3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan feromon sebagai perangsang, sehingga menjadi solusi alternatif bagi pemijahan ikan secara alami.
2 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Mas Ikan mas termasuk famili Cyprinidae merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, dengan daerah penyebaran alami di wilayah Eropa ke Cina dan telah dibudidayakan di berbagai daerah di dunia. Ikan ini merupakan ikan omnivora, sebagian besar memiliki cara makan dengan memakan makanan di dasar perairan. Memijah dengan menempelkan telur pada tumbuhan yang terendam di air atau di kolam (Woynarovich dan Horvath 1980). Usia matang gonad ikan mas berhubungan dengan letak garis lintang daerah dan jenis kelamin. Biasanya ikan jantan matang gonad lebih awal dibanding ikan betina. Ikan yang ada di daerah garis lintang rendah akan matang lebih awal dibandingkan dengan yang berada di daerah dengan garis lintang lebih tinggi. Pada kolam budidaya di India, ikan jantan matang gonad pada usia 6 bulan dan ikan betina pada usia 8 bulan, sedangkan di Kanada, ikan jantan matang gonad pada usia 3–4 tahun dan betina pada usia 4–5 tahun. Periode pemijahan ikan mas pada suhu air berkisar antara 18–28 °C (Tempero et al. 2006) Pada pemijahan ikan dengan teknik hipofisasi, ikan mas sering digunakan sebagai donor. Ikan mas diketahui sebagai donor universal, artinya dapat digunakan secara efektif untuk banyak jenis ikan, baik yang dalam satu famili maupun di luar famili (Sumantadinata 1983). Selain itu, ikan mas juga dikenal sebagai ikan yang mudah memijah. Pada pemijahan ikan dengan sistem Cangkringan, ikan yang biasa digunakan sebagai ikan donor atau perangsang adalah induk ikan mas. Ikan Tawes Ikan tawes juga termasuk famili Cyprinidae. Hidup di perairan tawar dengan suhu tropis 22–28 °C dan pH 7. Ikan ini dapat ditemukan di sungai pada kedalaman hingga lebih dari 15 m, rawa banjiran dan waduk. Berkembangbiak dengan baik di daerah yang letaknya 50–800 m di atas permukaan laut. Di daerah dataran rendah yang jauh di bawah 50 m dari permukaan laut, pembiakan ikan tawes pada umumnya kurang baik (Sumantadinata 1983). Bentuk badan ikan tawes agak panjang dan pipih dengan punggung meninggi, kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada ujung hidung, sungut sangat kecil atau rudimenter. Badan berwarna keperakan agak gelap di bagian punggung. Pada moncong terdapat tonjolan-tonjolan yang sangat kecil. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu atau kekuningan, sirip dada berwarna kuning dan sirip dubur berwarna oranye terang (Kottelat et al. 1993).
4 Ikan tawes dapat memijah dengan rangsangan alami lingkungan, suntikan hormon, dan rangsangan imbas (Sumantadinata 1983). Seperti ikan lainnya dalam famili Cyprinidae, kematangan gonad ikan tawes sangat dipengaruhi oleh suhu, pakan dan musim. Proses Pematangan Gonad Perkembangan gonad ikan secara garis besar dibagi atas dua tahap perkembangan utama, yaitu tahap pertumbuhan gonad sampai ikan mencapai tahap dewasa kelamin dan tahap pematangan produk seksual. Menurut Unal et al. (2005) selama perkembangan gonad, setiap folikel ovarium terdiri dari oosit yang berkembang yang dikelilingi oleh dua lapisan sel somatik, yaitu sel-sel granulosa dalam dan sel-sel teka luar (Gambar 1).
