7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Kerapu Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis, dan ada beberapa ikan kerapu hidup di terumbu karang. Kerapu muda hidup di daerah padang lamun, tetapi pada saat dewasa hidup di pantai berpasir atau di daerah pantai berlumpur. Beberapa spesies kerapu hidup pada kedalaman 100-200 m (adakalanya sampai kedalaman 500 m), tetapi pada umumnya kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m (Philip & Randall 1993). Menurut Philip dan Randall (1993), habitat ikan kerapu berada pada perairan dasar, terumbu karang dan karang berbatu pada kedalaman kurang dari 60 m. Pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m, dimana perpindahan ini biasanya terjadi pada siang dan sore hari. Telur dan larva kerapu bersifat pelagis, sedangkan muda hingga dewasa bersifat demersal (Tampubolon & Mulyadi 1989). Ikan kerapu tersebar luas di Pasifik Barat, mulai Jepang bagian selatan sampai Palau, Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australia bagian selatan serta Laut India bagian timur dari Nicobar sampai Broome. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di wilayah perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Madura, Kalimantan dan Nusa Tenggara (Heemstra & Randall 1993). Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperature 24-31o C, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 7,8-8. Perairan dengan kondisi seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana 2006). Kebanyakan jenis komersial penting, termasuk jenis ikan kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal adalah kelompok species ikan yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi
8 agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997). Jenis
ikan
kerapu
umumnya
merupakan
hermaprodit
protogyni
(Shapiro1987 in Levin & Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya mamiliki jenis kelamin betina dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin & Grimes 1991). Selanjutnya Levin & Grimes (1991) menjelaskan bahwa eksploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalaupun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al. 1994 in Levin & Gimes 1991).
2.2 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut merupakan: a) tempat tumbuh biota laut (tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut), dan menjadi sumber protein bagi masyarakat pesisir; b) plasma nutfah; c) sumber bahan baku berbagai bangunan, perhiasan dan penghias rumah; dan d) objek wisata bahari (keindahan ekosistem ini dengan keanekaragaman jenis dan bentuk biota, keindahan warna, serta jernihnya perairan yang mampu membentuk perpaduan harmonis dan estetis, sehingga ideal untuk tempat rekreasi laut). Selain itu, ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung
9 terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan gelombang sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Dahuri et al. 2001) Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti : a). beraneka ragam avertebrata: terutama karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili laut; b). beraneka ragam ikan : terutama 50–70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; c). reptil seperti ular laut dan penyu laut; d). ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Bengen 2001). Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh aktifitas hewan karang (Filum Cnidaria, Klas Anthozoa, Ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Struktur bangunan batuan kapur (CaCO3) cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gelombang air laut, sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian koral adalah algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Menurut Nybakken (1997), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah : 1.
Kedalaman Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0–25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50–70 m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulaupulau.
2.
Suhu (Temperatur) Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23oC–25oC. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu di bawah 18 oC.
Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi
berkisar antara 36oC–40oC. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
10 terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang. 3.
Cahaya Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15–20% dari intensitas di permukaan.
4.
Salinitas Karang tidak dapat bertahan pada salinitas di luar 32–35o/ oo. Namun pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 42o/ oo . Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran diatas, terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan yang didalam tubuhnya akan keluar.
5.
Pengendapan Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang adalah pengendapan dimana pengendapan yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang.
Endapan
mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. Pertumbuhan terumbu karang akan menjadi terhambat apabila daerah terumbu karang tersebut mengalami kerusakan. Faktor-faktor yang sangat dominan dalam kerusakan terumbu karang adalah faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan akibat faktor alam bagi terumbu karang terutama disebabkan oleh perusakan tektonik akibat gempa di dasar laut yang menyebabkan tsunami dan mekanik melalui badai tropis yang hebat sehingga koloni terumbu karang tersebut terangkat dari terumbu. Badai bisa memporak-porandakan karang baik di daerah
11 reef flat, reef edge dan reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan terutama pada terumbu karang yang letaknya di pantai pulau terpencil yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan bebas. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching. Di samping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang diketahui juga tidak kalah pentingnya andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi (Echinometra mathaei, Diadema setosum, dan Tripneustes gratilla), dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua (Scarrus sp.), Kepe-kepe (Chaetodon sp.) dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang (Supriharyono 2000). Faktor kerusakan lainnya disebabkan oleh kegiatan manusia secara langsung yang dapat menyebabkan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi berlebihan pada sumberdaya tertentu. Pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak baik kecelakaan kapal di laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Disamping itu kegiatan pertanian dan perkebunan di daerah dataran tinggi dapat menyebabkan sedimentasi di daerah pesisir (Supriharyono 2000).
