II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Nila Merah Oreochromis sp. Klasifikasi ikan nila merah menurut Anonim (2009) ialah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub-filum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichthyes
Sub-kelas
: Acanthoptherigii
Ordo
: Percomorphi
Sub-ordo
: Percoidea
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis sp. Bentuk badan nila merah (Oreochromis sp.) yaitu pipih dan ramping. Pada
badan dan sirip ekor ditemukan garis-garis vertikal, sedangkan pada sirip punggung dan sirip dubur ditemukan garis-garis horizontal. Sisik yang melekat di sekujur tubuh nila merah agak kasar jika diraba. Nila merah memiliki bola mata hitam dengan warna kekuningan pada bagian tepinya. Menurut Anonim (2009), perbedaan jenis kelamin induk ikan nila merah dapat dilihat pada morfologinya. Induk jantan memiliki ukuran sisik lebih besar daripada sisik nila betina. Sisik di bagian bawah dagu dan perut berwarna gelap. Bentuk hidung dan rahang belakang dari ikan nila jantan melebar. Alat kelamin induk jantan berupa tonjolan memanjang dan meruncing serta pada ujungnya terdapat satu lubang pengeluaran air seni dan sperma. Apabila bagian perut diurut akan mengeluarkan cairan berwarna bening. Ikan nila betina memiliki sisik dibagian bawah dagu dan perut berwarna cerah, bentuk hidung dan rahang belakang agak lancip. Alat kelaminnya berupa tonjolan di belakang anus dan terdapat dua lubang. Lubang depan berfungsi untuk mengeluarkan telur, sedangkan lubang belakang untuk mengeluarkan air seni. Apabila bagian perut diurut tidak mengeluarkan cairan berwarna bening (Anonim, 2009). Penambahan setetes pewarna seperti methylene blue atau pewarna makanan pada daerah genital akan membantu menunjukkan papila dan bukaannya (Popma dan Masser, 1999).
Ikan nila merah termasuk dalam kelompok mouth breeders yaitu mengerami telur di dalam mulutnya. Telur yang sudah dibuahi pada substrat kemudian segera diambil oleh induk betina untuk diinkubasi di dalam mulutnya sampai menetas (Popma dan Masser, 1999). Ikan nila bisa menghasilkan sekitar 400-1000 butir telur setiap pemijahan. Kondisi lingkungan yang optimum untuk kehidupan ikan nila merah (Popma dan Masser, 1999) adalah kandungan O 2 (2,02,5 ppm) pH (6-9) suhu (25oC -28oC). Dalam populasi ikan nila, ikan jantan tumbuh lebih cepat dan memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan ikan betina (Chapman, 2000). Jika kegiatan reproduksi pada ikan nila betina dapat ditunda maka tingkat pertumbuhan rataratanya akan sebanding dengan populasi monoseks jantan (Bolivar et al., 1993). Selain jenis kelamin, faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ikan nila adalah suhu, suplemen pakan, dan kepadatan.
2.2 Diferensiasi Kelamin Proses diferensiasi kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang definitif. Fenotip atau perwujudan kelamin bergantung pada dua proses, yaitu faktor genetik dan oleh faktor lingkungan. Kedua proses tersebut secara bersamaan bertanggungjawab pada timbulnya morfologi, fungsional, maupun tingkah laku pada individu jantan atau individu betina. Secara genetik, jenis kelamin sudah ditentukan saat pembuahan, namun pada saat embrio, gonad atau organ kelamin primer masih berada dalam keadaan indiferen, yaitu keadaan dimana bakat-bakat untuk menjadi jantan atau betina dalam bentuk rudimeter dimana semua kelengkapan struktur-struktur jantan dan betina sudah ada, hanya menunggu perintah diferensiasi dan penekanan ke arah aspek-aspek jantan atau betina (Fujaya, 2002). Fujaya (2002) meyatakan bahwa mekanisme diferensiasi kelamin mulamula berawal dari adanya sintesa hormon yang terjadi bila ada perubahan lingkungan (tidak sesuai dengan kondisi normal atau adanya ketidakseimbangan antara kondisi dalam dan luar tubuh). Perubahan lingkungan yang terjadi akan diterima oleh indra, lalu disampaikan ke sistem syaraf pusat, setelah itu dikirim ke hipotalamus, kemudian memerintahkan kelenjar hipofisa untuk mengeluarkan
atau melepaskan hormon gonadatropin. Hormon gonadotropin ini masuk ke dalam darah dan dibawa ke gonad sebagai suatu petunjuk untuk memulai pembentukan gonad. Proses determinasi seks pada vertebrata tingkat rendah beragam, labil, dan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Gonadal seks pada beberapa jenis ikan dapat diubah dengan hormon seks bila perlakuan hormon tersebut dilakukan pada awal tahap pertumbuhan (Redding dan Patino, 1993 dalam Mazzida, 2002). Diferensiasi seks pada ikan nila terjadi mulai umur 7 hari pasca larva (Brodie et al., 1999), dan masa diferensiasi berlangsung sampai umur 37 hari setelah menetas (Kwon et al., 2000). Awal mulai diferensiasi seks tersebut ditandai dengan terdeteksinya produksi aromatase secara positif.
