755
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA EKSTENSIF PLUS DI LAHAN MARGINAL Markus Mangampa Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Prinsip budidaya udang ekstensif plus meningkatkan kepadatan dengan menggunakan pakan tambahan (pakan komersil), di samping pakan alami, dan sarana tambahan (pompa) yang masih sesuai kemampuan pembudidaya, tanpa menggunakan kincir air. Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian kajian penelitian budidaya udang vaname ekstensif plus di lahan marginal dengan out put data dan informasi, yang digunakan dalam pengembangan budidaya udang vaname melalui uji lapang di lahan pembudidaya. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros telah melakukan kajian penelitian budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) ekstensif plus sejak tahun 2005. Dari kajian ini telah output yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menyusun petunjuk teknis, antara lain padat penebaran yang optimal adalah 8 ekor/ m2, benih vaname yang baik untuk ditebar di pembesaran adalah dalam bentuk tokolan yang berumur 15 hari (PL-27) dari PL-12, dan kepadatan benur vaname yang optimal di pentokolan adalah 6.000 ekor/m3, jika menggunakan aerasi (hyblow). Disamping itu juga telah melakukan kajian wadah pentokolan yang baik yaitu bak terkontrol dan hapa dengan waring ukuran mata jaring yang kecil (waring hijau), dengan menggunakan shelter yang terbaik dari bahan rumput laut (Glacilaria verrucosa) Disamping kajian penelitian juga telah melakukan kajian pengembangan dalam bentuk uji lapang budidaya udang vaname ekstensif plus pada beberapa lokasi, utamanya pada lahan yang terlantar milik pembudidaya ekstensif antara lain di kabupaten Barru dengan produksi 1.050 kg/ha, di Kabupaten Selayar dengan produksi : 1100 kg/ha dan di Kabupaten Maros yang merupakan percontohan dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan dengan produksi 850 kg/ha.Dari kajian ini memperlihatkan bahwa melalui uji lapang dari hasil penelitian yang diramu dalam kajian pengembangan dapat meningkatkan produksi tambak ekstensif mencapai 850-1.100 kg/ha. KATA KUNCI: udang vaname, budidaya ekstensifl plus, lahan marginal
PENDAHULUAN Pengembangan budidaya udang masih dihadapkan pada permasalahan rendahnya produksi dan produktivitas, masalah penyakit antara lain White Spot Syndrom Virus, Taura Syndrome Virus, Infectious Hypodemal and Haematopoietic Necrosis Virus, Baculoviral Midgut Gland Necrosis dan Vibriosis (Sugama et al., 2006; Atmomarsono, 2009). Faktor lain yaitu terbatasnya induk/benih SPF/SPR, tingginya harga sarana produksi (pupuk, benur, pakan), keterbatasan pengetahuan dan keterampilan pembudidaya, serta dukungan teknologi yang masih terbatas. Hal ini berdasarkan pula pada kenyataan bahwa masih sekitar 80% petani tambak, tergolong menerapkan teknologi ekstensif dan ekstensif plus. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dicari teknologi budidaya yang sederhana,sesuai dengan daya dukung lahan, menguntungkan dan ramah lingkungan sehingga mudah diterapkan oleh petambak. Untuk tambak dengan kondisi geografis, berdaya dukung rendah dan kondisi sosek-budaya tidak mampu/memenuhi syarat untuk teknologi intensif, potensial dikembangkan teknologi budidaya udang vaname ekstensif plus. yang merupakan teknologi budidaya yang umumnya dapat dijangkau pembudidaya. Perkembangan budidaya udang vaname sudah menyebar di sentra budidaya udang nasional seperti di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jogjakarta, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTB, Bali, dan Sulawesi Selatan. (Poernomo, 2002; Sugama, 2002). Namun aktivitas tersebut masih terbatas pada teknologi budidaya pola intensif. Kajian penelitian budidaya udang vaname pola ekstensif plus dan uji lapang telah dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros sudah dapat memperbaiki produktivitas
