4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Udang Mantis Harpiosquilla raphidea 2.1.1. Klasifikasi Kedudukan taksonomi udang mantis menurut Manning (1969) & Bliss (1982) in Ahyong et al. (2008) adalah sebagai berikut. Dunia
: Animalia
Filum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Hoplocarida
Ordo
: Stomatopoda
Subordo
: Unipeltata
Superfamili
: Squilloidea
Famili
: Harpiosquillidae
Genus
: Harpiosquilla
Spesies
: Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798) (Gambar 1)
Nama Umum : Mantis shrimp (Inggris) Nama lokal
: Udang ketak, ronggeng, belalang, kipas atau udang nenek
Gambar 1. Udang Mantis H. raphidea
5 2.1.2. Morfologi Secara morfologi udang mantis mempunyai garis hitam pada bagian belakang antara antena dan ophthalmic somite (Gambar 2). Karapas udang mantis hanya menutupi bagian belakang kepala dan tiga ruas pertama dari thorax. Udang mantis memiliki sepasang antena pertama atau sering disebut dengan antennulla yang tumbuh dan melekat dari labrum. Antennulla ini bercabang tiga pada ujungnya. Organ ini berfungsi sebagai organ sensori. Sedangkan antena kedua atau sering disebut antenna, tidak memiliki cabang pada ujungnya, juga berfungsi sebagai organ sensori (Wardiatno et al. 2009). Stomatopoda mempunyai mata bertangkai yang dapat bergerak naik turun oleh tangkainya yang fleksibel dan merupakan mata yang unik dan menarik, kemampuannya melebihi kemampuan mata manusia dan hewan lainnya (Cohen 2001 in Azmarina 2007). Mata Stomatopoda ini bersifat “trinocular vision” yang sangat akurat dalam melihat mangsanya meskipun dalam keadaan gelap (DBW 1998 in Azmarina 2007). Bagian mulut udang mantis terdiri dari mandible dan maxilla. Mandible berfungsi untuk menggiling makanan yang masuk. Maxilla berfungsi untuk memotong dan memamah makanan. Maxilla ini berbentuk seperti gigi-gigi tajam di luar mandible, yang terdiri dari maxilla I dan maxilla II (Wardiatno et al. 2009). Di bagian ekor udang mantis, terdapat telson dan uropoda yang berfungsi sebagai organ proteksi dan sebagai kemudi pada saat berenang. Udang mantis mempunyai warna tubuh yang cukup bervariasi, mulai dari warna kecoklatan hingga warna-warna terang tergantung habitat hidupnya. Udang mantis dapat mencapai ukuran panjang 30 cm (12 inci), walaupun dalam beberapa kasus dapat mencapai ukuran panjang 38 cm (Wardiatno et al. 2009). Maksiliped I berfungsi untuk menipu mangsanya. Maksiliped II atau yang dikenal dengan lengan penyerang atau lengan predator atau cakar, memiliki duriduri tajam pada dactylus yang dapat digunakan untuk memotong atau menyobek mangsanya. Pada H. raphidea terdapat 8 duri tajam pada dactylus. Maksiliped III, IV, dan V adalah kaki kecil yang berakhir dalam suatu bagian yang berbentuk oval pipih dan tajam yang disebut chelone. Chelone digunakan untuk membawa makanan
6 ke dalam mulut. Pereopod atau dikenal dengan kaki jalan, bentuknya langsing dan memanjang dengan jumlah 3 pasang (Wardiatno et al. 2009).
