2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sumberdaya Ikan dan Ikan Pelagis Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable
atau mempunyai sifat dapat pulih.
Disamping sifat dapat diperbaharui,
sumberdaya ikan pada umumnya dianggap open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum (Widodo dan Nurhakim 2002).
Sifat sumberdaya seperti ini
menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain: (1)
Tanpa adanya manajemen akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment), dan tenaga kerja berlebihan (over employment).
(2)
Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau swasta/perorangan (private proverty rights). Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat
unik, dan setiap orang akan merasa mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu negara. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan tejadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan berdesakan tersebut. Secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (tidak ekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecenderungan manajemen secara deplesi (Suparmoko 1997). Disisi lain, terdapat tiga sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama (Nikijuluw 2002). Ketiga sifat khusus tersebut adalah: (1)
Ekskludabilitas Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat fisik
10
sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas manajemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar. (2)
Substraktabilitas Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam manajemen, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam pemanfaatan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif.
(3)
Indivisibilitas Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara administratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas menajemen. Nybakken (1989) menyatakan bahwa ikan pelagis merupakan organisme
yang mempunyai kemampuan untuk bergerak, sehingga tidak tergantung pada arus laut atau gerakan air yang disebabkan oleh angin. Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup pada lapisan permukaan perairan sampai tengah. Pada daerahdaerah dimana terjadi proses kenaikan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Ikan pelagis umumnya hidup secara bergerombol baik dengan kelompoknya maupun jenis ikan lainnya namun terdapat kecenderungan ikan pelagis bergerombol berdasarkan kelompok ukurannya. Berdasarkan
ukurannya,
Balai
Penelitian
Perikanan
Laut (1992)
mengelompokkan ikan pelagis menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Pelagis besar Mempunyai ukuran 100-250 cm (ukuran dewasa), umumnya ikan pelagis besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari kelompok ini
11
antara lain ikan tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), dan tongkol (Euthynnus spp). (2) Pelagis kecil Mempunyai ukuran 5-50 cm (ukuran dewasa), didominasi oleh enam kelompok besar yaitu: kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar (selarroides spp), tembang dan lemuru (Sardinella spp), serta teri (Stolephorus spp). Sumberdaya ikan yang didaratkan di Teluk Apar sangat beragam, baik ikan demersal maupun ikan pelagis dari berbagai ukuran. Namun dari sekian banyak ikan yang didaratkan tersebut ada tujuh jenis ikan utama yang dihasilkan dari perikanan skala kecil di Teluk Apar, yaitu ikan tongkol, tembang, layang, kembung, teri, tenggiri, dan selar. Ketujuh jenis ikan ini adalah jenis ikan pelagis.
2.1.1
Ikan tongkol Ikan tongkol (Auxis thazard) tergolong ikan epipelagik dan termasuk
dalam jenis tuna kecil (Gambar 2). Tongkol tergolong ikan buas dan sebagai predator. Kondisi yang disenangi adalah perairan laut dengan kisaran temperatur antara 18-290C (Saanin 1984). Menurut Nontji (1993) ciri-ciri morfologinya yaitu badan memanjang, kaku, bulat seperti cerutu, badan tanpa sisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil ke bagian belakang, warnanya kebiru-biruan serta putih dan perak di bagian perut. Ciri-ciri lain, di bagian perut terdapat ban-ban serong berwarna hitam di atas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut. Ukuran panjang ikan rata-rata yang tertangkap berkisar antara 25-40 cm. Terdapat dua sirip di bagian punggung, sirip punggung yang pertama berjari-jari keras 10 sedangkan yang kedua berjari-jari keras 11 dan terdapat 6-9 jari-jari tambahan yang letaknya di belakang sirip punggung yang kedua. Sirip dubur berjari-jari lemah 44, diikuti sirip-sirip tambahan.
Badannya tampak
diselimuti sisik, kecuali pada belakangnya. Ikan ini mempunyai daging yang kenyal dan gurih serta merupakan perikanan ekonomis penting (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Distribusi tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan sub tropis, termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan Samudera Atlantik.
12
Penyebarannya cenderung membentuk kumpulan multispecies menurut ukurannya (FAO 1986).
Gambar 2 Ikan tongkol (Auxis thazard) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) Klasifikasi ikan menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Kelas : Pisces Sub kelas : Telestoi Ordo
: Percomorphi
Sub ordo : Scombroidae Famili
: Scombidae
Divisi
: Scombridae
Genus
: Auxis
Spesies
2.1.2
: Auxis thazard
Ikan tembang Ikan tembang (Sardinella spp) termasuk kelompok ikan pelagis kecil yang
ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap seperti: pukat cincin, payang, dan jaring insang hanyut. Daerah penyebarannya meliputi seluruh perairan pantai Indonesia, ke utara sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ke ujung utara Australia dan ke barat sampai Laut Merah (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992). Saanin (1984) memberikan ciri-ciri ikan tembang sebagai berikut. Bentuk tubuh fusiform, pipih dengan sisik berduri di bagian bawah badan, awal sirip punggung sebelum pertengahan badan, berjari-jari lemah 17-20, dasar sirip dubur pendek dan jauh di belakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16-19. Lapisan insang halus berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah. Ikan tembang pemakan plankton dan membentuk gerombolan besar. Panjang berkisar antara 12-25 cm, warna bagian atas kehijauan, dan bagian bawah putih perak, sirip-siripnya pucat kehijauan dan tembus cahaya (Gambar 3).
13
Fischer dan Whitehead (1974) mengemukakan bahwa Sardinella fimbriata merupakan ikan permukaan dan hidup pada perairan pantai serta suka bergerombol pada areal yang luas sehingga sering tertangkap bersama-sama ikan lemuru. Ikan tembang juga terkonsentrasi pada kedalaman kurang dari 100 m. Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, pada malam hari ikan tembang cenderung berenang ke permukaan dan berada di permukaan sampai matahari terbit. Waktu malam terang, gerombolan ikan tembang akan berpencar atau tetap berada di bawah permukaan. Fischer dan Whitehead (1974) mengklasifikasi ikan tembang sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Clupeidae
Sub famili : Clupeinae Genus Spesies
: Sardinella : Sardinella sp.
Gambar 3 Ikan tembang (Sardinella sp) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992)
2.1.3
Ikan layang Ikan layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia ada 5 jenis yakni
Decapterus russeli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Namun dari kelima spesies ikan layang hanya Decapterus russeli yang mempunyai daerah penyebaran luas di Indonesia, mulai dari Kepulauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masalembo, Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di Laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali), Selat Makassar, Ambon, dan Ternate.
14
Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali dan Pelabuhanratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam dan tertangkap pada kedalaman 100 m atau lebih (Nontji 1993). Ikan ini hidup di perairan yang berjarak 37-56 km dari pantai dengan kadar garam relatif tinggi (32-340/00) dan menyenangi perairan jernih serta membentuk gerombolan besar.
Ikan ini termasuk perenang cepat.
Panjang
tubuhnya mencapai 30 cm, bentuk badan agak memanjang dan agak gepeng. Dalam statistik perikanan, kedua jenis ikan layang ini dimasukkan dalam satu kategori (Decapterus spp) (Widodo 1988).
