HASIL DAN PEMBAHASAN
Komoditas Unggulan Identifikasi
komoditas
pertanian
hortikultura
yang
dibudidayakan
merupakan pijakan untuk menentukan tanaman komoditas unggulan. Identifikasi tanaman yang dibudidayakan secara umum terekam melalui data statistik tanaman hortikultura dan verifikasi melalui visual di lapangan. Data statistik dan verifikasi di lapangan memberikan gambaran umum bahwa tanaman tersebut dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan memberikan dampak ekonomi baik untuk pemenuhan sendiri atau untuk komersil. Kawasan Agropolitan Selupu Rejang merupakan kawasan sentra produksi pertanian khususnya tanaman sayuran dan tanaman pendukung pariwisata. Dalam catatan statistik produksi tanaman sayuran dan buah semusim (BPS, 2008), pusat Kawasan Agropolitan Selupu Rejang memiliki 15 tanaman sayuran (bawang daun, kentang, kubis, kembang kol, petsai/sawi, wortel, kacang merah, kacang panjang, cabe besar, cabe rawit, tomat, terong, buncis, ketimun, labu siam) dan 1 tanaman buah semusim (stroberi) yang dibudidayakan. Selain dari pencacatan BPS, verifikasi di lapangan juga memperlihatkan bahwa tanaman sayuran dan buah semusim tersebut banyak dibudidayakan. Oleh karena itu ke 16 tanaman tersebut dapat dijadikan pijakan sebagai awal penentuan komoditas unggulan. Identifikasi komoditas unggulan suatu daerah berkaitan dengan konsekuensi logis dari keragaman karakteristik suatu wilayah. Salah satunya adalah keberagaman fisik geografis suatu wilayah menjadi salah satu sumber keunggulan komparatif bagi wilayah tersebut (Panuju et al. 2008). Penelitian ini mengidentifikasi komoditas unggulan hortikultura di kecamatan Selupu Rejang dengan pendekatan keunggulan komparatif komoditas menggunakan analisis Location Quotient (LQ) selanjutnya dilakukan Localization Index (LI) dan Specialization Index (SI) untuk mengetahui karakteristiknya. Pendekatan keunggulan komparatif dapat dilihat melalui kemampuan memproduksi dan kemampuan memenuhi permintaan. Pendekatan ini tercermin melalu data luas panen atau data produksi dan mencerminkan potensi kawasan tersebut terhadap suatu komoditas. Data yang digunakan adalah data produksi tanaman sayuran dan
50
buah semusim tahun 2008 (Lampiran 1), di setiap kecamatan di Kabupaten Rejang Lebong. Tanaman basis wilayah merupakan tanaman dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar daerah. Kemampuan ini dapat mencerminkan keunggulan komparatif suatu komoditas dari sisi supply dan demand. Kemampuan ini juga menunjukkan bahwa suatu tanaman merupakan komoditas unggulan karena berfungsi sebagai penggerak ekonomi. Tanaman basis di Kecamatan Selupu Rejang dianalisis menggunakan metode Location Quotient (LQ) dengan wilayah agregat Kabupaten Rejang Lebong. Analisis LQ dilakukan untuk melihat tanaman pertanian yang menjadi komoditas basis di Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong dan merupakan cerminan utama dalam penentuan komoditas unggulan. Data yang digunakan untuk perhitungan nilai LQ adalah data produksi tanaman pertanian per kecamatan tahun 2008 dengan wilayah agregat kabupaten. Suatu tanaman ditetapkan sebagai tanaman basis apabila memiliki nilai LQ > 1. Nilai tersebut merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor (tanaman) yang sama terhadap daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Hasil analisis LQ menunjukkan kemampuan Kecamatan Selupu Rejang untuk memenuhi kebutuhan lokalnya terhadap suatu tanaman, serta lebih jauh menjelaskan tingkat kemampuannya memenuhi kebutuhan daerah lain karena surplus produksi. Hasil analisis tersebut juga dapat menggambarkan bahwa tanaman-tanaman basis di daerah ini mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan daerah kecamatan lainnya yang memiliki nilai LQ < 1. Bachrein (2003) menyatakan bahwa analisis LQ suatu tanaman menunjukkan kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhan lokalnya, serta memenuhi kebutuhan daerah lain karena surplus produksi atau sebaliknya daerah tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri sehingga memerlukan pasokan dari daerah lain.
51
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa yang menjadi tanaman basis di Kecamatan Selupu Rejang adalah tanaman cabe merah, kembang kol, bawang daun, buncis, wortel, dan stroberi. Stroberi merupakan tanaman yang nilainya paling menonjol (3,25), sedangkan empat tanaman lain (wortel, buncis, bawang daun dan kembang kol) berada dikisaran 1,27-1,45 dan cabe merah memperlihatkan nilai LQ yang hampir sama dengan 1. Hasil ini menunjukkan bahwa stroberi, wortel, buncis, bawang daun dan kembang kol jika dilihat dari nilai produksinya secara komparatif lebih unggul dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di kabupaten Rejang Lebong, sedangkan nilai LQ cabe merah memperlihatkan bahwa konsentrasi produksinya tidak jauh berbeda dengan rata-rata wilayah di kabupaten Rejang Lebong. Hal ini memperlihatkan bahwa kehomogenan sumberdaya lahan kawasan agropolitan dan pusat Kawasan Agropolitan Selupu Rejang tidak terikat pada batasan administrasi kecamatan, namun dibantu oleh daerah hinterland (daerah wilayah sekitar) dalam memproduksi komoditas. Hasil analisis LQ untuk keseluruhan tanaman di kecamatan dalam agregrat kabupaten secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Tabel 12 Hasil LQ (Location Quotient) berdasarkan produksi tanaman di Kecamatan Selupu Rejang Tanaman Cabe merah Wortel Stroberi Buncis Bawang daun Kembang kol
Indeks LQ 1,01 1,45 3,25 1,42 1,3 1,27
Karakteristik Komoditas Unggulan Karakteristik komoditas unggulan dapat dilihat melalui Localization Index (LI) dan Specialization Index (SI). Localization Index (LI) merupakan salah satu indeks yang menggambarkan pemusatan relatif suatu aktifitas dibandingkan dengan kecenderungan total di dalam wilayah. Umumnya indeks ini digunakan untuk mengetahui persen distribusi suatu aktifitas tertentu di dalam wilayah. Specialization Index (SI) merupakan salah satu indeks yang menggambarkan pembagian wilayah berdasarkan aktifitas-aktifitas yang ada. Lokasi tertentu
52