2.3
Kondisi Lingkungan Perairan Kondisi suatu perairan merupakan faktor kunci yang mendukung kehidupan
flora dan fauna. Kondisi perairan tersebut meliputi sifat fisika, kimia dan biologi. Sifat fisika yang penting antara lain adalah suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus dan kedalaman. Suhu suatu badan air di pengaruhi oleh musim, lintang (latiude), ketinggian dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu
12 tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya, algae dari filum Clorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30-35oC dan 20-30oC. Filum Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Chlorophyta dan diatom (Haslam 1995 in Hefni Effendi 2003). Suhu juga sangat berperan
mengendalikan
kondisi
ekosistem
perairan.
Peningkatan
suhu
mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutn gas dalam air, misalnya O 2 , CO 2 , N 2 , CH 4 dan sebagainya (Haslam 1995 in Effendi 2003). Selain itu suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolism dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolism dan respirasi. Peningkatan suhu juga mengakibatkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Pada Perairan laut dan limbah industri, salinitas perlu diukur. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1998 in Effendi 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua korbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (o/ oo ). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5 o/ oo, perairan payau antara 0,5-30 o/ oo , dan perairan laut 30-40 o/ oo. Pada Perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40-80 o/ oo. Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai (Effendi 2003). Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh
13 keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi 2003). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di adalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis & Cornwel 1991 in Effendi 2003). Kekeruhan dinyatakan dalam satuan turbiditas, yang setara dengan 1 mg/liter SiO 2. Peralatan yang pertama kali digunakan untuk mengukur kekeruhan adalah Jackson Candler Turdimeter dengan satuan 1 JTU. Selain dengan menggunakan Jackson Candler Turdimeter, kekeruhan sering diukur dengan metode Nephelometric. Satuan kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Sawyer & McCarty 1978 in Effendi 2003). Satuan JTU dan NTU sebenarnya tidak dapat saling mengkonversi, akan tetapi, menurut Sawyer dan McCarty (1978) in Effendi (2003) mengemukakan bahwa 40 NTU setara dengan 40 JTU. Sedangkan sifat kimia yang penting adalah pH, pada dasarnya keasaman tidak sama dengan pH. Asiditas (keasaman) melibatkan dua komponen yaitu jumlah asam (baik asam kuat maupun asam lemah), dan konsentrasi ion hydrogen. Menurut APHA (1976) in Effendi (2003), pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk menetralkan basa hingga pH tertentu. Mackereth et al. (1989) in Effendi (2003) berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukan dalam Tabel 1.
14 Tabel 1 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan Nilai pH 6,0 – 6,5
5,5 – 6,0
5,0 – 5,5
4,5 – 5,0
Pengaruh Umum 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun. 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan. 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak. 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan yang berarti. 3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral. 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos. 3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat. 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos. 3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat.
Sumber : Modifikasi Baker et al (1990) in Effendi (2003)
Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun, algae Clamydomonas acidophila masih dapat bertahan hidup pada pH yang sangat rendah yaitu 1, dan algae Euglena masih dapat bertahan pada pH 1,6 (Haslam 1995 in Effendi 2003).
2.4
Hubungan Ikan Kerapu dengan Terumbu Karang Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk
pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah luar karang sebagai tempat mencari makan. Selain itu terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat memijah dan daerah pengasuhan bagi biota laut. Interaksi antara ikan dengan terumbu karang sebagai habitat telah dipelajari oleh Choat & Bellwood (1991) yang membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang dan menyimpulkan tiga bentuk umum hubungan, yaitu:
15 1.
Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda.
2.
Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.
3.
Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen. Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung
dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Menurut Kuiter (1992), ikan kerapu tergolong ikan karnivora, hidup soliter dan banyak terdapat di daerah terumbu karang serta muara sungai. Kerapu termasuk ke dalam predator yang dominan pada habitat karang dengan makanan utamanya adalah ikan, krustasea dan chepalopoda (Heemstra & Randall 1993). Menurut Utojo et al. (1999) ikan kerapu hidup secara soliter pada daerah terumbu karang yang berasosiasi dengan jenis Porites sp., Acropora sp., Foliosa, Sponge, Pinctada dan Tridacna. Umumnya ikan kerapu hidup di daerah terumbu karang pada kedalaman 5 – 20 m di semua tipe terumbu karang dengan kategori kondisi yang baik. Ikan kerapu dalam kehidupannya biasanya menetap atau tidak berpindah-pindah (sedentary), kebanyakan ikan kerapu macan memanfaatkan liang/lobang yang ada di daerah terumbu karang sebagai tempat berlindung (Yeeting et al. 2001).