Gambar 4 Ikan layang (Decapterus spp) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992)
Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas Ordo
: Teleostei : Percomorphi
Sub ordo Divisi
: Percoidae : Perciformes
Sub divisi : Carangi Genus
: Decapterus
Spesies
: Decapterus russeli, (Rupped) D. macrosoma, (Bleeker) D. lajang, (Bleeker) D. kurroides, (Bleeker) D. maruadsi , (Temminck dan Schlegel)
15
Ikan layang biasanya memijah pada suhu minimum perairan 170C. Umumnya pemijahan terjadi dua kali setahun, puncak pemijahan pada bulan Maret atau April (musim barat) dan bulan Agustus atau September (musim timur). Asikin (1971) mengemukakan bahwa ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi oleh ruaya harian dari plankton hewani (zooplankton) yang terdapat di suatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepoda 39%, cructacea 31%, dan organisme lainnya 30%. Makanan utama zooplankton, terkadang juga ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp) dan japuh (Dussunteria acuta) (Nontji 1993).
Ikan ini
ditangkap dengan menggunakan jaring insang, mini purse seine, dan bagan tancap.
2.1.4
Ikan kembung Ciri ikan kembung (Rastrelliger spp) secara umum yaitu badan berbentuk
cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian lain (Gambar 5). Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak di tulang rahang.
Tulang insang dan banyak sekali
terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. 5-6 sirip tambahan (finlet) terdapat di belakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal) kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah (Saanin 1984). Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki satu noda hitam di belakang sirip dada sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) tidak ada noda hitam. Perbedaan lain yaitu pada kembung lelaki terdapat 2 baris bulatan hitam di bawah sirip punggung dan garis hitam membujur sepanjang badan sedangkan pada kembung perempuan terdapat baris bulatan-bulatan hitam dan tidak ada garis hitam. Panjang tubuh mencapai 35 cm (Saanin 1984). Ikan kembung lelaki biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 320/ 00 sedangkan kembung perempuan dijumpai di dekat perairan pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 1993). Penyebaran utama ikan kembung di perairan barat, timur, dan selatan Kalimantan serta Selat Malaka (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992).
16
Gambar 5 Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Balai Penelitian Perikanan Laut 1992) Klasifikasi ikan kembung menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas Ordo
: Teleostei : Percomorphi
Sub ordo
: Scombroidae
Famili
: Scombridae
Genus Spesies
: Rastrelliger : Rastrelliger kanagurta, (Cuvier) Rastrelliger brachysoma, (Bleeker) Rastrelliger faughni, (Matsui)
2.1.5
Ikan teri Ikan teri dikenal juga sebagai anchovy, umumnya berukuran kecil antara
6-9 cm, tetapi ada juga yang berukuran besar misalnya Stolephorus commersonnii dan Stolephorus indicus yang panjangnya dapat mencapai 17,5 cm. Ikan ini umumnya menghuni perairan dekat pantai dan estuaria, hidup bergerombol (Hutomo et al. 1987). Ikan teri mempunyai tanda-tanda khusus yaitu umumnya tidak berwarna atau agak kemerah-merahan, bagian samping tubuhnya terdapat garis putih keperakan seperti selempang yang memanjang dari kepala sampai ekor, bentuk tubuh bulat memanjang (fusiform) dan termampat samping (compressed) dengan sisik-sisik berukuran kecil dan tipis serta mudah lepas. Tulang atas rahang memanjang mencapai celah insang. Sirip dorsal umumnya tanpa duri pradorsal, sebagian atau seluruhnya terletak di belakang anus pendek dengan jari-jari lemah sekitar 16-23 buah. Sirip caudal bercagak dan tidak bergabung dengan sirip anal,
17
duri abdominal hanya terdapat antara sirip pektoral dan ventral berjumlah tidak lebih dari tujuh buah (Hutomo et al. 1987). Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa ikan teri selama siang hari membentuk gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari dimana tebalnya gerombolan ini adalah 6-15 m. Kedalaman renang dari gerombolan teri bervariasi selama siang hari dan bermigrasi ke daerah yang dangkal (permukaan) pada waktu pagi dan sore hari. Hal ini berkaitan erat dengan cahaya, ikan teri menyukai intensitas cahaya tertentu dan kedalaman dari intensitas bervariasi sesuai dengan waktu. Klasifikasi ikan teri menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Clopeidae
Sub famili
: Engraulidae
Genus Spesies
: Stolephorus : Stolephorus commersonnii Stolephorus tri
2.1.6
Ikan tenggiri Menurut Martosubroto et al. (1991) ikan tenggiri merupakan jenis ikan
yang tergolong ekonomis penting dan menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia.
Penyebaran spesies ini mencakup seluruh wilayah Pasifik Barat dari
Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke perairan Indonesia, Australia, dan Fiji ke utara sampai ke perairan China dan Jepang. Potensi dan penyebaran ikan tenggiri di Indonesia hampir di seluruh wilayah perairan Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Saanin (1984) menyatakan bahwa ciri-ciri morfologi ikan tenggiri yaitu: bentuk badan memanjang, gepeng, memiliki gigi-gigi pada rahang lancip, kuat dan gepeng. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15-17 dan yang kedua berjari-jari lemah 16, diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 18-20 dan diikuti 9 jari-jari sirip tambahan. Garis rusuk hampir lurus
18
sampai di bawah sirip punggung kedua, kemudian berkelok-kelok sampai dengan batang ekor. Ikan tenggiri termasuk ikan buas, karnivora, dan predator. Klasifikasi ikan tenggiri menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub ordo
: Scombridea
Famili
: Scombridae
Genus
: Scomberomorus
Spesies
: Scomberomorus guttatus Scomberomorus lineolatus
2.1.7
Ikan selar Ciri khusus ikan selar antara lain: memiliki bentuk tubuh compressed,
ukuran panjang tubuh maksimal 30 cm, tetapi ikan selar yang umumnya tertangkap memiliki panjang tubuh 20 cm. Kebanyakan habitatnya di perairan pantai hingga kedalaman 80 m. Secara morrfologi dilihat dari bagian atas tubuhnya berwarna hijau kebiru-biruan sedangkan bagian bawahnya berwarna putih perak terlihat adannya garis kuning keemasan yang membujur mulai dari mata sampai ke sirip ekor dan terdapat totol berwarna gelap pada penutup insangnya (Saanin 1984). Klasifikasi ikan selar menurut Saanin (1984) sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata Kelas
: Pisces
Sub kelas Ordo
: Teleostei : Malacopterygii
Sub ordo
: Scombridea
Famili
: Carangidae
Genus Spesies
: Selar : Selar crumenophthalmus Selaroides leptolepis
19
2.2
Alat Tangkap
2.2.1
Pukat cincin (purse seine) Pukat cincin menurut Baskoro (2002) adalah jaring yang umumnya
berbentuk persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah). Dengan menarik tali kerut pada bagian bawah jaring menguncup dan akan membentuk seperti mangkok. Dikatakan “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin. Pada umumnya purse seine terdiri dari kantong (bag, bunt), badan jaring, tepi jaring, pelampung (float, corck), tali pelampung (corck line, float line), sayap (wing), pemberat (singker, lead), tali penarik (purse line), tali cincin (purse ring) dan silvege. Fungsi mata jaring (mesh size) dan jaring yaitu sebagai dinding penghadang dan bukan sebagai penjerat ikan, sehingga perlu ditentukan besarnya ukuran mata jaring (mesh size) dan ukuran benang jaring (twine) yang sesuai untuk setiap ikan yang menjadi tujuan penangkapannya (Ayodhyoa 1981). Alat tangkap purse seine
digolongkan sebagai jaring lingkar dalam
(surrounding net), karena dalam pengoperasiannya jaring akan membentuk pagar yang mengelilingi kawanan ikan yang akan ditangkap.