menjadi pusat bagi aktifitas yang dilakukan. Persamaan SI ini bisa pula dikatakan sebagai bagian dari persamaan LQ. Suatu tanaman ditetapkan memiliki nilai LI baik apabila memiliki nilai LI mendekati 1, yang berarti bahwa komoditas tersebut distribusinya hanya di lokasilokasi tertentu saja. Sebaliknya jika nilai LI mendekati 0 mengartikan bahwa komoditas tersebut tidak dikembangkan di lokasi tertentu melainkan menyebar. Pada penelitian ini tanaman yang dilihat nilai LI-nya merupakan tanaman yang memiliki nilai LQ > 1. Secara umum keseluruhan tanaman memperlihatkan hasil tidak mendekati 1, hanya stroberi saja yang terlihat aktifitasnya lebih memusat dibanding tanaman lain. Hal ini memperlihatkan bahwa distribusi setiap tanaman di Kawasan Agropolitan menyebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Rejang Lebong. Nilai LI mendekati 1 juga dapat menentukan wilayah mana yang potensial untuk mengembangkan aktifitas tertentu. Dari nilai yang diperoleh tanaman stroberi merupakan tanaman yang paling cocok untuk dikembangkan di pusat kegiatan agropolitan Selupu Rejang, sedangkan tanaman lain pengembangannya tidak terpusat pada kecamatan Selupu Rejang namun juga dapat dikembangkan di kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa petani di pusat Kawasan Agropolitan Selupu Rejang tidak memiliki posisi tawar pasar yang baik antar para petani lainnya di sekitar pusat Kawasan Agropolitan, karena karakteristik pembudidaan komoditas yang menyebar berarti adanya pasokan produksi dari wilayah lainnya. Hasil analisis LI untuk keseluruhan tanaman di kecamatan dalam agregrat kabupaten secara lengkap disajikan pada Lampiran 3. Tabel 13 Hasil LI (Localization Index) berdasarkan produksi tanaman di Kecamatan Selupu Rejang Tanaman Cabe merah Wortel Stroberi Buncis Bawang daun Kembang kol
Indeks LI 0,15 0,22 0,50 0,22 0,20 0,19
53
Untuk indeks SI, suatu tanaman ditetapkan memliki nilai SI baik apabila memiliki nilai SI mendekati 1, artinya sub wilayah yang diamati memiliki aktifitas khas yang perkembangannya relatif menonjol dibandingkan dengan di sub wilayah lain. Sebaliknya jika nilai SI mendekati 0 mengartikan bahwa sub wilayah yang diamati tidak memiliki aktifitas khas yang relatif menonjol perkembangannya dibandingkan dengan di sub wilayah lain. Pada penelitian ini tanaman yang dilihat nilai SI nya merupakan tanaman yang memiliki nilai LQ > 1. Berdasarkan LQ dan hasil SI terhadap produksi tanaman, terlihat bahwa tidak terdapat tanaman yang nilai SI mendekat 1. Nilai SI adalah perbandingan produksi tanaman tertentu di Kecamatan Selupu Rejang berbanding dengan total seluruh produksi tanaman di Kecamatan Selupu Rejang dikurangi dengan total produksi tanaman tertentu di Kabupaten Rejang Lebong berbanding total produksi keseluruhan tanaman diseluruh kecamatan di Kabupaten Rejang Lebong. Hal ini berarti tingkat produksi tanaman yang memiliki LQ > 1 tidak mempresentasikan kekhasannya dibandingkan dengan produksi total sayuran di Kabupaten Rejang Lebong. Hasil analisis SI untuk keseluruhan tanaman di kecamatan dalam agregrat kabupaten secara lengkap disajikan pada Lampiran 4. Tabel 14 Hasil SI (Specialization Index) berdasarkan produksi tanaman di Kecamatan Selupu Rejang Tanaman Cabe merah Wortel Stroberi Buncis Bawang daun Kembang kol
Indeks SI 0,00 0,03 0,00 0,02 0,01 0,01
Hasil LQ memperlihatkan keenam tanaman ini mampu menjadi penggerak utama (prime mover) aktivitas ekonomi namun memiliki persaingan produk sejenis dari wilayah lain, sedangkan hasil LI dan SI yang nilainya cenderung mendekati 0, tidak terlepas dari karakteristik agropolitan yang dimiliki. Sebagai pusat agropolitan, Selupu Rejang memiliki daerah hinterland yang merupakan daerah pendukung penghasil pertanian yang juga memiliki sumberdaya alam yang relatif sama. Hal tersebut membuat karakteristik tanaman yang tidak begitu kuat
54
dibanding dengan wilayah sekitar karena sangat bergantung dengan keragaman sumberdaya alam yang homogen di Kabupaten Rejang Lebong, sehingga sulit untuk menyatakan bahwa keenam tanaman tersebut lebih unggul dibanding dengan wilayah disekitar jika dilihat dari pendekatan produksi. Hal ini merupakan salah satu kelemahan metode LQ, LI dan SI pengukuran hanya berdasarkan produksi bahan mentah, tidak memperhatikan nilai ekonomi dan nilai tambah dari produk tersebut. Namun perhitungan LQ, LI dan SI telah dapat memberikan gambaran
awal
mengenai
komoditas
unggulan
berdasarkan
pendekatan
keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Analisis Faktor dan Preferensi Komoditas Unggulan Analisis Faktor Komoditas Unggulan Metode AHP (Analytical Hierachy Process) dilakukan untuk mengetahui prioritas dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilihan tanaman melalui analisis keputusan secara kuantitatif dan kualitatif dengan software Expert Choice 11. Tanaman yang dianalisis adalah tanaman unggulan yang telah dianalisis sebelumnya (LQ>1) yaitu cabe merah, wortel, stroberi, buncis, bawang daun dan kembang kol.
Priorities with respect to: Komoditas Unggulan
Aspek Fisik Aspek Ekonomi Aspek Sosial Budaya Inconsistency = 0,00027 with 0 missing judgments.
,447 ,337 ,216
Gambar 8 Diagram bobot prioritas aspek dalam pemilihan komoditas Hasil perbandingan berpasangan terhadap ketiga kriteria yang digunakan menghasilkan bobot prioritas tertinggi pada kriteria fisik sebesar 0,447 terhadap tujuan, selanjutnya berturut-turut 0,337 untuk kriteria ekonomi dan 0,216 untuk kriteria sosial budaya (Gambar 8). Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian kumulatif dari para responden (expert judgement) dalam prioritas pemilihan sayuran unggulan di kecamatan Selupu Rejang, aspek fisik (kemampuan tanam sepanjang tahun dan tanam musim tertentu) merupakan aspek
55
utama (prioritas ke-1) yang harus diperhatikan. Selanjutnya berturut-turut aspek ekonomi (prioritas ke-2) dan sosial-budaya (prioritas ke-3). Menurut responden dengan
memperhatikan
kesesuaian
tanaman
pada
suatu
wilayah
akan
meringankan beban produksi suatu tanaman, sehingga semakin sesuai suatu tanaman dibudidayakan akan semakin besar keuntungan secara ekonomi yang akan diterima. Berdasarkan Gambar 8 juga dapat dilihat kecilnya nilai inkonsistensi (0,00027) yang menunjukkan bahwa pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Tabel 15 Bobot aspek dan faktor yang mempengaruhi pemilihan komoditas unggulan Aspek
Bobot
Aspek Fisik
0,447
Aspek Ekonomi
0,337
Aspek Sosial Budaya
0,216
Faktor Kemampuan Tanam Sepanjang Tahun (1) Kemampuan Tanam Musim Tertentu Permodalan Peluang Pasar (2) Stabilitas Harga Keuntungan Produksi Tradisi Dukungan Pemerintah Orientasi Produksi Kemudahan Bahan Tanam (3) Pengetahuan Budidaya Tingkat Keberhasilan Kemudahan Pemeliharaan Ketersediaan Tenaga Kerja
Bobot 0,549 0,451 0,415 0,210 0,207 0,169 0,076 0,194 0,099 0,134 0,115 0,133 0,146 0,102
(1) (2) (1) (2) (3) (4) (8) (1) (7) (3) (5) (4) (2) (6)
Tabel 15 memperlihatkan faktor-faktor yang mempengaruhi secara umum. Dari aspek fisik responden menilai kemampuan suatu tanaman yang dapat ditanam sepanjang tahun lebih menarik untuk dibudidayakan dari pada tanaman yang hanya bisa ditanam di musim tertentu. Responden menganggap tanaman yang dapat ditanam sepanjang tahun memberikan fleksibilitas yang lebih tinggi, sehingga tentunya akan memberikan tingkat keberhasilan yang lebih baik. Namun, nilai diantara faktor dalam aspek ini tidak begitu menonjol. Perbedaan kemampuan tanaman ditanam sepanjang tahun dan kemampuan tanam di musim tertentu
hanya
sebesar
0,098.
