13
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sumberdaya Ikan Demersal Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar
perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu dan lain sebagainya. Menurut Ayodhyoa (1992) ikan dasar memilki sifat ekologi sebagai berikut: 1)
Mempunyai adaptasi dengan kedalaman perairan
2)
Aktifitasnya relatif rendah dan mempunyai daerah kisaran ruaya yang lebih sempit jika dibandingkan dengan ikan pelagis
3)
Jumlah kawanan relatif kecil jika dibandingkan dengan ikan pelagis
4)
Habitat utamanya berada di dekat dasar laut meskipun berbagai jenis diantaranya berada di lapisan perairan yang lebih atas
5)
Kecepatan pertumbuhannya rendah
6)
Komunitas memiliki seluk beluk yang komplek
7)
Dibandingkan sumberdaya ikan pelagis, potensi sumberdaya ikan demersal relatif lebih kecil akan tetapi banyak yang merupakan jenis ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi Ikan demersal tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di paparan
Sunda, Samudera Hindia dan Laut Arafura dengan kecenderungan kepadatan potensi tinggi di daerah pantai. Ikan demersal sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti: suhu, salinitas, arus dan bentuk dasar perairan. Jenis ikan ini pada umumnya menyenangi dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Rumajar, 2001). Perikanan demersal Indonesia menghasilkan berbagai jenis ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat tangkap (multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri dari berbagai jenis yang jumlah masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain: kakap merah/bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognathtus spp), manyung (Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus spp), bawal (Pampus spp) dan lain-lain (Risamasu, 2008).
14 Statistik Perikanan Indonesia menunjukkan bahwa ikan demersal memiliki potensi yang cukup besar yaitu sebesar 1.786.350 ton/tahun, sedang produksi pada tahun 2010 sebesar 620.610 ton. Selain itu, jenis ikan ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, karena cita rasa yang lezat dan digemari masyarakat. Ikan demersal laut dalam (deep sea) adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada di dekat dasar perairan di luar daerah paparan benua (continental shelf) atau pada kedalaman lebih dari 200 m. Diperkirakan tingkat eksploitasi ikan demersal ini semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan protein ikan. Kajian teknik dan metode penangkapan ikan demersal laut dalam yang berkelanjutan menjadi perlu untuk dilakukan (Husni, 2009). lkan demersal banyak hidup dan tersebar di hampir seluruh perairan Indonesia pada umumnya ditangkap dengan menggunakan pancing ulur dan masih sedikit yang menggunakan bubu. Aktifitas penangkapan ikan demersal dengan bubu banyak dilakukan di perairan sekitar Pulau Karimunjawa. Penangkapan ikan demersal dengan bubu dapat menghasilkan kualitas tangkapan yang lebih baik. Unit penangkapan bubu sudah termasuk ke dalam skala usaha penangkapan menengah ke atas, untuk itu diperlukan modal yang besar untuk memulainya (Irnawaty, 2011). Berdasarkan kategori nilai ekonomisnya, sumberdaya ikan demersal dibagi menjadi 3 kelompok (Rumajar, 2001) antara lain: 1)
Kelompok komersial utama : terdiri dari ikan kerapu (Ephinephelus sp), bambangan (Lutjanus spp), bawal putih (Pampus spp), kakap (Lates calcarifer), mayung (Arius spp) dan kuwe (Carangoides spp).
2)
Kelompok komersial kedua: terdiri dari ikan bawal hitam (Formio niger), kurisi (Nemipterus spp), layur (Trichiurus savala), kurau (Eletheronema tetredactylum), ketang-ketang (Drepane punctata) dan baronang (Siganus spp).
3)
Kelompok komersial ketiga: terdiri dari ikan pepetek (Leiognathidae), beleso (Saurida, spp), kuniran (Upeneus sulphureus), mata merah (Priacanthus spp), kerong-kerong (Therapon spp) dan sidat (Muraenesox sp)
15 Ikan karang juga termasuk bagian dari ikan demersal. Ikan karang adalah ikan yang hidup di perairan karang. Jenis-jenis ikan yang hidup di sekitar perairan karang diantaranya adalah ikan giru (Siganus guttatus), kakap merah (Lutjanus timorensis), kakak tua hijau (Scarus rivulatus), kerapu macan, kuwe, lobster dan pogot tanduk (Monacanthus ciliatus). Terumbu karang merupakan rumah atau tempat berlindung berbagai biota laut lainnya. Berbagai jenis ikan, termasuk juga moluska, crustacea, echinodermata dan rumput laut yang hidup subur di sekitarnya. Terumbu karang memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem laut. Kerusakan terumbu karang dapat mengakibatkan terganggunya seluruh ekosistem laut dan pantai. Manfaat dari keberadaan ekosistem terumbu karang pada wilayah perairan antara lain (Hermawan, 2007): 1)
Merupakan rumah untuk berbagai jenis ikan dan tumbuhan;
2)
Melindungi ikan kecil dan mahluk laut lainnya dari serangan hewan pemangsa;
3)
Sebagai tempat berlindung mahluk laut dari ombak dan arus kencang;
4)
Sebagai penyedia makanan untuk berbagai jenis ikan, moluska dan echinodermata;
5)
Merupakan tempat tumbuh dan berkembangbiak berbagai jenis ikan dan mahluk lainnya;
6)
Terumbu karang yang sehat menghasilkan tangkapan ikan jauh lebih besar dari pada terumbu karang yang rusak;
7)
Terumbu
karang
membentuk
penghalang
alami
yang
melindungi
masyarakat pesisir dari gelombang laut dan topan. Pendapat lain dikemukakan oleh Maliskusworo dalam Rumajar (2001) menyatakan bahwa untuk perairan Indonesia paling sedikit ada 13 famili utama sebagai penyumbang produksi ikan karang, yaitu Caesiodidae, Pomacentridae, Acanthuridae, Serranidae, Scanidae, Caetodontidae, Labridae, Haemulidae, Lutjanidae, Holocentridae, Sigangidae, Lethrinidae dan Priacanthridae. Ketiga belas ikan karang ini yang tergolong ikan konsumsi diantaranya: Caesiodidae (ekor kuning), Labridae (napoleon), Scaridae (kakak tua), Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Siganidae (baronang) dan Letthrinidae (lencam) (Djamali dan Mubarak, 1998). Ikan kerapu (Serranidae) dan kakap (Lutjanidae) dalam
16 pengelompokan sumberdaya ikan demersal termasuk dalam kelompok komersial utama. Selain ikan kerapu dan kakap yang termasuk dalam kelompok ini adalah ikan bambangan (Lutjanus spp.), bawal putih (Pampus spp.), jenaha (Lutjanus johni) dan kuwe (Carangoides spp.) Menurut Dartnall dan Jones (1986), berdasarkan fungsi ekologisnya ikanikan karang dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu: 1)
Kelompok ikan target (target species) merupakan ikan yang dikenal sebagai ikan konsumsi, seperti ikan-ikan dari famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae
2)
Kelompok ikan indikator (indicator species) merupakan ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu perairan yang memiliki terumbu karang seperti famili Caetodontidae
3)
Kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan. Kelompok ikan ini merupakan ikan-ikan yang belum diketahui perannya seperti ikan-ikan dari famili Pomacentrinidae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae. Di Indonesia potensi ikan pangan yang terdapat pada ekosistem karang
diduga sebesar 75.875 ton/tahun dengan besarnya sumberdaya 151.750 ton/tahun (Djamali dan Mubarak, 1998). Dilihat dari prospek pasar, potensi pemanfaatan ikan karang ini meningkat dari tahun ke tahun dengan negara tujuan Singapura, Hongkong, Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999). Ikan demersal seperti kakap dan kerapu sangat diperlukan untuk diekspor baik dalam bentuk hidup maupun mati. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya restoran sea food dan hotel, maka permintaan akan ketersediaan ikan karang semakin besar.
