2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumberdaya Ikan Tembang 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi Klasifikasi ikan Tembang (Gambar 1) menurut www.fishbase.org (2012) adalah sebagai berikut : Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Clupeiformes
Famili
: Cluipeidae
Subfamili
: Clupeinae
Genus
: Sardinella
Spesies
: Sardinella fimbriata, Valenciennes (1847)
Nama inggris : Fringescale sardinella
Gambar 1 : Ikan Tembang (Sardinella fimbriata)
Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) memiliki bentuk badan yang memanjang dan pipih. Lengkung kepala bagian atas sampai di atas mata agak hampir lurus dan setelah mata sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Tinggi badan lebih besar dari pada panjang kepala. Mata tertutup oleh kelopak mata. Awal dasar sirip punggung sebelum pertengahan badan. Dasar sirip dubur sama panjang dengan dasar sirip punggung. Kepala dan badan bagian atas hijau kebiruan, sedangkan bagian bawah putih keperakan. Sirip-sirip berwarna keputihan. Sirip punggung (dorsal) mempunyai 18 jari-jari lemah, sirip dada
5
(pectoral) mempunyai 15 jari-jari lemah, sirip dubur (anal) memiliki 18 jari-jari lemah dan sirip perut (ventral) memiliki 8 jari-jari lemah (Lelono et al., 1998 in Bintoro 2005) Bentuk badan fusiform, pipih dengan sisik duri di bagian bawah badan, awal sirip punggung sebelum pertengahan badan dan berjari-jari lemah 17-20, dasar sirip dubur pendek dan jauh di belakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16-19, tapisan insang halus, berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah, pemakan plankton. Beberapa dari jenis Sardinella ada yang hampir menyerupai satu sama lainnya, tapi ada yang mempunyai beberapa perbedaan morfologis, yang menandakan bahwa ikan itu berbeda spesiesnya (Dwiponggo 1982).
2.1.2. Penyebaran dan tingkah laku ikan Ikan tembang adalah ikan permukaan yang hidup di perairan pantai serta suka bergerombol pada area yang luas sehingga sering tertangkap bersama ikan lemuru sampai pada kedalaman sekitar 200 meter (Nybakken 1988). Ikan ini sering disalah artikan sebagai spesies lain yaitu S. gibossa dan S. albella karena bentuk nya yang sangat mirip. Ikan tembang biasanya hidup pada kisaran 0-30 m. Panjang tubuh ikan tembang mencapai 13 cm. Telur dan larva ikan tembang ditemukan di sekitar perairan mangrove atau bakau. Menurut Pradini (1998) in Rosita (2007) ikan tembang seperti ikan clupeid lainnya yang memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Menurut Robiyanto (2006) makanan utama ikan tembang di ujung pangkah pada bulan Juli – Desember adalah Bacillariophieae, makanan pelengkap terdiri dari kelompok Crustacea, serta makanan tambahan berupa Cilliata dan Dinophyceae. Dari jenis tersebut maka ikan tembang tergolong omnivora cenderung herbivora. Menurut Hanson in Pratiwi (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran suatu jenis ikan diantaranya adalah kompetisi antar spesies dan intra spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi, ketersediaan makanan, arus air, dan angin. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bakun Md (1980); Laevastu & Hayes (1981) in Mandelssohn R & Curry P (1989). Ikan yang berada didaerah tropik akan melakukan ruaya dengan atau tanpa adanya persiapan. Seperti halnya pada saat mencari makan maka ikan akan beruaya dengan adanya persiapan, namun
6
apabila keadaan perairan disekitarnya berubah secara mendadak ( masuknya pollutant ) maka tidak ada kesempatan bagi ikan untuk melakukan persiapan. Demikian juga kalau di pantai yang terjadi angin ribut , maka ikan akan berenang ketengah untuk menghindarinya. Pergerakan ruaya ikan ke daerah pemijahan mengandung
tujuan
penyesuaian
dan
peyakinan
tempat
yang
paling
menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva ikan. Ikan Sardinella aurita betina yang sudah dewasa ditemukan hampir setiap tahun di pantai Afrika Barat dari Mediterania ke Cape Frio. Pada saat pemijahan ikan Sardinella akan berada pada Continental Shelf , kemudian larva akan hanyut ke pantai yang lebih dangkal (Troadec & Garcia 1980 in Brainerd TR 1991). Penyebaran ikan tembang meliputi perairan Indonesia sampai ke utara Taiwan, ke selatan sampai ke ujung utara Australia dan ke barat sampai Laut Merah. Penyebaran di Indonesia meliputi Laut Jawa, Sulawesi Selatan, Selat Malaka, dan Laut Arafura (www.kkp.go.id).