Ini
menunjukkan
bahwa
aspek
fisik
dipertimbangkan, namun berdasarkan pengalaman petani karakteristik lahan komoditas tersebut dinilai cocok untuk budidaya tanaman sayuran jenis apapun
56
sehingga faktor ini tidak menjadi krusial. Oleh karena itu faktor pemilihan tanaman juga dipengaruhi oleh karakter tanaman pada faktor di dalam aspek ekonomi dan sosial budaya. Pada aspek ekonomi, faktor yang paling menetukan adalah permodalan. Pengaruh faktor pemodalan agak menonjol sebesar 0,2-0,3 dibanding dengan faktor yang lainnya. Artinya, petani akan lebih senang memilih tanaman dengan modal yang sedikit. Kehadiran lembaga keuangan seperti bank tidak banyak dimanfaatkan oleh petani, petani lebih sering mendapat modal melalui program BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) atau tengkulak. Menurut Hardwood (1982) modal merupakan faktor pembatas dalam pengembangan pertanian dan modal merupakan unsur yang esensial. Urutan kedua pada aspek ekonomi yang menjadi faktor penentu adalah stabilitas harga, sedangkan faktor keuntungan produksi dan peluang pasar berturut-turut menjadi faktor yang menentukan ke-3 dan ke-4. Pada aspek sosial budaya, petani melihat dukungan pemerintah terhadap suatu tanaman membuat kecenderungan memilih tanaman semakin besar. Dukungan pemerintah biasanya berhubungan dengan permodalan dan biaya input produksi. Dukungan pemerintah biasanya dapat meringankan beban produksi bagi petani. Kecenderungan keunggulan suatu tanaman terhadap tanaman lain akan ditentukan oleh akumulasi bobot setiap faktor. Analisis prioritas pemilihan sayuran unggulan berdasarkan aspek fisik menghasilkan jenis tanaman cabe merah sebagai prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 0,292. Kemudian berturut-turut diikuti wortel, bawang daun, kembang kol, buncis dan stroberi sebagai prioritas ke-2 dan seterusnya (Gambar 9). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa menurut penilaian responden tanaman cabe merah memiliki keunggulan terhadap tanaman lain walaupun cabe merah lebih cenderung untuk ditanam di awal musim penghujan (Oktober). Pada musim ini cabe merah memiliki bobot prioritas yang sangat dominan terhadap tanaman lain, sedangkan bobot prioritas pada kemampuan tanam sepanjang tahun relatif merata dibanding tanaman lain. Selain karena perbandingan faktor di dalam aspek yang tidak menonjol, hal inilah yang membuat tanaman cabe merah memiliki nilai bobot prioritas yang menonjol di aspek fisik walaupun faktor kemampuan tanam tanaman sepanjang tahun lebih disukai oleh petani.
57
Kembang Kol Bawang Daun Buncis Stroberi Wortel Cabe Besar 0
0,05
0,1
0,15
Kemampuan Tanam Sepanjang Tahun
Gambar 9
0,2
0,25
0,3
Kemampuan Tanam Musim Tertentu
Diagram bobot prioritas pemilihan jenis komoditi berdasarkan aspek fisik
Analisis
prioritas
pemilihan
tanaman
berdasarkan
aspek
ekonomi
menghasilkan cabe merah sebagai prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 0,264. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh komoditi wortel, bawang daun, kembang kol, buncis dan stroberi (Gambar 10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian penilaian para responden berdasarkan aspek ekonomi sayuran di daerah ini paling baik diusahakan adalah cabe merah. Menurut para responden, cabe merah merupakan komoditi yang mendatangkan
keuntungan besar, karena didukung permintaan pasar yang besar dan pemasaran yang relatif mudah, sehingga akan habis diserap pasar walaupun memerlukan input modal yang besar dan pemeliharaan yang tidak mudah. Cerminan tersebut dilihat dari dominannya faktor peluang pasar cabe yang besar dibanding dengan tanaman lain dan faktor keuntungan keuntungan produksi yang juga lebih besar dibanding tanaman yang lain, sedangkan faktor yang tidak disukai oleh tanaman cabe merah adalah dibutuhkan modal yang besar. Tanaman wortel merupakan tanaman kedua yang menjadi prioritas pada aspek ekonomi. Faktor yang mempengaruhi tanaman wortel adalah minimnya modal yang digunakan dibanding oleh tanaman lain.
58
Kembang Kol Bawang Daun Buncis Stroberi Wortel Cabe Besar 0 Permodalan
Gambar 10
0,05 Peluang Pasar
0,1
0,15 Stabilitas Harga
0,2
0,25
0,3
Keuntungan Produksi
Diagram bobot prioritas pemilihan jenis komoditi berdasarkan aspek ekonomi
Berdasarkan penilaian aspek sosial-budaya, tanaman yang dipilih responden sebagai prioritas pertama adalah cabe merah dengan bobot prioritas sebesar 0,258.
Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh wortel, bawang daun, buncis, kembang kol dan stroberi (Gambar 11). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa menurut penilaian para responden bahwa berdasarkan aspek sosial-budaya sayuran di daerah ini paling disukai adalah cabe merah. Faktor yang sangat berperan adalah dukungan pemerintah. Dukungan pemerintah dapat berupa bantuan modal dan sarana produksi pertanian. pertanian. Bantuan pemerintah kabupaten Rejang Lebong banyak terfokus pada pengembangan tanaman cabe merah dan beberapa tanaman lainnya seperti tomat dan kentang. Stroberi juga merupakan tanaman yang mendapat perhatian pemerintah, namun karena pengembangannya tidak tersebar penyalurannya hanya terbatas di desa Padang Jaya hanya petani di daerah tertentu yang merasakannya.
59
Kembang Kol Bawang Daun Buncis Stroberi Wortel Cabe Besar 0 Tradisi
Gambar 11
0,05
0,1
0,15
0,2 0,25 Dukungan Pemerintah
Orientasi Produksi
Kemudahan Bahan Tanam
Pengetahuan Budidaya
Tingkat Keberhasilan
Kemudahan Pemeliharaan
Ketersediaan Tenaga Kerja
0,3
Diagram bobot prioritas pemilihan jenis komoditi berdasarkan aspek sosial-budaya
Kembang Kol Bawang Daun Buncis Stroberi Wortel Cabe Besar 0
0,05 Aspek Fisik
Gambar 12
0,1 Aspek Ekonomi
0,15
0,2
0,25
0,3
Aspek Sosial Budaya
Diagram bobot prioritas pemilihan jenis komoditi berdasarkan keseluruhan aspek yang dipertimbangkan
Berdasarkan keseluruhan aspek/kriteria, masing-masing aspek menunjukkan hal yang sama, responden memilih cabe merah sebagai tanaman yang paling disukai di daerah ini. Hal tersebut berdasarkan karena (1) karakteristik lahan yang cocok dibudidayakan mayoritas tanaman sayuran dan kecenderungan tanaman
60
cabe merah pada musim tertentu sangat menonjol dibanding tanaman lain, (2) cabe merah memiliki keunggulan pada rataan harga yang tinggi sepanjang setiap bulannya dibandingkan dengan sayuran unggul lainnya sehingga meningkatkan peluang mendapatkan keuntungan yang besar, dan 3) dukungan pemerintah yang besar terhadap pengembangan tanaman cabe merah. Nilai bobot kumulatif keseluruhan aspek untuk tanaman cabe merah sebesar 0,275. Prioritas selanjutnya berturut-turut diikuti tanaman wortel, bawang daun, kembang kol, buncis dan stroberi (Gambar 12). Proporsi besaran bobot setiap tanaman mengikuti nilai bobot ketiga aspek (fisik, ekonomi, sosial-budaya) yang mempresentasikan pengaruh dari setiap aspek. Analisis Preferensi Komoditas Unggulan Penentuan komoditas unggulan dengan perhitungan LQ melalui pendekatan produksi tanpa melihat preferensi petani dapat menimbulkan kegagalan perencanaan, karena untuk mewujudkan suatu penggunaan lahan yang berkelanjutan komoditi tersebut harus dapat diterima oleh petani sebagai pelaku utama. Oleh karena itu dilakukan wawancara kepada petani untuk melihat tingkat kecenderungan pemilihan komoditas unggulan tanpa melihat faktor-faktor yang ada dalam AHP. Komoditas unggulan yang dipilih merupakan tanaman dengan nilai LQ>1. Berdasarkan
Tabel
16,
dari
25
responden
yang
diwawancarai
kecenderungan terhadap tanaman buncis dan stroberi menurun, hanya sekitar 4% dari responden (1 orang) yang ingin menanam stroberi dan 0 % (tidak ada) responden yang ingin menanam buncis. Kecenderungan ini berdasarkan karena permintaan akan tanaman stroberi belum banyak. Tanaman stroberi hanya difokuskan sebagai tanaman pendukung aktivitas wisata di Kabupaten Rejang Lebong, sehingga tanaman ini diperkirakan cukup dibudidayakan dipekarangan rumah dan tidak semua petani melakukan budidaya tanaman ini, sedangkan untuk tanaman buncis petani tidak memiliki ketertarikan budidaya terhadap tanaman ini karena dinilai tingkat keberhasilan yang tidak begitu tinggi dibanding tanaman lain.
