6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 2.1.1 Kapal penangkapan ikan Bagan adalah sejenis alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis kecil. Alat tangkap ini pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Bugis Makassar pada tahun 1950-an. Beberapa tahun kemudian bagan ini tersebar dan terkenal di seluruh perairan Indonesia. Dalam perkembangannya bagan telah banyak mengalami perubahan baik bentuk maupun ukurannya yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah penangkapan. Berdasarkan cara pengoperasian, bagan dikelompokkan kedalam jaring angkat (lift net). Karena menggunakan cahaya untuk mengumpulkan ikan maka metode penangkapan ikan dengan bagan disebut light fishing (Subani dan Barus, 1989). Bagan termasuk kedalam light fishing yang menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik perhatian ikan untuk berkumpul di bawah cahaya lampu, kemudian dilakukan penangkapan dengan jaring yang telah tersedia (Ayodhyoa, 1981). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan tersebut memberikan respon melalui rangsangan cahaya dan dimanfaatkan dalam penangkapan atau pemanfaatan salah satu tingkah laku ikan untuk menangkap ikan. Ada beberapa jenis ikan yang tertarik dengan cahaya dan berkumpul serta ada juga jenis ikan yang menjahui cahaya dan menyebar. Tipe kapal di Indonesia ada dua, pertama adalah bagan tancap yaitu bagan yang ditancapkan secara tetap di dasar perairan dengan kedalaman 5-10 m. Tipe kedua adalah bagan apung, yaitu bagan yang dapat berpindah dari satu daerah penangkapan ke daerah penangkapan lainnya (Baskoro, 1999). Selanjutnya jenis bagan apung ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi 4 jenis bagan, yaitu bagan dengan satu perahu, bagan dengan dua perahu, bagan rakit, dan bagan dengan menggunakan mesin. Secara umum konstruksi unit penangkapan bagan perahu terdiri atas kerangka kayu, waring/jaring serta perahu bermotor yang sekaligus sebagai alat transportasi di laut. Jenis lampu yang digunakan oleh bagan sebagai atraktor untuk memikat ikan, yaitu lampu petromaks, lampu neon, dan lampu merkuri. Cahaya
7
lampu pada bagan, berfungsi untuk menarik ikan agar berkumpul di sekitar perahu kemudian dilakukan penangkapan dengan menggunakan jaring. Penggunaan cahaya merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan penangkapan ikan pada bagan perahu. Untuk itu maka nelayan di sekitar Polewali menggunakan cahaya lampu dengan tenaga listrik yang menghasilkan iluminasi yang tinggi. Bagan perahu atau bagan bermotor adalah jenis alat tangkap yang dioperasikan dengan cara menarik ke atas dari posisi vertikal yang dilengkapi untuk menangkap ikan yang ada di atasnya dengan menyaring air. Bagan dalam perkembangannya telah mengalami banyak perubahan bentuk maupun ukuran sesuai dengan daerah penangkapannya (Subani dan Barus, 1989). 2.1.2 Alat tangkap Di Indonesia bagan termasuk kategori alat tangkap yang produktif dan banyak dioperasikan di perairan pantai. Para ahli mendefenisikan bagan berdasarkan karakteristik alat tangkap bagan tersebut. Subani dan Barus (1989), mengklasifikasikan
bagan
ke
dalam
jaring
angkat
(lift
net),
karena
pengoperasiannya dilakukan dengan menurunkan dan mengangkat jaring secara vertikal. Sementara menurut Baskoro (1999), pengklasifikasian bagan ada 2 tipe yaitu bagan tancap dan bagan apung. Mata jaring bagan umumnya berukuran kecil, sekitar 0,5 cm (Sudirman, 2003). Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama ikan yang tertangkap yaitu teri yang juga berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap. Adapun komponen alat tangkap bagan terdiri dari jaring bagan, rumah bagan (anjang-anjang), lampu dan serok. Pada bagan terdapat alat penggulung atau roller yang berfungsi untuk menurunkan atau mengangkat jaring (Subani dan Barus, 1989). Ukuran alat tangkap bagan beragam mulai dari 13 × 2,5 × 1,2 m hingga 29 × 29 × 17 m. Mata jaring bagan umumnya berukuran kecil, sekitar 0,5 cm (Sudirman, 2003). Ukuran mata jaring ini berkaitan erat dengan sasaran utama ikan yang tertangkap, yaitu teri yang juga berukuran kecil. Jika ukuran mata jaring terlalu besar, maka ikan tersebut tidak tertangkap.