2.2
Perikanan Bubu
2.2.1 Definisi bubu Bubu adalah suatu jenis alat tangkap berupa jebakan yang bersifat pasif dan selektif, memiliki bentuk serta ukuran yang beraneka ragam dan teknik pengoperasiannya ada yang diletakkan pada dasar perairan, mengapung dan dihanyutkan. Bubu merupakan alat penangkap ikan yang efektif digunakan di
17 perairan terumbu karang. Alat tangkap ini sangat membantu nelayan bermodal kecil
karena
biaya
pembuatannya
relatif
murah
dan
mudah
dalam
pengoperasiannya (Ismail dan Nuraini, 1983). Lagler et al. (1997) menyatakan tanggapan ikan dan hewan air terhadap suatu rangsangan terjadi apabila rangsangan yang diberikan tersebut sesuai dengan kebiasaan dan reflek ikan tersebut. Kebanyakan dari mereka melakukan aksi apabila benda yang diberikan kepadanya bergerak, mempunyai warna dan mempunyai bentuk. Anun dan Barus (2000), berpendapat berhasilnya suatu usaha penangkapan ikan melalui operasi bubu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena berkaitan dengan pertumbuhan dan populasi ikan, distribusi ikan pada suatu perairan yang menjadi tujuan penangkapan dan mempengaruhi hasil tangkapan terhadap alat itu sendiri. Faktor lingkungan adalah suhu, kecerahan, kedalaman perairan, salinitas dan arus. Selain pengaruh lingkungan, faktor lain yang juga berperan dalam produktivitas bubu adalah aspek teknis bubu tersebut. Berdasarkan penelitian Anun dan Barus (2000) jumlah bukaan mulut, pemberian umpan dan lama perendaman memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan bubu. Hela dan Laevastu (1970) menyatakan bahwa dalam keadaan gelap ikan cenderung berenang mengikuti arus dan sebaliknya pada saat terang ikan cenderung berenang melawan arus. Penempatan alat tangkap harus disesuaikan dengan teknik pengoperasian alat tangkap dan target spesies dari alat itu sendiri. Pengembangan alat tangkap harus diikuti dengan pengetahuan mengenai daerah penangkapan (fishing ground), sehingga dapat ditemukan suatu jenis alat tangkap yang cocok untuk daerah tersebut (Ayodhyoa, 1996). Ismail dan Nuraini (1983), menyatakan bahwa penangkapan ikan di perairan karang akan efektif dengan menggunakan alat tangkap bubu. Selain biaya pembuatan dan operasinya relatif murah, alat ini hanya sedikit menimbulkan kerusakan karang. Penelitian-penelitian tentang bubu dalam operasi penangkapan yang telah dilakukan, antara lain: pengaruh kedalaman dan kontur dasar perairan terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus malabaricus) (Urbinas, 2004); pengaruh kedalaman pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan kakap merah (Lutjanus
18 sanguineus) (Nurhidayat, 2002); selektivitas ukuran ikan kakap (Lutjanus sp.) pada bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gaps) (Tirtana, 2003); uji coba alat tangkap bubu dengan ukuran mesh size berbeda (Ariefandi, 2005); pengaruh penggunaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan ikan karang pada bubu (traps) (Mahulette, 2004); pengoperasian bubu dengan umpan dan konstruksi funnel yang berbeda terhadap hasil tangkapan ikan laut dalam (Susanto, 2006) dan studi tentang pengaruh pemasangan leader net terhadap hasil tangkapan dan tinjauan tingkah laku ikan karang pada alat tangkap bubu sayap (Mahulette, 2004). Sarjono et al. (1997), menyatakan bahwa salah satu teknik penangkapan ikan yang dianggap merusak keberadaan terumbu adalah bubu karang disamping pukat ikan dan bom ikan. Alasannya, selain bubu didudukkan di atas karang sehingga merusak terumbu karang, nelayan sering mematahkan koloni karang untuk menimbun bubu. Saat pengoperasian tali pelampung tanda sering dililitkan pada batu karang sehingga pada saat hauling akan menghancurkan karang yang dilaluinya. Sementara Martasuganda, (2003), berpendapat bahwa alat tangkap yang cocok untuk menangkap ikan demersal tanpa merusak terumbu karang adalah bubu, selain bersifat pasif dan ramah lingkungan juga selektif. Karang merupakan habitat hidup ikan-ikan demersal ekonomis penting seperti kakap, kerapu, jenaha, kuwe dan lobster. Menurut Norris et al. (2010),
pengoperasian bubu sering mengalami
kendala dengan hilangnya alat tangkap di dasar perairan (ghost fishing). Perairan terbuka dan pencurian oleh nelayan lain merupakan salah satu factor penyebab ghost fishing pada bubu. Selain itu hasil tangkapan kadangkala tidak sesuai dengan ikan yang menjadi sasaran penangkapan. Hal ini disebabkan nelayan pada umumnya belum mengetahui tingkah laku ikan dan karakteristik ekosistem karang. Nelayan belum mengetahui secara pasti pada kedalaman berapa ikan tersebut hidup dan berkembangbiak. Risamasu (2008) menyimpulkan bahwa bubu akan lebih efektif menangkap ikan hias pada kedalaman 40 meter dan 70 meter. Penangkapan ikan hias terutama dari kelompok ikan tiger atau yang dikenal jabung dapat mengurangi produktivitas bubu.
