8
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Penggunaan Cahaya pada Penangkapan Ikan Pada mulanya penggunaan lampu untuk penangkapan masih terbatas pada daerah-daerah tertentu dan umumnya dilakukan hanya di tepi-tepi pantai dengan menggunakan jaring pantai (beach seine), serok (scoop net) dan pancing (hand line). Pada tahun 1953 perkembangan penggunaan lampu untuk tujuan penangkapan ikan tumbuh dengan pesat bersamaan dengan perkembangan bagan (jaring angkat, lift net) untuk penangkapan ikan. Saat ini pemanfaatan lampu tidak hanya terbatas pada daerah pantai, tetapi juga dilakukan pada daerah lepas pantai yang penggunaannya disesuaikan dengan keadaan perairan seperti alat tangkap payang, purse seine dan sebagainya. Penggunaan cahaya (lampu) untuk penangkapan ikan di Indonesia dan siapa yang memperkenalkannya belumlah jelas. Meskipun demikian di daerah-daerah perikanan Indonesia Timur, khususnya dimana usaha penangkapan cakalang dengan pole and line dilakukan sekitar tahun 1950 ditemukan kurang lebih 500 buah lampu petromaks yang digunakan untuk penangkapan, dimana tempattempat lain belum digunakan (Subani, 1983). Penggunaan cahaya listrik dalam skala industri penangkapan ikan pertama kali dilakukan di Jepang pada tahun 1900 untuk menarik perhatian berbagai jenis ikan, kemudian berkembang dengan pesat setelah Perang Dunia II. Di Norwegia penggunaan lampu berkembang sejak tahun 1930 dan di Uni Soviet baru mulai digunakan pada tahun 1948 (Nikonorov, 1975). 2.2 Alat Tangkap Bagan Rambo Bagan adalah salah satu jenis alat tangkap yang digunakan nelayan di tanah air untuk menangkap ikan pelagis kecil, pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Bugis Makassar sekitar tahun 1950-an. Selanjutnya dalam waktu relatif singkat alat tangkap tersebut telah dikenal di seluruh Indonesia.
Bagan dalam
perkembangannya telah banyak mengalami perubahan baik bentuk maupun ukuran yang dimodofikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapannya.
Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dikelompokkan
9
dalam jaring angkat (lift net), namun karena menggunakan cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut juga light fishing (Subani dan Barus, 1989). Bagan rambo memiliki ukuran yang lebih besar dan konstruksinya tampak lebih kokoh serta jumlah lampu yang digunakan lebih banyak (di atas 30 unit lampu). Perahu bagan dapat dikatakan sebagai bangunan utama dari bagan rambo karena selain untuk mengapungkan bangunan bagan juga di atasnya terkonsentrasi seluruh peralatan dan merupakan tempat kegiatan pada saat operasi penangkapan. Bentuk dan konstruksi perahu dirancang khusus yaitu berbentuk pipih memanjang dengan dimensi utama, panjang 30,0 m; lebar 2,0 m dan dalam 3,0 m. Selain perahu, komponen lain dari bagan rambo adalah rangka bagan. Adanya bangunan kayu yang berbentuk rangka merupakan ciri khas dari bagan. Ukuran panjang dan lebar bangunan bagan adalah 32,0 m x 30,0 m, dirangkai pada sisi kiri dan kanan perahu. Semua bahan dari rangka serta perahu terbuat dari kayu pilihan. Selain itu dilengkapi dengan jaring, roller, generator dan lampu merkuri (Nadir, 2000). Hal yang menonjol dari penggunaan bagan rambo ini adalah penggunaan cahaya listrik dengan jumlah bola lampu yang dipergunakan berkisar 30 – 66 buah.