Alat tangkap yang
melingkari kawanan ikan ini, pengoperasiannya akan dipengaruhi oleh kemampuan (skill) nelayan dalam mencari kawanan ikan, tingkah laku spesies ikan yang dituju dan sifat-sifat teknologi alat tangkap. Sifat teknologi tadi berupa faktor ukuran kapal, tenaga mesin, bahan bakar minyak, panjang jaring, lamanya operasi dan tenaga kerja, memegang peranan penting sehingga perlu diperhitungkan kombinasinya dari beberapa parameter agar dapat diperoleh suatu indeks daya tangkap yang sesuai (von Brandt 1984).
2.2.2
Jaring insang (gillnet) Gillnet secara harfiah berarti jaring insang. Alat penangkapan ini disebut
jaring insang karena ikan yang tertangkap oleh gillnet umumnya tersangkut pada tutup insangnya (Sadhori 1984). Ayodhyoa (1981) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai ukuran mata jaring yang sama pada seluruh mata jaring. Agar ikan lebih mudah terjerat pada mata jaring ataupun terbelit pada badan jaring, maka pada pembuatan jaring perlu diperhatikan hal-hal antara lain kekakuan dari
20
benang, ketegangan dari rentangan tubuh jaring, shortening, tinggi jaring, mesh size, besar ikan, dan warna jaring. Sainsbury (1971) mendefinisikan gillnet sebagai dinding jaring yang lebar ditempatkan di atas laut untuk menangkap spesies demersal, atau di semua tempat mulai dari kolom air (mid-water) sampai ke permukaan (surface) untuk menangkap ikan pelagis. Menurut Gunarso (1985) gillnet merupakan dinding jaring dengan bahan jaring yang lembut dan mempunyai daya visibilitas yang rendah. Ikan akan terjerat pada mata jaring dalam usaha mereka dalam melewati jaring tersebut. Von Brandt (1984) dalam klasifikasi alat tangkap menyatakan bahwa alat tangkap yang tergolong kedalam gillnet dibedakan menjadi dua kelas, yaitu gillnet dan tangle gillnet. Gillnet adalah jaring dinding tunggal dengan bukaan mata jaring sebagai ukuran ikan yang diinginkan dapat terjerat (gilled). Ikan dapat terjerat dengan sendirinya karena ikan mendekati gillnet, tetapi ikan dapat juga digiring ke dalam gillnet. Gillnet digunakan satu-satu atau dalam rangkaian besar. Secara umum gillnet dibedakan menjadi empat yaitu: (1)
Set gillnet, yaitu gillnet yang dijangkar pada dasar perairan atau kadangkadang terapung.
(2)
Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut dengan atau tanpa kapal.
(3)
Dragged gillnet.
(4)
Encircling gillnet, yaitu gillnet yang dipasang melingkar. Jika ditinjau berdasarkan cara pemasangannya gillnet dapat dibedakan
menjadi: (1)
Drift gillnet (pengoperasiannya dibiarkan hanyut mengikuti arus dan gelombang).
(2)
Stake gillnet (dipasang memakai tongkat-tongkat kayu di perairan dangkal).
(3)
Diver gillnet (dibiarkan hanyut di atas dasar perairan, umumnya digunakan untuk menangkap ikan salmon).
(4)
Sink gillnet (dipasang menetap dengan jangkar)
(5)
Circle gillnet (dioperasikan dengan melingkari gerombolan ikan) Secara umum cara pemasangan gillnet adalah dipasang melintang terhadap
arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan ikan-ikan tersebut menabrak jaring serta terjerat di sekitar insang pada mata jaring atau terpuntal
21
pada tubuh jaring. Oleh karena itu warna jaring sebaiknya disesuaikan dengan warna perairan tempat gillnet dioperasikan (Sadhori 1984).
2.2.3
Bagan tancap (stationary lift net) Bagan merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara dinaikkan
atau ditarik ke atas dari posisi horizontal yang ditenggelamkan untuk menangkap ikan yang ada di atasnya dengan menyaring air. Menurut Subani dan Barus (1988) bagan berdasarkan bentuk dan metode pengoperasiannya terbagi menjadi tiga macam yaitu bagan tancap, rakit, dan perahu. Selanjutnya dikatakan bahwa metode penangkapan ikan dengan bagan yaitu dengan memanfaatkan naluri ikan, yaitu ketertarikan terhadap cahaya. Penangkapan dengan bagan dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu. Komponen material bagan tancap terdiri dari jaring, rumah bagan yang terbuat dari batang kayu nibung, serok, dan lampu petromaks.
Pada bagian
pelataran terdapat alat penggulung yang digunakan untuk menurunkan dan menaikkan jaring bagan pada saat dioperasikan.
2.2.4
Rawai hanyut (long line) Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri atas rangkaian tali-
temali yang bercabang-cabang dan pada setiap ujung cabangnya diikatkan dengan sebuah pancing dan diberi umpan. Pancing rawai terdiri atas tali utama, tali cabang, bendera, pelampung, pemberat, mata pancing, dan umpan. Pancing rawai diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu berdasarkan letak pemasangan di perairan, susunan mata pancing pada tali utama, dan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Berdasarkan letak pemasangan di perairan, terdiri atas rawai permukaan (surface long line) dan rawai pertengahan (midwater long line). Berdasarkan susunan mata pancing yaitu rawai mendatar (horizontal long line) dan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan yaitu rawai tuna (tuna long line). Von Brandt (1984) menyatakan bahwa efektifitas alat tangkap rawai bukan hanya dipengaruhi oleh faktor desain dari mata pancing, tipe, ukuran, dan bentuk umpan saja, tapi juga dipengaruhi oleh bahan, panjang, dan jarak antara tali cabang. Bahan monofilamen untuk tali utama dan tali cabang sangat baik
22
digunakan karena visibilitynya lebih rendah dan bisa diikatkan pada swivel sehingga mengurangi kemungkinan terbelit.
2.2.5
Pancing tonda (troll line) Jenis-jenis teknik penangkapan ikan yang menggunakan pancing biasa
disebut dengan line fishing. Umumnya pada mata pancingnya dipasang umpan, baik umpan asli maupun umpan buatan yang berfungsi untuk menarik perhatian ikan. Umpan asli dapat berupa ikan udang, atau organisme lainnya yang hidup atau mati, sedang umpan buatan dapat terbuat dari kayu, plastik dan sebagainya yang menyerupai ikan atau udang (Sudirman dan Mallawa 2004). Pancing tonda adalah alat alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali panjang, mata pancing, dan umpan. Pancing ditarik di belakang perahu motor atau kapal yang sedang bergerak maju.