19
2.2.2 Daerah pengoperasian bubu Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif, sehingga penentuan lokasi menjadi syarat utama dalam operasi penangkapan. Sasaran target alat tangkap ini adalah ikan demersal yang memiliki habitat di sekitar terumbu karang. Bubu sangat cocok dioperasikan di perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang dengan suhu diantara 18oC sampai 25oC. Pulau-pulau kecil di sepanjang Samudera Hindia merupakan habitat terumbu karang yang kaya akan ikan demersal. Ikan demersal memiliki kebiasaan hidup di dasar perairan yang bersubstrat lumpur dan terlindungi oleh karang. Ekosistem karang dijadikan sebagai tempat berlindung, mencari makan dan menghindar dari predator bagi ikan demersal (Riyanto, 2008). Penentuan daerah penangkapan ikan yang tepat akan mengurangi terjadinya ghost fishing (Norris et al. 2010). Efektivitas pengoperasian bubu tentunya dapat ditingkatkan dengan mengurangi ghost fishing pada usaha bubu. Pantai Barat Sumatera merupakan daerah pengoperasian bubu yang potensial karena selain suhunya yang relatif lebih hangat, diperairan ini juga sangat banyak dijumpai terumbu karang. Terumbu karang ini merupakan penghasil sumber makanan yang cukup baik sehingga mempermudah ikan untuk mencari makanan dan sekaligus merupakan tempat ikan berkembang (Simbolon, 2011). Ikan-ikan selain penghuni asli terumbu karang yang berinteraksi dengan ekosistem terumbu dan bernilai ekonomis tinggi juga banyak ditemukan (Jeyaseelan, 1998). Terumbu karang adalah suatu komunitas di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis moluska, crustacea, ecinodermata, policeata dan lunicata serta biota lain yang hidup di perairan sekitarnya termasuk plankton dan ikan. Terumbu terdapat di perairan tropis pada kedalaman antara 0 sampai 40 meter, dasarnya keras, airnya jernih dan mempunyai suhu rata-rata tahunan relatif stabil yaitu 180C. Terumbu dapat hidup subur pada perairan yang suhunya berkisar 25oC sampai dengan 300C, tersebar di daerah tropis antara 300 LU dan 250 LS. Di Indonesia terumbu dapat ditemukan hampir di seluruh pulau-pulau. Bagi kehidupan sekitarnya, terumbu juga berperan sebagai faktor penyubur oleh karena biota utama pembentuk terumbu karang bersimbiosis dengan monocelluler
20 algae (zooxanthellae) yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan oksigen hasil fotosintesis (Wells dalam Sukarno, 1995). Kurnia (2003) menyatakan terumbu baik secara fisik maupun biologis mempunyai struktur yang sangat kompleks. Terumbu yang kita lihat sebenarnya adalah hasil keseimbangan antara faktor yang bersifat merusak (destruktif) yang bekerja secara simultan dan terus-menerus. Faktor yang bersifat membangun, sebagian besar terdiri dari unsur organik yang dihasilkan oleh berbagai biota laut penghasil kapur seperti karang batu, algae berkapur melalui berbagai proses baik secara fisik, biologi maupun kimia. Terumbu akan tumbuh dengan baik pada daerah tropis yang memiliki kandungan oksigen dan penetrasi cahaya yang baik. Hal ini disebabkan karena terumbu karang membutuhkan unsur tersebut dalam proses fotosintesis. Pengembangan terumbu karang buatan melalui proses transplantasi juga sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Biota laut yang dikategorikan sebagai perusak terumbu karang yang sangat handal adalah Acanthaster planchi yaitu sejenis echinodermata yang memakan karang batu, molusca, sponge dan ikan. Adapun faktor alami yang dapat merusak terumbu karang antara lain (Suharsono, 1995) : 1)
Angin topan;
2)
Gempa bumi;
3)
Arus;
4)
Gelombang;
5)
Letusan gunung berapi; dan
6)
Kenaikan suhu air laut. Sukarno (1995) menyatakan faktor-faktor perusak tersebut setelah
mengalami berbagai proses, selanjutnya menjadi endapan kapur yang sangat halus atau fragmen-fragmen karang batu yang oleh bantuan arus akhirnya terperangkap di sela kerangka karang batu dan algae berkapur yang merupakan substrat dasar terumbu karang yang keras tempat hidup berbagai biota penyusun komunitas terumbu. Disamping faktor destruktif alamiah, tidak kalah perannya faktor destruktif oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor destruktif oleh manusia dijabarkan sebagai berikut:
21 a.
Secara langsung : 1) Penambangan karang secara liar, 2) Pencarian biota laut untuk perhiasan, 3) Pengambilan fosil kimia (Tridacna spp), 4) Penggunaan bahan peledak (bom), 5) Racun untuk menangkap ikan.
b.
Secara tidak langsung : 1) Pembuangan limbah rumah tangga 2) Pembuangan limbah industri dan 3) Limbah kapal Terumbu pantai berkembang di sepanjang pantai mencapai kedalaman tidak
lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan meluas ke arah laut. Pertumbuhan terbaik adalah pada bagian yang berarus deras. Terumbu penghalang terletak jauh dari pantai dan dipisahkan oleh lembah berpasir dari pantai (Sukarno, 1995). Menurut bentuk dan letaknya terumbu dapat dibedakan menjadi tiga tipe (Froelich, 2002) yaitu : 1)
Fringing reef (terumbu karang pantai)
2)
Barrier reef (terumbu karang penghalang)
3)
Atol (terumbu karang cincin) Terumbu penghalang memiliki akar pada kedalaman melebihi kedalaman
maksimum tumbuhnya karang batu. Umumnya terumbu penghalang sejajar garis pantai dan seolah melingkupi pulau. Terumbu cincin terlihat bagaikan sumur yang terendam air. Kedalaman rata-rata sekitar 45 meter. Seperti halnya terumbu penghalang akar terumbu ini tertanam pada kedalaman melebihi ambang batas kedalaman layak hidup karang batu. Walaupun demikian ketiga terumbu ini masih memiliki kesamaan pada permukaan tutupan yaitu : 1)
Permukaan mendatar (reef flat)
2)
Permukaan landai hingga curam (reef slop)
3)
Permukaan mendatar di tempat yang dalam (lagoon floor/submarine terrace) Terumbu dikenal sebagai suatu ekosistem yang produktif, keanekaragaman
biotanya tinggi dan memiliki panorama yang sangat indah sehingga terumbu tidak
22 saja penting karena perannya sebagai sumber makanan dan pelindung pulau dari gempuran ombak, tetapi juga berperan sebagai tempat rekreasi yang sangat menarik. Namun dengan pertumbuhan penduduk yang cepat serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir termasuk terumbu secara terus-menerus meningkat pula. Akibatnya beberapa kawasan terumbu di kawasan di Asia Pasifik telah dapat dikategorikan sebagai kawasan terumbu yang telah rusak, bahkan ada diantaranya yang sudah mencapai tingkat kritis, yaitu suatu kondisi terumbu karang yang telah sedemikian rupa sehingga dalam waktu 10-20 tahun lagi fungsi sebagai ekosistem terumbu karang itu akan hilang. Sehingga pengelolaan komunitas terumbu karang secara bijaksana dan berkelanjutan perlu segera dilakukan (Sukarno, 1995). Operasi bubu dasar atau laut dalam biasanya antara 15 meter sampai tidak terhingga dalamnya, hal ini sangat tergantung dari besar kecilnya bubu yang dibuat. Bubu kawat biasanya berada di laut dalam maka sangat bertentangan dengan bubu tradisional yang diletakkan pada kedalaman tertentu di atas terumbu karang. Pada kedalaman yang tak terhingga dibutuhkan sejumlah tali yang cukup panjang untuk digunakan sebagai pelampung tanda sekaligus menarik bubu dari dasar laut. Jenis hewan laut yang dapat ditangkap terdiri atas ikan kakap, kerapu, lobster, kepiting, udang dan belut laut yang peka terhadap sinar atau fototaksis negatif (Nontji, 2000). Kedalaman laut di perairan Indonesia secara garis besar dibagi dua yaitu perairan dangkal berupa paparan dan perairan laut dalam. Paparan adalah zona di laut terhitung mulai dari garis surut terendah hingga pada kedalaman sekitar 120 sampai dengan 200 meter, biasanya disusul dengan lereng yang lebih curam ke arah laut dalam. Bubu kawat biasanya dioperasikan pada daerah paparan yang memiliki terumbu karang (Mahulette, 2004).