Gambar 1 Oosit dengan lapisan folikel pada ikan cod (Gadus morhua), (A) bagian dari keseluruhan oosit dengan kuning telur, (B) zona radiata dan sel-sel folikel (Arukwe dan Goksoyr 2003). Akronim, Y – kuning telur, Zr – zona radiata, T – teka, G – granulosa Selama awal pertumbuhan oosit (stadia perinukleolar), oosit dikelilingi oleh lapisan sederhana sel-sel granulosa yang rata (skuamosa) dan munculnya lapisan sederhana sel teka luar. Dua tipe sel tersebut dipisahkan oleh membran dasar nonselular (Arukwe dan Goksoyr 2003; Srijunngam et al. 2005; Unal et al. 2005; Zaki et al. 2005). Hasil studi histologis dan histometrikal pada ovarium ikan mas yang dilakukan Shirali et al. (2012) menjelaskan bahwa terdapat tujuh jenis folikel yang berbeda dalam tahapan siklus reproduksi yaitu 1) folikel kromatin-nukleolus, beberapa nukleolus muncul dalam inti, tersusun teratur dan terletak pada posisi peri nuklear. Ooplasma tipis dan basofilik. Diameter folikel ini berukuran 35.96±4.52 μm. 2) folikel perinukleolus, nukleolus besar dan banyak berada di
5 pinggiran inti. Ooplasmanya mengandung organela-organela juxta nuklear kompleks (Balbiani body). Diameter rata-rata dari folikel ini 111.22±17.67 μm. 3) folikel kortical alveolus, kortikal alveoli muncul di berbagai kedalaman ooplasma. Ada juga butiran-butiran kecil lemak di sekitar inti. Zona radiata muncul seperti garis tipis. Balbiani body menjadi hilang. Diameter folikel ini adalah 200.46±22.57μm. Ketiga folikel di atas disebut sebagai folikel pra vitellogenik. 4) folikel vitelogenik primer, butiran-butiran kuning telur terletak diantara kortikal alveoli. Ooplasmanya kurang basofilik. Diameter inti mencapai diameter maksimum dalam tahap ini. Diameter folikel ini 413.10±27.53 μm. 5) folikel vitelogenik sekunder, butiran-butiran kuning telur bergerak ke tengah sedangkan kortikal alveoli dan butiran-butiran lemak bergerak ke bagian peripheral. Membran nukleus menjadi tidak beraturan. Zona radiata menebal dan diameter folikel-folikel mencapai ukuran maksimum pada tahap ini yaitu 769.50±44.41 μm. 6) folikel vitelogenik tersier, butiran-butiran kuning telur meningkat, bergabung bersama-sama dan mengisi keseluruhan ooplasma. Nukleoli secara bertahap bergerak menuju pusat nukleus. 7) Maturasi, secara bertahap nukleus bergerak ke kutub animalia. Selanjutnya membran nukleus menghilang. Folikel primer, sekunder, tersier dan maturasi dianggap sebagai folikel-folikel vitelogenik. Selanjutnya Kucharczyk et al. (2008) menjelaskan posisi inti telur untuk menentukan tahap kematangan telur dibagi dalam empat tahap (Gambar 2) yaitu : tahap 1: inti telur (GV) berada di tengah, tahap 2: awal migrasi inti (kurang dari setengah jari-jari telur), tahap 3: akhir migrasi inti (lebih dari stengah jari-jari telur), dan tahap 4: peleburan inti atau germinal vesicle breakdown (GVBD).
