88
V HASIL DAN PEMBAHASAN
. 5.1. Perkembangan Komoditas`Sayuran di Jawa Timur
Peran utama sub sektor hortikultura dalam pemberdayaan ekonomi dan sumberdaya domestik adalah penyediaan pangan dan gizi nasional serta penyedia bahan baku industri pengolahan. Komoditas hortikultura yang terdiri dari buahbuahan, sayuran tanaman hias dan obat merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat. Fokus pengembangan komoditas sayuran tidak hanya pada upaya peningkatan produksi, tetapi terkait dengan isu-isu strategis seperti mutu, daya saing dan akses pasar. Sesuai dengan arah kebijakan di tingkat pusat, berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan komoditas sayuran, perlu diatasi melalui pendekatan strategi yang dikenal sebagai 6 (enam) Pilar Pengembangan Tanaman Sayuran, yang dilakukan secara simultan dan terpadu dari tingkat pusat hingga daerah, yakni : (1) Pengembangan kawasan agribisnis tanaman sayuran; (2) Penataan rantai pasokan (Supply Chain Management) (SCM); (3) Penerapan budidaya tanaman yang baik (Good Agriculture Practices) (GAP) dan Standard Operational Prosedure (SOP); (4) Fasilitasi terpadu investasi sayuran; (5) Pengembangan kelembagaan usaha dan (6) Peningkatan konsumsi dan akselerasi ekspor (Ditjen Tanaman Hortikultura 2009). Keenam pilar tersebut dijabarkan dalam bentuk berbagai macam kegiatan utama maupun kegiatan pendukung untuk mencapai tujuan akhir yang berupa peningkatan pendapatan petani sayuran. Kegiatan tersebut dilakukan secara terpadu menjadi satu kesatuan yang saling terkait dan tergantung sehingga tidak dapat dipisahkan. Perkembangan komoditas tanaman sayuran di Jawa Timur yang disajikan dalam data realisasi luas tanam, luas panen, produksi dan produktifitas Tanaman Sayuran Tahun 2009, dapat dilihat pada Tabel 18. Secara umum angka produksi 4 (empat) komoditas sayuran unggulan pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, masing-masing : bawang merah (34,10%), kentang (13,1%), kubis (10,31% dan 88
89
cabai (12,53%). Peningkatan produksi pada bawang merah dan kentang disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran petani untuk menggunakan benih bermutu dengan potensi hasil yang lebih tinggi. Hal ini seiring dengan prioritas program perbenihan sayuran yang difokuskan pada upaya penyediaan benih bermutu bagi petani, melalui penataan tata alur produksi benih bawang merah dan kentang yang dilakukan dinas provinsi beserta unit pelaksana teknis. (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009) Tabel 18 Realisasi luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas sayuran di Jawa Timur tahun 2009 Jenis Bawang merah Bawang putih Bawang daun Kubis Kentang Petsai Wortel Kacang panjang Cabai besar Cabai rawit Tomat Terong Buncis Ketimun Kangkung Bayam Kembang kol Lobak Kacang merah Jamur Labu siam
Luas tanam (ha) 25.877 108 6.509 10.217 9.040 5.528 3.303 6.615 10.850 33.576 3.874 2.826 1.674 2.365 3.820 2.471 970 55 301 339 375
Luas panen (ha) 26.077 134 6.909 10.583 9.074 5.531 3.610 7.032 11.767 41.424 3.795 3.004 1.779 2.470 3.898 2.520 980 57 351 347 442
Produksi (ton) 276.023 1.028 82.934 193.729 127.259 54.719 47.765 41.406 72.154 180.236 54.282 37.769 20.461 37.433 18.960 10.960 4.305 775 776 12.439 11.742
Produktivitas (ku/ha) 105,85 76,72 120,04 183,06 140,25 98,93 132,31 58,88 61,32 43,51 143,04 125,73 115,01 151,55 47,69 43,49 145,97 135,96 22,11 358,47 265,66
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (Data RKSP) 2009.
5.1.1. Perkembangan Luas Tanam Sayuran di Jawa Timur Luas tanam tanaman sayuran di Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi namun secara umum mengalami peningkatan. Data total luas tanam pada 16 (enam belas) komoditas sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 mengalami peningkatan sebesar 9,29 % (Data RKSP Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009). Data tersebut dari empat komoditas dengan luas tanam terbesar adalah
90
kubis, cabai, kentang dan bawang merah. Untuk mengetahui perkembangan luas tanam empat jenis sayuran sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 13. Sedangkan data empat sayuran utama terluas meliputi bawang merah, cabai, kubis dan kentang mengalami perubahan luas tanam yang fluktuatif. Secara umum perubahan luas tanam empat komoditas sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 mengalami kenaikan'. Perubahan luas tanam empat komoditas dimaksud adalah sebagai berikut bawang merah 2,72 %, cabai 4,18 %, kubis 4,46 % dan kentang 9,88 %. . 60.000 54.338
Luas Tanam (ha)
50.000 44.426
43.441
40.000
39.587 36.571 30.948
30.000 25.823
25.973
25.877 20.979
20.000 8.482
10.000 6.728
12.172
8.225
9.716
6.586
9.653 8.388
10.217 9.040
0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun B. Merah
Kobis
Kentang
Cabai
Gambar 13. Perkembangan luas tanam 4 (empat) sayuran utama di Jawa Timur tahun 20052009.
Berdasarkan Gambar 13 menggambarkan bahwa tanaman cabai memiliki luas tanam yang paling luas, pada tahun 2009 luas tanam mencapai 44.426 ha dan puncaknya selama lima tahun (2005-2009) adalah 54.338 ha pada tahun 2008. Luas tanam tanaman sayuran urutan kedua adalah tanaman bawang merah dengan luas tanam pada tahun 2009 sebesar 25.877 ha. Kentang dan kubis memiliki luas tanam yang lebih sempit jika dibandingkan tanaman cabai dan bawang merah dengan luas tanam 9.040 ha dan 10.217 ha pada tahun 2009. 5.1.2. Perkembangan Produksi Empat Tanaman Sayuran Utama di Jawa Timur Secara umum angka produksi empat komoditas sayuran unggulan pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan, masing-masing : bawang merah (34,10%), kentang (13,1%), kubis (10,31% dan
91
cabai (12,53%). Sedangkan rata-rata peningkatan produksi per tahunnya sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 sebagai berikut bawang merah 6,36 %, kentang 9,68 %, kubis 7,46 % dan cabai 2,29 %. Peningkatan produksi bawang merah dan kentang disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran petani untuk menggunakan benih bermutu. Hal ini seiring dengan prioritas program perbenihan sayuran yang difokuskan pada upaya penyediaan benih bermutu bagi petani, melalui penataan tata alur produksi benih bawang merah dan kentang yang dilakukan Dinas provinsi beserta Unit Pelaksana Teknis. (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009). 300.000 276.023
Produktifitas (kw/ha)
250.000
246.745
253.760
235.949
200.000 150.000
228.084 214.334
197.072 162.891
171.597
235.519 205.829
252.390
193.729
174.669
145.678 127.259
100.000
112.509 88.634
87.928
95.952
50.000 0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun B. Merah
Kobis
Kentang
Cabai
Gambar 14. Perkembangan produksi 4 (empat) sayuran utama di Jawa Timur tahun 2005-2009
Gambar 14 menunjukkan bahwa dari keempat komoditas sayuran utama kentang dan kubis selama lima tahun menghasilkan produksi yang cenderung meningkat dan stabil. Stabilitas peningkatan produksi dua komoditas ini didukung oleh penambahan luas tanam dari tahun ke tahun secara perlahan. 5.1.3. Perkembangan Serangan OPT empat Tanaman Sayuran Utama Perlindungan tanaman merupakan bagian integral dari sistem produksi yang meliputi penanganan pra-produksi, tahap produksi dan pasca panen. Peranan perlindungan tanaman dalam penanganan proses produksi tersebut sangat menentukan keberhasilan program peningkatan produksi dan produktifitas serta pengamanan kualitas produk pertanian. Pada waktu sekarang dan masa yang akan datang, indikator keberhasilan mempertahankan tingkat produktifitas selain secara
92
kuantitatif juga harus mampu memperbaiki kualitas produksi yang sesuai dengan permintaan konsumen. Pada
setiap
tahapan
sistem
produksi
tersebut,
sering
terjadi
gangguan/kerusakan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Serangan OPT pada tanaman sayuran di Jawa Timur dari tahun ke tahun ada kecenderungan mengalami peningkatan. Peningkatan serangan tidak hanya pada tataran luas serangan namun juga pada intensitas serangannya. Pada tahun 2009 ditemukan pada tanaman cabai dan bawang merah intensitas serangan hingga puso yang mencapai 4,38 ha (cabai) dan 1,80 ha (bawang merah). Data kumulatif luas dan intensitas serangan OPT dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 19. . 2.000 1.844,95
Luas Serangan (ha)
1.800 1.600 1.400 1.200
600 400
1.241,50
1.177,17
1.070,16
1.000 800
1.426,15
1.395,56 1.138,54 814,83 748,27 551,37
734,98 683,74 694,85
662,67
2007
2008
459,43
531,34
905,25 679,09
697,59 584,89
200 0 2005
2006
2009
Tahun B. Merah
Kubis
Kentang
Cabai
Gambar 15. Luas kumulatif serangan OPT pada empat jenis tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2005-2009
Gambar 15 menggambarkan bahwa serangan OPT pada empat tanaman sayuran utama sejak tahun 2005 sampai 2009 terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2008 pada pada komoditas cabai dan bawang merah. Pada tahun 2009, luas serangan total kompleks OPT cabai 1.844,95 ha, bawang merah 1.426,15 ha, kubis 697,59 ha, dan kentang 584,89 ha. Tingginya serangan ini disebabkan oleh kondisi musim, diketahui bahwa pada tahun 2009 memiliki musim penghujan yang lebih panjang. Kondisi inilah yang mendukung berkembangya OPT sayuran. Data serangan OPT Sayuran utama Jawa Timur tertera Gambar 14 dan Tabel 19.