Umpan yang dipakai adalah umpan
buatan (Ayodhyoa 1981). Secara umum pancing tonda atau trolling berarti menarik satu atau beberapa tali pancing dengan memakai umpan buatan biasanya diletakkan di belakang kapal yang bergerak. Umpan atau pemikat dirancang dengan warna yang terang atau menyerupai ikan sehingga menarik ikan pemangsa untuk menyambarnya (Von Brandt 1984). Pancing tonda dioperasikan pada siang hari. Pengoperasian pancing tonda dilakukan dengan cara ditarik di belakang perahu atau kapal yang bergerak maju secara horizontal menelusuri lapisan permukaan air hingga kedalaman tertentu di wilayah perairan dimana menjumpai kawanan ikan (tongkol dan cakalang) atau di depan gerombolan ikan sasaran dengan kecepatan kapal antara 2-6 knot (Farid et al 1989 diacu dalam Sudirman dan Mallawa 2004).
2.2.6
Sero (guilding barrier) Sero adalah alat penangkapan ikan yang dipasang secara tetap di dalam
air, yang biasanya terdiri dari susunan pagar-pagar yang akan menuntun ikan menuju perangkap. Alat ini biasanya terbuat dari kayu, waring, atau bambu. Terdiri dari bagian-bagian, yaitu: (a) penaju (leading net) yang berfungsi untuk menghadang ikan dalam renang ruayanya khususnya ikan-ikan yang beruaya pada saat pasang naik, (b) daerah bunuhan yang biasanya terletak pada bagian yang lebih dalam, dengan demikian pemasangan alat ini hanya bisa dilakukan pada daerah-daerah landai yang sedikit miring. Nelayan banyak memasangnya pada
23
daerah pantai. Operasi penangkapannya sederhana karena setelah alat ini dipasang di perairan diharapkan ikan-ikan yang melewati penaju dari alat tangkap ini akan masuk ke daerah bunuhan.
Pada saat air surut pengambilan ikan di daerah
bunuhan segera dilakukan (Sudirman dan Mallawa 2004).
2.3
Pengaruh Parameter Fisik Lingkungan Terhadap Ikan Untuk mengkaji pengaruh faktor lingkungan terhadap sumberdaya laut,
beberapa pengetahuan dasar mengenai apa dan bagaimana lingkungan mempengaruhi dan menentukan sebaran dan kelimpahan sumberdaya kelautan yang harus dimiliki. Studi terdahulu mengenai korelasi antara parameter tunggal lingkungan (misalnya suhu) dan parameter biologi (misalnya tangkapan spesies ikan tertentu telah banyak diterapkan. Bagaimanapun, korelasi tersebut tidak menerangkan mekanisme interaksi dan biasanya tak mampu untuk membuktikan bahwa perubahan iklim telah menjadi sebab dalam perubahan di dalam dinamika sumberdaya ikan. Dinamika sumberdaya ikan mempunyai banyak proses yang tergantung musim seperti migrasi pemijahan, pembesaran, migrasi dari perairan dalam ke perairan dangkal dan hatching of larvae.
Tidak mudah untuk memisahkan
tingkah laku musiman dan tingkah laku yang terbangkitkan dan atau termodifikasi oleh perubahan lingkungan. Kajian korelasi yang banyak dilakukan dalam oseanografi perikanan adalah hubungan yang mungkin antara suhu permukaan di suatu stasiun pantai dan pendaratan ikan sepanjang pantai. Hampir semua peneliti biologi perikanan mengasumsikan bahwa iklim fisik menjadi penting untuk ekologi lautan. Beberapa faktor lingkungan, misalnya arus permukaan, suhu, salinitas, kandungan oksigen yang mempengaruhi sebaran dan kelimpahan ikan.
2.3.1
Arus permukaan Salah satu pengaruh utama dari angin permukaan dan anomalinya terhadap
laut adalah pembentukan arus permukaan. Komponen dorongan angin (winddriven) atas arus permukaan mendominasi dalam hampir semua wilayah terkecuali di wilayah arus density-driven yang permanen, yang juga termodifikasi oleh angin, dan arus pasang surut di wilayah pesisir.
24
Arus permukaan mempengaruhi adveksi dari aneka jenis air, yang dapat merubah karakteristik lingkungan dalam lokasi tertentu. Jenis air permukaan kadang dicirikan oleh suhu dan salinitas. Kedua parameter tersebut merupakan ciri non konservatif di permukaan dan bisa berubah terhadap perubahan lokal. Warna air dan terutama kandungan plankton juga ditemukan sebagai petunjuk jenis massa air permukaan dan mungkin dapat berguna dari sudut pandang ekosistem. Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan bahwa adveksi massa air laut oleh arus merupakan faktor yang penting yang menyebabkan perpindahan lokal dalam lingkungan laut.
Ikan diduga merespon secara langsung terhadap perubahan
lingkungan tersebut dengan mengikuti arus dan juga melakukan orientasi pribadi terhadap arus. Selanjutnya dikatakan bahwa: (1)
Arus membawa telur-telur ikan pelagis dan anak-anak ikan dari area spawning ke area nursery dan dari area nursery ke area feeding.
(2)
Arus juga digunakan sebagai orientasi dan mempengaruhi rute migrasi ikanikan dewasa.
(3)
Migrasi diurnal dapat juga dipengaruhi oleh arus.
(4)
Arus khususnya di perbatasan dapat mempengaruhi distribusi ikan dewasa baik secara langsung maupun tidak langsung.
(5)
Arus akan mempengaruhi kondisi alami lingkungan perairan dan secara tidak langsung menentukan kelimpahan ikan-ikan tertentu dan merupakan pembatas distribusi ikan. Arus dapat mempengaruhi migrasi ikan oleh angkutan pasif juvenil mulai
dari daerah pembesaran sampai daerah persalinan, dan mungkin berperan sebagai suatu pengkajian migrasi arus-balik dari ikan dewasa mulai dari daerah pembesaran sampai daerah spawning. Anomali arus permukaan
dapat
mempengaruhi baik sebaran larva dan juvenil juga migrasi spawning dari ikan dewasa. Sebaran stok ikan utama biasanya mengikuti sistem arus tertentu. Anomali arus permukaan mempengaruhi letak daerah front suhu permukaan.
Daerah front tersebut diketahui mempengaruhi penyebaran ikan,
yang kadang diasumsikan berkaitan dengan suhu tetapi juga berhubungan dengan arus dan atau jenis air. Keterkaitan antara ikan pelagis seperti tuna dengan wilayah transisi arus digambarkan oleh Laevastu dan Hayes (1981) bilamana wilayah transisi Pasifik
25
Timur berbeda, maka tuna albakor bermigrasi sepanjang suatu koridor dan terkonsentrasi, terkadang tetap dalam zone transisi untuk beberapa waktu. Bilamana batas tersebut menjadi terdifusi, migrasi menjadi menyebar ke wilayah yang lebih luas, dan albacor beergerak secara cepat ke arah pantai barat Amerika Serikat.
Alasan untuk tingkah laku tuna ini adalah, menurut peneliti, suhu
kesukaan, agregasi makanan, dan gradien bahan.
2.3.2
Suhu Suhu permukaan laut merupakan salah satu dari parameter lingkungan
yang secara rutin diamati dan selanjutnya berbagai analisis, satu sampai tiga dimensi, tersedia, termasuk perhitungan anomali.
