10,0 ± 1,7
1
51.20
40.00
11.2
2
51.20
42.40
8.8
Rataan 1,7.10-2
10,0 ± 1,7
1
51.20
37.6
13.60
2
51.20
38.40
12.80
Rataan 1,7.10-1
13,2 ± 0,6
1
51.20
54.4
-3.2
2
51.20
55.20
-4
Rataan
-3,6 ± 0,6
27
Lampiran 6. Tingkat kekeruhan pada media pemeliharaan udang vaname dengan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan.
Perlakuan Hari Kontrol
0,46 g/L
0,93 g/L
1,85 g/L
0
50,93
46,8
43,20
48,80
1
40,80
37,6
44,80
36,27
2
24,15
25,43
32,20
17,50
3
25,67
24,27
22,05
19,60
4
34,95
19,17
17,23
15,07
5
31,60
16,75
21,15
10,25
28
Lampiran 7. Tingkat volume flok pada media pemeliharaan udang vaname dengan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan) selama lima hari perlakuan.
Perlakuan Hari
0 1 2 3 4 5
Kontrol
0,46 g/L
0,93 g/L
1,85 g/L
16,00
14,44
17,11
16,67
16,00
15,00
17,11
17,11
16,67
15,78
17,33
19,78
13,33
15,78
18,00
23,33
18,00
17,11
22,22
23,33
15,56
18,22
26,22
31,11
29
Lampiran 8. Laju pertumbuhan spesifik dan sintasan udang vaname pada media pendederan dengan perlakuan pemberian flokulan sebanyak 1,85 g/L, 0,93 g/L, 0,46 g/L, dan kontrol (tanpa pemberian flokulan).
Perlakuan
SGR (%/hari)
SR (%)
Kontrol
4,89 ± 0,23
100 ± 0
0,46 g/L
5,34 ± 0,11
92 ± 2,89
0,93 g/L
4,92 ± 0,42
97 ± 5,77
1,85 g/L
4,74 ± 0,12
95 ± 5,0
30