STRATEGI PENGEMBANGAN KINERJA PERIZINAN USAHA PENANGKAPAN IKAN
SHINTA YUNIARTA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Kinerja Perizinan Usaha Penangkapan Ikan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Desember 2009
Shinta Yuniarta NRP C 452070031
ABSTRACT SHINTA YUNIARTA. Development Performance Strategy of Fisheries Business License. Under direction of SUGENG HARI WISUDO and BUDHI HASCARYO ISKANDAR The use of Gross Tonnage (GT) in technical licensing for fishing vessels in Indonesia may arises some problems such as inaccurate in levy calculation and deviation of GT in order to pay lower levy. Purbayanto et al (2004) stated that fish hold size (volume) measurement was more representative for the determination of productivity of a fishing vessel compare to the measurement of vessel GT. This paper tries to discuss fishing vessel productivity from stake holder point of view. The objective of the research are 1) to determine the priority of the factors associated; 2) to inventory the law of fisheries business license, 3) to measure productivity based on fish hold size and vessel size, 4) to measure the performance of Directorate Fishing Business Service MMAF, 5) to design performance strategy for development of fisheries business license. Some methods such as AHP and Balance Scorecard are applied for analysing the data. Balanced Scorecard method is used to design a strategy for the Directorate Fishing Business Services MMAF. Influential factor for fisheries business license are fish hold size (0,563), GT (0,284) and fishing gear (0,153). Fish hold size is considered as fair factor in calculating fisheries business levy calculation that apply the criteria and sub criteria above. This is because of fish hold size, as catch storage, more representing vessel productivity compares to GT which is overall vessel volume. Fishing gear type lies on the third priority, this factor give more influence to kind (species) of fish catch. The comparison of production per vessel volume and production per fish hold volume show that the percentages of production per fish hold volume is higher than production per vessel volume. Another thing is fishing vessel productivity more depend on fish hold size compare to vessel size. The main actor for fisheries licensing process is Ministry of Marine Affairs Fisheries (MMAF), which is stated in the decree of Minister of Marine Affairs Fisheries number PER.05/MEN/2008, the minister gave authority to the Director General to publish and / or extend SIUP, SIPI and / or SIKPI.
Keywords: GT, fish hold, production, fishing gear, strategy.
RINGKASAN SHINTA YUNIARTA. Strategi Pengembangan Kinerja Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan BUDHI HASCARYO ISKANDAR. Tonase kapal atau GT digunakan dalam beberapa jenis perizinan teknis kapal ikan yang diterapkan oleh Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Hasil penelitian Purbayanto et al. (2004) menyebutkan terdapat beberapa kendala yang timbul di lapangan dalam penetapan pungutan dengan menggunakan tonase. Kasus tersebut antara lain perbedaan ukuran GT kapal pada dokumen kapal dengan ukuran GT kapal yang sesungguhnya. Cek fisik atau pengukuran ulang GT kapal merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengantisipasi penyimpangan ukuran GT atau keraguan terhadap ukuran GT kapal, tetapi pengukuran GT menjadi suatu hal yang sulit apabila kapal berada pada kolam pelabuhan, sehingga perhitungan GT menjadi tidak akurat. Akibat dari kasus penyimpangan ukuran GT adalah ketidakakuratan penetapan nilai pungutan perikanan yang menyebabkan kerugian baik di pihak Negara atau pengusaha. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 50/MEN/2008 tentang produktivitas memutuskan bahwa produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan memperoleh hasil tangkapan ikan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan :1) ukuran tonase kapal; 2) jenis bahan kapal; 3) kekuatan mesin kapal; 4) jenis alat penangkap yang digunakan; 5) jumlah trip operasi penangkapan per tahun; 6) kemampuan tangkap rata-rata per trip; dan 7) wilayah penangkapan. Dalam perhitungan pungutan yang ditetapkan yaitu Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP), faktor yang digunakan adalah nilai GT dan produktivitas berdasarkan jenis alat tangkap, sedangkan Purbayanto et al. (2004) menyatakan bahwa produktivitas suatu kapal ikan diwakili oleh besarnya ukuran palka pada kapal tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam perizinan usaha penangkapan ikan; 2) menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perizinan kapal ikan, 3) mengukur kecenderungan hubungan produksi kapal dengan ukuran kapal dan ukuran palka, 4) mengukur kinerja Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, dan 5) merancang strategi pengembangan perizinan usaha penangkapan ikan berbasis ukuran palka. Penentuan faktor-faktor yang berperan dalam perizinan usaha penangkapan ikan dianalisis dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil dari analisis tersebut menunjukkan urutan prioritas faktor yang berperan dalam perizinan usaha penangkapan ikan adalah ukuran palka (0,563), ukuran GT kapal (0,284) dan jenis alat tangkap (0,153). Ukuran palka dianggap lebih adil dalam perhitungan pungutan bagi usaha perikanan yang memiliki kriteria dan subkriteria di atas. Hal ini dikarenakan ukuran palka mewakili produktivitas kapal dan merupakan tempat menyimpan hasil tangkapan ikan, sedangkan GT adalah ukuran volume keseluruhan kapal dianggap tidak mewakili
produktivitas kapal ikan. Jenis alat tangkap lebih berperan pada target jenis ikan yang ditangkap bukan pada besarnya hasil tangkapan yang diperoleh. Berdasarkan perbandingan produksi per volume palka dengan produksi per volume kapal, nilai presentase produksi per volume kapal lebih kecil bila dibandingkan dengan persentase produksi per volume palka. Volume kapal adalah hasil pembagian GT dengan 0,353 bagi kapal yang memiliki panjang lebih dari 24 meter, dan 0,25 bagi kapal yang memiliki panjang kurang dari 24 meter sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 6 tahun 2005 tentang pengukuran kapal. Besaran nilai volume hasil perhitungan tersebut adalah jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak maupun di bawah geladak ukur, sedangkan tidak semua ruangan tertutup digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan, tetapi hanya ruangan tertutup palka yang digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan ikan. Perhitungan volume kapal tidak dilakukan dengan menghitung ruangan tertutup baik di atas maupun di bawah dek, hal ini dikarenakan dalam pelaksanaanya sangat sulit mengukur dimensi kapal yang sedang sandar di kolam pelabuhan. Kendala ini juga dialami oleh pemeriksa cek fisik kapal saat melakukan cek fisik kapal untuk perpanjangan SIPI dan SIKPI. Kondisi tersebut berbeda dengan perhitungan volume palka yang lebih mudah dilakukan, yang merupakan hasil perkalian panjang sisi-sisi palka, sehingga volume palka dihitung berdasarkan hasil pengukuran. Untuk melihat kecenderungan produktivitas terhadap ukuran palka atau ukuran kapal, dilakukan plot grafik produksi per volume kapal dan produksi per volume palka. Hasil plot tersebut menunjukkan bahwa produktivitas cenderung pada produksi per volume palka. Maka berdasarkan hasil tersebut, produktivitas lebih dipengaruhi oleh ukuran palka, bukan ukuran kapal. Pada level aktor, Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan memiliki prioritas pertama sebagai aktor yang berperan dalam perizinan usaha penangkapan ikan. Pengukuran kinerja organisasi untuk sektor publik dilakukan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dengan memperhatikan empat perspektif yaitu pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis internal, finansial dan pelanggan. Pengukuran pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah indikator pengukuran tingkat kompetensi staf, indikator pengukuran partisipasi staf dan indikator pengukuran riset dan pengembangan proses perizinan. Dari ketiga indikator tersebut, staf Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP mayoritas merasakan cukup puas, puas dan sangat puas. Akan tetapi pelatihanpelatihan yang dilaksanakan Direktorat ini belum melakukan komunikasi dengan Pusat Pelatihan DKP, sehingga kebutuhan-kebutuhan kompetensi yang dianggap perlu pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP akan terakomodasi dengan baik. Pada perspektif proses bisnis internal dilakukan pengukuran pada tahap inovasi, tahap operasi/produksi dan tahap pelayanan purna jual atau setelah dokumen diterima oleh pelanggan. Pada tahap inovasi kebutuhan-kebutuhan pelanggan yang diidentifikasi adalah perolehan izin pemanfaatan sumberdaya alam dan pemenuhan kewajiban untuk melaporkan hasil kegiatan usahanya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat teratasi dari kegiatan atau program yang dilakukan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP. Pada tahap operasi pembuatan proses perizinan, dilakukan cek fisik kapal
yang dilakukan sangat berperan dalam verifikasi kebenaran dokumen dengan kondisi kapal sebenarnya, selanjutnya perhitungan alokasi sumberdaya perairan yang menjadi tujuan penangkapan dan pemeriksaan aset usaha sangat berperan untuk menjaga keberlangsungan usaha dan pengendalian usaha penangkapan. Pada tahap pelayanan setelah dokumen izin diterima tidak dilakukan oleh Direktorat ini kecuali jika pengurus izin datang ke kantor Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP. Pada perspektif finansial dilakukan pengukuran pada nilai PNBP dari PPP dan PHP. Kontribusi nilai dari kedua sumber PNBP tersebut semakin menurun sejak perjanjian bilateral dengan negara asing berakhir. Pada perspektif pelanggan dilakukan pengukuran pada tingkat kepuasan pelanggan kelompok tangibility, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. Dari kelima kelompok tersebut, tingkat kepuasan responden yang mendekati nilai harapan mereka adalah kelompok tangibility dan assurance. Sedangkan untuk pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dan ketanggapan dalam membantu memberikan pelayanan, perlu lebih ditingkatkan agar harapan dari pelanggan dapat terpenuhi. Tingkat kepuasan terkecil pada kemudahan pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dalam melakukan hubungan komunikasi bagi kebutuhan pelanggan. Strategi pengembangan perizinan usaha perikanan tangkap dengan menggunakan metode Balanced Scorecard menghasilkan 11 (sebelas) tujuan jangka panjang . Tujuan jangka panjang tersebut terbagi menjadi 4 (empat) perspektif yaitu perspektif finansial dengan tujuan pemanfaatan anggaran yang optimal; perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dengan tujuan peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan, mengoptimalkan jaringan sistem informasi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia; perspektif proses bisnis internal dengan tujuan rekomendasi usaha ke perbankan/pemberi kredit, peningkatan informasi peluang usaha, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan dan penyempurnaan dan efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan dan pungutan perikanan; dan persektif pelanggan dengan tujuan pelayanan perizinan di daerah, jaminan kemanan dan kepastian usaha dan peningkatan standar kualitas pelayanan. Semua tujuan tersebut memiliki hubungan sebab akibat sehingga membentuk peta strategi bagi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP. Pada masing-masing tujuan memiliki tolok ukur, target dan inisiatif agar tujuan dan target tercapai. Kata kunci : GT, palka, produksi, jenis alat tangkap, strategi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN KINERJA PERIZINAN USAHA PENANGKAPAN IKAN
SHINTA YUNIARTA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Daniel R. Monintja
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Strategi Pengembangan Penangkapan Ikan
Kinerja
Perizinan
Nama Mahasiswa
: Shinta Yuniarta
Nomor Pokok
: C 452070031
Mayor
: Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Usaha
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si. Ketua
Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. Anggota
Diketahui,
Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Koordinator,
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 21 Desember 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Selama penelitian dan penyusunan tesis, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas arahan, kesabaran dan ilmu yang diberikan kepada penulis 2. Bapak Prof. Dr. Daniel R.Monintja, Bapak Ir. Muhammad Bilahmar, Ketua ASTUIN Bapak R.P. Poernomo, dan Mas Ir. Ridwan Mulyana, M.T., yang telah menjadi responden pada penelitian ini dan telah membantu selama pengumpulan data 3. Bapak Prof. Dr. Daniel R. Monintja sebagai penguji luar komisi dan Bapak Prof. Dr. John Haluan, M.Sc selaku koordinator Mayor atas maklum dan arahannya selama penulis melakukan studi di Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap 4. Kepala Kantor PPSJ Nizam Zachman dan Kepala Syahbandar DKP di PPSJ Nizam Zachman beserta staf yang membantu penulis selama pengumpulan data 5. Ibu Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si, Bapak Dr. Luki Karunia dan Bapak Fernando D.W. Dangeubun, S.Pi.,M.Si yang membantu penulis dalam pengumpulan pustaka Balanced Scorecard, dan Bapak Prof. Dr. Bambang Murdiyanto atas saran dan arahannya 6. Kepala Laboratorium Kapal Navigasi Dept. PSP FPIK IPB (Bapak Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si) dan Ibu Yopi Novita, S.Pi, M.Si atas dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi 7. Ketua Departemen PSP FPIK IPB dan seluruh staf dosen Mayor TPT dan SPT Departemen PSP FPIK IPB 8. Om Marjoni yang bersedia meluangkan waktu membantu penulis melakukan penelitian, Bapak Budi Nugraha atas arahan dan petunjuknya selama penulis melakukan penelitian, Ady Susanto atas saran dan bantuannya, dan temanteman Mayor TPT dan SPT 2007 : Bapak Nasruddin, Sabar Jaya, Bapak Yustom, Bapak Agus S. Hidayat, Ibu Umi Chodriyah, Ibu Noor Azizah, Ayu Adhita D dan Mas Taufik atas kebersamaannya selama perkuliahan 9. Hanifah Mailany, Mba Yop, Mba Erin, Mba Noni, Meilia Dwi A, Vita Rumanti, Mba Ika, Mba Lia, Mba Ocha, Bang Donwil, Ima Kusumanti, Wiwit, Mba Eva dan Mba Dwi atas dukungan, bantuan, kasih sayang dan canda tawanya, 10. Bapak dan ibu, suami tercinta, dan seluruh keluarga atas dukungan, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2009 Shinta Yuniarta
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Juni 1980 sebagai anak kedua dari pasangan Zaenal Arifin dan Siti Rakhimah. Pendidikan Sekolah Dasar dilaksanakan di SD Muhammadiyah 28 Jakarta dan SD Negeri I UngaranKabupaten Semarang dan lulus tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri I Ungaran-Kabupaten Semarang, lulus pada tahun 1995. Penulis melanjutkan ke SMA Negeri IV Kodya Semarang dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus tahun 2003. Pada tahun 2007 penulis diterima di Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS pada tahun 2008. Selama mengikuti program magister penulis aktif pada kepanitiaan seminar nasional Rembug Nasional Kelautan dan Perikanan dan Seminar Nasional Perikanan Tangkap II dan III. Organisasi yang diikuti oleh penulis adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Teknologi Kelautan sebagai Sekretaris II pada periode 2007-2008 dan Bendahara pada periode 2008-2009.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xvi
DAFTAR ISTILAH ................................................................................
xvii
1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian .................................................................. 1.3 Manfaat Penelitian ................................................................
1 1 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2.1 Kapal dan Pengukuran .......................................................... 2.1.1 Tonase ......................................................................... 2.1.2 Volume Palka .............................................................. 2.2 Pungutan Perikanan............................................................... 2.3 Sistem Perizinan Perikanan di Indonesia .............................. 2.4 Balanced Scorecard ..............................................................
6 6 7 8 9 10 18
3 METODOLOGI .................................................................................. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................ 3.2 Pengumpulan dan Jenis Data ................................................ 3.3 Analisis Data ......................................................................... 3.3.1 Penentuan faktor-faktor yang terkait pada perizinan usaha perikanan ............................................................ 3.3.2 Hubungan produksi kapal dengan ukuran kapal dan ukuran palka ................................................................. 3.3.3 Kebijakan dan lembaga ................................................
22 22 22 23
4 HASIL ................................................................................................. 4.1 Penetapan Prioritas Faktor-faktor yang Berperan dalam Perizinan Usaha Penangkapan Ikan ..................................... 4.2 Hubungan Produksi dengan Ukuran Kapal dan Ukuran Palka ..................................................................................... 4.3 Kebijakan dan Lembaga.......................................................
36
5 PEMBAHASAN ................................................................................. 5.1 Penetapan Prioritas Faktor-faktor yang Berperan dalam Perizinan Usaha Penangkapan Ikan ..................................... 5.2 Hubungan Produksi dengan Ukuran Kapal dan Ukuran Palka .....................................................................................
66
23 25 27
36 38 40
66 72
xii
5.3 Kebijakan dan Kelembagaan................................................ 5.4 Konsep Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Berbasis Ukuran Palka ......................................................................
77 97
6 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 6.1 Kesimpulan .......................................................................... 6.2 Saran.....................................................................................
99 99 99
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
100
LAMPIRAN .. ..........................................................................................
103
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis, sumber, metode pengumpulan dan analisis data .........................................
22
2 Perspektif Balanced Scorecard pada sektor swasta dan sektor publik .................
29
3 Rasio dimensi utama .............................................................................................
38
4 Hasil pengukuran volume kapal dan volume palka ..............................................
39
5 Perbandingan volume hasil tangkapan terhadap volume kapal dan volume palka (dalam m3) ..................................................................................................
39
6 Indikator pengukuran tingkat kompetensi staf ......................................................
45
7 Indikator pengukuran partisipasi staf ....................................................................
46
8 Indikator pengukuran riset dan pengembangan proses perizinan .........................
46
9 Jumlah izin usaha perikanan dan izin operasional kapal.......................................
47
10 Jumlah kumulatif izin kapal ikan Indonesia yang dicabut ....................................
48
11 Tingkat kontribusi nilai PNBP DKP dari PPP dan PHP dan realisasi pencapaian ............................................................................................................
48
12 Tanggapan responden terhadap tampilan fisik ......................................................
49
13 Analisis tingkat kepuasan pelanggan pada kelompok tangibility .........................
49
14 Tanggapan responden terhadap pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP ....................................................................................
50
15 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok reliability ...........................................
50
16 Tanggapan responden terhadap ketanggapan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dalam membantu memberikan pelayanan .............................
50
17 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok responsiveness ...................................
51
18 Tanggapan responden terhadap jaminan mengenai kemampuan, kesopanan, keahlian dan sifat dapat dipercaya dari karyawan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan ................................................................................................
51
19 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok assurance ...........................................
51
20 Tanggapan responden terhadap kemudahan pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dalam melakukan hubungan komunikasi bagi kebutuhan pelanggan ................................................................
52
21 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok emphaty..............................................
52
22 Hasil pengukuran kinerja secara keseluruhan .......................................................
53
23 Tujuan, tolok ukur dan target (langkah kelima) ....................................................
62
24 Inisiatif strategis pada masing-masing tujuan (langkah keenam) .........................
63
25 Ekspor hasil perikanan menurut komoditi utama (2002-2007) .............................
71
xiv
26 Rasio dimensi utama untuk kapal-kapal ikan di Indonesia ...................................
72
27 Perbandingan pungutan berbasis GT dan palka ....................................................
76
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian ............................................................................. 5 2 Mekanisme perizinan kapal penangkap ikan di Indonesia ................................... 11 3 Flowchart penerbitan baru surat izin usaha perikanan (SIUP-I)........................... 13 4 Flowchart penerbitan baru surat izin usaha perikanan penanaman modal (SIUP-PM) ........................................................................................................... 14 5 Flowchart perluasan/perubahan/perpanjangan SIUP ............................................ 15 6 Flowchart penerbitan baru surat izin penangkapan ikan/surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI) ............................................................................. 16 7 Flowchart perpanjangan SIPI/SIKPI .................................................................... 17 8 Hirarki perizinan usaha perikanan......................................................................... 25 9 Balanced Scorecard untuk pemerintah dan sektor nonprofit (Niven, 2003) ........ 30 10 Nilai hirarki perizinan usaha penangkapan ikan ................................................... 37 11 Perbandingan produksi terhadap ukuran palka dan ukuran kapal ......................... 40 12 Strategic objective ................................................................................................. 60 13 Strategic mapping ................................................................................................. 61 14 Value chain perspektif proses bisnis internal pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP .................................................................................... 95 15 Perspektif proses bisnis internal – Model rantai nilai generik .............................. 96
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil akhir analisis Expert Choice ........................................................................
103
2 Gambar palka dan posisinya pada kapal ...............................................................
108
3 Beberapa contoh perhitungan palka sesuai bentuknya..........................................
109
4 Analisis tingkat kepuasan responden pada perspektif pelanggan .........................
110
5 Hasil analisis lingkungan strategis ........................................................................
118
6 Foto dokumentasi hasil penelitian .........................................................................
119
xvii
DAFTAR ISTILAH Visi
: Keadaan organisasi yang diharapkan terwujud di masa depan
Misi
: Tugas khusus suatu organisasi
Nilai
: Prinsip-prinsip yang melandasi tindakan setiap orang dalam organisasi
Strategi
: Cara untuk mencapai tujuan yang seharusnya konsisten dengan visi dan misi yang telah dibuat. : Serangkaian aktivitas yang dilakukan secara berbeda dibandingkan dengan pesaing untuk memberikan nilai tambah kepada pelanggan
Sasaran strategis
: Suatu pernyataan yang ringkas dan padat yang menjelaskan apa yang harus dengan sebaik-baiknya dilakukan oleh organisasi, dalam rangka eksekusi strategi
Peta strategi
: Suatu paparan mengenai keterkaitan antara sejumlah sasaran strategis, dalam bentuk hubungan sebab akibat yang menjelaskan ”perjalanan” strategi organisasi
Inisiatif
: Proyek spesifik yang harus diimplementasikan untuk mendukung pencapaian sasaran strategis
Target
: mewakili hasil yang diinginkan dari pengukuran kinerja membantu memastikan hasil atau melampaui target kinerja.
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008). Berdasar definisi tersebut, kapal memegang peranan penting dalam kegiatan penangkapan ikan, yaitu peran dalam mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkan ikan. Pada operasi penangkapan ikan, kapal memiliki kriteria yang dibutuhkan. Nomura dan Yamazaki (1977) menyebutkan bahwa kapal ikan memiliki keistimewaan pokok dalam beberapa aspek,
antara
lain
ditinjau
dari
segi
kecepatan
(speed),
olah
gerak
(maneuverability), layak laut (sea worthiness), luas lingkup area pelayaran (navigable area), struktur bangunan kapal (design and construction), propulsi mesin (engine propulsion), perlengkapan storage dan lainnya.
Pada kondisi-
kondisi tertentu, kapal ikan harus sanggup berlayar di luar alur pelayaran yang aman untuk mengejar kawanan ikan (fish schooling) yang menjadi tujuan penangkapan dengan kecepatan tinggi, bahkan perairan yang sempit sekalipun dengan kondisi yang tidak memungkinkan bagi pelayaran umum. Peran kapal dalam melakukan penyimpanan ikan menggunakan palka sebagai ruang muat yang berada dibawah geladak kapal. Dengan adanya palka, diharapkan ikan yang tersimpan selalu dalam kondisi baik yaitu tidak rusak dan tidak busuk hingga didaratkan. Palka sebagai tempat penyimpanan memegang peranan penting dalam produktivitas suatu kapal ikan.
Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.50/MEN/2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan mendefinisikan produktivitas kapal ikan sebagai tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan per tahun. Pada keputusan tersebut produktivitas kapal penangkap ikan ditetapkan dengan mempertimbangkan : a) tonase kapal; b) jenis bahan kapal; c) kekuatan mesin kapal; d) jenis alat penangkap ikan yang digunakan; e) jumlah trip operasi
2
penangkapan per tahun; f) kemampuan tangkap rata-rata per trip; dan g) wilayah penangkapan ikan. Purbayanto et al. (2004) menyebutkan bahwa produktivitas ditentukan pula oleh jenis dan banyaknya hasil tangkapan yang mampu diproduksi oleh kapal ikan dalam setiap kali operasi penangkapan. Jenis dan banyaknya hasil tangkapan sangat ditentukan oleh jenis alat tangkap dan lamanya waktu operasi penangkapan serta kapasitas palka dari kapal ikan itu sendiri. Volume palka sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan dinilai dapat menggambarkan produktivitas suatu kapal ikan. Tonase kapal atau GT digunakan dalam beberapa jenis perizinan teknis kapal ikan Indonesia maupun kapal asing yang diterapkan oleh Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Hal ini dikarenakan tonase dianggap memberikan pengaruh yang besar terhadap produktivitas kapal ikan. Hasil penelitian Purbayanto et al. (2004) menyebutkan terdapat beberapa kendala yang timbul di lapangan dalam penetapan pungutan dengan menggunakan tonase. Kasus tersebut antara lain adalah perbedaan ukuran GT kapal pada dokumen kapal dengan ukuran GT kapal yang sesungguhnya. Purbayanto et al. (2004) menyebutkan bahwa kendala juga terjadi pada penanganan kapal-kapal ikan asing yang memiliki cara pengukuran GT yang berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia atau internasional. Cek fisik atau pengukuran ulang GT kapal merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengantisipasi penyimpangan ukuran GT atau keraguan terhadap ukuran GT kapal.
Akibat dari kasus penyimpangan ukuran GT adalah ketidakakuratan
penetapan nilai pungutan perikanan untuk kapal ikan yang menyebabkan kerugian baik di pihak Negara maupun pengusaha. Upaya yang telah dilakukan DKP antara lain adalah menetapkan juklak pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap membentuk Tim Teknis Pemeriksa Fisik dan Dokumen Kapal Perikanan dan atau Pengangkut Ikan yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan sebagai acuan dalam melaksanakan SK Dirjen tersebut, maka disusun Petunjuk Teknis Pemeriksaan Fisik dan Dokumen Kapal Perikanan. Maksud dan tujuan dari pembuatan Petunjuk Teknis ini adalah memberikan pedoman pada para petugas cek fisik baik pusat maupun daerah agar ada
3
kesepahaman mengenai pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan khususnya untuk hal bersifat teknis di lapangan, sedangkan sasaran dari petunjuk teknis pemeriksaan fisik dan dokumen kapal perikanan adalah terwujudnya tertib perizinan bagi pelayanan usaha perikanan tangkap. Penelitian yang dilakukan Purbayanto et al. (2004) menyebutkan bahwa penerapan palka sebagai parameter dalam perhitungan pungutan perikanan untuk kapal ikan memiliki peluang yang baik. Secara teknis perhitungan volume palka di lapangan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pengukuran GT. Kemungkinan pengalihan pengaturan perizinan dari GT menjadi ukuran palka pada kapal ikan perlu dilakukan dengan melibatkan stakeholder yang terkait, mengingat dalam penerapan perizinan kapal ikan melibatkan instansi Departemen Kelautan dan masing-masing unit pelaksana teknisnya, asosiasi perikanan dan pemilik kapal. Pengukuran kinerja dari perizinan usaha penangkapan ikan perlu dilakukan, sehingga dapat dihasilkan suatu konsep perizinan usaha penangkapan ikan berbasis ukuran palka. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang Strategi Pengembangan Kinerja Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam perizinan usaha penangkapan ikan; 2) Mengukur kecenderungan hubungan produksi kapal dengan ukuran kapal dan ukuran palka; 3) Menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perizinan kapal ikan; 4) Mengukur kinerja Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP; 5) Merancang strategi pengembangan perizinan usaha penangkapan ikan berbasis ukuran palka.