Banyak perubahan dalam
ekosistem ikan laut berkorelasi dengan perubahan suhu, terutama tanpa penentuan sebab dan efek yang mungkin. Perubahan suhu permukaan laut (spl) disebabkan baik oleh adveksi, yang mendominasi perairan laut lepas, atau oleh pertukaran lokal (heat exchange and mixing) yang mendominasi perairan pada pantai dan laut semi tertutup. Suhu permukaan dapat menunjukkan perubahan musim. Anomalinya biasa lebih kecil dari 3 0C. Perhatian khusus biasanya diberikan terhadap efek anomali dari waktu perubahan musim, gradien suhu terhadap efek anomali dari waktu perubahan musiman, gradien suhu terhadap kedalaman, dan kisaran suhu dalam wilayah penyebaran stok tertentu. Anomali suhu dan salinitas alami di laut terbuka dapat ditunjukkan dengan rekaman jangka panjang yang tersedia pada sedikit lokasi kapal cuaca di lautan.
Anomali tersebut termasuk perubahan jangka pendek
(bulanan) juga trend jangka panjang. Suhu merupakan parameter lingkungan yang paling mudah dan sering diobservasi. Ikan dapat merasakan perubahan suhu meskipun lebih kecil dari 0,10C. Setiap ikan mempunyai rentang karakteristik aklimatisasi (optimum) suhu dan mempunyai batas toleransi suhu yang dapat berubah secara musiman pada stok tertentu serta secara tajam berbeda antara stok yang satu dengan yang lainnya dalam spesies yang sama. Sullivan (1954) diacu dalam Laevastu dan Hayes (1981) merangkum pengaruh suhu terhadap ikan sebagai berikut: (1)
Sebagai modifier proses metabolik (misalnya mempengaruhi kebutuhan makanan, laju uptake, dan pertumbuhan).
(2)
Sebagai modifier dari aktivitas badan (misalnya laju renang), dan
26
(3)
Sebagai stimulus saraf. Bagaimana ikan bereaksi terhadap anomali suhu mungkin menjadi
masalah kompleks.
Dapat diasumsikan bahwa hampir semua spesies ikan
terhadap anomali lingkungan muncul pada skala waktu sinoptik dan bulanan. Jangka yang lebih panjang, musiman, dan tahunan, reaksi harus mencakup beberapa proses integrasi, seperti perubahan wilayah pencarian melalui migrasi dan atau beberapa pengaruh terhadap laju pertumbuhan, maturasi, dan terhadap rekruitmen.
2.4
Sistem dan Pemodelan dalam Perikanan Manetch dan Park (1974) mendefenisikan sistem sebagai satu set elemen
atau komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan terorganisir untuk menghasilkan satu tujuan.
Tiga syarat agar pendekatan sistem dapat bekerja
dengan baik adalah (1) tujuan sistem ditentukan dengan pasti, (2) proses pengambilan keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat dipusatkan, dan (3) memungkinkan perencanaan jabgka panjang. Untuk melakukan penelitian sistem, Deent dan Blackie (1979) menyatakan bahwa penelitian sistem akan menyangkut dua hal, yaitu (1) analisis komponen dan hubungannya serta (2) proses sintesa yang mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan sistem aslinya. Hal yang penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan batas sistem agar dapat membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Pendekatan sistem menurut Eriyanto (1983) akan memberikan metode yang logis untuk penanganan masalah, disamping itu juga merupakan alat yang memungkinkan untuk mengidentifikasikan, menganalisis, mensimulasi serta mendesain sistem secara keseluruhan. Seijo et al. (1998) menyatakan bahwa sistem perikanan disusun atas tiga subsistem yang saling berinteraksi, yaitu: (1) subsistem sumberdaya, (2) pengguna sumberdaya, dan (3) manajemen sumberdaya. Subsistem sumberdaya meliputi: (1) aspek daur hidup spesies, seperti biologi reproduksi dan rekruitmen, dinamika pertumbuhan, dan mortalitas; (2) faktor lingkungan yang menyebabkan kelimpahan dan distribusi spatio-temporal; dan (3) faktor ekologi. Subsistem pengguna sumberdaya, meliputi keseluruhan parameter yang digunakan dalam fungsi eksplisit upaya penangkapan ikan seperti tipe kapal yang digunakan untuk menangkap suatu spesies atau populasi. Selain faktor-faktor tersebut, faktor lain
27
yang masuk dalam subsistem ini adalah kurva selektivitas alat atas spesies, ukuran atau umur dan tipe kapal, serta harga spesies. Sedangkan subsistem manajemen sumberdaya yang ditujukan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang diusulkan dalam manajamen sumberdaya, adalah suatu kebutuhan pendekatan yang mungkin dipertimbangkan untuk intervensi pemerintah, berupa seleksi kriteria untuk strategi manajemen.
2.5
Pembakuan Upaya Penangkapan Ikan Upaya penangkapan ikan dalam kajian-kajian stok sumberdaya ikan sering
diasumsikan mempunyai hubungan yang proporsional dengan mortalitas penangkapan ikan. Namun demikian asumsi ini tidak selamanya tepat benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan (Sparre dan Venema 1999). Pengukuran upaya penangkapan ikan di daerah tropis lebih rumit dibandingkan di daerah temperate. Banyaknya jenis dan ukuran tangkap yang mengusahakan suatu jenis ikan (multigear) menyebabkan pembakuan suatu alat tangkap lebih rumit dan kompleks (Sparre dan Venema 1999).
2.5.1
Upaya relatif Perhitungan upaya relatif, didasarkan pada nilai hasil tangkapan per upaya
penangkapan (CPUE = hasil tangkapan per upaya) suatu alat tangkap. Nilai ini akan digunakan sebagai pembanding antar alat tangkap. Agar beberapa unit alat tangkap yang berbeda saling bersesuaian, maka setiap unit harus dikonversikan kedalam CPUE yang selanjutnya dikonversikan kedalam CPUE relatif, dengan rumus:
CPUEi ( y) Ri( y ) .......................................................... (2-1) CPUEi ( y 1 , y 2 ) dimana: y2 1 CPUEi ( j ) ................................. (2-2) y 2 y1 jy1
CPUEi( y1, y 2)
bila periode waktu selama tahun y1, y1+1,....., y2 dipertimbangkan.
28
Metode ini sudah digunakan oleh The North Sea Round Fish Woring Group dari ICES (ICES 1980, diacu dalam Sparre dan Venema 1999). Metode ini tidak memerlukan perbandingan langsung dari jenis-jenis kapal yang berbeda.