93 Tabel 19 Kumulatif luas serangan kompleks OPT sayuran utama di Jawa Timur tahun 2009 Komoditas
Kumulatif luas serangan Ringan
Sedang
Berat
Puso
Jumlah
Cabai
1.294,08
344,48
202,01
4,38
1.944,95
Bawang merah
1.235,70
182,73
5,92
1,80
1.426,15
Kubis
510,28
160,56
26,75
-
697,59
Kentang
237,04
255,95
91,90
-
584,89
3.277,10
943,72
326,58
6,18
4.553,58
Jumlah
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2009
Serangan OPT ini menyebabkan kerugian pada petani yang cukup besar bahkan pada tanaman cabai dan bawang merah tingkat serangannya mencapai puso. Pada tanaman cabai serangan terbesar disebabkan oleh kutu daun dengan rerata 251,396 ha, virus kuning 139,29 ha, layu fusarium 146,126 ha dan Colletotrichum 146,126 ha per tahunnya. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun persentase peningkatan terbesar terjadi pada virus kuning (195,83%), kemudian Collelotrichum (26,15%) dan kutu daun (25,15%). Peningkatan pada tahun 2009 ini hampir terjadi di seluruh sentra cabai terutama di Kabupaten Kediri yang salah satunya dipicu oleh panjangnya musim kemarau sampai dengan akhir Desember. Serangan OPT pada tanaman cabai ini disebabkan oleh 22 jenis organisme dan serangan terbesar oleh virus kuning.(Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2009). Data luas serangan OPT cabai selama tahun 2009 terhadap serangan luas serangan tahun 2008 dan rerata 5 (lima) tahun sebelumnya, tertera pada Tabel 20. Pada tanaman bawang merah terdapat serangan 10 jenis OPT dengan luas total serangan 1.426,15 ha yang terdiri dari serangan ringan 1.235,70 ha, sedang 182,73 ha dan puso 1,80 ha. Data yang berhasil dikumpulkan selama 5 (lima) tahun terakhir pada lima jenis OPT terdiri dari ulat bawang, penggorok daun, trips, Phytophthora dan Alternaria semuanya mengalami peningkatan serangan kecuali Alternaria, dengan persen peningkatan tertinggi pada trips (897,82%) dari 9,16 ha menjadi 91,4 ha. Data luas serangan OPT bawang merah tahun 2009 terhadap 2008 dan rerata 5 (lima) tahun tertera pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa hama ulat bawang dan penyakit layu Phytophthora porri masih dominan dengan luas serangan 706,66 ha dan
94
192,25 ha. Hasil pengolahan data, diperoleh data selama 5 (lima) tahun sampai dengan tahun 2009 rerata sebesar 958,25 % per tahunnya. Tabel 20 Jenis sayuran
Cabai
Luas serangan OPT pada empat jenis tanaman sayuran di Jawa Timur selama tahun 2009 terhadap tahun 2008 dan rerata 5 (lima) tahun sebelumnya Organisme pengganggu tanaman
Kumulatif luas serangan (ha) Rerata 5 Thn 129,96 251,39
Lalat buah Kutu daun (Aphid sp.) Trips (Thrip 91,56 parvispinus) Virus 105,30 Collelotrichum 146,13 Virus kuning 139,29 Bercak daun 52,55 (Cercospora sp.) Layu fusarium 146,13 Jumlah kumulatif Ulat bawang 581,69 Bawang Penggorok 90,94 merah daun (Lyriomyza chinensis) Trips 9,54 Phytophthora 113,37 Alternaria 103,87 Jumlah kumulatif Kubis Ulat daun 431,37 (Plutella xylostella) Ulat krop 65,00 (Crocidolomia pavonana) Akar gada 153,19 Jumlah kumulatif Kentang NSK 0,50 (Nematoda Sista Kuning) Penggorok 45,14 Daun Phytophthora 578,73 Jumlah kumulatif Sumber : UPT BPTPH Provinsi Jawa Timur
Persen (%) naik (+) turun (-) 2008 Rerata 5 Thn 16,90 -9,95 25,15 77,84
2008
2009
100,11 357,23
117,03 447,08
79,81
85,21
6,77
-6,94
76,50 135,22 187,16 47,58
65,56 171,64 553,67 75,69
-14,30 26,93 195,83 59,08
-37,74 17,46 297,49 44,02
193,56
195,06
513,08 94,94
706,66 126,62
0,77 316,36 37,73 33,37
33,49 415,67 21,48 39,23
9,16 93,80 100,46
91,40 192,25 73,35
447,95
402,27
897,82 104,96 -26,99 1.046,89 -10,20
858,07 69,58 -29,38 958,98 -6,75
64,99
97,10
49,41
49,39
164,01
126,50
0,00
0,80
-22,87 16,34 *
-17,42 25,22 60,00
90,10
121,29
34,62
168,70
572,57
359,30
-37,25 -2,83
-37,92 190,78
2009
95
Pada komoditas kubis serangan OPT tersbesar oleh 3 (tiga) jenis yakni P. xylostella, ulat krop (C. pavonana) dan akar gada. dengan luas serangan 625,87 ha (tahun 2009) yang terdiri dari serangan ringan 497,72 ha, sedang 119,4 ha dan berat 8,75 ha. Menurut analisa perbandingan menggambarkan bahwa luas serangan ulat krop tahun 2009 masih di atas tahun 2008 (49,41 %), sementara Plutella dan akar gada menurun. Namun nilai total rerata 5 (lima) tahun tetap terjadi kenaikan tingkat serangannya sebesar 25,22 %. Luas serangan OPT Tahun 2009 kubis terhadap tahun 2008 dan rerata 5 tahun tertera pada Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa serangan P. xylostella dan akar gada pada tahun 2009 dan rerata 5 (lima) tahun, masih lebih dominan jika dibandingkan dengan C. pavonana. Adapun luas serangan kedua hama tersebut adalah 402,27 ha dan 126,50 ha. Hasil analisis data persentase 5 (lima) tahun terakhir (2009) tingkat serangan OPT masih mengalami peningkatan sebesar 25,22 persen. OPT pada komoditas kentang di Jawa timur yang sering menyerang adalah 7 (tujuh) jenis OPT dengan total luas 584,89 ha yang diketegorikan intensitas serangan ringan 234,04 ha, sedang 255,95 ha dan berat 91,9 ha. Hasil analisa perbandingan tahun 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa serangan NSK muncul kembali pada tahun 2009 (0,8 ha) setelah tidak ada pada tahun 2008. Serangan penggorok daun meningkat baik terhadap tahun 2008 maupun rerata 5 (lima) tahun sebelumnya tetapi Phytophthora menurun. Data luas serangan OPT tahun 2009 dan rerata 5 (lima) tahun tertera pada Tabel 20. Memperhatikan Tabel 20 tampak bahwa data serangan OPT kentang yang dominan adalah Phytophthora dan penggorok daun dengan luas serangan pada tahun 2009 sebesar 359,30 ha dan 121,29 ha. Hasil analisis data persentase serangan OPT pada tanaman kentang pada rerata 5 (lima) tahun terakhir (2009) masih mengalami kenaikan sebesar 190,78 %. 5.2. Upaya Pengendalian OPT Tanaman Sayuran
Usaha pengembangan tanaman sayuran tidak lepas dari peran perlindungan tanaman, yang merupakan bagian integral dari sistem produksi dan pemasaran hasil pertanian tanaman sayuran, dalam upaya menekan kehilangan hasil yang diakibatkan oleh serangan OPT, disamping menjaga kualitas hasil tanaman sayuran. Untuk menekan penurunan produksi maka diperlukan pengelolaan pengendalian OPT dengan baik. Upaya pengendalian OPT yang baik diperlukan
96
pengelolaan ekosistem yang baik yaitu dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Tabel 21 Perbandingan kumulatif luas serangan OPT pada empat jenis tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2009 Komoditas Cabai
Bawang merah
Kubis
Kentang
Jumlah Persentase
OPT Lalat buah Kutu daun Trips Antraknosa Virus Virus kuning Bercak daun Fusarium Ulat bawang Penggorok daun Phytophthora sp. Bercak ungu Antraknosa Fusarium Ulat daun Ulat krop Bercak daun Layu bakteri Akar gada Busuk lunak Penggorok daun Nematoda Phytophthora sp. Layu bakteri
Eradikasi 0,00 0,00 7,78 10,35 0,00 8,93 0,00 28,88 1.042,3 20 0,2 0 0 0 15,75 0,00 0,00 1,50 11,60 0,00 0,00 0,00 7,20 0,00 1.152,99 3,35
Luas pengendalian (ha) Pestisida Cara lain 97,30 20,74 54,57 0,15 963,98 8,58 336,09 34,23 79,60 8,55 499,88 178,94 85,10 1,10 392,08 29,60 10.576,0 3.186 2.177,8 30,4 2.823,7 116,1 334,9 52,3 46,2 25,4 369,4 2,5 1.372,15 1,00 644,20 2,30 42,00 0,00 19,15 1,30 248,84 0,50 796,45 0,00 3.726,50 0,00 0,50 0,00 4.253,89 17,55 13,00 0,00 29.537,68 3.691,94 85,91 10,74
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur 2009
PHT adalah suatu cara pendekatan atau falsafah pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologis dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan egroekosistem yang bertanggungjawab. Tindakan pengendalian dengan menggunakan pestisida harus didasarkan pada nilai Ambang Ekonomi (AE) atau Ambang Pengendalian (AP), namun kenyataan di lapangan penggunaan pestisida masih menjadi prioritas utama. Di Jawa Timur upaya pengendalian OPT tanaman sayuran terbesar tetap mengutamakan penggunaan pestisida sebagai
97