4
1.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1) Memberikan informasi bahwa produksi suatu kapal ikan tidak ditentukan dari ukuran GT melainkan lebih ditentukan oleh ukuran palka sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan; 2) Sebagai informasi dasar dalam mengalokasikan fishing capacity di suatu wilayah perairan secara optimum; 3) Memberikan informasi dasar untuk penelitian lanjutan terkait dengan efisiensi teknis pada masing-masing unit penangkapan dengan memasukkan faktor ukuran palka.
5
Permasalahan dan kendala perizinan dan pungutan berdasarkan tonase kapal (Purbayanto et al., 2004): 1 penyimpangan ukuran GT kapal oleh pemilik kapal 2 tonase kurang mewakili produktivitas kapal ikan, ukuran palka lebih mewakili produktivitas kapal ikan 3 kesulitan pengukuran teknis di lapangan saat cek lapangan 4 pengukuran GT di Indonesia yang tidak mutlak pada kapal ikan Indonesia dan kapal asing
Alternatif-alternatif dalam sistem pungutan kapal ikan
Analisis perbandingan sistem perizinan berbasis GT dan sistem perizinan berbasis ukuran palka
Kajian aspek-aspek utama
Sistem Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Subsistem kebijakan & kelembagaan: - Kinerja Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP - Inventarisasi kebijakan nasional dan internasional yang berkaitan dengan perizinan usaha perikanan
Subsistem teknis : - Purbayanto et al. (2004) - Perbandingan produksi terhadap volume kapal dan palka kapal
Strategi pengembangan kinerja perizinan usaha penangkapan ikan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Monitoring dan Evaluasi
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kapal dan Pengukuran Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah (PP No.51 tahun 2002 tentang perkapalan). Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 05/MEN/2008 menyebutkan kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Kapal penangkap ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan. Berdasarkan PP No. 51 Th 2002 bahwa setiap kapal yang digunakan untuk berlayar wajib diukur. Surat ukur adalah surat kapal yang memuat ukuran dan tonase kapal berdasarkan hasil pengukuran. Pengukuran kapal dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode : a) pengukuran dalam negeri; b) pengukuran internasional; c) pengukuran khusus. Metode pengukuran dalam negeri dilakukan untuk pengukuran dan penentuan tonase kapal yang berukuran panjang kurang dari 24 m (dua puluh empat meter). Metode pengukuran internasional dilakukan untuk pengukuran dan penentuan tonase kapal yang berukuran panjang 24 m (dua puluh empat meter) atau lebih.
Metode pengukuran khusus dilakukan untuk
pengukuran dan penentuan tonase kapal yang akan melewati terusan tertentu. Purbayanto et al. (2004) menyebutkan bahwa pengukuran GT kapal baik secara internasional maupun dalam negeri bukanlah merupakan hal yang mudah dilakukan. Terlebih jika pengukurannya diterapkan secara langsung pada kapal. Selain kesulitan-kesulitas teknis, pengukuran GT di lapang membutuhkan waktu dan tingkat ketelitian yang tinggi.
7
PP No. 51 Th 2002 menyebutkan bahwa kapal yang telah diukur menurut metode pengukuran internasional tidak dibenarkan diukur ulang dengan metode pengukuran dalam negeri. Pengukuran kapal dilaksanakan oleh pejabat Pemerintah yang telah memenuhi kualifikasi sebagai ahli ukur kapal. Kapal yang telah diukur wajib dipasang tanda selar. Pengukuran volume palka pada kapal ikan lebih mudah diterapkan jika dibandingkan dengan pengukuran GT kapal. Pengukuran GT kapal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, meliputi pengukuran seluruh ruangan tertutup yang berada di bawah maupun di atas geladak ukur. Pengukuran volume palka adalah kegiatan pengukuran terhadap salah satu atau beberapa ruangan tertutup (apabila palka lebih dari satu ruangan) yang berada di bawah geladak ukur kapal. Selain lebih mudah, pengukuran volume palka tidak membutuhkan waktu lama dibandingkan dengan pengukuran GT kapal (Purbayanto et al., 2004). 2.1.1 Tonase Tonase kapal adalah volume kapal yang dinyatakan dalam tonase kotor (gross tonnage/GT) dan tonase bersih (net tonnage/NT) (PP No.51 Th 2002). Gross Register Tonnage (GRT) represents the total internal volume of a vessel, with some exemptions for non-productive space such as crew quarters; 1 gross register
ton
is
equal
to
a
volume
of
100
cubic
feet
(2,83
m3)
(http://en.wikipedea.org/wiki/Tonnage). Tonase adalah kapasitas atau volume ruang kapal yang dinyatakan dalam satuan meter kubik atau ton register, yang dihitung berdasarkan peraturan nasional ataupun internasional. Tonase internasional adalah tonase kapal yang dihitung berdasarkan peraturan yang ditetapkan berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Konvensi Internasional mengenai pengukuran tonase kapal tahun 1969. Satuan yang dipakai dalam perhitungan adalah meter kubik atau gross ton (disingkat GT). 1 GT = 100 kaki kubik = 2,83 meter kubik (Soegiono et al., 2006). Gross Tonnage (GT/isi kotor) kapal berdasarkan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969 (Konvensi Internasional Tentang Pengukuran Kapal 1969) yang telah diratifikasi dengan Keppres No.5 Tahun 1989
8
tentang pengesahan International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969, adalah ukuran besarnya kapal secara keseluruhan dengan memperhitungkan jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak maupun di bawah geladak ukur (Purbayanto et al., 2004). 2.1.2 Volume Palka Palka atau palkah adalah nama umum untuk ruangan di bawah geladak yang dipakai untuk menyimpan muatan. Palka ikan adalah palka pada kapal penangkap ikan yang dipergunakan untuk menyimpan ikan hasil tangkapan sebelum dibawa ke pelabuhan, sedangkan palka umpan adalah palka yang digunakan untuk menyimpan umpan pada kapal penangkap ikan (Soegiono et al., 2006). Berdasarkan bentuk palka, metode yang digunakan untuk mengukur volume palka apabila palka berbentuk ruang segi empat adalah dengan mengalikan panjang, lebar dan tinggi ruangan tersebut. Untuk bentuk palka yang mengikuti bentuk badan kapal, pengukuran volume palka dapat dilakukan dengan menggunakan Sympson’s Rules untuk menghitung luas penampang pada sisi melintang palka kemudian dikalikan dengan panjang palka (searah panjang kapal). Hasil pengukuran terhadap volume palka adalah dalam satuan meter kubik (Purbayanto et al., 2004). Selanjutnya Purbayanto et al. (2004) menyebutkan bahwa pengukuran volume palka pada kapal ikan lebih mudah diterapkan jika dibandingkan dengan pengukuran GT kapal. Pengukuran GT kapal sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, meliputi pengukuran seluruh ruangan tertutup yang berada di bawah maupun di atas geladak ukur.
Pengukuran volume palka adalah kegiatan
pengukuran terhadap salah satu atau beberapa ruangan tertutup (apabila palka lebih dari satu ruangan) yang berada di bawah geladak ukur kapal. Selain lebih mudah, pengukuran volume palka tidak membutuhkan waktu lama dibandingkan dengan pengukuran GT kapal.
9
2.2 Pungutan Perikanan Pungutan perikanan menjadi salah satu potensi ekonomi nasional sebagai sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan, sehingga hal ini perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan nasional.
Pungutan perikanan dikenakan kepada nelayan,
perusahaan perikanan nasional murni, maupun dengan fasilitas PMDN dan PMA yang melakukan usaha penangkapan ikan. Dalam implementasinya, pungutan perikanan diperoleh melalui pengaturan perizinan kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan (Purbayanto et al., 2004). Pungutan perikanan dikenakan bagi perusahaan perikanan Indonesia dan perusahaan perikanan asing.
Pungutan perikanan bagi perusahaan perikanan
Indonesia terdiri atas Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Perikanan yang dikenakan bagi perusahaan asing adalah Pungutan Perikanan Asing (PP RI No 62 Tahun 2002). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 05/MEN/2008 mendefiniskan pungutan pengusahaan perikanan, yang selanjutnya disebut PPP, adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh SIUP dan SIKPI, sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pada PP RI No 62 tahun 2002, PPP dikenakan pada saat perusahaan perikanan Indonesia memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP) baru atau perubahan, Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) baru atau perubahan, atau Surat Izin Kapal Pengakut Ikan (SIKPI) baru atau perpanjangan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 05/MEN/2008 mendefiniskan pungutan hasil perikanan, yang selanjutnya disebut PHP, adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan SIPI yang diperoleh. Pada PP RI No 62 tahun 2002, PHP dikenakan pada saat perusahaan perikanan Indonesia memperoleh dan/atau memperpanjang Surat Penangkapan Ikan (SPI). Pungutan
10
Perikanan Asing dikenakan pada saat perusahaan perikanan asing memperoleh atau memperpanjang Surat Penangkapan Ikan (SPI). 2.3 Sistem Perizinan Perikanan di Indonesia Kewenangan perizinan kapal penangkap ikan juga diatur oleh pemerintah berdasarkan besarnya kapal (gross tonnage, GT) dan/atau kekuatan mesin (daya kuda, DK) dan daerah operasinya sebagaimana tercantum dalam PP 62 tahun 2002 pasal 8 yang menyebutkan bahwa pungutan perikanan dikenakan bagi perusahaan perikanan Indonesia yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot lebih besar dari 30 GT dan/atau yang mesinnya berkekuatan lebih besar dari 90 DK dan beroperasi di luar perairan 12 mil laut.
Selain itu, perusahaan
perikanan asing yang menggunakan kapal penangkap ikan dan mendapatkan izin untuk beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) juga dikenakan pungutan perikanan. Untuk perusahaan perikanan Indonesia yang menggunakan kapal penangkap ikan dibawah kriteria di atas akan diatur oleh Pemerintah Daerah setempat (Purbayanto et al., 2004) (Gambar 2). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 pasal 19 ayat (1) menyebutkan Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk menerbitkan dan/atau memperpanjang : a) SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT; b) SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan tenaga kerja asing; dan c) SIUP, SIPI dan/atau SIKPI di bidang penanaman modal kepada badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dengan fasilitas penanaman modal.
11
Nelayan/Perusahaan Perikanan Swasta Nasional
tidak
Perusahaan Perikanan Indonesia dengan fasilitas PMDN/PMA
Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM)
Kapal >=30GT dan/atau mesin kapal >=90DK?
Surat persetujuan penanaman modal/ izin usaha
Pemohon bayar PPP
Izin Usaha Perikanan (IUP) Izin Usaha Perikanan (IUP) Surat Penangkapan Ikan (SPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)
Perusahaan perikanan asing
Izin Usaha Perikanan (IUP) Surat Penangkapan Ikan (SPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI)
Pemohon Bayar PPA
Pemohon Bayar PHP
Kapal Penangkap Ikan Beroperasi di luar 12 mil laut dari garis pantai di wilayah perairan Indonesia memperpanjang
memperpanjang 1 tahun
Mengikuti PERDA yang ditetapkan oleh PEMDA setempat
Gambar 2 Mekanisme perizinan kapal penangkap ikan di Indonesia. (sumber : Purbayanto et al., 2004).
Pada pasal 21 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 mengatur kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota pada usaha perikanan. Pada ayat (1) disebutkan bahwa Gubernur diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP kepada orang atau badan hukum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI dan/atau SIKPI bagi kapal perikanan yang
12
berukuran di atas 10 (sepuluh) GT sampai dengan 30 (tiga puluh) GT kepada orang atau badan hukum Indonesia yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing. Sedangkan pada ayat (2) : Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP kepada orang atau badan hukum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI dan/atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran 5 (lima) GT sampai dengan 10 (sepuluh) GT kepada orang atau badan hukum Indonesia yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing.
13
Gambar 3 Flowchart penerbitan baru surat izin usaha perikanan (SIUP-I).
14
Gambar 4 Flowchart penerbitan baru surat izin usaha perikanan penanaman modal (SIUP-PM).
15
Gambar 5 Flowchart perluasan/perubahan/perpanjangan SIUP.
16
Gambar 6 Flowchart penerbitan baru surat izin penangkapan ikan/surat izin kapal pengangkut ikan (SIPI/SIKPI).
17
Gambar 7 Flowchart perpanjangan SIPI/SIKPI.
18
2.4 Balanced Scorecard Terminologi Balanced Scorecard (BSC) pertama kali muncul pada tahun 1992 dalam artkel yang ditulis oleh Kaplan dan Norton di majalah Harvard Business Review edisi Januari-Februari 1992.
Selanjutnya teori BSC telah
berkembang dengan pesat, dan pada tahun 1996 Kaplan dan Norton merevisi BSC yang telah mereka bangun itu.
Di sana muncul istilah Strategy Map (Peta
Strategy). Strategy Map mempunyai hubungan sebab akibat di antara berbagai sasaran strategis. Pembaruan yang terdapat pada revisi BSC tersebut yaitu fokus, tujuan dan bidang penerapan. Mengenai fokus: BSC generasi pertama berfokus pada pengukuran kinerja, sedangkan BSC generasi kedua berfokus pada manajemen.
Mengenai tujuan : BSC generasi pertama bertujuan untuk
mengendalikan pelaksaan strategi, sedangkan BSC generasi kedua menekankan komunikasi strategi. Mengenai bidang penerapan : BSC generasi pertama hanya ditujukan untuk sektor swasta, sedangkan BSC generasi kedua lebih luas sampai mencakup sektor publik (Luis dan Biromo, 2007). Menurut Howard Rohm (www. balancedscorecard.org, 2002), langkahlangkah dalam perancangan dan pengimplementasian Balanced Scorecard adalah sebagai berikut: 1) Langkah Pertama (Organizational Assessment) Merupakan tahap penilaian dari dasar organisasi, kepercayaan inti, menjual peluang, kompetisi, posisi keuangan, sasaran jangka pendek dan panjang serta pemahaman yang membentuk sebuah kepuasan pelanggan. Dalam langkah ini organisasi harus mengidentifikasi suatu nilai, baik kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman organisasi (SWOT : strength, weakness, opportunity, threats), yang dikembangkan, dibahas dan kemudian didokumentasikan. Selain itu organisasi juga harus menetapkan jadwal untuk langkah-langkah pengembangan, menjamin/mengamankan komitmen sumber daya diperlukan untuk mengembangkan dan mendukung sistem balanced scorecard. 2) Langkah Kedua (Define Strategies) Dalam organisasi yang lebih besar, terdapat beberapa tema yang strategis dan dapat dikembangkan menjadi strategi bisnis yang spesifik, contoh dari tema strategi yang spesifik untuk organisasi publik antara lain: membangun suatu
19
masyarakat yang kuat, meningkatkan pendidikan, langkah-langkah penetapan Good Corporate Government (GCG) dan lain-lain.
Strategi
merupakan
hipotesis dari apakah yang kita pikirkan dan apa yang akan kita kerjakan untuk mencapai sukses. Langkah berikutnya adalah membangun basis untuk menguji apakah strategi sedang bekerja, secara efektif dan efisien dalam menggerakkan daur hidup organisasi supaya maju ke arah pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. 3) Langkah Ketiga (Strategic Objective) Tahapan ketiga yaitu menguraikan strategi bisnis ke dalam komponen yang lebih spesifik/kecil. Sasaran yang dihasilkan adalah membangun dari bagian strategi untuk menjadikan bisnis strategi yang lebih lengkap. 4) Langkah Keempat (Strategic Mapping) Menciptakan peta strategi bisnis dari keseluruhan strategi dalam organisasi, dalam hal ini harus ada pertalian antar komponen dalam strategi yang dihubungkan dalam perspektif. Hubungan antar komponen strategi digunakan untuk mengidentifikasi pengarah capaian kunci dari setiap strategi, sehingga dapat terjalin hubungan yang saling ketergantungan antar masing-masing perspektif. 5) Langkah Kelima (Performance Measure) Pada tahapan ini, ukuran kinerja yang dikembangkan untuk menjaga kemajuan-kemajuan operasional dan strategis, untuk pengembangan ukuran kinerja
maka harus dipahami hasil yang diinginkan dengan proses yang
digunakan untuk berhasil dari perspektif eksternal dan internal. Dalam pengukuran terdapat tiga model, yaitu : a) Model Logika (The Logic Model) adalah sebuah model yang mengizinkan kita untuk menyelidiki hubungan antar jenis ukuran dari input/masukan (masukan apa yang akan menghasilkan nilai), proses (bagaimana kita mengubah bentuk masukan menjadi produk barang atau jasa), output/keluaran (apa yang telah kita hasilkan) Model ini menguatkan logika dari peta strategis dengan menunjukkan hubungan di antara aktivitas yang menghasilkan keluaran; Arus Proses (Process Flow),
b)
merupakan proses yang panjang dari suatu
kegiatan yang mengidentifikasi setiap pengukuran untuk menghasilkan
20
kualitas produk atau jasa yang lebih baik; c) Analisa sebab akibat (Causal Analysis) adalah analisis yang mengidentifikasi penyebab proses pencapain menjadi lebih baik. Dalam hal ini kita memulai efek dari hasil yang dicapai kemudian mengidentifikasi semua penyebab yang berperan dalam pencapaian hasil yang diinginkan. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan model logika (The Logic
Model) untuk menguatkan logika dari peta strategis dengan mempertunjukkan hubungan di antara aktivitas yang menghasilkan hasil yang baik. 6) Langkah Keenam (Initiatives) Inisiatif - inisiatif
baru
yang
dibentuk
untuk
mengidentifikasi dan
mengimplementasikan bahwa inisiatif itu berhasil, dalam hal ini inisiatif yang dikembangkan pada ujung proses bangunan scorecard lebih strategis jika dibandingkan dan dikembangkan secara teoritis. 7) Langkah Ketujuh (Automation) Melibatkan dan mengotomatiskan scorecard yang terdiri dari pemilihan pilihan perangkat lunak dan persyaratan pemakai untuk membuat pilihan perangkat lunak paling hemat biaya untuk hari ini, sebagai titik temu persyaratan pencapaian informasi perusahaan di masa yang akan datang. 8)
Langkah Kedelapan (Cascade Scorecard Support Strategy) Cascading kartu catatan perusahaan/organisasi ke dalam seluruh organisasi ke bisnis dan unit pendukung dan pada akhirnya jatuh kepada regu dan tiap-tiap individu.
9)
Langkah Kesembilan (Evaluate and Change) Dalam hal ini evaluasi keberhasilan dari pemilihan strategi bisnis yang telah ditetapkan, diharapkan apakah dapat mencapai hasil yang baik, mengingat strategi tersebut terbangun dan dibentuk pada langkah kedua
tahapan
rancangan dan implementasi scorecard yang mempunyai hipotesis bagaimana sebuah organisasi dipercaya dapat menghasilkan value/nilai bagi para konsumen dan stakeholder.
21
Aplikasi Balanced Scorecard Balanced Scorecard sudah banyak diaplikasikan pada pengukuran kinerja dan manajemen suatu organisasi. Bremser dan White (2001) meneliti tentang pengarahan implementasi BSC pada organisasi. Hasil pendekatan yang dilakukan menekankan praktek berdasarkan tim, kelompok fungsional dan aspek strategi dari desain manajemen akuntansi pada beberapa tujuan pendidikan. BSC juga dapat diterapkan pada organisasi pemerintah. Contoh penelitian tersebut adalah Max Moulin yang menerapkan PSS (Public Sector Scorecard) untuk meningkatkan performa pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang diterbitkan pada jurnal Nursing Management. PSS menawarkan cara yang luar biasa untuk memastikan peningkatan pelayanan dan pengukuran kinerja berfokus pada hasil yang penting pada pelayanan pengguna jasa, pasien dan stakeholder lain, di samping proses yang menuju hasil, serta kebudayaan dan kemampuan organisasi untuk memastikan bahwa hal tersebut mendukung staf mereka (Moulin, 2009). Wing, Guo, Li dan Yang (2007) melakukan penelitian berjudul Mengurangi Konflik pada Evaluasi Balanced Scorecard. Beberapa studi yang muncul belakangan ini adalah tentang pengukuran kinerja non finansial, implikasi kinerja dari strategi pengukuran kinerja pada perusahaan pelayanan keuangan, bukti-bukti kecenderungan perusahaan menghadapi validitas hubungan sebab akibat antara pengguna dan pengukuran hasil dari Balanced Scorecard dan mengabaikan strategi hubungan kausal model bisnis. Kondisi ini mengakibatkan konflik
antara
pengendali
dan
manajer
divisi,
dikarenakan
kegagalan
pendahulunya untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan strategi yang efektif dalam evaluasi kinerja. Hipotesis pada studi yang dilakukan Wing, Guo, Li dan Yang menyebutkan bahwa aturan individu pada manager di tingkat atas tidak dimasukkan ke dalam strategi efektif, kecuali secara eksplisit dibutuhkan untuk dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan memberikan implikasi pada studi evaluasi bias di Balanced Scorecard sebagaimana sistem pengukuran kinerja yang lain dan menciptakan sarana untuk mengurangi konflik yang ada.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan September 2008 sampai dengan September 2009. Pengambilan data dilakukan di PPS Jakarta Nizam Zachman (PPSJ NZ), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan wawancara dengan pelaku pada bidang perizinan perikanan tangkap yaitu pemilik usaha, Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan - DKP, akademisi dan asosiasi perikanan. 3.2 Pengumpulan dan Jenis Data Tabel 1 Jenis, sumber, metode pengumpulan dan analisis data Tujuan Penelitian
Jenis Data
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
Faktor-faktor yang berperan dalam perizinan usaha perikanan
Pengisian kuesioner
Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, akademisi, asosiasi perikanan dan pemilik usaha perikanan
Kajian pustaka dan survei stakeholder
AHP
Inventarisasi perundang-undangan yang terkait dengan perizinan usaha penangkapan ikan
Daftar peraturan internasional dan nasional yang terkait dengan perizinan
Kajian pustaka
Kajian pustaka
-
Mengukur kecenderungan hubungan produksi kapal dengan ukuran palka dan ukuran kapal
GT kapal, ukuran palka, produksi kapal tahun 2007 dan 2008
Kantor PPSJ NZ, hasil pengukuran, Syahbandar DKP PPSJ NZ.
Kajian pustaka, survei
Perhitungan matematika, kecenderung an plot data.
Mengukur kinerja Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP
Pengisian kuesioner, program/kegiatan, jumlah PNBP dan penyerapan anggaran 4 tahun terakhir.
Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP
Kajian pustaka dan survei
Balanced Scorecard
Merancang strategi pengembangan perizinan usaha perikanan
Kondisi internal dan eksternal
Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP
Metode survei
Balanced Scorecard
23
3.3 Analisis Data 3.3.1 Penentuan faktor-faktor yang terkait pada perizinan usaha perikanan Penetapan prioritas faktor yang terkait pada usaha perikanan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
Wawancara dilakukan untuk
memperoleh faktor-faktor yang berperan dalam perizinan. Perumusan hirarki Perizinan usaha penangkapan ikan melibatkan beberapa aktor yang terkait. Pada penelitian ini aktor-aktor tersebut digunakan sebagai responden untuk menentukan prioritas faktor-faktor yang terkait dengan perizinan usaha penangkapan ikan. Aktor-aktor tersebut yang dilibatkan sebagai responden pada penelitian ini adalah Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, Akademisi, Pemilik Usaha dan Asosiasi Perikanan. Perizinan sebagai alat dalam pengelolaan sumberdaya ikan, dimana pemerintah memiliki wewenang dalam memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat seperti memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan lain-lain.
Cochrane (2002) dalam
Mulyana (2007) menyebutkan pengelolaan perikanan memiliki tujuan umum yaitu : 1) menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan (tujuan biologi) 2) meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik dan sumberdaya ikan non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait (tujuan ekologi) 3) meningkatkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi) 4) memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau masyarakat yang terlibat (tujuan sosial) Widodo dan Suadi (2006) membagi tujuan pengelolaan perikanan ke dalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi dan sosial, dimana tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Sementara pada CCRF bagian 7.2.1 menyebutkan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan lestari jangka panjang adalah tujuan yang lebih mementingkan konservasi dan pengelolaan. Berdasarkan pengelompokan tujuan pengelolaan dan uraian tersebut secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat diuraikan sebagai berikut :
24
1) menjamin kelestarian sumberdaya ikan 2) memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat 3) menjamin keuntungan bagi nelayan 4) menyerap tenaga kerja 5) meningkatkan devisa negara
Tujuan pengelolaan tersebut menjadi suatu kriteria dalam menentukan prioritas faktor-faktor yang terkait pada perizinan usaha penangkapan ikan. Faktor-faktor yang terkait pada perizinan usaha penangkapan ikan berdasarkan : 1) PER.05/MEN/2008
(tentang
usaha
perikanan
tangkap)
dan
PER.12/MEN/2009 (perubahannya) 2) KEP 50/MEN/2008 (tentang produktivitas kapal) 3) Penelitian Direktorat Kapal API DJPT DKP, 2007 (Identifikasi pengukuran volume palka kapal perikanan dalam rangka perhitungan produktivitas kapal perikanan) 4) Penelitian Purbayanto et al.,2004 (Kajian teknis kemungkinan pengalihan pengaturan perizinan dari GT menjadi volume palka pada kapal ikan) adalah GT (grosstonnage), jenis alat tangkap dan ukuran palka kapal ikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka bentuk hirarki dengan fokus prioritas faktor perizinan adalah seperti pada Gambar 8.