Berdasarkan fungsinya lampu dapat
dibedakan atas dua jenis yaitu, lampu penarik dan lampu yang digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan-ikan yang telah tertarik pada cahaya lampu. Alat tangkap bagan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. Berdasarkan mobilitasnya maka dikenal adanya bagan tancap dan bagan apung. Bagan tancap sifatnya menetap sedangkan bagan apung dapat berpindah dari satu fishing ground ke fishing ground lainnya. Bagan rambo merupakan bagan apung dengan mobilitas tinggi, dapat dioperasikan mulai dari pantai sampai jauh dari pantai. Bagan rambo merupakan perkembangan yang paling mutakhir dari alat tangkap bagan apung yang ada di Indonesia saat ini. Berbeda halnya dengan dengan bagan apung lainnya, karena ukurannya yang sangat besar sehingga sering pula disebut dengan bagan raksasa (Sudirman, 2003). 2.3 Proses Penangkapan dan Tingkah Laku Ikan Dalam pengoperasiannya jika dibandingkan dengan jenis bagan lainnya, maka operasional bagan rambo dapat dilakukan pada bulan terang, karena kekuatan cahaya yang digunakan sangat tinggi sehingga penetrasi cahaya yang
10
masuk secara vertikal ke dalam air akan lebih dalam dan secara horizontal dapat menarik kawanan ikan pada jarak yang jauh. Dibandingkan dengan bagan diesel yang dioperasikan di perairan Lampung dengan menggunakan jumlah lampu neon dari 105 – 137 unit, dimana cahaya pada kedalaman 21 – 22 m, iluminasi cahaya mencapai 0,3 – 3 lux, maka daya tembus cahaya lampu mercury pada bagan rambo masih lebih tinggi. Dengan demikian, jumlah tangkapan dan trip penangkapan atau jumlah hauling yang dapat dilakukan pada bagan rambo dapat lebih banyak, pada akhirnya jumlah tangkapan pertripnya akan lebih banyak pula (Sudirman, 2003). Konsep aktivitas penelitian dan pengembangan teknologi penangkapan ikan pada masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan tetapi juga ditujukan untuk memperbaiki proses penangkapan (capture process), mengurangi fishing impact terhadap lingkungan dan bio-diversty (Arimoto, et al. 1999). Selanjutnya Chopin and Inoue (1997) telah melakukan penelitian mengenai kecenderungan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan di Asia dan menekankan bahwa ada beberapa topik utama yang sangat penting dikembangkan antara lain pengamatan bawah air terhadap proses penangkapan (underwater observation on capture process) dan tingkah laku ikan atau studi-studi fisiologi. Walaupun tingkah laku ikan mudah diamati tetapi tidak mudah untuk mempelajarinya karena diperlukan perencanaan yang hati-hati untuk mengamati bagian-bagian dari tingkah laku yang menjadi tujuan pengamatan (Noakes and Baylis, 1990).
Metode pengamatan tingkah laku ikan dapat dilakukan di
laboratorium dan dapat pula dilakukan langsung di lapangan.
Selanjutnya
dikatakan bahwa studi tingkah laku ikan di lapangan dapat memberikan keuntungan yang lebih baik karena dapat diterapkan pada masalah-masalah praktis. Underwater observation merupakan metode pengamatan di lapangan yang dapat dilakukan untuk tujuan pengamatan tingkah laku ikan. Beberapa peralatan yang dapat digunakan untuk memahami proses penangkapan telah dijelaskan oleh Arimoto et al. (1999) antara lain video camera, sonar, biotelemetri.
Selanjutnya dikatakan bahwa kontrol tingkah laku ikan dengan
11
menggunakan
rangsangan
buatan
(artificial
stimuli),
bertujuan
untuk
memperbaiki teknologi penangkapan ikan. Tingkah laku ikan adalah adaptasi ikan terhadap faktor lingkungan eksternal dan internal (He, 1989). Selanjutnya dikatakan bahwa tingkah laku ikan dapat diklassifikasikan kedalam beberapa bagian seperti instinct behaviour, taxis dan refleks.
Karena berbagai keterbatasan dalam pengamatan langsung maka
penggunaan remote automatic sampling techniques merupakan salah satu alat untuk tujuan pengamatan tingkah laku ikan. 2.4 Peranan Cahaya dan Sifat-Sifatnya Dalam Air Cahaya merupakan bagian yang fundamental dalam menentukan tingkah laku ikan di laut (Woodhead, 1966). Stimuli cahaya terhadap tingkah laku ikan sangat kompleks antara lain intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektralnya dan lama penyinaran. Nicol (1963) telah melakukan suatu telaah mengenai penglihatan dan penerimaan cahaya oleh ikan dan menyimpulkan bahwa mayoritas mata ikan laut sangat tinggi sensitifitasnya terhadap cahaya. Tidak semua cahaya dapat diterima oleh mata ikan. Cahaya yang dapat diterima memiliki panjang gelombang pada interval 400 – 750 mȝ (Mitsugi, 1974, Nikonorov, 1975). Penetrasi cahaya dalam air sangat erat hubungannya dengan panjang gelombang yang dipancarkan oleh cahaya tersebut.