8
2.1.3 Nelayan Nelayan pada perikanan bagan adalah orang yang ikut dalam operasi penangkapan ikan secara langsung maupun tidak langsung. Nelayan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha penangkapan ikan, karena segala kegiatan operasi penangkapan tidak akan berjalan tanpa adanya tenaga kerja. Dalam operasi penangkapan ikan, masing-masing nelayan memiliki tugas tersendiri, sehingga operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan lancar. Dalam pembagian tugas, kapten kapal memiliki tanggung jawab paling besar terhadap kelancaran operasi penangkapan ikan. Berdasarkan tugasnya dalam operasi penangkapan, nelayan dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kapten kapal yang bertugas sebagai nahkoda kapal, teknisi mesin yang bertugas atas kelayakan dan kerusakan mesin kapal, juru masak yang bertugas menyiapkan makanan untuk seluruh ABK, ABK lainnya yang bertugas melakukan seluruh kegiatan operasi penangkapan ikan . 2.2 Metode Pengoperasian Bagan Perahu Operasi penangkapan bagan umumnya dimulai pada saat matahari mulai tenggelam. Metode pengoperasian bagan diawali dengan penurunan jaring sampai kedalaman yang diinginkan. Selanjutnya lampu mulai dinyalakan untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di bawah sinar lampu atau di sekitar bagan. Pengangkatan jaring dilakukan apabila ikan yang terkumpul sudah cukup banyak dan keadaan ikan-ikan tersebut cukup tenang. Jaring diangkat sampai berada di atas permukaan air dan hasil tangkapan diambil dengan menggunakan serok (Subani, 1972). Pengoperasian bagan tersebut menggunakan atraktor cahaya (light fishing), sehingga alat ini tidaklah efesien apabila digunakan pada saat bulan purnama. Dimana pada waktu bulan purnama ikan akan menyebar di kolom perairan (Gunarso,1985), sehingga fungsi cahaya sebagai atraktor tidaklah efesien. Pada bulan purnama, nelayan bagan tidak melakukan operasi penangkapan. Hal senada juga diungkapkan oleh Subani dan Barus (1989), bahwa penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bagan hanya dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Menurut Iskandar et al. (2001), tahapan-tahapan metode pengoperasian bagan adalah sebagai berikut :
9
1) Persiapan menuju fishing ground Persiapan menuju fishing ground biasanya terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan persiapan terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pengoperasian bagan. Pemeriksaan dan perbaikan terutama dilakukan terhadap lampu dan mesin kapal. Persiapan lain yang dianggap penting adalah kebutuhan perbekalan operasi penangkapan seperti air tawar, solar, minyak tanah, garam, dan bahan makanan. 2) Pengumpulan ikan Ketika tiba di lokasi fishing ground dan hari menjelang malam, maka lampu tersebut dinyalakan dan jaring biasanya tidak langsung diturunkan. Hingga tiba saatnya ikan tersebut terlihat berkumpul di lokasi bagan atau ingin masuk kedalam area cahaya lampu. Namun tidak menutup kemungkinan adapula sebagian nelayan yang langsung menurunkan jaring. 3) Setting Setelah menunggu beberapa jam dan ikan mulai terlihat berkumpul di lokasi penangkapan, maka jaring tersebut diturunkan ke perairan. Jaring diturunkan secara perlahan-lahan dengan memutar roller. Penurunan jaring beserta
tali
penggantung dilakukan hingga jaring mencapai kedalaman yang diinginkan. Proses setting ini berlangsung tidak membutuhkan waktu yang begitu lama, karena proses setting ini merupakan salah satu faktor tahapan penting dalam penangkapan ikan, juga ditunjang dengan tenaga ABK yang sudah begitu ahli dan profesional. Sehingga proses setting ini hanya membutuhkan waktu singkat. Banyaknya setting tergantung pada keadaan cuaca dan situasi hasil tangkapan, serta kondisi perairan pada saat operasi penangkapan. 4) Perendaman jaring (Soaking) Selama jaring berada dalam air, nelayan melakukan pengamatan terhadap keberadaan ikan di sekitar kapal untuk memperkirakan jaring akan diangkat. Lama jaring berada di dalam perairan (perendaman jaring) bukan bersifat ketetapan, karena nelayan tidak pernah menentukan dan menghitung lamanya jaring di dalam perairan dan kapan jaring akan diangkat, namun hanya