25
Hirarki Fokus
Perizinan usaha perikanan
Aktor
DKP
Kriteria
Biologi
Sub Kriteria
Alternatif
Menjamin kelestarian sdi
Akademisi
Pemilik Kapal
Ekologi
Memenuhi kebutuhan protein
Ukuran palka
Ekonomi
Menjamin keuntungan nelayan
GT kapal
Asosiasi Perikanan
Menyerap tenaga kerja
Sosial
Meningkat kan devisa negara
Jenis alat tangkap
Gambar 8 Hirarki perizinan usaha perikanan
Analisis data menggunakan software Expert Choice. Responden yang dipilih pada analisis ini adalah pelaku yang terlibat dengan proses perizinan usaha perikanan tangkap.
3.3.2 Hubungan produksi kapal dengan ukuran kapal dan ukuran palka Pada aspek ini data yang dibutuhkan adalah ukuran dimensi kapal dan volume palkanya. Selanjutnya dari ukuran kapal dan hasil pengukuran palka, dibandingkan dengan produksi dari masing-masing operasi kapal ikan yang memiliki izin tersebut. Penelitian kajian teknis pengalihan pengaturan perizinan dari GT menjadi volume palka pada kapal ikan telah dilakukan oleh Purbayanto et
26
al. (2004), dan hasil penelitian tersebut menjadi referensi pendukung yang sangat penting pada aspek ini. Dimensi utama kapal terdiri dari panjang (L), lebar (B) dan dalam (D), mempunyai pengaruh yang besar terhadap berbagai karakteristik kemampuan (ability) kapal seperti kecepatan, stabilitas, daya dorong dan sebagainya (Muhammad dan Iskandar, 2007). (1) Pengukuran GT dan volume kapal Ukuran GT yang diperoleh berdasarkan surat ukur kapal ikan. GT atau gross tonnage adalah perhitungan semua ruang yang terletak di bawah geladak kapal ditambah dengan volume ruangan tertutup yang terletak di atas geladak. Tonase kotor dinyatakan dalam ton yaitu suatu unit volume sebesar 100 kaki kubik yang setara dengan 2,83 kubik meter. 1 GT = 2,83 m3 GT = 0,353 x V
V = volume seluruh ruang tertutup pada kapal
(2) Pengukuran Volume Palka Volume palka diukur secara langsung. Pengukuran volume palka secara langsung dengan mengukur palka menggunakan rumus matematika sebagai berikut : 1} Bentuk palka yang memiliki luas sisi tegak bagian depan palka dan luas tegak melintang bagian belakang palka sama besar.
Volume
adalah hasil perkalian luas sisi tegak dengan panjang palka. Luas sisi tegak dihitung dengan hukum Simpson dengan cara (Stroud, 1996) : a) Gambar dibagi menjadi sejumlah genap buah pita yang sama lebar (masing-masing selebar s) b) Memberi nomor dan menentukan masing-masing ordinatnya : y1, y2, ..., yn+1. Banyaknya ordinat tentu satu lebih banyak daripada banyaknya pita c) Luas bidang gambar tersebut diberikan oleh :
A≈
s [( F + L) + 4 E + 2 R] 3
Dengan
s = lebar masing-masing pita (strip) F+L = jumlah ordinat pertama (First) dan
27
terakhir (Last) 4E = 4 x jumlah ordinat bernomor genap (even) 2R = 2 x jumlah ordinat bernomor ganjil sisanya (Remains) Setelah diperoleh luas sisi tegak melintang, maka volume palka menggunakan persamaan sebagai berikut : V palka (m 3 ) = A × p ;
p = panjang palka (m)
2} Untuk bentuk palka yang memiliki luas sisi tegak melintang bagian depan palka (A0) lebih kecil dibandingkan luas sisi tegak melintang bagian belakang palka (A1), maka sebagai pendekatan menggunakan rumus kerucut terpancung, yaitu : V palka (m 3 ) =
(
)
1⎛1 ⎞ ⎜ p 2 A0 + 2 A1 + 2 A0 A1 ⎟ 2⎝3 ⎠
3} Bentuk palka kubus / persegi empat. Dalam pengukuran diambil cara perhitungan isi segi empat antara lain : panjang (L) x Lebar (B) x Tinggi (T). V palka (m 3 ) = L × B × T
Untuk menghitung kapasitas muat palka adalah : Kapasitas muat (ton) = V palka (m3) x stowage factor (ton/m3) 3.3.3 Kebijakan dan lembaga Pada aspek kebijakan digunakan analisis deskriptif yang diperoleh dari pencarian kebijakan yang terkait dengan perizinan usaha perikanan, sedangkan aspek lembaga menggunakan analisis dari pengukuran kinerja instansi pelaksana perizinan usaha penangkapan ikan yaitu Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP. Pengukuran kinerja dilakukan dengan metode Balanced Scorecard untuk pemerintah/organisasi non profit. Metode ini juga memberikan rancangan strategi bagi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Balanced Scorecard menerjemahkan misi dan strategi ke dalam berbagai tujuan dan ukuran, yang tersusun ke dalam empat perspektif : finansial,
28
pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Empat perspektif scorecard memberi keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, antara hasil yang diinginkan dengan faktor pendorong tercapainya hasil tersebut, dan antara ukuran objektif yang keras dengan ukuran subjektif yang lebih lunak.
Sementara keberagaman ukuran pada Balanced Scorecard
mengandung kesatuan tujuan karena semua ukuran diarahkan kepada pencapaian strategi yang terpadu (Kaplan, 2000). Plantz et al.(1997) dalam Niven (2003) menyebutkan bahwa organisasi non profit telah mengukur kinerja mereka selama beberapa tahun. Rangkuman area yang diukur adalah sebagai berikut: (1) Finansial accountability, fokus pengukuran pada organisasi nonprofit pada dokumentasi bagaimana dana dikeluarkan, (2) Program product, or output, kategori ini menggambarkan pengukuran sumberdaya yang klasik dari kebanyakan organisasi nonprofit atau organisasi pemerintah dalam menghitung jumlah produk atau pengiriman pelayanan dan jumlah orang yang melayani (3) Adherence to standards of quality in service delivery, konsisten pada servis dan kualitas penyampaian produk (4) Participant related measures, dengan mengukur demografis klien dan status pelayanan sebelumnya. (5) Key performance indicators, indikator utama adalah rasio antara beberapa kategori kinerja (6) Client satisfaction, kepuasan yang diukur adalah batas waktu pelayanan, kemudahan akses dan keseluruhan kepuasan. Gaspersz (2002) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan perspektif balanced scorecard yang diterapkan pada organisasi bisnis yang berorientasi keuntungan (private sector) dan yang diterapkan pada organisasi pemerintah yang berorientasi pelayanan publik (public sector) (Tabel 2).
29
Tabel 2 Perspektif Balanced Scorecard pada sektor swasta dan sektor publik Organisasi Swasta/Bisnis Organisasi Pemerintah Perspektif (private sector) (Public sector) Bagaimana kita melihat/ Finansial/Efisiensi Bagaimana kita melihat/ Operasional memandang dan memberikan memandang dan memberikan nilai kepada masyarakat dan/atau nilai kepada pemegang pembayar pajak saham? Pelanggan Bagaimana pelanggan melihat Bagaimana orang-orang yang atau memandang dan menggunakan jasa/ pelayanan mengevaluasi kinerja kami? publik memandang dan mengevaluasi kinerja kami? Dapatkah kita melanjutkan untuk Pembelajaran dan Dapatkah kita melanjutkan meningkatkan dan menciptakan Pertumbuhan untuk meningkatkan dan nilai untuk masyarakat / menciptakan nilai kepada pelanggan, pemegang saham, pembayar pajak, aparatur dan pejabat pemerintah, organisasi karyawan, manajemen serta pemerintah, dan pihak-pihak lain organisasi? yang berkepentingan (stakeholders) Proses dan Produk Apa yang harus diunggulkan Apakah program-program dari proses dan produk kami? pembangunan yang dilaksanakan telah memberikan hasil-hasil sesuai dengan yang diinginkan/diharapkan? Sumber : Gaspersz (2002) Selanjutnya Gaspersz (2002) menjelaskan bahwa penerapan Balanced Scorecard organisasi pemerintah memerlukan beberapa penyesuaian, karena : (1) Fokus utama sektor publik adalah masyarakat (public) dan kelompokkelompok tertentu (interest group), sedangkan fokus utama sektor bisnis adalah pelanggan dan pemegang saham (2) Tujuan utama organisasi publik adalah bukan maksimalisasi hasil-hasil finansial, (anggaran)
tetapi
keseimbangan
melalui
pelayanan
pertanggungjawaban kepada
finansial
pihak-pihak
yang
berkepentingan (stakeholders) sesuai dengan visi dan misi organisasi pemerintah (3) Mendefinisikan
ukuran
dan
target
dalam
perspektif
customer/stakeholder membutuhkan pandangan dan kepedulian yang tinggi, sebagai konsekuensi dari peran kepengurusan organisasi
30
pemerintah, dan membutuhkan definisi yang jelas serta hasil strategis yang diinginkan.
MISI
CUSTOMER Siapakah yang didefinisikan sebagai customer? Bagaimana menciptakan nilai bagi customer? PROSES INTERNAL
FINANSIAL Bagaimana kita menambah nilai bagi customer ketika mengkontrol biaya?
STRATEGI
Bagaimana memberikan kepuasan pada customer
PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN PEGAWAI Bagaimana kita dapat memungkinkan diri kita untuk tumbuh dan memiliki peluang.
Gambar 9 Balanced Scorecard untuk pemerintah dan sektor nonprofit (Niven, 2003) Pada Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap – DKP, salah satu program pembangunan perikanan tangkap jangka menengah periode 2005-2009 adalah peningkatan pelayanan perizinan penangkapan ikan, dimana kegiatan pokoknya adalah : (1) Pengembangan sistem informasi usaha penangkapan ikan (2) Penataan sistem pelayanan perizinan (3) Perbantuan proses perizinan di daerah dan pelabuhan perikanan (4) Pembinaan dan sosialisasi pelayanan perizinan di daerah (5) Pengembangan database usaha penangkapan ikan
31
(6) Peningkatan peran daerah dan proses administrasi dan pelayanan perizinan pusat (7) Peningkatan pelayanan perizinan penangkapan ikan
Penilaian kinerja menggunakan metode Balanced Scorecard untuk lembaga non profit (Niven, 2003). rancangan
scorecard,
sebagai
Tahapan langkah-langkah penerapan berikut
menurut
Rohm
(2002)
(www.balancedscorecard) : 1) Organizational Assessment 2) Define Strategic 3) Stategic Objective 4) Strategic mapping 5) Performance Measures 6) Initiatives 7) Automation 8) Cascade scorecard support strategy 9) Evaluate and change Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan belum menerapkan Balanced Scorecard, oleh karena itu penilaian dan evaluasi dilakukan berdasarkan kondisi yang sudah berjalan.
Pada penelitian ini dilaksanakan penilaian dan
evaluasi pada kondisi yang sudah berjalan di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP dengan membaginya menjadi 4 perspektif yaitu perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dan perspektif finansial. Langkah selanjutnya adalah membuat rancangan strategi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dengan metode Balanced Scorecard. Pada kuesioner terdiri dari 5 (lima) kaegori jawaban yang masing-masing memiliki bobot skor tersendiri dengan menggunakan skala Likert, yaitu skor terendah berada pada pilihan jawaban 1 dan skor tertinggi berada pada pilihan jawaban 5. Berdasarkan hal tersebut, maka langkah-langkah yang dilakukan dengan metode Balanced Scorecard pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
32
1) Pengukuran kinerja Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dengan pendekatan Balanced Scorecard. Pada tahap ini dilakukan penilaian dan evaluasi kondisi yang sudah berjalan berdasar pada empat perspektif metode Balanced Scorecard yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, serta perspektif proses bisnis internal.
(1) Perspektif Finansial Pengukuran yang dilakukan pada perspektif ini adalah dari PNBP yang diberikan dari sektor perizinan. Evaluasi PNBP dari sektor perizinan akan dilihat selama 4 (empat) tahun kebelakang. Hasil evaluasi diharapkan fluktuasi PNBP dari sektor perizinan memiliki peningkatan atau kesesuaiannya dengan target Renstra pada tahun yang sama. Pengukuran lain pada perspektif finansial adalah besarnya penyerapan dana pada setiap kegiatan pokok selama 4 (empat) tahun untuk melihat fluktuatif dana masing-masing dan penyerapannya. Mengacu kepada Buku Pedoman Penyusunan LAKIP – Modul Pengukuran Kinerja yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan skala nilai capaian kinerja sebagai berikut : 85 – 100 % = Sangat Berhasil 70 – < 85 % = Berhasil 55 – < 70 % = Cukup Berhasil 0 – < 55 % = Kurang berhasil (2) Perspektif Pelanggan Gaspersz (2002) menyebutkan bahwa fokus utama organisasi pemerintah bukan pada pencapaian tujuan finansial, tetapi pada pencapaian tujuan yang berfokus pada pelanggan, dalam konteks organisasi pemerintah adalah masyarakat.
Pengukuran kinerja institusi perizinan perspektif pelanggan
dilakukan dengan cara wawancara, selanjutnya berdasarkan hasil wawancara akan dilakukan evaluasi terhadap institusi. Wawancara dilakukan responden dengan
33
menjawab atau mengisi daftar pertanyaan dari kuisioner yang diberikan. Responden adalah orang yang melakukan pengajuan perizinan dan mengetahui proses perizinan kapal ikan yang didaftarkan. Murdiyanto (2004) dalam Kusyanto et.al, (2006) menyebutkan bahwa kendala selama ini masyarakat merasakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah masih jauh dari memuaskan karena sering berbelit-belit, dilaksanakan kurang bersahabat, kurang kepedulian maupun sangat kaku serta kurang disesuaikan dengan keadaan. Pada penelitian ini akan diukur tingkat kepuasan pelanggan, pelanggan dalam penelitian ini adalah orang/institusi yang melakukan pengajuan perizinan. Jumlah responden terdiri dari 21 pengguna izin yang terdiri dari pemilik usaha dan pengurus izin. Jawaban responden terhadap 5 kelompok pertanyaan yang meliputi : (1) Tangibility, yaitu tanggapan responden terhadap tampilan fisik Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan atau kesan responden mengunjungi kantor DKP (2) Reliability, yaitu tanggapan responden terhadap pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (3) Responsiveness, yaitu tanggapan responden terhadap ketanggapan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dalam membantu memberi pelayanan kepada pelanggan (4) Assurance, yaitu tanggapan responden terhadap jaminan mengenai kemampuan, kesopanan, keahlian dan sifat dapat dipercaya dari karyawan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (5) Emphaty, yaitu tanggapan responden terhadap kemudahan dalam meminta pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dan melakukan hubungan komunikasi bagi kebutuhan pelanggan. Selanjutnya dilakukan pengukuran tingkat kepuasan pelanggan dengan membandingkan antara tingkat persepsi dengan tingkat harapan yang diinginkan. Skor persepi dikurangi skor harapan akan diperoleh tingkat kualitas layanan. Seandainya hasil pengurangan itu menghasilkan skor kesenjangan positif, maka tingkat layanan telah melebihi pengharapan responden atau layanan sangat memuaskan. Sebaliknya apabila skor kesenjangan tersebut negatif, maka hal ini
34
menunjukkan tingkat layanan yang diberikan berada di bawah tingkat pengharapan pelanggan. Sedangkan apabila skor menunjukkan sama atau hasil pengurangan adalah nol, maka tingkat layanan yang diberikan sama dengan yang diharapkan pelanggan.
Untuk menghitung tingkat kepuasan pelanggan dapat
diperoleh dengan membagi skor persepsi dengan skor harapan
(3) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Tujuan dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dalam organisasi pemerintah adalah sebagai pengendali (driver) untuk mencapai keunggulan hasil dalam perspektif yang lain, terutama perspektif pemberian nilai tambah dalam pelayanan publik kepada masyarakat (perspektif pelanggan). Kesenjangan antara perpektif pelanggan (fokus utama), finansial, proses internal dan kapabilitas organisasi pemerintah untuk mencapai tujuan strategis seyogianya menjadi kebutuhan investasi dalam tiga kategori scorecard perpektif pembelajaran dan pertumbuhan. Hal ini berkaitan dengan pengembangan kemampuan sumberdaya manusia yang bekerja dalam organisasi pemerintah, kemampuan sistem informasi untuk membuat keputusan, peningkatan motivasi dan pemberdayaan karyawan (aparatur pemerintah), dan yang terpenting kesesuaian dan kesalingterkaitan di antara hal-hal tersebut (Gaspersz, 2002). Pengukuran kinerja perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah kompetensi staf terhadap proses perizinan, partisipasi staf dalam menangani masalah perizinan dan riset atau pengembangan proses perizinan usaha penangkapan ikan. Jumlah kuesioner yang terisi lengkap sebanyak 52 jawaban dari staf Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP.
Untuk
melakukan pengukuran tingkat kompetensi staf dalam proses perizinan digunakan indikator lamanya staf bekerja dalam proses perizinan, pelatihan yang pernah diikuti yang berkaitan dengan proses perizinan, kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan proses perizinan dan kesempatan melakukan pekerjaan dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki. Indikator partisipasi staf dalam menangani masalah perizinan adalah jumlah karyawan yang terlibat dalam setiap proses perizinan, kesempatan bekerja sama dengan teman, kesempatan menjadi bagian penting dalam kelompok kerja dan kesempatan
35
mengembangkan karir. Sedangkan indikator yang digunakan pada riset atau pengembangan proses perizinan adalah penelusuran penelitian yang berkaitan dengan proses perizinan di DKP. (4) Perspektif Proses Bisnis Internal Ukuran proses bisnis internal berfokus kepada berbagai proses internal yang akan berdampak besar kepada kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan finansial perusahaan.
Pengukuran kinerja yang digunakan terdiri dari 3
komponen yaitu tahap inovasi, tahap operasi/produksi atau tahap dimana proses perizinan sedang berlangsung dan tahap pelayanan setelah SPI/SIKPI/IUP/IUP perubahan telah selesai dan diserahkan kepada user. Pada tahap inovasi diukur dengan indikator kemampuan menciptakan kemudahan melakukan proses sistem perizinan yang bersifat legal dan kemampuan sosialisasi perizinan ke institusi yang membutuhkan. Indikator pada tahap operasi yang digunakan adalah waktu siklus penyelesaian proses perizinan dan waktu tunggu yang singkat. Indikator pada tahap setelah perizinan selesai adalah ketepatan waktu penyerahan SPI/SIKPI/IUP/IUP perubahan ke user.
2) Perancangan strategi dengan metode Balanced Scorecard Langkah 1 Organizational assessment Langkah 2 Define strategic Langkah 3 Stategic objective Langkah 4 Strategic mapping Langkah 5 Performance measures Langkah 6 Initiatives Langkah ke tujuh sampai ke sembilan dilakukan apabila Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan-DKP telah melakukan penerapan strategi sampai langkah ke enam.
4 HASIL 4.1
Penetapan Prioritas Faktor-faktor yang Berperan dalam Perizinan Usaha Penangkapan Ikan
Level aktor Pada kegiatan usaha perikanan, kegiatan penangkapan ikan memiliki tujuan dan dampak bagi kelangsungan usaha tersebut maupun sumberdaya ikan yang dieksploitasi. Oleh karena itu, pemerintah menggunakan perizinan sebagai pengendali dalam manajemen pengelolaan perikanan.
Pelayanan perizinan
dilakukan di DKP, dimana para pemilik usaha dapat mengajukan izin dengan terlebih dahulu melengkapi dokumen, salah satunya adalah rekomendasi dari asosiasi perikanan.
Di dalam melaksanakan program dan kegiatannya, DKP
berusaha melibatkan akademisi sehingga kegiatan tersebut berdasarkan hasil penelitian (research based). Dasar penilaian pada level aktor adalah aktor yang berperan lebih penting pada proses perizinan usaha perikanan. Urutan prioritas aktor pada perizinan usaha perikanan adalah DKP (0,621), pemilik usaha (0,165), asosiasi perikanan (0,165) dan akademisi (0,048).
Level kriteria Cochrane (2002) dalam Mulyana (2007) menyebutkan pengelolaan perikanan memiliki tujuan biologi, tujuan ekologi, tujuan ekonomi dan tujuan sosial. Dasar penilaian adalah kriteria yang harus didahulukan pada perizinan usaha perikanan. Urutan prioritas kriteria pada perizinan usaha perikanan adalah biologi (0,414), ekonomi (0,246), ekologi (0,244) dan sosial (0,079).
Level subkriteria Berdasarkan tujuan pengelolaan perikanan, maka masing-masing tujuan tersebut diturunkan menjadi menjamin kelestarian sumberdaya ikan, memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri, menjamin keuntungan usaha, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan devisa negara. Dasar penilaian adalah sub kriteria yang harus didahulukan pada usaha perikanan. Urutan prioritas subkriteria pada perizinan usaha perikanan adalah
37
menjamin kelestarian sumberdaya ikan (0,348), menjamin keuntungan usaha (0,301), menyerap tenaga kerja (0,183), meningkatkan devisa negara (0,099), dan memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat dunia (0, 066).
Level faktor Faktor GT dan jenis alat tangkap dianggap mewakili produktivitas suatu kapal ikan (KEP 50/MEN/2008), sedangkan Purbayanto et al. (2004) menyatakan bahwa pada suatu kapal ikan bagian yang mewakili hasil tangkapan yang diperoleh adalah ukuran palka yang dimilikinya.
Dasar penilaian pada level
faktor adalah faktor yang memiliki peran lebih besar pada usaha perikanan. Urutan prioritas faktor adalah ukuran palka (0,563), GT(0,284) dan jenis alat tangkap (0,153).
Perizinan usaha penangkapan ikan
Fokus
Aktor
Kriteria
Sub Kriteria
Faktor
DKP (0,621)
Biologi (0,414)
Menjamin kelestarian sdi (0,348)
Akademisi (0,048)
Pemilik Kapal (0,165)
Ekologi (0,244)
Ekonomi (0,246)
Memenuhi kebutuhan protein (0,0667)
Ukuran palka (0,563)
GT kapal (0,284)
Menjamin keuntungan nelayan (0,301)
Menyerap tenaga kerja (0,183)
Jenis alat tangkap (0,153)
Gambar 10 Nilai hirarki perizinan usaha penangkapan ikan.
Asosiasi Perikanan (0,165)
Sosial (0,079)
Meningkat kan devisa Negara (0,099)
38
4.2. Hubungan Produksi dengan Ukuran Kapal dan Ukuran Palka 1) Rasio dimensi utama Dimensi utama kapal terdiri dari panjang (L), lebar (B) dan dalam (D), mempunyai pengaruh yang besar terhadap berbagai karakteristik kemampuan (ability) kapal seperti kecepatan, stabilitas, daya dorong dan sebagainya (Muhammad dan Iskandar, 2007). Hasil dari rasio dimensi utama pada kapalkapal yang menjadi objek penelitian pada tabel di bawah ini. Tabel 3 Rasio dimensi utama Alat No Nama Kapal tangkap KM. Danau Purse 1 Toba Indah V Seine KM.Danau Purse 2 Toba Indah Seine VII KM.Haiteri Purse 3 Jaya Makmur Seine KM.Sukses 4 Longline Abadi Jaya KM. Wijaya 5 Longline Abadi KM. Dwi 6 Longline Sukses Sejati KM. Pancing 7 Samudra Jaya Cumi KM. Selamat 8 Longline Jadi III
L (m)
B (m)
D (m)
L/B
L/D
B/D
27,24
7,54 2,82 3,6127
9,6596
2,6738
27,24
7,45 2,74 3,6564
9,9416
2,7190
22,51
6,75 2,03 3,3348
11,0887
3,3251
18,20
6,40 2,60 2,8438
7,0000
2,4615
21,82
6,20 2,90 3,5194
7,5241
2,1379
26,44
8,00 2,49 3,3050
10,6185
3,2129
23,91
7,10 2,01 3,3676
11,8955
3,5323
25,10
7,52 2,26 3,3378
11,1062
3,3274
2) Volume palka dan volume kapal Pada sub sistem teknis dilakukan pengukuran volume palka dengan menggunakan rumus matematika. Palka kapal penangkap ikan yang bersandar di PPSJ NZ sudah dilapisi dengan fiber dan menggunakan pendingin refrigerated brine yang dipompakan melalui pipa. Hasil pengukuran volume palka dari 8 kapal penangkap ikan di PPSNZJ dibandingkan dengan GT dan volume kapal pada Tabel 4.
39
Tabel 4 Hasil pengukuran volume kapal dan volume palka No
Nama Kapal
1 2 3 4 5 6 7 8
KM. Danau Toba Indah V KM.Danau Toba Indah VII KM.Haiteri Jaya Makmur KM.Sukses Abadi Jaya KM. Wijaya Abadi KM. Dwi Sukses Sejati KM. Samudra Jaya KM. Selamat Jadi III
Alat tangkap Purse Seine Purse Seine Purse Seine Longline Longline Longline Pancing Cumi Longline
GT
Panjang
V Kapal
V Palka
164 164 83 80 78 105 92 101
27,24 27,24 22,51 18,20 21,82 26,44 23,91 25,10
464,59 464,59 332,00 320,00 312,00 297,45 368,00 286,12
175,1044 145,7190 142,3057 93,4166 106,0418 115,6852 111,2144 67,1398
Berikut adalah perbandingan volume hasil tangkapan pada 6 kapal pada tahun 2007 dan 2008 terhadap volume kapal dan volume palka. Tabel 5 Perbandingan volume hasil tangkapan terhadap volume kapal dan volume palka (dalam m3) Nama Kapal KM. Danau Toba Indah V(PS)
Thn
2007
Produksi Kg 1.855,44 22.863,00 23.724,00 26.698,00
m3 (*) 2,4739 30,4840 31,6320 35,5973
26.875,00 27.031,00 25.354,00
35,8333 36,0413 33,8053
25.177,00 5.240,00 38.799,00
33,5693 6,9867 51,7320
924,00
1,2320
5.080,27 13.320,73 26.548,00 20.056,00
6,7737 17,7610 35,3973 26,7413
24.231,00 27.560,00 9.146,00
32,3080 36,7467 12,1947
11.851,00
15,8013
Volume Kapal GT
164
m3
464,59
Volume Palka m3
175,1044
Produksi / vol kapal % 0,5325 6,5615 6,8086 7,6621
Produksi / vol palka % 1,4128 17,4090 18,0647 20,3292
7,7129 7,7577 7,2764
20,4640 24,7334 23,1990
7,2256 2,1044 15,5819
23,0370 4,9202 36,4310
0,3711
0,8676
2,1168 5,6926 11,3453 8,5709
7,2511 16,7490 33,3805 25,2177
10,3551 12,3539 4,0997
30,4672 31,7644 10,5413
5,3123
13,6589
2008 KM. Danau Toba Indah VII (PS)
KM. Haiteri Jaya Makmur (PS)
2008
2007 2008
KM. Sukses Abadi Jaya (LL) KM. Wijaya Abadi (LL)
2008 2007 2008
KM. Dwi Sukses Sejati (LL)
2007 2008
164
83
464,59
332,00
145,719
142
80
320,00
93,4166
78
312,00
106,0418
105
297,45
115,6852
Catatan (*) dengan asumsi penyimpanan hasil tangkapan dengan metode Sea Water Refrigerated (SWR) dan stowage factor 0,75 ton/m3 (Fyson, 1985).