2.3 Sex Reversal Buatan Sex reversal merupakan suatu teknik untuk mengarahkan kelamin secara buatan dari ikan jantan secara genetik menjadi ikan betina secara fenotip atau sebaliknya (Junior, 2002). Dilihat dari proses terjadinya, perubahan jenis kelamin dapat terjadi secara alami dan buatan. Pada perubahan kelamin yang terjadi secara alami sifat genetik bawaan dari kromosom tidak mengalami perubahan dan hanya penampilannya yang berubah, misalnya pada ikan kerapu, kakap, sidat, dll (Yatim, 1983). Sedangkan pada perubahan kelamin secara buatan (sex reversal), individu diberikan bahan yang dapat merangsang proses perubahan kelamin tersebut. Hal terpenting dari penerapan manipulasi seks adalah adanya perubahan jenis kelamin yang permanen menggunakan cara buatan, dengan mengubah sifat fenotipnya (tanpa adanya perubahan genetik). Dengan demikian jantan fungsional akan tetap dipandang sebagai betina secara genetik begitu juga sebaliknya (Yamazaki, 1983). Menurut Hepher dan Pruginin (1981) terdapat dua hal yang berhubungan dengan rekayasa kelamin pada tilapia yaitu seks ditentukan pada stadia akhir perkembangan (3-4 minggu setelah penetasan) ketika panjang tubuh mencapai 1820 mm dan pada masa labil yang pendek setelah menetas dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
2.4 Artemia Artemia sp. Artemia merupakan salah satu pakan hidup yang banyak digunakan dalam pemeliharaan ikan dan udang. Artemia memiliki kandungan protein yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel kandungan nutrisi artemia di bawah ini (Tabel 1). Tabel 1. Kandungan nutrisi Artemia sp. (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995) Kandungan Nutrisi
Nilai
Protein
52.50 %
Karbohidrat
14.80 %
Lemak
23.40 %
Artemia bersifat pemakan segala atau omnivora. Makanan artemia berupa plankton, detritus, dan partikel-partikel halus yang dapat masuk ke mulut. Artemia dalam mengambil makanan bersifat penyaring tidak selektif (nonselective filter feeder), sehingga apa saja yang dapat masuk mulut akan menjadi makanannya. Akibatnya kandungan gizi artemia sangat dipengaruhi kualitas pakan yang tersedia pada perairan tersebut. Artemia dapat memakan partikel yang berukuran sampai 50 µm (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Makanan disaring dengan apendik tanpa diseleksi, dikumpulkan dan digumpalkan dalam alur tengah ventral hampir sepanjang badan, kemudian dialirkan ke anterior terutama menggunakan bagian dari pangkal kaki (Suwignyo et al., 1998). Artemia bersifat euryhaline yang dapat bertahan pada salinitas 3-300 ppt. Artemia dapat juga bertahan dalam waktu yang singkat dalam air tawar (Treece,2000).