10
berdasarkan penglihatan dan pengamatan adanya ikan yang berkumpul di bawah cahaya lampu. 5) Pengangkatan jaring (Lifting) Lifting dilakukan setelah kawanan ikan terlihat berkumpul di lokasi penangkapan. Kegiatan lifting ini diawali dengan pemadaman lampu secara bertahap, hal ini dimaksudkan agar ikan tersebut tidak terkejut dan tetap terkonsentrasi pada bagian perahu di sekitar lampu yang masih menyala. Ketika ikan sudah berkumpul di tengah-tengah jaring, jaring tersebut mulai ditarik ke permukaan. Hingga akhirnya ikan tersebut akan tertangkap oleh jaring. 6) Brailing Setelah bingkai jaring naik ke atas permukaan air, maka tali penggantung pada ujung dan bagian tengah rangka dilepas dan dibawa ke satu sisi kapal, tali kemudian dilewatkan pada bagian bawah kapal beserta jaringnya. Tali pemberat ditarik ke atas agar mempermudah penarikan jaring dan lampu dihidupkan lagi. Jaring kemudian ditarik sedikit demi sedikit dari salah satu sisi kapal ke atas kapal. Hasil tangkapan yang telah terkumpul diangkat ke atas dek kapal dengan menggunakan serok. 7) Penyortiran ikan Setelah ikan diangkat di atas dek kapal, dilakukan penyortiran ikan. Penyortiran ini dilakukan berdasarkan jenis ikan hasil tangkapan, berdasarkan ukuran, dan lain-lain. Ikan yang telah disortir, langsung dimasukkan ke dalam peti atau palka ikan untuk memudahkan pengangkutan. 2.3. Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Kawasan pelagis kecil terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dibagi atas dua zona, yaitu zona neritik, mencakup massa air yang terletak di atas paparan benua dan zona oseanik, yang meliputi seluruh perairan terbuka lainnya. Secara vertikal terdiri atas zona epipelagik yang mempunyai kedalaman 100-150 m atau lebih umum disebut zona tembus cahaya. Zona ini merupakan kawasan terjadinya produktivitas primer yang penting bagi kelangsungan kehidupan dalam laut. Kemudian, zona di sebelah bawah epipelagik sampai pada kedalaman sekitar 700 m disebut zona mesopelagik. Pada kawasan
11
zona ini penetrasi cahaya kurang atau bahkan berada dalam keadaan gelap (Nybakken 1988). Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di kolom air jernih jauh dari dasar perairan. Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di laut terbuka lepas dari dasar laut dan menghuni seluruh dasar perairan lepas yang dikenal dengan kawasan pelagis (Nybakken 1988). Direkorat Jenderal Perikanan (1999) mengelompokkan ikan pelagis berdasarkan ukurannya menjadi dua jenis, yaitu : (1) Jenis-jenis ikan pelagis besar yaitu jenis ikan pelagis yang mempunyai ukuran panjang 100-250 cm (ukuran dewasa) antara lain tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), tongkol (Euthynnus spp), setuhuk (Xiphias spp), dan lemadang (Coryphaena spp). Jenis ikan pelagis besar kecuali tongkol biasanya berada di perairan dengan salinitas yang lebih tinggi dan lebih dalam, (2) Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang mempunyai ukuran panjang 5-50 cm (ukuran dewasa), terdiri dari 16 kelompok dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang masing-masing mencapai lebih dari 100.000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp) dan lemuru (Sardinella spp) dan teri (Stolephorus spp). Hasil tangkapan bagan yang didaratkan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sangat beragam. Ikan pelagis kecil yang tertangkap oleh bagan merupakan hasil tangkapan utama yaitu teri (Stolephorus spp), kembung (Rastrelliger spp), dan layang (Decapterus spp). 