2.2. Alat Tangkap Ikan Tembang Ikan tembang (S. fimbriata) termasuk ke dalam jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap seperti purse seine, gillnet, payang, bagan dan jaring insang hanyut. Menurut Aziz (1989) in Monintja et al. (1994), alat penangkap ikan yang termasuk selektif adalah gillnet, ukuran ikan yang tertangkap akan memiliki nilai maksimum pada beberapa ukuran ikan optimum dan menurun untuk ukuran yang lebih besar maupun lebih kecil dari ukuran tersebut. Selektivitas gillnet dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu yang pertama adalah dengan cara membandingkan hasil tangkapannya terhadap alat penangkapan lain yang tidak selektif (trawl) yang sudah diketahui selektivitasnya. Cara kedua adalah dengan membandingkan hasil tangkapan dari dua atau lebih gillnet dengan ukuran mata jaring yang berbeda. Rousenfell (1975) in Monintja et al. (1994), menyatakan gillnet tidak efektif dioperasikan apabila ikan dapat melihat jaring, sehingga sebagian besar gillnet dioperasikan pada malam hari, terutama jenis drift gillnet. Gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai ukuran mata jaring sama pada seluruh badan jaring, dimana lebar jaring lebih pendek dari panjangnya. Pemilihan
7
ukuran mata jaring merupakan faktor yang penting dalam pengoperasian gillnet karena besarnya ukuran mata jaring akan mempengaruhi ukuran ikan yang tertangkap secara terjerat. Terdapat kecenderungan bahwa ukuran mata jaring tertentu hanya menjerat ikan-ikan yang mempunyai kisaran ukuran fork length tertentu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ukuran mata jaring 1,75 inch; 2,0 inch; dan 2,25 inch dengan panjang ikan tembang yang tertangkap adalah antara 9 cm hingga 14 cm (Monintja et al. 1994).
2.3. Pola Musim Penangkapan Informasi yang tepat diperlukan untuk melakukan operasi penangkapan yang efisien
seperti informasi mengenai musim penangkapan yang baik. Informasi
mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu yang tepat dalam pelaksaan operasi penangkapan (Dajan 1984 in Bahdad 2006). Penggunaan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average) dapat dilakukan untuk perhitungan operasi penangkapan menggunakan data hasil penangkapan seperti hal nya data lainnya yang bersifat musiman. Pendekatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan variasi musiman, residu, dan adakalanya sebagian dari variasi siklus agar diperoleh trend yang bercampur dengan siklus. Variasi musim adalah fluktuasi-fluktuasi di sekitar trend yang berulang secara teratur tiap tahun, residu merupakan jenis fluktuasi yang disebabkan oleh faktor-faktor random. Trend (kecenderungan) menggambarkan gerakan deret berkala secara rata-rata dan variasi siklus adalah variasi deret berkala yang meliputi periode setahun lebih, dengan lama dan amplitudo siklus tidak pernah sama. Nilai trend bercampur siklus ini akan digunakan sebagai pembagi deret berkala asal untuk memperoleh data berkala yang bebas dari trend dan siklus. Variasi musim murni diperoleh dengan cara merata-ratakan deret berkala yang bebas dari trend dan siklus. Metode rata-rata bergerak (moving average) memiliki keuntungan yaitu dapat mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapat menetukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan dan kecenderungan yang biasa terdapat pada metode deret waktu dapat dihilangkan. Kerugian dari metode rata-rata bergerak
8
(moving average) adalah tidak dapat menghitung pola musim penangkapan sampai tahun terakhir data (Bahdad 2006).
2.4. Tangkapan per Satuan Upaya Tangkapan per satuan upaya (TPSU) merupakan jumlah atau bobot hasil tangkapan yang diperoleh dari satuan alat tangkap atau dalam waktu tertentu, yang merupakan indeks kelimpahan suatu stok ikan (UU No. 45 tahun 2009). TPSU dapat dipengaruhi oleh satuan waktu, besarnya stok, kegiatan penangkapan, dan kondisi lingkungan di daerah penangkapan ikan. Apabila satuan waktu yang digunakan adalah tahun, perubahan kondisi lingkungan perairan dalam satu tahun tertentu memiliki kecenderungan pola yang sama pada tahun-tahun berikutnya (DKP DKI Jakarta 2005 in Damayanti 2007).
