2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penangkapan Ikan Menurut Simbolon et al. (2009), daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan dimana alat tangkap (fishing gear) dapat dioperasikan secara sempurna untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut Alfian (2005), daerah penangkapan ikan adalah suatu daerah dimana daerah tersebut sesuai dengan habitat yang dikehendaki oleh ikan, dimana kondisinya dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik (seperti: suhu, arus, gelombang, dll), alat tangkap mudah dioperasikan pada daerah tersebut dan daerah tersebut harus ekonomis dan menguntungkan. Gunarso (1985) menyatakan bahwa pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan.
Fluktuasi keadaan lingkungan
mempunyai pengaruh besar terhadap periode, migrasi musiman serta terdapatnya ikan. Keadaan perairan serta perubahannya juga mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan.
Faktor biotik, yaitu faktor flora dan fauna lainnya juga
mempengaruhi penyebaran dan tingkah laku ikan serta berbagai hewan lain yang hidup di laut, menimbulkan kompetisi untuk mencari makan, karena kehidupan serta banyaknya makanan ikan itu sendiri pun ditentukan oleh faktor lingkungan.
2.2 Ikan Tongkol 2.2.1 Taksonomi dan identifikasi ikan tongkol Taksonomi ikan tongkol menurut (Saanin, 1984) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Telestoi
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Scombroidea
Family
: Scomberidae
Genus
: Euthynnus
Spesies
: Euthynnus affinis
Paryadi (1998), membagi ikan tuna berdasarkan ukuran besarnya menjadi atas tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar pada umumnya mempunyai ukuran antara 40-180 cm dengan panjang maksimum 105 cm. Ikan tongkol merupakan spesies yang digolongkan ke dalam tuna kecil bersama-sama dengan ikan cakalang dan ikan abu-abu. Tuna kecil terdiri dari 8 spesies, sedangkan golongan tuna besar sebanyak 6 spesies (Tabel 1). Kecuali Thunnus thynus dan Thunnus atlanticus, semua jenis ikan tuna terdapat di perairan Indonesia, hal ini dikarenakan jenis ikan ini umumnya merupakan penghuni jenis perairan tropis. Paryadi (1998), menyatakan bahwa ciri-ciri yang membedakan jenis ikan tongkol dengan tuna lainnya adalah: 1) Bentuk kepala tajam dan mata besar; 2) Badan padat berisi pada dada yang lonjong secara bertahap; 3) Terdapat keel atau penyangga yang kuat pada pertemuan badan dan ekor; dan 4) Adanya garis-garis hitam yang melengkung pada bagian pungung, mulai dari batas bawah bagian tengah sirip punggung pertama. Tabel 1 Jenis-jenis ikan tuna Jenis Ikan Nama Inggris Madidihang Yellowfin Tuna Tuna mata besar Bigeye Tuna Albacora Albacora Tuna sirip biru selatan Southern Bluefin Tuna Tuna sirip biru utara Atlantic Bluefin Tuna Tuna sirip hitam Blackfin Tuna Cakalang Skipjack Tuna Tongkol Eastern Litle Tuna Tongkol Black Skipjack Tongkol Little Tuna Tongkol Black Skipjack Tongkol kecil Frigate Tuna Tongkol kecil Bullet Tuna Abu-abu Longtain Tuna Sumber: Ismajaya, 2006
Nama Ilmiah Thunnus albacares T. obesus T. alalunga T. maccoyi T. thynnus T. atlanticus Katsuwonus pelamis Eusthynnus affinis E. lineatus E. alletteratus E. pelamis Auxis thazard A. rochei Thunnus tonggol
Ciri-ciri morfologis ikan tongkol (eastern little tuna) spesies Euthynnus affinis (Gambar 1) adalah badan memanjang seperti cerutu atau torpedo dan termasuk tuna kecil. Gigi kecil-kecil dan berbentuk segitiga berjumlah 25-35, pada rahang bawah terdapat gigi palatine. Tapis insang pada busur insang pertama dari jenis tongkol ini berjumlah 29-34. Tongkol ini tidak bersisik, kecuali pada korselet dan garis rusuk. Spesies ini dicirikan dengan terdapatnya lunas kuat pada batang ekor diapit dua lunas kecil pada ujung belakangnya dan memilki dua sirip punggung yang dipisahkan oleh sela yang sempit. Sirip punggung pertama tongkol ini berjari-jari keras 15, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari lemah 13, sirip punggung kedua diikuti oleh 8-10 finlet. Selain itu, ikan ini memiliki sirip anal berjari-jari lemah, serta 6-8 jari-jari sirip tambahan serta terdapat dua lidah atau cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya.
Tidak mempunyai
gelembung renang. Ukuran tubuh tongkol ini dapat mencapai panjang 100 cm, umumnya berukuran panjang 50-60 cm dengan warna tubuh bagian atas biru kehitaman, putih dan perak di bagian bawah. Ciri lain dari tongkol ini adalah terdapatnya ban-ban serong menggelembung berwarna hitam di atas garis rusuk serta noktah-noktah hitam terdapat diantara sirip dada dan perut (Ismajaya, 2006).
Sumber: Randall, 1997
Gambar 1 Ikan tongkol (Euthynnus affinis).
2.2.2 Tingkah laku dan sifat ekologi ikan tongkol Ikan tongkol adalah ikan pelagis, membentuk gerombolan, perenang cepat, dan pemakan daging (carnivor).
Sifat bergerombol ikan tongkol disebabkan
karena pada kulit ikan terdapat suatu zat yang dapat menimbulkan rangsangan dan rangsangan tersebut dapat dirasakan oleh ikan-ikan dari jenis ikan yang sama maupun yang berbeda (Paryadi, 1998). Terlihat dalam setiap gerombolan ikan adanya kecenderungan pengelompokkan menurut ukuran yang sama daripada menurut jenisnya. Ikan tongkol dan tuna biasanya membentuk schooling pada waktu ikan tersebut dalam keadaan aktif mencari makan. Bila tidak tersedia makanan, ikan tongkol memiliki kecepatan renang antara 80 cm/detik sampai 83 cm/detik. Tetapi pada keadaan tersedia makanan ikan tongkol akan lebih aktif dengan kecepatan renang sekitar 93 cm/detik sampai 108 cm/detik (Gunarso, 1985). Menurut Laevastu dan Hela (1970) faktor oseanografi yang mempengaruhi pola distribusi ikan jenis tuna dan tongkol adalah suhu, arus dan salinitas. Ikan tongkol juga melakukan migrasi untuk tiga alasan utama, yaitu: 1) Untuk mencari makan; 2) Mencari tempat memijah; dan 3) Mencari kondisi lingkungan yang sesuai dengan tubuh (suhu, arus, salinitas). Beberapa sifat dan kebiasaan hidup ikan tongkol dikemukakan Ismajaya (2006) sebagai berikut: 1) Terdapat di daerah tropis yang berkadar salinitas tinggi; 2) Bergerak dalam gerombolan besar di lautan bebas dan dapat beruaya dengan jarak sangat jauh; 3) Ruaya ikan tongkol kadang-kadang berhenti untuk beberapa saat di dekat pulau-pulau kecil untuk mencari makan; dan 4) Tongkol umumnya adalah karnivor yang rakus. Ikan tongkol sangat sensitif terhadap perubahan suhu maupun salinitas karena dapat mempengaruhi rangsangan saraf, perubahan proses metabolisme dan perubahan aktivitas tubuhnya.