Penelitian dan pengembangan budidaya udang vaname ..... (Markus Mangampa)
756
tambak ekstensif plus yaitu dengan produksi 610-1.050 kg/ha, namun belum optimal karena biaya operasional masih cukup tinggi yang disebabkan oleh penggunaan pakan dengan kandungan protein yang relatif tinggi (36-38%). Briggs et al. (2004) dalam Tahe et al. (2010) mengemukakan bahwa kebutuhan kandungan protein pada pakan udang vaname relatif lebih rendah 20-35%, dibandingkan dengan kebutuhan kandungan protein pakan udang windu. Aplikasi probiotik juga telah dilakukan terutama buat tambak marginal dan memperlihatkan hasil yang baik. Hal ini senada yang dikemukakan Poernomo (2004) bahwa penambahan bahan additif berupa probiotik dapat mengatasi permasalahan tambak baik pada budidaya udang vaname intensif, semi intensif maupun ekstensif plus Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian kajian penelitian budidaya udang vaname ekstensif plus di lahan marginal dengan out put data dan informasi, yang digunakan dalam pengembangan budidaya udang vaname melalui uji lapang di lahan pembudidaya untuk menyusun “Petunjuk Teknis” sebagai out put kegiatan. METODE PENELITIAN Permasalahan serius yang dihadapi pembudidaya tambak dalam membudidayakan udang windu berdampak kepada penurunan produksi tambak udang. Oleh karena itu pemerintah merilis komoditas udang vaname sebagai komoditas alternatif udang tambak, yang diharapkan dapat mengendalikan produksi udang nasional, Kebijakan ini berdampak positif dengan meningkatnya laju produksi udang nasional, utamanya produksi yang dihasilkan melalui teknologi intensif. Namun teknologi ini menghendaki kesesuaian lahan tertentu dengan tingkat kesesuaian lahan sangat sesuai (Mustafa et al., 2009). Melihat potensi lahan sangat sesuai tersebut luasannya terbatas, sehingga 80% tambak ekstensif (tradisional) yang merupakan tambak yang berdaya dukung rendah, tidak dapat dikembangkan dengan pola teknologi intensif. Disamping itu investasi yang dibutuhkan relatif tinggi sehingga tidak dapat dijangkau kemampuan pembudidaya ekstensif. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, telah melakukan penelitian budidaya udang vaname ekstensif plus, sejak tahun 2005, penelitian antara lain: Optimasi kepadatan budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) ekstensif plus, Optimasi kepadatan benur vaname di pentokolan pentokolan; Pembesaran dengan umur (ukuran) tokolan yang berbeda; dan Pembesaran dengan wadah tokolan yang berbeda; dan kajian kajian lainnya. Data dan informasi sebagai out put dari penelitian ini dikembangkan dalam uji lapang pengembangan budidaya udang vaname ekstensif plus di lahan marginal milik pembudidaya antara lain: Uji lapang budidaya udang vaname ekstensif plus di lahan bekas tambak udang windu intensif di Kabupaten Barru Uji lapang budidaya udang vaname ekstensif plus pada lahan terlantar di Kabupaten Selayar Uji lapang budidaya udang vaname ekstensif plus melalui dempond dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan HASIL DAN BAHASAN Melihat potensi lahan yang sesuai, luasannya terbatas, sehingga 80% tambak ekstensif merupakan tambak yang berdaya dukung rendah dan merupakan lahan marginal, tidak dapat dikembangkan dengan pola teknologi intensif. Di samping itu investasi yang dibutuhkan relatif tinggi sehingga tidak dapat dijangkau kemampuan pembudidaya ekstensif (tradisional). Hal ini menjadi acuan untuk melakukan kegiatan penelitian Penelitian Budidaya Udang Vaname Ekstensif Plus Optimasi Kepadatan Bdidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Ekstensif Plus Kajian ini didapatkan bahwa kepadatan optimal budidaya udang vaname ekstensif plus adalah 8 ekor/m2 dengan sintasan dan produksi 60,97% dan 607,8 kg/ha. Sintasan dan produksi ini lebih