2.5. Bioekonomi Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh seorang ekonom dari Kanada yaitu Scott Gordon. Gordon pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisa pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal, dengan menggunakan basis biologi yang sebelumnya diperkenalkan oleh Schaefer seorang biolog sehingga kemudian dikenal dengan istilah pendekatan bioekonomi atau model Gordon Schaefer. Model Gordon Schaefer ini dibangun dari model produksi surplus yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Pada model produksi surplus pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistik dimana perubahan stok ikan tergantung dari pertumbuhan alamiah (r), stok ikan (x), dan daya dukung lingkungan (k). Pendekatan bioekonomi Gordon Schaefer merupakan pendekatan sederhana dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang bertujuan untuk melihat aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya ikan, yaitu berapa tingkat input (jumlah kapal, GT, trip, dan sebagainya) yang harus dikendalikan untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang maksimum ( Fauzi 2010). Didalam akses tidak terbatas, net benefit atau rente ekonomi perikanan adalah positif ketika tingkat upaya aktual kurang dari tingkat upaya open
9
access dan menjadi nol ketika biaya total sama dengan penerimaan total. Daerah dibawah kurva penerimaan total dan diatas kurva biaya total menggambarkan rente ekonomi yang mana akan maksimal pada kondisi MEY dan berkaitan dengan tingkat upaya MEY, dimana perbedaan antara kurva penerimaan total dan biaya total paling besar. Posisi kurva biaya total adalah tergantung dari perubahan tingkat MEY dan open access ( Seijo et al. 1998 in 2.6. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Dalam Undang–undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dijelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan Hasanuddin 2005). adalah semua upaya yang dilakukan bertujuan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan secara optimal dan terus menerus. Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara, yaitu : 1.
Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.
2.
Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.
3.
Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciriciri, sifat dan bentuk kehidupan.
4.
Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab. Sutono (2003) menyebutkan beberapa pendekatan pengelolaan sumberdaya
perikanan, yaitu : 1.
Pendekatan dengan pengaturan musim penangkapan Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim
penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda dan baru kemudian menjadi ikan dewasa. Bila salah satu dari siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan ikan.
10
Pengaturan musim penangkapan ikan dapat efektif pada negara – negara yang sistem hukumnya dilaksanakan dengan ketat. Bila penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan, maka pengaturan musim penangkapan ikan tidak dapat efektif, karena tentu terjadi banyak pelanggaran. Dalam pengaturan musim penangkapan ikan juga perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya, serta bagaimana reproduksinya. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui antara musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Misalnya, bila terhadap suatu jenis ikan dilarang untuk ditangkap pada waktu tertentu, maka nelayan dapat menangkap jenis lain pada waktu yang sama. 2.
Pendekatan dengan penutupan daerah penangkapan Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberi kesempatan
pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang kembali sehingga stoknya dapat bertambah. Guna menentukan suatu daerah penangkapan ditetapkan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut, dimana dan kapan terdapatnya, serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan daerah penangkapan. Penutupan daerah penangkapan juga dapat dilakukan terhadap daerah–daerah yang merupakan habitat vital, seperti daerah hutan bakau dan daerah terumbu karang. Seperti diketahui bahwa daerah vital tersebut merupakan daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground). Penutupan daerah penangkapan untuk daerah vital dimaksudkan agar telur–telur ikan, larva dan ikan yang masih kecil dapat tumbuh menjadi ikan dewasa. Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan, diperlukan pengawasan yang ketat oleh pihak aparat. Demikian pula halnya dengan peraturan yang ada, perlu ditetapkan peraturan yang bersifat represif. Upaya ini dilakukan demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan jenis tertentu yang mengalami ancaman kepunahan. 3.
Pendekatan dengan selektifitas alat tangkap Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas
alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur atau
11
struktur ukuran ikan dalam suatu stok pada suatu daerah. Selektifitas alat tangkap dilakukan untuk menyeleksi ikan yang akan ditangkap. Dengan demikian hanya ikan–ikan yang telah mencapai ukuran tertentu saja yang ditangkap. Sementara ikan–ikan yang lebih kecil tidak tertangkap, sehingga dapat memberi kesempatan bagi ikan–ikan kecil untuk tumbuh menjadi besar. Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap ialah : a.