2.5 17-α metil testosteron Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk sex reversal ialah hormon androgen sintetik 17 -metiltestosteron yang memiliki rumus kimia C20H30O2, berbobot molekul 302,05 (Martin, 1979). Hormon 17-α metil testosteron ini memaskulinisasi ikan dengan menambahkan level testosterone dalam tubuh ikan. Hormon 17-metiltestosteron telah diketahui cukup stabil dan efektif diberikan secara oral. (Yamazaki, 1983). Bahan ini diperkirakan efektif digunakan pada lebih dari 25 spesies yang telah diuji (Devlin dan Nagahama, 2002).
Saat ini, penggunaan 17-α metil testosteron sudah dilarang. Hal ini dikarenakan diduga sifat 17-α metil testosteron yang dapat menimbulkan pencemaran karena sulit terdegradasi, dan karena 17-α metil testosteron dapat menyebabkan kanker pada manusia. Contreras-Sanchez dan Fitzpatrick (2001) menyatakan bahwa residu anabolik 17-α metil testosteron masih tertinggal pada sedimen kolam setelah tiga bulan penggunaan pada maskulinisasi benih ikan nila. Residu ini dikhawatirkan dapat menimbulkan ekspos yang tidak diharapkan pada pekerja, ikan dan organisme lain.
2.6 Aromatase Aromatase adalah enzim cytochrom P-450 yang mengubah androgen menjadi estrogen (Graddy et al., 2000). Aktivitas aromatase terdapat di otak yang mempengaruhi atau berperan dalam pengendalian tingkah laku dan pada ovari yang mempengaruhi maturasi folikel dan tingkat ovulasi (Silverine et al., 2000). Menurut Sever et al., (1999) aktivitas aromatase berkorelasi dengan struktur gonad dimana larva dengan aktivitas aromatase yang rendah akan mengarah pada terbentuknya testis, sedangkan larva dengan aktivitas aromatase yang tinggi akan mengarah pada terbentuknya ovari. Aromatase memegang peranan penting dalam produksi estrogen sehingga menimbulkan efek feminisasi.
2.7 Aromatase Inhibitor Menurut Wozniac et al. (1992) terdapat dua jenis aromatase inhibitor yaitu aromatase inhibitor steroid dan aromatase inhibitor non steroid. Contoh dari aromatase inhibitor steroid adalah 1,4,6-androstatrien-3,17-done (ATD) dan 4-hydroxy-androstenedione (4-OHA), sedangkan aromatase inhibitor non steroid diantaranya adalah imidazole. Aromatase inhibitor non steroid (imidazole) lebih efektif dibanding aromatase inhibitor steroid (ATD dan 4-OHA). Secara umum aromatase inhibitor menghambat proses transkripsi dari gen-gen aromatase sehingga mRNA tidak terbentuk dan sebagai konsekuensinya enzim aromatase tidak ada (Sever et al., 1999). Penurunan rasio estrogen terhadap androgen mengakibatkan terjadinya perubahan fenotip kelamin betina menyerupai
jantan, dengan kata lain terjadi maskulinisasi (Haniffa et al., 2004). Karakteristik imidazole dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel 2. Karakteristik Imidazole Nama Bahan Kimia
Imidazole
Nama lain
1,3-diaza-2,4-cyclopentadience 1,3-diazole Glyoxalin
Formula kimia
C3H4N2
Sifat fisik Bentuk
Bubuk kristal berwarna putih kekuningan
Titik didih/titik leleh
256oC/89-91oC
Kelarutan dalam air
> 10%
Toxicologi
Non karsinogenik
Sumber : http://physchem.ox.ac.uk/MSDS/IM/imidazole.html Efektifitas aromatase inhibitor dalam maskulinisasi dipengaruhi dosis, jenis aromatase inhibitor, lama perlakuan, suhu perlakuan, dan waktu perlakuan (Brodie et al., 1991). Menurut Kwon et al., (2000) waktu yang paling sensitif untuk perlakuan aromatase inhibitor pada ikan nila adalah pada minggu pertama setelah menetas (7-14 hari) atau pada stadia awal perkembangan (early development) (Brog, 1994) atau saat dimulainya diferensiasi kelamin dan berlanjut sampai diferensiasi kelamin terjadi (Foidart dan Balthazart, 1995).