61
Tabel 16 Persentase jumlah responden dalam pemilihan jumlah tanaman Tanaman Utama Cabe Merah Wortel Bawang Daun Kembang Kol Buncis Stoberi Ket : jumlah responden 25 orang
Prioritas AHP
Tanaman yang ingin dibudidayakan (%)
1 2 3 4 5 6
100,0 12,0 4,0 32,0 4,0
Jumlah Pemilih (orang) 25 3 1 8 1
Pemilihan berdasarkan hasil wawancara tanpa mempertimbangkan beberapa faktor dan pemilihan berdasarkan AHP memperlihatkan adanya perbedaan. Perbedaan terlihat dari urutan prioritas pada tanaman wortel, bawang daun, kembang kol, buncis dan stroberi, namun memperlihatkan kecenderungan yang sama pada tanaman cabe merah. Pada pemilihan berdasarkan pada wawancara petani cenderung hanya melihat dari apa yang telah dialami berdasarkan pengalaman sebelumnya. Pengalaman yang paling melekat adalah keuntungan atau kerugian yang pernah dialami. Lubis (1997) menyatakan bahwa fluktuasi harga yang tajam mempengaruhi petani dalam memutuskan jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Tanaman cabe merah tetap diberikan perhatian khusus oleh petani karena relatif menguntungkan karena harga rataan yang berkisar sebesar Rp 17.625,- per kg dan harga terendah sebesar Rp 10.000,- per kg sepanjang tahun 2009. Posisi kedua tanaman kembang kol, tanaman ini merupakan tanaman yang memiliki kisaran rataan harga yang relatif tinggi dibanding tanaman lain, yaitu berkisar Rp 5.600,- per kg. Pada tanaman wortel pergerakan harga relatif stabil sepanjang tahun 2009, berkisar Rp 1.767,- per kg. Untuk tanaman bawang daun, pengalaman harga bawang daun yang jatuh sampai ke level Rp 500,- per kg membuat petani enggan untuk melakukan penanaman tanaman tersebut. Berbeda dengan tanaman lain, tanaman stroberi tidak dipengaruhi harga melainkan pembudidayaannya hanya tersebar disatu daerah saja, sehingga banyak petani yang tidak melakukan pembudidayaan tanaman tersebut kecuali kelompok tani yang mendapatkan bantuan pengembangan tanaman stroberi. Berdasarkan paparan di atas, tanaman yang diikutsertakan dalam penyusunan pola tanam adalah tanaman cabe merah,
62
wortel, bawang daun dan kembang kol serta tidak mengikutsertakan tanaman buncis dan stroberi.
Penyusunan Pola Tanam Hasil AHP dan preferensi pemilihan tanaman pada musim I menunjukkan bahwa tanaman cabe merah lebih menarik untuk dikembangkan dibanding pada musim II. Pada musim tanam II petani dihadapkan pada intensitas curah hujan yang
mengakibatkan
cabe
merah
rentan
terserang
penyakit,
sehingga
kemungkinan keberhasilan menanam tanaman cabe merah sangat kecil. Untuk tanaman selain cabe merah dapat dibudidayakan disetiap musim, karena secara umum tidak begitu berpengaruh pada perubahan cuaca. Prinsip perencanaan pola tanam juga menganut sistem polikutur (tumpang sari), sehingga selain dilakukan pemilihan tanaman utama juga dilakukan pemilihan tanaman sekunder sebagai tanaman sela. Tanaman utama merupakan tanaman unggulan, sedangkan tanaman sekunder diperoleh melalui wawancara kepada petani. Pada saat wawancara diberikan batasan kepada petani bahwa hanya satu tanaman utama dan satu tanaman sekunder, sedangkan jenis tanaman sekunder yang dapat mendampingi tidak dibatasi. Tabel 17 menunjukkan bahwa mayoritas para petani memilih tanaman bawang daun dan sawi sebagai tanaman sekunder bila akan mengusahakan sistem pertanaman tumpang sari. Berdasarkan hasil wawancara terdapat enam alternatif pola tanam yaitu cabe merah, wortel+bawang daun, wortel + sawi, bawang daun + sawi, kembang kol + bawang daun dan kembang kol + sawi. Tabel 17 Kecenderungan pemilihan tanaman utama dan sekunder No 1 2 3 4
Tanaman Utama Cabe Merah Wortel Bawang Daun Kembang Kol
Alternatif Tanaman Sekunder 1 2 Bw Daun Sawi Sawi Bw Daun Sawi
63
Penggunaan dan Kesesuaian Lahan Perencanaan penggunaan lahan meliputi pengukuran potensi dan kesesuaian lahan suatu pengusahaan untuk berbagai jenis penggunaan lahan. Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penilaian potensi penggunaan lahan dan kesesuaian komoditas unggulan merupakan salah satu unsur perencanaan penggunaan lahan. Penilaian ini bertujuan untuk melihat sebaran luasan kesesuaian lahan komoditas unggulan terhadap penggunaan lahan eksisting dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).
Penggunaan dan Tutupan Lahan Kawasan Budidaya Identifikasi kawasan budidaya dibagi menjadi dua kategori, yaitu rencana kawasan budidaya yang dituangkan dalam RTRW dan kawasan budidaya eksisting (saat sekarang). Kawasan budidaya berdasarkan RTRW telah ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Rejang Lebong, sedangkan kawasan budidaya eksisting diketahui melalui pengelompokan kelas penggunaan dan tutupan lahan melalui interpretasi citra. Pengelompokan kelas penggunaan dan tutupan lahan di Kecamatan Selupu Rejang dikelompokan menjadi sembilan kelompok yaitu badan air, hutan konservasi, hutan rakyat, kawah, kebun/tegalan, pemukiman, pertanian lahan kering, sawah dan semak belukar. Pengelompokan kelas-kelas penggunaan dan tutupan lahan ditentukan melalui pengecekan lapangan terlebih dahulu. Berdasarkan pengecekan lapangan, karakterisik kelas penggunaan dan tutupan lahan adalah sebagai berikut: 1. Badan Air Secara fisik di lapangan badan air merupakan penutupan yang dipenuhi oleh genangan air seperti danau, sungai ataupun lahan terbuka yang tegenang air (rawa). Pada citra SPOT 5 penampakan badan air terlihat dengan warna ungu tua. Untuk sungai biasanya terlihat memanjang mengikuti lereng. 2. Hutan Konservasi Dengan tekstur yang relatif kasar penggunaan hutan konservasi di Kecamatan Selupu Rejang mendominasi luasan yang cukup luas. Pencirian hutan ini
64
cukup mudah dilakukan karena lokasi hutan ini jauh dari pemukiman penduduk dan terletak di daerah pegunungan di utara dan selatan Kecamatan Selupu Rejang. Pada citra SPOT 5 hutan konservasi terlihat dengan warna hijau tua. 3. Hutan Rakyat Hutan ini memiliki tekstur yang lebih halus dari hutan konservasi, tetapi masih kasar. Pola hutan rakyat menyebar dan relatif lebih kecil luasannya di banding dengan hutan konservasi. Pencirian lain yang mudah dilakukan adalah hutan ini terletak relatif lebih dekat dari hutan konservasi. Pada citra SPOT 5 hutan rakyat terlihat dengan warna hijau. 4. Kawah Kawah merupakan bagian dari pegunungan aktif yang terdapat di bagian selatan Kecamatan Selupu Rejang. Jika dilihat dari citra SPOT 5 secara jelas dapat dilihat dan dideliniasi batasan-batasan kawah pada pegunungan tersebut. Warna kawah yang terlihat di SPOT 5 terlihat berwarna putih. 5. Kebun/Tegalan Penampakan citra SPOT 5 terlihat dengan tektur yang relaif masih kasar, dengan warna hijau dengan pola yang sangat tidak teratur dan menyebar. Kebun/tegalan ini terletak relatif dekat dari daerah pemukiman dan pertanian lahan kering. Pada penggunaan lahan ini bisanya ditanam dengan tanaman kopi dan tanaman buah. 6. Pemukiman Pola pemukiman jika dilihat dari citra SPOT 5 sangat terpola. Penggunaannya mengikuti jalan yang melintasi kecamatan Selupu Rejang. Pada citra ini warna penggunaan lahan pemukiman sangat terang yakni perak. 7. Pertanian Lahan Kering Penggunaan lahan ini merupakan areal yang banyak ditemui di sepanjang jalan dan dekat dengan pemukiman. Penggunaan lahan ini jika dilihat dari citra SPOT 5 menggambarkan persil-persil yang mengelompok dan relatif menyebar dengan warna putih dengan tekstur cukup halus.