2.5
Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Ekosistem Terumbu karang menyediakan sumber makanan tidak hanya kepada
organisme yang berada disekitarnya, namun merupakan sumber vital bagi ketersedian makanan bagi ratusan juta manusia di dunia. Terumbu karang merupakan sumber utama bagi mata pencaharian penduduk pesisir dan pantas
16 menerima perhatian dari seluruh dunia. Terumbu karang menutupi hampir kurang lebih 1% dari wilayah lautan, terumbu karang juga merupakan tempat hidup bagi hampir 1/3 spesies ikan laut di dunia (Rinkevich 2008), menyediakan sekitar 10% dari total konsumsi ikan oleh manusia. Di samping itu bahwa terumbu karang menjadi fokus utama industri pariwisata (Ahmed et al. 2007). Ketika perusakan berlangsung, maka terumbu karang akan kehilangan fungsi ekologi dan biologinya. Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang akibat dari alam dan kegiatan manusia, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan oleh manusia, agar kerusakan oleh alam dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kelestarian lingkungan. Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi terumbu karang sebagai tempat ikan tersebut tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan dan manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna perairan. Menurut Bengen (2005) bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa pengelolaan dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan.
17 Sedang keberlanjutan ekonomi berarti bahwa kegitan pengelolaan dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Mengingat begitu besarnya peranan terumbu karang bagi manusia dan untuk mencegah kerusakannya, maka pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak lepas dari beberapa aspek sebagai berikut (Supriharyono 2000) : 1.
Pertimbangan fisik, pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi area/ lokasi, kondisi geologis, tipe arus pasang surut utama di daerah tersebut dan gambaran awal lokasi
2.
Pertimbangan
biologis,
kelimpahan,
komposisi;
meliputi
kondisi
perubahan,
biota
indikator
dalam
penyebaran,
kerusakan,
indikator
pemanfaatan dan eksploitasi; pertimbangan khusus pada lokasi pembesaran atau pemijahan spesies langka yang endemik dan ekonomis. 3.
Pertimbangan sosio-ekonomis, meliputi pemanfaatan ekosistem terumbu karang; konflik faktual dan potensial yang akan terjadi diantara pemanfaat.
4.
Pertimbangan budaya, meliputi asal usul pemanfaat ekosistem terumbu karang
secara
tradisional;
tradisi pemanfaatan;
perubahan
konsep
pemanfaatan secara tradisional ke modern. Menurut UNESCO (1988) bahwa untuk mempertahankan fungsi dari ekosistem terumbu karang, khususnya produktifitasnya yang tinggi telah dicanangkan suatu strategi pengelolaan terumbu karang dan telah menjadi prioritas dunia yang dikenal sebagai World Consenvational Strategy. Di dalam strategi tersebut bahwa ada lima pendekatan dasar pengelolaan konservasi yaitu: 1.
Zonation (zoning) Penentuan untuk semua, atau bagian spesifik dari area yang dikelola, tujuan khusus penggunaan dan izin masuk yang meliputi: -
Preservation zone (zona perlindungan), tidak ada akses bagi orang untuk memasuki area tersebut selain dari pengamatan penelitian yang diperbolehkan, area diperuntukkan sebagai sumber genetik.
-
Scientific Research zone (zona penelitian ilmiah), dimana orang dapat diperbolehkan asuk hanya untuk tujuan penelitian yang diizinkan.
18 -
Wilderness Zone (zona taman laut) dimana izin untuk masuk kawasan dibatasi, tetapi tidak diperbolehkan untuk berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan.
-
National Park zone (zona taman nasional) orang dapat diizinkan untuk masuk tetapi tidak untuk berburu, penangkapan dan pengumpulan.
-
Recreational Zone (zona rekreasi), orang diijzinkan masuk dalam tingkat tinggi dan kontrol tingkat pemburuan, penangkapan ikan dan pengumpulan.
-
General Use Zone (zona penggunaan umum), dimana kegiatan komersial, rekreasi dan mata pencaharian lainnya diperbolehkan dengan kemungkinan pengadaan aturan untuk pengendalian jangka panjang atau melindungi area yang lebih sensitif.
2.
Penutupan secara periodik (Periodic Closure) Hal ini dapat seperti penutupan singkat (short-term closure) selama sebagian waktu dalam satu tahun misalnya waktu pemijahan dari berbagai spesies, atau penutupan dalam waktu beberapa tahun untuk membuat pulih habitat yang rusak oleh manusia atau fakor alam lainnya.
3.
Pembatasan Hasil (Yield Constraints) Determinasi tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan untuk ikan produk lainnya, hal ini bisa seperti: -
Memonitor hasil dan pelarangan penangkapan setelah beberapa tangkapan telah didapat atau,
-
Membatasi jumlah individu atau jumlah dan kapasitas kapal yang diperbolehkan menangkap di area yang dimaksud.
4.
Pembatasan Peralatan (Equipment Constraints) -
Pelarangan bahan peledak, racun dan tehnik penangkapan dan panen lainnya yang dapat merusak fisik terumbu karang
-
Penentuan ukuran mata jaring yang memungkinkan ikan-ikan kecil tumbuh sampai umur siap memijah,
-
Pelarangan penggunaan jangkar dengan desain tertentu yang sangat merusak.
19 5.
Pengurangan dampak (Impact Limitations) -
Penentuan batasan bahan pencemar yang diperbolehkan,
-
Penentuan jumlah penyelam, reef walkers, jumlah kapal ukuran kecil diperbolehkan.