11
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Indonesia sudah
dilakukan sejak lama oleh masyarakat dan pemerintah. Sampai saat ini, hasil perikanan dari kegiatan penangkapan khususnya dari laut masih menjadi sumber produksi utama. Pengelolaan perikanan yang baik dan bertanggungjawab terutama perikanan tangkap haruslah benar-benar memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan di wilayah perairan Indonesia, bahkan Purwanto (2003), secara eksplisit mengungkapkan apabila sumberdaya ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia dimanfaatkan secara benar dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya dukungnya, sumberdaya tersebut akan dapat menghasilkan produksi maksimum lestari sekitar 6,4 juta ton per tahun. Selain itu masyarakat Indonesia juga memiliki peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high sea). Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, kelestarian sumberdaya ikan akan terancam dan produksinya akan menurun. Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut dimasa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni (IPTEKS). Tetapi dengan pemanfaatan IPTEKS itu pula diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonomi (Barus, 1991). Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan dan nyaris hilang dari perairan Indonesia (Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman ini diperkirakan akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah penangkapan
12
armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Peningkatan jumlah penduduk dunia menyebabkan peningkatan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik. Peningkatan ikan terus meningkat dari tahun ketahun. Asia, selain sebagai produsen ikan terbesar, diperkirakan juga menjadi konsumen terbesar dari hasil perikanan dunia. Perhatian utama dalam perikanan berkelanjutan adalah penekanan pada penangkapan ikan yang melebihi batas optimum lestari yang menyebabkan over fishing, membatasi penangkapan ikan yang merusak ekosistem lingkungan dengan memanfaatkan hukum dan kebijakan yang berlaku serta pengaturan kawasan lindung untuk pemulihan daerah yang sudah mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Charles (2001) menyatakan proses pembangunan perikanan berkelanjutan dapat dilihat dari empat komponen dasar antara lain: 1)
Keberlanjutan ekologi, memperhatikan data perkembangan hasil tangkapan ikan dan keseimbangan ekosistem untuk menghindari penipisan stok sumberdaya ikan;
2)
Keberlanjutan sosial ekonomi, berfokus pada pertahanan atau peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dalam jangka panjang;
3)
Keberlanjutan komunitas, terfokus pada ide yang menyatakan bahwa perikanan
berkelanjutan
berjalan
untuk
pemenuhan
kesejahteraan
masyarakat dan seluruh warga negara; 4)
Keberlanjutan kelembagaan, mengacu pada lembaga yang mengelola perikanan baik nelayan, pemerintah atau masyarakat.
13
Komponen keberlanjutan ini dapat dilihat seperti gambar segitiga keberlanjutan berikut:
Keberlanjutan ekologi
Keberlanjutan kelembagaan
Keberlanjutan Sosial ekonomi
Keberlanjutan masyarakat
Gambar 2 Segitiga keberlanjutan.
Hilborn (2005) membedakan tiga cara untuk mendefinisikan perikanan berkelanjutan: 1)
Hasil penangkapan yang konstan dalam jangka panjang atau keadaan yang stabil dengan perubahan yang sangat kecil dari tahun ketahun menyatakan bahwa ekosistem alam tidak terganggu. Penangkapan pada nilai MSY menyatakan perikanan yang stabil.
2)
Menjaga atau melestarikan stok perikanan antar generasi dengan memahami perubahan alam yang berkaitan dengan kegiatan yang merusak habitat atau pengurasan stok perikanan pada level tertentu.
3)
Mempertahankan
sistem
biologi,
sosial
dan
ekonomi
dengan
mempertimbangkan keseimbangan ekosistem manusia dan ekosistem laut. Apabila ekosistem lingkungan tidak mendukung untuk pertumbuhan spesies ikan maka proses keberlanjutan tidak akan berjalan. Tujuan menyeluruh dari pendekatan berbasis ekosistem untuk pengelolaan perikanan adalah untuk menjaga dan melestarikan struktur dan fungsi ekosistem laut dengan mengelola perikanan dan mempertimbangkan keterkaitan ekologis serta hubungan antara spesies dan lingkungan, termasuk menggunakan manusia dan nilai-nilai sosial (Garcia et al., 1989).
