5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Ikan Spesifikasi ketiga buah kapal purse seine mini yang digunakan dalam penelitian ini hampir sama antara satu dengan yang lainnya.
Ukuran kapal
tersebut dapat dikatakan sebagai ukuran standar di Desa Sathean. Kapal-kapal tersebut dibuat oleh galangan kapal milik rakyat yang juga umumya ada di beberapa desa nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara. Ukuran kapal tersebut cukup untuk memuat purse seine mini yang memiliki panjang dan tingginya masing-masing hingga 400 meter dan 75 meter. Kapal yang lebih besar akan diperlukan jika nelayan ingin mengoperasikan purse seine yang lebih panjang karena volume tumpukan jaring akan menjadi lebih besar sementara ruang kerja untuk nelayan tetap diperlukan. Kapal-kapal purse seine mini tersebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan kapal-kapal purse seine yang berpangkalan di Pekalongan, yaitu kapal yang memuat hingga 34 orang nelayan dan beroperasi cukup lama, yaitu hingga 30 - 40 hari, di lokasi yang cukup jauh dari pangkalannya (Hufiadi, 2007). Kapalkapal purse seine Pekalongan memiliki panjang minimal 30,25 meter, lebar minimal 5 meter dan dalam 2,5 meter. Kapal-kapal tersebut memiliki kapasitas volume sekitar
30 GT dengan menggunakan kekuatan lampu berkisar 15.000-
40.000 watt (Atmaja et.al, 2002). Di pesisir utara pulau Jawa juga dikenal purse seine mini, seperti di perairan Kabupaten Pati dan Tegal (Yusron, 2005). Kapalkapal purse seine mini tersebut memiliki panjang minimal 15 – 18 meter, lebar 3 5 meter dan dalam 1,5 meter dengan volume > 30 GT. Dibandingkan dengan kapal purse seine mini di Jawa tersebut, maka kapal yang menjadi obyek penelitian tergolong lebih kecil. Di Provinsi Aceh menurut Mahdi (2002), kapal purse seine
umumnya
berukuran lebih besar, yaitu dengan panjang 16 – 28 m, lebar antara 3,5 – 6 m dan dalam antara 1,4 – 2 m. Kapal-kapal tersebut memiliki volume sekitar 40 GT sehingga mesin inboard yang digunakannya berkekuatan 105 – 320 PK. Sementara itu (Pottier, 1998) dalam (Atmaja et.al, 2002) memberikan deskripsi bahwa kapal pukat cincin yang beroperasi di sepanjang pantai utara Jawa
63
mempunyai panjang rata-rata 26,4 m, lebar 6,7 m dan dalamnya 2,1 m, mesin inboard yang berkekuatan 250 – 320 PK dilengkapi dengan generator lampu 6000 watt. Kapal purse seine yang berpangkalan di Pekalongan adalah kapal pukat cincin besar kapal ini juga dilengkapi dengan alat bantu seperti lampu-lampu sorot sebanyak 30 – 40 buah, radio komunikasi dan sejak tahun 1997 sebagian besar kapal juga telah dilengkapi dengan alat global position system (Pottier dan Sadhotomo, 1995). Jika dibandingkan dengan kapal-kapal purse seine dari pesisir utara pulau Jawa tersebut maka kapal purse seine mini yang ada di Kabupaten Maluku Tenggara sangat jauh berbeda, baik dari segi ukuran maupun alat bantu yang digunakan. Namun perbedaan tersebut tidak berarti secara teknis armada purse seine mini di Kabupaten Maluku Tenggara lebih terbelakang karena kebutuhan teknisnya berbeda, yaitu disebabkan oleh sifat operasinya yang one day trip di lokasi pemasangan rumpon yang dekat pantai. Status teknologi armada purse seine Kabupaten Maluku Tenggara akan berubah