757
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
tinggi jika dibandingkan dengan kepadatan 6 ekor/m2 yaitu 52.44 % dan 426,7 kg/ha dan kepadatan 4 ekor/m2 yaitu 55,35% dan 328,9 kg/ha (Tabel 1). Darmono (1991) mengemukakan, padat penebaran udang tergantung pada jenis udang yang dipelihara dan ukuran benur pada saat ditebar. Penebaran yang terlalu rendah akan memberikan produksi yang rendah, meskipun ukuran setiap ekornya lebih besar. Sebaliknya penebaran yang terlalu tinggi akan mengakibatkan ukuran setiap ekornya menjadi kecil, meskipun produksinya meningkat. Selain itu tingkat kepadatan juga ditentukan pada kemampuan suatu wadah atau kolam dalam menampung sejumlah individu organisme yang dipelihara dan organisme tersebut dapat melangsungkan kehidupannya. Tabel 1. Pertumbuhan, sintasan, produksi dan rasio konversi pakan (RKP) budidaya udang vaname selama 100 hari pemeliharaan
Parameter 2
Luas petakan (m ) Kepadatan (ekor/m2) Waktu pemeliharaan (hari) Bobot awal (g/ekor) Bobot akhir (g/ekor) Sintasan (%) Produksi (kg/ptk) (kg/ha) RKP
A 900 4 100 0,001 16,24 55,35a 35,96a 328,9 2,49a
Perlakuan B 900 6 100 0,001 15,53 52,44a 48,18a 426,7 2,24a
C 900 8 100 0,001 14,37 60,97b 70,09b 607,8 1,79b
Average value in a column or row with the same superscript letter indicates not significantly different (P>0.05) Sumber: Hendradjat & Mangampa (2008)
Dibandingkan dengan budidaya udang vaname intensif kepadatan 50 ekor/m 2 (sebagai acuan) dengan benur dan waktu pemeliharaan yang sama memperlihatkan sintasan dan produksi jauh lebih tinggi yaitu 81,38% dan 6.080 kg/ha dengan bobot rata-rata: 14,94 g/ekor. Demikian pula rasio konversi pakan (RKP) masih cukup tinggi, walaupun pemberian pakan tambahan dilakukan setelah hari ke 70 pemeliharan. Hal ini disebabkan kurang akurat dalam mengestimasi populasi dan dosis pakan yang masih mengacu kepada prosentase dosis pakan budidaya udang vaname intensif, tanpa memperhitungkan keberadaan pakan alami Melihat sintasan dari beberapa tingkatan kepadatan pada ekstensif plus sampai dengan acuan budidaya udang intensif, ada kecenderungan makin tinggi padat penebaran, sintasan diperoleh semakin tinggi namun mempunyai batas toleransi kepadatan yang layak Optimasi Kepadatan Benur Vaname di Pentokolan Kajian ini menghasilkan padat tebar optimal benur vaname di pentokolan adalah 6.000 ekor/m 3 dengan sintasan 92,35%; tidak berbeda dengan padat tebar 4.000 ekor/m3 yaitu 93,17%% (Mangampa & Hendradjat, 2008). Sedangkan padat tebar 8.000 ekor/m 3 memperlihatkan sintasan yang relatif rendah yaitu: 82,73 (Tabel 2). Pentokolan ini menggunakan hapa 2 m x 3 m x 1 m, dengan waktu pentokolan 15 hari. Pembesaran dengan Umur (Ukuran) Tokolan yang Berbeda Kajian ini melihat performan tokolan dengan umur yang berbeda pada pembesaran di tambak, memperlihatkan bahwa tokolan yang berumur 15 hari (PL-27) yang dipelihara selama 90 hari, menghasilkan pertumbuhan mutlak, sintasan, produksi dan RKP (rasio konversi pakan) yang baik yaitu masing-masing: 14,24 g/ekor; 72,74%; 644,6 kg/ha; dan 1,06 (Mangampa et al., 2009). Sedangkan
Penelitian dan pengembangan budidaya udang vaname ..... (Markus Mangampa)
758
Tabel 2. Pertumbuhan (g/ekor) dan sintasan (%) benur vanamei yang ditokolkan selama 15 hari