65
8. Sawah Sawah merupakan bagian dari penggunaan lahan yang tertutup dengan badan air, oleh karenanya pada citra SPOT 5 tektur dan warna hampir menyerupai penggunaan lahan danau yaitu tektur halus dan berwarna ungu muda. 9. Semak Belukar Tektur yang cukup halus dengan warna hijau, merupakan penciri yang dimunculkan oleh tutupan lahan semak belukar. Pada kondisi fisik wilayah biasanya terletak di dekat danau ataupun pada lahan terbuka yang tidak bisa diusahakan lahan pertanian. Hasil interpretasi citra SPOT 5 dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing mengambarkan pola sebaran penggunaan dan tutupan lahan yang bervariasi (Tabel 18). Tutupan lahan terbesar didominasi oleh hutan konservasi (46,74%), sedangkan yang terkecil adalah tutupan lahan badan air (0,1%). Pemukiman mengambil luasan sebesar 1,04% dari keseluruhan luas Kecamatan Selupu Rejang atau sekitar 160 ha, sedangkan pertanian lahan kering yang menjadi lokasi budidaya tanaman sayuran mempunyai luasan sekitar 16,8% atau sekitar 2.660 ha (Tabel 18). Tabel 18 Distribusi penggunaan dan tutupan lahan di Kecamatan Selupu Rejang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penggunaan dan Tutupan Lahan Badan Air Hutan Konservasi Hutan Rakyat Kawah Kebun/Tegalan Pemukiman Pertanian Lahan Kering Sawah Semak Belukar Jumlah
Luas (ha) 10 7.380 1.960 80 2.130 160 2.660 60 1.350 15.790
Persentase (%) 0,10 46,74 12,42 0,52 13,47 1,04 16,83 0,37 8,52 100,00
66
Gambar 13 Peta penggunaan/tutupan lahan Kawasan Agropolitan Selupu Rejang Menurut buku Bantuan Teknis Penyusunan RTRW Kabupaten Rejang Lebong luas optimal kawasan budidaya di Kecamatan Selupu Rejang sebesar 3.808 ha dari 77.646 ha luas optimal kawasan di Kabupaten Rejang Lebong.
67
Kawasan budidaya ini mengambil porsi sebesar 24,13 % dari luas total wilayah Kecamatan Selupu Rejang. Luas kawasan ini termasuk pada kawasan pemukiman seluas 160 ha dan kawasan budidaya ini selain untuk budidaya pertanian termasuk di dalamnya kawasan budidaya peternakan dan perikanan darat (Tabel 19). Adapun secara visual penggunaan lahan di Kawasan Agropolitan Selupu Rejang dapat dilihat pada Gambar 13. Tabel 19 Luas optimal kawasan budidaya Kecamatan Selupu Rejang No 1 2 3 4
Penggunaan Lahan
3.467
Persentase (%) 21,95
3.073 5.444 3.808 15.792
19, 45 34,47 24,13 100,00
Luas (ha)
TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat) TWA (Taman Wisata Alam) Lereng > 40 % Kawasan Budidaya Jumlah
Sumber : Bantuan Teknis Penyusunan RTRW Kabupaten Rejang Lebong (2006)
Berdasarkan
perbandingan
penggunaan
lahan
yang diperoleh
dari
interpretasi citra tahun 2008 dan buku Bantuan Teknis Penyusunan RTRW, kecamatan Selupu Rejang telah memanfaatkan sekitar 2.660 ha kawasan budidaya atau sekitar 71,5% dari luasan optimal yang dicanangkan, artinya Kecamatan Selupu Rejang memiliki potensi pengembangan kawasan budidaya sebesar 28,5%. Sedangkan berdasarkan visualisasi di peta, terdapat kawasan budidaya yang lokasinya tidak sesuai dengan RTRW kabupaten sebesar 220 ha.
Analisis Kesesuaian Lahan Komoditas unggulan secara umum cocok dibudidayakan di Kawasan Agropolitan Selupu Rejang. Ini dilihat dari verifikasi di lapangan yang mayoritas melakukan budidaya sayuran. Namun untuk memperkuat penilaian di lapangan dilakukan penilaian kesesuaian lahan terhadap komoditas unggulan tersebut. Penilaian kesesuaian lahan untuk masing-masing tanaman berdasarkan kriteria Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Republik Indonesia, sedangkan metode yang dilakukan adalah metode matching antara kriteria tanaman dan sifat fisik, kimia dan karakter iklim wilayah yang dimiliki per satuan lahan. Adapun sifat fisik dan kimia diambil dari peta tanah semi-detil wilayah
68
Selupu Rejang 1:50.000, sedangkan peta iklim di ambil dari peta land system kabupaten Rejang Lebong skala 1:250.000. Penilaian kesesuaian lahan di kawasan pusat Agropolitan tidak dilakukan pada keseluruhan penggunaan lahan tetapi pada kawasan budidaya eksisting dan yang dicanangkan berdasarkan RTRW Kabupaten. Satuan lahan akan menjadi acuan penilaian kesesuaian lahan dan akan mempermudah penilaian evaluasi kesesuaian lahan karena menjadi satuan peta lahan yang homogen. Keluaran yang dihasilkan dari analisis ini adalah kesesuaian lahan aktual yang selanjutnya ditingkatkan menjadi kesesuaian lahan potensial setiap tanaman pada satuan peta lahan yang bersangkutan. Menurut Dent dan Young (1993) tingkat kesesuaian lahan dapat berupa gambaran keadaan lahan pada saat penelitian, yang disebut kesesuaian lahan aktual, ataupun kesesuaian lahan setelah dilakukan perbaikan, atau input tertentu, yang disebut kesesuaian lahan potensial. Peningkatan status kesesuaian lahan ini merupakan kesesuaian aktual yang disesuaikan perbaikan (pemupukan dan konservasi sederhana) yang dilakukan pertani setempat. Pemupukan yang dilakukan petani secara umum telah mendekati anjuran pembudidayaan tanaman unggulan dan penerapan teknik konservasi telah diterapkan seperti pembuatan teras, penerapan mulsa organik dan plastik. Hasil penilaian kesesuaian lahan potensial untuk keseluruhan tanaman menghasilkan empat kelas kesesuaian lahan, tingkat kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marjinal) dan N (tidak sesuai). Secara umum hasil kesesuaian lahan dari kawasan pertanian eksisting menunjukkan bahwa hanya sekitar 180 ha lahan yang tidak cocok untuk dibudidayakan dari total luas pengusahaan sebesar 2.660 ha, sedangkan berdasarkan kawasan pertanian RTRW menunjukkan bahwa secara umum cocok untuk dilakukan budidaya tanaman unggulan dan hanya sekitar 10 ha lahan tidak mendukung untuk dilaksanakan aktifitas budidaya tanaman unggulan. Faktor pembatas kualitas lahan adalah media perakaran dengan karekteristik lahan tekstur. Sebenarnya pada wilayah tersebut bisa saja dilakukan perbaikan untuk dilakukan pengusahaan budidaya sayuran, hanya saja mengingat faktor pembatas tersebut sulit untuk diperbaiki kecuali dengan input teknologi maka nilai ekonomi tanaman akan semakin menurun jika diaplikasikan pengelolaan tingkat tinggi sehingga
69
menjadi tidak efisien. Berdasarkan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), usaha perbaikan harus memperhitungkan secara ekonomi dan memberikan keuntungan, artinya antara modal atau investasi dan teknologi yang diberikan sebanding dengan nilai produksi yang masih mampu memberikan keuntungan. Hasil kesesuaian lahan potensial tanaman unggulan dapat dilihat pada Lampiran 9. Potensi Kawasan Budidaya Hasil kesesuaian lahan menyimpulkan bahwa dari penilaian karakteristik lahan, mayoritas komoditas sayuran layak untuk dibudidayakan di Kawasan Agropolitan Selupu Rejang. Gambar 14 memperlihatkan beberapa kelas kawasan budidaya yang perlu mendapat perhatian, yaitu 1) aktifitas budidaya sesuai RTRW kawasan budidaya, dan 2) aktifitas budidaya di luar RTRW kawasan budidaya. Aktifitas budidaya sesuai RTRW dibagi menjadi kawasan yang mendukung dan kawasan yang tidak mendukung berdasarkan karakteristik tanah dan iklim. Secara umum dalam kawasan RTRW mendukung untuk budidayakan komoditas unggulan, namun terdapat beberapa titik yang memperlihatkan bahwa adanya lokasi yang tidak mendukung sebesar 10 ha berdasarkan karakteristik lahan. Luasan ini telah dimanfaatkan oleh petani setempat, artinya ini dapat menjadi peringatan bagi pemerintah daerah agar dapat menghimbau petani untuk beralih ke tempat yang direkomendasikan dilaksanakan aktifitas budidaya. Begitupun dengan kategori kedua, yaitu aktifitas budidaya diluar RTRW kawasan budidaya. Kawasan ini dibagi menjadi kawasan budidaya diluar RTRW yang mendukung dilakukannya aktifitas budidaya dan kawasan yang tidak mendukung dilakukannya aktifitas budidaya berdasarkan karakteristik lahan. Luas kategori aktifitas budidaya diluar RTRW kawasan budidaya memang tidak begitu besar, hanya sebesar 220 ha atau 6% dari luas kawasan budidaya berdasarkan RTRW, sedangkan proporsi luasan lahan yang mendukung dilakukannya aktifitas budidaya berdasarkan karaktersitik lahan sebesar 40 ha dan yang tidak mendukung dilakukannya aktifitas budidaya berdasarkan karaktersitik lahan sebesar 180 ha.