40
Perbandingan persentase produksi per Volume Kapal dan per Volume Palka
Persentase produksi per volume palka
40 35 30 25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Persentase produksi per volum e kapal
Gambar 11 Perbandingan produksi terhadap ukuran palka dan ukuran kapal. 4.3 Kebijakan dan Lembaga 1) Kebijakan Kebijakan dianalisis berdasarkan hirarki sebagaimana diatur dalam ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai Sumber Tertib Kebijakan Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-undangan. Dimana tata urutan perundangundangan yang ditetapkan MPRS adalah sebagai berikut : 1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) 3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perpu) 4) Peraturan Pemerintah (PP) 5) Keputusan Presiden (Keppres); dan 6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri Kebijakan internasional yang relevan dengan perizinan usaha penangkapan ikan adalah CCRF dan UNCLOS.
41
1) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Pedoman ini ditetapkan oleh Food and Agricultural Organization of The United Nations (FAO PBB) pada 31 Oktober tahun 1995. Pada pedoman ini disebutkan bahwa perizinan sebagai alat dalam pengelolaan. Dimana pada pasal 7 tentang pengelolaan ayat 7.6.2 bahwa Negara-negara harus mengambil langkah untuk memastikan bahwa tidak ada kapal yang boleh menangkap kecuali yang sudah diizinkan, menggunakan cara yang konsisten dengan hukum internasional untuk laut lepas atau sesuai dengan peraturan perundangundangan nasional dalam lingkup kawasan yurisdiksi nasional. Selanjutnya pada pasal 8 tentang operasi penangkapan ikan ayat 8.1.1 disebutkan bahwa negara-negara harus menjamin bahwa hanya operasi penangkapan ikan yang diizinkan oleh negara tersebut, dilakukan di dalam perairan yurisdiksi negara tersebut dan bahwa operasi penangkapan itu dilaksanakan dengan cara yang bertanggung jawab. 2) United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang kebijakan laut ini ditandatangani di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. Selanjutnya pada tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasinya melalui pengesahan UU No.17 tahun 1985. Kemudian ditindaklanjuti kembali dengan pengesahan UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indoensia, khususnya beberapa ketentuan UNCLOS yang berkaitan dengan wilayah perairan Indonesia. Pada UNCLOS disebutkan tentang kewajiban dan hak berdaulat negara bagi pihak lain yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat tersebut disebutkan pada Pasal 56 tentang Hak-hak, yuridiksi dan kewajiban negara pantai dalam zona ekonomi eksklusif pasal 1 berbunyi : Dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai : a. Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dan perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain
42
untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin; Tentang perizinan dan pungutan bagi kapal ikan, pada UNCLOS disebutkan pada Pasal 62 tentang pemanfaatan sumber kekayaan hayati pasal 4 berbunyi : Warganegara Negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif harus mematuhi tindakan konservasi ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam perautan perundang-undangan negara pantai.
Peraturan
perundang-undangan ini harus sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan dapat meliputi : a. Pemberian izin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal Negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan, peralatan, dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan Kebijakan yang relevan dengan perizinan usaha penangkapan ikan sesuai dengan ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 adalah sebagai berikut : 1) UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3 2) UU RI No.5 Tahun 1983 tentang Zona Eksklusif Indonesia (ZEEI) 3) UU No 9 Tahun 1985 tentang perikanan, dirubah menjadi UU RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan 4) UU RI No.21 tahun 1993 tentang pelayaran direvisi menjadi UU RI No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran 5) PP Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 6) PP Nomor 15 tahun 1990 tentang Usaha Perikanan dirubah menjadi PP nomor 141 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah nomor 15 tahun 2000 tentang usaha perikanan, direvisi menjadi PP Nomor 54 tahun 2002 tentang Usaha Perikanan 7) PP Nomor 142 tahun 2000 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan direvisi menjadi PP Nomor 62 tahun 2002 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan
43
dan Perikanan direvisi menjadi PP Nomor 19 tahun 2006 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. 8) Keputusan Menteri Nomor 45 tahun 2000 tentang Perizinan usaha Perikanan
direvisi
menjadi
Keputusan
Menteri
Nomor
KEP.
10/MEN/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan 9) Keputusan Menteri Nomor KEP. 23/MEN/2001 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan direvisi menjadi Keputusan Menteri Nomor KEP. 38/MEN/2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan kemudian dirubah menjadi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.50/MEN/2008 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan 10) Keputusan Menteri Nomor KEP. 45/MEN/2001 tentang Tata Cara Pemungutan Perikanan yang Terutang 11) Keputusan Menteri Nomor KEP. 46/MEN/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan direvisi menjadi Keputusan Menteri Nomor KEP. 12/MEN/2002 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Tahap Kedua 12) Keputusan Menteri Nomor KEP. 47/MEN/2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan 13) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2006 direvisi menjadi Peraturan Menteri Nomor PER. 05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dan terakhir direvisi menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER 12/MEN/2009 tentang Perubahan atas peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 05/MEN/2008 tentang usaha perikanan tangkap 14) Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP.03/DJPT/2009 tentang asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap yang dapat memberikan rekomendasi dalam perizinan usaha perikanan tangkap dan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP.08/DJPT/2009 tentang perubahan keputusan direktur jenderal perikanan tangkap Nomor KEP.03/DJ-PT/2009 tentang asosiasi atau organisasi di bidang
44
perikanan tangkap yang dapat memberikan rekomendasi dalam perizinan usaha perikanan tangkap.
2) Kelembagaan Undang-undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan menyebutkan bahwa perusahaan perikanan harus memiliki surat izin usaha perikanan yang disebut dengan SIUP.
Usaha perikanan yang dimaksud termasuk dibidang
penangkapan. Pada kegiatan penangkapan, pengoperasian kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI), sedangkan pengoperasian kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). SIPI dan SIKPI diterbitkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perikanan yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Melalui Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, SIPI dan SIKPI diterbitkan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Sebagai instansi yang menerbitkan SIUP, SIPI dan SIKPI, maka pada penelitian ini diperlukan pengukuran kinerja dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Direktorat ini mendapatkan peringkat 6 sebagai unit layanan publik terbaik versi KPK 2008.
Survei tahunan tersebut dilakukan untuk mengukur secara
ilmiah tingkat korupsi dan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di lembaga publik dengan mensurvei pengguna langsung layanan publik.
Survei ini
dilakukan dengan sudut pandang pengguna layanan dan bukan dari pemberi layanan.
Tujuan survei ini adalah untuk memberikan masukan bagi instansi
pelayanan publik untuk mempersiapkan upaya-upaya pencegahan korupsi yang efektif pada wilayah/layanan yang rentan terjadi korupsi. Urutan 10 peringkat dalam unit layanan pelayanan publik versi KPK 2008 adalah Perum Pegadaian, PT. Pos Indonesia, Departemen Koperasi dan UKM, PT Taspen, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Tenaga Kerja, Deparetemen Kesehatan, Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian.
45
(1) Pengukuran kinerja Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dengan pendekatan Balanced Scorecard Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan Tolok ukur yang digunakan pada perspektif ini adalah kompetensi staf, partisipasi staf dan riset atau pengembangan proses perizinan usaha perikanan. Indikator pengukuran tingkat kompetensi staf adalah pelatihan bagi staf Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dalam rangka peningkatan sumberdaya manusia yang berkaitan dengan proses perizinan, kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan proses perizinan dan kesempatan melakukan pekerjaan dengan menggunakan kemampuan yang dimiliki. Peningkatan
kualitas
sumberdaya
manusia
yang
diselenggarakan
Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan selalu rutin dilaksanakan tiap tahunnya. Peserta terdiri dari staf perizinan pusat maupun daerah. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pusat Pelatihan DKP, sampai dengan saat ini dalam melakukan pelatihan, kebutuhan pelatihan atau yang berkaitan dengan peningkatan sumberdaya manusia di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, belum melakukan koordinasi dengan Pusat Pelatihan DKP.
Tabel 6 Indikator pengukuran tingkat kompetensi staf Jawaban responden Uraian
Sangat tidak puas
Tidak puas
Cukup puas
Kesempatan mengikuti pelatihan 0 yang berkaitan dengan perizinan 0%
1 1,92%
9 17,3%
30 57,7%
12 23,1%
Kesempatan melakukan pekerjaan menggunakan kemampuan yang 0 0% dimiliki
2 3,85%
6 11,5%
31 59,6%
13 25,0%
Puas
Sangat puas
Indikator pengukuran partisipasi staf dalam menangani masalah perizinan adalah jumlah karyawan yang terlibat dalam setiap proses perizinan, kesempatan bekerja sama dengan teman, kesempatan menjadi bagian penting dalam kelompok kerja dan kesempatan mengembangkan karir.
46
Tabel 7 Indikator pengukuran partisipasi staf Jawaban responden Sangat tidak puas
Uraian
Tidak puas
Cukup puas
Kesempatan bekerja sama dengan 0 teman 0%
0 0%
5 9,62%
34 65,4%
13 25%
Kesempatan menjadi bagian 0 penting dalam kelompok kerja 0%
0 0%
3 5,77%
40 76,9%
9 17,3%
Jumlah teman yang terlibat dalam 0 setiap proses perijinan 0%
0 0%
3 5,77%
37 71,2%
12 23,1%
0 0%
0 0%
14 26,9%
25 48,1%
13 25%
0%
0 0%
6 11,5%
36 69,2%
10 19,2%
Kesempatan menjadi bagian 0 penting dalam kelompok kerja 0%
0 0%
3 5,77%
43 82,7%
6 11,5%
Kesempatan mengembangkan karir 0
0 0%
17 32,7%
28 53,8%
7 13,5%
Kesibukan sepanjang waktu kerja Kesempatan bekerja menyelesaikan pekerjaan
sendiri 0
0%
Puas
Sangat puas
Indikator yang digunakan pada riset atau pengembangan proses perizinan adalah penelusuran penelitian yang berkaitan dengan proses perizinan.
Tabel 8 Indikator pengukuran riset dan pengembangan proses perizinan Persentase Uraian
Sangat tidak puas
Tidak puas
Cukup puas
Kesempatan melakukan penelitian 0 yang berkaitan dengan perijinan 0%
1 1,92%
27 51,9%
15 28,8%
9 17,3%
Jumlah penelitian yang berkaitan 0 dengan proses perijinan 0%
4 7,69%
32 61,5%
14 26,9%
2 3,85%
Puas
Sangat puas
Perspektif proses bisnis internal Pengukuran pada perspektif ini yaitu tahap inovasi, tahap operasi/produksi dan tahap pelayanan purna jual.
Pada tahap inovasi dilakukan identifikasi
kebutuhan para pelangggan dimasa kini dan masa mendatang serta merumuskan cara untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dalam melakukan proses perizinan berdasarkan
47
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 dan perubahannya yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009
untuk
memenuhi
kebutuhan
pengusaha
perikanan
mendapatkan izin usaha dan pengoperasian kapal penangkap dan pengangkut yang dimilikinya. Aspek selanjutnya dalam pengukuran kinerja proses bisnis internal Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan adalah kemampuan operasinya. Indikator yang digunakan pada tahap ini adalah proses penyelesaian perizinan untuk mendapatkan izin dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Terhitung mulai pengajuan dilakukan, waktu proses penyelesaian perizinan paling lama mencapai hingga 14 hari kerja hingga surat izin diperoleh pemohon dengan asumsi bahwa kelengkapan dokumen tidak ada yang kurang. Dalam proses tersebut DKP melakukan cek fisik pada kapal yang dilakukan oleh Direktorat Kapal dan Alat Penangkap Ikan – DKP.
Selanjutnya setelah
pemeriksaan cek fisik kapal, proses perizinan diteruskan ke Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan.
Perkembangan jumlah izin usaha dan izin kapal
perikanan pada tahun 2004 sampai tahun 2008 ditampilkan pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah izin usaha perikanan dan izin operasional kapal 2004 2005 2006 2007 Izin usaha 2.212 2.450 2.604 2.631 Izin operasional kapal
6.259
6.852
6.962
6.803
2008 2.505 6.269
Sumber : Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan ikan, DKP (2009).
Aspek terakhir pada perspektif proses bisnis internal adalah pelayanan setelah izin didapat. Setelah izin didapat bagi para pemegang izin maka kegiatan usaha dan penangkapan mulai dilaksanakan. Pelayanan tidak diberikan seperti pelayanan purna jual pada perusahaan profit, tetapi akan mendapat pelayanan jika pemegang izin datang ke Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Pelayanan bentuk lain adalah pencabutan izin yang sudah kadaluarsa baik pada kapal penangkap maupun pengangkut.
48
Tabel 10 Jumlah izin kumulatif kapal ikan Indonesia yang dicabut Tahun Jumlah izin kapal dicabut 2004 152 kapal 2005
102 kapal
2006
174 kapal
2007
339 kapal
2008
1.015 kapal
Total 1.782 kapal Sumber : Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, DKP (Maret 2009).
Perspektif Finansial Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan merupakan suatu instansi pemerintah yang berorientasi pada pelayanan bukan pada profit atau keuntungan. Perspektif finansial akan diukur pemasukan dan pengeluaran pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Pemasukan yang dimaksud adalah nilai PNBP berdasarkan Surat Perintah Pembayaran (SPP) Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) maupun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) pada tahun 2005 – 2008. Sedangkan pengeluaran yang dimaksud adalah jumlah pencapaian kegiatan Direktorat PUP – DKP.
Tabel 11 Tingkat kontribusi nilai PNBP DKP dari PPP dan PHP dan realisasi pencapaian Tingkat Pengeluaran Pemasukan kontribusi (Realisasi Pencapaian) Tahun (Nilai PNBP) PNBP DKP Rp % Rp % 2005 272.220.000.000 94,22 6.678.770.010 99,29 2006
198.148.548.096
92,02
6.422.721.000
98,25
2007
114.244.315.062
84,86
5.507.578.000
88,82
2008
77.402.002.423
74,29
4.610.637.000
97,58
Sumber : Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, Lampiran LAKIP DKP dan Buku Data Potensi, Produksi dan Ekspor Impor Kelautan dan Perikanan (2007).
49
Perspektif Pelanggan Pelanggan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan adalah orang/institusi yang memiliki kepentingan untuk mendaftarkan izin usaha dan izin kapal ikan yang berukuran lebih dari 30 GT dan mesin lebih dari 90 DK. Dalam operasional Direktorat ini berusaha memenuhi kebutuhan para pengguna izin sesuai
dengan
peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
nomor
PER.05/MEN/2008 dan PER.12/MEN/2009. Pada perspektif pelanggan diukur tanggapan responden terhadap 5 kelompok pertanyaan yang terdiri dari tangibility, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. - Kelompok tangibility Pertanyaan pada kelompok tangibility adalah tanggapan tentang persepsi responden terhadap tampilan fisik Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP. Tabel 12 Tanggapan responden terhadap tampilan fisik No 1 2 3
Pertanyaan
1
Jawaban 3
2
4
5
Kemudahan dalam menjangkau letak/lokasi kantor dan ketersediaan tempat parkir serta pengamanan lingkungan kantor
0
0
0
12
9
0%
0%
0%
57,1%
42,9%
Penampilan kantor dan kenyamanan serta kebersihan ruang tunggu
0
0
3
11
7
0%
0%
14,3%
52,4%
33,3%
ketersediaan fasilitas kantor dan informasi pelayanan di ruang tunggu
0
0
5
16
0
0%
0%
23,8%
76,2%
0%
Tabel 13 Analisis tingkat kepuasan pelanggan pada kelompok tangibility No
Pertanyaan
Skor Persepsi
Harapan
Kesenjangan
Kemudahan dalam menjangkau letak/lokasi kantor dan ketersediaan tempat parkir serta pengamanan lingkungan kantor
4,4286
4,4762
-0,0476
2
Penampilan kantor dan kenyamanan serta kebersihan ruang tunggu
4,1905
4,3333
-0,1429
3
ketersediaan fasilitas kantor dan informasi pelayanan di ruang tunggu
3,7619
4,0000
-0,2381
Skor rata-rata
4,1270
4,2698
-0,1429
1
50
Tingkat kepuasan kelompok tangibility adalah : 4,1270/4,2698 x 100% = 96,66%
- Kelompok reliability Tabel 14 Tanggapan responden terhadap pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP Jawaban No Pertanyaan 1 2 3 4 5 1 2 3
Kecepatan pelayanan penyelesaian pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya Kecepatan pelayanan perbaikan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP jika terdapat kesalahan Kecepatan pelayanan pembayaran pungutan perikanan
0 0%
6 28,6%
6 28,6%
9 42,9%
0 0%
0 0%
3 14,3%
9 42,9%
9 42,9%
0 0%
0 0%
0 0%
3 14,3%
9 42,9%
9 42,9%
Tabel 15 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok reliability No
Skor
Pertanyaan
Persepsi
Harapan
Kesenjangan
Kecepatan pelayanan penyelesaian pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya
3,1429
5,0000
-1,8571
2
Kecepatan pelayanan perbaikan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP jika terdapat kesalahan
3,2857
5,0000
-1,7143
3
Kecepatan pelayanan pembayaran pungutan perikanan
4,2857
5,0000
-0,7143
Skor rata-rata
3,5714
5,0000
-1,4286
1
Tingkat kepuasan kelompok reliability adalah : 3,57/5 x 100% = 71,4%
- Kelompok responsiveness Tabel 16 No 1 2
Tanggapan responden terhadap ketanggapan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dalam membantu memberikan pelayanan Jawaban Pertanyaan 1 2 3 4 5
Respon DKP dalam menanggapi pengajuan pembuatan SIPI/SIKPI/IUP Respon DKP dalam menanggapi kesalahan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya
0
0
15
6
0
0%
0%
71,4%
28,6%
0%
0 0%
0 0%
15 71,4%
6 28,6%
0 0%
51
Tabel 17 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok responsiveness No
Skor
Pertanyaan
Persepsi
Harapan
Kesenjangan
1
Respon DKP dalam menanggapi pengajuan pembuatan SIPI/SIKPI/IUP
3,2857
4,0000
-0,7143
2
Respon DKP dalam menanggapi kesalahan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya
3,2857
4,0000
-0,7143
Skor rata-rata
3,2857
4,0000
-0,7143
Tingkat kepuasan kelompok responsiveness : 3,28/4 x 100% = 80% - Kelompok assurance Tabel 18
No 1 2 3 4
Tanggapan responden terhadap jaminan mengenai kemampuan, kesopanan, keahlian, dan sifat dapat dipercaya dari karyawan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan Jawaban Pertanyaan 1 2 3 4 5
Keramahan staf dalam memberikan pelayanan Penampilan fisik, kesopanan, dan kebersihan karyawan yang memberikan pelayanan Pengetahuan dan ketrampilan staf yang memberikan pelayanan Jaminan ketepatan perhitungan pungutan
0 0%
0 0%
9 42,9%
12 57,1%
0 0%
0 0%
0 0%
0 0%
21 100%
0 0%
0 0% 0 0%
0 0% 0 0%
0 0% 18 85,7%
21 100% 3 14,3%
0 0% 0 0%
Tabel 19 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok assurance No 1 2 3 4
Pertanyaan
Skor Persepsi
Harapan
Kesenjangan
3,5714
4,0000
-0,4286
4,0000
4,0000
0,0000
4,0000
4,0000
0,0000
Jaminan ketepanan perhitungan pungutan
3,1429
4,0000
-0,8571
Skor rata-rata
3,6786
4,0000
-0,3214
Keramahan staf dalam memberikan pelayanan Penampilan fisik, kesopanan, dan kebersihan karyawan yang memberikan pelayanan Pengetahuan dan ketrampilan staf yang memberikan pelayanan
52
Tingkat kepuasan kelompok assurance : 3,67/4,00 x 100% = 91,95%
- Kelompok emphaty Tabel 20 Tanggapan responden terhadap kemudahan pelayanan dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dalam melakukan hubungan komunikasi bagi kebutuhan pelanggan Jawaban No Pertanyaan 1 2 3 4 5 1 2 3
Adanya prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, mudah dan jelas untuk setiap jenis pelayanan Kemudahan komunikasi dan hubungan secara langsung Kemudahan mendapatkan informasi melalui media
0 0%
13 61,9%
5 23,8%
3 14,3%
0 0%
0 0% 10 47,6%
12 57,1% 5 23,8%
5 23,8% 0 0%
4 19% 6 28,6%
0 0% 0 0%
Tabel 21 Analisis tingkat kepuasan pada kelompok emphaty No 1 2 3
Pertanyaan Adanya prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, mudah dan jelas untuk setiap jenis pelayanan Kemudahan komunikasi dan hubungan secara langsung Kemudahan mendapatkan informasi melalui media Skor rata-rata
Skor Persepsi
Harapan
Kesenjangan
2,5238
4,7143
-2,1905
2,6190
4,0000
-1,3810
2,0952
4,0000
-1,9048
2,4127
4,2381
-1,8254
Tingkat kepuasan kelompok emphaty : 2,41/4,23 x 100% = 56,97%
Analisis Hasil Kinerja Keseluruhan Analisis hasil kinerja keseluruhan mencakup perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, perspektif proses bisnis internal, perspektif finansial dan perpektif pelanggan. Skor yang digunakan 1 sampai 5 dengan definisi sebagai berikut : 1 = buruk
2 = kurang
3 = cukup
4 = baik
5 = sangat baik
53
Tabel 22 Hasil pengukuran kinerja secara keseluruhan No 1
2
3
4
Aspek yang diukur Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan 1. Kompetensi staf 2. Partisipasi staf 3. Riset atau pengembangan proses perizinan usaha perikanan Skor Perspektif I Perspektif Proses Bisnis internal 1. Tahap inovasi 2. Tahap operasi/produksi 3. Tahap pelayanan purna jual Skor Perspektif II Perspektif Finansial 1. Tingkat kontribusi PNBP DKP 2. Tingkat penyerapan dana Skor Perspektif III Perspektif Pelanggan 1. Tingkat kepuasan pelanggan Skor Perspektif IV TOTAL
Hasil Pengukuran
Baik Baik Cukup
Skor (1-5)
Bobot (%)
4 4 3
Skor x Bobot
7 7 6
0,28 0,28 0,18
11
Baik Baik
4 4
10 10
0,4 0,4
Baik
4
10
0,4
12 Cukup
3
10
0,3
Sangat baik
5
10
0,5
30
0,6
7 Kurang
2 2 32
3,34
(2) Perancangan strategi dengan metode Balanced Scorecard Langkah pertama (Organizatonal assessment) Langkah pertama yang dilakukan adalah penilaian dari dasar organisasi, meliputi : visi dan misi; tugas dan fungsi; analisis lingkungan strategis yang terdiri dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman; dan strategi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan.
Berdasarkan hasil wawancara, Direktorat
Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan memiliki visi dan misi sebagai berikut : Visi : Pelayanan prima perizinan usaha perikanan tangkap di pusat dan daerah
54
Secara operasional dijabarkan ke dalam misi sebagai berikut : 1) Terwujudnya pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan melalui penertiban usaha perikanan tangkap, 2) Terwujudnya penataan alokasi usaha penangkapan ikan berdasarkan WPP, 3) Terwujudnya peningkatan penerimaan negara dari usaha penangkapan ikan secara terintegrasi antara pusat dan daerah, 4) Terwujudnya pelayanan dokumen perizinan usaha penangkapan ikan secara prima, 5) Terwujudnya penyajian database dan informasi perizinan usaha perikanan yang akurat, cepat, mudah sebagai indikator
pengelolaan sumberdaya
perikanan di setiap WPP. Pada periode 2005 – 2009, visi dan misi dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan adalah bagian dari visi dan misi dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menetapkan
pembaharuan visi pembangunan perikanan tangkap yang setidaknya menjadi citacita pembangunan perikanan tangkap hingga tahun 2020. Visi pembangunan perikanan tangkap adalah ”Usaha perikanan tangkap Indonesia yang lestari, kokoh dan mandiri pada tahun 2020” (DKP, 2005). Visi pembangunan perikanan tangkap yang telah ditetapkan, secara operasional dijabarkan ke dalam misi pembangunan perikanan tangkap sebagai berikut: 1) mengelola sumber daya ikan secara bertanggung jawab; 2) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan; 3) memfasilitasi ketersediaan pelabuhan perikanan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai; 4) memperkuat armada perikanan nasional; dan 5) mengembangkan usaha perikanan tangkap yang efisien dan berdaya saing. Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan tanggal 24 Juni 2005 dirumuskan bahwa Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan
55
kebijakan, standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis, serta evaluasi di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan. Fungsinya adalah : 1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 2) Penyiapan penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 3) Pelaksanaan bimbingan teknis di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 4) Pelaksanaan evaluasi di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 5) Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman berdasarkan hasil wawancara
dan
analisis
penulis
terhadap
Direktorat
Pelayanan
Usaha
Penangkapan Ikan adalah sebagai berikut : 1) Kekuatan (Strength) (1) Pelayanan, Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan mendapat peringkat nomor 6 sebagai unit layanan publik terbaik versi KPK 2008. Survei tersebut dilakukan untuk mengukur secara ilmiah tingkat korupsi dan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di lembaga publik dengan mensurvei pengguna langsung layanan publik, (2) Waktu proses penerbitan dokumen kurang dari 1 minggu (3) Pelatihan bagi staf yang rutin dilakukan tiap tahun. Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan rutin dalam melaksanakan sosialisasi dan pelatihan bagi staf perizinan yang pesertanya dari pusat maupun dari daerah.