2.5.2
Daya tangkap relatif Metode yang lebih langsung untuk standarisasi upaya adalah yang
diusulkan oleh Robson (1966) diacu dalam Gulland (1991). Metode ini bekerja berdasarkan konsep daya tangkap relatif. Bila kapal melakukan penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi yang sama, maka daya tangkap relatif kapal A relatif terhadap kapal B adalah: CPUE dari kapal B P A( B ) .................................................. (2-3) CPUE dari kapal A dimana kapal A sering disebut kapal standard. Sehingga apabila jumlah kapal A (NA) dan jumlah kapal B (NB), maka upaya penangkapan secara keseluruhan adalah: F total 1,0 NA PA( B) NB ................................................... (2-4)
2.6
Model Produksi Perikanan Fungsi produksi perikanan menggambarkan hubungan antara hasil
tangkapan (output) dengan sejumlah faktor produksi (input). Fungsi produksi tersebut menurut Anderson (1986) diacu dalam Purwanto (1993) tergantung kepada kemampuan perkembangbiakan stok ikan. Seekor ikan akan mampu berkembang hingga suatu tingkat berat maksimumnya dengan laju pertumbuhan tergantung pada ukuran kelimpahan stok ikan (x). Bila x lebih kecil dari ukuran kelimpahan stok maksimum yang sesuai dengan daya dukung alam (K), maka stok ikan akan cenderung meningkat hingga mencapai K. Pada x yang rendah, angka pertumbuhan stok meningkat dengan meningkatnya x. Pertumbuhan maksimum terjadi pada x tertentu, setelah itu angka pertumbuhan menurun dengan semakin meningkatnya x hingga dicapai K (Pitcher dan Hart 1982 diacu dalam Purwanto 1993). Laju pertumbuhan stok populasi (dx/dt) yang tidak dieksploitasi, menurut Graham (1935) diacu dalam Seijo et al. (1998) digambarkan dalam persamaan logistik (Verhulst 1938) sebagai berikut:
29
dx x F ( x) rx 1 ........................................................... (2-5) dt K
dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik Apabila terhadap stok sumberdaya tersebut dilaksanakan penangkapan, maka besarnya hasil tangkapan Y akan tergantung pada ukuran kelimpahan stok (x), tingkat upaya penangkapan (f) dan koefisien penangkapan (q).
Schaefer
(1954) diacu dalam Seijo et al. (1998) menggambarkan hubungan tersebut dalam persamaan: Y gfx .................................................................................... (2-6)
Perubahan stok ikan per waktu setelah dilakukan penangkapan, dengan demikian adalah selisih antara laju pertumbuhan stok dikurangi dengan hasil tangkapan. Gulland (1991) menggambarkan persamaan tersebut sebagai: dx x rx 1 Y ................................................................ (2-7) dt K
Ketika populasi dalam keadaan kesetimbangan, dimana dx/dt = 0, maka kehilangan stok karena kematian alami dan penangkapan ikan diimbangi oleh kenaikan populasi karena pertumbuhan individu dan rekruitmen. Hasil tangkapan dalam kesetimbangan kemudian dapat didefenisikan sebagai: x Y rx 1 ........................................................................ (2-8) K
atau Y x 1 .............................................................................. (2-9) rx K
Dengan memasukkan persamaan 2-6 kedalam persamaan 2-9, maka: qfx x 1 .......................................................................... (2-10) rx K
Sehingga stok sumberdaya dalam kesetimbangan x sebagai fungsi dari upaya penangkapan didefenisikan sebagai: qf x 1 K ...................................................................... (2-11) r
Persamaan tersebut menggambarkan hubungan antara x dan f adalah linear, yaitu dengan meningkatnya f menyebabkan turunnya stok sumberdaya ikan x. Apabila persamaan 2-6 dan 2-11 digabungkan, maka akan diperoleh persamaan model fungsi produksi perikanan:
30
qf Y qKf 1 .................................................................. (2-12) r
2.7
Model Bioekonomi Model bioekonomi penangkapan ikan biasanya didasarkan pada model
biologi Schaefer (1954, 1957) dan model ekonomi dari Gordon (1954). Clark (1985) kemudian menyebut persamaan tersebut sebagai model Gordon-Schaefer. Menurut Gordon (1954) asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna. Harga ikan (p) dan biaya marginal upaya penangkapan masing-masing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan. Berdasarkan asumsi tersebut, total penerimaan dari usaha penangkapan (TR) digambarkan dengan persamaan: TR pY ............................................................................... (2-13)
Sedangkan total biaya penangkapan (TC) digambarkan dengan persamaan: TC cf ................................................................................. (2-14)
Penerimaan bersih (keuntungan) dari usaha penangkapan ikan (π) adalah:
TR TC pY cf ........................................................ (2-15)
2.8
Teknik Optimasi Optimisasi adalah suatu kata kerja yang berarti menghitung atau mencari
titik optimum. Kata benda optimisasi merupakan peristiwa atau kejadian proses optimisasi. Jadi teori optimisasi mencakup studi kuantitatif tentang titik optimum dan cara-cara untuk mencarinya Gasperz (1996). Lebih lanjut dikatakan bahwa optimisasi adalah suatu proses pencarian hal terbaik. Proses ini dalam analisis sistem diterapkan terhadap alternatif yang menghasilkan keadaan terbaik. Kadarsan (1984) menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, suatu usaha perikanan laut harus memiliki faktor produksi yang cukup dan kombinasi yang tepat.
Keterbatasan sumberdaya menyebabkan
diperlukannya pengaturan atau alokasi sumberdaya agar dapat mencapai keseluruhan atau sebagian tujuan yang diinginkan. Teknik optimisasi sering digunakan dalam mengatasi masalah keterbatasan sumberdaya tersebut. Persoalan optimisasi dapat berbentuk maksimasi atau minimasi. Pada umumnya orang mengharapkan kebaikan sebanyak-banyaknya atau maksimum dan
31
keburukan sedikit mungkin atau minimum. Keadaan seperti inilah yang disebut optimum. Dalam proses optimisasi, terlebih dahulu harus dilakukan pemilihan ukuran kuantitatif dan efektifitas suatu persoalan. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sistem yang berlaku menyangkut aspek fisik maupun ekonomi merupakan suatu keharusan. Steel dan Torrie (1981) menyatakan bahwa dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, fenomena yang ada di alam ini dapat dijelaskan dengan model. Model tersebut harus mewakili dan mencakup unsur-unsur utama dari fenomena supaya kesimpulan dapat diambil tidak dari pengamatan langsung terhadap keadaan yang sebenarnya.
2.9
Linear Programming Linear programming merupakan suatu model umum yang dapat digunakan
dalam pemecahan masalah pengalokasian sumber-sumber yang terbatas secara optimal (Subagyo 2007). Pada dasarnya persoalan optimasi adalah persoalan untuk membuat nilai suatu fungsi beberapa variabel menjadi maksiumum atau minimum dengan memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada. Biasanya pembatasan-pembatasan tersebut meliputi tenaga kerja, uang, material yang merupakan input serta waktu dan ruang. Programming pada dasarnya berkenaan dengan penentuan alokasi yang optimal daripada sumber-sumber yang langka untuk memenuhi suatu tujuan. Persoalan linear programming adalah suatu persoalan untuk besarnya masingmasing nilai variabel sedemikian rupa sehingga nilai fungsi tujuan (objective function) yang linear menjadi optimum (maksimum atau minimum) dengan memperlihatkan batasan-batasan yang ada (Supranto 1988). Pemrograman linier (PL) adalah metode optimasi untuk menentukan nilai optimum dari fungsi tujuan linier pada kondisi pembatasan-pembatasan (constraints) tertentu.
Pembatasan-pembatasan tersebut biasanya keterbatasan
yang berkaitan dengan sumberdaya seperti: bahan mentah, uang, waktu, tenaga kerja, dan lain-lain (Ruminta 2008).