menjadi “rendah” atau “terbelakang” jika nelayan lokal berniat untuk operasi lebih jauh dari basis yang sekarang dan lebih lama. Namun hal tersebut tidak mungkin dilakukan dengan kapal-kapal yang memiliki spesifikasi saat ini, kecuali modus operasi penangkapan ikan menerapkan sistem kapal induk. Dalam sistem ini, kapal-kapal purse seine hanya berfungsi sebagai penangkap ikan, hasil tangkapan kemudian ditransfer ke kapal penampung atau pengangkut ikan yang juga berfungsi sebagai penyedia kebutuhan perbekalan, termasuk mengangkut nelayan, di tengah laut sehingga kapal-kapal purse seine tersebut tidak perlu terlalu sering ke pangkalan untuk mengisi perbekalan. Masalah yang dihadapi untuk pengembangan produktivitas perikanan purse seine mini di Kabupaten Maluku Tenggara seperti ini adalah adanya daerah penangkapan ikan pelagis kecil pada musim kurang ikan (paceklik) maka nelayan di desa Sathean akan melakukan operasi penangkapan yang lebih jauh dari lokasi penangkapan sebelumnya. Lokasi daerah penangkapan kawanan ikan dimaksud adalah perairan sebelah barat Dullah laut dan Kur-Tayando dimana lokasi-lokasi tersebut berada lebih jauh dari pantai. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kawanan ikan pelagis kecil biasanya berada tidak jauh dari pantai, seperti di
64
sekitar pulau Mayau dan pulau-pulau di sebelah barat pulau Halmahera (Karman, 2008). Spesifikasi purse seine di Indonesia ada bermacam-macam, paling tidak dilihat dari panjang dan tinggi jaring (Tabel 13). Sebagai contoh, purse seine yang dioperasikan nelayan Banda Aceh untuk menangkap cakalang memiliki panjang yang berkisar mulai dari 600 m hingga 1350 m, lebar dari 60 hingga 85 m, dengan bahan dari jaring dengan mesh size 2 inci (Chaliluddin 2002). Dibandingkan dengan purse seine yang dioperasikan nelayan Banda Aceh, seperti dilaporkan oleh Chaliluddin (2002), maka purse seine yang ada di Maluku Tenggara adalah lebih pendek ukuran purse seine dibandingkan dengan di Aceh. Tabel 13 No
Perbandingan panjang dan tinggi purse seine dari beberapa tempat di Indonesia Lokasi
1
Maluku Tenggara
2
Banda Aceh
3
Ternate
4
Prigi
5
Pekalongan
6
Probolinggo
7
Jenoponto
8
Pengambengan, Bali Lampung
9
Jenis ikan sasaran layang, kembung, tongkol, selar. Cakalang, tuna layang, tongkol, selar. tongkol, layang, teri, slengseng. layang, kembung, selar, siro, tembang lemuru, teri, layang. cakalang, tongkol, layang, kembung lemuru, tongkol, layang. Layang, kembung, selar, tongkol
Panjang (meter) 200 - 400
Tinggi (meter) 60 -7 5
Sumber
600 – 1350
60 - 85
200 - 600
40 - 60
Hasil Penelitian Chaliludin (2002) Irham (2005)
400 - 600
60 - 70
Perkasa (2004)
470 - 600
90 - 110
Hufiadi (2007)
350 - 400
60 - 70
Lutfiah (2004)
375 - 500
50 - 70
Ghaffar (2006)
200 - 300
60 - 70
Pratiwi (2002)
260 - 300
50 - 70
Yusfiandayani (1997)
Panjang purse seine sebaiknya disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap, khususnya pertimbangan pada kecepatan renang ikan, dan jarak aman di mana ikan tidak terusik tingkah lakunya oleh jaring (Fridman, 1986). Semakin tinggi kecepatan renang ikan maka purse seine harus semakin panjang; sebaliknya, semakin rendah kecepatan renang ikan maka purse seine dapat lebih pendek. Menurut rumus yang dibuat Fridman dan Carrother (1986) untuk