70
Gambar 14 Peta potensi kawasan budidaya sayuran
71
Pemanfaatan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW perlu mendapat perhatian, karena konflik kepentingan penggunaan lahan dapat mengganggu sasaran pembangunan dan sebaiknya diatasi sejak dini. Walaupun sebaran lokasi tidak begitu besar, hal ini perlu ditindaklanjuti agar pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukan RTRW dan tujuan pebangunan dapat tercapai. Sedangkan untuk kawasan yang berdasarkan karaktersitik lahan tidak mendukung kegiatan pertanian sebaiknya dihindari, karena dampak langsung yang dihasilkan adalah peningkatan input produksi yang mempengaruhi pendapatan petani.
Analisis Kelayakan Finansial Kelayakan finansial usahatani merupakan suatu hal penting yang harus diidentifikasi karena faktor paling penting yang akan membuat petani terus bertani adalah seberapa besar nilai tambah yang bisa diperoleh. Semakin kecil keuntungan yang diperoleh, maka keberlangsungan aktivitas usahatani akan sulit untuk dipertahankan. Petani akan terdorong untuk menjual lahannya dan berganti profesi atau pindah ke kota untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Sebaliknya, apabila keuntungan usahatani semakin besar maka petani akan semakin terdorong untuk terus melakukan investasi dan inovasi teknologi. Oleh karena itu dalam jangka panjang, marjin keuntungan yang memadai akan mampu mendorong perkembangan sektor pertanian itu sendiri, baik dari sisi skala aktivitasnya maupun teknologi yang digunakannya. Analisis kelayakan usahatani dilakukan terhadap komoditi-komoditi hasil analisis komoditas unggulan terpilih di Kecamatan Selupu Rejang yang juga dianggap berpengaruh besar bagi perekonomian masyarakat di wilayah Kecamatan Selupu Rejang. Metode analisis yang digunakan untuk menentukan kriteria layak atau tidaknya usaha untuk dijalankan adalah dengan menghitung Net Benefit Cost Ratio (Net BCR). Bila nilai Net BCR > 1 maka usaha tersebut layak secara finansial untuk dilakukan, sedangkan bila Net BCR < 1 maka usaha tersebut dianggap tidak layak dilaksanakan. Adapun asumsi yang dilakukan pada analisa usahatani pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Budidaya tanaman dilakukan dengan sistem penanaman monokultur dan polikultur dengan teknik budidaya yang umum dilaksanakan.
72
2. Satuan lahan diasumsikan merupakan hak milik petani. 3. Harga komoditas yang berlaku adalah harga rata-rata tahun 2008. 4. Harga satuan input produksi pertanian didasarkan atas wawancara. 5. Jumlah produksi yang dihasilkan didasarkan atas data statistik. 6. Satuan luasan dalam melaksanakan analaisa usahatani ini adalah per satuan hektar. 7. Keragaman karakteristik lahan dianggap sama, sehingga input produksi pada keseluruhan satuan lahan tiap komoditas adalah sama. Data yang digunakan merupakan data input dan output produksi pola tanam komoditi unggulan terpilih hasil wawancara dengan petani yang mengusahakan komoditi tersebut di Kecamatan Selupu Rejang. Petani responden yang diwawancarai sebanyak 27 orang, namun sebagai data pelengkap penelitian menggunakan data dari berbagai sumber misalnya toko, PPL, dan beberapa buku rujukan. Tanaman yang dianalisis merupakan pola tanam yang telah disusun sebelumnya (Tabel 17). Hasil analisis Net BCR komoditi unggulan di Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Nilai Net Benefit Cost Ratio (Net BCR) komoditi unggulan per satuan hektar (ha) per musim tanam di Kecamatan Selupu Rejang Pola Penanaman Tanaman Utama Tanaman Sela Cabe Merah Wortel Bw Daun Sawi Bw Daun Sawi Kembang Kol Bw Daun Sawi
Keuntungan Produksi (Rp) 70.452.425 16.395.233 19.637.740 27.039.175 48.460.424 54.351.578
BCR 3,90 2,18 2,13 2,99 4,78 5,04
Berdasarkan dari nilai BCR, nilai BCR besar terletak pada pola tanam kembang kol+sawi (nilai BCR 5,04) dan kembang kol+bawang daun (nilai BCR 4,78). Sedangkan kelompok tanaman dengan nilai BCR terkecil terletak pada pola tanam wortel+bawang daun (nilai BCR 2,18) dan wortel+sawi (nilai BCR 2,13). Tingginya nilai BCR kembang kol dan rendahnya nilai wortel tidak jauh dari pemakaian input produksi, hasil produksi dan harga jual rata-rata pertahun. Sama seperti cabe merah, harga jual dan produktivitas kembang kol dan wortel sangat mempengaruhi. Produktivitas kembang kol yang tidak begitu menonjol diimbangi
73
dengan harga kembang kol yang baik memberikan nilai BCR yang bagus, sedangkan harga wortel yang bagus tidak dimbangi oleh produktivitas wortel. Berdasarkan hasil ini bahwa nilai Net BCR semua komoditi unggulan > 1, sehingga semua pola tanam tanaman komoditas unggulan layak diusahakan di daerah ini.