Dikatakan bahwa ikan dapat mendeteksi
perubahan suhu sampai sebesar 0,03oC dan salinitas sebesar 0,02 permil (Ismajaya, 2006).
Umumnya ikan tongkol menyenangi perairan panas dan hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 40 meter dengan kisaran suhu optimum antara 2028oC (Paryadi, 1998). Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Ismajaya (2006) bahwa pada dasarnya ikan tongkol lebih banyak terdapat di lapisan permukaan dan ikan tuna yang berukuran lebih kecil cenderung berada pada lapisan yang lebih atas atau permukaan. Penyebaran tuna dan tongkol sering mengikuti sirkulasi arus, kepadatan populasinya pada suatu perairan sangat berhubungan dengan arah arus tersebut. Umumnya jenis-jenis tuna mempunyai penyebaran di sepanjang poros arus dalam kelimpahan yang lebih besar daripada di perairan perbatasan (Setiawan, 1999).
2.2.3 Penyebaran dan kelimpahan ikan tongkol Penyebaran ikan tongkol di Indonesia sangat luas.
Hampir tersebar di
seluruh perairan Nusantara, baik di sekitar pantai maupun lepas pantai. Hidupnya membentuk gerombolan-gerombolan yang besar (fish shoaling), jarang yang hidup sendiri-sendiri.
Spesies ini berpopulasi di perairan pantai dan dapat
ditemukan di perairan tropis dan subtropis. Ikan ini banyak dijumpai di Lautan Hindia dan juga sepanjang negara-negara pantai dari Afrika Selatan sampai Indonesia.
Selanjutnya, juga dijumpai di sekitar pulau-pulau Madagaskar,
Reunion, Mauritius, Seychelles dan Srilanka.
Spesies ini juga terdapat di
sepanjang pantai Australia Barat. Larva dan juvenil pada umumnya tertangkap di dekat pantai, tapi kadang-kadang di tempat yang jauh dari pantai (Paryadi, 1998). Beberapa petunjuk untuk menentukan daerah penyebaran jenis tuna dan tongkol (Setiawan, 1999), yaitu: 1) Tempat-tempat pertemuan arus dari perairan sempit (dangkal) dengan laut dalam, daerah karang dan tebing. Tempat-tempat yang terdapat arus yang mengalir dengan cepat di tempat yang terdapat rintangan (karang, tebing, pulau); 2) Tempat terjadinya konvergensi dan divergensi antara arus yang berdekatan; dan 3) Daerah arus Eddy dari arus balik equator (Equatorial counter current).
Daerah penyebaran ikan tongkol tersebar di seluruh perairan wilayah Indonesia, seperti tercantum dalam Tabel 2. Tabel 2 Daerah penyebaran ikan tongkol di Indonesia Daerah Perairan Penyebaran Daerah Penangkapan Utama Sumatera Seluruh Sekitar perairan Aceh Utara perairan Di perairan Sumatera Utara, Selatan Malaka dan Selatan Bintan Di perairan Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Bengkulu dan Lampung Jawa dan Seluruh Selat Sunda bagian barat sampai Selatan Jawa Nusa perairan Perairan Selatan Cilacap, Jawa Timur dan Bali Tenggara Perairan Flores Timur dan Timor sebelah barat Kalimantan Seluruh Di luar perairan pantai Kalimantan Barat dan dan perairan sebagian Kalimantan Tengah Sulawesi Hampir semua perairan Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur Sekitar Teluk Palu dan pantai barat Sulawesi Selatan bagian Selatan, sebelah Timur Kendari, Teluk Tomini sampai perairan Sulawesi Utara bagian selatan dan timur Maluku dan Seluruh Sebagian pantai barat Halmahera dan Seram Irian Jaya perairan Sekitar perairan Sorong Sumber: Girsang, 2008
2.2.4 Musim dan daerah penangkapan ikan tongkol Berdasarkan daerah penangkapan dan besarnya, ikan tongkol termasuk ke dalam golongan ikan besar yang hidupnya di permukaan laut.
Musim
penangkapan ikan tongkol di Laut Jawa terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Februari yaitu pada musim hujan. Bulan-bulan ini terdapat populasi yang besar dari ikan teri (Stolephorus sp), ikan yang disenangi ikan tongkol sebagai makanannya (Paryadi, 1998). Musim tongkol berbeda-beda untuk tempat yang berlainan, walaupun spesiesnya sama. Musim penangkapan di perairan utara dan timur Aceh banyak terjadi pada bulan April, Agustus, Desember, dan puncaknya terjadi pada bulan Juni, sedangkan penangkapan berkurang pada bulan Juli, Oktober, November dan Januari. Musim penangkapan tongkol di perairan Labuan Banten, terjadi pada bulan Juli-September. Musim penangkapan tongkol di perairan Brondong, Jawa
Timur, terjadi pada bulan Januari-Maret dan Oktober, puncak musim terjadi pada bulan Januari sedangkan pada bulan April-September dan November-Desember hasil tangkapan tongkol relatif sedikit. Musim penangkapan tongkol di perairan Utara Jawa terjadi pada bulan September-Desember dengan puncak hasil tangkapan terbesar terjadi pada bulan September (Setiawan, 1999).
2.3 Kondisi Umum Perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda, yaitu selat yang menghubungkan dua laut yaitu Laut Jawa di bagian utara dan Samudera Hindia di bagian selatan, dan berada di atas Paparan Sunda pada posisi 5° 25’ LS - 6° 50’ LS dan 104° 20’ BT - 106° 5’ BT. Selat Sunda yang terletak di bagian utara perairannya cukup dangkal dengan kedalaman 20-70 m, sedangkan di bagian selatan sangat dalam hingga mencapai >1500 m.
Selat Sunda bagian selatan merupakan lembah yang dalam yang
membentang dari Samudera Hindia ke Teluk Semangka dan Teluk Lampung yang berada di bagian barat.