14
Populasi ikan dan komponen ekosistem lainnya dapat dipengaruhi oleh kegiatan perikanan seperti: penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, polusi yang ditimbulkan oleh kapal, waktu penangkapan, lokasi penangkapan, by-catch dan metode perpindahan ikan secara alamiah. Penggunaan setiap jenis teknologi penangkapan ikan mulai dari yang sederhana hingga yang moderen sedikit atau banyak akan memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan. Besarnya dampak yang ditimbulkan secara umum sangat tergantung dari 4 faktor (Purbayanto et al., 2010) antara lain: 1)
Daya
tangkap
(fishing power),
ditentukan
oleh
dimensi,
metode
pengoperasian, dan tingkat selektivitas dari alat tangkap tersebut, 2)
Intensitas penangkapan, ditentukan oleh durasi atau frekuensi operasi penangkapan ikan yang dilakukan pada suatu perairan,
3)
Bahan atau material dari komponen alat tangkap, dapat memberi dampak terhadap lingkungan sebagai contoh: penggunaan material sintesis yang tidak dapat didaur ulang secara alami (non-biodegradable material) dan penggunaan material dari bahan-bahan alami seperti batu karang dan kayu mangrove yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pantai,
4)
Lokasi pengoperasian alat tangkap ikan akan menentukan tingkat interaksi atau kontak alat tangkap dengan habitat perairan. Menurut Dahuri (2000), dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat milik
bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan, karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (access profit) bagi usaha penangkapan ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran, disertai masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rente yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang akan datang, yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek
15
pengelolaan sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep ”hasil maksimum lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan ”MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu recruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut.
Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum
berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented). Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan ”Maximum Sustainable Yield” telah mendapat tantangan yang cukup berat, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian ”yield” yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah ”diminishing return” yang menunjukkan bahwa kenaikan ”yield” akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan ”effort” (Lawson, 1978). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan ”Maximum Economic Yield” atau lebih popular dengan ”MEY”. Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Selanjutnya hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep ”Optimum Sustainable Yield” (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh (Lawson, 1984). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep ”MSY”, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya.
Dengan demikian,
16
besaran dari ”OSY” adalah lebih kecil dari ”MSY” dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan “Total Allowable Catch” (TAC).
Konsep
pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan “MSY”, diantaranya adalah : 1) Berkurangnya resiko terjadinya deplesi dari stok ikan; 2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar; 3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun (63,49%). Dengan demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa zona penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing).
2.2
Sumberdaya Ikan Demersal Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada pada
lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan dan umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya. Berdasarkan urutan nilai komersialnya, ikan demersal dapat dibagi menjadi empat kelompok utama, yaitu: 1) komersial utama, seperti: ikan kakap merah, kerapu, bawal putih, manyung dan janaha; 2) ikan komersial kedua, seperti: ikan layur, bawal hitam, kurisi, baronang, gerot-gerot, kuro, pari dan ketang-ketang; 3) komersial ketiga, seperti: ikan beloso, mata merah, pepetek, kuniran, besot, gabus laut, sidat dan lain lain; 4) ikan campuran, seperti: ikan lidah, sebelah, kapas-kapas, serinding dan lain-lain (Simbolon, 2011). Keberadaan sumberdaya ikan demersal dalam pembangunan kelautan mempunyai potensi yang cukup besar. Apabila potensi sumberdaya tersebut dimanfaatkan secara optimal maka akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan pendapatan nelayan maupun bagi pembangunan. Pada umumnya komoditas sumberdaya ikan demersal bernilai ekonomis penting. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan eksploitasi yang intensif pada wilayah tertentu, yang
17
apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang bersangkutan (Badrudin, 2006). Dari 9 wilayah pengelolaan sumberdaya ikan demersal, 5 wilayah pengelolaan telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited) yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Samudera Hindia, 3 wilayah pengelolaan masih berada pada tangkapan rendah (under exploited) yaitu Laut China Selatan, Laut Seram dan Samudera Pasifik, dan satu wilayah tangkap penuh (fully exploited) yaitu Laut Arafuru. Sumberdaya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun produktiviktas berbeda menurut perairan. Di Laut Jawa (Badrudin at al., 1998 dalam Mallawa, 2006 ) misalnya terdapat kurang lebih 100 jenis ikan demersal ekonomis penting yang termasuk kedalam 20 famili. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain : kakap merah/bambangan (Lutjanidae),
manyung
(Ariidae),
gerot-gerot
(Pomadasyidae),
kurisi
(Nemipteridae), beloso (Synodontidae), kuniran (Mullidae), layur (Trichiuridae), pepetek (Leiognathidae), dan bawal putih (Stromateidae). 2.2.1 Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap merah memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Lutjanidae, Genus: Lutjanus dan Spesies: Lutjanus malabaricus. Ikan kakap merah hidup di laut dan lingkungan yang berasosiasi dengan terumbu karang dan biasanya mendiami perairan dengan kedalaman 9 – 90 m. Ciri-ciri fisik yang dimiliki antara lain: memiliki sirip punggung yang berjumlah 10 buah dengan duri lunak sirip punggung berjumlah 13-14 buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan duri lunak sirip dubur sebanyak 8-9 buah, hidung agak meruncing, profil bagian punggung dari kepala menurun tajam. Pada umumnya ikan kakap merah berwarna merah terang atau merah muda pada waktu segar dengan lebih intens pigmen pada bagian belakang, sirip merah atau orange, juvenile dibawah 10 cm memiliki ujung sirip caudal yang kehitaman, sering kali juga sebuah tanda kehitaman agak melengkung ditengah sirip caudal, kadang kala juga dengan garis lateral ditengah yang berwarna kekuningan mulai dari sisi operculum hingga bagian tengah sirip caudal. Biasanya hidup soliter atau
18
dalam kelompok kecil. Kakap merah merupakan ikan konsumsi dengan harga yang tinggi (Froese dan Paully, 2011). 2.2.2 Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kakap putih merupakan ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam (euryhaline). Ikan kakap putih termasuk dalam Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Subfilum: Vertebrata, Kelas: Pisces, Subkelas: Teleostei, Ordo: Percomorphi, Famili: Centroponidae, Genus: Lates, Spesies: Lates calcarifer. Ikan kakap putih dewasa akan bermigrasi kearah muara untuk melakukan pemijahan. Ciri-ciri fisik ikan kakap putih yaitu memiliki sirip punggung sebanyak 7-9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak 10-11 buah, memiliki sirip anus sebanyak 3 buah dengan sirip anus lunak sebanyak 7-8 buah dengan bentuk badan memanjang, mulut besar, rahang atas terdapat dibelakang mata Froese dan Pauly (2011). 2.2.3 Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Ikan kerapu sunu biasanya memakan jenis-jenis ikan, krustacea dan jenis cumi-cumi. Ikan ini memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Serranidae, Genus: Plectropomus, Spesies: Plectropomus leopardus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang yang umum ditemukan 35 cm dengan panjang at first maturity pada rentang 21-60 cm. Ikan kerapu sunu biasanya hidup pada kedalaman 3-100 m. Ciri-ciri yang dimiliki ikan ini antara lain: memiliki sirip punggung berjumlah 7-8 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak 10-12 buah, sirip dubur sebanyak 3 buah dengan dirip dubur lunak sebanyak 8 buah. Ikan ini berwarna kuning langsat sampai coklat kemerahan Froese dan Pauly (2011). 2.2.4 Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Ikan kuwe atau yang lebih dikenal dengan nama blue fin treavllyu termasuk ikan dasar dari golongan predator yang banyak ditemui pada daerah disekitar terumbu karang. Ikan kuwe memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom:
19
Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Subordo: Percoidei, Superfamili: Percoidea, Famili: Carangidae, Genus: Caranx, Spesies: Caranx sexfasciatus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang umum 60 cm. Ikan kuwe hidup pada iklim 26oC -29oC. Ikan yang aktif mencari makan pada malam hari ini biasanya memakan jenis ikan dan krustacea. Ikan ini biasanya memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: memiliki sirip punggung berjumlah 9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak 19-22 buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan sirip dubur lunak sebanyak 14-17 buah. Tubuh berwarna-warni mulai dari hijau muda bagian punggung dan bagian bawah berwarna putih keperakan
dengan sirip dada
melengkung lancip Froese dan Pauly (2011).