2.3.1 Teri (Stolephorus spp) Teri (Stolephorus spp) terdapat di seluruh peraian pantai Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti : teri (Jawa), bilis (Sumatera dan Kalimantan), dan puri (Ambon). Sedikitnya ada sembilan jenis teri (Stolephorus spp) yang terdapat di perairan Indonesia yaitu : Stolephorus heterolobus, Stolephorus devisi, Stolephorus baganensis, Stolephorus dubiousus, Stolephorus indicus, Stolephorus commersonii, Stolephorus insularis, dan Stolephorus buccaneezi. Ikan teri berukuran 6-9 cm, misalnya Stolephorus heterolobus, Stolephorus insularis, dan Stolephorus buccaneezi. Tetapi ada pula yang berukuran besar seperti Stolephorus
12
commeronii dan Stolephorus indicus yang dikenal sebagai teri kasar atau teri gelagah yang ukuran tubuhnya dapat mencapai 17,5 cm (Nontji, 1993). Ciri morfologi teri (Stolephorus spp) adalah bentuk badan bulat memanjang (fusiform) hampir silinder, perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti jarum (sisik abdominal), yang terdapat diantara sirip dada (pectoral), dan sirip perut (ventral). Sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip dubur (anal). Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 21. Sisiknya kecil, tipis dan sangat mudah terkelupas (Direktorat Jenderal Perikanan, 1990). Klasifikasi teri menurut Saanin (1994) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata; Sub Phylum : Vertebrata; Class : Pisces; Sub Class : Teleostei; Ordo : Malacopterygi; Famili : Clupeidae; Sub Famili : Engraulinae; Genus : Stolephorus; Species : Stolephorus spp
Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992.
Gambar 2 Morfologi teri (Stolephorus spp). Stolephorus spp termasuk ikan pelagis kecil yang menghuni pesisir dan estuaria, tetapi beberapa jenis dapat hidup antara 10-15 ppt. Pada umumnya hidup bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu, terutama untuk jenis-jenis ukuran kecil. Sebaliknya yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter, hanya pada bulan-bulan tertentu ikan teri tersebut dapat tertangkap dalam
13
gerombolan kecil sekitar 100-200 ekor. Teri banyak memakan berbagai jenis plankton, meskipun komposisinya tidak selalu sama untuk setiap spesies (Nontji, 1993). Pada ukuran 40 mm, ikan ini umumnya memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil. Teri yang berukuran lebih dari 40 mm, banyak memanfaatkan zooplankton ukuran besar. Perairan barat Sumatera, Selat Malaka bagian selatan dan utara Sulawesi, timur Sumatera merupakan daerah konsentrasi teri (Stolephorus spp). Wilayah penyebarannya meliputi Bali (termasuk Selat Bali dan Nusa Tenggara Timur), Maluku, Irian Jaya, serta selatan Jawa (Direktorat Jendral Perikanan 1990). 2.3.2 Kembung (Rastrelliger spp) Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu, tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian yang lain. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Tulang insang dan banyak sekali terlihat seperti bulu jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung pertama terdiri dari atas jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam tambahan (finlet) terdapat dibelakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal) kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jarijari lemah (Saanin, 1994). Klasifikasi ikan kembung sebagai berikut : Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata; Class : Pisces; Sub Class : Telestoei; Ordo : Percomorphi; Sub ordo : Scombridae; Famili : Scomridae; Genus : Rastrelliger; Species : Rastrelliger brachysoma (Bleeker); Rastrelliger neglatus (van Kampen); Rastrelliger kanagurta (Cuvier); Nama Indonesia : Kembung
14
Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992.
Gambar 3 Morfologi kembung (Rastrelliger spp). Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 32 ppt, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai di perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji, 1993). Ikan kembung lelaki untuk pertama kali matang gonad berukuran rata-rata 20 cm (Nurhakim, 1993). Ikan kembung perempuan untuk pertama kali matang gonad berukuran 16 cm (Suhendrata dan Rusmadji, 1991). Penyebaran utama ikan kembung (Rastrelliger spp) yaitu perairan barat, timur dan selatan Kalimantan serta Malaka. Sedangkan daerah penyebarannya mulai dari barat dan timur Sumatera, utara dan selatan Jawa, Nusa Tenggara, utara dan selatan Sulawesi, Maluku dan Papua (Direktorat Jendral Perikanan, 1990). 2.3.3 Layang (Decapterus spp) Diperairan Indonesia terdapat lima jenis layang yang umumnya ditemukan yakni : Decapterus ruselli, Decapterus kurroides, Decapterus lajang, Decapterus macrosoma, dan Decapterus maruadsi. Kelima spesies layang (Decapterus spp), hanya Decapterus russelli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepualauan Seribu hingga Pulau Bawean dan Pulau Masalembo. Decapterus lajang hidup di perairan yang dangkal seperti di laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura, dan Selat Bali) Selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus macrosoma banyak dijumpai di Selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan ratu. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di laut Banda. Ikan ini dapat tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji, 1993).
15
Ikan ini memiliki bentuk seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Dengan kondisi tubuh yang demikian, layang (Decapterus spp) mampu berenang di laut dengan kecepatan tinggi. Decapterus ruselli mempunyai bentuk tubuh yang memanjang dan agak pipih, sedangkan Decapterus macrosoma mempunyai bentuk tubuh yang menyerupai cerutu. Keduanya memiliki bintik hitam pada bagian tepi insangnya dan masing-masing terdapat sebuah sirip tambahan (finlet). Pada bagian belakang garis sisik (lateral line) terdapat sisik yang berlingir (lateral scute) (Saanin, 1994). Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1994), adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata; Sub Phylum : Vertebrata; Class : Pisces; Sub Class : Teleostei; Ordo : Percomorphi; Sub Ordo : Percoidea; Divisi : Perciformes; Sub Ordo : Carangi; Genus : Decapterus; Species : Decapterus ruselli, (Rupped); Nama Indonesia : Layang
Sumber: Balai Penelitian Perikanan Laut, 1992.
Gambar 4 Morfologi layang (Decapterus ruselli). Decapterus ruselli memiliki sirip punggung pertama berjari-jari keras 8, sirip punggung kedua berjai-jari keras 1 dan 30-32 jari lemah. Sirip dubur (anal)
16
terdiri atas dua jari-jari keras sedang satu jari-jari kers bergandengan dengan 2427 jari-jari lemah. Decapterus spp hidup pada perairan dengan variasi salinitas yang sempit (stenohaline) dengan salinitas berkisar 31-33 ppt. Makanan utamanya adalah zooplankton, meskipun terkadang ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp) dan japuh (Dussumaria acuata) (Nontji, 1993). 2.4 Pengembangan Perikanan Bagan Perahu Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik (Ihsan, 2000). Manurung et al. (1998), memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk (khususnya pedesaan) mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibat penguasaan mereka. Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989). Pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa mendatang. Langkah-langkah yang harus dikaji dan kemudian diusahakan pelaksanaanya adalah : (1) pengembangan, (2) pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan di bidang perikanan, (3) pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan dan (4) pengembangan sistem informasi manajemen perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Menurut Monintja (2000), perlu adanya pertimbangan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan. Pertimbanganpertimbangan
yang
akan
digunakan
dalam
pemilihan
teknologi
dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (TPIWL), teknologi penangkapan ikan yang secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan dan kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan juga tidak dapat dipacu terus tanpa melihat batas kemampuan sumberdaya yang ada ataupun daya dukungnya. Pada perikanan yang
17
telah berkembang pesat upaya pengendalian sangat diperlukan dan upaya ini bahkan lebih berharga dari perhitungan potensi itu sendiri. Kalau hal ini dilaksanakan, maka berarti telah mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sehingga kelestarian sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya (Ihsan, 2000). 2.5 Fungsi Produksi Menurut Teken dan Asnawi (1981), yang diacu dalam Rakam (1997), bahwa hubungan teknis antara faktor produksi yang dihasilkan persatuan waktu dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga faktor-faktor produksi maupun produksi itu sendiri disebut fungsi. Secara matematis fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut : Y= f(X1,X2,X3,…..,Xn) sedangkan (X1,X2,X3, ……Xn) merupakan faktor produksi yang dipakai untuk menghasilkan produksi (Y). Fungsi di atas menerangkan produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor-faktor produksi, tapi belum memberikan hubungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi dengan produksi. Hubungan tersebut harus dinyatakan dalam bentuk yang khas seperti fungsi CoobDouglass, fungsi linier atau fungsi kuadratik. Menurut Supranto (1983), diantara fungsi-fungsi produksi yang umum dipakai adalah fungsi linier dan analisis regresi, apabila dalam persamaan garis regresi tercakup dua jenis variabel yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Oleh karenanya, regresi ini dinamakan regresi linier berganda (multi linier regression). Variabel tak bebas (Y) dalam regresi linier berganda tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaan garis tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Y = b0+ b1X1 + b2X2 + b3X3 + …..+ bnXn Y dalam hal ini adalah variabel tak bebas sedangkan X adalah variabel bebas yang nilainya diketahui, kemudian pengaruhnya terhadap Y dapat diperkirakan sehingga nilai dapat diramalkan.
