4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Udang Mantis (Harpiosquilla raphidea) Udang mantis (Harpiosquilla raphidea) merupakan jenis udang yang bersifat sebagai predator. Pemberian nama udang mantis lebih didasarkan karena bentuk morfologinya yang menyerupai udang dan bentuk capit depannya seperti belalang sembah (praying mantis). Klasifikasi udang mantis menurut Lovett (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Hoplocarida
Ordo
: Stomatopoda
Famili
: Squillidae
Genus
: Harpiosquilla
Spesies
: Harpiosquilla raphidea
Udang adalah salah satu spesies yang termasuk ke dalam subfilum Crustacea pada kelas Malacostraca. Pada kelas Malacostraca ini meliputi spesies udang, rebon dan kepiting. Malacostraca mempunyai ruas tubuh yang tampak terlihat jelas, terdiri atas lima ruas kepala, delapan ruas toraks dan enam bagian abdomen (Suwignyo et al. 1998). Udang mantis hidup di wilayah dasar perairan. Udang mantis memiliki ciriciri ukuran rata-rata maksimum smatopod sekitar 20 cm, umumnya 12-18 cm. Memiliki sebuah garis gelap yang membentang disepanjang tepi posterior dari bagian toraks.
Karapas udang ini hanya menutupi sebagian kepala dan tiga
segmen pertama dari toraks. Jenis udang mantis memiliki varietas yang beraneka warna, mulai dari warna gelap, coklat hingga yang berwarna. Udang mantis memiliki 6-8 segmen abdomen dan mempunyai telson berwarna kuning yang ditandai dengan dua bintik-bintik cokelat gelap yang dikelilingi warna putih (Motoyama et al. 2008). Morfologi udang mantis dapat dilihat pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Morfologi udang mantis (Harpiosquilla raphidea) 2.2 Kandungan Gizi Udang Udang seperti komoditas perikanan lainnya, kaya akan kandungan gizi. Udang juga sama seperti jenis crustacea lainnya yang pada umumnya mengandung asthaxanthin, yaitu suatu jenis karotenoid yang berwarna merah muda atau merah.
Warna kebiruan pada udang segar dihasilkan oleh ikatan
asthaxantin dengan protein. Apabila terkena panas, ikatan protein tersebut akan putus sehingga menghasilkan warna merah kekuning-kuningan yang khas dari karotenoid bebas.
Komposisi kimia udang secara umum dapat dilihat pada
Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia udang (dalam 100 g) Komponen Air (g) Abu (g) Protein (g) Lemak (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Magnesium (mg) Kalium (mg) Natrium (mg) Seng (mg) Tembaga (mg) Sumber : USDA (2006)
Jumlah 65,69 1,33 17,77 0,92 33,15 2,63 28,90 154,70 190,40 1,33 0,16
6
2.3 Mineral Mineral merupakan salah satu komponen yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh.
Mineral berperan dalam berbagai tahap
metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim (Almatsier 2003). Berdasarkan kebutuhannya di dalam tubuh, mineral dapat digolongkan menjadi 2 kelompok utama yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang menyusun hampir 1% dari total berat badan manusia dan dibutuhkan dengan jumlah lebih dari 1000 mg/hari, sedangkan mineral mikro merupakan mineral yang dibutuhkan dengan jumlah kurang dari 100 mg/hari dan menyusun lebih kurang dari 0.01% dari total berat badan. Di dalam tubuh unsur mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Unsur mineral natrium, kalium, kalsium dan magnesium terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang cukup besar dan karenanya disebut unsur mineral makro. Unsur mineral lain seperti besi, tembaga dan seng hanya terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang kecil, karena itu disebut trace element atau mineral mikro (Winarno 2008) 2.3.1 Mineral makro Mineral makro diperlukan atau terdapat dalam jumlah relatif besar. Mineral makro dibutuhkan dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari. Kelompok mineral makro meliputi kalium, kalsium, magnesium, natrium, sulfur dan fosfor (Winarno 2008). Beberapa unsur mineral makro yang dibutuhkan oleh tubuh dijelaskan sebagai berikut : Kalsium (Ca) Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh. Sebagian besar kalsium terkonsentrasi dalam tulang rawan dan gigi, sisanya terdapat dalam cairan tubuh dan jaringan lunak.