alternatif unggulan. Sebagaimana upaya pengendalian OPT pada tanaman cabai oleh serangan trips, virus kuning, antraknosa dan layu fusarium, tetapi karena agroklimat dan faktor pendukung cukup tinggi maka pengendlian belum efektif. Hal ini dapat terlihat dari luas pengendalian beberapa OPT cabai cukup tinggi selama tahun 2009. (Tabel 21) Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa penggunaan pestisida merupakan teknik pengandalian hama dan penyakit tanaman sayuran yang paling banyak digunakan oleh petani sayuran di Jawa Timur. Namun hal ini juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada petani-petani lain di Indonesia. Penggunaan pestisida ini yang perlu untuk dicermati adalah bagaimana para petani menggunakan pestisida ? Apakah para petani telah melakukan 5 (lima) tepat ? Sebagaimana aturan penggunaan pestisida yang telah ditetapkan, dinyatakan bahwa penggunaan pestisida adalah alternatif terakhir dalam pengendalian OPT tanaman. Penggunaan pestisida harus memenuhi ketentuan tepat jenis, tepat sasaran, tepat waktu tepat dosis dan tepat cara. Namun kenyataan di lapangan menggambarkan bahwa penggunaan pestisda sudah menjadi alternatif yang utama disamping penggunaannya tidak sesuai dengan kenetuan yang telah diatur dalam kemasan maupun peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang dikemukan oleh Wiyono et al. (2007) dalam Hidayat et al. (2010) hasil focus group discussion pada 35 petani cabai di Kecamatan Bumijawa pada Maret 2006 menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman cabai dilakukan secara terjadwal yaitu setiap minggu sekali selama satu musim tanam (4 bulan) atau mencapai 16 kali aplikasi pestisida. Demikian juga Sulistiyono (2003) mendapatkan dari hasil penelitian pada 90 (sembilan puluh) petani bawang merah di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur bahwa untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit dilakukan penyemprotan secara terjadwal 2 sampai 4 kali seminggu atau 22 sampai 44 kali selama satu musim tanam dan pada musim kemarau atau mencapai 3 sampai 5 kali seminggu atau 33 kali sampai 55 kali dalam satu musim tanam pada musim penghujan. Data yang berhasil dikumpulkan tentang penggunaan pestisida pada tanaman cabai, dengan pengambilan sampel petani di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri sebanyak 35 responden dan Kecamatan Krucil Probolingo sebanyak 21 responden
98
didapatkan bahwa seluruh petani tetap mengunakan pestisida sebagai alternatif utama dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman. Rerata volume penggunaan pestisida per hektar mencapai 66,88 liter (cair) dan 210,65 kg (padat). Data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran yang dikelompokan berdassrkan petani SLPHT dan Non SLPHT di Jawa Timur tahun 2006.
Komoditas Cabai Bawang merah Kubis Kentang
SLPHT
Penggunaan pestisida (ha) Cair Padatan (ltr) (kg) 26,97 84,66
Non SLPHT
39,91
125,99
165,9
SLPHT
15,35
16,25
31,6
Non SLPHT
15,49
16,71
32,2
SLPHT
48,85
21,53
70,38
Non SLPHT
55,86
29,83
85,69
SLPHT
56,73
77,66
134,39
Non SLPHT
71,69
115,15
186,84
Petani
Total volume (Kg/ha)
Rerata
111,63
138,77
31,9
Ket. Asumsi : 1 ltr = 1 kg Rerata 102,3 kg / ha
78,04 160,62
Berdasarkan pada Tabel 22 dapat diketahui bahwa volume penggunaan pestisida rerata mencapai 33,44 liter per hektar dan yang berbentuk padatan mencapai 105,33 kg per hektarnya. Jika diasumsikan bahwa 1 liter setara dengan 1 kg maka kebutuhan pestisida dalam satu hektarnya adalah 138,77 kg. Sebagaimana diketahui bahwa luas tanam cabai besar dan cabai rawit Jawa Timur Tahun 2009 tercatat seluas 44.426 ha maka kebutuhan pestisida dalam satu tahun mencapai 6,16 ton. Sebagaimana kaidah penggunaan pestisida bahwa selain pestisida memiliki nilai ekonomis yang artinya penggunaan pestisida dapat memberikan keuntungan tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian. Maka penggunaan pestisida secara bijaksana menjadi penting. Kaidah penggunaan pestisida yang dimaksud adalah penerapan prinsip 5 (lima) tepat yakni tepat sasaran, tepat jenis, dosis, waktu dan cara (Dirjen Sarprastan 2010). Besaran volume penggunaan pestisida pada tanaman cabai dalam satu musim tanam didorong oleh variasi atau macam pestisida lebih dari 6 (enam) macam formulasi pestisida yang dipergunakan oleh petani SLPHT (64,29 %) dan 5-6 macam formulasi pestisida (28,57 %) pada petani Non SLPHT (67,86 %) serta
99
21,43% yang menggunakan 5-6 macam jenis (Tabel. 23 macam pestisida.). Banyaknya formulasi yang dipergunakan oleh petani ini oleh karena variasinya OPT pada tanaman cabai mulai dari gulma, lalat buah, kutu daun, trips, antraknosa, virus, virus kuning dan bakteri. Sesuai dengan pendapat Kruniasih dan Paramita (2006) yang menyatakan bahwa pada budidaya tanaman sayuran penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT tanaman lebih dari 3 macam formulasi pestisida, hal ini sangat tergantung pada tingkat dan macam serangan OPT. Persentase tertinggi jenis yang paling banyak digunakan adalah lebih dari 6 macam pestisida dalam setiap musim tanam, bahkan ada yang mempergunakan hingga 15 macam. Hasil uji statistik dengan Mann Whitney test kategori two independent diperoleh nilai x2 hitung = 4.4857 dengan nilai x2 tabel 16.919 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara petani SLPHT dan Non SLPHT dalam pengendalian OPT dengan pestisida jika dilihat dari jumlah jenis pestisida yang digunakan selama satu musim tanam. Tabel 23 Jenis pestisida yang banyak digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas
Cabai
Jumlah Bawang merah
Jumlah Kubis
Jumlah Kentang
Jumlah
Jumlah jenis pestisida yang digunakan 1-2 macam 3-4 macam 5-6 macam >6 macam
1-3 macam 4-6 macam 7-9 macam >9 macam 1-2 macam 3-4 macam 5-6 macam >6 macam 1-3 macam 4-6 macam 7-9 macam >9 macam
Petani SLPHT Jumlah Persentase
Petani Non SLPHT Jumlah Persentase
Statistical test
2 8 18 28 10 17 1 28 3 11 14 28 5 15 8 28
3 6 19 28 3 18 7 28 2 11 15 28 2 18 8 28
ρ : 0,322
7,14 28,57 64,29 100,00 35,71 60,71 3,57 100,00 10,71 39,29 50,00 100,00 2,50 53,57 28,57 100,00
10,71 21,43 67,86 100,00 10,71 64,29 25,00 100,00 7,14 39,29 53,57 100,00 7,14 64,29 28,57 100,00
ρ : 0,002
ρ : 0,001
ρ : 0,007
100
Pada komoditas bawang merah, kubis dan kentang, baik pada petani SLPHT dan Non SLPHT macam pestisida yang paling banyak digunakan dalam satu musim tanam > 6 macam formulasi. Bahkan pada budidaya tanaman bawang merah dan kentang formulasi yang digunakan antara 7-9 macam setiap musim tanam. Macam pestisida yang digunakan oleh petani pada umumnya adalah jenis herbisida (minimal 1 macam), insektisida (minimal 2 macam), fungisida (minimal 2 mcam), perekat (minimal 1 mcam) dan ZPT. Adapun akarisida, bakterisida, molluskisida, rodentisida dan lainnya jarang digunakan. Pada tanaman bawang merah banyaknya jenis formulasi yang digunakan dipicu oleh ; (1) serangan OPT di musim kemarau ulat daun (Spodoptera sp.), Lyriomiza chinensis, dan Phytophthora sp. di musim penghujan, (2) Faktor lain adalah budaya petani melakukan pencampuran (mixing) pestisida untuk memperoleh formulasi baru agar pestisida yang akan digunakan memiliki daya racun yang lebih tinggi; dan (3) upaya preventif dari serangan OPT yang datang secara tiba-tiba. Petani melakukan pencarian formulasi lain dengan maksud untuk meningkatkan daya racun pestisida yang digunakan. Hal ini didasari oleh keyakinan para petani bahwa laju serangan OPT bersifat sporadis dan laju resistensi OPT lebih cepat dari pada teknologi formulasi pestisida yang diketahui oleh petani. Semakin beragam jenis OPT yang menyerang pada tanaman sayuran semakin banyak pula jenis formulasi pestisida yang digunakan untuk mengendalikan. Demikian juga semakin berat intensitas serangan atau semakin luas serangan OPT semakin banyak pula pestisida yang digunakan. Sebagaimana data pada komoditas bawang merah, kubis dan kentang yang tertera pada Tabel 23 melalui uji statistik dengan bantuan software SPSS 16 for windows untuk menjustifikasi apakah kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT berbeda dalam penggunaan pestisida menurut macamnya. Pada ketiga komoditas antara dua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana pada bawang merah (p : 0,002), kubis (p : 0,001) dan kentang (p: 0,007) yang bermakna bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT menggambarkan adanya perbedaan yang nyata. Jika dilihat dari nilai distribusi frekwensi terlihat bahwa petani SLPHT lebih sedikit dalam penggunaan macam pestisida jika dibandingkan pada petani Non SLPHT.