Hal ini dilakukan dalam upaya
peningkatan sumberdaya manusia perizinan usaha perikanan tangkap. (4) Jumlah SDM pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan ikan sudah memadai (5) Percepatan proses perizinan ke daerah rutin setiap tahunnya. Sampai saat ini program ini sudah dilaksanakan di 7 Dinas Propinsi meliputi : NAD; Kepri; Jateng, Jatim; Bali; Sulut; Papua, serta 14 UPT Pelabuhan Perikanan yaitu : PPS. Belawan; Cilacap; Bungus;
56
Kendari; Bitung; PPN. Sibolga; Pekalongan; Ambon; Tj. Pandan; Kejawanan; Prigi; Pemangkat; Tual dan PPP Sorong. (6) Kemudahan
akses
prosedur
dan
simulasi
pungutan
pada
www.perizinan.dkp.go.id (7) Kerjasama dengan asosiasi perikanan sebagai salah satu cara meningkatkan pengawasan dan manajemen perikanan tangkap (8) Program percepatan perizinan ke daerah-daerah yang rutin dilaksanakan tiap tahun 2) Kelemahan (Weakness) (1) Proses pelayanan masih berbelit-belit/belum sederhana (2) Rekayasa pengembangan proses perizinan berjalan lambat, hal ini dapat dilihat dari jumlah penelitian tentang proses perizinan yang masih sedikit (3) Kepatuhan
yang
rendah
dari
pengusaha
perikanan
untuk
melaporkan kegiatan usaha penangkapan ikan yang dilakukan, (4) Sharing data antara pusat dan daerah masih belum optimal (5) Sarana dan prasarana pengawasan kegiatan perikanan tangkap yang dimiliki DKP masih sangat minim (6) Keuangan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan hanya berasal dari 1 sumber dana 3) Peluang (Opportunity) (1) Billateral Arrangement dengan negara lain telah berakhir dan memberikan peluang usaha kepada investor di dalam negeri (2) Banyaknya kesempatan untuk meningkatkan kompetensi di bidang perikanan tangkap (3) Permintaan dunia terhadap produk perikanan semakin meningkat (4) Masuknya Indonesia sebagai anggota RFMO yaitu IOTC dan CCSBT (5) Tuntutan dari masyarakat/pelaku pengusaha perikanan terhadap proses perizinan yang lebih sederhana, mudah dan adil (6) Teknologi informasi dunia yang semakin maju/kompetitif
57
(7) Hasil penelitian Direktorat Kapal API bahwa kapasitas palka lebih representatif untuk kepentingan produktivitas suatu kapal ikan dibanding GT kapal 4) Ancaman (Threat) (1) Kejahatan laut (perompak) masih sangat marak (2) Kegiatan IUU Fishing masih banyak terjadi (3) Investasi di bidang perikanan tangkap masih kurang diminati (4) Belum ada dukungan terhadap kredit/pinjaman di bidang perikanan tangkap (5) Karakteristik perikanan Indonesia yang multigear dan multispecies (6) Fluktuasi harga BBM yang menyebabkan sulitnya estimasi biaya usaha penangkapan ikan (7) Perusahaan yang berlokasi di luar Jabotabek sering terlambat melakukan pembaruan surat izin Berdasarkan RENSTRA DJPT 2005-2009, kebijakan yang akan ditempuh diarahkan kepada lima hal sebagai berikut: (1) Menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan dalam negeri; (2) Rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; (3) Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan; (4) Meningkatkan peran dan fungsi Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk pro aktif menilai dan mengoptimalksan seluruh potensi serta kemampuannya (5) Rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah yang terkena bencana alam. Kebijakan di atas diwujudkan ke dalam sepuluh strategi pembangunan perikanan tangkap jangka menengah periode 2005-2009 sebagai berikut: (1)
Optimasi pemanfaatan sumber daya ikan secara bertanggung jawab;
(2)
Peningkatan produktivitas usaha penangkapan;
(3)
Peningkatan kemampuan dan kapasitas pendukung produksi di dalam negeri;
58
(4)
Peningkatan SDM dan penyerapan teknologi;
(5)
Peningkatan kelembagaan, kemampuan manajemen usaha kecil dan akses permodalan;
(6)
Peningkatan mutu hasil perikanan sebagai bahan baku industri;
(7)
Pengembangan dan penyebaran kluster industri;
(8)
Restrukturisasi armada perikanan;
(9)
Revitaliasi prasarana perikanan (disesuaikan dengan perpres)
(10) Pengembangan dan penyusunan standarisasi sarana perikanan tangkap. Oleh karena itu, Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan akan melakukan program atau kegiatan yang mendukung terhadap sepuluh strategi dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Berdasarkan RENSTRA DJPT 2005-2009, program yang ditetapkan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan adalah peningkatan pelayanan perizinan penangkapan ikan. Kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan adalah : (1) Pengembangan sistem informasi usaha penangkapan ikan (2) Penataan sistem pelayanan perizinan (3) Perbantuan proses perizinan di daerah dan pelabuhan perikanan (4) Pembinaan dan sosialisasi pelayanan perizinan di daerah (5) Pengembangan database usaha penangkapan ikan (6) Peningkatan peran daerah dalam proses administrasi dan pelayanan perizinan pusat (7) Peningkatan pelayanan perizinan penangkapan ikan
Langkah kedua (Define strategic) Strategi yang dihasilkan adalah hasil dari analisis lingkungan strategis pada langkah pertama.
Berdasarkan hasil analisis lingkungan strategis maka
strategi pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan adalah : 1) Peningkatan informasi peluang usaha perikanan (Strategi 1) 2) Peningkatan kualitas SDM Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (Strategi 2) 3) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (Strategi 3)
59
4) Penyempurnaan dan efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan dan pungutan perikanan (Strategi 4) 5) Mengoptimalkan jaringan sistem informasi perizinan (Strategi 5) 6) Pemanfaatan anggaran yang optimal (Strategi 6) 7) Rekomendasi usaha ke perbankan/pemberi kredit (Strategi 7) 8) Pelayanan perizinan di daerah (Strategi 8) 9) Peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan pusat (Strategi 9) 10) Jaminan keamanan dan kepastian usaha (Strategi 10) 11) Peningkatan standar kualitas pelayanan (Strategi 11)
Langkah ketiga (Stategic objective) 1) Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (1) Peningkatan kualitas SDM Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (2) Mengoptimalkan jaringan sistem informasi perizinan (3) Peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan pusat 2) Perspektif bisnis internal (1) Peningkatan informasi peluang usaha perikanan (2) Optimalisasi
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
secara
berkelanjutan (3) Penyempurnaan dan efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan dan pungutan perikanan (4) Rekomendasi usaha ke perbankan/pemberi kredit 3) Perspektif keuangan (1) Pemanfaatan anggaran yang optimal 4) Perspektif pelanggan (1) Jaminan kemanan dan kepastian usaha (2) Pelayanan perizinan di daerah (3) Peningkatan standar kualitas pelayanan
60
Pelanggan Pelayanan perizinan di daerah
Proses Bisnis dan Internal
Rekomendasi usaha ke perbankan/pemberi kredit
Pembelajaran dan Pertumbuhan
Finansial
Gambar 12 Strategic objective.
Peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan
Jaminan keamanan dan kepastian usaha
Peningkatan informasi peluang usaha
Peningkatan standar kualitas pelayanan
Optimalisasi pemanfaatan sdi secara berkelanjutan
Mengoptimalkan jaringan sistem informasi
Pemanfaatan anggaran yang optimal
Penyempurnaan & efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan & pungutan perikanan
Peningkatan kualitas SDM
61
Langkah keempat (Strategic mapping)
Pelanggan
Proses Bisnis dan Internal
Pembelajaran dan Pertumbuhan
Finansial
Gambar 13 Strategic mapping.
Pelayanan perizinan di daerah
Rekomendasi usaha ke perbankan/pemberi kredit
Peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan
Jaminan keamanan dan kepastian usaha
Peningkatan informasi peluang usaha
Peningkatan standar kualitas pelayanan
Optimalisasi pemanfaatan sdi secara berkelanjutan
Mengoptimalkan jaringan sistem informasi
Pemanfaatan anggaran yang optimal
Penyempurnaan & efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan & pungutan perikanan
Peningkatan kualitas SDM
62
Langkah kelima (Performance measures)
Tabel 23 Tujuan, tolok ukur dan target (langkah kelima) Tujuan Pemanfaatan anggaran yang optimal
Tolok Ukur • Penyerapan anggaran terhadap programprogram yang dilakukan Direktorat Peningkatan Kualitas • Jumlah diklat yang SDM diikuti oleh staf Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan • Jumlah staf yang melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi Mengoptimalkan jaringan • Jumlah pelabuhan sistem informasi yang mengirimkan data secara online • Jumlah perusahaan yang menggunakan dan mampu mengirimkan data secara online • Peningkatan jumlah pengguna data dari stakeholder yang terkait Peningkatan peran daerah • Jumlah SDM yang pada proses administrasi dapat mengaplikasikan dan pelayanan perizinan pelayanan perizinan di daerah • Peningkatan nilai PNBP dari perizinan daerah Optimalisasi pemanfaatan • Alokasi jumlah kapal sumberdaya ikan secara yang ditempatkan berkelanjutan sesuai kapasitas sdi di suatu daerah penangkapan ikan Penyempurnaan dan • Jumlah waktu efisiensi perumusan pelayanan perizinan kebijakan proses yang singkat perizinan dan pungutan
Target • Penyerapan anggaran mencapai minimal 85% pertahun anggaran • Tiap sub direktorat rutin per tahun sebagai peningkatan kompetensi sdm • 2 staf per tahun
• Semua PPS dan PPN yang telah memiliki software • 50% dari jumlah perusahaan/ SIUP yang terdaftar di Direktorat Perizinan Usaha Penangkapan Ikan – DKP • IOTC, CCSBT, Asosiasi Perikanan dan stakeholder terkait • 5 orang (bagian alokasi usaha, verifikasi dokumen, tata pengusahaan, penerbitan dokumen dan pemantauan dan evaluasi) • Meningkat 10% • 100 % (optimal)
• 2-3 hari
63
Tabel 23 Lanjutan Tujuan Peningkatan informasi peluang usaha penangkapan ikan Rekomendasi ke perbankan/pemberi kredit untuk pengembangan usaha perikanan tangkap Jaminan keamanan dan kepastian usaha
Peningkatan standar kualitas pelayanan Pelayanan perizinan di daerah
Tolok Ukur • Jumlah daerah penangkapan ikan yang belum melebihi JTB • Ketaatan dalam memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan • Berkurangnya jumlah IUU Fishing
• Tingkat kepuasan pelanggan • Peningkatan jumlah pelayanan perizinan di daerah
Target • Pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai JTB • Peningkatan ketaatan jumlah pemegang SIUP untuk memenuhi kewajibannya • Semakin berkurangnya konflik dan kasus pelanggaran dalam usaha penangkapan ikan • Peningkatan kepuasan pelanggan hingga 80% • Semua kapal ikan yang beroperasi terdaftar/memiliki izin
Ukuran target yang ditetapkan pada tabel diatas adalah tipe best possible. Target ini merupakan target maksimum atau batasan atas dari target yang ingin dicapai. (Luis dan Biromo, 2007).
Langkah keenam (Initiatives) Inisiatif strategis adalah inisiatif-inisiatif yang bersifat strategis, yang disusun dan perlu dilaksanakan untuk mencapai target. Inisiatif strategis yang perlu dimunculkan untuk mencapai target adalah sebagai berikut
Tabel 24 Inisiatif strategis pada masing-masing tujuan (langkah keenam) Tujuan Pemanfaatan anggaran yang optimal
Tolok Ukur • Penyerapan anggaran terhadap program-program yang dilakukan Direktorat
Target • Penyerapan anggaran mencapai minimal 85% pertahun anggaran
Inisiatif • Selektif dalam memilih program yang sesuai dengan visi dan misi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan
64
Tabel 24 Lanjutan Tujuan Peningkatan Kualitas SDM
Mengoptimalkan jaringan sistem informasi
Tolok Ukur • Jumlah diklat yang diikuti oleh staf Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan
Target • Tiap sub direktorat rutin per tahun sebagai peningkatan kompetensi sdm
• Jumlah staf yang melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi • Jumlah pelabuhan yang mengirimkan data secara online • Jumlah perusahaan yang menggunakan dan mampu mengirimkan data secara online
• 2 staf per tahun
• Peningkatan jumlah pengguna data dari stakeholder yang terkait Peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan
• Jumlah SDM yang dapat mengaplikasikan pelayanan perizinan di daerah • Peningkatan nilai PNBP dari perizinan daerah
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan Penyempurnaan dan efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan dan pungutan
• Alokasi jumlah kapal yang ditempatkan sesuai kapasitas sdi di suatu daerah penangkapan ikan • Jumlah waktu pelayanan perizinan yang semakin meningkat
• Semua PPS dan PPN yang telah memiliki software • 50% dari jumlah perusahaan/ SIUP yang terdaftar di Direktorat Perizinan Usaha Penangkapan Ikan – DKP • IOTC, CCSBT, Asosiasi Perikanan dan stakeholder terkait • 5 orang (bagian alokasi usaha, verifikasi dokumen, tata pengusahaan, penerbitan dokumen dan pemantauan dan evaluasi) • Meningkat 10%
• 100 % (optimal)
• 2-3 hari
Inisiatif • Kerjasama dengan institusi pendidikan • Penyediaan beasiswa pada tiap tahun anggaran dari DKP bagi staf Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan • Pelatihan penggunaan sistem informasi bagi stakeholder • Kemudahan akses dan penyediaan data bagi stakeholder • Pengembangan dan penyempurnaan jaringan sistem informasi.
• Pemberdayaan staf daerah di bidang perizinan dan pelayanan usaha perikanan tangkap • Perumusan kembali nilai pungutan yang adil bagi semua pihak • Pemberian delegasi sebagian wewenang proses perizinan pada pemerintah daeah • Perhitungan stok potensi dengan pendekatan yang sesuai • Melakukan evaluasi proses sistem perizinan yang berjalan
65
Tabel 24 Lanjutan Tujuan Peningkatan informasi peluang usaha penangkapan ikan Rekomendasi ke perbankan/pemb eri kredit untuk pengembangan usaha perikanan tangkap Jaminan keamanan dan kepastian usaha
Tolok Ukur • Jumlah daerah penangkapan ikan yang belum melebihi JTB
Target • Pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai JTB
Inisiatif • Perhitungan stok potensi dengan pendekatan yang sesuai
• Ketaatan dalam memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan
• Peningkatan ketaatan jumlah pemegang SIUP untuk memenuhi kewajibannya
• Kerjasama dengan pihak perbankan atau lembaga keuangan lainnya
• Berkurangnya jumlah IUU Fishing
• Semakin berkurangnya konflik dan kasus pelanggaran dalam usaha penangkapan ikan
Peningkatan standar kualitas pelayanan
• Tingkat kepuasan pelanggan
Pelayanan perizinan di daerah
• Peningkatan jumlah pelayanan perizinan di daerah
• Peningkatan kepuasan pelanggan hingga 80% • Semua kapal ikan yang beroperasi terdaftar/memiliki izin
• Kerjasama dengan aparat keamanan laut (Pengawas perikanan, Polisi Air, TNI AL, POSWAKMAS, dll) • Melaksanakan ISO 9001:2008 • Pemberdayaan staf perizinan daerah dari pelatihan yang pernah dilakukan • Pelatihan sistem perizinan kapal ikan bagi staf di daerah secara kontinu
5 PEMBAHASAN 5.1
Penetapan Prioritas Faktor-faktor yang Berperan dalam Perizinan Usaha Penangkapan Ikan
Level aktor Urutan prioritas aktor yang memiliki peran dalam proses perizinan usaha penangkapan ikan adalah DKP (0,621), pemilik usaha (0,165) dan asosiasi perikanan (0,165), dan akademisi (0,048). Berdasarkan hasil tersebut, maka peran DKP tepatnya pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, dalam proses perizinan memiliki peran lebih penting dibanding ketiga aktor lainnya. Pada peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang usaha perikanan tangkap, menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk menerbitkan dan/atau memperpanjang SIUP, SIPI dan/atau SIKPI. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur Jenderal Perikanan Tangkap DKP. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) DKP sebagai institusi yang memberikan pelayanan perizinan usaha penangkapan ikan yang dilakukan di Indonesia, tepatnya pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Pada tahun 2008, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap adalah peringkat ke 6 sebagai unit layanan publik terbaik menurut KPK. Selain sebagai institusi yang memberikan pelayanan, DKP juga memiliki peran menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan melalui pengendalian perizinan usaha perikanan tangkap. Pada proses perizinan peran DKP lebih besar dibandingkan aktor lain.
Hal ini dikarenakan DKP ditunjuk oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan menerbitkan izin usaha, izin kapal penangkap maupun izin kapal pengangkut. Proses perizinan yang dijalankan di DKP berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang usaha perikanan tangkap dan perubahannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009.
Pada Direktorat
Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan terdapat 4 subdirektorat yang
67
berhubungan langsung pada proses perizinan.
Subdirektorat tersebut
adalah alokasi usaha, verifikasi dokumen, tata pengusahaan dan pelayanan penerbitan dokumen, selanjutnya kinerja dari pelaku usaha akan dinilai melalui LKP dan LKU oleh subdirektorat pemantauan dan evaluasi.
Pemilik Usaha Pemilik usaha adalah orang atau badan hukum yang berusaha di bidang perikanan dan menggunakan kapal perikanan. Apabila kapal-kapal yang dimiliki oleh pemilik usaha adalah kapal berukuran 30GT atau lebih, maka wajib memiliki SIUP serta SIPI dan atau SIKPI yang pengajuannya dilakukan melalui Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap – DKP. Sesuai peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang usaha perikanan tangkap pemilik usaha wajib melaporkan hasil kegiatan usahanya kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap setiap 6 bulan sekali, sedangkan laporan kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan pengangkutan ikan wajib dilaporkan setiap 3 bulan sekali.
Kewajiban lain yang harus dipenuhi adalah melaksanakan
ketentuan yang tercantum dalam SIUP, SIPI dan atau SIKPI. Apabila terjadi perubahan rencana usaha dan perubahan data pada surat izin tersebut, maka pemiliki usaha mengajukan permohonan perubahan dan penggantian kepada DKP, demikian juga bila SIUP, SIPI dan atau SIKPI yang dimilikinya rusak atau hilang.
Asosiasi Perikanan Pada Desember 2008, DKP memberlakukan Peraturan Dirjen Perikanan Tangkap Nomor 5364/2008 tentang pemberian rekomendasi dari asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap sebagai persyaratan perizinan usaha perikanan tangkap. Peraturan ini diharapkan dapat menjadi salah satu cara pengawasan dalam manajemen penangkapan ikan dan pemberdayaan asosiasi perikanan. Bagi pengusaha kapal yang tidak memiliki rekomendasi dari asosiasi atau organisasi perikanan
68
tangkap, maka tidak dapat memperpanjang SIPI ataupun SIKPI nya. Asosiasi yang ditunjuk oleh DKP adalah Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI), Asosiasi Pengusaha Non Tuna dan Non Udang Indonesia (ASPINTU), Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (APKPII), Asosiasi Pengusaha Perikanan Nusantara (ASPPEN), Paguyuban Nelayan Mina Santosa (PNMS), Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), Himpunan Pengusaha Perikanan Bitung (HIPPBI), Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion (AP2GB) (Keputusan Direktur Jederal Perikanan Tangkap Nomor KEP.03/DJ-PT/2009),
dan
Himpunan
Nelayan
Seluruh
Indonesia
(Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP.08/DJPT/2009). Pada keputusan tersebut juga diputuskan bahwa asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap wajib melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap kegiatan usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh anggotanya. Ketika anggota melakukan kegiatan usaha perikanan tangkap yang bertentangan dengan peraturan dan undang-undang, maka asosiasi
dapat
menegur,
tidak
memberikan
rekomendasi
bahkan
mengeluarkan dari keanggotaan asosiasinya. Terhitung mulai tahun 2009 sejak ditetapkannnya keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap tersebut, asosiasi usaha dibentuk berdasarkan jenis alat penangkapan ikan. Sehingga asosiasi lebih spesialisasi, mengorganisir kapal-kapal berukuran besar dengan jenis alat tangkap yang sama. Nielsen dan Vedsmand (1997) menyebutkan bahwa tipe organisasi perikanan berdasarkan jenis alat tangkap adalah salah satu tipe organisasi perikanan yang ideal. Organisasi seperti ini memiliki administrasi dan sumber keuangan, dimana memberikan mereka orientasi profesional dan bisnis organisasi sekaligus pada perkembangan manajemen dan pasar. Organisasi ini juga memiliki tujuan yang jelas kedepannya terhadap regulasi perikanan, dimana mereka mendorong efisiensi ekonomi. Untuk mempromosikan strategi mereka, organisasi ini akan menggunakan jaringan yang dimilikinya.
Pada
pembelajaran organisasi ini, interaktif yang tinggi dan penciptaan
69
pengetahuan adalah dua kekuatan dalam hal manajemen perikanan dan pengembangan pasar. Kombinasi struktural yang tinggi dan kemampuan strategi mereka membuat organisasi ini bercita-cita kuat untuk berpartisipasi dalam penataan manajemen bersama (co-management arrangement). Tipe ini mempertimbangkan manajemen bersama sebagai strategi yang memungkinkan untuk mendobrak pengaruh pada proses pengambilan keputusan.
Akademisi Pada kegiatan atau program yang dilakukan oleh DKP, peran akademisi dilibatkan. Hal ini dikarenakan akademisi sebagai salah satu sumber ilmu yang terus berkembang. Tetapi pada proses perizinan usaha penangkapan ikan prioritas akademisi pada tingkat terakhir dikarenakan dalam implementasi proses perizinan tersebut DKP melaksanakan sesuai peraturan menteri.
Pada Undang-undang No.31 tahun 2004 tentang
perikanan pasal 53 bahwa penelitian yang dilakukan oleh perorangan, perguruan tinggi, LSM, dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/atau swasta dapat melakukan kerjasama dengan : a) pelaksana penelitian dan pengembangan; b) pelaku usaha perikanan; c) asosiasi perikanan; dan/atau d) lembaga penelitian dan pengembangan milik asing.
Harapan kedepan dari aktor akademisi bahwa DKP dan
akademisi memiliki peran yang sama tingkatannya sehingga pelaksanaan proses perizinan berdasar pada hasil penelitian baik dari institusi pendidikan maupun dengan DKP (research based).
Level kriteria Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode AHP dari pendapat stakeholder, kriteria biologi menempatkan prioritas pertama, selanjutnya kriteria ekonomi, ekologi dan terakhir adalah sosial.
Hal ini dikarenakan kondisi
sumberdaya ikan yang saat ini sudah mencapai over exploited pada beberapa perairan, sehingga kriteria biologi lebih perlu diperhatikan dibandingkan kriteria lainnya. Kriteria biologi adalah kriteria yang menyangkut mahluk hidup, pada
70
kegiatan
penangkapan
ikan
adalah
sumberdaya
ikan
sebagai
target
penangkapannya, untuk itu keberlangsungan usaha kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan apabila kondisi stok sumberdaya perikanan terjamin. Selanjutnya kegiatan penangkapan ikan diharapkan memberikan keuntungan pada pemilik usaha dan nelayan, sehingga kriteria ekonomi menjadi prioritas kedua. Kegiatan penangkapan yang bertanggung jawab adalah kegiatan penangkapan yang tidak merusak lingkungan, sehingga prioritas selanjutnya adalah kriteria ekologi, dimana lingkungan dan interaksi antara mahluk hidup pada daerah penangkapan tidak terganggu akibat dari kegiatan penangkapan yang dilakukan. terakhir adalah kriteria sosial.
Proritas
Pada kegiatan penangkapan kriteria ini dapat
terwujud apabila pemilik usaha mendapatkan keuntungan atau kriteria ekonomi dapat terwujud, sehingga kriteria sosial berada pada prioritas terkahir.
Level Subkriteria Urutan prioritas pada level sub kriteria adalah menjamin kelestarian sumberdaya ikan, menjamin keuntungan usaha, menyerap tenaga kerja, peningkatan devisa negara selanjutnya adalah pemenuhan kebutuhan protein. Stok sumberdaya ikan yang semakin menurun menyebabkan sub kriteria ini sebagai prioritas pertama yang harus didahulukan, apabila subkriteria ini tidak terpenuhi, maka kegiatan penangkapan ikan tidak dapat dilakukan, sehingga tujuan-tujuan yang akan dicapai seperti menjamin kentungan usaha, penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa dan pemenuhan kebutuhan protein tidak dapat terpenuhi. Pada kondisi sumberdaya yang semakin menipis, DKP melakukan pengendalian perizinan dengan mengaplikasikan sistem alokasi yang diberikan kepada kapal-kapal perikanan yang beroperasi pada suatu perairan berdasarkan potensi masing-masing perairan.
Garza-Gil et al. (1996) menduga regulasi
perikanan berdasarkan fakta bahwa ekonomi perikanan memiliki dua faktor utama yang menentukan yaitu : peraturan biologi dan ekologi yang mempengaruhi populasi ikan dan peraturan institusional yang membatasi aktivitas.
Sistem
alokasi yang ditetapkan DKP sesuai dengan faktor kedua dimana aktivitas dibatasi sesuai kondisi sumberdaya ikan pada masing-masing perairan. Garza-Gil et al.
71
(1996) juga menyebutkan bahwa regulasi alokasi sumberdaya adalah bentuk keterlibatan yang paling mudah. Subkriteria prioritas kedua adalah menjamin keuntungan usaha yang dilakukan. Suatu kegiatan usaha penangkapan ikan diharapkan tidak merugikan pemilik usaha maupun ABK yang bekerja, dengan demikian kegiatan ini dapat menyerap tenaga kerja (prioritas ke tiga). Prioritas selanjutnya adalah keuntungan bagi negara yaitu dalam bentuk peningkatan devisa.