Kalsium berfungsi dalam
pembentukan dan perkembangan tulang dan gigi. Kalsium juga merupakan salah satu faktor yang terpenting dan yang dibutuhkan dalam pembekuan darah. Kekurangan kalsium dapat menyebabkan osteoporosis, osteomalasia dan rickets, dimana tulang menjadi lunak karena matriksnya kekurangan kalsium. Penyakit yang biasa terjadi akibat kekurangan kalsium adalah osteoporosis atau penurunan masa tulang. Rickets adalah penyakit karena kekurangan kalsium yang berat pada
7
anak-anak, sedangkan osteomalasia adalah kekurangan kalsium yang berat pada orang dewasa (Winarno 2008). Pencegahan kekurangan kalsium dapat diupayakan dengan asupan gizi yang cukup bagi tubuh. Pada kondisi normal, tubuh dapat mengabsorpsi sebanyak 30% dari kalsium yang dikonsumsi. Sumber kalsium dapat diperoleh dari susu dan hasil olahannya, ikan, udang, kerang dan kepiting (Groff dan Gropper 1999). Penyerapan kalsium oleh tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor umur dan kondisi badan.
Anak-anak pada umumnya dapat
menyerap kalsium lebih besar daripada orang dewasa.
Faktor yang dapat
menghambat penyerapan kalsium adalah kurangnya vitamin D dalam bentuk aktif dan keberadaan serat karena dapat menurunkan absorpsi kalsium (Almatsier 2003). Faktor lainnya yang menghambat penyerapan kalsium adalah adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang bersifat tidak larut seperti asam oksalat dan asam fitat (Winarno 2008). Kalium (K) Kalium berperan dalam pengaturan kandungan cairan sel, dimana kalium bersama-sama dengan klorida membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa.
Kalium juga dapat membantu dalam mengaktivasi
reaksi enzim, seperti piruvat kinase yang dapat menghasilkan asam piruvat dalam proses metabolisme karbohidrat (Winarno 2008). Kalium yang dikonsumsi dalam jumlah besar mampu menurunkan tekanan darah sehingga dapat mencegah penyakit tekanan darah tinggi (Okuzumi dan Fujii 2000). Kekurangan kalium dapat terjadi karena kebanyakan kehilangan melalui saluran cerna atau ginjal.
Kehilangan melalui saluran cerna akibat muntah-
muntah, diare kronis atau kebanyakan menggunakan obat pencuci perut. Kehilangan melalui ginjal adalah akibat penggunaan obat-obat diuretik, terutama untuk pengobatan hipertensi. Kekurangan kalium akan mengakibatkan lemah, lesu, kehilangan nafsu dan kelumpuhan (Almatsier 2003). Angka kecukupan gizi dari kalium sehari-hari adalah sebesar 2000 mg. Sumber makanan yang dapat dijadikan sebagai sumber kalium adalah buahbuahan, susu, daging dan sayur-sayuran. Sebanyak 90% kalium yang dikonsumsi
8
dapat diabsorpsi oleh tubuh pada kondisi normal, sisanya akan diekskresikan melalui feses (Groff dan Gropper 1999). Natrium (Na) Natrium banyak terdapat dalam plasma darah dan cairan di luar sel (ekstraseluler), beberapa diantaranya terdapat dalam tulang. Natrium dan klorida umumnya berhubungan sangat baik sebagai bahan makanan maupun fugsinya dalam tubuh.
Sebagai bagian terbesar dari cairan ekstraseluler, natrium dan
klorida berfungsi membantu mempertahankan tekanan osmotik dan menjaga keseimbangan asam basa (Winarno 2008). Kekurangan natrium ditandai oleh rasa haus, yang disebabkan oleh berkurangnya cairan ekstraseluler sehingga tekanan osmotik dalam cairan tubuh akan menurun.
Kehilangan natrium dalam jumlah yang banyak akan
menyebabkan muntah-muntah atau diare, kejang dan kehilangan nafsu makan (Almatsier 2003). Kelebihan kadar natrium dapat menyebabkan hipertensi atau tekanan darah tinggi, yang banyak ditemukan pada masyarakat yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah yang banyak seperti masyarakat Asia. Hal ini disebabkan oleh pola kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan dengan kandungan natrium yang tinggi sekitar 7,6-8,2 gram per hari (Winarno 2008). Angka kecukupan gizi natrium adalah 500-2400 mg sehari.
Natrium dapat diperoleh dari makanan yang
menggunakan garam dapur, susu, telur, daging dan hasil laut (Almatsier 2003). Pada kondisi normal, sebanyak 95% dari natrium yang dikonsumsi dapat diserap oleh tubuh, sedangkan sisanya sekitar 5% diekskresikan dalam feses (Groff dan Gropper 1999). Magnesium (Mg) Magnesium merupakan aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang kerjanya memecah gugus fosfat. Magnesium diserap di usus kecil, dan diduga hanya sepertiga dari yang tercerna akan diserap. Karena sifat kelarutannya yang rendah, maka magnesium sulfat sering digunakan sebagai pencuci perut. Magnesium sulfat tersebut akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menarik
9
air ke dalam usus kecil, akibatnya akan memudahkan dalam buang air besar (Winarno 2008). Kekurangan magnesium terjadi apabila kekurangan konsumsi protein dan energi.