101
Tepat Dosis: Selain macam pestisida yang digunakan besaran volume penggunaan pestisida juga dipengaruhi oleh dosis yang dipergunakan. Secara definisi dosis adalah takaran atau ukuran dalan liter, gram atau kilogram pestisida yang digunakan untuk mengendalikan OPT per satuan luas tertentu. Penentuan dosis yang dicantumkan dalam label adalah hasil uji toksisitas terhadap OPT tertentu. Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan persentase penggunaan pestisida pada seluruh komoditas melebihi dosis yang telah ditetapkan. Pada komoditas cabai 60,71% (SLPHT) dan 82,154 % (Non SLPHT) melebihi dosis yang tertera pada label kemasan. Tingginya dosis penggunaan pestisida ini disebabkan oleh tingginya tingkat serangan hama yakni lalat buah, kutu daun, dan trips, sedangkan kategori penyakit yakni virus, patek atau antracnosa (oleh jamur Colletotrichum), virus kuning, bercak daun (Cercospora sp.) dan layu Fusarium. Lima tahun terakhir (2004-2009) yang mendorong volume penggunaan pestisida dengan dosis tinggi adalah serangan kutu daun (Aphids sp.), trips (trips parvispinus), patek/antracnosa (Colletotricum sp.), dan layu Fusarium, dengan jumlah kumulatif kenaikan luas serangan mencapai 415,67%. Dengan menggunakan skala ordinal dan diuji statistik maka kedua kelompok petani menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p: 0,04. Perbedaan yang dimaksudkan adalah pada petani SLPHT penggunaan pestisida pada tanaman cabai dengan dosis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT. Tingginya penggunaan pestisida pada budidaya tanaman cabai disebabkan oleh kekawatiran para petani terjadi kerusakan tanaman yang parah oleh serangan OPT khususnya oleh trips dan virus. Disisi lain berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan di lapangan bahwa ada fakta yang membuktikan penggunaan pestisida yang disesuaikan dengan dosis kurang berpengaruh nyata terhadap pengendalian OPT. Para petani memprediksi bahwa hama dan penyakit tanaman sudah mengalami resistensi. Sehingga petani cenderung untuk menggunakan pestisida melebihi dosis anjuran yang tertera pada label kemasan. Pengaruh besarnya modal yang diinvestasikan dalam budidaya tanaman cabai sayuran yang besar (menurut ukuran petani), dan modal itu bukan milik pribadi petani yang melainkan berasal dari berbagai sumber pendanaan baik modal sendiri
102
maupun dari pendanaan lainnya, menimbulkan kecemasan yang luar biasa pada diri petani sehingga mendorong petani melakukan penyemprotan secara terjadwal. Data yang berhasil dikumpulkan dari petani cabai penyemprotan dilakukan secara terjadwal mencapai 57,14 % (SLPHT) dan 64,29 % (Non SLPHT). Tabel. 24 juga menggambarkan bahwa perilaku petani dalam menggunakan pestisida dalam mengendalikan OPT didahului dengan pengamatan terhadap tingkat serangan OPT dengan mempertimbangkan ambang pengendalian namun hal ini bukan menjadikan petani percayadiri sehingga selalu disertai dengan penyemprotan secara terjadwal 28,57 % (SLPHT) dan 25,00 % (Non SLPHT). Tingginya dosis penggunaan pestisida pada tanaman bawang merah di Jawa Timur karena serangan ulat bawang (Spodoptera litura), penggorok daun (L. chinensis), trips, Phytophthora
dan Altenaria. OPT yang paling tinggi
mempengaruhi dosis penggunaan pestisida yakni serangan ulat bawang (Spodoptera sp., Pengorok daun (L. chinensis) dan Phytophthora, diketahui lima tahun terakhir (2004-2009)
serangan OPT ini mengalami peningkatan secara
signifikan yang mecapai sepuluh kali lipat (958,98 %) (Tabel 24). Tabel 24 Ketepatan dosis pestisida yang digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas Cabai
Jumlah Bawang Merah
Jumlah Kubis
Jumlah Kentang
Jumlah
Ketepatan Dosis < Dosis = Dosis > Dosis 2 x Dosis > x Dosis < Dosis = Dosis > Dosis 2 x Dosis > x Dosis < Dosis = Dosis > Dosis 2 x Dosis > x Dosis < Dosis = Dosis > Dosis 2 x Dosis >2 x Dosis
Petani SLPHT Jumlah Persentase 2 7,14 9 32,14 12 42,86 3 10,71 2 7,14 28 100 8 28,57 9 32,14 11 39,29 28 100 3 10,71 2 7,14 13 46,43 7 25,00 1 3,57 28 100 4 14,29 4 14,29 20 71,43 28 100
Petani Non SLPHT Jumlah Persentase 3 10,71 2 7,14 14 50,00 4 14,29 5 17,86 28 100 4 14,29 16 57,14 7 25,00 28 100 1 3,57 1 3,57 16 57,14 9 32,14 1 3,57 28 100 4 14,29 6 21,43 18 64,29 28 100
Statistical Test p: 0,040
p: 0,745
p: 0,480
p: 0,061
103
Di kabupaten Nganjuk dan Probolinggo yang menjadi sentra tanaman bawang merah, pengendalian OPT pada tanaman bawang merah khususnya ulat bawang dilakukan dengan beberapa teknik mulai penggunaan lampu perangkap, selambu dan cara manual (petan = Jawa). Teknik terakhir ini yang paling banyak mengurangi penggunaan pestisida terutama pada petani-petani kecil atau penggarap (tanah sewa) pada luasan kurang dari 0,2 ha, sedangkan pada luasan lebih dari 0,2 ha hingga 1,6 ha lebih banyak menggantungkan penggunaan pestisida dengan dosis tinggi Di Jawa Timur lima tahun terakhir ini pada tanaman kubis khususnya varitas dataran tinggi sering mengalami serangan organisme pengganggu tanaman beberapa jenis OPT, jenis OPT yang menyerang dengan intensitas serangan luas ada 3 (tiga) jenis yaitu ulat daun (P. xylostella), ulat krop (C. pavonana) dan akar gada (Plasmodiophora brasicae). Serangan P. xyllostela dan P. brassicae pada waktu lima tahun terkahir mengalami penurunan -6,75 % dan -17,42 %, namun meskipun menurun luas serangan masih dikategorikan tinggi karena pada tahun 2009 ; P. xyllostela mencapai 402,27 ha dan P. brassicae seluas 126,50 ha. Namun tingkat serangan masih tetap bertahan, bahkan cenderung terjadi peningkatan luas serangan yaitu C. pavonana dengan luas serangan rerata 49,38 ha per tahunnya. Jenis hama yang paling dominan menyerang tanaman kubis per satuan luasnya adalah P.