Perlakuan kepadatan dalam hapa (ekor/m3)
Variabel
4000
6000
8000
Berat awal rata-rata (g/ekor)
0,001
0,001
0,001
Kepadatan (ekor/hapa)
19,2
28,8
38.4
Lama pemeliharaan (hr)
15
15
15
Berat akhir rata-rata (g/ekor)
0,109a
0,152a
0,134a
Survival rate (%)
93,17a
92,35a
82,73b
Average value in a column or row with the same superscript letter indicates not significantly different (P>.0.05) Sumber: Mangampa & Hendradjat (2008)
pembesaran dengan menggunakan benur tebar langsung (PL-12), pembesaran dengan tokolan berumur 30 hari (PL-42), dan pembesaran menggunakan tokolan berumur 45 hari atau PL-57 menghasilkan pertumbuhan mutlak, sintasan, produksi dan RKP yang relatif lebih rendah (Tabel 3). Tabel 3. Pertumbuhan (g/ekor), Sintasan (%), Produksi (kg), dan RKP selama 90 hari pemeliaraan di tambak
Perlakuan ukuran benur/Tokolan yang ditebar Variabel Luas petakan (m2/petak)
Benur (PL 12) 500
Padat tebar (ekor/petak)
3.000
3.000
3.000
3.000
Berat awal rata-rata (g/ekor)
0,009
0,14
0,41
0,77
Berat akhir rata-rata (g/ekor)
12,085 a
Tokolan 15 hari Tokolan 30 hari Tokolan 45 hari (PL27) (PL42) (PL 57) 500 500 500
14,88 b
14,35
13,94
b
13,17ab
Pertumbuhan mutlak (g/ekor)
12,076
Survival rate (%)
66,70a
72,09a
62,93a
50,89a
Produksi (kg/petak)
26,78a
32,23a
26,99a
21,22a
Rasio konversi pakan (RKP)
1,31a
1,06b
1,18ab
1,25ab
14,74
13,99
Average value in a column or row with the same superscript letter indicates not significantly different (P>.0.05) Sumber : Mangampa et al. (2009)
Laju pertumbuhan tercepat pada pembesaran dengan menggunakan tokolan 15 hari (PL27), setelah 1 bulan di pembesaran yaitu mencapai 0,244 g/hari, sehingga pada umur pemeliharaan 60 hari pertumbuhan sudah mencapai 12,62 g/ekor lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembesaran tebar benur PL-12 setelah 90 hari pemeliharaan yaitu 12,085 g/ekor (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan manfaat pentokolan pada udang windu bahwa dengan pentokolan (yang menghasilkan benih yang dibantut setelah dilepas di pembesaran akan bertumbuh pesat sehingga dapat mempersingkat waktu pemeliharaan di pembesaran (Mustafa & Mangampa, 1992). Sintasan yang tinggi memperlihatkan bahwa tokolan umur 15 hari merupakan batas ukuran atau belum mengalami stress dalam pengangkutan yang jauh (kurang lebih 3 jam). Hal ini juga tidak terlepas dari prinsip pentokolan yang merupakan suatu teknologi sistim hamparan yaitu usaha
759
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Gambar 1. Pertumbuhan udang vanamei di tambak pembesaran selama 90 hari pentokolan berada dalam satu hamparan budidaya (pembesaran). Demikian pula dengan RKP yang rendah memperlihatkan performan yang baik untuk tokolan berumur 15 hari di pembesaran. Pembesaran Menggunakan Tokolan Udang Vaname dari Wadah Tokolan yang Berbeda Penelitian ini dilakukan di tambak pembesaran selama 90 hari dengan menggunakan tokolan vaname dari wadah yang berbeda, memperlihatkan tokolan udang vaname yang berasal dari wadah bak terkontrol menghasilkan pertumbuhan, sintasan, produksi dan RKP relatif tinggi masing masing: 14,87±2,73 g/ekor; 60,56±8,57; 729,8 kg/ha; dan 1,43±0,21 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan tokolan dari hapa dan pembesaran menggunakan benur tebar langsung (Tabel 4). Walaupun sintasan dan produksi tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P> 0,05) antara ke-3 perlakuan. Laju pertumbuhan pada pembesaran menggunakan tokolan dari bak terkontrol mencapai 0,197 g/hari, dan relatif sama dengan pembesaran menggunakan tokolan dari hapa yaitu mencapai 0,187 g/hari, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penebaran benur PL-12 yaitu: Tabel 4. Pertumbuhan (g/ekor), Sintasan (%), Produksi (kg), dan RKP selama pemeliharaan di tambak