Poros Selat Sunda dari timur laut ke barat daya
merupakan aliran utama massa air dari Laut Jawa ke Samudera Hindia, tergantung musim yang berlaku. Faktor lokal, seperti topografi dasar, konfigurasi pantai dan arah angin bisa juga memiliki kontribusi terhadap karakteristik oseanografi Selat Sunda (Supangat, 2004). Perairan Selat Sunda memiliki beberapa pulau seperti Sebesi, Sebuku, Sangiang, Sertung, Rakata dan lain-lain. Kondisi dasar perairan bagian timur pada umumnya terdiri dari substrat pasir berlumpur dengan kedalaman perairan yang relatif dangkal dengan kedalaman maksimum sekitar 50 meter. Bagian timur laut yang berbatasan dengan Laut Jawa memiliki kedalaman perairan sekitar 50-60 meter, dasar perairan yang mirip dengan di bagian timur yaitu pasir berlumpur. Di bagian barat daya perairan ini berbatasan dengan Samudera Hindia yang merupakan perairan terbuka dengan kedalaman laut mencapai 1575 meter (Birowo, 1983). Selanjutnya daerah dasar laut yang berbatasan dengan Samudera Hindia terdapat suatu isodepth dengan kedalaman 200 meter yang melintang dari utara ke selatan mulai dari luar Pulau Legundi sampai dengan bagian Barat Pulau Panaitan. Sekitar 10-20 mil ke arah barat isodepth 200 meter, terdapat juga isodepth 1000 meter yang membentang dari arah Barat Laut ke Tenggara. Bagian
tengah isodepth ini terdapat penaikkan dasar laut sekitar 950 meter (Syamsuddin, 1998). Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang unik, karena setiap saat kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudera Hindia dan sifat perairan dangkal Laut Jawa.
Kedalaman perairan Selat Sunda dapat dibagi
menjadi tiga kategori umum, yaitu: (1) perairan oseanik (oseanic waters); (2) wilayah tengah selat dan (3) perairan dengan karakteristik laut dangkal (coastal water) (Syamsuddin, 1998). Kondisi alam tersebut memberikan peluang terhadap berbagai jenis usaha perikanan yang dapat dilakukan.
Perbedaan kedalaman
dengan sifat alamnya akan memberikan akan memberikan karakteristik jenis ikan yang hidup di dalamnya, selanjutnya mengarah kepada ragam jenis kapal dan alat tangkap yang dipergunakan. Arus pantai yang terjadi di kedalaman laut, kurang dari 200 meter adalah lebih merupakan akibat angin dan arus pasang surut yang rata-rata memiliki pola relatif lemah (Effendy, 2005). Pergerakan massa air Selat Sunda merupakan kombinasi antara arus pasang surut dan arus musiman. Sepanjang tahun arah aliran arus menuju barat daya, tetapi pada bulan November arahnya berubah menjadi timur (Effendy, 2005). Syamsuddin (1998) menyatakan bahwa dalam waktu tertentu arus bergerak sangat kuat, tetapi ternyata sirkulasi air antara Laut Jawa dan Samudera Hindia lemah, kecepatan arus bervariasi antara 0,2-0,7 m/detik, dimana kecepatan maksimum terjadi pada bulan Desember dan Agustus ketika angin muson paling kuat dan kecepatan arus kembali melemah pada musim peralihan. Syamsuddin (1998), menyatakan bahwa di perairan Selat Sunda pada kedalaman 25 m, kecepatan arus yang terjadi adalah sebagai berikut: 1) Musim timur, massa air dengan kecepatan rata-rata 51 cm per detik di mulut bagian utara memasuki Selat Sunda. Sedangkan di pantai Barat Jawa Barat kecepatan rata-rata 75 cm per detik mengarah ke barat daya selanjutnya semakin meningkat di bagian tengah selat menjadi rata-rata 122 cm per detik; 2) Musim peralihan, massa air yang datang dari Laut Jawa menjadi lebih rendah pada kisaran kecepatan 16-31 cm per detik dengan kecenderungan mengarah ke selatan dibandingan musim timur. Di perairan sebelah barat selat arus lebih cepat pada kisaran 123-154 cm per detik menuju ke tenggara dengan
arah yang hampir sama di pantai barat Jawa Barat, kecepatan berkisar antara 46-73 cm per detik; dan 3) Musim barat, massa air dari Laut Jawa kecepatan rata-rata 51 cm per detik sama dengan periode musim timur dengan kecenderungan mengarah ke selatan. Kecepatan tertinggi di bagian tengah selat dekat dengan pantai barat Jawa Barat mengarah ke barat, kecepatan rata-rata 98 cm per detik.
2.4 Parameter Oseanografi 2.4.1 Suhu permukaan laut Suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima oleh sinar matahari (Almuthahar, 2005). Air mempunyai sifat spesifik bahang yang baik, artinya bertambah atau berkurangnya panas terjadi secara perlahan-lahan.
Permukaan laut dapat
mengabsorbsi sejumlah besar energi matahari yang masuk ke dalamnya. Ketika evaporasi, permukaan laut menjadi panas. Saat dipanaskan, air hangat tetap di permukaan sedangkan air yang dingin tenggelam atau berada di lapisan bawah. Energi yang sampai di permukaan bumi bervariasi menurut musim, lintang dan topografi (Ingmanson dan Wallace, 1973 yang dikutip oleh Almuthahar, 2005). Suhu permukaan air banyak mendapat perhatian dalam kajian kelautan karena data suhu ini dapat dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut seperti keberadaan thermal front, upwelling, ataupun dalam kaitannya dengan kehidupan hewan dan tumbuhan (Nontji, 2007).
Laevastu dan Hela,
1970, menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas matahari. Dengan demikian suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman. Secara alami, lapisan air di permukaan akan lebih hangat karena menerima radiasi matahari pada siang hari. Lapisan ini memilki ketebalan tertentu sebelum
mencapai lapisan yang lebih dingin di bawahnya.
Suhu air di lapisan ini
dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Oleh karena itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman. Sebagai contoh pada musim pancaroba angin biasanya lemah dan laut sangat tenang sehingga proses pemanasan di permukaan dapat terjadi dengan lebih efektif. Akibatnya suhu lapisan permukaan mencapai maksimum pada musim pancaroba (Nontji, 2007). Suhu di permukaan laut secara umum menggambarkan distribusi suplai bahang yang berasal dari matahari. Jumlah bahang yang diterima dari matahari adalah terbesar di garis khatulistiwa dan menurun menuju kutub (King, 1966). Suhu perairan bervariasi baik secara horizontal maupun vertikal.
Secara
horizontal suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman.
Variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada
umunya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di bagian tengah, dan lapisan dingin di bagian bawah. Lapisan homogen berkisar sampai kedalaman 50-70 meter, pada lapisan ini terjadi pengadukan air yang mengakibatkan suhu lapisan ini menjadi homogen (sekitar 28 oC), lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman, terdapat pada kedalaman 100-200 meter. Lapisan dingin biasanya kurang dari 5 oC, terdapat pada kedalaman lebih dari 200 meter (Nontji, 2007). Suhu air laut berkisar antara -2-30 oC, dimana nilai terendah disebabkan karena adanya formasi es dan nilai tertinggi disebabkan oleh proses radiasi dan perubahan atau pergantian bahang dengan atmosfir. Sedangkan di daerah tropis suhu permukaan laut berkisar antara 27o-29o C dan 15o-20o C di daerah subtropis. Suhu ini menurun secara teratur sesuai dengan kedalaman (Ingmanson dan Wallace, 1973). Perubahan suhu bisa menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan.