18
2.6 Model Produksi Surplus dan Model Bio-ekonomi 2.6.1 Model Produksi Surplus Pendugaan biomassa ikan dipermudah menggunakan suatu model yang dikenal dengan model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Graham tahun 1935, tetapi lebih sering disebut sebagai model Schaefer (Sparre and Venema 1999). Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut EMSY atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY). Model Schaefer lebih sederhana, karena hanya memerlukan data yang sedikit, sehingga sering digunakan dalam estimasi biomassa ikan di perairan tropis. Model Schaefer dapat diterapkan apabila tersedia data hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan catch per unit effort (CPUE) per spesies serta CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre and Venema 1999). Pertambahan biomassa ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah perairan, merupakan parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang diproduksi diharapkan dapat menggantikan biomassa yang hilang akibat kematian, penangkapan maupun faktor alami. Apabila kuantitas biomassa yang diambil sama dengan yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium) (Azis 1989). Menurut Schaefer (1957), diacu dalam Fauzi (2006), laju pertumbuhan populasi merupakan fungsi dari pertumbuhan biomassa yang dipengaruhi oleh ukuran kelimpahan stok (x), daya dukung alam (k) dan laju pertumbuhan intrinsik (r). Laju pertumbuhan alami biomassa ikan yang tidak dieksploitasi atau disebut sebagai fungsi pertumbuhan density dependent growth dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : dx = f (x ) dt x⎞ ⎛ = x.r ⎜1 − ⎟ ⎝ k⎠
19
Keterangan : dx/dt = Laju pertumbuhan biomassa f(x)
= Fungsi pertumbuhan populasi biomassa
x
= Ukuran kelimpahan biomassa
r
= Laju pertumbuhan alami (intrinsik)
k
= Daya dukung alam (carrying capacity)
Persamaan
di
atas
dalam
literatur
perikanan
dikenal
dengan
pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst tahun 1989. Persamaan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 5. f (x) MSY
0
½k
k
x
Gambar 5 Kurva pertumbuhan logistik (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006). Gulland (1985), menguraikan bahwa maximum sustainable yield (MSY) adalah hasil tangkap terbanyak berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomas sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomas pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum Sustainable Yield mencakup 3 hal penting : (1) Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan (2) Memastikan bahwa kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu ke waktu (3) Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan
20
Model surplus produksi yang digunakan untuk menentukan MSY dan upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang uniform dan tidak berhubungan dengan komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau besar. Kelebihan model surplus produksi ini adalah tidak banyak memerlukan data, yaitu hanya data hasil tangkapan dan upaya penangkapan atau hasil tangkapan per satuan upaya. Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999): (1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif (2) Distribusi ikan menyebar merata (3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre dan Venema (1999) adalah : (1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam. (2) Asumsi biologi Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker 1975 sebagai berikut: 1) Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen. 2) Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit, dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup sedangkan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan.
21
3) Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan, terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi. (3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih upaya penangkapan yang berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan. 2.6.2 Model bio-ekonomi Gordon (1954) diacu dalam Fauzi (2004), menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat akses terbuka (open acces). Pada perikanan yang tidak terkontrol akan terjadi economic over fishing, dimana faktor input dari perikanan telah digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan. Menurut Schaefer (1975) diacu dalam Fauzi (2004), perubahan cadangan sumberdaya ikan secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan logistik ikan, yang secara matematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai berikut : dx/dt = f(x) = x.r (1-x/k) ……………………………………………….........