Perencanaan Pola Tanam Perencanaan pola tanam membuat alternatif pola tanam antar musim dengan pola tanam dalam musim yang telah ditetapkan. Perencanaan pola tanam antar musim dilakukan melalui wawancara dengan petani. Beberapa pertimbangan dalam menyusun pola tanam ini adalah jenis tanaman dan kebutuhan luas lahan minimal dalam tiap musim per tahunnya. Pada penyusunan pola tanam antar musim, pemilihan musim tanam para petani lebih cenderung meletakkan cabe merah untuk diusahakan pada musim pertama (Oktober-Maret) dan tanaman lain di kedua musim. Pemilihan ini dikarenakan peluang petani yang lebih besar dalam keberhasilan panen dibanding musim kedua, walaupun sebagian petani juga melakukannya di musim kedua (April-September). Dari hasil wawancara didapatkan 3 alternatif yang mungkin dilakukan oleh petani dengan empat tanaman utama yaitu cabe merah, wortel, bawang daun dan kembang kol, dengan cabe merah yang dibudidayakan secara monokultur (Tabel 21). Tabel 21 Alternatif perencanaan pola tanam Alternatif I Musim I Cabe Merah
Musim II Bw Daun, Sawi
Wortel, Sawi
Kembang Kol, Bw Daun
Bw Daun, Sawi
Cabe Merah
Kembang Kol, Sawi
Wortel, Bw Daun
Alternatif II Musim I Cabe Merah Wortel, Bw Daun Bw Daun, Sawi Kembang Kol, Bw Daun
Musim II Bw Daun, Sawi Kembang Kol, Sawi
Alternatif III Musim I Bw Daun, Sawi Kembang Kol, Bw Daun
Musim II Cabe Merah Wortel, Sawi
Cabe Merah
Cabe Merah
Bw Daun, Sawi
Wortel, Sawi
Wortel, Bw Daun
Kembang Kol, Sawi
74
Optimasi Pola Tanam Disribusi Pola Tanam Perhitungan optimasi pola tanam bertujuan untuk mengoptimalkan hasil ekonomi dengan sumberdaya yang ada. Sumberdaya yang dipertimbangkan antara lain batasan minimal dan maksimal luas panen untuk masing-masing komoditas agar tidak terjadi kelebihan produksi dan memenuhi kebutuhan produksi minimal. Dengan cara ini kestabilan harga diharapkan juga dapat terjaga karena pergerakan harga secara sederhana dipengaruhi oleh supply dan demand. Kebutuhan luas lahan dapat dilihat pada Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22 total kebutuhan luas lahan tamanan unggulan sebesar 1.733 ha pada musim I dan 1.928 ha pada musim ke II. Luas ini masih di bawah dari pemafaatan luas lahan eksisting tanaman sayuran sebesar 2.658 ha, sehingga untuk budidaya komoditas sayuran lain masih dapat dimanfaatkan. Tabel 22 Kebutuhan luas lahan minimal dan maksimal tiap musim per komoditas Komoditi Cabe Merah Wortel Bawang Daun Kembang Kol Jumlah
Kebutuhan Lahan Pergeseran Luas Minimal (ha) Panen (%) Musim I Musim II Musim I Musim II 231 416 28,62 17,92 534 603 6,01 7,35 600 496 9,56 6,23 195 233 8,88 13,18 1.560 1.747
Kebutuhan Lahan Maksimal (ha) Musim I Musim II 297 491 566 647 658 526 212 264 1.733 1.928
Selain untuk kebutuhan per musimnya, perhitungan optimasi juga mempertimbangkan sebaran produksi perbulannya melalui kebutuhan luas panen bulanan. Gambar 16 memperlihatkan kondisi interaksi luas panen dan harga tahun lalu serta pola tanam yang diharapkan untuk tanaman cabe merah. Interaksi produksi dan kebutuhan cabe merah menimbulkan pergerakan harga. Contohnya pada bulan September-Oktober menunjukkan harga cabe merah tinggi, pergerakan ini dikarenakan oleh permintaan cabe merah yang tinggi, namun tidak dibarengi produksi yang tinggi pula pada bulan tersebut. Produksi yang tidak dapat memenuhi permintaan pasar dapat diartikan luas panen yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ada. Untuk mengantisipasi kebutuhan produksi di
75
bulan September-Oktober, distribusi penanaman cabe merah yang diharapkan adalah luas penanaman yang tinggi pada musim II khususnya di bulan April. Pada bulan yang lain, sebarannya relatif merata sehingga kebutuhan luas tanam diharapkan relatif merata sebesar 60 ha per bulan. Dengan penerapan pola tanam ini diharapkan harga cabe merah akan berada di sekitar Rp 17.900,- pada musim pertama dan Rp 17.300,- pada musim kedua. Penerapan pola ini untuk menghindari pergerakan harga yang fluktuatif akibat interaksi luas panen (produksi) dan kebutuhan. Produksi yang melimpah jika tidak dibarengi dengan kebutuhan yang tinggi akan menimbulkan rendahnya harga, sedangkan kebutuhan yang tinggi jika dibarengi produksi yang sedikit akan menimbulkan harga yang tinggi. Kondisi ini tidak menguntungkan, harga tinggi tidak menguntungkan bagi
35.000
140
30.000
120
25.000
100
20.000
80
15.000
60
10.000
40
5.000
20
-
Harga
Gambar 15
Luas (ha)
Harga (Rp)
konsumen sedangkan harga rendah tidak menguntungkan bagi pelaku usaha.
-
Luas Tanam Optimasi
Luas Panen Sebelumnya
Grafik kecenderungan harga, distribusi luas panen sebelumnya dan distribusi luas tanam yang diharapkan komoditi cabe merah
Pada tanaman wortel, proyeksi luas tanam yang diharapkan relatif merata sepanjang tahun sebesar 90-100 ha per bulan, namun yang harus diperhatikan adalah kebutuhan pada bulan Juli dan Agustus yang berkisar 40 dan 120 ha (Gambar 16). Untuk harga pada tahun sebelumnya harga wortel relatif tinggi pada bulan Februari, Maret dan November. Hal ini dikarenakan kebutuhan wortel
76
meningkat namun tidak dibarengi produksi yang cukup. Untuk mengantisipasi hal tersebut berdasarkan masa panen tanaman wortel yang mencapai tiga bulan setelah tanam maka luas tanam pada musim kedua di bulan Agustus diharapkan mencapai 120 ha. Dengan penerapan pola tanam ini diharapkan harga wortel akan berada di sekitar Rp 1.800,- pada musim pertama dan Rp 1.600 pada musim
3.000
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 -
Harga (Rp)
2.500 2.000 1.500 1.000 500 -
Harga
Gambar 16
Luas Tanam Optimasi
Luas (ha)
kedua.
Luas Panen Sebelumnya
Grafik kecenderungan harga, distribusi luas panen sebelumnya dan distribusi luas tanam yang diharapkan komoditi wortel
Pada tanaman bawang daun, kebutuhannya tidak merata, luas tanam yang tertinggi dibutuhkan pada bulan Agustus dan November sebesar 140 ha, sedangkan bulan yang lain berkisar sebesar 80 ha. Pola ini didasarkan atas waktu panen tanaman bawang yang berkisar dua bulan setelah masa tanam. Dengan penerapan pola tanam ini diharapkan harga bawang daun akan berada di sekitar Rp 2.700,- pada musim pertama dan Rp 2.000 pada musim kedua. Sedangkan pada tanaman kembang kol, kebutuhan luas tanam terbesar terdapat pada bulan Juni (50 ha) dan Juli (70 ha), sedangkan untuk bulan-bulan lain kebutuhan relatif merata sebesar 30 ha. Dengan penerapan pola tanam ini diharapkan harga kembang kol akan berada di sekitar Rp 5.700,- pada musim pertama dan Rp 5.600
77
pada musim kedua. Penerapan ini juga memperhitungkan waktu panen kembang
180
4.000
160
3.500
140
3.000
120
2.500
100
2.000
80
1.500
60
1.000
40
500
20
-
-
Harga
Gambar 17
Harga (Rp)
Luas (ha)
4.500
Luas Tanam Optimasi
Luas Panen Sebelumnya
Grafik kecenderungan harga, distribusi luas panen sebelumnya dan distribusi luas tanam yang diharapkan komoditi bawang daun
16.000
90
14.000
80
12.000
70 60
10.000
50
8.000
40
6.000
30
4.000
20
2.000
10
-
Harga
Gambar 18
Luas (ha)
Harga (Rp)
kol yang berkisar 2,5-3 bulan dari masa panen.