Hasil tangkapan yang
diekspor dengan kualitas yang baik memberikan efek keuntungan bagi negara. Kualitas baik dari hasil tangkapan dipengaruhi oleh kualitas palka yang dimiliki oleh suatu kapal ikan dan penanganannya sejak ikan ditangkap. Sub kriteria yang menjadi prioritas terakhir adalah memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Sub kriteria ini menjadi prioritas
terakhir karena pemenuhan kebutuhan protein bagi masyarakat dapat diperoleh dari selain ikan.
Pemenuhan kebutuhan protein luar negeri dari ikan yang
diekspor terus meningkat dari tahun 2002 sampai 2007 (Tabel 24).
Tabel 25 Ekspor hasil perikanan menurut komoditi utama (2002-2007) Tahun Komoditi (ton) 2002 2003 2004 2005 2006 Udang
2007
124.763
138.588
142.098
153.900
269.329
157.545
92.797
117.092
94.221
90.589
91.822
121.316
28.560
40.162
51.011
69.264
95.588
94.073
Lainnya
319.614
561.929
615.027
544.015
569.736
481.381
Volume (ton)
565.734
857.771
902.357
857.768 1.026.475
854.315
Tuna/cakalang/ Tongkol Rumput laut
Sumber : Data potensi, produksi dan ekspor/impor kelautan dan perikanan (2007). Level faktor Pada level faktor urutan prioritas yang memiliki peran pada usaha perikanan adalah ukuran palka, ukuran GT dan jenis alat tangkap. Ukuran palka menjadi prioritas pada level ini karena dianggap lebih mewakili jumlah hasil tangkapan yang diperoleh atau kemampuan kapal tersebut memberikan penghasilan. Kondisi palka juga mempengaruhi kualitas hasil tangkapan sehingga memberikan nilai yang lebih tinggi ketika sampai di konsumen. Ukuran GT
72
menjadi prioritas kedua karena ukuran GT lebih mewakili kemampuan kapal untuk melakukan kegiatan penangkapannya bukan pada hasil tangkapannya. Prioritas terakhir pada level ini adalah jenis alat tangkap.
Faktor ini lebih
mewakili pada jenis hasil tangkapan yang diperoleh, akan tetapi karena kondisi perairan Indonesia yang memiliki jenis ikan yang besar akan tetapi jumlah yang tidak banyak, maka kemungkinan mendapatkan hasil tangkapan sampingan (by catch) sangat besar.
5.2. Hubungan Produksi dengan Ukuran Kapal dan Ukuran Palka 1) Rasio dimensi utama Rasio dimensi utama berpengaruh terhadap karakteristik kemampuan kapal seperti kecepatan, stabilitas, daya dorong dan sebagainya. Analisis rasio dimensi utama kapal sangat penting dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara desain kapal dan peruntukkannya. Kapal yang menggunakan unit penangkapan purse seine termasuk dalam jenis kapal yang metode pengoperasiannya adalah melingkar (encircling gear), sedangkan pada kapal yang menggunakan unit penangkapan longline dan pancing cumi termasuk ke dalam jenis kapal yang metode pengoperasiannya statis (static gear).
Menurut Iskandar dan Pujiati
(1995) rasio dimensi untuk kapal-kapal ikan di Indonesia adalah sebagai berikut : Tabel 26 Rasio dimensi utama untuk kapal-kapal ikan di Indonesia Jenis kapal menurut metode Rasio Dimensi operasi L/B L/D B/D 2,60 – 9,30 4,55 – 17, 43 0,56 – 5,00 Encircling gear 2,86 – 8,30 7,20 – 15,12 1,25 – 4,41 Towed/Dragged gear 2,83 – 11,12 4,58 – 17,28 0,96 – 4,68 Static gear 2,88 – 9,42 8,69 – 17,55 0,35 – 6,09 Multipurpose Sumber : Iskandar dan Pujiati, 1995. Apabila hasil rasio dimensi utama pada kapal-kapal hasil pengukuran dibandingkan dengan pustaka Iskandar dan Pujiati (1995), hasil rasio dimensi utama kapal-kapal tersebut sudah sesuai. Panjang kapal mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan kekuatan memanjang kapal, sehingga apabila rasio L/B memiliki nilai yang semakin kecil maka kecepatan kapal akan berkurang tetapi stabilitas kapal menjadi lebih baik.
Rasio L/D berpengaruh pada kekuatan
73
memanjang kapal, dimana nilai yang kecil mengindikasikan kekuatan memanjang kapal tersebut lebih baik. Rasio B/D berpengaruh pada stabilitas kapal, apabila nilai rasio ini besar maka stabilitas lebih baik tetapi kecepatan kapal menjadi menurun. Pada kapal purse seine yang termasuk pada jenis kapal yang metode pengoperasiannya melingkar (encircling gear), maka perlu memiliki kecepatan yang baik agar target tangkapan dapat terkejar, selain itu kemampuan berputar (turning ability) dan stabilitas pada kapal purse seine harus besar. Pada GT yang hampir sama yaitu KM. Haiteri Jaya Makmur (GT 83) dengan KM. Sukses Abadi Jaya (GT 80) terlihat bahwa KM. Haiteri Jaya Makmur dengan unit penangkapan purse seine memiliki nilai L/B, L/D dan B/D yang lebih besar dibanding KM. Sukses Abadi Jaya dengan unit penangkapan longline.
Ayodhyoa (1977)
menuliskan bahwa pada kapal purse seine pada saat operasi sering terjadi bahwa bajak crew akan berada pada salah satu sisi kapal, berat crew ditambah dengan berat jaring akan lebih besar pada sisi tersebut, maka diperlukan stability yang besar. Untuk tujuan ini, maka bila dibandingkan dengan berbagai jenis fishing boat lainnya, maka nilai B pada purse seine adalah lebih besar. Depth dari kapal, lebih dikehendaki yang tidak tinggi, karena hal ini akan memudahkan operasi, freeboard yang rendah, juga untuk mencegah agar titik berat kapal jangan naik maka dikehendaki nilai D yang kecil. Kondisi ini sesuai dengan perbandingan KM. Haiteri Jaya Makmur dan KM. Sukses Abadi Jaya.
2) Volume palka dan volume kapal Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 50/MEN/2008 tentang produktivitas memutuskan bahwa produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan memperoleh hasil tangkapan ikan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan : 1) ukuran tonase kapal; 2) jenis bahan kapal; 3) kekuatan mesin kapal; 4) jenis alat penangkap yang digunakan; 5) jumlah trip operasi penangkapan per tahun;
74
6) kemampuan tangkap rata-rata per trip; dan 7) wilayah penangkapan Pada keputusan kedua disebutkan bahwa produktivitas kapal penangkap ikan ditetapkan per Gross Tonnage (GT) per tahun berdasarkan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan per kapal dalam 1 (satu) tahun dibagi besarnya GT kapal yang bersangkutan. Ukuran gross tonnage adalah tonase kotor kapal, dimana tonase adalah kapasitas atau volume ruang kapal yang dinyatakan dalam satuan meter kubik atau ton register, yang dihitung berdasarkan peraturan nasional maupun internasional. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 6 Tahun 2005, disebutkan bahwa tonase kapal adalah volume kapal yang dinyatakan dalam tonase kotor/gross tonnage (GT) dan tonase bersih/net tonnage (NT). Nilai GT dijadikan dasar dalam perhitungan Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP), sedangkan produktivitas sebagai dasar perhitungan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dalam usaha perikanan tangkap. Akan tetapi volume ruang kapal yang menjadi area produksi adalah ruang palka, dimana hasil tangkapan disimpan dan dibawa untuk didaratkan. Ruang palka pada kapal-kapal yang bersandar di PPSJ NZ telah dilapisi dengan menggunakan fiber dan menggunakan pendingin refrigerated brine yang dipompakan melalui pipa, kondisi ini menunjukkan bahwa kapal-kapal tersebut mementingkan kondisi hasil tangkapan yang baik, dimana tujuan hasil tangkapan tersebut adalah untuk ekspor. Berdasarkan perbandingan produksi per volume palka dengan produksi per volume kapal, nilai presentase produksi per volume kapal lebih kecil bila dibandingkan dengan persentase produksi per volume palka. Nilai persentase yang kecil ini dikarenakan nilai volume kapal yang besar. Volume kapal adalah hasil pembagian GT dengan 0,353 bagi kapal yang memiliki panjang lebih dari 24 meter, dan 0,25 bagi kapal yang memiliki panjang kurang dari 24 meter sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 6 tahun 2005 tentang pengukuran kapal. Besaran nilai volume hasil perhitungan tersebut adalah jumlah isi semua ruangan-ruangan tertutup baik yang terdapat di atas geladak maupun di bawah geladak ukur, sedangkan tidak semua ruangan tertutup digunakan sebagai
75
tempat penyimpanan hasil tangkapan, tetapi hanya ruangan tertutup palka yang digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil tangkapan ikan. Perhitungan volume kapal tidak dilakukan dengan menghitung ruangan tertutup baik di atas maupun di bawah dek, hal ini dikarenakan dalam pelaksanaanya sangat sulit mengukur dimensi kapal yang sedang sandar di kolam pelabuhan.
Kendala ini juga dialami oleh pemeriksa cek fisik kapal saat
melakukan cek fisik kapal untuk perpanjangan SIPI dan SIKPI. Kondisi tersebut berbeda dengan perhitungan volume palka yang lebih mudah dilakukan, yang merupakan hasil perkalian panjang sisi-sisi palka, sehingga volume palka dihitung berdasarkan hasil pengukuran. Pengukuran GT secara internasional menurut Purbayanto et al., (2004) menyebutkan bahwa secara teknis, pengukuran ruangan-ruangan yang berbentuk empat persegi tidak terlampau sulit. Lain halnya apabila pengukuran dilakukan terhadap ruangan yang memiliki bentuk tidak beraturan atau ruangan yang berada di bawah geladak kapal, dimana bentuk ruangannya terkadang mengikuti bentuk badan kapal (kasko). Pengukuran ruangan dengan menggunakan MOORSOM, apabila dilakukan dengan menggunakan gambar rencana (lines plans) kapal masih mungkin untuk dilakukan. Hal yang sulit apabila pengukuran GT kapal menurut MOORSOM dilakukan langsung terhadap kapalnya itu sendiri. Kalaupun hal ini dapat dilakukan, akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sedangkan
pengukuran GT dengan cara dalam negeri perhitungan ruangan di atas geladak kapal yang umumnya berbentuk empat persegi tidak berbeda dengan cara pengukuran internasional.
Perbedaanya adalah dalam pengukuran ruangan di
bawah geladak kapal yang mengalikan hasil pengukuran dengan CUNO (Cubic number) dengan faktor f atau Cb kapal.
Hal ini disebabkan karena nilai
kegemukan badan kapal di bawah geladak ukur sangat bervariasi ditinjau dari bentuk midship area-nya. Kondisi kegemukan kapal menjadi kendala dalam perhitungan GT dengan cara dalam negeri, karena kegemukan kapal tidak dapat terlihat jelas jika kapal dalam keadaan sandar di kolam pelabuhan. Nilai Cb yang tidak akurat akan memberikan hasil perhitungan GT yang tidak sesuai.
Dari hasil penelitian
Iskandar dan Pujiati (1995), setelah dikelompokkan berdasarkan metode
76
pengoperasian alat tangkap diketahui bahwa nilai Cb untuk kelompok kapal yang mengoperasikan alat tangkap static gear (seperti kapal gillnet), encircling gear (seperti kapal purse seine) dan towed gear (seperti kapal pukat udang) masingmasing berkisar antara 0,39 – 0,70; 0,56 – 0,67 dan 0,40 – 0,60. Untuk melihat kecenderungan produksi terhadap ukuran palka dan ukuran kapal, dilakukan plot grafik produksi per volume kapal dan produksi per volume palka. Apabila hasil plot berada pada garis yang dibentuk, maka pengaruh ukuran palka dan pengaruh ukuran kapal adalah sama. Pada grafik menunjukkan bahwa produktivitas cenderung pada axis y yaitu produksi per volume palka. Maka berdasarkan hasil tersebut, produktivitas lebih dipengaruhi oleh ukuran palka, bukan ukuran kapal. Penggunaan GT sebagai parameter pada pungutan perikanan memiliki beberapa kelemahan, dan kondisi tersebut dapat diatasi apabila parameter tersebut adalah ukuran palka. Berikut perbandingan dari kedua parameter tersebut.
Tabel 27 Perbandingan pungutan berbasis GT dan palka Pungutan berbasis GT - saat cek fisik pemeriksaan ukuran tidak bisa dilakukan pada kapal yang sedang sandar di kolam pelabuhan, kondisi kapal harus diluar kolam pelabuhan, atau dengan melihat lines plan kapal tersebut - tidak mewakili nilai produksi kapal ikan - pengukuran GT di Indonesia berbeda dengan pengukuran GT internasional, sehingga tidak dapat diaplikasikan pada kapal-kapal asing - pengukuran GT tidak dilakukan oleh DKP, sehingga apabila saat verifikasi terdapat perbedaan ukuran, sulit untuk merevisi surat ukur yang telah ada
Pungutan berbasis palka - dapat dilakukan pada kapal yang sedang sandar di kolam pelabuhan
- lebih mewakili/representatif terhadap produksi kapal ikan - tidak terdapat perbedaan pengukuran palka Indonesia maupun internasional, dapat diaplikasikan pada kapal-kapal asing - DKP dapat menerbitkan surat ukur palka tanpa bergantung dengan instansi lain, sehingga apabila terdapat revisi ukuran palka, dapat dilakukan dengan lebih mudah
77
5.3 Kebijakan dan Kelembagaan 1) Kebijakan Berbagai kebijakan nasional menjelaskan secara rinci perihal perizinan usaha penangkapan ikan.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah
memberikan perhatian pada usaha penangkapan ikan dan perizinannya. Beberapa kebijakan nasional menjelaskan alasan perlunya perizinan usaha penangkapan ikan seperti IUP atau SIUP, SIPI maupun SIKPI. Kebijakan tersebut meliputi UU RI No.5 tahun 1983 tentang Zona Eksklusif Indonesia (ZEEI), PP RI No.15 tahun 1984 tentang pengelolaan sumberdaya alam hayati di ZEEI dan UU RI No.31 tahun 2004 tentang perikanan. Setiap usaha perikanan tangkap ataupun kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu badan usaha maupun perorangan diwajibkan untuk memiliki izin usaha penangkapan, akan tetapi pengecualian kepemilikan izin tersebut berlaku bagi nelayan kecil (UU RI No.31 tahun 2004 tentang perikanan).
Pada PP No.54 tahun 2002 tentang usaha perikanan
dijelaskan bahwa pengecualian tersebut diberlakukan pada penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan sebuah kapal perikanan tidak bermotor atau menggunakan motor luar atau motor dalam berukuran tertentu. Pengertian tentang izin usaha penangkapan ikan maupun surat-surat izin penangkapan dan pengangkutan banyak disebutkan pada kebijakan nasional, meliputi UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan, PP nomor 54 tahun 2002 tentang usaha perikanan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2003 tentang perizinan usaha penangkapan ikan, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.12/MEN/2002 tentang pendaftaran ulang perizinan usaha penangkapan ikan tahap kedua dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor PER.05/MEN/2008. Pelaksanaan izin usaha penangkapan ikan termasuk didalamnya tatacara penerbitan perizinan, masa berlaku dan pencabutan izin disebutkan pada UU RI No.31 tahun 2004 tentang perikanan, PP RI No.15 tahun 1984 tentang pengelolaan sumberdaya alam hayati di ZEEI, PP RI No.54 tahun 2002 tentang usaha perikanan, Keputusan Menteri Nomor 45 tahun 2000 tentang Perizinan Usaha
Perikanan
yang
direvisi
menjadi
Keputusan
Menteri
Nomor
KEP.10/MEN/2003 tentang perizinan usaha penangkapan ikan, Keputusan
78
Menteri Nomor KEP.46/MEN/2001 tentang pendaftaran ulang perizinan usaha penangkapan
ikan
yang
direvisi
menjadi
Keputusan
Menteri
Nomor
KEP.12/MEN/2002 tentang pendaftaran ulang perizinan usaha penangkapan ikan tahap
kedua
dan
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.05/MEN/2008 yang direvisi menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009.
Tata cara penerbitan izin usaha
penangkapan ikan yang saat ini dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai lembaga yang menerbitkan izin tersebut, melaksanakannya berdasarkan
pada
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.05/MEN/2008 dan perubahan peraturan tersebut Nomor PER.12/MEN/2009. Perizinan usaha penangkapan ikan sangat erat kaitannya dengan pungutan perikanan. Beberapa kebijakan nasional yang menyebutkan tentang pungutan perikanan terdapat pada UU RI No.31 tahun 2004 tentang perikanan, PP No.15 tahun 1984 tentang pengelolaan sumberdaya alam hayati di ZEEI, PP No. 54 tahun 2002 tentang usaha perikanan, PP No.19 tahun 2006 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Keputusan Menteri Nomor KEP.45/MEN/2001 tentang tatacara pemungutan perikanan yang terutang. Jenis-jenis pungutan dijelaskan pada PP RI No.54 tahun 2002 tentang usaha perikanan yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pungutan bagi perusahaan perikanan Indonesia yang terdiri dari Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan pungutan bagi perusahaan perikanan asing yang disebut dengan Pungutan Perikanan Asing. Pada dasarnya pembuatan peraturan/regulasi pemerintah terhadap izin usaha perikanan merupakan sarana untuk mengakomodasi kebutuhan para pengusaha dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan Indonesia dengan manajemen atau pengelolaan yang bertanggungjawab.
Beberapa penelitian
tentang penerapan regulasi perikanan sudah banyak dilakukan.
Diantaranya
Nunes, Silvestri, Pellizzato dan Boatto (2008) yang melakukan penelitian regulasi aktivitas perikanan berdasarkan studi sosial ekonomi di Venice, Italy.
Hasil
estimasi menunjukkan bahwa nelayan bersifat terbuka terhadap inisiatif regulasi yang dikarakterisasi oleh : (1) melarang aktivitas perikanan di malam hari, (2) alokasi area konsesi perikanan untuk setiap nelayan dengan cara meminimalkan
79
jarak antara daerah penangkapan ikan dan pelabuhan dan (3) memperkenalkan mekanisme labelling yang mensertifikasi keaslian produk. Penelitian yang dilakukan oleh Laxe (2006) pada kesimpulan hasil penelitiannya
tentang
pemindahan
hak
perikanan
menyebutkan
bahwa
pemindahan kuota penangkapan individual hanya menunjukkan dorongan terhadap keputusan ekonomi, pelaku produksi adalah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap eksploitasi perikanan, dan hal tersebut menarik perhatian bahwa keuntungan akan diperoleh jika pelaku melakukan yang semestinya pada proses penangkapan dan produk sebagai pemasok pasar. Sebagai konsekuensinya, hak perikanan individual yang dapat dipindahkan mendefinisikan eksklusifitas dan kelengkapan, tetapi tidak menjamin sepenuhnya efisiensi dan keberlanjutan ekslpoitasi perikanan.
2) Kelembagaan (1) Pengukuran Kinerja Direkorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dengan pendekatan Balanced Scorecard Pada
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.05/MEN/2008 tentang usaha perikanan tangkap pasal 19 disebutkan bahwa Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk menerbitkan dan/atau memperpanjang SIUP, SIPI dan/atau SIKPI dengan mempertimbangkan ketersediaan daya dukung sumber daya ikan dan lingkungannya. DKP sebagai institusi yang menerbitkan dan/atau memperpanjang SIUP, SIPI dan/atau SIKPI, maka perlu dilakukan penilaian kinerja dan perancanaan strategi untuk melaksanakan proses perizinan berdasarkan ukuran palka. Penilaian dilakukan dengan metode Balanced Scorecard yang membagi menjadi 4 perspektif yaitu pembelajaran dan pertumbuhan, proses bisnis internal, finansial dan pelanggan.
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Jumlah staf pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP yang terkait dengan proses perizinan adalah sebanyak 53 orang yang terdiri dari 20 orang lulusan bidang perikanan dan sisanya adalah non perikanan (manajemen,
80
teknik, dan administrasi) yang menunjang proses pelayanan perizinan usaha penangkapan ikan. Berdasarkan hasil kuesioner karyawan yang merasakan cukup puas sampai sangat puas dengan kesempatan mengikuti pelatihan dan menggunakan kemampuan yang dimiliki lebih dari setengah jumlah karyawan di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan, sedangkan staf yang menyatakan tidak puas dengan kesempatan mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan perizinan sebesar 1,92% dan kesempatan melakukan pekerjaan menggunakan kemampuan yang dimiliki sebesar 3,85%.
Dalam rangka meningkatkan kompetensi staf dalam
bidang perizinan, Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan rutin melakukan kegiatan peningkatan sumberdaya manusia perizinan usaha perikanan tangkap. Kegiatan ini mulai dilaksanakan pada tahun 2003 dan rutin dilaksanakan tiap tahunnya. Pelatihan ini ditujukan bagi staf perizinan pusat yang ada di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan maupun yang ada di daerah. Beberapa yang memberikan respon tidak puas pada kesempatan mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan perizinan dikarenakan pelatihan yang dilakukan berdasarkan penunjukan
pimpinan
dengan
pertimbangan-pertimbangan
diungkapkan secara transparan kepada staf lainnya
yang
tidak
Hal lain yang berkaitan
dengan pelatihan tersebut bahwa dalam pelaksanaannya seharusnya Direktorat melakukan komunikasi dengan pusat pelatihan DKP, sehingga kebutuhankebutuhan kompetensi yang dianggap perlu pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dapat terakomodasi baik.
Sedangkan bagi staf yang
memberikan respon cukup puas, puas dan sangat puas merasakan bahwa kesempatan mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan perizinan sudah sesuai dengan kebutuhan kompetensi tiap sub direktorat. Pada indikator kesempatan melakukan pekerjaan menggunakan kemampuan yang dimiliki, sebagian kecil mengatakan tidak puas dikarenakan ketidaksesuaian kemampuan dengan pekerjaan yang dijalani, sedangkan staf yang memberikan jawaban cukup puas hingga sangat puas merasakan bahwa kesempatan tersebut sudah sesuai. Indikator pengukuran partisipasi staf rata-rata sudah puas terhadap kesempatan bekerja sama dengan teman, kesempatan menjadi bagian penting dalam kelompok kerja, jumlah teman yang terlibat dalam setiap proses perizinan,
81
kesibukan sepanjang waktu kerja, kesempatan bekerja sendiri menyelesaikan pekerjaan, kesempatan menjadi bagian penting dalam kelompok kerja dan kesempatan mengembangkan karir.
Partisipasi staf dalam pekerjaan sangat
berpengaruh terhadap keharmonisan suasana kerja.
Berdasarkan pengukuran
indikator-indikator partisipasi staf, semua sudah merasakan kepuasan partisipasi pada setiap pekerjaan yang dilakukan, baik bekerja sama ataupun bekerja sendiri. Pada indikator pengukuran riset dan pengembangan proses perizinan masih terdapat beberapa staf yang merasakan tidak puas.
Indikator pengukuran
kesempatan melakukan penelitian yang berkaitan dengan perizinan dan indikator jumlah penelitian yang berkaitan dengan proses perizinan hanya sebagian kecil yang merasakan tidak
puas, hal ini dibuktikan dari jumlah penelitian yang
dilakukan DKP dalam rangka proses perizinan usaha perikanan masih kurang dilakukan. Hasil penelitian yang terkait adalah perhitungan produktivitas kapal kaitannya dengan pungutan pada kapal-kapal ikan yang beroperasi.
Hasil
penelitian tersebut merupakan hasil kajian Direktorat Kapal dan Alat Penangkap Ikan DKP. Sedangkan bagi staf yang merasakan cukup puas, puas dan sangat puas memiliki alasan bahwa Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan bukanlah direktorat teknis yang melakukan penelitian, sehingga masih dikatakan wajar bila direktorat ini memiliki jumlah penelitian sedikit yang berkaitan dengan proses perizinan itu sendiri.
Perspektif proses bisnis internal Kebutuhan utama dari para pengusaha perikanan adalah pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia dan ZEEI, akan tetapi DKP memandang bahwa pemanfaatan tersebut harus pada kondisi yang optimal oleh pengguna izin yang bertanggung jawab dan melaksakan kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan CCRF. Dalam rangka pemanfaatan sumberdaya, pengusaha diwajibkan memiliki izin usaha dan kegiatan penangkapan dan pengangkutan.