Gambar 2 Perubahan morfologi pada oosit matang Black Porgy (Acanthopagrus schlegeli), (A) butiran kuning telur terlihat lebih besar dan kurang padat dalam sitoplasma, (B) secara perlahan inti bergeser dari pusat telur, (C) ooplasma transparan, (D) inti telur bergerak ke bagian peripheral, E oosit matang dengan satu butiran minyak, (F) inti telur melebur (Yueh dan Chang 2000). Akronim, g – germinal vesicle (inti telur), o – oil droplet (butiran minyak)
6
Vitelogenesis dan Proses Pematangan Oosit Tahap Akhir Prinsip umum yang terjadi pada semua ikan bahwa untuk memproduksi telur besar perlu pengisian kuning telur (large yolky eggs) yang diperoleh melalui perkembangan oosit. Pembentukan, perkembangan dan pematangan gamet betina dan sel telur (oogenesis) merupakan proses yang rumit yang membutuhkan koordinasi hormon (Gambar 3) (Arukwe dan Goksoyr 2003). Hormon-hormon tersebut berada di bawah kontrol poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG). Selama fase reproduksi vertebrata ovipar betina, hati mensistesis sebuah prekursor protein kuning telur yang disebut sebagai vitelogenin. Sintesis vitelogenin di dalam hati (vitelogenesis) di kontrol oleh aksi hormon estrogen (Matty 1985). Vitelogenesis merupakan rangkaian dari proses pematangan gonad. Pada proses pematangan gonad, sinyal lingkungan seperti hujan, perubahan suhu, substrat, petrichor dan lain-lain, diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan hormon GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisis. Selanjutnya hipofisis akan melepaskan hormon FSH (Follicle Stimulating Hormon) yang bekerja pada lapisan teka pada oosit (Woynarovich dan Horvath 1980).
Gambar 3 Skema kontrol hormon dalam reproduksi ikan (Nagahama 1994)
7 Akibat kerja FSH, lapisan teka akan mensintesis testosteron dan di lapisan granulosa, testosteron akan diubah menjadi estradiol-17β (E 2 ) oleh enzim aromatase. Selanjutnya E 2 akan merangsang hati mensintesis vitelogenin yang merupakan bakal kuning telur. Vitelogenin akan dibawa oleh aliran darah menuju gonad dan secara selektif akan diserap oleh lapisan folikel oosit (Nagahama et al. 1995). Akibat menyerap vitelogenin, oosit akan tumbuh membesar sampai kemudian berhenti apabila telah mencapai ukuran maksimum. Pada kondisi ini dikatakan bahwa telur telah berada pada fase dorman dan menunggu sinyal lingkungan untuk pemijahan (Zairin 2003). Dalam proses pematangan oosit, tidak semua oosit yang telah mengalami vitelogenesis dapat diovulasikan. Bila keadaan lingkungan tidak mendukung, oosit akan mengalami degradasi atau kegagalan ovulasi yang dikenal dengan proses atresia (Gambar 4). Proses ini terjadi karena penyerapan materi oosit oleh sel-sel granulosa yang mengalami hipertropi. Bila keadaan lingkungan mendukung, maka akan terjadi proses praovulasi dan ovulasi (Woynarovich dan Horvath 1980).
Fase dorman
ovulasi
Bila hormon gonadotropin tidak ada, maka secara alami sel telur akan diserap kembali
perbanyakan sel
perkembangan folikel
Gambar 4 Proses perkembangan sel telur (Woynarovich dan Horvath 1980) Ovulasi dan Pemijahan Ovulasi adalah proses terlepasnya oosit matang dari sel-sel follikel (Yueh dan Chang 2000) untuk dibuahi (Nagahama dan Yamashita 2008). Sama halnya dengan pematangan gonad, pada proses ovulasi dan pemijahan, sinyal lingkungan
8 diterima oleh sistem syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus. Sebagai respon, hipotalamus akan melepaskan GnRH yang selanjutnya bekerja pada kelenjar hipofisis. Pada tahap ini hipofisis mensekresikan hormon LH (Luteinizing hormon) yang bekerja pada lapisan teka oosit. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17α-hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa akan diubah menjadi 17α,20β-dihidroksiprogesteron (maturation inducing steroid, MIS) oleh enzim 20β-hidroxysteroid dehidrogenase (Zairin 2003). Selain 17α,20β-dihidroxy progesteron sebagai MIS atau MIH (maturation-inducing hormone) yang umum pada ikan, pada sebagian ikan menggunakan 17α,20β,21trihidroxy-4-pregnen-3-one (20β-S) sebagai MIH (Nagahama dan Yamashita 2008). Sinyal MIH akan merangsang pembentukan faktor perangsang kematangan (maturation promoting factor, MPF) yang akan menyebabkan inti telur bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur (Gambar 5). Setelah proses peleburan inti (GVBD), lapisan folikel akan pecah dan telur dikeluarkan menuju rongga ovari, sehingga terjadi proses ovulasi (Yaron 1995). Setelah proses ovulasi, telur dikatakan telah mencapai kematangan secara fisiologis dan siap dibuahi sperma.