(1)
Keterangan: x
= Ukuran kelimpahan biomas ikan
k
= Daya dukung alam
r
= Laju pertumbuhan instrinsik
f(x)
= Fungsi pertumbuhan biomas ikan
dx/dt = Laju pertumbuhan biomas Apabila sumberdaya tersebut dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan, maka ukuran kelimpahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan selisih antar laju pertumbuhan biomas dengan jumlah biomas yang ditangkap, sehingga secara hubungan fungsional, dinyatakan sebagai berikut (Schaefer, 1957 diacu dalam Fauzi, 2004): dx/dt = f(x) – h …………………………………………………….… Keterangan :
(2)
22
h = Hasil tangkapan Hasil tangkapan, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: h = q.E.x ……………………………………………………...….….
(3)
Keterangan : q
= Koefesien teknologi penangkapan
E
= Tingkat upaya penangkapan (effort)
Pada kondisi keseimbangan, perubahan kelimpahan sama dengan nol (dx/dt = 0), dengan asumsi koefesien teknologi sama dengan satu (q=1) maka diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomas dengan hasil tangkapan. Hubungan tersebut secara matematis dinyatakan dengan menggabungkan persamaan (1) dengan persamaan (3), sehingga diperoleh persamaan baru sebagai berikut (Schaefer, 1957 diacu dalam Fauzi, 2004): dx/dt = f(x) – h = 0 h = f(x) q.E.x = r.x (1-x/k) ................................................................................
(4)
sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: x = k-k/r.E ...........................................................................................
(5)
Menurut Schaefer (1957) diacu dalam Fauzi (2004), dengan mensubsitusikan persamaan (4) ke dalam persamaan (5), maka diperoleh fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang menggambarkan hubungan antar tingkat upaya (effort) dengan hasil tangkapan (produksi) lestarinya, sehingga secara matematis persamaannya menjadi: h = k.E – (k/r) E2 .................................................................................
(6)
Analisis fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang dikembangkan oleh Schaefer (model Schaefer), hanya dapat menentukan tingkat pemanfaatan maksimum secara lestari berdasarkan aspek biologi, tetapi belum mampu menetapkan tingkat pemanfaatan maksimum yang lestari secara ekonomi. Untuk itu Gordon mengembangkan model Schaefer memasukkan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per satuan upaya penangkapan, maka persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi : π = TR – TC ……………………………………………………………...
(7)
23
= p.h – c.E Keterangan : π = Keuntungan pemanfaatan sumberdaya TR = Penerimaan total c
= Biaya penangkapan ikan per satuan upaya
p = Harga rata-rata hasil tangkapan Dalam kondisi open access, tingkat keseimbangan akan tercapai pada saat penerimaaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), dengan tingkat upaya =EOA (Gambar 6). Menurut Gordon kondisi tersebut disebut juga sebagai “bioeconomic equiblirium of open access fishery”. Pada tingkat upaya di bawah EOA, penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya, sehingga pelaku perikanan akan lebih banyak tertarik untuk meningkatkan upaya penangkapan ikannya. Pada tingkat upaya di atas EOA, biaya total lebih besar dari penerimaan total, sehingga mendorong pelaku perikanan untuk mengurangi upaya, dengan demikian hanya pada tingkat upaya EOA keseimbangan akan tercapai. Revenue/ cost
MSY
MEY
TC B
A
TR = p.Y (E) C EMEY
0
EMSY
E0A
Effort
Revenue/ cost
AR
MR
0
EMEY
c = MC = AC
E0A
Sumber: Fauzi, 2004.
Gambar 6 Keseimbangan bio-ekonomi Gordon-Schaefer.