Semakin besar panjang
gelombangnya maka semakin kecil daya tembusnya kedalam perairan. Dengan demikian maka cahaya biru akan menembus jauh ke dalam perairan daripada warna lainnya. Didalam penerapannya pada operasi penangkapan ikan, maka untuk menarik ikan dari jarak yang jauh baik secara vertikal maupun horizontal digunakan warna biru karena dapat di absorbsi oleh air sangat sedikit sehingga penetrasinya ke dalam perairan sangat tinggi. Untuk mengkonsentrasikan ikan di sekitar Catchable area digunakan warna merah atau kuning karena daya tembusnya rendah. Selain panjang gelombang, faktor lain yang menentukan penetrasi cahaya masuk ke dalam perairan adalah absorbsi cahaya dari partikel-partikel air, kecerahan, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintang geografis (Nybakken, 1988). Ben-Yami (1987) menyatakan bahwa nilai iluminasi (lux)
12
suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut dan nilainya akan berkurang apabila cahaya tersebut masuk ke dalam air karena mengalami pemudaran. 2.5 Teknik Hidroakustik untuk Pendeteksian Tingkah Laku Ikan Instrumen hidroakustik mengalami perkembangan yang pesat selama Perang Dunia II khususnya dalam mendeteksi kapal selam. Akan tetapi cikal bakal hidroakustik ini dikemukakan oleh Leonardo da Vinci pada tahun 1490 bahwa jika anda menempelkan telinga pada suatu pipa panjang yang dimasukkan dalam air, anda akan mendengar kapal pada suatu jarak yang jauh dari anda (Urick, 1975). Instrumen hidroakustik dalam hubungannya dengan pendeteksian kawanan ikan pertama kali dilakukan oleh Kimura tahun 1929 dengan menginstalasikan unit pemancar (transmitter) dan unit penerima (receiver) dalam kolam yang digunakan untuk kultivasi ikan, sedangkan Sund pada Tahun 1935 pertama kali mempublikasikan echogram ikan cod (Maclennan dan Simmonds, 1992). Metode akustik untuk mengestimasi kelimpahan ikan pertama kali diaplikasikan sekitar tahun 1970. Pada waktu itu hasil yang diperoleh dengan tingkat kesalahan yang cukup tinggi dan metode kalibrasipun belum tepat. Instrumen akustik sekarang ini telah berkembang dengan pesatnya sehingga dapat menghitung target strength ikan melalui pengukuran secara langsung melalui berbagai percobaan-percobaan khususnya echosounder bim ganda (dual beam) dan bim terbagi (split beam), kedua instrumen ini juga telah digunakan untuk estimasi kelimpahan melalui echo counting (Maclennan dan Simmonds, 1992). Penggunaan instrumen hidroakustik untuk tingkah laku ikan pun telah digunakan, seperti Blaxter dan Batty (1989) dengan menggunakan echo sounding untuk mendeteksi kelompok ikan herring dewasa pada perbedaan intensitas cahaya selama operasi penangkapan musim panas di Laut Utara, Baskoro (1999) mendeteksi keberadaan kelompok ikan yang tertarik dengan cahaya lampu di bagan apung dengan menggunakan echosounder dan sonar dimana ikan anchovy (Stolephorus commersonii)
biasanya menunjukkan reaksi yang kuat terhadap
sumber cahaya di bawah air, dan cenderung berada pada kolom air antara 2 sampai 5 meter dimana intensitas cahaya 10 sampai 100 lux. Pada saat intensitas
13
dikurangi, ikan ini menunjukkan gerakan yang sangat aktif naik-turun di bawah sumber cahaya, Arakawa et al (1998) menggunakan color scanning sonar untuk mengamati pola distribusi cumi-cumi yang tertarik dengan cahaya lampu di kapal pemancingan cumi-cumi, Levenez et al (1990) menggunakan scientific echo sounder dan digital echo integrator untuk mengamati reaksi dari jenis ikan pelagis terhadap cahaya lampu. Penggunaan side scan sonar untuk melihat formasi tingkah laku bergerombol ikan sardine telah dilakukan oleh Midsun et al (2003). Perubahan kawanan ikan membutuhkan waktu rata-rata 2,08 menit untuk terpecah, sedangkan penyatuan kawanan ikan membutuhkan waktu sekitar 5 menit. Selanjutnya dikatakan pula bahwa rata-rata kecepatan renang kawanan ikan sardine di Afrika Selatan adalah 0,56 – 1,89 m/detik pada kedalaman antara 20 – 48 m.
Gambar 2 Jenis formasi kawanan ikan sardine di pantai False Afrika Selatan (Midsun et al, 2003)