Gambar 5 Rantai endokrin, poros hipothalamus-pituitari-gonad (HPG) pada ikan betina selama pematangan oosit dan ovulasi (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).
Pemijahan memiliki mekanisme kontrol terpisah dari proses ovulasi. Beberapa ikan teleostei dapat memijah beberapa kali dalam satu musim pemijahan dimana telur-telur yang dikeluarkan dari tubuh berasal dari telur-telur yang diovulasikan pada waktu yang sama. Namun ada pula ikan yang memijah dengan mengeluarkan telurnya sekaligus dimana telur-telur yang diovulasikan
9 dikeluarkan sedikit demi sedikit ke rongga ovarium dan kemudian dikeluarkan sekaligus pada saat pemijahan. Terdapat dua faktor perangsang pemijahan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang utama adalah kematangan gonad ikan, kandungan testosteron dan estradiol; sedangkan faktor eksternal merupakan lingkungan termasuk faktor fisika (cahaya, suhu, arus), faktor kimia (pH, kelarutan oksigen, feromon), dan faktor biologis (adanya lawan jenis, dan hormon). Untuk mempercepat pemijahan dapat pula diberikan rangsangan buatan berupa manipulasi lingkungan, suntikan hormon dan imbas (Zairin et al. 2005). Metode Cangkringan Pada awalnya metode imbas atau metode Cangkringan muncul karena kenyataan di BBIS (Balai Benih Ikan Sentral) Cangkringan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa tetua ikan tawes tidak mau memijah di dalam hapa bila tidak disuntik terlebih dahulu dengan ekstrak hipofisa, meskipun kolam pemijahan telah dipersiapkan sesuai dengan keperluan cara pemijahan tradisional. Secara kebetulan dicobalah memijahkan ikan tawes bersama dengan ikan mas dalam satu kolam pemijahan. Kemudian diketahui bahwa ikan tawes dapat memijah mengikuti pemijahan ikan mas (Soedarman 1979). Metode induksi ini dinamakan sebagai "metode Cangkringan" karena cara ini mulai dicoba dan ditemukan di BBIS Cangkringan DIY. Sejak itu pemijahan ikan tawes di BBIS Cangkringan dilakukan dengan cara induksi. Pada pelaksanaannya, pemijahan ikan mas yang juga berfungsi sebagai perangsang pemijahan ikan tawes dapat dilakukan di dalam dan di luar hapa. Umumnya pemijahan ikan tawes mengikuti pemijahan ikan mas dengan selang waktu antara 10 menit sampai dengan 1 jam 45 menit (Lestari 1998). Feromon Sorensen dan Stacey (2004) menjelaskan istilah feromon sebagai bau atau campuran zat berbau, yang dikeluarkan oleh suatu individu (pengirim) dan membangkitkan respon khas yang adaptif, spesifik, serta ekspresi yang tidak memerlukan pengalaman sebelumnya atau pembelajaran pada individu lain sebagai penerima. Selanjutnya Little et al. (2011), mengemukakan bahwa feromon adalah faktor kimia yang disekresikan atau dikeluarkan oleh spesies yang memicu respon sosial dalam anggota spesies yang sama. Sebagian besar spesies ikan mengandalkan feromon untuk memediasi perilaku sosial (Sorensen dan Stacey 2004). Feromon juga memediasi tingkah laku dan respon fisiologis yang beragam dan terjadi pada berbagai spesies ikan air tawar (Burnard et al. 2008). Terdapat tiga kategori feromon yang dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu isyarat anti-predator, isyarat sosial, dan isyarat reproduksi. Masing-masing kategori terdiri dari feromon yang dapat menimbulkan respon primer yaitu efek fisiologis atau perubahan endokrinologis yang terjadi lebih lambat dan atau respon pelepas yaitu perubahan perilaku yang kuat (Sorensen dan Stacey 2004; Appelt dan Sorensen 2007; Burnard et al. 2008; Little et al. 2011).