2.3
Pengembangan Perikanan Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989 dalam Pulu, 2011). Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang lebih baik atau dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Prioritas kebijakan pengembangan perikanan khususnya untuk komoditas sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dimasing-masing daerah akan berbeda-beda. Aspek yang harus dipenuhi dalam pengembangan suatu jenis teknologi penangkapan ikan antara lain: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya;
2) secara teknis efektif digunakan; 3)
secara sosial dapat diterima masyarakat dan nelayan dan; 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia.
20
Aspek terbesar pada peningkatan produksi adalah kurangnya peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi, untuk itu diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam melaksanakan kegiatannya. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap (Sparre dan Vanema 1999). Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang yang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi (high risk) mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti. Lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan (collateral) yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil untuk memperoleh pinjaman. Permasalahan dalam implementasi pengembangan armada perikanan tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2001) yaitu: 1)
Mikroteknis, yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal pengembangan armada perikanan tangkap,
2)
Makro-struktural (kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif) yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi eksternal, baik ekonomimakro, politik, hukum, maupun kelembagaan.
Masalah Mikroteknis meliputi : 1)
Tingkat kemiskinan nelayan yang tinggi Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.
21
2)
Rendahnya Produktivitas Dalam perikanan tangkap rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan, keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya untuk memijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.
3)
Gejala tangkap lebih Berkaitan dengan gejala tangkap lebih di beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalami tangkap lebih adalah udang (hampir mengalami tangkap lebih di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan-nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI.
4)
Rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standarisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah.
5)
Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan
22
Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. 6)
Tidak stabilnya harga-harga faktor produksi Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan 60% dari biaya operasi penangkapan juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan.
7)
Pengembangan teknologi, data dan informasi Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan.
Masalah Makro struktural yang meliputi : 1)
Ekonomi makro yang belum kondusif bagi kemajuan perikanan Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) produksi, (2) pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan (3) pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem penunjangnya yang meliputi: (1) sarana dan prasarana, (2) finansial/keuangan, (3) sumberdaya manusia dan IPTEKS, dan (4) hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aquabisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10% untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan disektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi.
23
2)
Sistem hukum dan kelembagaan perikanan yang masih lemah Dari sisi peraturan dan perundang-undangan pada bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan
perikanan
dari
dalam maupun
luar
negeri,
bahwa
implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggungjawab, dan seterusnya. Disisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologis, biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan
terjadinya
konflik
antar
nelayan
dibeberapa
daerah
sehubungan dengan perebutan daerah penangkapan, dispute antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, kabupaten atau kota, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten atau kota, maupun antar pemerintah kabupaten atau kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan.