65
menghitung panjang purse seine, maka untuk menangkap ikan yang bergerombol di sekitar rumpon (kecepatan renang dianggap sama dengan nol) tidak diperlukan purse seine yang terlalu panjang. Itulah sebabnya mengapa purse seine nelayan Aceh yang menangkap kawanan cakalang yang berenang bebas jauh lebih panjang dari purse seine yang ada di Maluku Tenggara dan Prigi yang menangkap ikanikan pelagis kecil (layang, tongkol, teri, selar). Panjang purse seine mini untuk yang dioperasikan dengan metode seperti diterapkan nelayan Maluku Tenggara lebih ditentukan oleh ukuran atau diameter kawanan ikan dan jarak aman antara jaring dan kawanan ikan. Mungkin itulah sebabnya mengapa purse seine mini nelayan Maluku Tenggara lebih pendek dari purse seine nelayan Prigi (Jawa Timur) yang menangkap kawanan ikan yang bergerak bebas (Perkasa 2004). 5.2 Hasil Tangkapan Metode pengoperasian purse seine dengan dua kapal (two-boat system) yang dilakukan nelayan Maluku Tenggara adalah sama dengan yang dilakukan oleh nelayan Prigi di pesisir selatan Jawa Timur (Perkasa 2004) dan nelayan Ternate (Irham 2005). Namun berbeda dengan nelayan Maluku Tenggara dan Ternate, nelayan Prigi tidak menggunakan rumpon dan operasi penangkapan ikan dilakukan pada siang hari dengan cara mengejar dan melingkari kawanan ikan yang berenang bebas (Perkasa 2004). Oleh karena itu, pekerjaan nelayan Prigi lebih berisiko karena ikan-ikan yang menjadi sasaran memiliki peluang lolos lebih besar dibandingkan dengan ikan-ikan-ikan yang bergerombol di sekitar rumpon. Perbandingan antara perikanan purse seine mini di Maluku Tenggara dengan di tempat lain dapat dilakukan dengan melihat jumlah ikan yang diperoleh per hari (Tabel 14). Namsa (2006) melaporkan bahwa hasil tangkapan rata-rata kapal purse seine mini di Ternate adalah ± 1.706 kg per hari dengan jenis ikan utama adalah layang, tongkol dan selar. Jika dibandingkan dengan produktivitas kapal-kapal yang diteliti, maka produktivitas kapal-kapal purse seine mini di Ternate adalah hampir sama. Hasil tangkapan dari setiap kapal yang diteliti menunjukan bahwa semakin besar ukuran panjang jaring maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk purse seine mini dapat melingkari gerembolan ikan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semakin panjang ukuran jaring purse seine
66
mini maka hasil tangkapan yang di dapat semakin banyak. Namun
ukuran
panjang
operasi
jaring bukan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu
penangkapan. Hasil tangkapan terutama ditentukan oleh keefektifan rumpon dalam mengumpulkan ikan. Tabel 14 Perbandingan panjang purse seine dan produktivitas kapal purse seine dari beberapa tempat di Indonesia No
Lokasi
Jenis ikan sasaran
1 2
Maluku Tenggara Banda Aceh
layang, kembung, tongkol, selar. Tuna, cakalang, layang
3
Ternate
layang, tongkol, selar.
4
Prigi
1,182. ton
5
Pekalongan
6
Probolinggo
tongkol, layang, teri, 400 - 600 slengseng. Tongkol,layang, siro, 470-600 m kembung, selar. lemuru, teri, layang. 350-400 m
7
Jenoponto
3,783. Ton
8
Pengambeng an, Bali Lampung
Cakalang, layang, 375-500 m kembung, tongkol lemuru, tongkol, 200-300 m layang. layang, kembung, 260 - 300 selar, tongkol.