Persoalan Pemrograman linier dapat
ditemukan pada berbagai bidang dan dapat digunakan untuk membantu membuat keputusan untuk memilih suatu alternatif yang tepat dan pemecahan yang paling baik (the best solution)
32
2.10 Kapasitas Penangkapan Efisiensi
teknis
mengukur
pencapaian
output
maksimal
dengan
menggunakan sejumlah input tertentu, sementara efisiensi alokatif lebih membahas penggunaan input dalam proporsi yang optimal pada tingkat harga tertentu. Farrel (1957) memfokuskan konsepnya pada technical efficiency (TE) dengan alasan kemudahan di dalam menjelaskan konsep stochastic frontier. Untuk menghitung besarnya efisiensi harus diketahui fungsi produksi pada tingkat efisiensi penuh atau penggunaan input optimum. Secara teori, terdapat dua cara untuk mengestimasi efisiensi produksi pada kondisi optimal, yaitu data envelopment analysis (DEA) dan stochastic frontier (Coelli et al. 1998). DEA merupakan teknik nonparametrik untuk menentukan sebuah solusi optimal dengan kendala tertentu (Charnes et al. 1994) diacu dalam (Walden dan Kirkley 2000), yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas dan pemanfaatan kapasitas (Fare et al. 1994 diacu dalam Vestergaard et al. 2002). Dalam kajiankajian ekonomi yang lain, pendekatan DEA banyak digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi produksi.
Model DEA dikembangkan berdasarkan konsep
pengukuran efisiensi yang dilakukan Farrel (1957), selanjutnya metode pengukurannya dibedakan atas pengukuran berorientasi input (input orientation model) dan orientasi output (output orientation model). Model pengukuran DEA berorientasi input dengan asumsi constant return to scale (CRS) atau kegaiatan yang return to scale-nya tetap. Model tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Charnes et al. (1994) diacu dalam Walden dan Kirkley (2000), dikenal dengan model BBC dalam bentuk model variable return to scale (VRS). Diasumsikan bahwa terdapat K input dan M output pada tiap-tiap N firm (perusahaan) atau DMU.
Dari sebanyak i DMU masing-masing mempunyai
vektor xi dan yi, sehingga terbentuk K x N input matrik X dan M x N output matrik Y yang mempresentasikan data seluruh N DMU.
Tujuan DEA adalah
membangun model non-parametrik sehingga data observasi terletak pada fungsi produksi frontier atau di bawahnya. Pada dasarnya, asumsi CRS mendefinisikan efisiensi yang tidak sematamata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. ditujukan isokuan pada pertimbangan antar input.
Pada CRS juga
Tiap-tiap DMU kemudian
dilakukan pengukuran rasio terhadap semua output atas semua input. Seperti
33
u' yi dimana u adalah bentuk vektor M x 1 dari output yang dibobot dan v v' x i merupakan vektor K x 1 dari input yang dibobot. Analisis dengan pemograman matematik digunakan untuk mengetahui pembobotan optimal sebagai berikut:
u ' y i Max u,v v ' x i
'
u yj
st
'
v xj
1, j 1,2,....., N
u,v ≥0 ……………..…….…………………………………. (2-16) Salah satu kendala persamaan (9) tersebut adalah ketika hasil perhitungan diperoleh nilai tak terhingga (infinite).
Fungsi kendala persamaan (10) dapat
diubah menjadi v’x i = 1 untuk menghindari masalah tersebut, sehingga menjadi: Max st
μ ,v
(μ’yi )
v ’xi = 1 u’yj – v ’x j ≤0, j = 1,2,…..,N u, v = 0 ..…………………………………………………… (2-17)
Notasi u dan v paa persamaan di atas kemudian ditransformasi menjadi μdan v. Dengan menggunakan linear programming, Coelli menderivasi persamaan tersebut kedalam bentuk persamaan DEA sebagai berikut: Min st
θ ,λθ ,
-yi + Y λ≥0 θxi + X λ≥0 λ≥0 ..………………….…………………………………… (2-18)
Dimana θ adalah skala dan λadalah vektor N x 1.
Bentuk envelopment
memerlukan lebih sedikit kendala dari bentuk multiplier (K + M < N + 1). Parameter θmenunjukkan nilai efisiensi teknis (TE) relatif terhadap kapasitas output atau menggambarkan skor efisiensi DMU ke-i, dengan nilai θ≥1.
.
Ilustrasi dari pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 6. Farrel (1957), mengilustrasikan gagasannya dengan menggunakan contoh sederhana. Dengan asumsi keadaan usaha bersifat constant return to scale (dalam keadaan demikian berarti penambahan input
akan secara proporsional
menyebabkan terjadinya penambahan output yang diperoleh), perusahaan menggunakan dua input (x1 dan x2) untuk memproduksi sebuah output (y). Pada
34
kondisi pengukuran berorientasi input, isokuan yang digambarkan oleh kurva SS’ menunjukkan kondisi efisien (fully efficient). X2/Y S P• A
Q • R •
Q’ •
S’
A’ 0
X1/Y
Gambar 6 Efisiensi teknis dan alokatif (Coelli et al. 1998) Jika perusahaan menggunakan input sejumlah P untuk memproduksi satu unit output, maka nilai efisiensi teknis dicerminkan oleh jarak QP. Pada ruas garis QP jumlah input yang digunakan dapat dikurangi tanpa harus mengurangi jumlah output yang dihasilkan. Kondisi demikian dinotasikan dalam bentuk
QP OP
yang mempresentasikan persentase jumlah input yang dapat dikurangi untuk mencapai kondisi efisien secara teknis. Nilai efisiensi teknis bisa diformulasikan sebagai: OQ PQ TE 1 .……………………………………….. (2-19) OP OP
Besarnya nilai TE berkisar antara 0 dan 1 menunjukkan derajat efisiensi teknis yang dapat dicapai. Gambar 5 tersebut juga memperlihatkan efisiensi alokatif yaitu rasio harga input yang ditunjukkan oleh kurva biaya AA’ yang secara matematis diformulakan dalam bentuk: OR AE ………………………………………..………... (2-20) OQ Ruas garis RQ menunjukkan biaya produksi yang dapat dikurangi agar tercapai kondisi efisien secara alokatif dan teknis pada titik Q’, sedangkan titik Q dipandang efisien secara teknis tetapi pada titik tersebut tidak efisien secara alokatif. Berdasarkan penelitian Villasante dan Sumaila (2010) tentang Perkiraan Efek Efisiensi Teknologi pada Armada Penangkapan Ikan di Eropa, yaitu dengan
35
membandingkan penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan Uni Eropa (UE) dan efek efisiensi teknis, analisis pertama yang dilakukan secara komprehensif sejak berlakunya Common Fisheries Policy (CFP).
Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan pada 13 armada kapal di EU telah mengalami penurunan sebesar 44% hanya di tiga tahun (1991, 2004, dan 2006) selama periode tahun 1987-2006.