24
2.4
Alat Penangkapan Teknologi penangkapan merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan
dengan studi pengembangan, serta penerapan berbagai ilmu-ilmu sains dan teknologi. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan baik hasil maupun operasi penangkapan. Disiplin ini didasari oleh penerapan riset dan pengembangan untuk tujuan praktisnya. Pengkajian atau pengukuran dari keberhasilannya maupun kegagalannya didasarkan pada derajat keuntungan maupun manfaat yang ditarik dari perikanan komersial, populasi bidang perikanan dan masyarakat. Hal-hal yang berkaitan langsung dengan penangkapan mencakup: kapal ikan, alat penangkap, berbagai peralatan bantu dan instrumentasi yang dipadukan membentuk unit operasi penangkapan dengan beragam desain dan bentukbentuknya yang spesifik sesuai dengan kekhusuan yang dikehendaki. Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan yang telah lama dipraktekkan orang. 2.4.1 Bubu Martasuganda (2003) menyatakan bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap ”traps” dan penghadang ”guiding barriers”. Bubu memiliki bentuk, ukuran dan teknik pengoperasian yang beranekaragam. Menurut bentuk dan teknik operasionalnya Bubu dikategorikan menjadi 3 bagian, antara lain : 1)
Bubu dasar (stationary fish pots) Ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat berdasarkan kebutuhan. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu berukuran besar), bisa ganda (umumnya bubu berukuran sedang atau kecil) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Hasil tangkapan dengan bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang, baronang, kerapu, kakap dan lainnya.
25
2)
Bubu apung (floating fishpots) Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu yang penggunaannya diatur sedemikian rupa yaitu ada yang diletakkan tepat pada bagian atasnya atau kurang lebih demikian. Sementara itu kadang-kadang digantungkan pada rakit bambu. Rakit bambu tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali yang digunakan biasanya 1,5 kali dari kedalaman perairan. Berbeda dengan bubu dasar, hasil tangkapan bubu apung adalah ikan-ikan pelagis.
3)
Bubu hanyut (drifting fishpots) Disebut bubu hanyut karena dalam operasional penangkapannya, bubu dihanyutkan. Bubu hanyut yang terkenal adalah ”Pakaja”. Operasionalnya dilakukan sebagai berikut : Pada sekeliling mulut pakaja diikatkan rumput laut kemudian pakaja disusur kedalam kelompok yang satu dengan yang lain berhubungan melalui tali penonda (drifting line). Bubu merupakan alat penangkapan yang efektif digunakan di perairan
terumbu karang. Alat tangkap ini sangat membantu nelayan bermodal kecil karena biaya pembuatannya relatif murah dan mudah dalam pengoperasiannya (Ismail dan Nuraini, 1983). Imai (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangannya biasa menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap dalam kondisi hidup dan hanya ikan-ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung ukuran pintu dan ukuran mess size). Irawaty (2002) menyatakan, bubu merupakan salah satu alat tangkap yang bersifat pasif dan digunakan untuk menangkap ikan karang salah satunya adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Bubu memiliki pintu masuk yang berbentuk corong yang memungkinkan ikan mudah masuk tetapi akan sulit keluar
26
(non return device). Bubu memiliki dinding dengan ukuran mata yang relatif kecil sehingga memungkinkan ikan kecil yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi akan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri. 2.4.2 Pancing Pancing merupakan alat tangkap yang paling umum dikenal, pada prinsipnya pancing terdiri dari komponen utama yaitu: tali (line) dan mata pancing (hook). Tali pancing dapat terbuat dari bahan benang katun, nilon, polyethylen, plastik (senar) dan lain-lain. Mata pancing terbuat dari: kawat, baja, kuningan atau bahan lain yang tahan karat. Mata pancing tersebut umumnya berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat bisa tunggal maupun ganda tergantung dari jenis pancingnya. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989). Berdasarkan cara pengoperasinnya pancing dapat ditarik dibelakang kapal yang sedang berjalan, penangkapan dapat dilakukan pada lapisan permukaan air, pertengahan dan dasar perairan. Dapat dioperasikan pada siang dan malam hari dan dapat digunakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Baskoro (2006) menyatakan dalam pengoperasiannya alat tangkap pancing bisa dipasang menetap pada suatu perairan, ditarik dari dalam perahu/kapal yang sedang dalam keadaan berjalan, dihanyutkan maupun langsung diulur/ditarik dengan tangan. Banyak jenis dari alat tangkap pancing mulai dari bentuk yang sederhana, misalnya yang digunakan untuk kesenangan semata, sampai dalam bentuk ukuran skala besar yang digunakan untuk perikanan industri. Bentuk mata pancing yang baik untuk perairan karang berdasarkan percobaan di Maldves adalah jenis circlehooks atau bentuk G. Bentuk seperti ini diperlukan untuk menghindari agar mata pancing tidak mudah tersangkut pada batu karang (FAO, 1982 dalam Baskoro et al., 2011). Menurut (Gabriel at al., 2005) penomoran mata pancing diberikan nomor 1 sampai dengan nomor 20. Semakin besar ukuran mata pancing maka semakin kecil nomor yang diberikan. Penomoran mata pancing secara baku berdasarkan lebar celah (gap) dan diameter batang (wire).