Kekurangan magnesium akan menyebabkan kurang nafsu makan,
gangguan dalam pertumbuhan, koma, gagal jantung dan hipomagnesema dengan gejala denyut jantung tidak teratur, insomnia, lemah otot, kejang kaki, serta telapak tangan dan kaki gemetar (Almatsier 2003). Angka kecukupan gizi rata-rata magnesium bagi bayi umur 0-12 bulan adalah 25-55 mg/hari, anak-anak umur 1-9 tahun sebesar 60-120 mg/hari, laki-laki dan wanita umur 10-18 tahun sebesar 170-270 mg/hari, serta di atas 19-65 tahun adalah 270-300 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Sekitar 30-65% magnesium dapat diserap oleh tubuh pada kondisi normal. Penyerapan magnesium akan menjadi efisien apabila tubuh berada dalam kondisi kekurangan magnesium (Groff dan Gropper 1999). 2.3.2 Mineral mikro Mineral mikro adalah mineral yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan dengan konsentrasi sangat kecil. Mineral mikro dibutuhkan dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari. Kelompok mineral mikro antara lain besi, iodium, seng, mangan, kobalt, fluor dan tembaga (Winarno 2008). Beberapa unsur mineral mikro yang dibutuhkan oleh tubuh dijelaskan sebagai berikut : Besi (Fe) Besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Besi yang berada dalam tubuh berasal tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam badan, dan besi yang diserap dari saluran pencernaan. Dari ketiga sumber tersebut, besi hasil hemolisis merupakan sumber utama. Pada manusia normal sekitar 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Winarno 2008). Kekurangan besi dapat menyebabkan anemia, yaitu jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang dibawa ke jaringan
10
juga menurun. hilang
jika
Besi tidak rusak oleh pemanasan, tetapi sejumlah kecil akan air
masakan
atau
kaldu
daging
yang
dimasak
dibuang
(Gaman dan Sherrington 1992). Kebutuhan zat besi dapat diperoleh dengan cara mengkonsumsi makanan yang berasal dari kacang-kacangan, hati, daging, kuning telur, sayuran hijau dan hasil perikanan (Winarno 2008). Sekitar 15% zat besi yang
dikonsumsi
oleh
tubuh
pada
kondisi
normal
dapat
diabsorpsi,
sedangkan pada kondisi kekurangan zat besi tubuh dapat mengabsorpsi hingga 35% (Groff dan Gropper 1999). Tembaga (Cu) Tembaga memiliki peran dalam beberapa kegiatan enzim pernafasan sebagai kofaktor bagi enzim tirosinase dan sitokrom oksidase. Tembaga juga diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda (Winarno 2008). Walaupun dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit, bila kelebihan dapat mengganggu kesehatan atau mengakibatkan keracunan.
Namun bila terjadi
kekurangan tembaga dapat menyebabkan anemia, pertumbuhan terhambat, kerusakan tulang, depigmentasi rambut dan bulu, pertumbuhan bulu abnormal, dan gangguan gastrointestinal (Arifin 2008). Kekurangan tembaga banyak terjadi pada bayi usia 6-9 bulan, khususnya pada bayi yang mengalami kekurangan kalori protein (KKP). Bayi tersebut akan mengalami leukopenia atau kekurangan sel darah putih serta demineralisasi tulang (Winarno 2008). Hal ini dapat disembuhkan dengan pemberian tembaga. Angka kecukupan gizi tembaga yang aman untuk dikonsumsi dalam sehari adalah 1,5-3 mg.
sumber makanan utam yang mengandung tembaga adalah tiram,
kerang, hati, ginjal, unggas dan coklat (Almatsier 2003). Seng (Zn) Seng merupakan komponen penting dalam enzim, seperti karbonik-anhidrase dalam sel darah merah serta karboksi peptidase dan dehidrogenase dalam hati. Sebagai kofaktor, seng dapat meningkatkan aktivitas enzim (Winarno 2008). Seng dalam protein nabati kurang tersedia dan lebih sulit digunakan tubuh daripada seng dalam protein hewani. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya asam fitat yang mampu mengikat ion-ion logam (Arifin 2008).
11
Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng dapat mengakibatkan terjadinya diare, gangguan sistem saraf, sistem otak dan gangguan pada fungsi kekebalan (Almatsier 2003).
Angka kecukupan gizi rata-rata seng bagi bayi
umur 0-12 bulan adalah 1,3-7,5 mg/hari, anak-anak umur 1-9 tahun sebesar 8,2-11,2 mg/hari, serta laki-laki dan wanita umur 10-18 tahun sebesar 12,6-17,4 mg/hari, sedangkan diatas 19-65 tahun adalah 9,3-13,4 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Meskipun seng terdapat pada berbagai bahan pangan, namun yang merupakan sumber utama adalah daging, unggas, ikan laut, telur, keju, susu, serta kacangkacangan.