Perlakuan Variabel Luas petakan (m 2/petak)
500
500
Tokolan dari bak terkontrol 500
Padat tebar (ekor/petak)
4.000
4.000
4.000
Berat awal rata-rata (g/ekor)
0,004
0,224
0,09
Berat akhir rata-rata (g/ekor)
13,961±0,564 a
14,276±0,193 a
14,87±2,729 a
Pertumbuhan mutlak (g/ekor)
13,957±0,564 a
14,052±0,193 a
14,78±2,729 a
Survival rate (%)
44,72±2,348 a
56,51±4,412 a
60,56±8,570 a
Produksi (kg/petak)
24,946±0,301 a
32,284±2,957 a
36,491±11,708 a
Rasio Konversi Pakan (RKP)
1,685±0,021 a
1,490±0,028 a
1,425±0,212 a
Tebar benur (PL 12) Tokolan dari Hapa
Average value in a column or row with the same superscript letter indicates not significantly different (P>0,05) Sumber: Mangampa et al. (2010)
Penelitian dan pengembangan budidaya udang vaname ..... (Markus Mangampa)
760
Gambar 2. Pertumbuhan udang vaname setelah di tambak pembesaran 0,155 g/hari. Sehingga pada umur pemeliharaan 75 hari di tambak, pembesaran bobot rataan udang vaname yang menggunakan tokolan dari bak terkontrol dan tokolan dari hapa masing masing mencapai 14,87±2,729 dan 14,276±0,193 g/ekor lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan tebar benur PL-12 yaitu 13,961±0,564 setelah 90 hari di tambak pembesaran (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan manfaat pentokolan pada udang windu bahwa dengan pentokolan (yang menghasilkan benih yang dibantut) setelah dilepas di pembesaran akan bertumbuh pesat sehingga dapat mempersingkat waktu pemeliharaan di pembesaran (Mangampa & Mustafa, 1992). Berdasarkan Mangampa et al. (2009), bahwa penggunaan tokolan yang berumur 15 hari pada pembesaran udang vanamei tradisional plus di tambak selama 75 hari menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi yaitu: 14,74 g/ekor dibandingkan dengan penebaran benur langsung (PL-12) selama 90 hari yaitu: 12.085 g/ekor, sehingga waktu pemeliharaan di pembesaran lebih singkat Pengembangan Budidaya Udang Vaname Ekstensif Plus di Lahan Marginal Setelah kegagalan panen budidaya udang windu di tambak, akibat mewabahnya penyakit utamanya yang disebabkan oleh virus maka, banyak pembudidaya yang menelantarkan lahannya, utamanya pembudidaya pola intensif dengan pertimbangan ; Konstruksi lahan tidak dapat digunakan untuk budidaya udang pola ekstensif karena dibangun diatas pasang rata-rata (elevasi tinggi) Pemutusan daya energi listrik karena biaya beban yang tinggi Terbatasnya permodalan dan keinginana pembudidaya untuk mamanfaatkan lahan saat itu dengan teknologi intensif udang vaname menurun, karena biaya operasional yang tinggi (benur, pakan dan sarana lainnya). Sehubungan dengan hal ini pemerintah yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui program repitalisasi perikanan budidaya khususnya budidaya tambak udang mengaktifkan kembali tambak yang terlantar dan meningkatkan produksi tambak yang dikelolah secara ekstensif. Untuk mendukung program ini Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, melakukan kajian hasil riset melalui uji lapang/dempond budidaya udang vaname pola ekstensif plus, dengan tujuan membangun kembali kepercayaan pembudidaya untuk melakukan budidaya udang vaname, dan sekaligus mengharapkan perubahan pola pikir petambak ekstensif untuk meningkat produksi udang tambak. Kajian uji lapang budidaya udang vaname pola ekstensif plus dilakukan pada beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan antara lain; Kabupaten Barru (2006), Kabupaten Selayar (2007), dan oleh dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan di Kabupaten Maros (2009).