27
Penomoran mata pancing menurut (Prado 1990 dalam Baskoro at al., 2011) dibedakan berdasarkan tipe mata pancing, yang ditentukan oleh penampang shank pancing tersebut. Untuk shank berpenampang bulat disebut dengan tipe regular hooks. Pada tipe ini nomor mata pancing semakin kecil maka ukuran mata pancing semakin beasar. Sedangkan untuk tipe forget adalah mata pancing berpenampang shank bulat memanjang. Untuk jenis ini semakin kecil nomor maka ukuran pancing juga semakin kecil.
2.5
Metode Surplus Produksi Metode surplus produksi berhubungan dengan seluruh stok, seluruh upaya
penangkapan dan total hasil tangkapan yang diperoleh dari stok, tanpa memasukkan parameter pertumbuhan dan kematian atau efek ukuran mess size pada umur ikan yang tertangkap dan sebagainya. Model surplus produksi diperkenalkan oleh Graham pada tahun 1935, akan tetapi model-model surplus produksi sering disebut model Schaefer (Sparre dan Vanema 1999). Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktiifitas stok secara jangka panjang yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield /MSY). Gulland 1983, diacu dalam Ghandi (2010) menguraikan bahwa Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah hasil tangkapan berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomassa sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomassa pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum Sustainable Yield (MSY) mencakup tiga hal penting, yaitu memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan, memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu kewaktu dan besarnya hasil tangkapan merupakan alat ukur yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan. Parameter populasi yang disebut produksi merupakan pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu pada suatu wilayah. Jika kuantitas biomassa yang diambil melalui kegiatan perikanan persis sama dengan surplus
28
produksi, ini berarti perikanan tersebut berada dalam keadaan equilibrium atau seimbang. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan Vanema 1999). Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi adalah: 1)
Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal tanpa memperhatikan struktur populasinya,
2)
Penyebaran ikan pada setiap periode dalam wilayah perairan dianggap merata
3)
Stok ikan dalam keadaan seimbang (steady state)
4)
Masing-masing unit penangkapan ikan memiliki kemampuan yang sama untuk menangkap ikan. Metode surplus produksi terdiri dari model Schaefer dan Fox, menurut
Spaerre dan Vanema (1999) tidak dapat dibuktikan kalau salah satu model tersebut lebih baik dari model yang lainnya. Langkah-langkah dalam metode surplus produksi adalah: 1)
Tabulasi hasil tangkapan dan upaya penanfkapan (effort) dan kemudian dihitung nilai CPUE
2)
Pengeplotan nilai effort (f) terhadap nilai CPUE (c/f) dan menduga nilai intercept (a) dan slope (b) dengan regresi linier Y= a+bX
3)
Pendugaan potensi lestari (MSY)
2.6
Pertumbuhan Ikan Pertumbuhan secara umum adalah pertambahan ukuran panjang atau berat
dalam suatu waktu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan. Bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh akan digunakan oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang tidak terpakai (Effendie, 1997).
