2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut Bahari (1989) diacu dalam Sultan (2004), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus untuk meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Usaha penangkapan terdiri dari unit penangkapan dan unit sumberdaya. Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari nelayan, perahu/kapal, dan alat penangkapan. Unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat, dan musim. 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan Penentuan komoditas ikan unggulan pada suatu daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan perikanan yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan yang akan dihadapi oleh rakyat Indonesia.
Langkah menuju
efisiensi dapat ditempuh dengan menggunakan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran komoditas ikan unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhan pada kondisi biofisik, teknologi, dan kondisi sosial ekonomi nelayan yang dapat dijadikan andalan untuk meningkatkan pendapatan.
Dari sisi
permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan pasar domestik maupun internasional (Hendayana, 2003). Berbagai pendekatan dan alat analisis telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan, menggunakan beberapa kriteria teknis dan non teknis dalam kerangka memenuhi aspek penawaran dan permintaan (Hendayana, 2003).
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
menganalisis komoditas ikan unggulan adalah metode location quotient (LQ). Teknik location quotient (LQ) merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor
5
kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. Location quotient (LQ) mengukur kosentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.
Inti dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan
pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak (Budiharsono, 2001).
Teknik location quotient (LQ) banyak
digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur kosentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi (industri). Dalam prakteknya penggunaan pendekatan location quotient (LQ) meluas tidak terbatas pada bahasan ekonomi saja akan tetapi dimanfaatkan untuk menentukan sebaran komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan potensinya. Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan keterbatasan demikian halnya dengan metode LQ. Kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Keterbatasannya adalah karena sederhananya pendekatan LQ ini, maka yang dituntut adalah akurasi data. Disamping itu untuk menghindari bias musiman dan tahunan diperlukan nilai rata-rata dari data series yang cukup panjang, sebaiknya tidak kurang dari 5 tahun (Hendayana, 2003). 2.3 Alat Penangkap Ikan Ramah Lingkungan Alat penangkap ramah lingkungan merupakan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. Suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi 9 kriteria yang diantaranya mempunyai selektivitas yang tinggi, tidak merusak habitat, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membahayakan konsumen, by-catch rendah, dampak ke biodiversity rendah, tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi dan dapat diterima secara sosial. Sembilan kriteria teknologi penangkapan ikan yang dikatakan ramah lingkungan (Baskoro, 2006) :
6
1.
Memiliki selektivitas alat tangkap tinggi Dasar yang digunakan untuk menilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan ikan adalah dilihat dari ukuran ikan hasil tangkapan dan lebar mesh size jaring. Semakin besar ukuran ikan hasil tangkapan dan ukuran mesh size jaring semakin tinggi nilai keramahan lingkungan alat tangkap tersebut.
2.
Tidak merusak habitat Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kerusakan pada terumbu karang, mempunyai keramahan yang tinggi.
3.
Tidak membahayakan operator Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kecelakaan pada nelayan, mempunyai keramahan yang tinggi.
4.
Ikan tangkapan yang bermutu baik Mutu ikan hasil tangkapan akan menjadi tolak ukur nilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan. Semakin baik mutu ikan semakin tinggi nilai keramahannya.
5.
Produk tidak membahayakan konsumen Teknologi penangkapan yang menghasilkan tangkapan yang paling aman dikonsumsi mendapatkan nilai keramahan yang paling tinggi.
6.
Minimum discard dan by-catch Penilaian keramahan teknologi penangkapan pada materi ini didasarkan pada ada tidaknya hasil tangkapan yang dibuang. Dalam hal ini hasil tangkapan utama sebaiknya lebih banyak dibandingkan dengan hasil sampingan lainnya, maka penilaian keramahan didasarkan pada ada tidaknya ikan hasil sampingan.
7.
Tidak merusak keanekaragaman sumberdaya hayati. Keramahan suatu teknologi penangkapan didasarkan pada ada tidaknya kerusakan keragaman penangkapan tersebut.
sumberdaya hayati
akibat aktivitas
teknologi
7
8.
Tidak menangkap protected spesies. Oleh karena itu fishing ground udang ada di dasar perairan, maka tidak ada spesies ikan yang dilindungi seperti ikan napoleon dan penyu, maka nilai keramahan teknologi penangkapan yang ada adalah sama.