2.2.3 Jenis-jenis bubu Menurut bentuk dan teknik operasionalnya bubu dikategorikan menjadi 3, antara lain (Martasuganda, 2003):
23 1)
Bubu dasar (stationary fish pots) Ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu berukuran besar), bisa ganda (umumnya bubu berukuran sedang atau kecil) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Hasil tangkapan dengan bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, baronang, kerapu, kakap dan lainnya.
2)
Bubu apung (floating fish pots) Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bubu apung ini dilengkapi dengan pelampung dari bambu yang penggunaannya diatur sedemikian rupa yaitu ada yang diletakkan tepat di bagian atasnya atau kurang lebih demikian. Sementara itu kadang-kadang digantungkan pada rakit bambu. Rakit bambu tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali yang digunakan biasanya 1,5 kali dari kedalaman perairan. Berbeda dengan bubu dasar, hasil tangkapan bubu apung adalah ikan-ikan pelagis.
3)
Bubu hanyut (drifting fish pots) Disebut bubu hanyut karena dalam operasional penangkapannya, bubu ini dihanyutkan. Bubu hanyut yang terkenal adalah ”pakaja”. Sistem pengoperasian dilakukan sebagai berikut : -
Pada sekeliling mulut pakaja diikatkan rumput laut
-
Pakaja disusur ke dalam air
-
Kelompok yang satu dengan yang lain berhubungan melalui tali penanda (drifting line)
-
Pakaja dibiarkan dalam air dalam beberapa jam sebelum diangkat
Bubu yang beroperasi di Pulau Pini, Pulau Mursala, Pulau Nias, Pulau Karang dan pulau lain di sekitar pantai Barat Sumatera termasuk sederhana, terdiri atas badan, mulut dan rangka bubu. Badan bubu memiliki pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Pintu terbuat dari kawat yang berukuran 60 cm x 20 cm, serta memakai kayu sebagai alat pengunci. Mulut bubu berfungsi sebagai tempat masuknya ikan, berbentuk mengerucut dengan ukuran lebar mulut bagian
24 luar bubu 44 cm dan tinggi mulut bagian luar 55 cm, sedangkan lebar mulut bagian tengah 29 cm dan tinggi 40 cm, serta lebar mulut bagian dalam berukuran 25 cm. Panjang mulut bubu ini 75 cm, yaitu jarak dari mulut terluar sampai mulut terdalam. Konstruksi utama dalam badan bubu terbentuk dari kawat berukuran mess size 5 cm x 5 cm (Hermawan, 2007). Harga satu bubu yang biasa digunakan masyarakat nelayan Sibolga memerlukan biaya sebesar Rp. 280.000. Bubu ini diperkirakan memiliki daya tahan ± 3 bulan dan biasanya dicat dengan warna merah. Pemilihan warna ini dilakukan berdasarkan permintaan nelayan karena menurut pengalaman mereka bubu yang dicat dengan warna cerah memiliki hasil tangkapan yang lebih banyak daripada yang tidak dicat. Asumsi yang digunakan nelayan Sibolga belum dikaji secara ilmiah, namun cat yang melapisi selimut bubu dapat memperlambat korosi. Konstruksi bubu nelayan Sibolga sampai pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Dimensi bubu kawat nelayan di Sibolga Uraian Bahan badan bubu Bentuk bubu Bentuk mulut bubu Mesh size kawat Panjang Lebar Tinggi Lebar mulut bagian luar Lebar mulut bagian tengah Lebar mulut bagian dalam Tinggi mulut bagian luar Tinggi mulut bagian tengah Tinggi mulut bagian dalam Panjang mulut
Keterangan Kawat weldingmesh Kayu dan rotan Kubus Silinder mengerucut 5 cm x 5 cm 150 cm 100 cm 50 cm 44 cm 29 cm 25 cm 35 cm 30 cm 15 cm 55 cm
Sumber : data penelitian (Siamanungkalit, 2008)
Desain dan konstruksi bubu nelayan Sibolga sangat dipengaruhi oleh nelayan asing yang pernah beroperasi di pantai Barat Sumatera (Hermawan, 2007). Konstruksi bubu nelayan yang biasanya digunakan nelayan Sibolga dapat dilihat pada Gambar 2.
25
Gambar 2 Desain bubu kawat nelayan Sibolga Bubu kawat nelayan Sibolga memiliki tulang yang terbuat dari rotan dan diberikan pemberat berupa batu karang pada setiap sudut alas bubu dengan cara diikatkan. Selimut bubu berukuran 5 cm dan pintu bukaan bubu terletak di bagian alas. Tali ris (main line) penghubung bubu diletakkan di bagian selimut atas bubu dan dihubungkan pada bubu lainnya karena sistem pengoperasian bubu bersifat rawai (bergandengan). Bubu di Sibolga biasanya hanya digunakan dalam 5 sampai 6 kali operasi dan ditempatkan dalam satu daerah pengoperasian selama kurang lebih 10 hari.
2.2.4 Tingkah laku ikan terhadap bubu Risamasu (2008) menyatakan, bubu merupakan salah satu alat tangkap yang bersifat pasif dan digunakan untuk menangkap ikan karang salah satunya adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Bubu memiliki pintu masuk yang berbentuk corong yang memungkinkan ikan mudah masuk tetapi akan sulit keluar (non return device). Bubu memiliki dinding dengan ukuran mata yang relatif kecil sehingga memungkinkan ikan kecil yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi akan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri. Ikan karang umumnya tertarik masuk ke dalam bubu karena beberapa alasan diantaranya sebagai tempat persembunyian atau menghindar dari predator. Untuk itu perlu dibuat sebuah celah pelolosan (escaping gap) pada bubu agar ikan yang masih kecil dapat meloloskan diri dan tidak terluka. Tingkah laku ikan melalui
26 celah pelolosan ini sangat berkaitan erat dengan bentuk dan ketinggian celah pelolosan dari dasar bubu (Norris, 2010). Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang operasi penangkapan ikan karang dengan bubu. Ikan karang yang sifatnya sering bersembunyi pada terumbu karang terpancing keluar saat mengetahui adanya makanan. Ketersediaan umpan dalam bubu akan memancing ikan masuk ke dalam bubu. Penciuman adalah salah satu indera yang paling sering digunakan ikan karang dalam mendeteksi keberadaan makanan. Penggunaan umpan untuk memancing ikan kerapu macan (epinephelus fusgoguttatus) adalah salah satu cara yang efektif menunjang produktivitas bubu kawat (Riyanto, 2008). Efektivitas umpan sangat ditentukan oleh sifat fisika dan kimiawi dari umpan itu sendiri. Ikan karang yang umumnya memiliki ketajaman penglihatan yang lebih rendah akan lebih baik merespon dengan menggunakan indera penciuman. Tingkat respon ikan terhadap umpan ditentukan oleh sifat umpan tersebut. Umpan yang memberikan aroma yang lebih menyengat akan memberikan respon yang lebih efektif dalam memancing ikan masuk ke dalam perangkap. Umpan yang mengandung protein, lemak dan asam amino akan memberikan aroma terhadap ikan. Komposisi protein tertinggi akan memberikan respon yang paling tinggi terhadap ikan. Waktu rata-rata arrousal ikan terhadap umpan buatan dalam bubu yang mengandung protein tidak berbeda nyata (Riyanto, 2008). Prinsip dasar penangkapan ikan dengan alat yang bersifat pasif adalah bagaimana ikan tertarik pada alat tangkap. Terumbu karang buatan adalah salah satu alternatif menciptakan daerah pengoperasian bubu yang efektif Pembuatan terumbu karang buatan ditujukan untuk membentuk lubang atau celah yang cukup banyak sebagai habitat keberadaan ikan karang. Karang buatan yang berbentuk piramid atau memiliki kemiringan yang teratur tercatat lebih banyak dihuni oleh ikan karang sebagai tempat persembunyian dan mencari makan. Bentuk karang yang lebih terjal mampu memberikan pengaruh arus yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan karang yang landai (Kurnia, 2003). Risamasu (2008) menyatakan bahwa pada umumnya jenis ikan yang menjadi target utama untuk ekspor dari pengoperasian bubu kawat adalah ikan-
27 ikan demersal yang bernilai ekonomis tinggi antara lain ikan kerapu, kakap, kuwe, rajungan, lobster dan beberapa jenis crustacea. Secara umum ada beberapa penerapan alat akustik yang digunakan dalam mempengaruhi hasil tangkapan dengan menggunakan bubu. Alat akustik umumnya menjadi pemegang peran utama (primer use) dalam optimasi pengoperasian bubu.