29
Lebih lanjut Effendi (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor dalam (keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit) dan faktor luar (makanan, suhu perairan dan faktor-faktor kimia), 1)
Keturunan Faktor keturunan dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk mencari
ikan yang memiliki pertumbuhan paling baik untuk dijadikan sebagai induk sehingga akan menghasilkan keturunan yang baik juga berbeda jika kondisi ikan hidup di alam maka faktor keturunan tidak dapat dikontrol. 2)
Sex Faktor ini tidak dapat dikontrol karena ada ikan betina yang memiliki
pertumbuhan yang lebih baik dari ikan jantan atau sebaliknya, ada pula spesies ikan yang tidak memiliki perbedaan pertumbuhan antara ikan betina dan jantan. 3)
Umur Umur sangat berperan pada pertumbuhan dimana pertumbuhan cepat terjadi
pada ikan berumur 3-5 tahun. Pada ikan tua walaupun pertumbuhan terus terjadi tetapi akan berjalan sangat lambat karena sebagian besar makanan digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan pergerakan. Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kalinya menjadikan pertumbuhan menjadi sangat lambat, sebagian dari makanan tertuju untuk perkembangan gonad. 4)
Parasit dan penyakit Dalam pertumbuhan parasit dan penyakit juga mempengaruhi terutama jika
menyerang alat pencernaan makanan atau organ lain yang vital sehingga efisiensi berkurang karena kekurangan makanan yang berguna untuk pertumbuhan, namun sebaliknya pada ikan yang diserang oleh parasit yang tidak begitu hebat menyebabkan pertumbuhan ikan tersebut lebih baik dari pada ikan yang tidak diserang parasit, hal ini terjadi karena ikan lebih banyak mengambil makanan dari biasanya sehingga terdapat kelebihan makanan untuk pertumuhan. 5)
Makanan Makanan yang berlebih akan menyebabkan pertumbuhan lebih pesat.
Terlalu banyak individu dalam suatu perairan akan menyebabkan kompetisi terhadap makanan sehingga dalam suatu keturunan ditemukan ikan dengan ukuran yang bervariasi.
30
6)
Suhu perairan Pada daerah yang bermusin empat dapat ditemukan suhu perairan yang
turun di bawah 10oC maka ikan perairan panas yang berada di daerah tersebut akan berhenti mengambil makanan atau mengambil makan hanya sedikit saja untuk keperluan mempertahankan kondisi tubuh. Apabila ada ikan pada daerah tropik dapat mencapai 30 cm dengan berat > 1kg dalam 1 tahun maka ikan yang sama spesiesnya di daerah bermusim empat ukuran tersebut dapat dicapai pada waktu dua atau tiga tahun. 7)
Faktor-faktor kimia Pertumbuhan juga dipengaruhi faktor-faktor kimia seperti oksigen, karbon
dioksida, hidrogen, sulfida, keasaman dan alkalinitas. Dalam keadaan ekstrim faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh yang sangat hebat terhadap makanan sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan, misalnya di bagian dasar suatu perairan terdapat hidrogen sulfida dan methana sehingga banyak ikan akan lari kepermukaan, karena ruang gerak semakin sempit akan terjadi kompetisi terhadap makanan sehingga menyebabkan pertumbuhan terganggu. Pada hubungan panjang-berat maka berat dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Harga n atau b ialah harga pangkat yang harus cocok dengan panjang ikan agar sesuai dengan berat ikan menurut Carlander, 1969 dalam Effendie (1997) bahwa harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar 1,2-4,0, namun kebanyakan berkisar 2,4-3,5. Bilamana harga n atau b sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya atau dengan kata lain pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya atau sering disebut dengan istilah pertumbuhan isometrik. Sedangkan apabila harga n atau b lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik negatif yang artinya suatu keadaan ikan yang mana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan beratnya, jika sebaliknya harga n atau b lebih besar dari 3 maka dinamakan pertumbuhan allometrik positif yang artinya ikan tersebut montok atau pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya.