6
TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila Ikan nila (Oreochromis niloticus) termasuk dalam family Chiclidae. Ciri yang spesifik pada ikan nila adalah adanya garis vertikal berwarna gelap di tubuh berjumlah 6-9 buah dan di sirip ekor sebanyak 6-7 buah. Garis-garis tersebut juga ditemui di sirip punggung dan sirip dubur (Trewavas 1983).
Gambar 1. Ikan nila dewasa
Dilihat dari ciri kelamin primer, ikan nila jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan jumlah lubang di sekitar anus. Pada ikan nila jantan terdapat 2 lubang yaitu lubang anus dan lubang urogenital, sedangkan pada ikan nila betina terdapat 3 lubang yaitu lubang anus, lubang ureter dan lubang genital. Ciri kelamin sekunder biasanya ditunjukkan dengan ukuran ikan jantan yang lebih besar dibanding dengan ikan betina (Rokhmulyenti 2003). Pada ikan nila terdapat fenomena sexual dimorphism, yaitu suatu kondisi yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan betina. Popma dan Masser (1999) menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ikan nila jantan 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan ikan nila betina. Ditambahkan oleh Griffin (2005) bahwa selain tumbuh lebih cepat, nila i rasio konversi pakan ikan nila jantan juga lebih baik dibanding ikan nila betina. Beberapa penelitian lainnya juga melaporkan bahwa budidaya ikan nila tunggal kelamin jantan menghasilkan produksi yang lebih baik dengan waktu panen yang
7
lebih cepat (Rakocy & McGinty 1989; Tave 1993; Mair et al. 1995; Tave 1996; Chapman 2000; Dunham 2004; Gustiano 2006). Kematangan seksual pada ikan nila dipengaruhi oleh umur, ukuran dan kondisi lingkungan. Populasi ikan nila yang berada pada perairan yang luas mencapai kematangan lebih lambat dibandingkan yang dipelihara di kolam. Sebagai gambaran, ikan nila pada beberapa danau di Afrika Timur matang kelamin pada umur 10-12 bulan pada ukuran 350-500 g. Jika dipelihara di kolam budidaya dengan kondisi optimal, ikan ini akan mencapai kematangan kelamin pada umur 5-6 bulan dengan ukuran 150-200 g, tetapi jika kondisi kolam budidaya tidak optimal, usia kematangan akan lebih lama sekitar 1-2 bulan tetapi akan memijah pada ukuran yang lebih kecil yaitu sekitar 20 g (Popma & Masser 1999).
Determinasi dan diferensiasi kelamin Jenis kelamin individu ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Secara genetik, jenis kelamin ditentukan oleh kromosom dan sudah ditentukan sejak terjadinya proses pembuahan (Maty 1985). Yamamoto (1969) menyatakan jika faktor jantan lebih dominan daripada faktor betina maka zigot akan tumbuh dan berkembang menjadi jantan, demikian pula sebaliknya. Proses diferensiasi merupakan proses perkembangan gonad menjadi jaringan definitif. Hunter dan Donaldson (1983) menjelaskan bahwa proses ini terdiri dari serangkaian kejadian yang memungkinkan kelamin genotipe terekspresi menjadi kelamin fenotipe. Diferensiasi kelamin merupakan proses yang relatif labil khususnya diferensiasi kelamin pada ikan dibanding vertebrata yang lebih tinggi. Kondisi ini memungkin kan untuk dilakukannya rekayasa kelamin. Periode labil ini dapat digambarkan melalui studi histologi pada saat diferensiasi kelamin. Beberapa hasil studi yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa terdapat 2 kelompok utama proses diferensiasi kelamin yang terjadi pada ikan teleostei (bertulang keras). Kelompok pertama adalah spesies yang berdiferensiasi pada saat menetas dan berakhir selama waktu yang relatif pendek, yaitu 10-40 hari. Kelompok kedua adalah spesies yang berdiferensiasi mulai pada tahap akhir
8
juvenil dan berakhir selama periode 150-500 hari (Yamazaki 1983; Shelton & Jensen 1979, diacu dalam Pandian & Sheela 1995). Walaupun determinasi kelamin individu pada awalnya ditentukan oleh genom individu tersebut, tetapi pengalihan dari kelamin genotipe ke kelamin fenotipe dilakukan melalui mekanisme biokimia yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan (Chan & Yeung 1983). Ditambahkan oleh Dunham (1990) bahwa meskipun jenis kelamin genotipe ditentukan pada saat terjadinya fertilisasi, tetapi penetuan jenis kelamin fenotipe dipengaruhi oleh perkembangan individu tersebut. Jika selama perkembangan individu tersebut diintervensi dengan bahanbahan tertentu, misalnya hormon androgen atau estrogen, maka perkembangan gonad dapat berlangsung secara berlawanan dengan yang seharusnya.
Sex reversal Sex reversal merupakan suatu teknik untuk mengubah jenis kelamin secara buatan dari ikan jantan menjadi betina atau sebaliknya. Borg (1994) menyatakan bahwa sex reversal merupakan teknik pembalikan jenis kelamin pada saat diferensiasi kelamin, yaitu pada saat otak dan embrio masih berada pada keadaan bi-potential dalam pembentukan kelamin secara fenotipe (morfologis, tingkah laku dan fungsi). Hal ini dijelaskan pula oleh Yamamoto (1969) bahwa perubahan kelamin secara buatan akan sempurna jika dilakukan pada saat mulainya proses diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi.
Hormon steroid Salah satu teknik sex reversal adalah dengan memberikan hormon steroid pada fase labil kelamin. Pada beberapa spesies ikan jenis teleost gonochoristic, fisiologi kelamin dapat dengan mudah dimanipulasi melalui pemberian hormon steroid (Piferrer et al. 1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan manipulasi kelamin pada ikan menggunakan hormon dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu dan cara pemberian hormon serta lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan. Ditekankan oleh Hunter dan Donaldson (1983) bahwa keberhasilan pemberian
9
hormon sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad, yaitu pada saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh hormon. Hormon steroid yang dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad terdiri atas hormon androgen untuk maskulinisasi, estrogen untuk feminisasi dan progestin yang berhubungan dengan proses kehamilan (Hadley 1992). Namun, pada tahap perkembangan gonad belum terdiferensiasi menjadi jantan atau betina, hormon steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan menggunakan hormon steroid sintetik (Hunter & Donaldson 1983). Salah satu jenis hormon steroid sintetik yang banyak digunakan untuk proses sex reversal pada ikan, khususnya ikan nila, adalah hormon 17a-methyltestosterone (mt). Hormon 17a-mt merupakan hormon androgen yang bersifat stabil dan mudah dalam penanganan (Yamazaki 1983). Pemberiannya dapat dilakukan secara oral (Misnawati 1997), perendaman embrio alevin maupun larva (Laining 1995) maupun implantasi dan injeksi (Mirza & Shelton 1988).
Aromatase dan Aromatase Inhibitor Selain dengan pemberian hormon steroid, diferensiasi kelamin juga dipengaruhi oleh ekspresi dari gen yang menghasilkan enzim aromatase (Patino 1997). Aromatase adalah enzim cytochrome P-450 yang mengkatalis perubahan dari androgen menjadi estrogen. Aktivitas enzim aromatase terbatas pada daerah dengan target estradiol dan berfungsi untuk mengatur jenis kelamin, reproduksi dan tingkah laku (Callard et al. 1990). Ada 2 bentuk gen aromatase pada ikan yaitu aromatase otak dan aromatase ovari. Aromatase otak berperan sebagai pengatur perilaku sex spesifik pada mamalia dan burung (Schlinger & Callard 1990, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001) dan juga mengatur reproduksi pada ikan (Pasmanik et al. 1988, diacu dalam Melo & Ramsdell 2001). Aktivitas enzim aromatase pada otak teleostei 100-1000 kali lebih tinggi dibanding pada mamalia. Aktivitas enzim aromatase ovari kurang dari 1/10 kali aktivitas enzim aromatase otak (Gelinas & Callard 1993, diacu dalam Tchaudakova & Callard 1998). Fungsi cytocrome P-450 pada determinasi jenis kelamin telah teruji karena merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam proses aromatisasi dari androstenedione menjadi
estrone atau testosterone menjadi estradiol-17ß
10
(Jeyasuria et al. 1986, diacu dalam Kwon et al. 2000). Aktivitas enzim aromatase berkorelasi dengan struktur gonad, yaitu larva dengan aktivitas aromatase rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari (Sever et al. 1999). Pada ikan tilapia, sel yang memproduksi enzim aromatase positif terdapat pada gonad XX berumur 7 hari setelah menetas. Aromatase ini penting bagi sintes is estrogen yang selanjutnya akan mempengaruhi penentuan jenis kelamin. Aromatase diekspresikan pada gonad XX 10 hari sampai dengan 2 minggu sebelum diferensiasi ovari (Brodie 1991). Selain pada genotipe XX, aktivitas enzim aromatase juga terdeteksi pada genotipe XY dengan tingkat yang lebih rendah (D’Cotta et al. 2001). Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase dalam sintesis estrogen. Adanya penghambatan ini mengakibatkan terjadinya penurunan konsentrasi estrogen yang mengarah kepada tidak aktifnya transkripsi gen aromatase sebagai feedback-nya (Sever et al. 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen menyebabkan terjadinya perubahan penampakan dari betina menjadi menyerupai jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi karakteristik seksual sekunder (Davis et al. 1990). Secara umum, aromatase inhibitor menghambat aktivitas enzim melalui 2 cara, yaitu dengan menghambat proses transkripsi gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever et al. 1999). Cara kedua adalah melalui cara bersaing dengan substrat selain testosterone sehingga aktivitas enzim aromatase tidak berjalan (Brodie 1991). Pada beberapa spesies, penghambatan aromatase menyebabkan pengaruh maskulinisasi sama seperti pengaruh androgen (Kwon et al. 2000). Pada ikan salmon, penambahan aromatase inhibitor jenis imidazole mampu menghasilkan jantan fungsional sebesar 20% melalui perendaman telur selama 2 jam dengan dosis 10 mg/liter (Piferrer et al. 1994). Pada ikan nilem, perendaman telur selama 4 jam dengan dosis 45 mg/liter mampu menghasilkan 84,83% anakan berkelamin jantan (Wijayanti 2002). Pada ikan nila merah, perendaman embrio dengan dosis 30 mg/liter menghasilkan anakan berkelamin jantan sebesar 82,22% (Wulansari 2002), bahkan hasil penelitian Kwon et al. (2000) mendapatkan hasil populasi
11
ikan nila hampir 100% jantan melalui penambahan aromatase inhibitor jenis fadrozole pada pakan dengan dosis 400 dan 500 mg/kg pakan.
Genetically Male Tilapia Genetically Male Tilapia (GMT) diperoleh dengan mengawinkan ikan nila jantan super (supermale) yang bergenotipe YY dangan induk betina normal yang bergenotipe XX. Perkawinan antara jantan super dengan betina normal diperkirakan akan menghasilkan keturunan 100% berkelamin jantan jika sistem determinasi kelamin dari spesies tersebut hanya melibatkan kromosom kelamin X dan Y (Mair et al. 1997). Namun dalam perkembangan lebih lanjut, diferensiasi kelamin ikan tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, photoperiod, salinitas dan kepadatan. Selain itu, diferensiasi kelamin ikan juga dipengaruhi oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan (Tave 1993). Secara umum, pembentukan ikan nila jantan super dilakukan melalui suatu proses yang cukup panjang. Pada awal pembentukannya, benih ikan nila normal diberi hormon estrogen untuk mendapatkan induk betina fungsional bergenotipe XY. Kepastian induk betina fungsional tersebut dilakukan melalui uji anakan (progeny). Setelah didapatkan induk betina fungsional bergenotipe XY kemudian dikawinkan dengan induk jantan normal bergenotipe XY. Secara teori, anakan yang dihasilkan akan terdistribusi sebanyak 25% berkelamin betina (genotipe XX), 50% berkelamin jantan (genotipe XY) dan 25% berkelamin jantan (genotipe YY). Untuk mengidentifikasi genotipe individu, anakan dipelihara sampai tahap induk, kemudian dilakukan uji anakan (progeny) kedua. Uji anakan ini ditujukan untuk mendapatkan induk jantan bergenotipe YY yang dicirikan dengan anakannya yang 100% berkelamin jantan. Selanjutnya jika induk-induk jantan bergenotipe YY tersebut dikawinkan dengan induk-induk betina normal (genotipe XX) akan menghasilkan anakan 100% bergenotipe XY (Genetically Male Tilapia) (Tave 1993).