Penentuan ukuran minimum mata jaring (mesh size) pada alat tangkap gill net, purse seine dan alat tangkap tarik, misalnya payang, pukat dan sebagainya.
b.
Penentuan ukuran mata pancing pada longline.
c.
Penentuan lebar bukaan pada alat tangkap perangkap
Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat tangkap ini, peran nelayan sangat penting. Pengetahuan dan kesadaran nelayan akan
pentingnya
pelestarian
sumberdaya
ikan
merupakan
faktor
utama
keberhasilan kebijakan pengelolaan ini. Kendala pelaksanaan kebijakan dengan selektifitas alat tangkap yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk memodifikasi alat tangkap yang sudah ada. Sehingga peran nelayan untuk memodifikasi alat tangkapnya sangat diharapkan sesuai dengan keadaan lokasi penangkapannya. 4.
Pendekatan dengan pelarangan alat tangkap Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap
didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat berbahaya dalam menangkap ikan baik bagi ekosistem perairan maupun berbahaya bagi yang menggunakan, misalnya penggunaan racun ikan dan bahan peledak (bom ikan). Tujuan dari pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini adalah melindungi sumberdaya ikan dan ekosistem yang ada yang bermanfaat bagi kehidupan biota air. Sebagai contoh penggunaan racun ikan, selain menyebabkan kematian ikan sasaran, juga menyebabkan kematian pada ikan–ikan yang masih kecil dan telur ikan. Penggunaan bahan peledak dapat menyebabkan kerusakan habitat ikan dan kematian biota air lainnya yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Seringkali pelanggaran terhadap peraturan pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan pelanggaran penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya
12
perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung pada penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat. Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini, kepedulian nelayan dan masyarakat pesisir menjadi faktor yang sangat penting. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam pelaksanaannya sangat membantu aparat untuk menindak secara tegas pelanggaran yang terjadi. 5.
Pendekatan dengan kuota penangkapan Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan
adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowable Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada industri atau perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan pada suatu perairan di wilayah negara Indonesia.Untuk menjaga kelestarian sumberdaya suatu jenis ikan, maka nilai TAC harus di bawah Maximum Sustainable Yield (MSY)–nya. Sehingga sebelum nilai TAC ditentukan, perlu diketahui terlebih dahulu nilai MSY – nya. Implementasi dari kuota penangkapan dengan TAC ialah, (1) penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas suatu jenis ikan di perairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai secara total mencapai TAC yang ditentukan, bila telah tercapai TAC, maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama; (2) membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan atas dasar keadilan, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial akibat perbedaan pendapatan nelayan; (3) dengan membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui. 6.
Pendekatan dengan pengendalian upaya penangkapan Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya
penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada, maupun jumlah trip penangkapan. Untuk menentukan batas upaya penangkapan diperlukan data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan dan jumlah upaya penangkapannya di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif adalah dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan.
13
Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik, dengan salah satu upaya dalam suatu pengelolaan adalah monitoring sehingga kondisi sumberdaya dapat terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikananan adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Menurut Widodo & Suadi (2006) secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial dimana tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Beberapa contoh yang termasuk dalam setiap kelompok tujuan meliputi : •
Menjaga spesies target berada ditingkat atau diatas tingkat yang diperlukan untuk menjamin produktivitas yang berkelanjutan.
•
Meminimalkan berbagai dampak penangkapan atas lingkungan fisik dan non target (by catch)
•
Mamaksimalkan pendapatan bersih bagi nelayan yang terlibat dalam perikanan (tujuan ekonomi)
•
Memaksimumkan kesempatan kerja bagi mereka yang tergantung pada perikanan bagi kelangsunga hidup mereka (tujuan sosial) Widodo & Suadi (2006) juga menyatakan bahwa pengelolaan perikanan
dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya : 1) Pengaturan ukuran mata jaring 2) Pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan atau dipasarkan 3) Kontrol terhadap musim penangkapan ikan 4) Kontrol terhadap daerah penangkapan ikan 5) Pengaturan terhadap alat tangkap serta kelengkapannya 6) Perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati 7) Pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila memungkinkan per lokasi atau wilayah 8) Setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya dalam wilayah tertentu.