xylostella. Karena luas serangan
P. xylostella paling besar maka
penggunaan pestisida paling tinggi jika dibandingkan dengan hama lainnya. Distribusi frekwensi penggunaan pestisida paling tinggi dijumpai pada komoditas kentang adalah >2x dosis dengan jumlah rerata responden 67,86 % dari seluruh responden. Penggunaan pestisida dosis tinggi ini banyak diaplikasikan untuk pengendalian P. infestans karena memiliki luas serangan paling tinggi jika dibandingkan dengan serangan OPT lainnya yang mencapai 578,73 ha (Tabel 21). Selain pada itu dosis penggunaan pestisida oleh para petani dikategorikan tinggi karena serangan P. infestans sangat mengkawatirkan para petani. Pertimbangan lain petani menggunakan pestisida dosis tinggi pada tanaman kentang karena para petani dihantui oleh rasa kekawatiran yang sangat hebat bahkan sampai dengan kategori panik, mengingat nilai investasi yang tinggi. Kondisi yang demikian serangan organisme pengganggu tanaman ini mendorong petani untuk melakukan
104
upaya preventif dengan dosis yang tinggi. Selain itu petani juga berpendapat bahwa resistensi hama dan penyakit terus meningkat dengan bertambahnya waktu sehingga penggunaan dosis tinggi dianggap lebih efektif. Tepat Sasaran: Ketepatan sasaran penggunaan pestisida didasarkan pada ketepatan jenis komoditas tanaman serta jenis dan cara hidup OPT yang akan dikendalikan dengan aplikasi pestisida (Direktorat Pupuk dan Pestisida Deptan 2011). Sebagaimana yang dimaksud dengan tepat sasaran adalah jika jenis insektisida diperuntukkan insekta, fungisida untuk golongan jamur, dan lain-lain. Data keterpatan sasaran dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Ketepatan sasaran penyemprotan pestisida yang digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas
Cabai Jumlah Bawang Merah Jumlah Kubis Jumlah Kentang
Ketepatan Sasaran Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat
Jumlah
Petani SLPHT Jumla Persentas h e 25 89,29 3 10,71 28 100 24 87.71 4 14,29 28 100 27 96,43 1 3,57 28 100 23 82,14 5 17,86 28 100
Petani Non SLPHT Jumla Persentas h e 23 82,14 5 17,86 28 100 22 78,57 6 21,43 28 100 24 85,71 4 14,29 28 100 21 75,00 7 25,00 28 100
Statistic Test ρ: 0,853 ρ: 0,530
ρ: 0,164
ρ: 0,583
Sebagaimana data yang tertera pada Tabel 25 menggambarkan bahwa ketepatan sasaran penggunaan pestisida pada tanaman sayuan dikategorikan tepat. Hal ini ditunjukan dominansi persentase distribusi frekwensi tepat pada tanaman cabai dengan nilai rata-rata 85,72 % (SLPHT maupun Non SLPHT), bawang merah 83,14 %, kubis 91,07 % dan kentang 78,57%. Berdasarkan data tersebut maka dapat
disimpulkan
bahwa
penggunaan
pestisida
pada
tanaman
sayuran
dikategorikan tepat sasaran. Meskipun sebagian kecil petani sayuran dikategorikan tidak tepat sasaran dalam penggunaan pestisida dikarenakan para petani ada kecenderungan mencari formula baru dengan mencampur dua atau lebih pestisida untuk mengendalikan OPT tertentu. Hal ini dilakukan apabila serangan awal disebabkan OPT tertentu yang sulit dikendalikan dengan pestisida yang sudah biasa
105
digunakan oleh petani beberapa bulan yang lalu, sementara pestesida yang telah tersedia dipasaran telah dicoba untuk diaplikasikan dan belum membuahkan hasil yang memuaskan para petani. Oleh karena itu munculah inisiatif para petani untuk melakukan trial and error dengan mencampur beberapa pestisida yang menurut prediksi petani akan menghasilkan formulasi yang diharapkan oleh para petani. Proses uji coba ini berjalan secara terus menerus selama belum ada toksisitas pestisida sesuai harapan beberapa petani. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan pendekatan uji independent statistic test Mann Whitney diperoleh nilai ρ> α dimana α = 0,05. Sehingga disimpulkan bahwa antara petani SLPHT dan Non SLPHT menunjukkan tidak ada perbedaan dalam penggunaan pestisida dilihat dari sisi ketepatan sasaran dalam pengunaan pestisida. Tepat Waktu Penyemprotan : Waktu penggunaan pestisida atau sering di sebut dengan waktu aplikasi adalah pilihan rentang waktu yang tepat untuk mengaplikasikan pestisida. Waktu aplikasi merupakan salah satu faktor yang menentukan efektifitas pestisida yang digunakan. Jika dikaitkan dengan perkembangan hama maka dikenal dengan waktu aplikasi pestisida yaitu aplikasi preventif, sistem kalender dan apliaksi berdasarkan ambang kendali atau ambang ekonomi. Ketepatan waktu penggunaan pestisida pada tanaman didasarkan pada hasil pengamatan para petani terhadap populasi OPT tanaman, jika hasil perhitungan populasi OPT sudah dikategorikan akan mempengaruhi nilai ekonomi tanaman sayuran maka perlu dilakukan pengendalian OPT dengan aplikasi pestisida. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman pasal 19 yang dinyatakan bahwa penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan merupakan alternatif terakhir dan dampak negatif yang timbul harus ditekan seminimal mungkin. Data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa penggunaan pestisida menurut waktu penggunaannya bedasarkan pengaturan waktu atau dilaksanakan secara terjadwal. Pengertian terjadwal adalah penyemprotan pestisida yang bertujuan untuk mengendalikan OPT tanaman budidaya dilakukan secara periodik berdasarkan waktu tanpa didahului oleh pengamatan. Penyemprotan terjadwal ini
106
juga disebut sebagai sistem penggunaan pestisida secara kalender. Sistem ini merupakan salah satu dari aplikasi preventif yang lebih bersifat untung-untungan (hama belum tentu datang), cenderung boros (karena tidak ada hamapun disemprot), beresiko besar (bagi pengguna, konsumen dan lingkungan) maka sistem ini tidak diijinkan dalam sistem pengendalian hama tepadu. Pengumpulan data waktu aplikasi pestisida pada komoditas cabai, bawang merah, kubis dan kentang, yang dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori yakni (1) aplikasi menurut ambang ekonomi (AE)/ambang pengendalian (AP), (2) aplikasi yang didahului oleh pengamatan sekilas diawal saat aplikasi perdana dan (3) aplikasi pestisida dengan sistem kalender atau terjadwal. Tabel 26 menunjukkan bahwa frekwensi tertinggi dlakukan secara terjadwal atau sistem kalender disusul aplikasi pengamatan sekilas diawal saat aplikasi perdana dan terjadwal
dan
terakhir pengamatan menurut ambang ekonomi. Pada komoditas cabai rata-rata aplikasi secara terjadwal mencapai 55,36 %, yang didahului pengamatan di awal aplikasi perdana 37,5 %, sedangkan pengendalian OPT yang berorientasi pada nilai ambang ekonomi ditemukan pada petani SLPHT 14,29 %. Tabel 26 Waktu penyemprotan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas
Ketepatan waktu
Cabai
Ambang ekonomi Pengamatan dan terjadwal Terjadwal
Jumlah Bawang merah
Jumlah Kubis
Jumlah Kentang
Jumlah
Ambang ekonomi Pengamatan dan terjadwal Terjadwal Ambang ekonomi Pengamatan dan terjadwal Terjadwal Ambang ekonomi Pengamatan dan terjadwal Terjadwal
Petani SLPHT Jumlah Persentase
Petani Non SLPHT Jumlah Persentase
4
14,29
-
-
12
42,86
9
32,14
12 28 4
42,86 100 14,29
19 28 1
67,86 100 3,57
9
32,14
10
35,71
15 28 3
53,57 100 10,71
17 28 -
60,71 100 -
9
32,145
7
25,00
16 28 3
57,71 100 10.71
23 28 -
82,4 100 -
11
39,29
7
25,00
14 28
50,00 100
21 28
75,00 100
Statistic Test
ρ: 0,031
ρ: 0,078
ρ: 0,112
ρ: 0,036
107
Pada komoditas bawang merah paling tinggi aplikasi pestisida juga dilakukan secara terjadwal dengan rata-rata distribusi frekwensi responden mencapai 57,14 %, sedangkan aplikasi dengan pengamatan diawal dan dilanjutkan terjadwal mencapai 33,93 % dan yang menarik perhatian pada data ini adalah bahwa aplikasi pestisida didahului dengan analisa ambang ekonomi pada petani Non SLPHT ada 1 responden atau 3,57 % sedangkan pada petani SLPHT 14,29 %. Hasil uji Statistik menunjukkan bahwa antara dua kelompok responden menunjukkan nulai p : 0,078, yang berarti bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT tidak berbeda secara signifikan waktu aplikasi pestisida dalam pengendalian OPT. Pada komoditas kubis dengan mengambil data di wilayah Kabupaten Malang dan Probolinggo, persentase tertinggi dilakukan secara terjadwal atau sistem kalender