Atas
penunjukan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, maka DKP menerbitkan izin tersebut. Bagi pengusaha yang berlokasi disekitar atau dekat dengan Jakarta, maka pengajuan izin dapat dilakukan di DKP pusat yang berlokasi di Jl. Medan Merdeka Timur No.16 lt.9 Jakarta Pusat, sedangkan bagi pengusaha yang
82
berlokasi di luar daerah, Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan memiliki program perbantuan proses pelayanan perizinan pusat di daerah yang dilaksanakan rutin setiap tahun. Hingga saat ini sudah dilaksanakan di 7 Dinas Propinsi meliputi : NAD; Kepri; Jateng, Jatim; Bali; Sulut; Papua, serta 14 UPT Pelabuhan Perikanan yaitu : PPS. Belawan; Cilacap; Bitung; Kendari; Bungus; PPN. Sibolga; Pekalongan; Ambon; Tj. Pandan; Kejawanan; Prigi; Pemangkat; Tual dan PPP Sorong. Kebutuhan para pengusaha dalam rangka memenuhi kewajibannya adalah melaporkan
hasil
www.perizinan.dkp.go.id
kegiatan
usahanya.
memberikan
DKP
kemudahan
akses
melalui pelaporan
website LKU
(Laporan Kegiatan Usaha) dan LKP (Laporan Kegiatan Penangkapan Ikan dan Pengangkutan/Pengumpulan Ikan), dimana komputer yang digunakan harus dilakukan instalasi aplikasi yang terdiri dari Dot Net Framework versi 1.1 dan Microsoft Data Access Component versi 2.7. Pada website tersebut juga dapat diunduh Petunjuk Penggunaan Sistem Aplikasi Pelaporan Kegiatan Usaha Perikanan Tangkap dalam bentuk Pdf. Saat ini sistem pelaporan yang dibuat oleh Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan berbasis web, pada tahun 2007 sudah dilakukan instal di 9 Pelabuhan yaitu Bungus, Ternate, Kendari, Pemangkat, Kejawanan, Ambon, Bitung, Sibolga dan Pekalongan, akan tetapi sistem pelaporan ini belum berjalan dengan optimal. Bentuk sistem pelaporan lain yang dilakukan DKP adalah Logbook Penangkapan dan Pengangkutan Ikan di Indonesia melalui Direktorat Sumberdaya Ikan – DKP. Mekanisme penyerahan logbook adalah sebagai berikut : 1) Nakhoda kapal penangkap atau penangkut ikan mengambil logbook dari Petugas Pelabuhan atau Dinas Perikanan Kabupaten/Kota 2) Nakhoda kapal wajib mengisi logbook dan menyerahkan kepada petugas pelabuhan/Dinas Perikanan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disampaikan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap melalui Direktur Sumberdaya Ikan 3) Data logbook dianalisa dan hasil analisa disampaikan kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan diteruskan kepada KOMNASJISKAN
83
Pada proses penyelesaian perizinan SIPI dan SIKPI, DKP melakukan cek fisik kapal untuk mengetahui kebenaran keterangan pemohon pada kelengkapan dokumen dengan kondisi kapal. Cek fisik dilakukan oleh tim pemeriksa cek fisik kapal yang ditunjuk oleh Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan. Apabila hasil cek fisik dengan kondisi kapal sudah sesuai, maka proses selanjutnya diteruskan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan untuk menerbitkan SIPI atau SIKPI. Sedangkan proses perizinan usaha atau SIUP, DKP melakukan perhitungan alokasi sumberdaya pada perairan yang menjadi tujuan penangkapan dan pemeriksaan aset usaha. DKP sebagai salah satu institusi yang bertanggung jawab terhadap manajemen pengelolaan perikanan, sehingga untuk menjaga pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, DKP melakukan pengendalian perizinan. Aspek pelayanan setelah surat izin diterima tidak ada pada Direktorat ini. Tetapi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dapat melakukan pencabutan izin. Berdasarkan data jumlah kapal ikan Indonesia yang dicabut semakin meningkat sejak tahun 2005. Izin SIPI dan SIKPI dapat dicabut jika : 1) Pelanggaran : dapat berupa rekomendasi Ditjen P2SDKP, putusan pengadilan, rekomendasi POLRI, pemalsuan dokumen, rekomendasi AL atau masuk daftar IUU Fishing 2) Permintaan pengusaha : kebakaran, tenggelam, kapal dijual, rugi operasi, kapal rusak atau izin dikembalikan 3) Tertib administrasi : tidak menyampaikan laporan LKU/LKP, atau masa berlaku telah habis.
Perspektif finansial Perjanjian bilateral/Billateral Arrangement (BA) dengan negara asing dilakukan DKP dengan tiga negara yaitu RRC, Thailand dan Philipina. Keuntungan perizinan dengan lisensi memberikan keuntungan peningkatan nilai devisa dari pungutan perikanan kapal asing. Kerugiannya adalah menyebabkan armada nasional tidak berkembang, dominannya tenaga kerja asing serta pengurasan SDI terutama di wilayah perairan tempat beroperasinya kapal ikan asing. BA antara pemerintah RI dengan Philipina telah berakhir pada tanggal 3
84
Desember 2005 dan BA antara pemerintah RI dengan Thailand telah berakhir sejak tanggal 16 September 2006 dan dilanjutkan dalam bentuk joint venture, sewa atau impor kapal oleh PMA atau perusahaan swasta nasional yang menggunakan eks kapal lisensi (eks. Kapal Ikan berbendera Thailand) sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri 17/MEN/2006. Perjanjian BA antara pemerintah RI dengan RRC berakhir pada Juli 2007. Berhentinya perjanjian Billateral Arrangement dengan ketiga negara tersebut menyebabkan menurunnya penerimaan pungutan perikanan dari kapal ikan asing (Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan). Sumber keuangan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan berasal dari APBN yang diberikan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, DKP. Dalam melaksanakan proses perizinan SIUP, SIPI dan SIKPI Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP tidak memungut upah atau bayaran dari pengguna izin. Cavaluzzo (2002) dalam penelitiannya tentang kompetisi, tuntutan biaya pelayanan, dan performa pekerjaan pemerintah yang bertujuan menguji dampak kompetisi, tuntutan biaya pelayanan pada efisiensi dan kualitas pelayanan pemerintah menemukan bahwa tuntutan biaya pelayanan saja pada pemerintah tidaklah cukup untuk memotivasi peningkatan performa pekerjaan.
Perspektif Pelanggan. Pelanggan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP atau pelaku usaha perikanan tangkap dengan kapal ikan berukuran lebih dari 30 GT dan mesin lebih dari 90 DK. - Kelompok tangibility Tanggapan responden terhadap kemudahan dalam menjangkau letak/lokasi kantor dan ketersediaan tempat parkir serta pengamanan lingkungan kantor menyatakan puas mencapai 57,1% dan menyatakan sangat puas mencapai 42,9%. Akses untuk menuju kantor DKP yang terletak di Jl. Medan Merdeka Timur No.16 Jakarta Pusat dapat diakses dengan menggunakan angkutan umum kereta dan bus umum, sedangkan untuk mencapai lokasi kantor Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang terletak di lantai 9, disediakan lift dan tanggga yang cukup memadai.
Beberapa responden merasakan sangat puas dengan
85
kemudahan akses dengan menggunakan kereta, karena mereka juga pengurus kapal yang sedang sandar di PPSJ NZ untuk pemeriksaan cek fisik kapal. Tanggapan responden terhadap penampilan kantor dan kenyaman serta kebersihan ruang tunggu menyatakan cukup puas 14,3%, puas 52,4% dan sangat puas 33,3%. Pada ruang tunggu disediakan sofa dan tempat duduk untuk para pengurus izin. Air conditioner yang disediakan berfungsi dengan baik, sehingga pengurus izin merasa nyaman. Tanggapan responden terhadap ketersediaan fasilitas kantor dan informasi pelayanan di ruang tunggu menyatakan cukup puas 23,8% dan puas 76,2%. Pada ruang tunggu dipasang alur/tahapan pembuatan SIUP, SIPI dan SIKPI maupun perpanjangannya, sehingga pengurus izin dapat mengetahui alur yang akan dilakukannya. Pada tabel analisis tingkat kepuasan pelanggan pada kelompok tangibility, nilai skor persepsi rata-rata lebih rendah dibandingkan skor harapan pelanggan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pelayanan bidang tangibility belum memenuhi harapan responden. Akan tetapi tingkat kepuasan pada kelompok ini mencapai 96,66% dimana nilai persepsi hampir menyamai nilai harapan pelanggan.
- Kelompok reliability Tanggapan responden terhadap pelayanan penyelesaian pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya menyatakan tidak puas 28,6%, cukup puas 28,6% dan puas 42,9%.
Proses penyelesaian dokumen/izin di Direktorat
Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan mencapai 3-4 hari dengan asumsi tidak ada kekurangan persyaratan. Bebarapa pelanggan menyatakan tidak puas, mereka berharap pengajuan dapat tetap di proses seiring persyaratan kelengkapan dipenuhi. Pasal 22 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan republik Indonesia Nomor PER.12/MEN/2009 tentang tata cara penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap menyebutkan 4 pasal yang terkait dengan persyaratan pengajuan SIPI/SIKPI/SIUP sebagai berikut : (1) Untuk memperoleh SIUP, setiap orang atau badan hukum Indonesia wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan SIUP kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
86
1}
rencana usaha perikanan tangkap atau proposal rencana usaha perikanan tangkap terpadu, bagi orang atau badan hukum Indonesia;
2}
fotokopi akte pendirian perusahaan berbadan hukum/koperasi yang menyebutkan bidang usaha perikanan yang telah disahkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pengesahan badan hukum/koperasi;
3}
fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) pemilik kapal atau penanggungjawab perusahaan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4}
pas foto berwarna terbaru pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan sebanyak 2 (dua) lembar, ukuran 4 x 6 cm;
5}
surat keterangan domisili usaha;
6}
speciment tanda tangan pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan; dan
7}
surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan;
(2) Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan SIPI kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan : 1}
fotokopi SIUP;
2}
fotokopi grosse akte atau buku kapal perikanan yang asli, surat ukur dan surat kelaikan;
3}
rekomendasi hasil pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan dan alat penangkapan ikan dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
4}
fotokopi KTP pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan sebagaimana tersebut dalam SIUP yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
5}
fotokopi risalah lelang yang telah disahkan pejabat yang berwenang, bagi kapal yang diperoleh melalui lelang;
6}
rekomendasi dari asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap setempat yang terdaftar di Departemen Kelautan dan Perikanan; dan
7}
surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan.
87
(3)
Setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan mengoperasikan kapal penngangkut ikan berbendera Indonesia, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan SIKPI kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
1}
fotokopi SIUP;
2}
fotokopi grosse akte atau buku kapal perikanan yang asli, surat ukur dan surat kelaikan;
3}
rekomendasi hasil pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan dan alat penangkapan ikan dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
4}
fotokopi KTP pemilik kapal atau penanggung jawab perusahaan sebagaimana tersebut dalam SIUP yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
5}
fotokopi risalah lelang yang telah disahkan pejabat yang berwenang, bagi kapal yang diperoleh melalui lelang;
6}
rekomendasi dari asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap setempat yang terdaftar di Departemen Kelautan dan Perikanan; dan
7}
surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan.
(4)
Perusahaan perikanan atau perusahaan bukan perusahaan perikanan berbadan hukum Indonesia yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan SIKPI kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan :
1}
fotokopi SIUP atau surat izin usaha pelayaran angkutan laut yang dikeluarkan oleh instanasi yang berwenang;
2}
cetak biru gambar rencana umum kapal;
3}
fotokopi paspor atau buku pelaut (seaman book) bagi nakhoda;
4}
fotokopi surat penunjukan keagenan atau fotokopi surat perjanjian sewa kapal;
5}
fotokopi akte pendirian perusahaa bagi perusahaan bukan perusahaan perikanan;
6}
spesifikasi teknis kapal;
7}
fotokopi surat ukur internasional;
88
8}
fotokopi surat tanda kebangsaan kapal;
9}
rekomendasi hasil pemeriksaan fisik kapal dari pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan oleh petugas pemeriksa fisik kapal;
10} rekomendasi pengawakan tenaga kerja asing; 11} fotokopi KTP atau paspor pemilik kapal atau penangggung jawab perusahaan; 12} pas foto berwarna terbaru nakhoda sebanyak 2 (dua) lembar, ukuran 4 x 6 cm; dan 13} surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang disampaikan. Beberapa
responden
menyatakan
ketidakpuasan
dalam
kecepatan
pelayanan penyelesaian pembuatan perpanjangan SIPI/SIKPI dikarenakan kapal yang sedang beroperasi harus kembali ke pelabuhan pangkalannya untuk melakukan cek fisik kapal. Tanggapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan perbaikan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP jika terdapat kesalahan menyatakan tidak puas 14,3%, cukup puas 42,9% dan puas 42,9%. Beberapa responden yang menyatakan tidak puas mendapat pengalaman perihal kesalahan penulisan pada pengajuan yang berakibat kesalahan penulisan pada dokumen/surat izin, untuk memperbaikinya, pelanggan diminta untuk mengajukan kembali dengan memenuhi persyaratan sesuai peraturan Menteri Nomor PER.12/MEN/2009 pasal 22, sementara responden yang menyatakan cukup puas dan puas merasakan kecepatan pelayanan perbaikan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perpanjangannya jika terdapat kesalahan adalah wajar dan dapat ditolerir. Tanggapan
pelanggan
terhadap
kecepatan
pelayanan
pembayaran
pungutan perikanan menyatakan cukup puas 14,3%, puas 42,9% dan sangat puas 42,9%. Pembayaran pungutan perikanan tidak dilakukan di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, tetapi pada bank persepsi yaitu Bank Mandiri. Proses pembayaran dapat diselesaikan dalam beberapa jam, akan tetapi kendala nya tidak semua bank mandiri dapat melakukan proses pembayaran pungutan.
89
Pada tabel analisis tingkat kepuasan pelanggan pada kelompok reliability, nilai skor persepsi rata-rata lebih rendah dibandingkan skor harapan pelanggan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pelayanan bidang reliability belum memenuhi harapan responden. Tingkat kepuasan pada kelompok ini adalah 71,4%. Nilai ini dianggap masih jauh dalam memenuhi harapan pelanggan.
- Kelompok responsiveness Tanggapan pelanggan terhadap respon Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP dalam menanggapi pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya menyatakan cukup puas 71,4% dan puas 28,6%.
Bagian
penerimaan pengajuan dilakukan di loket dimana setiap harinya selalu ada yang bertugas menerima pengajuan dari pelanggan. Tanggapan responden terhadap respon Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan
Ikan
DKP
dalam
menanggapi
kesalahan
pembuatan
SIPI/SIKPI/SIUP dan perubannya menyatakan cukup puas 71,4% dan puas 28,6%.
Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP segera
memperbaiki dokumen jika terdapat kesalahan, tetapi apabila kesalahan dikarenakan kesalahan penulisan dari pelanggan, maka pengajuan proses perizinan harus diulang kembali. Pada tabel analisis tingkat kepuasan pelanggan pada kelompok responsiveness, nilai skor persepsi rata-rata lebih rendah dibandingkan skor harapan pelanggan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pelayanan bidang
responsiveness belum memenuhi harapan responden.
Tingkat kepuasan pada
kelompok ini adalah 80%. Nilai ini mendekati harapan pelanggan.
- Kelompok assurance Tanggapan responden terhadap keramahan staf dalam memberikan pelayanan menyatakan cukup puas 42,9% dan puas 57,1%. Sedangkan tanggapan responden terhadap penampilan fisik, kesopanan dan kebersihan karyawan yang memberikan pelayanan dan tanggapan terhadap pengetahuan dan ketrampilan staf yang memberikan pelayanan masing-masing menyatakan puas 100%.
90
Tanggapan responden terhadap jaminan ketepatan perhitungan pungutan menyatakan cukup puas 85,7% dan puas 14,3%. Pada kondisi tersebut beberapa responden belum mengetahui bahwa simulasi perhitungan telah disediakan melalui web perizinan, sedangkan responden yang lain telah mengetahui bagaimana cara perhitungan pungutan PPP dan PHP.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden menyatakan bahwa perhitungan berdasarkan GT tidak mewakili sepenuhnya terhadap hasil tangkapan kapal, akan tetapi lebih mewakili besarnya ukuran kapal.
Pelanggan membayar PPP dan PHP
berdasarkan pada Surat Perintah Pembayaran (SPP) yang diterbitkan oleh Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Selanjutnya bukti pembayaran diserahkan kembali ke Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan sebagai salah satu syarat kelengkapan dokumen. Pada tabel analisis tingkat kepuasan pelanggan pada kelompok assurance, nilai skor persepsi rata-rata lebih rendah dibandingkan skor harapan pelanggan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pelayanan bidang assurance belum memenuhi harapan responden. Akan tetapi nilai persepsi mendekati nilai harapan pelanggan dengan tingkat kepuasan 91,95%.
- Kelompok emphaty Tanggapan responden terhadap adanya prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, mudah dan jelas untuk setiap jenis pelayanan menyatakan tidak puas 61,9%, cukup puas 23,8% dan puas 14,3%. Pelanggan menyatakan tidak puas dikarenakan belum adanya kejelasan lamanya proses pada tiap tahap, sehingga tidak jarang setelah beberapa hari pengajuan dimasukkan mereka kembali ke Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dan menunggu informasi penyelesaian dokumen perizinan yang mereka urus. Tanggapan responden terhadap kemudahan komunikasi dan hubungan secara langsung menyatakan tidak puas 57,1%, cukup puas 23,8% dan puas 19%. Kemudahan komunikasi dan hubungan secara langsung dengan staf Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dirasakan tidak puas oleh beberapa responden tentang tahapan penyelesaian dokumen perizinan, sedangkan responden yang menyatakan puas dan cukup puas dalam melakukan komunikasi dan hubungan
91
secara langsung berpendapat bahwa informasi proses pengajuan dokumen dilakukan dengan baik oleh Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Tanggapan responden terhadap kemudahan mendapatkan informasi melalui media menyatakan sangat tidak puas 47,6%, tidak puas 23,8% dan puas 28,6%.
Responden yang menyatakan sangat tidak puas dan tidak puas
memberikan argumen bahwa mereka tidak pernah mendapatkan informasi penyelesaian dokumen perizinan melalui telepon atau media lainnya. Mereka harus datang ke Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan beberapa hari sekali untuk mengetahui apakah proses perizinan yang diajukan telah selesai atau belum.
Responden yang menyatakan puas dengan kemudahan mendapatkan
informasi melalui media karena mereka sangat aktif menanyakan melalui telepon ke Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Pada tabel analisis tingkat kepuasan pelanggan pada kelompok emphaty, nilai skor persepsi rata-rata lebih rendah dibandingkan skor harapan pelanggan. Kondisi ini menunjukkan bahwa pelayanan bidang emphaty belum memenuhi harapan responden. Tingkat kepuasan pada kelompok emphaty termasuk rendah yaitu 56,97%.
Analisis Hasil Kinerja Keseluruhan Hasil kinerja pada masing-masing perspektif diberi pembobotan dimana faktor sebab (finansial dan permbelajaran dan pertumbuhan) masing-masing 20% dan akibat (proses bisnis internal dan pelanggan) masing-masing 30%. Hasil analisis kinerja secara keseluruhan menunjukkan nilai 3,34 atau cukup. Kondisi ini menunjukkan bahwa Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan harus melakukan inisiatif-inisiatif agar target tercapai dan visi dan misi dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dapat diwujudkan.
(2) Perancangan strategi dengan Metode Balanced Scorecard Luis dan Biromo (2007) mendefiniskan Balanced Scorecard sebagai suatu alat manajemen kinerja (performance management tool) yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan visi dan strategi ke dalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan non-finasial yang kesemuanya
92
terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat. Peran Balanced Scorecard adalah sebagai penerjemah atau pengubah (converter) visi dan strategi menjadi aksi. Strategi, atau cara untuk mencapai tujuan, yang dibuat pada metode ini berdasarkan fungsi pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dan kondisinya saat ini dengan membandingkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang merupakan input atau penyebab akan berdampak pada faktor eksternal atau outputnya. Hasil perbandingan faktor eksternal dan internal dari kondisi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan DKP, selanjutnya strategi yang dihasilkan dibuat ke dalam peta strategi. Pada peta strategi dilakukan proses identifikasi garis hubungan sebab akibat (cause and effect linkage) diantara sasaran strategis yang telah disusun untuk membentuk peta strategi (Luis dan Biromo, 2007). Sumber keuangan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan hanya berasal dan ditentukan oleh Direktorat Jendral Perikanan Tangkap – DKP. Dana yang diperoleh digunakan untuk membiayai kegiatan dan program yang dilakukan oleh direktorat ini.
Tujuan pada perspektif finansial adalah
pemanfaatan anggaran yang optimal agar kegiatan-kegiatan pada proses bisnis internal, kegiatan pertumbuhan dan pembelajaran dan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pengguna izin dapat dilaksanakan, sehingga ukuran dari tujuan ini adalah penyerapan anggaran terhadap program-program yang dilakukan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan. Pada suatu organisasi, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan perspektif terpenting untuk pengembangan organisasi.
Pada
organisasi pemerintah tujuan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran adalah sebagai pengendali (driver) untuk mencapai keunggulan perspektif yang lain. Perspektif pembalajaran dan pertumbuhan berkaitan dengan pengembangan kemampuan sumberdaya manusia yang bekerja di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, kemampuan sistem informasi, peningkatan motivasi dan pemberdayaan aparatur pemerintah berisi proses pengembangan tujuan dan ukuran-ukuran yang mengendalikan pembelajaran dan pertumbuhan organisasi, agar tujuan-tujuan pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dapat
93
terlaksana, maka pemanfaatan anggaran yang otpimal sangat diperlukan (tujuan pada perspektif finansial). Tujuan jangka panjang perspektif pertumbuhan dan pembelajaran pada strategi mapping yang telah dibuat adalah peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan mengoptimalkan jaringan sistem informasi. Ukuran untuk mencapai tujuan jangka
panjang
peningkatan
kualitas
sumberdaya
manusia
adalah
diklat/pendidikan dan latihan dan pengembangan potensi staf dengan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi sehingga dapat diberdayakan menjadi sumberdaya aparatur yang menguasai ilmu pengetahuan dan perizinan usaha penangkapan ikan. Dengan adanya pengembangan sumberdaya manusia, maka produktivitas tenaga kerja dapat meningkat sehingga organisasi dapat tumbuh dan berkembang di segala faktor baik internal maupun eksternal sejalan dengan tugas pokok dan fungsi organisasi.
Sedangkan ukuran untuk mencapai tujuan
peningkatan peran daerah pada proses administrasi dan pelayanan perizinan adalah jumlah sumberdaya manusia yang dapat mengaplikasikan pelayanan perizinan daerah dan peningkatan PNBP dari perizinan daerah. Berdasarkan hasil wawancara, Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP rutin mengadakan pelatihan bagi staf perizinan pusat maupun daerah, akan tetapi peningkatan PNBP daerah dapat terlaksana apabila staf perizinan pusat melakukan sosialiasi ke daerah. Berdasarkan hasil tersebut, maka staf perizinan daerah belum diberdayakan untuk melaksanakan perizinan bagi kapal-kapal yang memiliki izin pusat (perpanjangan tangan izin pusat).
Untuk itu, maka perlu dilakukan
pemberdayaan staf perizinan di daerah. Tujuan mengoptimalkan jaringan sistem informasi diukur dengan banyaknya jumlah pelabuhan yang mengirimkan data secara online, jumlah perusahaan yang menggunakan dan mampu mengirimkan data secara online dan peningkatan jumlah pengguna data dari stakeholder yang terkait. Tujuan-tujuan
pada
perspektif
pertumbuhan
dan
pembelajaran
memberikan efek sebab akibat pada perspektif lainnya yaitu perspektif proses bisnis internal dan pelanggan. Proses bisnis internal adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam bisnis secara internal yang disebut dengan rantai nilai (value
94
chain).
Dalam perusahaan yang menghasilkan barang maupun jasa., pada
umumnya rantai nilai terdiri dari pengembangan produk baru, produksi, penjualan dan marketing, distribusi (product delivery), layanan purna jual (after sales service), serta keamanan dan kesehatan lingkungan (environment safety and health) (Luis dan Biromo, 2007). Akan tetapi Niven (2003) menyatakan bahwa setiap organisasi berbeda, dan akan mendapatkan nilai dari kombinasi proses yang berbeda. Pada perspektif proses bisnis internal tujuan jangka panjangnya adalah optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, penyempurnaan dan efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan dan pungutan perikanan, rekomendasi usaha ke perbankan/pemberi kredit serta peningkatan informasi peluang usaha penangkapan ikan. Ukuran pada tujuan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan adalah alokasi jumlah kapal yang ditempatkan sesuai kapasitas sumberdaya ikan di suatu daerah penangkapan.
Kondisi optimal apabila
perbandingan sumberdaya yang sesuai dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dengan alokasi jumlah kapal yang ditempatkan mencapai 100%.
Dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan oleh pengguna izin
mengharapkan keamanan dan kepastian usaha perikanan tangkap, sehingga untuk menjaga kegiatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan keamanan pelaku usaha terlindungi perlu dilakukan operasional pengawasan.
Dengan target
meminimalkan jumlah IUU Fishing pada kegiatan penangkapan di perairan Indonesia. Pada tujuan penyempurnaan dan efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan dan pungutan perikanan memiliki ukuran jumlah waktu pelayanan perizinan yang singkat.
Bersama dengan tujuan optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya ikan secara berkelanjutan, kedua tujuan ini yang merupakan bagian proses pelayanan usaha penangkapan ikan di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, dapat mendukung tujuan pada perspektif pelanggan yaitu peningkatan standar kualitas pelayanan. Dengan perhitungan yang tepat pada kedua proses tersebut, diharapkan jumlah hari proses penerbitan izin/dokumen di Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan menjadi lebih singkat yang semula rata-rata mencapai 3-4 hari menjadi 2-3 hari.
95
Sedangkan pada tujuan peningkatan informasi peluang usaha penangkapan ikan ukuran yang digunakan adalah jumlah daerah penangkapan ikan yang memiliki belum melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
Dengan
demikian masih terdapat daerah penangkapan untuk dipromosikan, dan kondisi perairan dapat termanfaatkan secara optimal.
Peningkatan informasi peluang
usaha pada perikanan tangkap ini di arahkan pada perairan Indonesia timur, hal ini dikarenakan pada perairan tersebut diduga memiliki kondisi stok yang lebih dibandingkan sumberdaya ikan di perairan Indonesia bagian barat. Mengingat pusat pelayanan usaha penangkapan ikan dilakukan di DKP, Jakarta, maka akan dilakukan pelayanan perizinan di daerah, sehingga kebutuhan pengguna izin yang memiliki izin untuk kapal yang sesuai spesifikasinya di daerah dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tujuan jangka panjang rekomendasi ke perbankan/pemberi kredit untuk pengembangan usaha perikanan tangkap. Salah satu ketentuan yang berlaku bahwa pengoperasian kegiatan penangkapan adalah tidak beroperasi di wilayah yang sudah mencapai lebih tangkap, dan perairan yang diduga belum mencapai lebih tangkap adalah perairan Indonesia timur, sehingga akan mendukung tujuan dari perspektif pelanggan yaitu pelayanan perizinan di daerah.
Penyempurnaan dan efisiensi permumusan proses kebijakan perizinan dan pungutan
Peningkatan informasi peluang usaha
Rekomendasi ke perbankan/ pemberi kredit
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan
Gambar 14 Value chain perspektif proses bisnis internal pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP Kaplan dan Norton (2000) menyebutkan bahwa setiap bisnis memiliki rangkaian proses tertentu untuk menciptakan nilai bagi pelanggan. Kaplan dan Norton (2000) memperkenalkan model rantai nilai generik yang terdiri dari tiga proses bisnis utama, yaitu inovasi, operasi dan layanan purna jual. Akan tetapi Niven (2003) menyebutkan bahwa pada perspektfif proses bisnis internal menjelaskan proses kritis dimana organisasi harus mencapai sebagai organisasi dengan tujuan meningkatkan nilai tambah bagi pelanggan dimana kebutuhan utama pelanggan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP
96
adalah dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan dan keberlanjutannya. Setiap organisasi berbeda sehingga akan mendapatkan nilai dari kombinasi proses yang berbeda. Beberapa inti proses yang harus dipertimbangkan antara lain adalah kualitas, inovasi, partner (mitra), pemasaran, pendanaan dan sumber lain pada pengukuran proses internal (Niven, 2003). Penggabungan kedua pendapat tersebut apabila disesuaikan dengan kondisi proses bisnis internal Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP digambarkan sebagai berikut.