Suhu optimum berbagai jenis hewan air berbeda-beda
tergantung spesies, daerah tempat hidup yang dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi. Hampir semua populasi ikan di laut mempunyai suhu optimum
untuk kehidupannya. Jika suhu optimum dari suatu spesies ikan diketahui, maka kita akan dapat menduga keberadaan suatu kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan (Laevastu & Hela, 1970).
Amri, 2002
menyatakan bahwa tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi antara 18,0-29,0 °C.
Penyebaran ikan tongkol cenderung
membentuk kumpulan multispesies menurut ukurannya, misalnya kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp dan Megalopsis cardyla (Carangidae)
2.4.2 Klorofil-a dan produktivitas primer perairan Klorofil-a adalah pigmen yang mampu melakukan fotosintesis dan terdapat di seluruh organisme fitoplankton (Barnes & Huges, 1988). Klorofil-a mampu mengubah sinar matahari menjadi energi kimiawi sehingga fotosintesis menghasilkan bahan organik. Sedangkan pigmen pelengkap, meskipun mampu menangkap sinar surya, namun energi tersebut harus ditransfer terlebih dahulu ke klorofil-a, dan barulah energi tersebut dirubah oleh klorofil-a menjadi energi kimiawi sehingga berguna bagi fotosintesis (Almuthahar, 2005). Fitoplankton bisa ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Zona ini dikenal sebagai zona eufotik, kedalamannya bervariasi dari beberapa puluh sentimeter pada air yang keruh hingga lebih dari 150 meter pada air yang jernih. Fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai atau di perairan lepas pantai dimana terjadi upwelling. Kedua lokasi tersebut terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut.
Di depan muara sungai banyak terdapat
konsentrasi zat hara yang berasal dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut, sedangkan di daerah upwelling zat hara yang kaya akan nutrien terangkat dari lapisan bawah air ke arah permukaan. Jumlah plankton yang melimpah pada kedua daerah tersebut memberikan daya dukung yang tinggi terhadap ekosistem sekitarnya untuk tumbuh. Dampak selanjutnya dapat terlihat dari melimpahnya komposisi ikan yang ada di daerah tersebut (Nontji, 2007).
Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil.
Kadar klorofil-a sering digunakan sebagai indikator
produktivitas primer suatu perairan yang dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per interval waktu (gC/m2/tahun).
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen
klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis, dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar matahari dan garam-garam hara terlarut dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat. Karena kemampuan untuk menghasilkan zat organik dari zat anorganik ini maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer (Nontji, 2007). Pigmen yang umum didapat adalah klorofil a, b dan c. Namun yang paling dominan adalah klorofil-a. Salah satu fungsi klorofil adalah untuk menyerap energi elektromagnetik (cahaya) yang datang untuk digunakan dalam proses fotosintesa (Gaol, 2003). Proses reaksi fotosintesis dapat disingkat seperti berikut ini: 12H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2 + 6H2O
2.4.3 Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang panjang seperti arus pasang surut (Nontji, 2007). Kondisi arus permukaan di perairan Indonesia dipengaruhi oleh angin. Angin yang paling utama berhembus di perairan Indonesia adalah angin muson (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua pembalikan arah yang disebut angin musim barat dan angin musim timur (Nontji, 2007).
Keadaaan ini akan
menyebabkan terjadinya arus musim permukaan sesuai dengan terjadinya angin musim yaitu arus musim barat dan timur, serta arus musim peralihan diantara keduanya. Hal ini sesuai dengan pembagian iklim musim di Indonesia oleh, yaitu: 1) Musim timur (Juni-Agustus); 2) Musim barat (Desember-Februari); dan 3) Musim peralihan (Maret-Mei dan September-November).
Saat Musim barat (Desember-Februari), pada umumnya angin bertiup sangat kencang dan curah hujan tinggi. Ketika musim pancaroba awal tahun (April-Mei) sisa arus dari musim barat mulai melemah dan bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadi arus pusaran (eddies). Bulan Juni-Agustus barulah berkembang arus musim timur dan arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya menuju Laut Cina Selatan. Ketika musim pancaroba akhir tahun, sekitar Oktober-November, pola arus berubah lagi, arah arus sering tak menentu, arah arus ke barat mengendur dan arus ke timur mulai menyerbu (Wyrtki, 1961). Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan, Almuthahar (2005) menyatakan bahwa penyebaran ikan oleh arus diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Arus mengalihkan telur-telur dan anak-anak ikan pelagis dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan); 2) Migrasi ikan-ikan dewasa dapat disebabkan oleh arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute alami; 3) Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus, khususnya arus pasut; dan 4) Arus, khususnya secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan-ikan dewasa dan secara tidak langsung mempengaruhi pengelompokkan makanan, atau faktor lain yang membatasinya (suhu).
2.5 Anomali Tinggi Permukaan Laut Anomali tinggi permukaan laut (ATPL) digunakan untuk mengetahui topografi permukaan laut, dimana nilainya dapat berupa nilai positif atau negatif. Nilai ATPL yang negatif menunjukkan bahwa permukaan air pada daerah tersebut turun. Permukaan air yang turun ini menyebabkan massa air dibawahnya akan naik mengisi kekosongan tersebut dan menyebabkan upwelling.
Begitu pula
dengan ATPL yang bernilai positif, hal ini berarti pada daerah tersebut mengalami downwelling, dimana massa air yang permukaannya yang lebih tinggi akan turun dan terdorong ke bawah (Ayuningtyas, 2007).
Menurut Gaol dan Nurjaya (2004) daerah pertemuan TPL negatif dan positif diduga sebagai lokasi front.
Lokasi ini diduga potensial sebagai daerah
penangkapan TMB (Tuna Mata Besar). Ilustrasi terjadinya front pada pertemuan TPL negatif dan positif ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.
Sumber: Gaol dan Nurjaya, 2004
Gambar 2 Ilustrasi terjadinya front.
2.6 Upwelling Umbalan air atau upwelling adalah gerakan naiknya air dari lapisan yang lebih dalam yang membawa serta air yang suhunya dingin, salinitas tinggi dan yang tak kalah pentingnya unsur-unsur hara yang kaya fosfat dan nitrat ke permukaan.