10 Meskipun demikian, feromon tidak terbatas pada jenis kelamin tertentu dan spesies yang berbeda dapat memproduksi dan melepaskan feromon yang sama, namun respon induksinya bervariasi (Burnard et al. 2008). Misalnya konjugat (sulfat) 17α,20β-P menginduksi respon pelepas pada ikan Carassius auratus jantan (Kobayashi et al. 2002) dan pada hill trout (Barilius bendelisis Ham) menginduksi respon primer (Bhatt dan Sajwan 2001). Sinyal kimia memainkan peran sangat penting dalam koordinasi aktivitas reproduksi pada sebagian besar organisme, dan tidak terkecuali ikan (Stacey dan Sorensen 2006). Yambe et al. (2006) mengemukakan bahwa selama 20 tahun terakhir, steroid dan prostaglandin telah diidentifikasi sebagai feromon seks yang dilepaskan ikan dalam urinnya. Hasil penelitian Appelt dan Sorensen (2007) menunjukkan bahwa ikan mas koki mengontrol pelepasan feromon prostaglandin pada urin untuk mempromosikan lokasi dan status reproduksi sebagai tahap awal sistem komunikasi kimia mereka. Selanjutnya dijelaskan bahwa frekuensi pelepasan urin ikan mas koki betina yang diinjeksi prostaglandin F2α (PGF2α) yang ditempatkan bersama-sama dengan jantan aktif lebih tinggi dibanding betina tanpa jantan aktif. Ikan mas koki jantan dewasa melepaskan sejumlah besar androstenedione (AD), yaitu suatu steroid androgenik kuat yang pada jantan maupun betina dapat merasakan sensitivitas yang sangat kuat dan merangsang interaksi agresif diantara jantan, walaupun tanpa isyarat steroid lainnya (Stacey dan Sorensen 2006). Secara bersamaan, betina dewasa melepaskan produk hormon lainnya dalam berbagai campuran, tiga diantaranya ditemukan dalam urin mereka. Interaksi yang sama diduga terjadi pula pada ikan mas karena ikan mas memiliki perilaku, fisiologis dan juga feromon yang hampir identik dengan ikan mas koki (Sorensen dan Stacey 2004). Pada saat ovulasi, betina menjadi aktif secara seksual dan meresponnya dengan mensintesis PGF2α di dalam saluran telur. PGF2α dan metabolitnya yang dirilis sebagai postovulatory feromon yang menyebabkan perilaku pemijahan pada jantan yang selanjutnya akan meningkatkan produksi LH dan sperma jantan (Kobayashi et al. 2002). Pada ikan mas, feromon ini diidentifikasi sebagai campuran PGF2α dan metabolit tubuh lain yang tidak teridentifikasi, yang disebut sebagai feromon kompleks (Lim dan Sorensen 2012). Stacey et al. (2012), mengemukakan bahwa ikan S. erythrophthalmus betina yang sudah mengalami ovulasi dapat menginduksi respon primer individu jantan sejenis yang mencakup perubahan dalam sirkulasi steroid dan peningkatan volume sperma. Respon primer individu jantan tersebut dimediasi oleh peningkatan serum LH jantan yang disebabkan karena terjadi peningkatan konsentrasi 17α,20β-P dan penurunan konsentrasi androstenedion. Namun S. erythrophthalmus dan ikan silver bream (Blicca bjoerkna) betina yang sudah mengalami ovulasi yang ditempatkan dalam satu wadah dengan Carassius carassius jantan tidak menyebabkan peningkatan volume sperma pada C. carassius. Begitu pula pada ikan mas betina yang di implan dengan PGF2α dapat menarik ikan mas jantan dewasa walaupun berjarak 20 m, tetapi tidak demikian untuk ikan betina (Lim dan Sorensen 2012). Berbagai macam bahan kimia telah diupayakan agar memiliki fungsi yang sama seperti feromon. Namun hanya steroid gonad, prostaglandin, dan asam empedu yang diketahui dapat dideteksi organ penciuman dan menimbulkan respon biologis (Sorensen dan Stacey 2004).