Proses inovasi
Penyempurnaan dan efisiensi permumusan proses kebijakan perizinan dan pungutan
Kebutuhan pelanggan diidentifikasi
Proses operasi/ Proses partnering
Peningkatan informasi peluang usaha
Rekomendasi ke perbankan/ pemberi kredit
Proses setelah layanan/ proses optimalisasi
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan
Kebutuhan pelanggan terpuaskan
Gambar 15 Perspektif proses bisnis internal – Model rantai nilai generik
Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP bukanlah suatu lembaga yang bertujuan profit atau keuntungan, akan tetapi bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada pengusaha perikanan untuk mendapatkan izin usaha ataupun izin operasi kapal penangkap dan kapal pengangkut. Oleh karena itu tujuan utama dimana sebagai visi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yaitu pelayanan prima perizinan usaha perikanan tangkap di pusat dan daerah, menempatkan perspektif pelanggan sebagai prioritas utama pada strategic mapping.
Saat ini pelanggan Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan
adalah para pengusaha perikanan yang mengoperasikan unit penangkapan berukuran lebih dari 30 GT dan mesin lebih dari 90 PK. Tujuan jangka panjang pada perspektif ini adalah pelayanan perizinan di daerah, jaminan keamanan dan kepastian usaha dan peningkatan standar kualitas pelayanan. Beberapa tujuan tersebut merupakan harapan dari para pengguna izin, dimana Niven (2003) menyebutkan bahwa pada umumnya harapan pelanggan biasanya terbagi menjadi
97
beberapa kategori, yaitu : 1) Akses, kemudahan pelanggan dalam menggunakan produk atau jasa untuk mereka, 2) Ketepatan waktu, waktu yang digunakan atau dihemat, oleh pelanggan sebagai hasil dari persembahan organisasi tersebut, 3) Seleksi, tergantung budaya pada organisasi, mungkin saja pada posisi untuk menawarkan lebih dari satu produk atau jasa, 4) Efisiensi, pelanggan pada sektor pemerintah mengutamakan nilai transaksi yang dapat diselesaikan secara mudah dan akurat pada sekali kedatangan.
5.4
Konsep Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Berbasis Ukuran Palka Penggunaan ukuran GT kapal sebagai dasar pungutan pada perizinan
usaha penangkapan ikan di Indonesia kurang mewakili jumlah produksi kapal penangkap ikan maupun kapal pengangkut. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) adalah pungutan negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh SIUP dan SIKPI, sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sedangkan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) adalah pungutan negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan SIPI yang diperoleh. Tujuan dari kedua pungutan tersebut adalah kompensasi terhadap kesempatan usaha perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia dengan target penangkapan adalah ikan yang merupakan salah satu sumberdaya di perairan Indonesia. Pada dasarnya kapal sebagai alat untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkan hasil tangkapan ikan memerlukan palka, dimana palka juga sebagai faktor pembatas terhadap jumlah hasil tangkapan yang dapat didaratkan. Mengingat bahwa desain penyimpanan dan proses pengawetan hasil tangkapan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan yang dibawa, maka diperlukan suatu kebijakan prosentase hasil tangkapan terhadap ukuran penyimpan/palka.
Dengan demikian nilai pungutan dapat
dianggap lebih adil dan lebih mewakili produksi kapal penangkap maupun pengangkut, dan instansi yang memiliki peran tersebut adalah Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan dimana sesuai PER.07/MEN/2005 tentang
98
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan tanggal 24 Juni 2005 dirumuskan bahwa Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis, serta evaluasi di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan. Fungsinya adalah : 1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 2) Penyiapan penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 3) Pelaksanaan bimbingan teknis di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 4) Pelaksanaan evaluasi di bidang pelayanan usaha penangkapan ikan; 5) Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan Penggunaan ukuran palka pada perizinan usaha penangkapan ikan dapat dilakukan DKP tanpa bergantung instansi lain apabila terdapat perbedaan ukuran. DKP dapat menerbitkan surat ukur palka dengan mencantumkan desain penyimpanan, dimana kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap kapasitas palka dalam menyimpan dan mengangkut.
Ukuran palka harus dilakukan
verifikasi saat petugas cek fisik melakukan cek fisik ulang terhadap kapal ikan. Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan perlu melakukan evaluasi untuk memenuhi tugas dan fungsinya, koordinasi dan memperhatikan saran dan masukan dari berbagai stakeholder dalam usaha perikanan tangkap. Stakeholder yang terkait dengan bidang perikanan tangkap seperti pemilik usaha, asosiasi perikanan dan akademisi. Dengan demikian perumusan yang dibuat menjadi lebih adil, efisien dan sesuai dengan visi dari Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Urutan prioritas faktor yang berperan pada usaha perikanan adalah ukuran palka (0,563), ukuran GT kapal (0,284) dan jenis alat tangkap (0,153). Ukuran palka dianggap lebih mewakili besarnya produksi kapal ikan, dimana ukuran tersebut juga sebagai faktor pembatas terhadap jumlah hasil tangkapan yang didaratkan; (2) Produktivitas lebih dipengaruhi oleh ukuran palka bukan oleh ukuran kapal; (3) Kebijakan internasional yang terkait dengan perizinan ada 2 kebijakan, yaitu CCRF yang ditetapkan oleh FAO dan UNCLOS yang ditetapkan oleh Konvensi PBB. Kebijakan nasional yang terkait dengan perizinan terdapat 14 subjek kebijakan. Dimana masing-masing subjek telah mengalami perubahanperubahan yang disesuaikan dengan kondisi saat ini; (4) Analisis hasil kinerja berdasar empat perspektif pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan sebesar 3,34 atau cukup, maka perlu dilakukan perbaikan-perbaikan agar kinerja Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP menjadi baik; (5) Pada rancangan strategi bagi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP, terdapat 11 tujuan yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga membentuk peta strategi bagi Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan – DKP. Pada masing-masing tujuan tersebut memiliki tolok ukur, target dan inisiatif yang perlu dilakukan sehingga tujuan tercapai dan target terpenuhi.
6.2 Saran (1) Perlu dilakukan suatu penelitian efisiensi teknis pada masing-masing unit penangkapan dengan memasukkan faktor ukuran palka (2) Perlu dilakukan suatu perhitungan ulang terhadap pungutan perikanan yang adil bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa. 1972. Fishing Boat. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 58 halaman. Ayodhyoa. 1977. Suatu Pengantar tentang Kapal-Kapal Perikanan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor dan Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Bogor dan Manado. 102 halaman. Bremser, Wayne G. and Lourdes F. White. 2000. An Experiential Approach To Learning About The Balanced Scorecard. Journal of Accounting Education 18 (2000). pp 241-155 [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2005 – 2009. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap – DKP. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Buku : Data Potensi, Produksi dan Ekspor/Impor Kelautan dan Perikanan. http://statistik.dkp.go.id/download/Statistik_2007/index.htm. Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessel. FAO. Fishing New Books Ltd. England. 320 halaman. Garza-Gil, Dolores; Carlos Iglesias-Malvido; Juan C.Suris-Regueiro and Manuel M. Varela-Lafuente. 1996. The Spanish case regarding fishing regulation. Marine Policy Journal Vol.20 No.3. pp 249-259. Gaspersz V. 2002. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi : Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah. Gramedia Pustaka Utama. 325 halaman. Iskandar BH dan Pujiati S. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. FPIKIPB. Bogor. Kaplan RS, Norton DP. 2000. Balanced Scorecard : Menerapkan Strategi menjadi Aksi. terjemahan. Erlangga. Jakarta. 288 halaman Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.50/MEN/2008 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Kusyanto D, M.Fedi A. Sondita, Daniel R. Monintja,; John Haluan, Soepanto. 2006. Kebijakan dan Pelayanan Pelabuhan Perikanan Samudera terhadap Daya Saing Industri Perikanan pada Perdagangan Global di Pelabuhan
101
Perikanan Samudera Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Volume 9 No.1, Juni 2006. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang. Malang. 121 halaman. Laxe FG. 2006. Transferability of Fishing Rights : The Spanish case. Marine Policy Journal No.30. Spain. Page 379 – 388. Luis S dan Biromo PA. 2007. Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to Functional Scorecards. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 152 halaman. Manetsh.TJ dan Park GL. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Systems. Department of Electrical Engineering and System Science. Michigan State University. East Lancing, Michigan. USA Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT.Grasindo. Jakarta. 197 halaman. Moullin M. 2009. Public Sector Scorecard. Nursing Management Journal Vol 16 No 5. pp 26-31. Muhammad A dan Iskandar BH. 2007. Stabilitas Statis dan Dinamis Kapal Latih dan Penelitian Stella Maris. Jurnal Buletin PSP Volume XVI No.1 April 2007. Dept. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 160 halaman. Mulyana R. 2007. Perizinan sebagai Alat dalam Pengelolaan Perikanan – Sistem Alternatif Manajemen Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Perikanan Tangkap – Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. Jakarta. 178 halaman. Murdiyanto B. 2004. Pelabuhan Perikanan. Fungsi, Fasilitas, Panduan Operasional, Antrian Kapal. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor Nielsen JR and Vedsmand T. 1997. Fishermen’s organisations in fisheries management. Marine Policy Journal Vol.21 No.2. pp 277 - 288 Niven PR. 2003. Balanced Scorecard step by step for government and not-forprofit agencies. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken New Jersey. Canada. 305 halaman Nomura M. and Yamazaki T. 1977. Fishing Technique I. Japan International Corporation Agency. Tokyo. 206 p. Nunes, PALD, Silvestri S, Pellizzato M and Boatto V. 2008. Regulation of the Fishing Activities in the Lagoon of Venice, Italy : Result from a Socio-
102
Economic Study. Estuarine,coastal and shelf science Journal Vol 80. pp 173-180. Plantz MC, Greenway MT, Hendricks M. 1997. Outcome Measurement : Showing Results in The Nonprofit Sector. New Directions for Evaluation. Purbayanto A, Iskandar BH, Wisudo SH, Novita Y. 2004. Kajian Teknis Kemungkinan Pengalihan Pengaturan Perijinan dari GT menjadi Volume Palka pada Kapal Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap – DKP dengan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB. 15 Halaman Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN. 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Soegiono. 2006. Kamus Teknik Perkapalan. Edisi IV. Airlangga University Press. Surabaya. 290 halaman Stroud KA dan Sucipto E. 1996. Matematika untuk Teknik. Edisi Ketiga. Erlangga. Ciracas-Jakarta. 950 halaman. Widodo J dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 252 halaman. Wing BW on, Guo L, Li W, and Yang D. 2007. Reducing Conflict in Balanced Scorecard Evaluations. Accounting, Organizations and Society Journal 32. pp 363-377. Pustaka internet : http://www.dkp.go.id http://en.wikipidea.org/wiki/Tonnage http://www.balancedscorecard.org
103
Lampiran 1 Hasil akhir analisis Expert Choice
104
Lampiran 1 Lanjutan
105
Lampiran 1 Lanjutan
106
Lampiran 1 Lanjutan
107
Lampiran 1 Lanjutan
Abbreviation GOAL AKD ASO BIO DEV DKP EKN ELG GT JAT KEU PAL PRO PSH SDI SOS TEK
Definition Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Akdemisi Asosiasi Perikanan Biologi Meningkatkan devisi negara Departemen Kelautan dan Perikanan Ekonomi Ekologi Ukuran GT Kapal Jenis alat tangkap Menjamin keuntungan nelayan Ukuran palka kapal ikan Memenuhi kebutuhan protein Pengusaha perikanan tangkap Menjamin kelestarian sumberdaya ikan Sosial Menyerap tenaga kerja
108
Lampiran 2 Gambar palka dan posisinya pada kapal Ruang kemudi
Ruang palka
Ruang kemudi Ruang palka
109
Lampiran 3 Beberapa contoh perhitungan palka sesuai bentuknya Palka 1 Vol 1 3,4 m
Vol 2
Volume Palka V1 = p x l x t = 2,9 x 2,2 x 1,6 = 10,208 m3 V2 = Luas alas x tinggi = {1/2 (3,4 – 2,9) (2,2) } x 1,6 = 0,88 m3 V Palka = 10,208 + 0,88 = 11,088 m3
2,2 m
2,9 m 1,6 m
Palka 2 Merupakan bagian dari kerucut terpancung
4,3 m
4,8 m
x m
5,2m
4,3 x = 5,2 4,8 + x 4,3 (4,8 + x) = 5,2 x 20,64 + 4,3x = 5,2x 20,64 = 0,9 x 20,64 x= = 22,9333 0,9
Palka tersebut adalah n bagian dari kerucut, maka 4,8 4,8 n= = = 0,1731 4,8 + x 4,8 + 22,9333 Tinggi kerucut =
(22,9333 + 4,8) 2 − 2,6 2 = 27,6112
1 ⎛1 ⎞ ⎜ LA × t ⎟ × n 2⎝3 ⎠ 1 ⎛ 1 22 ⎞ = ⎜⎜ × × 2,6 2 × 27,6112 ⎟⎟ × 0,1731 2⎝3 7 ⎠ 3 = 16,9240 m
V Palka =
110
Lampiran 4 Analisis tingkat kepuasan responden pada perspektif pelanggan Persepsi Kepuasan Responden N o
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Harapan Tangibility Kemudahan dalam menjangkau letak/lokasi kantor dan ketersediaan tempat parkir serta pengamanan lingkungan kantor Penampilan kantor dan kenyamanan serta kebersihan ruang tunggu ketersediaan fasilitas kantor dan informasi pelayanan di ruang tunggu Reliability Kecepatan pelayanan penyelesaian pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya Kecepatan pelayanan perbaikan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP jika terdapat kesalahan Kecepatan pelayanan pembayaran pungutan perikanan Responsiveness Respon DKP dalam menanggapi pengajuan pembuatan SIPI/SIKPI/IUP Respon DKP dalam menanggapi kesalahan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya Assurance Keramahan staf dalam memberikan pelayanan
1
Persepsi 2 3 4
5
jml
0
0
0
12
9
21
0
0
0
57.1
42.9
0
0
3
11
7
21
0
0
14.3
52.4
33.3
0
0
5
16
0
21
0
0
23.8
76.2
0
0
6
6
9
0
21
0
28.6
28.6
42.9
0
0
3
9
9
0
21
0
14.3
42.9
42.9
0
0
0
3
9
9
21
0
0
14.3
42.9
42.9
0
0
15
6
0
21
0
0
71.4
28.6
0
0
0
15
6
0
21
0
0
71.4
28.6
0
0
0
9
12
0
21
0
0
42.9
57.1
0
1
persentase persepsi 2 3 4
5
111
Lampiran 4 Lanjutan N o
10
11
12
13
14
15
1 Harapan Penampilan fisik, kesopanan, dan kebersihan karyawan yang memberikan pelayanan 0 Pengetahuan dan ketrampilan staf yang memberikan pelayanan 0 Jaminan ketepanan perhitungan pungutan 0 Emphaty Adanya prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, mudah dan jelas untuk setiap jenis pelayanan 0 Kemudahan komunikasi dan hubungan secara langsung 0 Kemudahan mendapatkan informasi melalui media 10
jml
persentase persepsi 2 3 4
Persepsi 2 3 4
5
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
18
3
0
21
0
0
85.7
14.3
0
13
5
3
0
21
0
61.9
23.8
14.3
0
12
5
4
0
21
0
57.1
23.8
19
0
5
0
6
0
21
47.6
23.8
0
28.6
0
1
5
112
Lampiran 4 Lanjutan Tingkat Harapan Kepuasan Responden No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
Harapan Kemudahan dalam menjangkau letak/lokasi kantor dan ketersediaan tempat parkir serta pengamanan lingkungan kantor Penampilan kantor dan kenyamanan serta kebersihan ruang tunggu ketersediaan fasilitas kantor dan informasi pelayanan di ruang tunggu Kecepatan pelayanan penyelesaian pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya Kecepatan pelayanan perbaikan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP jika terdapat kesalahan Kecepatan pelayanan pembayaran pungutan perikanan Respon DKP dalam menanggapi pengajuan pembuatan SIPI/SIKPI/IUP Respon DKP dalam menanggapi kesalahan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya Keramahan staf dalam memberikan pelayanan Penampilan fisik, kesopanan, dan kebersihan karyawan yang memberikan pelayanan Pengetahuan dan ketrampilan staf yang memberikan pelayanan Jaminan ketepanan perhitungan pungutan
Tingkat Harapan Kepuasan 1 2 3 4 5
jml
persentase tingkat kepuasan 1 2 3 4
5
0
0
0
11
10
21
0
0
0
52.4
47.6
0
0
0
14
7
21
0
0
0
66.7
33.3
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
0
0
0
21
21
0
0
0
0
100
0
0
0
0
21
21
0
0
0
0
100
0
0
0
0
21
21
0
0
0
0
100
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
0
0
12
9
21
0
0
0
57.1
42.9
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
113
Lampiran 4 Lanjutan No
13
14
15
Harapan Adanya prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, mudah dan jelas untuk setiap jenis pelayanan Kemudahan komunikasi dan hubungan secara langsung Kemudahan mendapatkan informasi melalui media
Tingkat Harapan Kepuasan 1 2 3 4 5
jml
persentase tingkat kepuasan 1 2 3 4
5
0
0
0
6
15
21
0
0
0
28. 6
71.4
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
0
0
0
21
0
21
0
0
0
100
0
114
Lampiran 4 Lanjutan Analisis Tingkat Kepuasan No
Harapan Tangibility Kemudahan dalam menjangkau letak/lokasi kantor dan ketersediaan tempat parkir serta pengamanan lingkungan 1 kantor Penampilan kantor dan kenyamanan serta kebersihan 2 ruang tunggu ketersediaan fasilitas kantor dan informasi pelayanan di 3 ruang tunggu
Nilai Persepsi 3 4
1
2
0.0000
0.0000
0.0000
48.0000
0.0000
0.0000
9.0000
0.0000
0.0000
15.0000
5
Jml
Skor
45.0000
93.0000
44.0000
35.0000
64.0000
0.0000
Nilai Harapan 3 4
1
2
5
Jml
Skor
4.4286
0.0000
0.0000
0.0000
44.0000
50.0000
94.0000
4.4762
-0.0476
88.0000
4.1905
0.0000
0.0000
0.0000
56.0000
35.0000
91.0000
4.3333
-0.1429
79.0000
3.7619
0.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
-0.2381
Kesenjangan
115
Lampiran 4 Lanjutan No
Harapan Reliability Kecepatan pelayanan penyelesaian pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan 4 perubahannya Kecepatan pelayanan perbaikan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP jika terdapat 5 kesalahan Kecepatan pelayanan pembayaran pungutan 6 perikanan Responsiveness Respon DKP dalam menanggapi pengajuan pembuatan 7 SIPI/SIKPI/IUP
Nilai Persepsi 3 4
1
2
0.0000
12.0000
18.0000
36.0000
0.0000
6.0000
27.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
5
Jml
Skor
0.0000
66.0000
36.0000
0.0000
9.0000
36.0000
45.0000
24.0000
Nilai Harapan 4
1
2
3
3.1429
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
69.0000
3.2857
0.0000
0.0000
0.0000
45.0000
90.0000
4.2857
0.0000
0.0000
0.0000
69.0000
3.2857
0.0000
0.0000
5
Jml
Skor
105.0000
105.0000
5.0000
-1.8571
0.0000
105.0000
105.0000
5.0000
-1.7143
0.0000
0.0000
105.0000
105.0000
5.0000
-0.7143
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
-0.7143
Kesenjangan
116
Lampiran 4 Lanjutan No
8
9
10
11
12
Harapan Respon DKP dalam menanggapi kesalahan pembuatan SIPI/SIKPI/SIUP dan perubahannya Assurance Keramahan staf dalam memberikan pelayanan Penampilan fisik, kesopanan, dan kebersihan karyawan yang memberikan pelayanan Pengetahuan dan ketrampilan staf yang memberikan pelayanan Jaminan ketepanan perhitungan pungutan
Nilai Persepsi 3 4
1
2
0.0000
0.0000
45.0000
24.0000
0.0000
0.0000
27.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
5
Jml
Skor
0.0000
69.0000
48.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
0.0000
0.0000
54.0000
Nilai Harapan 4
1
2
3
5
Jml
Skor
3.2857
0.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
-0.7143
75.0000
3.5714
0.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
-0.4286
0.0000
84.0000
4.0000
0.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
0.0000
0.0000
0.0000
48.0000
45.0000
93.0000
4.4286
-0.4286
12.0000
0.0000
66.0000
3.1429
0.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
-0.8571
Kesenjangan
117
Lampiran 4 Lanjutan No
13
14
15
Harapan Emphaty Adanya prosedur pelayanan yang cepat, sederhana, mudah dan jelas untuk setiap jenis pelayanan Kemudahan komunikasi dan hubungan secara langsung Kemudahan mendapatkan informasi melalui media
Nilai Persepsi 3 4
1
2
0.0000
26.0000
15.0000
12.0000
0.0000
24.0000
15.0000
10.0000
10.0000
0.0000
5
Jml
Skor
0.0000
53.0000
16.0000
0.0000
24.0000
0.0000
Nilai Harapan 4
1
2
3
5
Jml
Skor
2.5238
0.0000
0.0000
0.0000
24.0000
75.0000
99.0000
4.7143
-2.1905
55.0000
2.6190
0.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
-1.3810
44.0000
2.0952
0.0000
0.0000
0.0000
84.0000
0.0000
84.0000
4.0000
-1.9048
Kesenjangan
118
Lampiran 5 Hasil analisis lingkungan strategis Kekuatan/Strength (S): 1. Salah satu unit pelayanan terbaik versi KPK 2008 2. Waktu proses penerbitan dokumen < 1 minggu 3. Pelatihan bagi staf yang rutin dilakukan tiap tahun 4. jumlah SDM yang memadai 5. Percepatan proses perijinan ke daerah rutin setiap tahunnya 6. Kemudahan akses prosedur dan simulasi pungutan pada www.perizinan.dkp.go.id 7. kerjasama dengan asosiasi perikanan sebagai salah satu cara meningkatkan pengawasan dan manajemen perikanan tangkap 8. Program percepatan perizinan ke daerah-daerah yang rutin dilaksanakan tiap tahun Peluang/Opportunity (O) : 1. Billateral Arrangement dengan negara lain telah berakhir dan memberikan peluang usaha kepada investor di dalam negeri 2. Banyaknya kesempatan untuk meningkatkan kompetensi di bidang perikanan tangkap 3. Permintaan dunia terhadap produk perikanan semakin meningkat 4. Masuknya Indonesia sebagai anggota RFMO yaitu IOTC dan CCSBT 5. Tuntutan dari masyarakat/pelaku pengusaha perikanan terhadap proses perizinan yang lebih sederhana, mudah dan adil 6. Teknologi informasi dunia yang semakin maju/kompetitif 7. Hasil penelitian Direktorat Kapal API bahwa kapasitas palka lebih representatif untuk perhitungan produktivitas suatu kapal ikan dibanding GT kapal. Ancaman/Threat (T) : 1. Kejahatan laut masih sangat marak 2. Kegiatan IUU Fishing masih banyak terjadi terutama do daerah 3. Investasi di bidang perikanan tangkap masih kurang diminati 4. Belum ada dukungan terhadap kredit/pinjaman di bidang perikanan tangkap 5. Karakteristik perikanan Indonesia yang multigear dan multispecies 6. Fluktuasi harga BBM yang berdampak pada usaha penangkapan ikan 7. Perusahaan yang berlokasi di luar Jabotabek sering terlambat melakukan pembaruan surat izin
Strategy SO : 1. Peningkatan informasi peluang usaha yang akuntable dan dapat dipertanggungjawabkan (S1,O1)(Strategi 1) 2. Peningkatan kualitas SDM Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan (S3,4 dan O2) (Strategi 2) 3. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (S7 dan O3,4) (Strategi 3) 4. Peningkatan standar kualitas pelayanan (S2 dan O5) (strategi 4)
Strategy ST : 1. Pelayanan perizinan di daerah (S5,6 dan T7) (strategi 8)
Kelemahan/Weakness (W): 1. Proses pelayanan masih berbelit-belit/belum sederhana 2. Rekayasa pengembangan proses perizinan berjalan lambat 3. Kepatuhan yang rendah dari pengusaha perikanan untuk melaporkan kegiatan usaha penangkapan ikan yang dilakukan 4. Sharing data antara pusat dan daerah masih belum optimal 5. Sarana dan prasarana pengawasan kegiatan perikanan tangkap yang dimiliki DKP masih sangat minim 6. Keuangan pada Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan hanya berasal dari 1 sumber dana. Strategy WO : 1. Penyempurnaan dan efisiensi perumusan kebijakan proses perizinan dan pungutan perikanan ( W1,2 dan O5,7) (Strategi 5) 2. Mengoptimalkan jaringan/sistem informasi perizinan (W3 dan O6) (Strategi 6) 3. Pemanfaatan anggaran yang optimal (W6 dan (Strategi 7)
Strategy WT : 1. Peningkatan peran daerah dan proses administrasi dan pelayanan perizinan pusat (W4 dan T7) (Straregi 9) 2. Jaminan keamanan dan kepastian usaha dalam usaha perikanan tangkap (W5 dan A1,2) (Strategi 10) 3. Rekomendasi usaha ke perbankan/ pemberi kredit untuk pengembangan usaha perikanan tangkap (W3 dan T3,4,6) (Strategi 11)
119
Lampiran 6 Foto dokumentasi hasil penelitian
Foto 1 Palka yang belum dipasangi alat pendingin
Foto 2 Palka yang sudah dipasangi alat pendingin
120
Lampiran 6 Lanjutan Foto 3 Palka dengan sistem penyimpanan rak
Foto 4 Kipas membantu proses percepatan pendinginan hasil tangkapan
121
Lampiran 6 Lanjutan Foto 5 Posisi palka di kapal
Foto 6 Umpan yang dibawa (cumi)