761
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
Uji Lapang Budidaya Udang Vaname Ekstensif Plus di Lahan Bekas Tambak Udang Windu Intensif di Kabupaten Barru Kajian pengembangan ini dilakukan di lahan yang terlantar bekas tambak tambak udang windu intensif, menggunakan 1 petak tambak berukuran 1,2 ha. Uji lapang ini mencoba memaksimalkan padat tebar budidaya udang vaname ekstensif plus dengan menggunakan kepadatan 10 ekor/m 2. Hasil yang diperoleh dari kajian ini relatif tinggi, namun keberlangsungan operasional budidaya bisa dipertahankan dengan menambahkan kincir rakitan untuk mensuplai oksigen pada bulan terakhir (Tabel 5). Dengan menambahkan alat mensuplai oksigen, berarti tidak sesuai dengan prinsip budidaya udang vaname ekstensif plus. Tabel 5. Pertumbuhan, sintasan, produksi, dan RKP (rasio konversi pakan) budidaya dang vaname ekstensif plus
Parameter - Luas petakan (ha) - Jumlah petakan (petak) - Waktu pemeliharaan (hari)
Kepadatan 10 ekor/m2 1,2 1 100
- Bobot awal (g/ekor)
0,128
- Bobot akhir (g/ekor)
11,02
- Sintasan (%)
96,14
- Produksi (Kg/petak) - RKP
1.260,8 1,329
Sumber : Mangampa (2007)
Produksi dan sintasan yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: Persiapan yang baik dalam pengolahan tanah dasar, pengeringan yang sempurna (redoks positif), pemberantasan hama yang efektif sehingga tidak ditemukan hama baik berupa ikan ikan penyaing maupun hama jembret (Mesopodopsis sp.) Pengendalian kandungan vibrio yang tinggi dalam tanah dasar: Hasil pemantauan vibrio dalam tanah tambak intensif yang terlantar cukup tinggi mencapai 103 cfu/mL. Persiapan air penebaran dengan pemupukan dan penggunaan probiotik; penumbuhan plankton berperan untuk mencegah goncangan kualitas air sedangkan penggunaan probiotik dilakukan 1 minggu sebelum penebaran dan susulan setiap minggu bertujuan untuk mengaktifkan bakteri pengurai dan juga memperbaiki kualitas air. Pemantauan kualitas benur (PCR); khususnya terhadap kontaminasi WSSV dan TSV. Pengamatam harian kualitas air harian dan periodik setiap 2 minggu Pengamatan pertumbuhan utuk melihat laju pertumbuhan dan penentuan dosis pakan. Pertumbuhan udang vaname pada kegiatan ini, relatif agak lambat yaitu bobot akhir rata rata 11,02 g/ekor selam 100 hari pemeliharaan. Pertumbuhan yang lambat ini disebabkan oleh: Pendugaan populasi udang vanamei setiap sampling relatif lebih rendah dari biomassa dalam tambak, sehingga jumlah pakan yang diberikan setiap hari kurang. Walaupun pengamatan pertumbuhan setiap sampling relatif tepat. Optimalnya pertumbuhan yang normal bagi budidaya udang vanamei kepadatan rendah selama 100 hari pemeliharaan adalah dengan kisaran bobot rata-rata > 13,0 g/ekor. Defisiensi oksigen terlarut (DO); walaupun penurunan kadar garam masih berlanjut sampai pada minggu pertama bulan ke-IV pemeliharaan mencapai kadar optimun, namun penurunan drastis
Penelitian dan pengembangan budidaya udang vaname ..... (Markus Mangampa)
762