2.2.5 Bubu ramah lingkungan Sianida diperkenalkan pada perikanan karang yang menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkap yang berlipatganda. Sejak itu banyak daerah perairan yang memiliki terumbu karang mengalami kerusakan serius seperti di Pulau Bali. Penggunaan bahan kimia atau perusakan terumbu karang yang luar biasa menyebabkan kelestarian sumberdaya laut mulai terancam. Akibatnya keberadaan ikan demersal menjadi terancam bersama dengan beberapa jenis ikan hias ekonomis (Mahulette, 2004). Menurut Ayodhya dan Diniah (1989), alat penangkapan ikan demersal bermacam-macam, antara lain: pancing, bubu dan trawl dasar. Bubu yang umum dipakai di perairan Indonesia adalah jenis bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakkan bubu di sela-sela terumbu karang atau tempat hunian ikan. Bubu dikategorikan ramah lingkungan karena sifatnya yang pasif, berupa perangkap ikan yang tidak memberikan kerusakan pada lingkungan sekitar. Bubu terbuat dari kawat, rotan, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar (Brandt, 1984). Monintja dan Martasuganda (1991) mengemukakan bahwa bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan antara lain : 1)
Pembuatan bubu mudah dan murah
2)
Mudah dalam pengoperasiannya
3)
Hasil tangkapan diperoleh dalam keadaan segar
4)
Tidak merusak sumberdaya baik secara ekologi maupun teknik
5)
Biasanya dioperasikan pada tempat-tempat yang alat tangkap lain tidak bisa dioperasikan.
28 Bubu merupakan alat tangkap yang memiliki satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat ke daerah penangkapan dengan mudah. Bubu tetap dapat dioperasikan oleh nelayan tradisional dengan atau tanpa perahu. Cann dan Mounsey (1990) menambahkan bahwa bubu adalah semacam perangkap yang memudahkan ikan untuk memasukinya dan membuat ikan sulit untuk keluar. Alat ini juga sering diberi nama fishing pots atau fishing basket. Menurut Rounsevell dan Everhart dalam Rumajar (2001), bubu adalah alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di perairan baik laut maupun danau. Umumnya bubu berbentuk kecil dan ringan, dengan konstruksi demikian bubu dapat ditumpuk di atas kapal dalam jumlah banyak. Berdasarkan metode pengoperasiannya, bubu dapat dikelompokan dalam 3 kategori yaitu bubu dasar (stationery fish pot), bubu apung (floating fish pot) dan bubu hanyut (drift fish pot). Bubu kawat termasuk dalam kategori bubu dasar yang pengoperasiannya diletakkan di sela-sela karang. Alat tangkap ini menjadi ramah karena hasil tangkapannya selektif dan tidak merusak ekosistem.
2.3
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Pengertian pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan adalah
pemanfaatan sumberdaya daya ikan dan biota air lainnya untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Sumberdaya perikanan adalah jenis sumberdaya yang dapat diperbaharui. Jika kita dapat mengelola dengan baik dan disertai restocking, maka keberadaaan sumberdaya tersebut akan terjaga dan lestari (Bintoro, 1995). Kata berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya berasal dari bahasa Inggris sustainable yang berarti meneruskan tanpa berhenti atau terus menerus sehingga sustainable dapat diartikan sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara terus-menerus (Munasinghe. 1993). Sumberdaya ikan bersifat dapat pulih (renewable resource) yang memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, akan tetapi apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh akan mengarah pada pengurasan sumberdaya ikan. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan rantai ekonomi yang sebesar-besarnya hendaknya diperoleh tanpa melakukan pengurasan terhadap sumberdaya ikan itu sendiri. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan hendaknya diterapkan dalam
29 pengelolaan sumberdaya perikanan (Munasinghe, 1993). Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan dimulai pada tahun 1990 yang merupakan proses dari terjadinya beberapa perubahan (Fauzi dan Anna, 2002): 1)
Meningkatkan perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholder sebagai akibat rio summit yang menyerukan diperlukannya perbaikan secara global terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan
2)
Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy, tuna dan salmon yang menyadarkan orang tentang konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi namun juga konsekuensi sosial dan ekonomi
3)
Pemberdayaan para stakeholder yang menuntut diperlukan pandangan yang lebih luas (holistik) mengenai pengelolaan perikanan. The World Commission on Enviroment and Development (WCED), 1987
mendefenisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Monintja (1997) perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat didefenisikan sebagai usaha penangkapan ikan yang perlu memiliki beberapa persyaratan khusus antara lain: 1)
Produk-produk dapat diterima oleh masyarakat konsumen (marketable)
2)
Usaha penangkapan menunjukkan keragaman yang menguntungkan (profitable)
3)
Usaha penangkapan tidak mengganggu habitat serta kegiatan-kegiatan sub sektor lainnya (enviromental friendly)
4)
Usaha penangkapan akan dapat berjalan terus-menerus tanpa mengganggu kelestarian spesies sasaran (sustainable) Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan karena hal ini telah diamanatkan dalam deklarasi yang dihasilkan oleh United Nation Conference on Enviroment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, tahun 1992 dimana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mengisyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset
30 sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang minimal sama untuk generasi mendatang (UNCED, 1992). Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga dimensi utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan bersifat ekonomis, ekologis dan sosialis. Berkelanjutan secara ekonomis berarti suatu kegiatan pembangunan harus mampu membuahkan pertumbuhan ekonomi dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti bahwa kegiatan dimaksud harus mampu mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman sumberdaya
hayati
dapat
(biodiversity),
berkelanjutan.