11 Hormon Testosteron dan Estradiol Spesies yang bereproduksi secara seksual harus menyinkronkan kematangan gamet dengan perilakunya, baik dengan sesama jenis maupun antar lawan jenis. Ikan teleostei mengatasi tantangan ini dengan menggunakan hormon reproduksi baik sebagai sinyal endogen untuk menyinkronkan perilaku seksual dengan pematangan gamet maupun sebagai sinyal eksogen (feromon) untuk menyinkronkan interaksi pemijahan antara ikan (Kobayashi et al. 2002). Pertumbuhan gonad dan vitelogenesis pada betina dirangsang oleh E 2 (Ohga et al. 2012) juga membangkitkan pelepasan feromon (Kobayashi et al. 2002). Pada ikan rainbow trout betina, plasma E 2 meningkat dari 54 hari sebelum ovulasi dan terus meningkat mencapai puncaknya pada 18 hari sebelum ovulasi. Selanjutnya turun mencapai 15–17 ng mL-1 pada 12 hari sebelum ovulasi dan mencapai level basal (2–3 ng mL-1) pada 4 hari sebelum ovulasi, kemudian tetap rendah sampai 32 hari setelah ovulasi (Pavlidis et al. 1994). Kobayashi et al. (2002) menyatakan bahwa pada akhir proses vitelogenesis, plasma E 2 ovarium turun dan plasma testosteron meningkat, yang dapat meningkatkan sistem kepekaan LH betina terhadap lingkungan (suhu, substrat pemijahan, feromon). Isyarat ini akhirnya memicu lonjakan LH yang mengubah jalur steroidogenik untuk mendukung produksi progesteron termasuk 17α,20β-P. Plasma 17α,20β-P merangsang pematangan oosit tetapi juga dirilis ke air bersama dengan sulfat 17α,20β-P dan androstenedion sebagai feromon praovulasi. Feromon ini merangsang perilaku pemijahan yang selanjutnya meningkatkan pelepasan LH, dan produksi sperma pada jantan. Penelitian Hong et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak ovari ikan Chinese black sleeper (B. sinensis) dapat menarik lebih banyak jantan dibanding betina, dan ekstrak testikular dan ekstrak vesikula seminalis dapat menarik lebih banyak betina daripada jantan. Persentase pemijahan tertinggi diperoleh pada tempat yang diberikan 17α,20β-P dan PGE 2 , sementara jumlah telur yang dikeluarkan dan pembuahan tertinggi diperoleh pada tempat yang diberikan PGE 2 . Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa organ seks B. sinensis mengandung 17α-progesteron (17α-P), 17α,20β-P, PGE 2 dan PGF 2 α. Steroid-steroid tersebut dapat bertindak sebagai feromon seks pada spesies ini yang menarik jantan dan betina ke tempat pemijahan dan merangsang pemijahan. Steroid 17α,20β-P juga diketahui sebagai steroid yang berfungsi mempromosikan inisiasi meiosis sel germinal dan pematangan folikel serta ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga menginisiasi pembelahan meiosis spermatogonium dan mengendalikan pematangan spermatozoa serta spermiasi (Mylonas dan Zohar 2001; Yaron dan Levavi-Sivan 2011). Steroid 17α,20β-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).