oksigen terlarut pada pagi hari (04.00-06.00) berada pada kisaran yang kristis yaitu mencapai: 1,8 mg/L. Hal ini menyebabkan nafsu makan menurun. Kondisi yang demikian memerlukan pergantian air yang cukup banyak pada malam hari, sehingga kadar oksigen terlarut meningkat namun belum mencapai kadar yang optimal. Sehingga dilakukan perekayasaan terhadap pompa axial sebagai kincir rakitan untuk mensuplai oksigen. Prinsip budidaya udang ekstensif plus berarti teknologi tersebut masih menggunakan padat tebar rendah, tetapi sudah memerlukan pakan tambahan (pakan komersil), disamping pakan alami. dan sarana tambahan (pompa) yang masih sesuai kemampuan pembudidaya ekstensif baik untuk udang vaname maupun untuk udang windu. Hal ini menandakan bahwa kepadatan 10 ekor/m2 dengan SR yang tinggi (96,14%) cukup riskan untuk budidaya udang vannamei tradisional sehingga kepadatan optimum yang sesuai untuk budidaya ekstensif plus adalah < 10 ekor/m2, atau 8 ekor/m2 (Hendradjat & Mangampa, 2006) Uji Lapang Budidaya Udang Vaname Ekstensif Plus pada Lahan Terlantar di Kabupaten Selayar Kegiatan ini dilakukan di tambak pembudidaya Desa Bontobangun Kecamatan Bontoharu Kabupaten Selayar, menggunakan 2 petak tambak berukuran masing masing ± 1,0 ha. Informasi pemilik tambak bahwa lahan tersebut sudah 4 tahun tidak dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya (lahan terlantar). Uji lapang ini ditebar benih vaname dengan 2 jenis ukuran yaitu tebar lansung (PL12) dan benih tokolan ± 2 minggu (PL-30), dengan kepadatan masing masing 8 ekor/m2. Tujuannya adalah mensosialisasikan dan memperlihatkan kepada pembudidaya manfaat penggunaaan tokolan. Hasil kegiatan ini memperlihatkan produksi yang tinggi, utamanya tambak yang ditebar dengan menggunakan tokolan berumur 15 hari (Tabel 6). Tabel 6. Pertumbuhan, sintasan, produksi, dan RKP (rasio konversi pakan) budidaya udang vaname ekstensif plus
Petak A Tebar langsung (PL-12) 1,0
Petak B Tokolan (PL-30) 1,0
1
1
110
90
- Bobot awal (g/ekor)
0,002
0,175
- Bobot akhir (g/ekor)
12,6
13,7
- Sintasan (%)
100
100
1,008
1,1
1,5
1,4
Parameter - Luas petakan (ha) - Jumlah petakan (petak) - Waktu pemeliharaan (hari)
- Produksi (kg/ha) - RKP Sumber: Pantjara et al . (2009)
Kegiatan Budidaya Udang Vaname Ekstensif Plus Melalui Dempond Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Maros tahun 2008, pada lahan pembudidaya menggunakan 1 petak tambak dengan luasan 0,8 ha. Lokasi tergolong lahan marginal karena berdampingan dengan areal persawahan, sehingga pada waktu musim hujan memasuki bulan ketiga kegiatan ini banyak dialiri air hujan dari persawahan. Namun dengan penerapan hasil riset dan uji lapang dengan baik sehingga produksi dapat ditingkatkan. Sepanjang pemeliharan hanya mengandalkan suplai air sumber dari air pasang, tanpa menggunakan pompa Kegiatan ini telah mengaplikasikan probiotik sesuai SOP budidaya ekstensif plus, sehingga juga merupakan salah satu yang menunjang keberhasilan dempond ini. Produksi meningkat mencapai 850 kg/ha (680 kg/0,8 ha); sintasan 85,55%; dan pertumbuhan 12,42 g/ekor.