9.
Diterima secara sosial Penerimaan masyarakat nelayan di lokasi penelitian terhadap teknologi penangkapan akan dijadikan dasar penilaian teknologi penangkapan tersebut. Selain itu juga, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang
cukup besar. Kelompok SDI yang potensinya paling besar adalah ikan pelagis kecil, yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air dan permukaan serta secara fisik berukuran kecil. Contohnya ikan kembung, alu-alu, layang, selar, tetengek, teri, japuh, julung-julung, tembang, lemuru, belanak, tongkol, dan kuwe. Kedua adalah ikan demersal, yaitu kelompok ikan yang hidup di dasar perairan dan terdiri dari atas spesies antara lain : sebelah, lidah, nomei, peperek, manyung, beloso, biji nangka, kurisi, gulamah, bawal, layur, kakap merah, kakap putih, pari sembilang, bulu ayam, kerong-kerong, dan remang. Ketiga adalah ikan karang, yakni kelompok ikan yang hidup di sekitar perairan karang, terdiri diri atas spesies antara lain : peneid, kepiting, rajungan, rebon, dan udang kipas. Keempat pelagis besar yakni kelompok ikan yang hidup pada kolom air serta secara fisik berukuran besar, terdiri atas spesies anatara lain : tuna mata besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru, marlin, tenggiri, ikan pedang, cucut, dan lemadang. Kelima adalah kelompok cumi-cumi dan lobster yang potensinya paling kecil (Dahuri, 2003).
2.4 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan Fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER./16/MEN/2006 yaitu pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran.
8
Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a)
Pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan,
b) Pelayanan bongkar muat, c)
Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan,
d) Pemasaran dan distribusi ikan, e)
Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan,
f)
Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan,
g) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, h) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, i)
Pelaksanaan kesyahbandaran,
j)
Pelaksanaan fungsi karantina ikan,
k) Publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, l)
Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari, dan
m) Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, dan ketertiban (K3) kebakaran, dan pencemaran). Peranan pelabuhan perikanan di Indonesia menurut Anonim (1981) diacu dalam Dwiatmoko (1994) adalah : 1) Pusat aktivitas produksi Pelabuhan perikanan sebagai tempat mendaratkan ikan, persiapan operasi penangkapan dan tempat berlabuh yang sama. 2) Pusat distribusi dan pengolahan Pelabuhan
perikanan
sebagai
tempat
untuk
pengolahan
dan
mendistribusikan ikan. 3) Pusat kegiatan masyarakat nelayan Pelabuhan perikanan sebagai tempat pembangunan ekonomi serta jaringan informasi antar nelayan dan masyarakat. 2.5 Fasilitas Pelabuhan Perikanan Menurut
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER./16/MEN/2006 Pasal 22 fasilitas pelabuhan perikanan meliputi fasilitas
9
pokok, fasilitas fungsional, dan fasilitas penunjang. Dari ketiga fasilitas memiliki fungsi yang lebih spesifik, yaitu : 1. Fasilitas pokok a) Fasilitas pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin, b) Fasilitas tambat seperti dermaga dan jetty, c) Fasilitas perairan seperti kolam dan alur pelayaran, d) Fasilitas penghubung seperti jalan, drainase, gorong-gorong, jembatan, dan e) Fasilitas lahan seperti lahan pelabuhan perikanan. 2. Fasilitas fungsional a) Fasilitas pemasaran hasil perikanan seperti seperti tempat pelelangan ikan (TPI) dan pasar ikan, b) Fasilitas navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas, c) Fasilitas suplai air bersih, es, listrik, dan bahan bakar, d) Fasilitas pemeliharaan kapal dan alat penangkapan ikan seperti dock/slipway, bengkel, dan tempat perbaikan jaring, e) Fasilitas penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu, f) Fasilitas perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan dan kantor swasta lainnya, g) Fasilitas transportasi seperti alat-alat angkut ikan es, dan h) Fasilitas pengolahan limbah seperti IPAL. 3. Fasilitas penunjang a) Pembinaan nelayan seperti balai pertemuan nelayan, b) Pengelola pelabuhan seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu, c) Sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK, d) Kios IPTEK, dan e) Penyelenggaraan fungsi pemerintahan.