sehingga
Berkelanjutan
diharapkan secara
pemanfaatan sosial
politik
mengisyaratkan bahwa kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan (Doring, 2001). Munasinghe (1993) juga mengemukakan tentang konsep sustainable development yang mempertimbangkan 3 (tiga) isu utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Bertambahnya penduduk dunia menyebabkan meningkatnya kebutuhan protein hewani sehingga hal ini juga meningkatkan level eksploitasi sumberdaya perikanan yang akan menyebabkan tercapainya tingkat eksploitasi penuh (fully exploited). Pemanfaatan sumberdaya pada level ini harus lebih hati-hati karena tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan sudah seimbang dengan daya dukung sumberdaya perikanan tersebut. Pada tahap ini pertimbangan yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sudah bergeser ke arah pertimbangan ekologi. FAO (1995) mengemukakan bahwa berdasarkan status pemanfatan sumberdaya perikanan dapat dibagi menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu: 1)
Unexploited; Stok sumberdaya perikanan belum tereksploitasi (masih perawan). Aktivitas penangkapan sangat dianjurkan untuk mendapatkan keuntungan dari produksi
31 2)
Lightly exploited; Stok sumberdaya baru tereksploitasi sedikit (<25% MSY). Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya. CPUE masih dimungkinkan untuk meningkat.
3)
Moderately exploited: Stok sumberdaya sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya, CPUE mungkin mulai menurun.
4)
Fully exploited; Stok sumberdaya sudah terekploitasi mendekati nilai MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan walaupun jumlah tangkapan masih bisa meningkat karena akan mengganggu kelestarian sumberdaya, CPUE harus menurun.
5)
Over exploited; Stok sumberdaya sudah menurun karena terekploitasi melebihi nilai MSY. Upaya penangkapan harus diturunkan karena kelestarian sumberdaya sudah terganggu.
6)
Depleted Stok sumberdaya dari tahun ke tahun jumlahnya menurun drastis. Upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan karena kelestarian sumberdaya sudah sangat terancam. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, erat hubungannya
dengan konsep pengembangan perikanan (fisheries development) dan pengelolaan perikanan (fisheries management). Tahap awal yaitu saat sumberdaya perikanan belum tereksploitasi (unexploited) atau baru saja tereksploitasi (lightly exploited), pemanfaatan sumberdaya yang dikenal pada tahap ini adalah pengembangan (development)
yaitu
mengupayakan
peningkatan
eksploitasi
sumberdaya
perikanan untuk mendapatkan keuntungan. Satu-satunya pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada tahap ini adalah orientasi ekonomi semata yang diwujudkan dengan peningkatan produksi. Selanjutnya oleh karena adanya peningkatan eksploitasi terus-menerus terhadap sumberdaya tersebut,
32 kondisi stok berubah statusnya menjadi tereksploitasi menengah (moderately exploited) (Garcia et al. 1999). Satu rumusan perikanan masa depan yang sudah menjadi komitmen internasional adalah terciptanya perikanan berkelanjutan (sustaineble fisheries) yang tidak semata memperhatikan aspek ekologis tetapi berdimensi ekonomi dan sosial (Dahuri, 2002). Walaupun harus diakui bahwa pengintegrasian secara seimbang ke tiga hal tersebut adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Charles (2001) menambahkan bahwa selain unsur sosial dan ekonomi, perikanan yang berkelanjutan harus memperhatikan aspek ekologi, komunitas dan institusi. Model pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan harus diterapkan pada sumberdaya yang statusnya sudah fully exploited. Jika hal ini diabaikan, cepat atau lambat sumberdaya perikanan akan menjadi lebih tangkap (over exploited) dan bahkan turun drastis akibat tidak terkontrolnya tingkat eksploitasi yang melebihi daya dukung sumberdaya ikan. Selanjutnya kepunahan sumberdaya (extint) hanya tinggal menunggu waktu (Garcia et al. 1999). Aktivitas perikanan tangkap cenderung mengikuti aturan pengembangan umum (commond development pattern), yaitu seiring dengan ditemukannya sumberdaya perikanan. Pada awalnya stok sumberdaya tersebut (waktu tertentu) dalam keadaan belum tereksploitasi, kondisi ini terus bergerak ke arah berkembang (moderately exploited) oleh karena adanya teknologi penangkapan, infrastruktur dan permintaan pasar yang menyebabkan meningkatnya upaya penangkapan dan produksi. Monintja (1999) mengemukakan beberapa kriteria teknologi penangkapan ikan yang dikatakan ramah lingkungan. Kriteria teknologi ramah lingkungan tersebut antara lain: 1)
Memiliki selektivitas alat tangkap tinggi Dasar yang digunakan untuk menilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan ikan adalah dilihat dari ukuran ikan hasil tangkapan dan lebar mesh size jaring. Semakin besar ukuran ikan hasil tangkapan dan ukuran mesh size jaring semakin tinggi nilai keramahan lingkungan alat tangkap tersebut
33 2)
Tidak destruktif terhadap habitat Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kerusakan pada habitat memiliki nilai keramahan yang tinggi
3)
Tidak membahayakan operator Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kecelakaan ada nelayan, memiliki keramahan yang tinggi
4)
Ikan tangkapan bermutu baik Mutu ikan hasil tangkapan akan menjadi tolak ukur nilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan. Semakin baik mutu ikan akan semakin tinggi nilai keramahannya
5)
Produk tidak membahayakan konsumen Teknologi penangkapan yang menghasilkan tangkapan yang paling aman dikonsumsi mendapat nilai keramahan paling tinggi
6)
Minimum discard dan by-catch Penilaian keramahan teknologi penangkapan pada materi ini didasarkan pada ada atau tidaknya hasil tangkapan yang dibuang. Dalam hal ini hasil tangkapan utama sebaiknya lebih banyak dibandingkan dengan hasil sampingan lainnya, maka penilaian keramahan tidak didasarkan pada ada atau tidaknya ikan hasil sampingan
7)
Tidak merusak keanekaragaman sumberdaya hayati Keramahan suatu teknologi penangkapan didasarkan pada ada atau tidaknya kerusakan keragaman sumberdaya hayati akibat aktivitas teknologi penangkapan tersebut
8)
Tidak menangkap protected spesies Faktor fishing ground dalam penangkapan harus membedakan jenis ikan yang ditangkap, oleh karena udang ada di dasar perairan maka tidak ada spesies ikan yang dilindungi seperti napoleon dan penyu. Nilai keramahan teknologi penangkapan yang ada adalah sama
9)
Diterima secara sosial Penerimaan masyarakat nelayan di lokasi penangkapan tidak menimbulkan konflik pemanfaatan terhadap nelayan lain
34 Aktivitas penangkapan ikan juga harus berjalan berkelanjutan. Monintja (1997) menyatakan bahwa kriteria aktivitas penangkapan ikan yang berkelanjutan yaitu: 1)
Menerapkan teknologi penangkapan ramah lingkungan Penerapan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan akan dijadikan dasar penilaian pada materi.