9
Panjang purse seine 200 - 400
Produktivitas (kg per hari) 1,340 ton
650 – 1100
4,446. ton
200 - 600
1,706. ton
3,789. ton 1,030. Ton
1,967 ton 2,500 ton
Sumber Penelitian ini (Yustom, 2009) (Namsah, 2006) Perkasa (2004) (Chodriyah, 2009) Lutfiah (2004) (Ghaffar, 2006) (Pratiwi, 2002) Yusfiandayani (1997)
Perbedaan produktivitas kapal purse seine mini di dua lokasi tersebut (Maluku Tenggara dan Ternate) kemungkinan besar disebabkan oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah ukuran
panjang jaring dan waktu kecepatan
pelingkaran. Perbandingan ukuran panjang purse seine mini pada kedua daerah tersebut menunjukan adanya perbedaan dimana ukuran panjang jaring di Kabupaten Maluku Tenggara 400 m sedangkan ukuran panjang jaring di Ternate 600 m, perbandingan ukuran ini juga
mempengaruhi
produktivitas hasil
tangkapan. Jumlah rata-rata produktivitas purse seine mini di Kabupaten Maluku Tenggara 1.340 kg per hari sedangkan di Ternate rata-rata produktivitas 1.706 kg per hari. Pengaruh ukuran panjang jaring juga berpengaruh pada pengoperasian purse seine mini di Kabupaten Jenoponto (Sulawesi Selatan) dimana semakin panjang jaring maka cakupan luasan yang berbentuk mangkok semakin luas dan
67
peluang ikan tertangkap semakin besar (Ghaffar, 2006). Ukuran panjang jaring minimal yang dioperasikan di perairan Jenoponto adalah 500 m dan tinggi 70 m dengan rata-rata hasil tangkapan 3.783 kg per hari. Faktor waktu kecepatan pelingkaran sangat ditentukan oleh ukuran kapal (GT) dan tenaga penggerak (HP). Ukuran kapal purse seine mini di Kabupaten maluku Tenggara adalah panjang 17,0 m, lebar 2,75 m, dalam 1,90 m dan tonage 15,5 GT dengan kecepatan pelingkaran rata-rata 10 menit sedangkan di Ternate panjang 14,0 m, lebar 3,15 m, dalam 1,90 m
dan tonage 17,5 GT dengan
kecepatan rata-rata 7 menit. Perbedaan ini sangat berpengaruh pada saat pelingkaran jaring dimana pada saat melingkari kawanan ikan, kapal memerlukan kecepatan penuh untuk mencegah lolosnya ikan untuk itu perlu menggunakan tenaga penggerak berukuran besar tetapi juga harus memperhatikan ukuran panjang kapal hal ini untuk menjaga kestabilan kapal saat melakukan operasi penangkapan (Anhar, 1993). Faktor kekuatan mesin penggerak (HP) juga sangat berpengaruh pada hasil tangkapan di perairan Jenoponto (Sulawesi Selatan). kekuatan mesin akan menentukan kecepatan kapal saat mengejar gerombolan ikan dan melingkari purse seine mengelilingi gerombolan ikan yang bergerak. Kapal dengan kecepatan yang relatif tinggi dapat menghalangi atau menyaingi kecepatan renang ikan. Oleh karena itu, kapal yang bergerak relatif lebih cepat dari kecepatan renang
ikan akan meningkatkan peluang tertangkapnya
gerombolan ikan (Fridman, 1986) diacu dalam Ghaffar (2006). Analisis statistik terhadap data produksi ikan dan panjang purse seine mini dari penelitian ini menyimpulkan semakin panjang jaring maka hasil tangkapan yang diperoleh juga semakin besar.
Salah satu faktor produksi yang
mempengaruhi hasil tangkapan adalah panjang jaring, dimana berdasarkan hasil penelitian (Namsa, 2006), fungsi produksi untuk unit penangkapan purse seine mini (soma pajeko) di perairan Kota Tidore Kepulauan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan, keadaan ini berarti
bahwa setiap
penambahan atau pengurangan ukuran panjang jaring akan mengakibatkan peningkatan atau pengurangan jumlah hasil tangkapan. Faktor panjang pukat cincin dilaporkan juga signifikan untuk produksi ikan yang ditangkap dengan pukat cincin di Pekalongan (Sudibyo, 1998) dan di Pengambengan Kabupaten
68