Antenulla
Antenna aANAAA AAa
Eyes
Head Maxiliped II
Carapace
Pereiopod 5 6 7
Thoracic Somites
8 1 2 3
Abdoment Abdominal Somites
4
Uropod
5 6
Tail
Telson
Gambar 2. Morfologi udang mantis H. raphidea dilihat dari bagian dorsal (Wardiatno et al. 2009)
7 2.1.3. Distribusi dan habitat Penyebaran udang mantis di Indonesia hampir sama dengan penyebaran udang penaeid. Wilayah penyebaran udang mantis di Indonesia meliputi perairan Selat Malaka, pantai timur dan barat Sumatera, Laut Jawa, serta selatan Jawa (Sumiono & Priyono 1998). Halomoan (1999) melaporkan bahwa di perairan Teluk Banten ditemukan udang mantis jenis Squilla harpax de Haan dengan panjang maksimum yang tertangkap adalah 31,9 cm; Azmarina (2007) melaporkan bahwa di perairan Bagansiapiapi ditemukan udang mantis jenis Harpiosquilla raphidea Fabricius; Ahyong dan Moosa (2004) dalam penelitiannya di Kepulauan Anambas, Natuna menemukan 12 spesies ordo Stomatopoda, diantaranya adalah Aerosquilla indica,
Carinosquilla
carinata,
Oratosquilla
perpensa,
dan
Oratosquilla
quinquedentata; sedangkan di perairan Sulawesi Utara ditemukan spesies baru udang mantis, yaitu Lysiosquilloides mapia (Erdmann & Boyer 2003 in Wardiatno et al. 2009). Menurut Haswell (1982) in Sumiono & Priyono (1998), udang mantis yang tersebar di daerah Indo-Pasifik terdiri dari enam genera, yaitu Squilla, Pseudosquilla, Lysiosquilla, Coronida, Odontodactylus, dan Gonodactylus. Di antara keenam genera tersebut, genera Squilla atau saat ini berubah menjadi Harpiosquilla adalah yang paling banyak dijumpai di perairan Indonesia. Menurut Manning (1969) in Halomoan (1999), Harpiosquilla terdapat di Indo-Pasifik Barat mulai dari Jepang, Australia sampai ke Pasifik meliputi Laut Merha, Afrika Selatan, dan Samudera Hindia. Daerah penyebarannya meliputi Jepang (Teluk Suruga dan Teluk Tanabe), Taiwan (Tungkang), Queensland (Semenanjung Flattery dan Teluk Tin Can), New South Wales (Teluk Jerusalem, Muara Sungai Hawk), Thailand (Tachalom dan Teluk Siam), Sri Langka (Teluk Palk), Madagaskar (Teluk Ambaro), Ethiopia (Teluk Arehico), Afrika Selatan (Teluk Richards), Laut Merah, dan Teluk Oman, sedagkan di Indonesia terdapat di Laut Jawa sampai Singapura. Habitat utama udang ini adalah dasar perairan berpasir dan berbatu. Menurut Manning (1969) in Halomoan (1999), genus Harpiosquilla hidup pada kedalaman 293 meter pada kawasan sublitoral di daerah Selat Malaka. Habitat hidupnya di dasar perairan, yaitu pasir berlumpur dan pasir halus. Habitat udang mantis yang dijumpai
8 di perairan Kuala Tungkal adalah dasar berlumpur dengan penyebaran pada daerah pasang surut sekitar muara Kuala Tungkal, menyebar ke kanan dan kiri muara sepanjang pantai. Kedalaman lumpurnya dapat mencapai 2 meter. Udang mantis akan membuat lubang dalam lumpur tersebut dengan diameter dan kedalaman lubang yang bervariasi tergantung ukuran udang mantis. Setiap lubang tersebut mempunyai dua mulut lubang, satu lubang untuk jalan masuk dan satu lubang lagi yang ukurannya lebih besar untuk jalan keluar. Setiap lubang hanya diisi oleh satu ekor udang mantis. 2.2. Aspek Biologi Reproduksi Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Tidak setiap individu mampu menghasilkan keturunan, tetapi setidaknya reproduksi akan berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup di permukaan bumi ini. Kegiatan reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda, tergantung kondisi lingkungan. Ada yang berlangsung setiap musim atau kondisi tertentu setiap tahun (Fujaya 2004). Waktu reproduksi pada biota air dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, salinitas, kandungan ion dalam air, arus, lama penyinaran, tersedianya sarang untuk menaruh telur, kelimpahan makanan, dan kondisi-kondisi sosial lainnya. Biota air yang hidup di daerah beriklim sedang (temperate) bereproduksi dengan bereaksi pada suhu dingin serta dalam hari yang pendek dan ada juga yang bereproduksi pada suhu panas serta dalam waktu sepanjang hari (Fujaya 2004). Penelitian mengenai reproduksi udang mantis belum banyak dilakukan di Indonesia, akan tetapi di Jepang, Hongkong, dan wilayah Amerika Selatan sering dilakukan seperti pada penelitian Hamano & Matsuura (1984) terhadap spesies Oratosquilla oratoria dan Wortham-Neal (2002) terhadap spesies Squilla empusa. Di Indonesia, penelitian tentang reproduksi udang mantis pernah dilakukan oleh Halomoan (1999) terhadap spesies Squilla harpax di perairan Teluk Banten. 2.2.1. Morfologi dan anatomi reproduksi Udang mantis mempunyai alat kelamin jantan yang terdapat pada pangkal kaki jalan ketiga berbentuk tonjolan kecil yang disebut petasma, sedangkan alat
9 kelamin betina pada tengah-tengah kaki jalan pertama berbentuk datar yang disebut thelicum (Wardiatno et al. 2009). Wortham-Neal (2002) menggunakan miksroskop SEM (Scanning Electron Microscopy) unruk mengamati struktur anatomi organ reproduksi S. empusa jantan dan betina.