2)
Jumlah tangkapan tidak melebihi kuota Ukuran jumlah hasil tangkapan dan kemampuan menangkap adalah dasar pendekatan dalam penentuan penilaian tingkat keberlanjutan suatu teknologi penangkapan
3)
Menguntungkan Pendekatan yang digunakan adalah nilai NPV dan B/C Ratio
4)
Rendah investasi Tidak membutuhkan modal yang besar dan investasi bergulir secara cepat
2.4
Kelayakan Usaha Bubu Menurut Kadariah et al. (1999), analisis kelayakan usaha pada prinsipnya
dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan ini sangat tergantung pihak yang berkepentingan langsung dalam usaha, yaitu: 1)
Analisis finansial, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam usaha adalah individu atau kelompok individu yang bertindak sebagai investor dalam usaha. Dalam hal ini kelayakan usaha dapat dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima investor tersebut
2)
Analisis ekonomi, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam usaha adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini maka kalayakan usaha dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima oleh masyarakat. Analisis kelayakan dilakukan untuk mengkaji kemungkinan keuntungan
(profitability) atau kerugian yang diperoleh dari suatu usaha. Aspek ekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah besarnya
modal
investasi,
besarnya
modal
kerja,
proyeksi
hasil
tangkapan/pengembalian modal (Monintja et al., 1986). Dalam mengevaluasi
35 suatu usaha perlu memperhatikan beberapa aspek antara lain: analisis terhadap aspek ekonomi dan aspek finansial. Aspek finansial dievaluasi menyangkut perbandingan antara pengeluaran dan pengembalian, sedangkan aspek ekonomi diperhatikan dalam rangka menentukan apakah usaha akan memberikan sumbangan atau peran yang positif. Bentuk sumbangan tersebut meliputi pembangunan alat tangkap, bahan bakar dan lain-lain (Kadariah et al., 1999). Para ahli telah mengembangkan ukuran menyeluruh sebagai dasar pengukuran kelayakan proyek/sebuah usaha yaitu “investment criteria” yang hakekatnya untuk mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari usaha. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kebaikan, sehingga dalam menilai kelayakan usaha sering digunakan lebih dari satu kriteria. Beberapa kriteria investasi yang digunakan pada penelitian ini adalah:
2.4.1 Net Present Value (NPV) Investasi bersifat jangka panjang sehingga perhitungan/analisis keuangan harus dilakukan jauh ke depan. Batasan rentang waktu minimal yang diperlukan oleh kegiatan investasi untuk menghasilan keuntungan bersih yang wajar. Dengan alasan tersebut perhitungan nilai uang saat ini (semua pengeluaran dan pemasukan selama periode usaha) harus dihitung dengan nilai uang saat ini menjadi pertimbangan penting. Menurut Kadariah et al. (1999), metode NPV digunakan untuk menentukan nilai net cash flow pada masa yang akan datang, yang kemudian didiskontokan menjadi nilai sekarang dengan menggunakan tingkat bunga tertentu dan dikurangi dengan investasi awal. Suatu usaha akan dinyatakan layak jika nilai NPV > 0. Jika NPV = 0 berarti proyek tersebut mengembalikan tepat sebesar social opportunity cost of capital. Jika NPV < 0, proyek ditolak, artinya ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan dalam kelayakan usaha.
2.4.2 Internal Rate of Return (IRR) Kelayakan suatu usaha dapat dilihat dari perbandingan antara laju perolehan keuntungan dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperoleh dari sejumlah
36 investasi yang disimpan di bank. Dalam konteks bisnis, keuntungan yang diperoleh dari investasi harus lebih besar dari keuntungan yang dapat diperoleh dari bunga bank. Hal ini adalah wajar karena kegiatan investasi memerlukan upaya dan mengandung resiko yang lebih besar dibandingkan dengan menyimpan uang di bank. Kadariah et al. (1999) menyatakan bahwa, IRR merupakan suatu tingkat bunga (discount rate) yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol. Besarnya nilai IRR tidak ditentukan secara langsung. Untuk menentukan berapa tepatnya tingkat bunga tersebut adalah dengan menggunakan coba-coba (trial and error) melalui interpolasi, yakni dengan menyisipkan tingkat bunga diantara bunga yang menghasilkan NPV positif dan tingkat bunga yang menghasilkan NPV negatif. Selanjutnya dinyatakan bahwa IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi dalam suatu usaha, asal setiap keuntungan bersih yang diperoleh tiap periode ditanam kembali pada periode berikutnya.
2.4.3 Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) Analisis B/C Ratio merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) digunakan untuk mengetahui berapa besar penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis usaha bubu. Semakin tinggi nilai B/C rasio usaha bubu, maka akan semakin besar peluang pengembangan yang dapat dilakukan. Nilai Net B/C merupakan perbandingan antara total nilai sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif (Bt – Ct > 0) dengan total nilai sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif (Bt – Ct < 0) (Kadariah et al., 1999).
2.4.4 Break Even Point (BEP) Break event point menunjukan produksi minimum setiap tahun pada tingkat tidak untung dan tidak rugi. Break even point atau analisis titik impas adalah suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui sampai pada batas mana usaha bubu yang dijalankan masih mendatangkan keuntungan. Keadaan titik impas merupakan keadaan dimana penerimaan perusahaan (TR) sama dengan biaya yang ditanggungnya (TC), TR = TC.
37
2.5
Pengembangan Usaha Perikanan Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa
Indonesia berarti pengertian proses, cara atau perbuatan mengembangkan. Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998) memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau sebuah lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan keinginan rakyat. Suatu kebijakan mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga penilaian kebijakan (Abidin, 2004). Kebijakan yang dilakukan akan bertolak pada dasar hukum serta peraturan yang berlaku. Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu perubahan dari suatu yang dinilai kurang menjadi sesuatu yang dinilai lebih baik. Kemajuan akan dicapai apabila kondisi ekonomi berubah/meningkat. Perubahan ekonomi berkaitan erat dengan mekanisme ekonomi, sosial dan institusional baik swasta maupun pemerintah untuk dapat menciptakan perbaikan taraf hidup masyarakat dengan luas dan cepat. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan umum perikanan. Syaratsyarat yang harus dipenuhi menurut Monintja (2003) yaitu: 1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak; 2) menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan; 3) menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein; 4) mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang bisa diekspor; 5) tidak merusak kelestarian sumberdaya.
38 Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonomi (Barus et al., 1991). Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988) dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-tekhnico-socio-economi approach oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya; 2) secara teknis efektif digunakan; 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan; 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan perikanan. Apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan haruslah dicapai dengan: 1)
Menyediakan kesempatan kerja yang banyak;
2)
Menjamin pendapatan yang memadai bagi tenaga kerja atau nelayan;
3)
Menjamin jumlah produksi yang tinggi;
4)
Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor;
5)
Tidak merusak kelestarian sumberdaya ikan. Intensifikasi untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan pada
dasarnya merupakan penyerapan teknologi modern pada sarana dan teknik yang digunakan termasuk alat penangkapan ikan, perahu atau kapal dan alat bantu penangkapan ikan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah namun tidak semua modernisasi dapat menghasilkan peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan nelayan. Produksi teknik penangkapan ikan yang baru harus didahului dengan penelitian dan percobaan yang intensif dengan hasil yang meyakinkan (Wisudo et al., 1994).