Oleh karena itu daerah-daerah air naik selalu disertai dengan
produktivitas plankton yang tinggi (Nontji, 2007). Lokasi upwelling merupakan daerah yang subur dan ideal bagi ikan-ikan pelagis kecil untuk memperoleh makan, yang pada gilirannya akan dimangsa oleh ikan-ikan yang berukuran besar. Hubungan yang saling berkesinambungan ini menjadikan lokasi upwelling sebagai area yang sangat ideal untuk menangkap ikan (fishing ground). Meskipun daerah upwelling diakui sebagai tempat yang ideal untuk penangkapan ikan, namun daerah ini juga menjadi tempat pemijahan
ikan yang potensial untuk mendukung proses perekrutan ikan tembang, japuh, lemuru (Clupeidae), serta puri atau teri dari kelompok Engraulidae. Proses upwelling akan sangat berguna bagi perekrutan ikan apabila kecepatan angin tidak melebihi 5-6 meter per detik (Nontji, 2007). Menurut Nontji (2007) air naik (upwelling) dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yakni: 1) Jenis tetap (stationary type) yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya bisa berubah-ubah.
Di sini akan berlangsung gerakan naik
massa air dari lapisan bawah secara mantap dan setelah mencapai permukaan, massa air terus bergerak horizontal ke luar. Contohnya adalah upwelling yang terjadi di lepas pantai Peru; 2) Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama selama satu musim saja. Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik, dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai permukaan. Contoh jenis ini adalah air naik di selatan Jawa; 3) Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking).
Air ringan di lapisan permukaan
bergerak ke luar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas terjadi dalam satu musim, sedangkan dalam musim lain air permukaan bertumpuk di lapisan atas yang kemudian tenggelam. Contoh jenis ini adalah air naik dan tenggelam di Laut Banda dan Laut Arafuru. Umbalan air di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafuru, selatan Jawa, Selat Makassar, Selat Bali dan diduga terjadi di Maluku dan di Laut Flores dan Teluk Bone. Umbalan air di perairan Indonesia dan sekitarnya ada yang berskala besar seperti di selatan Jawa dan ada yang berskala kecil seperti di Selat Makassar dan Selat Bali (Almuthahar, 2005).
2.7 Front Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin. Front merupakan salah
satu kriteria dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial. Daerah yang memiliki massa air dingin dibandingkan dengan massa air sekelilingnya mempunyai perbedaan suhu mencapai 1-2 °C, maka daerah dengan massa air berbeda ini disebut front (Adnan, 2008). Adnan (2008) menyatakan bahwa front penting dalam hal produktivitas perairan laut karena cenderung membawa massa air yang dingin dan kaya akan nutrien dibandingkan dengan perairan yang lebih hangat tetapi miskin zat hara. Kombinasi dari suhu dan peningkatan kandungan hara yang timbul dari pencampuran ini akan meningkatkan produktivitas plankton. Hal ini akan ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan di daerah tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air merupakan penghalang bagi migrasi ikan, karena pergerakan air yang cepat dan perbedaan suhu yang tinggi.
2.8 Aplikasi Penginderaan Jauh Kelautan Aplikasi atau penerapan penginderaan jauh (inderaja) untuk kelautan dan wilayah pesisir dapat dibedakan menjadi 3 yaitu (Susilo & Gaol, 2008): 1) Aplikasinya untuk oseanografi fisika; 2) Aplikasinya untuk sumberdaya alam laut dan wilayah pesisir; dan 3) Aplikasinya untuk pengamatan dan perlindungan wilayah pesisir. Kaitannnya dengan hal itu menjadikan inderaja digunakan untuk perubahan garis pantai, dinamika pantai, monitoring pencemaran pantai, kondisi mangrove dan ekosistem pesisir lainnya akan menjadi perhatian inderaja kelautan. Pendek kata inderaja kelautan tidak hanya mendeteksi parameter-parameter yang ada di wilayah pesisir.
Beberapa parameter penting yang dapat dideteksi dengan
inderaja kelautan dapat dilihat pada Tabel 3. Berikut ini beberapa contoh penerapan atau analisis teknologi penginderaan jauh kelautan pada berbagai tujuan pengamatan dan analisis di laut dan wilayah pesisir (Susilo & Gaol, 2008): 1) Deteksi daerah penangkapan ikan potensial; 2) Kelayakan lokasi untuk pengembangan, misalnya pariwisata dan budidaya perikanan; 3) Pemetaan daerah ekosistem sensitif;
4) Pemetaan daerah rawan bencanan tsunami; dan 5) Monitoring arah dan kecepatan topan di laut.
Tabel 3 Parameter kelautan yang dapat dideteksi/dipelajari dengan inderaja Parameter dan Turunannya Suhu permukaan laut: - front - upwelling - radiation/heat budget - arus - daerah penangkapan ikan - cuaca/iklim - dinamika karbon di laut - pencemaran minyak - pencemaran panas Batimetri (kedalaman air) Warna air laut: - klorofil (fitoplankton) - produktivitas primer - produktivitas ikan - kondisi terumbu karang - dinamika karbon di laut - pencemaran minyak - pencemaran bahan sedimen - kondisi terumbu karang Arus laut Salinitas Geoid Pasang surut Gumpalan es di kutub Kekasaran permukaan laut (sea state): - angin permukaan - gerombolan ikan pelagis Gelombang laut Tinggi permukaan laut (topografi laut) Vegetasi pantai: mangrove, lamun Garis pantai
Daerah Spektral Inframerah dan gelombang mikro
Sinar tampak Sinar tampak
Gelombang mikro Gelombang mikro Gelombang mikro Gelombang mikro dan infra merah Sinar tampak dan gelombang mikro Gelombang mikro
Gelombang mikro Gelombang mikro Sinar tampak dan infra merah Sinar tampak dan infra merah
Sumber: Susilo dan Gaol, 2008
Teknologi penginderaan jauh pada dasarnya meliputi tiga bagian utama yaitu: perolehan data, pemrosesan data dan interpretasi data.
Wahana yang
dipergunakan adalah pesawat udara atau satelit bantuan yang telah dilengkapi dengan peralatan perekam data (sensor).
Komponen dasar dari sistem
penginderaan jauh antara lain: (1) gelombang elektromagnetik sebagai sumber radiasi (sumber energi) yang digunakan; (2) atmosfer sebagai media lintasan dari gelombang elektromagnetik; (3) sensor sebagai alat yang mendeteksi gelombang elektromagnetik; (4) objek. Komponen tersebut disajikan secara skematik pada Gambar 3.
Sumber: Simbolon et al. (2009)
Gambar 3 Sistem penginderaan jauh satelit.
Untuk sampai pada hasil analisis berbagai tujuan di atas, data citra harus melalui proses analisis citra. Citra adalah data digital dan untuk mengolah data digital diperlukan perangkat komputer. Beberapa perangkat lunak pengolahan citra dan sistem informasi geografis sering menjadi kesatuan, walaupun ada beberapa perangkat lunak yang terpisah antara pengolahan citra dan sistem informasi geografis. Berikut ini beberapa contoh perangkat lunak yang sering digunakan (Susilo & Gaol, 2008): 1) Idrisi; 2) Erdas imagine; 3) Ermapper; 4) Arcview dan ArcGis; 5) SeaDAS; dan 6) Global Mapper.
2.8.1 Satelit aqua MODIS Satelit Aqua, yang dalam bahasa Latin berarti air merupakan suatu satelit ilmu pengetahuan tentang bumi kepunyaan NASA (National Aeronautics and Space Administration), yang memiliki misi untuk mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel yang diukur oleh Aqua antara lain aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham, 2005).
Satelit Aqua membawa sensor
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang mempunyai 36 kanal spektral dengan kisaran panjang gelombang antara 0.4 μm sampai 14,4 μm. Instrumen MODIS telah didesain dan dikembangkan sejak proyek Engineering Model (EM) selesai dilaksanakan pada pertengahan 1995 kemudian dua unit pesawat luar angkasa, Protoflight Model (PFM) (membawa satelit Terra) dan Flight Model (FM) 1 (membawa satelit Aqua) telah selesai dan diluncurkan. Sensor MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan. Tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya ke lautan (Maccherone, 2005). Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit polar sun-synchronus, yang artinya satelit akan melewati tempat-tempat yang terletak pada lintang yang sama dan dalam waktu lokal yang sama pula. Satelit melintasi equator pada siang hari mendekati pukul 13.30 waktu lokal. Satelit mengelilingi bumi setiap satu sampai dua hari dengan arah lintasan dari kutub selatan menuju kutub utara (ascending node) pada ketinggian 705 km (Maccherone, 2005). Spesifikasi dari satelit Aqua MODIS dan kanal-kanal pengamat satelit bumi dijabarkan dari Tabel 4 dan 5.
Tabel 4 Spesifikasi teknis dari satelit Aqua Spesifikasi Orbit
Luas Liputan
Keterangan 705 km, 1:30 p.m, ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, sirkular 2330 km (cross track) dengan lintang 10 derajat lintasan pada nadir
Tabel 4 Lanjutan Spesifikasi Ukuran Berat Power Kuantisasi Resolusi Spasial
Keterangan 1,0 x 1,6 x 1,0 m 228,7 kg 162,5 W (single orbit average) 12 bit = 4096 250 m (band 1-2) 500 m (band 3-7) 1000 m (band 8-36) Umur 6 tahun
Desain Sumber: Maccherone, 2005
Tabel 5 Kegunaan dan karakteristik kanal-kanal sensor MODIS Primary use Band Bandwidth1 Spectral radiance2 Land/Cloud/Aerosols 1 620 - 670 21.8 Boundaries 2 841 - 876 24.7 Land/Cloud/Aerosols 3 459 - 479 35.3 Properties 4 545 - 565 29.0 5 1230 - 1250 5.4 6 1628 - 1652 7.3 7 2105 - 2155 1.0 Ocean Color/ 8 405 - 420 44.9 Phytoplankton/ 9 438 - 448 41.9 Biogeochemistry 10 483 - 493 32.1 11 526 - 536 27.9 12 546 - 556 21.0 13 662 - 672 9.5 14 673 - 683 8.7 15 743 - 753 10.2 16 862 - 877 6.2 Atmospheric 17 890 - 920 10.0 Water Vapor 18 931 - 941 3.6 19 915 - 965 15.0 Primary use Band Bandwidth1 Spectral radiance2 Surface/Cloud Temperature
Atmospheric Temperature
20 21 22 23 24 25
3.660 - 3.840 3.929 - 3.989 3.929 - 3.989 4.020 - 4.080 4.433 - 4.498 4.482 - 4.549
0.45(300K) 2.38(335K) 0.67(300K) 0.79(300K) 0.17(250K) 0.59(275K)
Required SNR3 128 201 243 228 74 275 110 880 838 802 754 750 910 1087 586 516 167 57 250 Required NE[delta] T(K)4 0.05 2.00 0.07 0.07 0.25 0.25
Tabel 5 Lanjutan Primary use
Cirrus Clouds Water Vapor Cloud Properties Ozone Surface/Cloud Temperature Cloud Top Altitude
Band
Bandwidth1
Spectral radiance2
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
1.360 - 1.390 6.535 - 6.895 7.175 - 7.475 8.400 - 8.700 9.580 - 9.880 10.780 - 11.280 11.770 - 12.270 13.185 - 13.485 13.485 - 13.785 13.785 - 14.085 14.085 - 14.385
6.00 1.16(240K) 2.18(250K) 9.58(300K) 3.69(250K) 9.55(300K) 8.94(300K) 4.52(260K) 3.76(250K) 3.11(240K) 2.08(220K)
Required NE[delta] T(K)4 150(SNR) 0.25 0.25 0.05 0.25 0.05 0.05 0.25 0.25 0.25 0.35
Sumber: Maccherone, 2005
2.8.2 Satelit TOPEX/POSEIDON Satelit TOPEX/POSEIDON diluncurkan pada tanggal 10 Agustus 1992 di Kourou, Perancis. TOPEX/POSEIDON memiliki resolusi temporal 10 hari dan resolusi spasial sepanjang lintasan satelit kira-kira 7 km, jarak antar lintasan dengan lebar bujur sekitar 300 km pada ekuator dan memberikan ketelitian pengukuran mencapai 4-5 cm.
Tujuan utama dari satelit ini adalah untuk
mengamati sirkulasi lautan global dan mengamati perubahan muka air laut ratarata (Mean Sea Level). Fenomena-fenomena lautan yang diperoleh, diantaranya adalah penentuan topografi permukaan laut (TPL), penentuan karakteristik arus dan eddies, studi fenomena El-Nino, dan penentuan kecepatan angin di atas permukaan laut dalam skala waktu musiman dan antar tahunan (NASA, 2006). Satelit TOPEX/POSEIDON, selain dilengkapi dengan altimetri, satelit juga membawa sensor-sensor microwave radiometer, antena GPS, antena DORIS dan Laser Retroreflectors (LRR).
Konfigurasi satelit TOPEX/POSEIDON telah
dilakukan suatu kalibrasi penyempurnaan dalam tingkat keakuratannya. Penyempurnaan yang telah diterapkan pada satelit ini yaitu modul sensor, sistem tracking satelit dan konfigurasi orbit. Sensor utama yang dimiliki radar altimetri oleh satelit ini, beroperasi secara simultan pada dua frekuensi (dual frequency) sehingga dapat mereduksi efek dari bias ionosfer (NASA, 2006).
Teknik satelit altimetri dimungkinkan untuk memantau variasi kedudukan muka laut, dengan tingkat presisi yang tinggi, resolusi spasiotemporal yang tinggi, cakupan lautan yang luas, dan referensinya terikat dengan pusat massa bumi dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengestimasi sea level (NASA, 2006). Karakterisrik dari satelit TOPEX/ POSEIDON ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik dari satelit TOPEX/POSEIDON Karakteristik Masa Hidup Periode Ketinggian Inklinasi Revolusi hari Frekuensi Ketelitian
Keterangan 10 Agustus 1992 – kini 120 menit 1334 km 66º 10 hari 5,3 dan 13,6 GHz 4 – 5 cm ( > 2 in.)
Sumber: Daly, 2001
2.9 Aplikasi SeaDAS untuk Remote Sensing Kelautan Sejak pertengahan tahun 2005, anjuran pemakaian perangkat lunak berbasis open source yang tidak perlu lisensi mulai digalakkan secara nasional dimulai dari Kementrian Riset danTeknologi. IGOS (Indonesia, Go Open Source) merupakan upaya nasional dalam rangka memperkuat sistem teknologi informasi nasional serta untuk memanfaatkan teknologi informasi global, melalui pengembangan dan pemanfaatan Software Open Source (SOS). Informasi mengenai IGOS dapat dilihat di http://www.igos.web.id/. Sebagai bagian dari implementasi program tersebut, Menristek menyatakan aplikasi open source yang dikembangkan Kementerian Ristek telah dipakai di Ristek, Depkominfo, Depdiknas, Men PAN, dan Kementerian Hukum dan HAM, yang merupakan lima deklarator open source. Adapun dari komunitas pengguna dan pengembang software open source untuk penginderaan jauh Indonesia diakui bahwa pemakaian SOS dalam bidang penginderaan jauh selama ini walaupun masih sangat terbatas, namun telah banyak memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam berbagai bidang aplikasi termasuk kelautan (http://www.lapanrs.com/IGORS/).
Salah satu sofware
berbasis open source untuk aplikasi Remote sensing pesisir dan laut yang disebut dengan SeaDAS (http://www.4shared.com).
SeaDAS adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration), Amerika pada tahun 1997, merupakan paket analisis citra satelit secara komprehensif untuk memproses, menampilkan dan menganalisa semua produk dari data satelit ocean color SeaWiFS (Seaviewing Wide Field-of-view Sensor) termasuk data ancillary-nya. Selanjutnya dalam perkembangannya, software SeaDAS tersebut juga memiliki kemampuan untuk memproses data satelit ocean color lainnya seperti CZCS (Coastal Zone Color Scanner), ADEOS / OCTS (Ocean Color Thermal System), MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), dan MOS (Modular Optoelectronic Scanner). Selain itu, dapat juga digunakan untuk menampilkan citra suhu permukaan laut dari data AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). SeaDAS ini dilengkapi juga dengan software pemrograman IDL (Interactive Data Language) yang memungkinkan pengguna mengembangkan aplikasinya. SeaDAS dalam beberapa versi dan IDL embedded termasuk prosedur instalasi dapat di-download di http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/SeaDAS/. Versi stabil terakhir SeaDAS yang sudah di release SeaDAS 4.9 (Update 4) (http://www.4shared.com). Software SeaDAS dapat dijalankan pada platform PC (Personal Computer) dengan sistem operasi Linux, Workstations SUN UltraSPARC, Workstations SGI O2 dan Komputer Macintosh G3, G4, atau G5. Software SeaDAS dapat berjalan dengan baik di OS Linux varian Redhat yaitu: Redhat 7.3, Fedora Core 2, Fedora Core 4, Centos 4.3.
Untuk menjalankan Software SeaDAS tidak diperlukan
hardware yang begitu tinggi (http://www.4shared.com). Data merupakan komponen utama dari pengembangan dan penerapan teknologi MRS. Spesifikasi data satelit ocean color yang dapat diproses oleh software SeaDAS seperti SeaWiFS, CZCS, ADEOS/OCTS, MODIS, dan MOS; serta informasi mengenai sumber data dan produk turunannya dapat dilihat dalam Tabel 7. Satelit NIMBUS-7 yang membawa sensor CZCS merupakan satelit ocean color pertama yang dibuat untuk mendeteksi kesuburan perairan dan beroperasi pada perioda tahun 1978-1986. Setelah periode tersebut, tidak ada sensor satelit ocean color yang beroperasi hingga 10 tahun kemuadian OCTS yang dibawa oleh satelit ADEOS-I milik Jepang diluncurkan pada tahun 1996 dan
karena kendala teknis hanya beroperasi selama 8 bulan. Sejak satelit SeaStar milik Amerika yang membawa sensor SeaWiFS diluncurkan pada Agustus 1997, ada beberapa misi satelit ocean color yang beroperasi hingga kini seperti MOS IRS, MODIS Aqua, dan MERIS Envisat. Nampaknya, perkembangan teknologi MRS secara internasional akan berjalan secara sinergi dan berkelanjutan hingga dekade mendatang.
Data ocean color tersebut baik data arsip maupun yang
terbaru serta produk turunannya seperti citra klorofil dan SPL terutama untuk data level
2
dan
3
dapat
di-download
di
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/
(http://www.4shared.com).
Tabel 7 Data satelit ocean color dan spesifikasinya, yang dapat diproses SeaDAS Jenis Data SeaWiFS
CZCS
OCTS
MODIS Aqua
Spesifikasi Data
Sumber Data
- 8 bands (Visible, NIR) - Resolusi spasial: 4 km (GAC), 1 km (LAC) - Periode: 1997sekarang - 6 bands - Periode: 1978-1986
NASA (order, electronically) Data (level 1, 2): http://oceancolor.gsfc.n asa.gov/cgi/browse.pl? sen=am
- 18 bands - Resolusi spasial: 1 km - 36 bands - Resolusi spasial: 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36) - Periode 2002sekarang
Data (level 3) images: http://oceancolor.gsfc.nasa. gov/cgi/level3.pl
http://daac.gsfc.nasa.gov/ data
LAPAN
Parameter Terukur (Produk) -Klorofil-a -Endapan terlarut (TSM) -Kekeruhan perairan -batimetri - Klorofil-a - Surface temperature - Klorofil-a
- Klorofil-a - Endapan terlarut (TSM) - Kekeruhan perairan - Suhu permukaan laut
Sumber: http://www.4shared.com
2.10 Keadaan Umum Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan 2.10.1 Profil PPP labuan PPP Labuan secara administratif terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Desa Teluk merupakan salah satu desa dari 9 desa di Kecamatan Labuan dengan luas wilayah 0,97 km², mempunyai batas
administratif; di sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Labuan dan Desa Cigondang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Caringin dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Banyumekar. Jarak lokasi PPP dengan ibukota provinsi sekitar 64 km, sedangkan dari ibu kota kabupaten berjarak 42 km dengan kondisi jalan yang cukup baik. PPP ini mulai dibangun sejak tahun 1995. Secara geografis lokasi PPP Labuan berada pada titik koordinat 06º 24’ 30” LS dan 105º 49’ 15” BT. Posisi PPP Labuan berada pada wilayah perairan Selat Sunda yang merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia 1 (ALKI – 1).
Berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia,
lokasi PPP Labuan berada pada wilayah WPP 3 (DKP, 2008). PPP Labuan memiliki fasilitas pokok dermaga dengan panjang 350 m, kolam pelabuhan dengan ukuran sekitar 200 m x 400 m, alur pelayaran dengan lebar sekitar 50 m, lahan pelabuhan dengan luas 74.710 m², talud yang mencapai 500 m, dan breakwater dengan panjang 213,5 m di sisi kiri dan 420 m di sisi kanan. Fasilitas fungsional PPP Labuan terdiri dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebanyak 2 unit dengan ditunjang kantor Administrasi, MCK (Mandi Cuci Kakus), area parkir dan listrik pada masing-masing TPI. Fasilitas fungsional lainnya yaitu bengkel, depot es dan tangki BBM yang dalam keadaan tidak aktif. TPI 1 berada di muara Sungai Cipenteun Agung dengan jarak 200 m dari pantai dan TPI 2 berada di tepi pantai terbuka dengan jarak 100 m dari pantai. TPI 1 memiliki luas 350 m² sedangkan TPI 2 memiliki luas 310 m². Fasilitas penunjang yang dimiliki PPP Labuan yaitu kantor kesehatan, mushola, kantor syahbandar, pos pengamat TNI AL, dan koperasi. Jarak PPP Labuan dengan jalan raya utama sangat dekat sekitar 300 m, terlebih jarak TPI 1 Labuan dengan pasar Labuan hanya terpisah oleh lebar badan sungai Cipunteun Agung. Sungai ini, dengan lebar sekitar 4 m dapat dilalui dengan perahu kecil sehingga pemasaran ikan di pasar Labuan hingga sampai ke tangan konsumen lokal relatif singkat (DKP, 2008).
2.10.2 Keadaan umum perikanan tangkap 2.10.2.1 Unit penangkapan ikan Menurut data tahun 2008, jumlah Kapal Motor (KM) dan Motor Tempel (MT) di PPP Labuan sebanyak 284 unit, yaitu 261 KM/MT berukuran 5-10 GT dan dan 23 KM/MT yang berukuran >10 GT. Jumlah unit armada penangkapan ikan di PPP Labuan adalah 14,4% dari total armada penangkapan ikan dari 11 TPI di Kabupaten Pandeglang. Jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 8. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di PPP Labuan pada tahun 2008 terdiri atas payang sebanyak 31 unit, pukat cincin 23 unit, jaring rampus 12 unit, gillnet 44 unit, pancing 8 unit, pancing rawai 2 unit, dan jaring arad 156 unit. Jumlah Rumah Tangga Perikanan yang tercatat sebanyak 276 orang (DKP, 2008).
Tabel 8 Rekapitulasi jumlah kapal motor dan motor tempel Kabupaten Pandeglang tahun 2008 No
Nama/TPI
Jumlah
Jumlah KM/MT
Jumlah
Perahu Tanpa
Jumlah
Total
(unit)
(unit)
Motor (unit)
(unit)
(unit)
149 237 47
510 GT
> 10 GT
22
124 221 40
16 7
146 237 47
189
15
204
204
3
542
406
131
537
343 183
343 84
42
343 126
46
168
85
63
148
20
60 33 9 912
60 35 9 1892
69
60 35 9 1977
2 942
38
P. PAPAN
TPI CARITA TPI I LABUAN TPI II LABUAN TPI 4. SIDAMUKTI TPI 5. PANIMBANG 6. TPI CITEUREUP 7. TPI SUMUR TPI TAMAN 8. JAYA 9. TPI CIKEUSIK 10. TPI CIGEULIS 11. TPI CILURAH Jumlah (unit) Sumber: DKP, 2008
JUKUNG
1. 2. 3.
0-5 GT
3
5
5
11
57 20
16
85
2.10.2.2 Operasi penangkapan ikan tongkol Operasi penangkapan ikan tongkol di PPP Labuan dilakukan oleh unit penangkapan payang. Kapal yang digunakan terbuat dari bahan kayu dengan dimensi bervariasi yaitu panjang LOA (Length Over All) hingga 11 m, lebar hingga 3,9 m dan tinggi hingga 1,7 m. Kapal payang bervolume 5-10 GT dan sudah dilengkapi dengan mesin dalam yang berupa mesin motor berkekuatan 1630 PK yang bertipe Donfeng atau TS dan mesin mobil berkekuatan 120 HP yang bertipe
Mitsubishi.
Semua
mesin
menggunakan
bahan
bakar
solar.
Pengoperasian kapal payang dilengkapi dengan box yang memiliki volume 5 kw, drum-drum plastik/blong berukuran 1 kw, bambu dengan panjang sekitar 1,5 m sebagai alat bantu renang dan menakuti ikan, basket, dan 1 unit alat tangkap payang. Alat tangkap payang yang digunakan berukuran panjang 160 m dan lebar 20-25 m atau 1400-1800 mata. Bahan jaring terbuat dari bahan nylon berukuran 12-14. Pelampung yang digunakan berbentuk bulat terbuat dari plastik. Pemberat yang digunakan terbuat dari batu. Rancang bangun alat tangkap payang tertera dalam Gambar 4. Pengoperasian alat tangkap payang membutuhkan jumlah nelayan yang cukup banyak.
Biasanya anak buah kapal payang berjumlah 12-18 orang
bergantung dari besarnya kapal. Setiap nelayan memiliki tugas masing-masing. Ada yang bertugas sebagai juru mudi, fishing master, nakhoda, koki, juru mesin dan sisanya ABK (Anak Buah Kapal) yang bertugas menangkap ikan. Unit penangkapan payang di PPP Labuan beroperasi setiap hari dan biasanya melakukan trip lebih dari sehari namun hal ini tergantung dari perbekalan yang dibawa.
Payang melakulan kegiatan penangkapan ikan di
perairan Selat Sunda yaitu dengan tujuan daerah Sumur, Ujung Kulon, Rakata, Sebesi hingga perairan Lampung.
Metode pengoperasiannya yaitu dengan
melingkari ikan dari sisi kiri kapal dengan cara menurunkan jaring yang diawali dengan menurunkan pelampung tanda, tali selambar, pelampung, dan pemberat. Penurunan jaring diiringi oleh ABK yang mencegah ikan keluar. Pelingkaran jaring terhadap gerombolan ikan dilakukan dengan kecepatan kapal cepat konstan. Setelah setting selesai, segera dilakukan hauling dengan cara menarik tali
selambar kiri dan kanan, pelampung dan pemberat diangkat dengan hitungan yang sama hingga bagian kantong yang berisi ikan terangkat seluruhnya. Kegiatan ini menghabiskan waktu sekitar 20 menit. Biasanya hasil tangkapan sampingan yang didapatkan antara lain teri nasi (Stelophorus waitei), teri (Stelopherus indicus), kembung (Rastrelliger sp.), layur (Trichiurus sp.), buntal (Lagocephalus sp.), tembang (Sardinella sp.), cumi (Loligo sp.), tenggiri (Scomberoides sp.), japuh (Dussumeria sp.), layang (Decapterus sp.), ubur-ubur (Obelia sp.), dan banyar (Rastrellinger sp.).
Sumber: Purwandi, 1996
Gambar 4 Rancang bangun alat tangkap payang.