Gambar 3. Anatomi organ reproduksi udang mantis S. empusa betina (Wortham-Neal 2002)
Udang mantis Squilla empusa betina memiliki tiga saluran yang terletak di kelenjar semen yang berkembang seiring dengan perkembangan gonad, dan perkembangan dibagi menjadi tiga tahap. Kelenjar semen akan mengalami perubahan warna dari transparan sampai putih susu seiring dengan makin bertambahnya kematangan gonad (Gambar 4) (Wortham-Neal 2002).
Gambar 4. Perkembangan kelenjar semen pada udang mantis S. empusa betina (Wortham-Neal 2002) Udang mantis S. empusa jantan memiliki sepasang penis (petasma). Ujung bagian dari setiap penis memiliki dua lubang, bagian yang satu merupakan bagian dari vas deferens yang berfungsi sebagai tempat penyaluran sperma dan sisanya berasal dari saluran kelenjar aksesori yang berisi bahan sperma untuk tempat cairan yang di keluarkan dari udang mantis betina (Gambar 5). Panjang kedua penis udang mantis jantan tidak simetris; penis kiri memiliki panjang yang jauh lebih besar
10 dibandingkan dengan penis kanan. Tempat penyimpanan cairan kelamin biasanya dapat berfungsi sebagai penyimpanan sperma jangka pendek, meskipun terkadang digunakan untuk penyimpanan jangka panjang.
Gambar 5. Anatomi organ reproduksi udang mantis S. empusa jantan (Wortham-Neal 2002)
Pengkajian hubungan antara panjang tubuh dengan panjang penis dapat dilakukan berdasarkan uji statistika non-parameter. Uji Wilcoxon telah digunakan untuk menjelaskan penis kiri dan kanan dari setiap individu memiliki panjang yang relatif sama dan proporsional. Analisis korelasi Spearman juga telah digunakan untuk menjelaskan bahwa ukuran tubuh dan ukuran penis memiliki hubungan, dimana penambahan panjang tubuh diirngi dengan penambahan panjang penis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penis kiri memiliki panjang yang lebih besar dibandingkan dengan penis kanan, namun keuntungan dari perbedaan panjang ini belum dapat diuji. Perbedaan panjang penis kanan dan kiri berada di antara bagian ujung penis dengan titik artikulasinya (Wortham-Neal 2002). Keragaman atau variasi morfologi reproduksi dapat mempengaruhi tekanan seleksi pada tingkah laku pematangan gonad udang mantis. S. empusa jantan mungkin tidak beruntung oleh penjagaan udang mantis betina dikarenakan antara periode molting dan produksi telur secara teratur cukup panjang dan tidak dapat
11 diprediksi. Strategi terbaik untuk menghasilkan reproduksi yang optimal dari perspektif udang mantis betina adalah melalui pencarian murni (pure-search). Startegi pure-search memperkirakan bahwa udang mantis jantan seharusnya matang gonad dengan seluruh tingkah laku yang diterima oleh udang mantis betina. Udang mantis jantan akan mentransfer material sperma melaui penis ke udang mantis betina kemudian sperma akan disimpan dalam saluran penyimpanan sperma dan terjadilah pembuahan secara internal. Strategi ini dari perspektif udang mantis jantan dapat menurunkan waktu penjagaan udang mantis betina yang matang gonad, kemudian udang mantis jantan akan meninggalkan betinanya untuk mencari udang mantis betina lain (Wickler & Seibt 1981). 2.2.2. Hubungan panjang-bobot Sebagian besar individu udang akan tumbuh sepanjang hidupnya sehingga pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi udang yang dipelajari secara intensif. Oleh karena itu, pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang menunjukkan kesehatan udang secara individu dan juga populasi. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan dalam ukuran, baik panjang maupun berat sepanjang waktu. Hubungan panjang dengan berat biota didasarkan hukum kubik, yaitu berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya dan disertai anggapan bentuk dan berat biota tetap sepanjang hidupnya. Namun hubungan yang terjadi tidak demikian karena bentuk dan berat biota berbeda-beda diakibatkan oleh banyak faktor. Berdasarkan hubungan panjang dan berat yang dinyatakan dalam rumus W = a L
b
maka pertumbuhan memiliki dua pola yaitu pertumbuhan isometrik dan allometrik. Pertumbuhan isometrik (b=3) berarti pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat sedangkan pertumbuhan allometrik (b≠3) berarti pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat. Pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik positif jika b>3 yang berarti pertambahan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang sedangkan pertumbuhan dinyatakan bersifat allometrik negatif jika b<3 yang berarti pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan berat. Nilai a dan b dari persamaan merupakan konstanta hasil regresi, sedangkan W adalah berat total biota dan L adalah panjang total biota (Effendie 2002). Untuk mendapatkan hubungan antara panjang dan berat biota
12 tersebut digunakan nilai koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi digunakan untuk mengukur sejauh mana titik-titik mengumpul di sekitar sebuah garis lurus. Jika nilai korelasi mendekati +1 atau -1, maka hubungan antara kedua peubah kuat dan terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya (Walpole 1993). 2.2.3. Tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad Perkembangan gonad sebelum dan sesudah udang memijah menggambarkan tingkat kematangan gonad. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi udang sebelum terjadi pemijahan. Selama itu, sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan udang-udang yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengetahuan kematangan gonad akan didapatkan juga keterangan tentang waktu udang akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah. Ukuran udang saat pertama kali matang gonad perlu diketahui karena ada hubungannya dengan pertumbuhan udang dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Effendie 2002). Setiap spesies udang pada saat pertama kali matang gonad tidak sama ukurannya. Demikian pula udang-udang yang sama spesiesnya. Jika udang-udang yang sama spesiesnnya tersebar pada lintang yang perbedaannya lebih dari lima derajat, maka akan terdapat perbedaan ukuran dan umur ketika mencapai kematangan gonad untuk pertama kalinya (Effendie 2002). Perkembangan kematangan gonad juga bisa dilihat secara histologi gonad. Pinheiro & Lins-Oliveira (2006) telah melakukan penelitian tentang perkembangan gonad pada udang Palinuridae spesies Panulirus echinatus (Gambar 4). Indeks kematangan gonad menyatakan perubahan yang terjadi dalam gonad. Indeks ini merupakan persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh udang. Perubahan IKG berkaitan erat dengan tahap perkembangan telur. Umumnya gonad akan semakin bertambah berat dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Pada udang betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan udang jantan. Berat gonad mencapai maksimum sesaat sebelum udang akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut (Effendie 2002). Perkembangan gonad merupakan tanda yang dipakai untuk melihat pola musim
13 dalam daur reproduksi udang yang dapat terlihat jelas ketika udang matang gonad, memijah, dan pulih kembali (Jennings et al. 2001).
(a)
(b) Gambar 6. Penampang histologi gonad udang Panulirus echinatus jantan (a) dan betina (b) (Pinheiro & Lins-Oliveira 2006)