-
Luas Tanam Optimasi
Luas Panen Sebelumnya
Grafik kecenderungan harga, distribusi luas panen sebelumnya dan distribusi luas panen yang diharapkan komoditi kembang kol
78
Penerapan distribusi luas pola tanam di atas diharapkan dapat menstabilkan harga tanpa mengesampingkan keuntungan yang didapat oleh petani. Luas pola tanam yang dianjurkan adalah luasan minimal dan maksimal untuk suatu tanaman, sehingga direkomendasikan melakukan penanaman dalam batasan minimal dan maksimal (Tabel 22). Melewati batas rekomendasi luas tanam dapat menimbulkan turunnya harga karena produksi yang melimpah, sedangkan jika penanaman suatu tanaman kurang dari luasan minimal akan menimbulkan melambungnya harga karena produksi yang berkurang. Batas maksimal juga dapat mengantisipasi kegagalan panen suatu komoditas, dengan asumsi tidak melebihi pergeseran luas panen yang diharapkan. Koordinasi kebutuhan produksi untuk menjangkau daerah sekitar yang tidak memiliki sentra sayuran terhadap komoditas sangat diperlukan mengingat kondisi geografis Kawasan Agropolitan Selupu Rejang sebagai pusat kawasan juga didukung oleh daerah sekitar. Tercatat sebanyak empat kecamatan (Sindang Kelingi, Bermani Ulu, Curup dan Ujan Mas) yang mendukung pusat kawasan sebagai kawasan hinterland. Penerapan ini lebih lanjut dapat juga dikoordinasikan kepada sentra sayuran tetangga yang memungkinkan menjadi partner dalam mensuplai kebutuhan komoditas hortikultura khususnya sayuran.
Dampak Optimasi Pola Tanam Optimasi pola tanam dilakukan dengan fungsi tujuan memaksimumkan pendapatan petani sekaligus pemenuhan kebutuhan atas tanaman unggulan, sedangkan faktor yang merupakan pembatas dalam kegiatan usahatani dimasukkan sebagai kendala. Jika pola tanam dijalankan maka petani akan memperoleh tingkat pendapatan yang lebih besar dibanding dengan apa yang sudah dilakukan selama ini, karena dalam solusi optimal terjadi relokasi sumberdaya sehingga menjadi lebih efisien. Kebutuhan luas lahan minimum yang dimasukkan dalam faktor kendala adalah luasan tanaman unggulan tertentu di musim tertentu, sedangkan luasan maksimal tanaman budidaya didasarkan pada luasan eksisting penggunaan lahan kering. Tabel 22 menunjukkan distribusi luasan lahan optimum berdasarkan alternatif penggunaan lahan.
79
Penerapan pola tanaman ini memberikan dampak ekonomi yang cukup signifikan bagi Kawasan Agropolitan, berdasarkan perhitungan optimasi lahan dengan metode linear programming didapatkan bahwa dengan pelaksanaan optimasi lahan melalui alternatif II diperoleh pendapat yang didapat per ha sebesar 76,1 juta rupiah. Sedangkan di posisi ke-2 dan ke-3 yang mampu memberikan pendapatan terbesar berturut yaitu melalui alternatif I dan III dengan besar pendapatan sebesar 75,3 juta rupiah dan 72,4 juta rupiah. Perhitungan optimasi dengan metode linear programming juga didapatkan bahwa, dengan pelaksanaan optimasi lahan melalui alternatif III diperoleh selisih pendapat yang didapat sebesar 16,8 miliar rupiah atau lebih besar 14,3% dari penanaman tanpa pelaksanaan optimasi. Sedangkan di posisi ke-2 dan ke-3 yang mampu memberikan pendapatan terbesar berturut yaitu melalui alternatif II dan I dengan besar pendapatan sebesar 15,0 miliar rupiah atau lebih besar 12,0% dari penanaman tanpa optimasi dan 14,4 miliar rupiah atau 11,6% dari penanaman tanpa optimasi. Jika dilihat dari seluruh total luasan optimasi dengan menggunakan alternatif I memungkinkan penerimaan sebesar 139 miliar rupiah per tahun dan berturut-turut 140 milliar rupiah dan 134 miliiar rupiah untuk alternatif II dan III (Tabel 23). Tabel 23 Perbandingan penerimaan secara ekonomi pola tanam sebelum dan setelah optimasi Pendapatan tahun
ha/tahun
Alternatif Alteratif I Alternatif II Alternatif III Alteratif I Alternatif II Alternatif III
Sebelum Optimasi (ribuan Rp) 124.583.613 125.551.410 117.803.008 74.746 75.233 70.052
Setelah Optimasi (ribuan Rp) 139.058.915 140.640.824 134.616.867 75.383 76.169 72.492
Selisih (ribuan Rp) 14.475.302 15.089.413 16.813.859 637 936 2.439
Berdasarkan kebutuhan minimal produksi sayuran yang harus dipenuhi, dari ketiga alternatif tersebut dapat dilihat bahwa dengan penggunaan seluruh alternatif, pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan minimal seluruh tanaman selama satu tahun. Kelebihan kebutuhan per tahun berkisar 1.008 ton (3 ton per hari) untuk cabe merah, 805 ton per tahun (2 ton per hari) untuk wortel,
80
4.410 – 5.501 ton (12-18 ton per hari) untuk bawang daun dan 423 ton per tahun (1 ton per hari) untuk kembang kol. Kelebihan produksi tersebut diperkirakan tidak akan mempengaruhi fluktuasi harga di tingkat lokal karena telah memperhitungkan pergeseran kebutuhan produksi maksimal per bulan. Tabel 24 Pemenuhan kebutuhan produksi komoditas unggulan terpilih sebelum dan setelah optimasi Tanaman
Total (ton)
Cabe Merah Wortel Bawang Daun Kembang Kol Petsai/Sawi
4.638 11.980 10.731 4.371 3.771
Selisih terhadap kebutuhan (ton/thn) Alternati I Alternatif II Alternatif III 1.008 1.008 1.008 805 805 805 5.044 6.501 4.410 423 423 423 9.124 7.043 10.031
Strategi Penerapan Optimasi Pola Tanam Keberhasilan dan keberlanjutan optimasi pola tanam ditentukan oleh masyarakat dan pemerintah, yaitu persepsi dan partisipasi masyarakat serta komitmen menjalankan kebijakan oleh pemerintah. Peningkatan persepsi dan partisipasi masyarakat difokuskan kepada pelaku agropolitan langsung yaitu petani. Partisipasi masyarakat memiliki ragam bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Sedangkan pemerintah memiliki perpanjangan di lapangan melalui badan/kelembagaan yang berwenang mengelola agropolitan. Hadirnya kelembagaan dapat memberikan proteksi, melaksanakan fungsi dan regulasi di kawasan agropolitan sehingga kehadirannya diharapkan dapat meneguhkan komitmen dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kawasan. Salah satunya dengan berperan besar terhadap koordinasi penataan ruang kawasan agropolitan. Nilai-nilai budaya lokal yang masih dipertahankan merupakan tantangan bagi penerapan pola tanam ini, terutama penerapan pola tanam berdasarkan tradisi. Pola tanam sebaiknya tidak hanya berorientasi subsiten namun harus berorientasi pada keuntungan. Transformasi ini perlu keberanian baik dari petani sebagai pelaku utama dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Pendekatan
81
persuasif kepada masyarakat sejak dini harus dilakukan baik melalui ruang diskusi maupun mengikutsertakan masyarakat pada penyusunan kebijakan. Peningkatan partisipasi masyarakat di Kawasan Agropolitan Selupu Rejang dimulai dari tahap perencanaan, dalam hal ini adalah pengaturan pola tanam. Perlunya komunikasi dua arah antara pemerintah dengan masyarakat secara terbuka mengenai kebijakan implementasi pola tanam ini, terutama mengenai keunggulan dan resiko yang akan diterima, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Pendekatan persuasif
kepada
masyarakat
diharapkan
dapat
meningkatan
partisipasi
masyarakat dan dapat meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap program agropolitan yang pada akhirnya dapat menjaga keberlanjutan program agropolitan. Pendistribusian pola tanam nantinya diharapkan menjadi sistem peringatan dini bagi penyuluh yang wajib disampaikan kepada petani di Kawasan Agropolitan Selupu Rejang. Pengawasan luas tanam dan pengawasan tanaman gagal panen diharapkan dapat terus terlaksana, agar dapat memenuhi kuota produksi dan mempertahankan harga yang stabil. Penerapan ini juga diharapkan dapat meningkatkan keunggulan komparatif komoditas unggulan menjadi komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif karena petani dan penyuluh tidak lagi memikirkan bagaimana pemenuhan kuota produksi dan harga yang stabil melainkan sudah dapat berkonsentrasi meningkatkan mutu komoditas unggulan itu sendiri.