dengan nilai rata-rata 56,87 %, dan aplikasi
terjadwal tetapi diawali dengan pengamatan sebesar 28,57 %. Sedangkan hasil uji statistik diperoleh nilai p : 0,112 yang berarti lebih besar dari nilai α, dengan demikian disimpilkan bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT dalam waktu aplikasi pestisida untuk pengendalian OPT pada tanaman kubis kategori tidak berbeda signifikan. Demikian halnya pada komoditas kentang, waktu aplikasi pestisida pada tanaman sayuran mayoritas dilakukan secara terjadwal dengan nilai rata-rata distribusi frekwensi responden mencapai 62,5 % sedangkan waktu aplikasi pestisida yang didahului dengan pengamatan awal kemudian terjadwal 32,15 %. Pada kelompok petani SLPHT ditemukan waktu aplikasi pestisida dengan diawali dengan evaluasi serangan OPT dengan nilai ambang ekonomi (AE) sebanyak 3 responden dari 28 responden atau sebesar 10,71 %. Berdasar data tersebut selanjutnya dilakukan analisis statistik untuk membedakan perilaku penggunaan pestisida berdasarkan waktu aplikasi, diperoleh nilai p : 0,036 yang berarti lebih kecil dari nilai α, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang dignifikan antara kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT pada waktu aplikasi pestisida Tepat Cara Penggunaan : Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 pasal 15 yang menjelaskan bahwa penggunaan pestisida bertujuan untuk
108
mengendalikan OPT harus dilakukan secara tepat guna dan pasal 16 menjelaskan bahwa pestisida selain berperanan dalam pengendalian OPT juga mempunyai dampak terhadap kesehatan manusia maka harus dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan demikian penggunaan pestisida selain berorientasi pada pengendalian organisme pengganggu tanaman juga harus memperhatikan cara aplikasinya dilapangan yang dapat dilakukan dengan (1) penaburan (bentuk butiran) pada pestisida yang bersifat sistemik dengan OPT sasaran yang hidup dalam jaringan tanaman atau di dalam tanah; (2) Penyemprotan apabila pestisida dalam bentuk emulsi, larutan dan suspensi; (3) cara penghembusan biasanya dilakukan terhadap pestisida formulasi tepung atau debu (dust), sehingga alatnya disebut duster; (4) cara pengumpanan yaitu mencampur pestsida dengan makanan atau bahan-bahan tertentu yang disukai OPT sasaran dan (5) cara fumigasi apabila aplikasinya dalam bentuk gas (fumigan) dengan cara fumigasi, pada umumnya untuk mengendalikan hama gudang. Tabel 27 Cara penggunaan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas
Cabai Jumlah Bawang merah Jumlah Kubis Jumlah Kentang Jumlah
Ketepatan cara
Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat
Petani SLPHT Jumlah Persentase 19 67,86 9 32,14
Petani Non SLPHT Jumlah Persentase 10 35,71 18 64,29
28 15 13 28 20 8 28 27 1 28
28 9 19 28 16 12 28 26 2 28
100 53,57 46,43 100 71,43 28,57 100 96,43 3,57 100
100 32,14 67,86 100 57,14 42,85 100 92,86 7,14 100
Statistical test
z: -2,385 ρ: 0,017 z: 1,606 ρ: 0,108 z: 1,106 ρ: 0,269 z: 0,558 ρ: 0,556
Aplikasi pestisida pada tanaman sayuran 94 % dilakukan dengan cara penyemprotan, dikarenakan bahan yang digunakan dalam bentuk cair dan tepung yang diformulasikan menjadi suspensi, larutan atau emulsi, dan 6 % dalam bentuk butiran. Penetapan ketepatan cara penggunaan pestisida selain indikator cara aplikasi juga memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga
109
penggunaan alat pelindung diri (APD) juga menjadi perhatian. Dengan demikian indikator ketepatan cara aplikasi pestisida didasarkan pada cara aplikasi menurut formulasi dan faktor kesehatan dan keselamatan kerja. Berdasarkan indikator tersebut maka cara aplikasi pestisida dibedakan menjadi dua macam yakni tepat dan tidak tepat. Tepat apabila cara aplikasi sesuai formulasi dan penggunaan alat pelindung diri (APD) yang lengkap. APD lengkap jika pengguna pestisida mengenakan baju lengan panjang yang berserat padat, pelindung tangan, kepala dan pernafasan. Dikategorikan tidak tepat apabila salah satu atau lebih aturan penggunaan tidak dilaksanakan. Tabel 27 menunjukkan bahwa cara aplikasi pestisida pada tanaman sayuran dikategorikan tepat banyak ditemui pada petani SLPHT dengan nilai rata-rata 72,32 %. Pada petani Non SLPHT lebih banyak kategori tidak tepat 45,53 %. Ketidaktepatan cara aplikasi pestisida 98 % disebabkan oleh penggunaan alat pelindung diri yang tidak lengkap sedang 2 % karena kesalahan aplikasi formulasinya. Keselahan formulasi ini banyak didorong oleh keinginan para petani untuk membuat formula baru yang diyakini oleh para petani bahwa akan lebih beracun. Tingginya nilai persentase pada petani SLPHT kategori tepat (72,32%) jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT (45,53%) disebabkan oleh pengetahuan tentang pestisida lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani Non SLPHT. Sebagaimana substansi SLPHT di dalamnya mengandung muatan Tepat Jenis Sebelum pestisida digunakan oleh petani untuk pengendalian, yang harus dilakukan adalah analisis agroekosistem. Analisis agroekosistem bertujuan untuk menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan dan jenis hama atau penyakit yang menyerang. Penetapan jenis tanaman dan OPT yang menyerang sudah jelas maka tindakan lanjutan adalah menetapkan jenis pestisida yang akan digunakan. Serangan OPT jenis serangga menggunakan insektisida, tikus dengan rodentisida dan seterusnya. Data hasil survey dan wawancara dengan petani sebagaimana tertera pada Tabel 28 menggambarkan bahwa petani pada umumya telah mengetahui jenis yang akan digunakan untuk mengendalikan OPT yang menyerang pada tanaman
110
yang dibudidayakan dengan nilai rata-rata
94,19 % dinyatakan tepat jenis.
Sebagian kecil dari petani tidak tepat jenis dalam pengunaaan pestisida (5,80 %) banyak disebabkan oleh kebingungan petani dalam menhadapi serangan OPT yang yang terjadi secara cepat dan belum ada formulasi pestisida yang mampu mengendalikannya. Sehingga langkah yang dilakukan oleh sebagian kecil petani ini untuk melakukan uji coba formulasi baru dengan mencampur beberapa pestisida yang telah ada. Sulistiyono (2002) yang menyatakan bahwa petani akan melakukan inovasi untuk memperoleh komposisi campuran 2 (dua), 3 (tiga) atau lebih pestisida yang diharapkan mampu menanggulangi serangan OPT tertentu. Tabel 28 Ketepatan jenis penggunaan pestisida oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2006 Komoditas
Ketepatan cara
Cabai
Tepat Tidak Tepat
Jumlah Bawang merah Jumlah Kubis
Jumlah Kentang
Jumlah
Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat Tepat Tidak Tepat
Petani SLPHT Jumlah Persentase 28 100 0
Petani Non SLPHT Jumlah Persentase 26 92,86 2 7,14
28 26 2
100 92,86 7,14
28 24 4
100 85,71 14,29
ρ: 0,392
28 28 -
100 100 -
28 27 1
100 96,43 3,57
ρ: 0,317
28 27 1
100 96,43 3,57
28 25 3
100 89,29 10,71
ρ: 0,304
28
100
28
100
Statistical test
ρ: 0,154
Dilihat dari komposisi data pada Tabel 28 terlihat bahwa kelompok petani SLPHT dan Non SLPHT memiliki pengetahuan dan kemampuan yang hampir sama dalam menetapkan jenis pestisida yang akan digunakan dalam pengendalian OPT. Hasil uji statistik pada semua komoditas dihasilkan nilai p lebih rendah dari nilai α yang berarti bahwa pada petani SLPHT dan Non SLPHT tidak berbeda nyata menurut ketepatan jenis penggunaan pestisida. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakadanya perbedaan disebabkan oleh peran distributor, formulator/sales pestisida dan peran aktif petani untuk mencari informasi kepada sesama petani yang dipercaya memiliki kemampuan lebih dalam pengendalian OPT sejenis.