763
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015
KESIMPULAN Kajian riset budidaya udang vaname ekstensif plus yang diramu dalam kajian pengembangan yaitu uji lapang budidaya udang vaname ekstensif plus yang dilakukan dilahan terlantar milik pembudidaya ekstensif telah dapat meningkatkan produksi mencapai 850-1100 kg/ha, sintasan 85,55100%, dan pertumbuhan: 11,02-13,7 g/ekor. Uji lapang budidaya udang vaname ekstensif plus diharapkan dapat menunjang program repitalisasi perikanan budidaya, dengan mengaktifkan kembali lahan yang terlantar dan meningkatkan produktivitas tambak ekstensif. DAFTAR ACUAN Atmomarsono, M. (2009). Bagaimana Mengatasi Masalah Penyakit Pada Budidaya Udang Windu di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 25 Juli 2009. Darmono. (1991). Budidaya Udang Penaeus. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 22 pp. Hendrajat, E.A., & Mangampa. (2006). Budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) tradisional plus dengan kepadatan yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan UGM, Yogyakarta 27 Juli 2006, 9 hlm. Mangampa., M. (2007). Riset Budidaya udang vanamei (Litopeneus vannamei) pola tradisional plus dan penggunaan tokolan. Laporan teknis hasil penelitian 2007, 23 hlm. Mangampa, & Erfan, A.H. (2008). Optimalisasi padat tebar benih udang vanamei (Litopenaeus vannamei) pada pentokolan sistim hapa. Makalah Seminar Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) dan Pusat Riset Budidaya, BRKP. Denpasar 2008, 7 hlm. Mangampa, M., Tahe, S., & Suwoyo, H.S. (2009). Riset budidaya udang vanamei tradisional plus menggunakan benih tokolan dengan ukuran yang berbeda. Konferensi Masyarakat Akuakultur Indonesia 2009. MAI, Yogyakarta, 11 hlm. Mangampa, M., Tahe, S., & Suwoyo, H.S. (2010). Riset Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Tradisional Plus menggunakan Tokolan dengan Wadah Yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Kelautan VI Global warning Tantangan dan Peluang. Univ. Hang Tuah Surabaya, 22 April 2010, II, 367-379. Mustafa, A., & Mangampa, M. (1990). Usaha budidaya udang tambak menggunakan benur windu, Penaeus monodon yang berbeda lama pembantutannya. J. Penel. Budidaya Pantai, 6(2), 35-46. Pantjara, B., Rachmansyah, & Mangampa, M. (2009). Budidaya udang vanamei, L. vanammei dengan sistem tradisional plus di lahan petani, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Forum Inovasi Teknologi Akuakultur, Surabaya. Poernomo, A. (2002). Perkembangan udang putih vaname (Litopenaeus vannamei) di Jawa Timur. Disampaikan dalam Temu Bisnis Udang, Makassar,19 Oktober 2002, 26 hlm. Poernomo, A. (2004). Teknologi probiotik untuk mengatasi permasalah tambak udang dan lingkungan budidaya. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Pengembangan Ilmu dan Inovasi Teknologi dalam Budidaya, Semarang 27-29 Januari 2014, 24 hlm. Sugama, K. (2002). Satus budi daya udang introduksi Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris serta prospek pengembangan dalam tambak air tawar. Disampaikan dalam Temu Bisnis Udang, Makassar,19 Oktober 2002, 7 hlm.