39 Pengembangan perikanan tangkap akan mengalami berbagai masalah. Masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan perikanan tangkap antara lain: 1)
Usaha perikanan tangkap masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil;
2)
Tidak ada kepastian dalam hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku;
3)
Maraknya IUU fishing oleh nelayan asing maupun nelayan local sehingga beberapa jenis alat tangkap produktivitasnya mengalami penurunan;
4)
Rendahnya kepastian hukum;
5)
Kurang insentifnya investasi;
6)
Banyaknya pungutan terhadap pelaku usaha baik yang resmiu maupun tidak resmi;
7)
Keamanan kegiatan penangkapan diberbagai wilayah kurang kondusif;
8)
Bidang perikanan tangkap dipandang tidak bankable;
9)
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
10)
Sarana dan prasarana daerah tertentu belum memadai
11)
Tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah terutama terkait dengan pungutan, distribusi dan pajak pengusahaan perikanan (DJPT, 2004) Pengembangan perikanan demersal dengan memodifikasi bubu kawat di
perairan pantai Barat Sumatera dikaji dengan menggunakan dua pendekatan yaitu Analysis Hierarchy Process (AHP) dan Strenghts Weaknesess Opportunities Threats (SWOT). Kedua pendekatan ini diharapkan dapat memberikan hasil akhir berupa perumusan strategi yang dapat diimplementasikan pada perairan pantai Barat Sumatera.
2.5.1 Analysis Hierarchy Process (AHP) Analysis Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu alat analisis pendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan, alokasi sumberdaya, serta penentuan bobot dan prioritas alternatif strategi atau kebijakan (Saaty, 1993). AHP dapat juga digunakan untuk memilih portofolio, analisis biaya manfaat, peramalan dan lain-lain (Mulyono, 1991). Metode ini dapat digunakan untuk kondisi pengambilan keputusan yang memiliki banyak kriteria yang tidak
40 pasti dan dibutuhkan segera untuk diimplementasikan. AHP merupakan suatu pendekatan sistem yang digunakan untuk menelaah konsistensi dari suatu kebijakan strategi yang bersifat hirarki. Kompleksitas permasalahan yang terkait dengan pengambilan keputusan distrukturkan dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk memasukkan skala prioritas relatif terhadap alternatif keputusan. Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970. Menurut Permadi (1992) pendekatan AHP adalah salah satu bentuk operation research yang sudah kembali pada ciri operasionalnya. Metode AHP telah diaplikasikan dalam berbagai bidang ekonomi, sosial dan manajemen. Expert choice merupakan perangkat lunak yang umum digunakan dalam membantu proses AHP. Desain program ini telah disesuaikan dengan kebutuhan proses analisis dan dibangun untuk memudahkan pengguna (user friendly). Metode AHP pada dasarnya merupakan sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi dan preferensi manusia. Masalah yang kompleks dan tidak terstruktur diuraikan ke dalam kelompok atau kriteria, kemudian kelompok ini diatur ke dalam suatu bentuk hirarki (Permadi, 1992). Tingkat kepentingan dalam AHP terletak pada tingkat variabel-variabel setiap kriteria, komponen kriteria dan alternatif keputuasan ditentukan melalui pemberian nilai numerik secara subjek. Nilai subjek tersebut akan dibandingkan dengan nilai variabel pada setiap levelnya. Hasil berbagai pertimbangan tersebut kemudian disintesis untuk menetapkan
variabel
yang
memiliki
prioritas
tertinggi
dan
berperan
mempengaruhi hasil pada sistem yang sedang dianalisis. AHP juga menguji konsistensi penilaian bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka diperlukan evaluasi ulang penilaian atau hirarki distruktur ulang. Keberhasilan analisis AHP untuk memperoleh keputusan yang representatif sangat ditentukan oleh keefektivan struktur hirarki dan ketepatan kriteria terpilih serta kesempurnaan intuisi dan kapasitas key person. AHP adalah suatu hirarki fungsional dengan memanfaatkan persepsi dari key person yang terkait dengan masalah yang diteliti. Metode ini memiliki kelebihan karena prosedurnya sederhana dan tidak memerlukan asumsi. Metode AHP sering digunakan dalam
41 proses pengambilan keputusan yang kompleks dengan permasalahan yang tidak terstruktur termasuk dalam penyelesaian permasalahan yang bersifat strategis dan makro, seperti pengelolaan perikanan tangkap. Penyelesaian persoalan dengan menggunakan AHP menurut Saaty (1993) meliputi 3 (tiga) prinsip dasar yaitu: 1) prinsip penyusunan hirarki, 2) prinsip penentuan prioritas dan 3) prinsip konsistensi logis, sehingga dalam AHP harus dilakukan: 1)
Dekomposisi, merupakan langkah untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur yang tidak mungkin diuraikan lagi dan akhirnya akan diperoleh beberapa tingkatan persoalan yang disusun terstruktur sebgai suatu hirarki;
2)
Perbandingan berpasangan, melakukan perbandingan kepentingan relatif antara dua elemen pada tingkat tertentu dengan tingkat diatasnya;
3)
Sintesa dan prioritas, merupakan langkah untuk mencari faktor eigen pada setiap matriks berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas. Berdasarkan nilai prioritas lokal dari berbagai matriks, akan diperoleh nilai prioritas global. Dengan demikian prosedur menentukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki
4)
Konsistensi, mengandung dua arti yaitu konsistensi yang menyangkut pengelompokan objek berdasarkan keragaman atau relevansinya dan menyangkut hubungan antara objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Jika penilaian tidak konsisten maka proses harus diiterasi untuk mendapatkan nilai yang tepat. Tahap terpenting dari proses analisis hirarki adalah penilaian perbandingan
pasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antara komponen (elemen) dalam satu tingkat hirarki. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan sejumlah kombinasi elemen yang ada pada setiap hirarki, sehingga dapat dilakukan penelitian kuantitatif untuk mengetahui besarnya bobot setiap elemen. Perbandingan pasangan berbentuk matriks yang merupakan bentuk paling disukai.
42
2.5.2 Strenghts, Weaknesess, Opportunities, Threats (SWOT) Salah satu perumusan strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan sektor perikanan adalah analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan analisis berbagai faktor secara sistematis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan
meminimalkan
kelemahan
(strengths)
dan
(weaknesses)
peluang
dan
(opportunities)
ancaman
(threats).
serta Proses
pengambilan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini (Rangkuti 2001). Analisis SWOT dampak kegiatan perikanan bubu
terhadap masyarakat
digolongkan ke dalam faktor eksternal (peluang dan ancaman) atau dampak yang bersifat langsung, dan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) atau dampak tidak langsung. Identifikasi kondisi internal meliputi: (1) kondisi dan ketersediaan tenaga kerja; (2) penguasaan teknologi penangkapan ikan demersal; (3)
pola-pola
pengembangan sarana dan fasilitas; (4) sumber daya modal dan investasi; (5) pengembangan investasi; (6) kelembagaan lokal dan pemerintahan; serta (7) daerah pemasaran. Faktor eksternal meliputi (1) pasar ekspor yang terbuka; (2) perdagangan bebas; (3) minat investor dalam perikanan tangkap cukup tinggi: (4) pembinaan terhadap nelayan intensif. Formulasi strategi disusun dengan cara menentukan faktor-faktor strategis eksternal, menentukan faktor-faktor strategis internal dan perumusan alternatif strategi.