Jembrana Bali (Sugiarta, 1992). Secara teoritis semakin panjang jaring pada purse seine maka akan semakin besar pula garis tengah lingkaran dan menyebabkan semakin besar peluang gerombolan ikan tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan ikan dengan dinding purse seine semakin besar sehingga ikan tersebut semakin besar peluangnya untuk tertangkap (Fridman, 1986). Penelitian ini membandingkan lama atau waktu yang diperlukan untuk melingkarkan secara sempurna jaring-jaring yang berbeda panjangnya, yaitu 400 meter, 350 meter dan 300 meter. Secara teori, jika tidak ada hambatan teknis yang diakibatkan oleh kondisi laut dan kesalahan manusia, maka semakin panjang jaring akan semakin lama waktu yang diperlukan untuk melingkarkannya jika kecepatan pelingkaran jaring dari setiap kapal yang mengoperasikannya adalah sama. Analisis statistik sebenarnya tidak diperlukan jika penelitian hanya sekedar bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang nyata. Sesungguhnya penelitian ini menunjukkan bahwa fishing master dari kapal purse seine mini yang diteliti melingkarkan jaring dengan kecepatan yang tidak terlalu berbeda, yaitu KM Virus rata-rata lama pelingkaran 12,43 menit dengan standar deviasi 1,40 (menit), KM Mujur rata-rata lama pelingkaran 10 menit dengan standar deviasi 1,30 (menit) dan KM Dewo
rata-rata lama pelingkaran 8,57 menit dengan
standar deviasi 1,22 (menit). Adanya perbedaan nyata dalam lama pelingkaran jaring tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan ukuran panjang jaring pada saat melingkari gerombolan ikan sementara tenaga penggerak dari masing-masing kapal adalah sama yaitu menggunakan mesin outboard 40 PK dua buah, jumlah ABK masing-masing kapal
15 – 17 orang. Keahlian dan
ketrampilan ABK saat melakukan pelingkaran jaring juga sangat menentukan waktu lama pelingkaran selain faktor kondisi oseanografi; arus, ombak dan angin juga berpengaruh pada saat melingkari jaring. Ukuran mata jaring pada alat penangkapan ikan yang berfungsi untuk menjerat atau mencegah lolosnya ikan akan menentukan komposisi ikan yang tertangkap. Ulasan tentang pengaruh faktor mesh size ini sering muncul dalam penelitian tentang selektivitas alat penangkapan ikan, seperti yang dikemukakan oleh Gulland (1983) selektivitas adalah kemampuan dari alat tangkap untuk
69
meloloskan ikan. Lebih lanjut FAO (1995) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Nomura et al. (1990) mendefinisikan lebih jauh tentang selektivitas ukuran adalah pernyataan kuantitatif dari kemampuan alat tangkap untuk menangkap ikan terhadap spesies dengan ukuran tertentu, kemampuan tersebut dengan menghindarnya ikan dari hadangan jaring yang merupakan proses penentu peluang tertangkapnya ikan. Selanjutnya, Fridman (1986) menyatakan bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap. Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi pada jumlah hasil tangkapan, sehingga pengetahuan tentang selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan alat tangkap dengan baik. Jika jaring diharapkan dapat mencegah lolosnya ikan maka ukuran ikan terkecil yang tertangkap akan cenderung ditentukan oleh ukuran mata jaring. Sehingga semakin besar ukuran mata jaring maka semakin kecil peluang ikanikan terkecil yang tertangkap. Sebaliknya, jika ukuran mata jaring lebih kecil maka peluang ukuran ikan terkecil yang tertangkap akan cenderung semakin besar. Namun fenomena ini tidak ditemukan dalam penelitian di Maluku Tenggara, baik pada komposisi ukuran ikan layang, tongkol maupun selar dalam hasil tangkapan ketiga kapal yang masing-masing menggunakan purse seine mini dengan ukuran mata jaring yang berbeda. Ukuran ikan yang tertangkap pada ketiga kapal purse seine mini pada penelitian ini adalah untuk jenis ikan layang dan selar didominasi ukuran yang sudah matang gonad, dimana ikan layang dengan kisaran panjang 18 – 25,8 cm dan mengalami pertama matang gonad pada ukuran Lm (length at first maturity) pada ukuran 19,3 cm dan ikan selar dengan kisaran panjang 15 – 18,8 cm dan mengalami pertama matang gonad pada ukuran Lm (length at first maturity) pada ukuran 15,3 cm sedangkan untuk jenis ikan tongkol dengan kisaran panjang 22 – 30,8 cm umumnya ikan tertangkap didominasi ukuran kecil dan mengalami
70