111
Pestisida yang sering digunakan oleh petani adalah golongan organofosfat (28,2%), karbamat
(23,2%), piretroid (31,5%), insect repellent (zat penolak
serangga), plant growth regulators dan jenis lainnya. 5.3. Persepsi Petani dalam Penggunaan Pestisida pada tanaman Sayuran
5.3.1.Karakteristik Responden Untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang pestisida telah dilakukan survei terhadap 224 responden atau petani di wilayah penelitian yakni Kabupaten Nganjuk, Kediri, Malang dan Probolinggo. Karakteristik responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah umur, lama bertani, pendidikan, dan tingkat pendapatan yang diterima. Distribusi karakteristik responden pada empat lokasi penelitian disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran karakteristik responden petani sayuran empat kabupaten di Jawa Timur tahun 2006 Karakteristik responden
Umur
Kategori pengukuran Muda (< 19 tahun) Dewasa (20–55 tahun) Tua (> 56 tahun)
Total
Pendidikan
Tidak tamat SD Dasar (SD-SLTP) Menengah (SMU tamat) Tinggi (D1Sarjana)
Total Lama Bertani
Total
0
Komoditas Cabai Kubis n % n % 0
0
Kentang n %
Total n
%
0
0
0
0
49
21,9
46
20,5
47
20,9
51
22,8
193
86,2
7
3,1
10
4,5
9
4,0
5
2,3
31
13,8
56 2
25,0 0,9
56 4
25,0 1,8
56 2
24,9 0,9
56 3
25,1 1,3
224 11
100 4,9
31
13,8
32
14,3
18
8,0
32
14,3
113
50,5
19
8,5
16
7,1
30
13,4
18
8,0
83
37,1
4
1,8
4
1,8
6
2,7
3
1,3
17
7,5
224
100
56
56
56
56
< 5 th
3
1,3
6
2,6
4
1,8
6
2,6
19
8,5
5-10 th
8
3,6
13
5,8
19
8,5
11
4,9
51
22,7
> 10 th
45
20,1
37
16,5
33
14,7
39
17,4
154
68,8
224
100
Total Pendapatan
B. merah n %
56 Rendah < Rp 750.000,Sedang (Rp 750.000-Rp 1.250.000) Tinggi (> Rp 1.250.0000,-)
56
56
56
7
3,1
4
1,8
3
1,3
0
0
14
6,3
27
12,1
19
8,5
21
9,4
15
6,7
82
36,6
22
9,8
33
14,7
32
14,3
41
18,3
128
57,1
224
100
56
56
56
56
112
Tabel 29 memperlihatkan bahwa responden di empat kabupaten paling banyak berumur dewasa (20-55 tahun) sebanyak 86,2% dan sedikit berumur tua (> 55 tahun) sebanyak 13,8% serta yang berumur kurang dari 20 tahun tidak ditemukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat tersebut berada pada usia kerja yang produktif. Memperhatikan proporsi umur paling banyak berumur lebih dari 20 tahun maka frekwensi lama bertani paling banyak lebih dari 10 (sepuluh) tahun yakni 68,8 % dan yang paling sedikit kurang dari 5 (lima) tahun yakni 7,5 %. Hal ini menggambarkan bahwa responden telah memiliki pengalaman yang cukup banyak di budidaya pertanian sayuran. Pendidikan petani empat komoditas dikategorikan berpendidikan rendah atau banyak yang berpendidikan dasar yakni tamat SD dan SLTP sebanyak 50,5% bahkan tidak tamat SD atau tidak sekolah sebanyak 4,9 %, namun para petani ada yang berpendidikan lanjutan menengah (SLTA) sebanyak 37,1 %. Sedikit sekali masyarakat yang berpendidikan tinggi (tamat perguruan tinggi sarjana maupun diploma) yakni 7,5 %. Mayoritas responden berpendidikan dasar kebawah inilah yang mempengaruhi daya serap dan cerna informasi yang diterima oleh petani sehingga human resources menjadi rendah. Jika dilihat dari tingkat pendapatannya petani sayuran dikategorikan berpendapatan tinggi mencapai 57,1 %, sedang berpendapatan sedang 36,6 % dan rendah hanya 6,3 %. Hal in tentunya dapat dimengerti bahwa usaha di bidang budidaya pertanian tanaman sayuran digolongkan usaha dengan nilai investasi tinggi mengingat input usaha yang besar. Sesuai dengan pendapat Setiawati (2006) yang menyatakan bahwa usaha budidaya tanaman sayuran memiliki prospek benefit yang tinggi namun pada kondisi tertentu dimana hight material supply terjadi penurunan yang sangat draktis. 5.3.2. Persepsi Petani tentang Pestisida Persepsi adalah pandangan atau pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal yang ditangkap melalui panca indra (Notoadmojo 2003). Persepsi petani tentang pestisida dapat didefinisikan secara operasional adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani melalui panca indra tentang pestisida.
Pengetahuan
masyarakat petani sayuran mempunyai peranan yang penting dalam penggunaan pestisida dalam upaya pengendalian OPT tanaman sayuran. Oleh sebab itu, untuk
113
mengetahui peranannya maka dilakukan analisis terhadap persepsinya dalam hal pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida. Analisis ini bertujuan untuk lebih memudahkan upaya implementasi kebijakan penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT pada tanaman sayuran. Persepsi masyarakat petani tentang implementasi kebijakan penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT tanaman sayuran dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis persepsi yaitu yaitu, persepsi tentang pengetahuan tentang bahan aktif pestisida, persepsi tentang aturan penggunaan dan aplikasinya serta dampak negatif yang ditimbulkan. a) Persepsi petani bawang merah tentang penggunaan pestisida Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dengan kuesioner tertutup tentang persepsi masyarakat petani tanaman sayuran bawang merah terhadap pengetahuan, aturan penggunaan dan tindakan serta dampak negatif penggunaan pestisida dikategorikan rendah. Hasil penelitian tentang persepsi petani sayuran bawang merah, cabai, kubis dan kentang dapat dilihat pada Gambar 16. Dari Gambar 16 terlihat bahwa responden pada tanaman bawang merah memiliki persepsi yang rendah terhadap dampak negatif penggunaan pestisida pada tanaman sayuran, yaitu dalam hal pengetahuan tentang pestisida (51,6%), dampak negatif dalam penggunaan pestisida (64,3%) dan aturan penggunaan dan tindakan pestisida (55,4%). 70
64,3
60 P e t a n i
50
55,4 51,8
40
Pengetahuan
30,4 28,6
30
Aturan penggunaan Dampak negatif
25 19,6 14,2
20 (
10,7
% 10 ) 0 Rendah
Ket : Rendah (<56 %)
Sedang
Sedang (56%-<76%)
Tinggi
Tinggi (76% - 100%)
Gambar 16. Persentase persepsi petani sayuran bawang merah di Jawa Timur dalam penggunaan pestisida tahun 2006
114
Sebagian kecil masyarakat yang memiliki persepsi sedang (20,3%) dan sisanya memiliki persepsi yang tinggi (14,67%) tentang pengetahuan tentang pestisida dan dampak negatif penggunaan pestisida. Rendahnya persepsi masyarakat tersebut disebabkan pengetahuan masyarakat tentang bahaya pestisida, cara memantau, apa yang harus dilakukan oleh petani agar tidak terpapar oleh pestisida dan cara penanggulangan jika terpapar oleh pestisida yang masih rendah. Rendahnya pemahaman petani bawang merah salah satunya mereka berpersepsi bahwa pestisida bukanlan racun yang mematikan jika terpapar dalam jumlah sedikit (misal ; tersiram, tumpah di saluran, dll) hal ini didukung oleh sangat jarang terjadi keracunan akut pada petani pengguna. Pemahaman sebagaimana dimaksud disebabkan oleh pendidikan yang masih rendah serta kurangnya sosialisasi oleh para petugas pertanian lapangan kepada masyarakat petani pengguna. b) Persepsi petani cabai dalam penggunaan pestisida Gambar 17 memperlihatkan bahwa responden petani cabai persepsi yang rendah terhadap dampak negatif yang diitmbulkan dalam penggunaan pestisida, yaitu dalam hal pengetahuam penggunaan pestisida (57,1%), dalam pencegahan munculnya dampak negatif dalam penggunaan pestisida (44,6%) dan aturan penggunaan serta partisipasi dalam penanggulangan dampak negatif yang timbul (60,7%). Hanya sebagian kecil masyarakat memiliki persepsi sedang diantara masing-masing parameter pengetahuan (30,3%), aturan penggunaan (37,5% dan sisanya partisipasi pencegahan dampak negatif pestisida (25%). 70 P 60 e t 50 a n 40 i 30
57,1
60,7
44,6 37,5 30,3
Pengetahuan Aturan penggunaan
25
( %
Dampak negatif
17,9 14,3 12,5
20
)
10 0 Rendah
Ket : Rendah (<56 %)
Sedang
Sedang (56%-<76%)
Tinggi
Tinggi (76% - 100%)
Gambar 17. Persentase persepsi petani cabai di Jawa Timur dalam penggunaan pestisida tahun 2006
115