Hasil ini menunjukkan bahwa efisiensi
teknologi selalu berkembang lebih cepat daripada penurunan aktual dalam kapasitas penangkapan ikan. Selain itu pengurangan tonase dari 13 armada yang lebih dari 4% pertahun juga hanya pada tahun 1991 (5,2%), 2004 (6,6%), dan 2006 (6,5%). Hasil ini menunjukkan tingkat inefisiensi yang tinggi pada CFP dalam hal mengurangi kelebihan kapasitas penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masalah kelebihan kapasitas adalah masalah utama yang harus ditangani oleh CFP dimasa yang akan datang. Berdasarkan penelitian Huang dan Chuang (2010) tentang Manajemen Kapasitas Perikanan di Taiwan: Pengalaman dan Prospeknya, bahwa Taiwan telah mengembangkan perikanan sejak tahun 1950-an dan menjadi salah satu negara besar dalam perikanan laut lepas. Sekarang ini dihadapkan pada kelebihan kapasitas dan kritik yang kuat terkait kapasitas dari organisasi-organisasi regional. Taiwan tidak hanya membuat banyak peraturan untuk membatasi kapasitas penangkapan, tetapi juga menghabiskan sekitar US$ 350 juta pada tahun 19912008 dalam mengurangi kapasitas sebesar 30% pada kapal rawai skala besar dan 18% dari kapal nelayan pesisir.
Studi ini memberikan gagasan bahwa
penggunaan anggaran efektif dan komunikasi yang baik dengan nelayan, dan masalah penilaian stok akan menjadi isu kunci dalam membangun manajemen kapasitas perikanan yang sukses. Berdasarkan penelitian Madau et al. (2009) tentang Kapasitas dan Efisiensi Ekonomi pada Perikanan Skala Kecil: Bukti dari Laut Mediterania, bahwa untuk merancang sebuah rencana manajemen kapasitas yang efektif pada perikanan skala kecil kita, maka harus memahami apa yang sedang diukur dan menentukan kapasitasnya.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan
kapasitas penangkapan, efisiensi teknis, skala efisiensi dan pemanfaatan kapasitas dalam perikanan skala kecil khususnya di Mediterania yaitu di Italia barat laut. Pendekatan nonparametrik menggunakan model analisis DEA diterapkan untuk
36
sampel trawl untuk memperkirakan kemampuan secara ekonomi, dan langkahlangkah terkait yang diambil. Berdasarkan penelitian Salayo et al. (2008) tentang Manajemen Excess Capacity pada Perikanan Skala Kecil: Persfektif Stakeholder Tiga Negara di Asia Tenggara, bahwa manajemen kapasitas perikanan darat dan perikanan laut adalah salah satu perhatian kebijakan utama di sebagian besar negara di Asia Tenggara. Kelebihan
kapasitas
menyebabkan
serangkaian
dampak
negatif,
seperti
penggunaan sumberdaya, konflik, overfishing, degradasi lingkungan dan kerugian ekonomi dan ancaman keamanan. Manajemen yang efektif dari excess capacity di Asia Tenggara diperlukan untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang perikanan di wilayah ini. Opsi manajemen, antara lain: (1) armada, alat tangkap, dan metode, (2) spesifik lokasi, (3) karakteristik spesies dan stok, (4) ketersediaan data, (5) kondisi terkini kehidupan nelayan, (6) sistem pemerintahan, penegakan hukum, (7) dan politik. Selain itu, perbaikan yang signifikan untuk prospek perikanan kedepan memerlukan suatu perubahan besar dalam prioritas sosial, dengan konsekuensi perubahan dalam kebijakan dan pemerintahan.
2.11 Multi-Criteria Analysis (MCA) Department for Communities and Local Government: London (2009) menjelaskan
bahwa
semua
pendekatan
multi-criteria
analysis
(MCA)
diperuntukkan untuk membuat suatu pilihan dan konstribusi terhadap kriteria yang berbeda dan semuanya memerlukan penilaian. MCA berbeda dengan costbenefit analysis (BCA) dalam hal cara menggabungkan data. MCA secara formal menyediakan sistem pembobotan relatif terhadap kriteria yang berbeda. Peran utama dari teknik MCA adalah untuk mengatasi kesulitan dari para pengambil keputusan dalam menangani sejumlah informasi yang kompleks secara konsisten. MCA dapat digunakan untuk mengidentifikasi satu pilihan yang paling baik, membuat peringkat dari pilihan, membuat daftar pendek dari sejumlah pilihan terbatas untuk penilaian secara rinci, atau hanya membedakan kemungkinan pilihan diterima atau tidak. Ada beberapa alasan kuat yang dapat dilihat mengapa MCA terus berkembang dan banyak digunakan sampai sekarang, yaitu: (1) banyak jenis keputusan berdasarkan dengan keadaan dan waktu, (2) waktu yang tersedia untuk analisis mungkin berbeda, (3) jumlah dan sifat data yang tersedia untuk
37
mendukung analisis dapat bervariasi, dan (4) keterampilan analitis dari mereka yang membuat keputusan dapat bervariasi. Beberapa kriteria penggunaan teknik MCA sebagai berikut: (1)
konsistensi dan logis, (2) transparan, (3) mudah
digunakan, (4) data harus konsistensi dengan keperluan, (5) kondisional dan realistis, dan (6) mudah diperoleh dan dievaluasi. MCA menetapkan preferensi diantara pilihan dengan mengacu pada tujuan yang ada, yang dibuat oleh pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan membuat kriteria terukur serta menilai sejauh mana tujuan telah dicapai. Secara sederhana, proses identifikasi tujuan dan kriteria itu sendiri dapat memberikan informasi yang memadai bagi para pengambil keputusan. MCA menawarkan sejumlah cara untuk menggabungkan data dengan kriteria individu untuk memberikan pilihan indikator kinerja secara keseluruhan. Salah satu keterbatasan MCA adalah tidak dapat menunjukkan peningkatan kesejahteraan, tidak seperti CBA yang mengsyaratkan manfaat harus lebih besar daripada biaya. European Commission (2009) menjelaskan bahwa deskripsi MCA muncul pada tahun 1960 sebagai alat pengambil keputusan. Hal ini digunakan untuk membuat penilaian komparatif atau alternatif heterogen. MCA dapat digunakan untuk menghitung beberapa kriteria secara bersamaan dalam situasi yang kompleks. Metode ini dirancang untuk membantu para pengambil keputusan untuk mengintegrasikan pilihan yang berbeda, yang mencerminkan pendapat dari pelaku yang bersangkutan. Partisipasi pengambil keputusan dalam proses ini adalah bagian penting dari pendekatan ini. Hasil biasanya diarahkan untuk memberikan nasihat operasional atau rekomendasi untuk kegiatan masa depan. Evaluasi multikriteria dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan sintesis tunggal pada akhir evaluasi, atau sebaliknya dengan maksud untuk menghasilkan kesimpulan yang disesuaikan dengan preferensi dan prioritas yang berbeda. Pada kasus program sosio-ekonomi Uni Eropa, berbagai tingkat kemitraan (Eropa, nasional dan regional) dapat terpengaruh. Masing-masing tingkat adalah sah dalam menentukan prioritas sendiri dan untuk mengekspresikan preferensi sendiri antara kriteria. Analisis multikriteria mirip dengan teknik yang digunakan dalam bidang pengembangan organisasi atau sistem manajemen informasi. Hal ini juga terlihat seperti analisis profitabilitas.