pertama matang gonad pada ukuran Lm (length at first maturity) pada ukuran 30 cm (www.fishbase.org). Hasil penelitian menunjukan bahwa ukuran ikan tertangkap pada jenis layang (Decapterus russelli) dan selar (Selaroides leptolepsis) didominasi oleh ikan dewasa (matang gonad). Sedangkan ikan tongkol (Auxis thazard) ikan tertangkap didominasi oleh ikan kecil. Umumnya ukuran ikan tertangkap pada suatu perairan tersebut dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, di antaranya adalah musim penangkapan ikan dan ukuran matang gonad ikan. Penelitian tentang musim penangkapan ikan dibeberapa daerah di Indonesia menurut Irham (2005) bahwa musim penangkapan beberapa jenis ikan pelagis di perairan Maluku utara adalah layang (Decapterus russelli) musim ini terjadi pada bulan
( Mei –
Juli ) dimana puncaknya pada bulan Juli yaitu pada saat musim timur, tongkol (Auxis thazard) musim ini terjadi pada bulan ( September – Desember ) dimana puncaknya terjadi pada bulan Oktober yaitu pada saat musim peralihan TimurBarat. Yusfiandayani (2004), menyatakan bahwa panjang ikan yang matang gonad berdasarkan hasil penelitiannya di perairan Pasauran untuk ikan layang (20 – 21 cm), ikan tongkol (28 – 30 cm) dan ikan selar (22 – 24 cm). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Najamudin (2004), bahwa hasil perhitungan dengan selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa ikan layang betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang cagak (fork length) 14,28 cm dengan kisaran panjang antara 14,08 – 14,47 cm, ikan layang jantan matang gonad pada ukuran panjang cagak 15,54 cm dengan kisaran panjang antara 15,18 – 15,91 cm. Di Teluk Ambon ditemukan ukuran pertama kali matang gonad pada panjang total 15 cm (Sumadhiharga, 1991), perairan laut Jawa ukuran pertama kali matang gonad ikan layang yaitu pada panjang 15,53 cm (Widodo, 1988) dan di perairan Kabupaten Barru teridentifikasi ada yang memijah pada panjang total 15 cm (Sudirman, 2003). Hasil penelitian
hubungan panjang berat dari ketiga jenis ikan untuk
masing-masing kapal purse seine mini menunjukan bahwa KM Virus nilai b (koefisien regresi) yang didapat dari hubungan panjang dan berat, untuk ikan layang 2,173, ikan tongkol 1,289 dan ikan selar 3,246 sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ikan layang dan tongkol menunjukkan nilai lebih kecil dari 3
71
(b < 3) bersifat allometrik negatif di mana pertambahan berat lebih lambat dari pada pertambahan panjang sedangkan untuk jenis selar menunjukkan nilai lebih besar dari 3 (b > 3) sehingga dapat dikatakan pertumbuhan untuk selar bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang. KM Mujur nilai b (koefisien regresi) yang didapat dari hubungan panjang dan berat, untuk ikan layang 1,836, ikan tongkol 1,138 dan ikan selar 2,764 sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ikan layang, tongkol dan selar menunjukkan nilai lebih kecil dari 3 (b < 3)
bersifat allometrik negatif di
mana pertambahan berat lebih lambat dari pada pertambahan panjang. KM Dewo nilai b (koefisien regresi) yang didapat dari hubungan panjang dan berat, untuk ikan layang 1,886, ikan tongkol 1,041 dan ikan selar 2,922 sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ikan layang, tongkol dan selar menunjukkan nilai lebih kecil dari 3 (b < 3) bersifat allometrik negatif di mana pertambahan berat lebih lambat dari pada pertambahan panjang. Penelitian tentang hubungan panjang dan berat pernah dilakukan oleh beberapa peneliti pada daerah yang berbeda diantaranya, di Laut Jawa dilakukan oleh Widodo (1988) pada ikan layang (Decapterus spp) didapatkan nilai b = 2,997 untuk ikan jantan dan b = 3,043 untuk ikan betina dan di Perairan Teluk Ambon dilakukan oleh Sumadhiharga (1991) diperoleh nilai b = 2,298. Perbedaan nilai b dari beberapa penelitian ini diduga karena dipengaruhi oleh perbedaan musim dan tingkat kematangan gonad serta aktivitas penangkapan. Menurut Graham (1935) dalam Soumokil (1996) tekanan penangkapan yang cukup tinggi pada suatu daerah turut mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan populasi ikan. Berdasarkan hasil