Effort
24
Gambar 6 menunjukkan bahwa keuntungan maksimum akan dicapai pada tingkat upaya Emey, dimana jarak vertikal antara penerimaan total dan biaya total mencapai tingkat yang paling tinggi. Tingkat EMEY disebut sebagai maximum economic sustainable yield (MEY). Apabila tingkat upaya pada keseimbangan open acces (EOA) dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat MEY (EMEY), ternyata tingkat upaya yang dibutuhkan pada keseimbangan open access, jauh lebih banyak dari pada tingkat upaya pada saat MEY, ini berarti bahwa pada keseimbngan open access telah terjadi penggunaan sumberdaya yang berlebihan, yang menurut Gordon disebut sebagai economic over fishing. 2.7 Aspek Sosial Ihsan (2000), menyatakan bahwa analisis aspek sosial perikanan tangkap meliputi penyerapan tenaga kerja per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan per unit penangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil per unit yaitu hasil bagi antara sistem bagi hasil dengan jumlah nelayan personil penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit tangkap ikan untuk nelayan yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit penangkapan. Monintja et al. (1986), mengemukakan bahwa aspek sosial yang penting diperhatikan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah penerimaan oleh nelayan (pengoperasian alat tangkap tidak menimbulkan friksi atau keresahan nelayan yang telah ada), ketersedian tenaga kerja (pendidikan dan pengalaman) serta memberikan pendapatan yang sesuai. Permasalahan utama usaha perikanan adalah sifat common property sumberdaya ikan, sehingga upaya seorang nelayan menimbulkan suatu biaya yang tidak diperhitungkan terhadap seluruh nelayan. Hal ini berpotensi menimbulkan friksi sosial antara nelayan dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan. Oleh karena itu evaluasi terhadap perikanan tangkap yang akan dikembangkan hendaknya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Tingkat partisipasi angkatan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor demografi, sosial, dan ekonomi. Faktor ini antara lain adalah umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal (desa/kota), dan jumlah pendapatan.
25
2.8 Analisis Investasi Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama sekali atau perluasan proyek. Tujuan utamanya yaitu memperoleh manfaat keuntungan dan atau non keuangan yang layak di kemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh perorangan, perusahaan swasta maupun badan-badan pemerintah (Sutojo, 2000). Analisis investasi dapat dilakukan dengan pendekatan, tergantung pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek yaitu : (1) Analisis finansial, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam proyek adalah individu atau kelompok individu yang bertindak sebagai investor proyek. Dalam hal ini, maka kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima investor tersebut (Kadariah, 1978). (2) Analisis ekonomi, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam proyek adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, maka kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima oleh masyarakat (Kadariah, 1988). Analisis finansial penting artinya dalam memperhitungkan intensif bagi orang-orang yang turut dalam menyukseskan proyek, sebab tidak ada gunanya untuk melaksanakan proyek perikanan misalnya, yang menguntungkan dari sudut perekonomian secara keseluruhan, jika para nelayan yang menjalankan aktifitas produksi tidak bertambah baik keadaannya (Edris, 1983). Analisis ekonomi yang diperhatikan adalah hasil total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat pihak mana yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan pihak mana dalam masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut (Kadariah, 1978). Untuk mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya sesuatu proyek telah dikembangkan berbagai indeks. Indeks-indeks tersebut disebut investment criteria (Kadariah, 1978). Hakekat dari semua kriteria tersebut adalah mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam menilai kelayakan usaha proyek, sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada,
26
diantaranya adalah Return Of Investment (ROI), dan Break Even Point (BEP). Kedua kriteria digunakan untuk menentukan diterima tidaknya suatu usulan proyek dengan keuntungan masing-masing. 1) Return Of Investment (ROI) Peluang pengembangan usaha tidak terlepas dari pertimbangan ekonomi, diantaranya besar keuntungan dan lama waktu pengambilan investasi. Return of investment adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Perhitungan terhadap ROI dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan besarnya investasi yang ditanamkan (Rangkuti 2001). 2) Break Even Point (BEP) Analisis break event point atau titik pulang pokok (impas) adalah suatu metode yang mempelajari hubungan antara biaya, keuntungan dan volume penjualan yang dikenal juga dengan analisis CPV (cost-profit-volume). Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kegiatan minimal yang harus dicapai dimana pada tingkat tersebut usaha tidak mengalami keuntungan ataupun kerugian. Analisis ini dilakukan dengan dua cara yaitu : (1) untuk nilai produksi dan (2) nilai jual ikan (harga dalam rupiah). Dalam penentuan kelayakan usaha yang dilakukan dengan BEP (TR = TC) maka keuntungan usaha dapat dicapai jika produksi dan nilai jual ikan berada di atas nilai BEP dan akan mengalami kerugian jika berada di bawah nilai BEP (Ibrahim, 2003).