Seng didalam daging dan ikan lebih tinggi ketersediaannya
dibandingkan dengan seng didalam sayuran (Winarno 2008).
2.4 Kelarutan Mineral Mineral akan bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan yang dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable. Mineral dalam fungsi pemanfaatannya oleh tubuh diperlukan dalam kondisi mineral terlarut. Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan mineral di dalam tubuh (Newman dan Jagoe 1994). Daya serap mineral dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keberadaan dari faktor pendorong dan faktor penghambat.
Faktor pendorong dari daya larut
mineral dapat memecah dan mereduksi molekul-molekul mineral tersebut menjadi bentuk yang memudahkan untuk diserap oleh tubuh.
Faktor yang menjadi
pendorong tersebut adalah suhu dan kondisi pH asam (Sediaoetama 1993). Faktor penghambat terjadi karena molekul-molekul mineral akan diikat dan membentuk senyawa yang tidak larut sehingga menyulitkan dalam hal penyerapan oleh tubuh. Faktor penghambat tersebut seperti kondisi pH basa, keberadaan serat dan asam fitat (Newman dan Jagoe 1994). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketersediaan mineral terlarut adalah interaksi antara mineral yang satu dengan mineral lainnya dan keberadaan vitamin.
Interaksi antara serat dengan mineral juga akan mempengaruhi
12
ketersediaan mineral. Asam fitat dalam serat kacang-kacangan dan serelia, asam oksalat dalam bayam mengikat mineral-mineral tertentu sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2003). Penggunaan asam sebagai media pelarut pada perebusan juga memberikan pengaruh terhadap kelarutan Ca dan Zn. Hal ini diduga bahwa pada kondisi asam dan suhu tinggi menyebabkan mineral yang asalnya berbentuk kompleks (berikatan dengan komponen lain) berubah menjadi bentuk sederhana (ion) sehingga akan meningkatkan kelarutannya. Dalam hal ini asam asetat bertindak sebagai enhancher yaitu molekul atau senyawa yang mempengaruhi bentuk mineral sehingga bersifat larut dan selanjutnya dapat diabsorpsi oleh mukosa sel usus (Suzuki et al. 1992). Santoso et al. (2006) melaporkan bahwa pH dapat mempengaruhi kelarutan mineral.
Penggunaan asam asetat 0.5% dapat
meningkatkan kelarutan mineral Ca dan Mg pada beberapa jenis rumput laut.
2.5 Pengaruh Perebusan terhadap Kelarutan Mineral Pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Pengolahan dapat menghasilkan produk pangan dengan sifat-sifat yang diinginkan yaitu aman, bergizi, dan dapat diterima dengan baik secara sensori maupun kimia. Pengolahan juga dapat menimbulkan hal yang sebaliknya seperti kehilangan zat-zat gizi dan perubahan sifat sensori ke arah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa yang kurang atau tidak disukai (Apriyantono 2002). Pengolahan pangan bertujuan untuk mendapatkan bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi sehingga nilai gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Metode pengolahan pangan yang paling banyak dilakukan adalah pemanasan, salah satu dari proses pemanasan tersebut adalah perebusan.
Perebusan adalah cara memasak makanan dalam
cairan yang sedang mendidih (suhu 100 ÂșC) (Widyati 2004).
Perebusan
merupakan cara termudah dan termurah untuk memproses produk lanjutan. Perebusan juga bertujuan untuk menghentikan aktivitas enzim.
13
Pemanasan air dalam proses perebusan akan meningkatkan daya kelarutan mineral pada suatu bahan.
Pemanasan dapat mengurangi daya tarik menarik
antara molekul-molekul air dan akan memberikan cukup energi kepada molekulmolekul air tersebut sehingga dapat mengatasi daya tarik menarik antar molekul dalam bahan tersebut. Karena itu daya kelarutan pada bahan yang melibatkan ikatan hidrogen, akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Winarno 2008). Penggunaan asam dalam proses perebusan dapat mengurangi resiko pengurangan kandungan zat gizi.
Reaksi asam pada saat perebusan bersifat
melindungi dan mengurangi terjadinya kerusakan sampai dengan 50%. Hal ini disebabkan oleh banyaknya zat gizi yang lebih stabil dalam kondisi asam. Perebusan dengan basa, seperti penambahan soda kue dapat merusak kondisi zat gizi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya zat gizi yang bersifat kurang stabil dan mudah mengalami degradasi kimiawi, sehingga kehilangan aktivitas biologisnya (Sediaoetama 1993).