tangkapan selama operasi penangkapan yang dilakukan oleh masing-masing kapal purse seine mini ternyata ikan-ikan yang tertangkap adalah ikan yang sudah matang gonad (memijah). Penangkapan ikan yang sudah memijah tidak akan membahayakan kelestarian sumberdaya ikan sebaliknya jika penangkapan ikan yang belum sempat memijah akan membahayakan kelestarian di perairan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa kecil presentasi tertangkapnya ikan-ikan ukuran kecil khususnya pada jenis layang dan selar pada saat penelitian ini berlangsung, karena hasil tangkapan pada daerah penangkapan ikan di perairan Udar, Mataholat dan Mastur di Kabupaten Maluku Tenggara di dominasi
72
oleh ikan-ikan yang sudah memijah (dewasa) hal ini berdasarkan sebaran perbandingan panjang ikan yang tertangkap pada saat dimana musim penangkapan ikan akan berlangsung. 5.3 Pola Operasi Armada Purse Seine Mini Pola operasi kapal-kapal purse seine mini di Desa Sathean berkaitan erat dengan lokasi pemasangan rumpon dan desa atau pemukiman terdekat dengan lokasi rumpon tersebut. Sebagai contoh, jika nelayan akan beropeasi di perairan sebelah timur Pulau Kei Kecil dan selat Nerong, maka Desa Mastur akan menjadi basis sementara karena berdekatan dengan posisi rumpon yang akan menjadi daerah penangkapan ikan. Biasanya, nelayan harus diangkut dari Desa Sathean menuju Desa Mastur dengan kendaraan darat sementara kedua kapal ikan (yaitu kapal utama dan kapal Johnson) sudah tiba di Desa Mastur beberapa hari lebih awal dari kedatangan nelayan. Biaya operasi dapat dihemat dengan cara menyertakan beberapa penduduk desa menjadi sebagian dari nelayan yang ikut dalam kegiatan penangkapan ikan. Jika nelayan akan beroperasi di perairan sebelah timur Pulau Kei Besar maka kedua kapal akan berlayar bersamaan dari Desa Sathean, melalui perairan dusun Udar dan Desa Mataholat. Selama operasi penangkapan ikan, kapal utama akan berlabuh di perairan desa atau pemukiman yang dekat dengan lokasi rumpon sambil menunggu pesan kapan harus bergerak dari pengamat yang berada di sekitar atau di atas rumpon. Pola operasi seperti ini terjadi apabila daerah penangkapan (fishing ground) tempat rumpon berlabuh sangat dekat dengan desa dengan pantai yang pada saat surut, ketinggian air laut masih bisa dilalui oleh kapal utama untuk melakukan operasi penangkapan. Modus operasi penangkapan ikan seperti ini sama dengan yang dilakukan oleh nelayan pajeko, nama lokal untuk kapal purse seine, di Minahasa Selatan (Zainuddin 1994). Rumpon tersebut biasanya tidak jauh dari pantai, sekitar 4 mil dari pantai, pada perairan yang relatif dangkal, yaitu kurang dari 200 meter. Jarak antara lokasi rumpon dengan pantai tersebut serupa dengan lokasi penempatan rumpon oleh nelayan-nelayan dari Kota Tidore, seperti dilaporkan oleh (Hajatuddin 2008).
73
Rumpon yang ada dilokasi penelitian umumnya relatif sama dengan rumpon yang ada di daerah lain di Indonesia. Di Ternate Provinsi Maluku Utara berdasarkan hasil penelitian Kamran (2006), rumpon terdiri dari tiga komponen utama yaitu; rakit bambu dengan ukuran panjang (L) 6,0 m, lebar 4,0 m, dan tinggi 0,70 m; tali temali dari bahan PE; dan atraktor dari daun kelapa sebanyak 12 pelepah direndam pada kedalaman 15 m didalam laut dan jangkar dari bahan drum cor. Selanjutnya Subani (1986), menyatakan bahwa rumpon terdiri dari tiga komponen utama yaitu pemikat ikan (atraktor), jangkar, dan pelampung. Panjang tali jangkar (tali utama) yang digunakan pada rumpon di Desa Sathean berkisar 1,5 – 2,0 kali kedalaman laut tempat rumpon tersebut dilabuhkan. Menurut Subani (1986), panjang tali jangkar (tali utama) bervariasi, tetapi pada umumnya adalah 1,5 kali kedalaman laut tempat rumpon tersebut dipasang. Panjang tali jangkar (tali utama) 1,5 kali untuk mengantisipasi agar rumpon tidak mudah putus. Nelayan purse seine mini Kabupaten Maluku Tenggara menentukan daerah penangkapan ikan mengikuti angin moonsun, seperti umumnya dilakukan oleh nelayan-nelayan di berbagai tempat di Indonesia. Menurut Nontji (2002), di perairan Indonesia terdapat 2 (dua) kali angin musim sedangkan diantara dua musim tersebut terdapat juga musim peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan musim peralihan Timur-Barat. Perilaku adaptasi ini wajar dilakukan karena nelayan selalu berusaha mencari tempat yang banyak ikan dan aman untuk keselamatan dirinya, yaitu terhindar dari gelombang besar yang biasanya ditimbulkan oleh angin yang bertiup kencang. Jika angin timur bertiup kencang maka nelayan akan beroperasi di perairan sebelah barat pulau-pulau. Sebaliknya, jika angin barat bertiup kencang maka nelayan akan beroperasi di perairan sebelah timur pulau-pulau. Pola seperti ini juga dijumpai pada perikanan bagan rambo di selat Makasar - Sulawesi Selatan (Syafiudin, 1991). Pola musiman daerah penangkapan ikan tersebut berkaitan erat dengan pola angin moonsun. 5.4 Penelitian Selanjutnya Pengamatan langsung terhadap operasi penangkapan ikan dalam penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu yang terbatas, yaitu selama tiga bulan, mulai dari bulan Juli hingga bulan September 2010. Penelitian selanjutnya hendaknya
74
dilakukan pada musim yang berbeda dengan tujuan diantaranya untuk membandingkan komposisi ukuran ikan di antara musim yang berbeda. Pada musim ini antara bulan (Juli – September) nelayan di Desa Sathean Kabupaten Maluku Tenggara dalam melakukan operasi penangkapan diperhadapkan dengan kondisi laut dimana angin dan gelombang yang besar. Faktor kondisi angin dan gelombang ini sering menyebabkan hasil tangkapan menjadi sedikit, nelayan hanya bisa
melakukan operasi penangkapan ditempat
daerah penangkapan
(fishing ground) yang sebelumya, ini diakibatkan informasi mengenai daerah penangkapan ikan pada nelayan di Desa Sathean masih terbatas. Keterbatasan informasi ini diakibatkan karena upaya penangkapan yang dilakukan dengan unit penangkapan purse seine mini masih sangat sederhana apabila dibandingkan dengan perikanan purse seine di daerah lain di Indonesia yang sudah dilengkapi dengan alat bantu yang bersifat modern seperti ( GPS, Fish finder dan Lampu sorot) yang dapat melakukan operasi penangkapan tanpa mengenal waktu kapanpun baik itu kondisi laut bergelombang pada siang maupun malam hari, tanpa mempertimbangkan musim angin bertiup baik itu pada waktu musim angin timur maupun barat yang selalu bertiup kencang sehingga sering mengganggu nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap . Untuk itu pada penelitian selanjutnya diharapkan perlu adanya perubahan pada unit perikanan purse seine mini di Kabupaten Maluku Tenggara. Dengan informasi yang diperoleh dari penelitian selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menilai prospek pengembangan perikanan purse seine mini di Kabupaten Maluku Tenggara. Pengembangan perikanan tersebut dapat mencakup baik peningkatan upaya penangkapan ikan ataupun pengendalian kegiatan penangkapan ikan. Peningkatan
upaya
penangkapan
ikan
dapat
dirangsang
penambahan atau perbaikan prasarana penangkapan ikan, seperti
dengan
pada kapal
harus dilengkapi dengan fasilitas penyimpanan atau pendinginan ikan, ketersediaan pabrik es untuk melayani kebutuhan kapal yang beroperasi dengan trip operasi lebih dari satu hari, pengembangan industri pengolahan perikanan dan belum beroperasinya pangkalan pendaratan ikan (PPI) juga merupakan hal yang utama bagi nelayan untuk mendaratkan hasil tangkapan. Pengendalian penangkapan ikan dapat mencakup penerapan pembatasan ijin penangkapan ikan
75
untuk menjaga kelayakan usaha dari unit-unit penangkapan ikan yang ada, mencegah terjadinya kerugian kolektif karena terlalu banyak modal dikerahkan namun
tidak
menambah
manfaat.
Upaya-upaya
ini
dilakukan
agar
mengkuantifikasi usaha perikanan purse seine mini yang nantinya dapat meningkatkan produksi hasil tangkapan serta kesejahteraan nelayan pada sektor perikanan dan memberikan kontibusi bagi pembangunan daerah di Kabupaten Maluku Tenggara.