Sehubungan dengan rendahnya persepsi petani sayuran dalam pengetahuan tentang substansi pestisida, aturan penggunaan dan pemahaman dampak negatif serta upaya penanggulangan dampak pestisida juga disebabkan oleh pengetahuan masyarakat tentang ekosisitem, dampak pestisida dalam ekosistem terutama tanah, air dan udara, musuh alami, batas toleransi hama, resistensi dan resurgensi. Demikian halnya dengan lemahnya sumberdaya petugas lapangan dalam melakukan pemantauan lapang, untuk melakukan sosialisasi dan evaluasi program pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida. c) Persepsi petani kubis dalam penggunaan pestisida Gambar 18 memperlihatkan bahwa responden petani tanaman sayuran kubis memiliki persepsi yang rendah terhadap pengetahuan tentang substansi pestisida (66,1%), aturan penggunaan dan tindakan dalam penggunaan pestisida (71,4%) dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pestisida Sebagian kecil masyarakat yang memiliki persepsi sedang dalam pemahaman substansi pestisida (25%), aturan penggunaan pestisida (21,4%) dan dampak negatif pesstisida yang muncul (13,0%).. 80 70
Pengetahuan
(
60 P e 50 t % 40 a 30 n i 20
71,4 66,1 62,5
Aturan Penggunaan
)
25
Dampak Negatif
21,419,6
17,9 8,9 7,1
10 0 Rendah
Ket : Rendah (<56 %)
Sedang
Sedang (56%-<76%)
Tinggi
Tinggi (76% - 100%)
Gambar 18 Persentase persepsi petani kubis di Jawa Timur dalam penggunaan pestisida tahun 2006
Sehubungan dengan rendahnya persepsi petani sayuran dalam pemantauan, pencegahan dan partisipasi dalam penanggulangan dampak pestisida juga disebabkan oleh pengetahuan masyarakat tentang ekosistem, dampak pestisida dalam ekosistem terutama tanah, air dan udara, musuh alami, resistensi dan resurgensi. Demikian halnya dengan lemahnya sumberdaya petugas lapangan dalam melakukan pemantauan lapang, untuk melakukan sosialisasi dan evaluasi program pengendalian OPT dengan menggunakan pestisida
116
d) Persepsi petani kentang dalam penggunaan pestisida Penggunaan pestisida pada tanaman kentang diketahui tertinggi volumenya jika dibandingkan dengan tiga komoditas lainnya. Kondisi ini tidak lepas dari persepsi petani tentang pestisida, data persepsi petani tentang pestisida dengan substansinya dapat dilihat pada Gambar 19. 80 70
73,2 67,9
76,8
Pengetahuan Aturan Penggunaan Dampak Negatif
(
P 60 e 50 t % 40 a 30 n i 20 10 0 )
21,419,6 10,7 Rendah
Ket : Rendah (<56 %)
Sedang
Sedang (56%-<76%)
12,512,5 5,4 Tinggi
Tinggi (76% - 100%)
Gambar 19. Persentase persepsi petani kentang di Jawa Timur dalam penggunaan pestisida tahun 2006
Gambar 19 persepsi masyarakat petani kentang tentang pengetahuan substansi pestisida, aturan penggunaan dan tindakan penggunaan pestisida serta dampak negatif yang muncul dalam penggunaan pestisida dikategorikan rendah. Rendahnya persepsi petani sayuran disebabkan oleh rendahnya kategori dalam pemahaman tentang pengetahuan tentang substansi pestisida (73,2%), aturan penggunaan dan tindakan penggunaanya (67,9%) dan dampak negatif yang muncul oleh penggunaan pestisida (76,8%). Rendahnya persepsi petani ini disebabkan oleh rendahnya pemahaman petani tentang peran musuh alami, bahaya bagi manusia dan hewan, dan rendahnya kesadaran petani dalam memperhatikan kesehatan para responden. e) Persepsi petani empat komoditas sayuran utama di Jawa Timur Berdasarkan hasil analisis dari ke empat petani yang dijelaskan dalam Gambar 16, 17, 18 dan 19 maka dapat analisis secara keseluruhan melalui akumulasi menjadi satu kesatuan data, sebagaimana tertera pada Gambar 20. Berdasarkan data tesebut maka dapat dilihat bahwa secara keseluruhan petani sayuran utama memiliki pemahaman tentang penggunaan pestisida pada aspek pengetahuan tentang substansi pestisida, aturan penggunaan dan tndakannya dan
117
dampak negatif pestisida yang ditimbulkan mayoritas kategori rendah sebanyak 62,7 % sedangkan kategori tinggi hanya 12,8 %. 80 70
P e 60 t a 50 n 40 i
72,6 66,7 62,7 57,2 54,1 B Merah Cabai
28 30,9
30
Kubis
(
22 17,2
% 20
Kentang
24,5
)
10
14,814,9 12,8 11,3 10,1
Rerata
0 Rendah Ket : Rendah (<56 %)
Sedang Sedang (56%-<76%)
Tinggi Tinggi (76% - 100%)
Gambar 20 Akumulasi persepsi petani tanaman sayuran di Jawa Timur dalam penggunaan pestisida tahun 2006
5.4. Upaya Pengendalian OPT pada Tanaman Sayuran
Dalam sub bab ini disajikan contoh salah satu dari empat komoditas dalam upaya pengendalian OPT tanaman sayuran. Berdasarkan Tabel 19 luas serangan OPT pada tanaman bawang merah lima tahun terkhir (2005 s/d 2009) rerata terjadi kenaikan serangan
seperti ulat bawang (S. litura) 21,48 %, penggorok daun
(Lyriomyza sp.) 39,23 %, penyakit layu (P. porri) 69,58 % dan trips mencapai 858,07 %. Namun berdasarkan luas serangan hama ulat daun dan penyakit layu P. porri masih dominan dengan luas serangan 706,66 ha dan 192,25 ha. Selama tahun 2009 terdapat serangan 10 jenis OPT bawang merah di Jawa Timur dengan total luas serangan 1.426,15 ha yang terdiri dari serangan ringan 1.235,70 ha, sedang 182,73 ha, berat 5,92 ha dan puso 1,80 ha. (Diperta Provinsi Jawa Timur 2009) Tanaman bawang merah memiliki kerentanan yang cukup tinggi dari serangan OPT. Upaya pengendalian OPT bawang merah oleh petani telah dilakukan dengan berbagai cara melalui pemasangan perangkap light traps, cara mekanis, dan secara kimiawi dengan pestisida. Tabel 30 menunjukkan bahwa luas pengendalian yang paling banyak diupayakan oleh petani adalah menggunakan cara kimiawi atau pestisida dan disusul dengan eradikasi. Data secara lengkap upaya pengendalian OPT pada tanaman bawang merah, tertera pada Tabel 30.
118 Tabel 30 Perbandingan kumulatif luas pengendalian serangan OPT bawang merah di Jawa Timur tahun 2009 OPT Spodoptera litura
Eradikasi 1.042,3
Luas Pengendalian (ha) Pestisida Cara Lain 10.576,0 3.186
Lyriomyza sp.
20
2.177,8
30,4
Phytophthora sp.
0,2
2.823,7
116,1
Alternaria porri
0
334,9
52,3
Antraknosa
0
46,2
25,4
Fusarium
0
369,4
2,5
1.062,5
15.993,1
3.412,7
5,19
78,14
16,67
Jumlah Persentase
Sumber : Diperta Provinsi Jawa Timur 2009
Hasil inventarisi data yang berhasil dikumpulkan dalam penggunaan pestisida pada tanaman bawang merah di wilayah sentra yakni di Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Probolinggo dijumpai bahwa kebutuhan per hektarnya mencapai 31,59 kg (SLPHT) dan 32,19 kg (Non SLPHT). Volume penggunaan pestisida pada tanaman bawang merah sangat tergantung dari kondisi musim dan cuaca. Pada musim tanam bulan April sampai dengan Bulan Agustus penggunaan pestisida lebih dominan jenis insektisida, karena pada bulan-bulan ini banyak serangan insekta seperti Lyriomyza sp, S. exiqua, dan Thrips tabaci L Pada saat pengambilan data, serangan Lyriomyza sp. dianggap masyarakat setempat sangat membahayakan karena hama ini menyerang di dalam daun bawang sehingga tanda-tanda serangan tidak tampak diawal, namun setelah serangan berat baru tampak gejala dari luar. Dilihat dari waktu serangannya yang berjalan sangat cepat dan dalam waktu yang hampir bersamaan dalam satu area tertentu maka kondisi ini menyebabkan masyarakat setempat menamainya dengan serangan “Grandong” (semacam tokoh cerita sandiwara yang menyeramkan). Jenis hama lainnya yang menyebabkan penggunaan pestisida di musim kemarau lebih banyak adalah serangan ulat bawang S. exiqua. Hama ini menyerang daun tanaman bawang merah dan masuk didalamnya, sehingga tanda serangannya adalah daun patah dan kering. Pengendalian serangan OPT Lyriomiza sp. dan S. exiqua tetap mengutamakan dengan insektisida, namun pada luasan areal kurang dari 0,2 ha dibantu dengan cara mekanis yakni memangkas daun yang terserang secara manual (dalam bahasa jawa ”Petan”).
119
Pada musim penghujan penggunaan pestisida lebih tinggi jika dibandingkan musim kering, hal ini disebabkan oleh curah hujan lebih tinggi jika dibandingkan musim kemarau, mengakibatkan kelembaban yang relatif lebih tinggi sehingga bakteri dan fungi lebih cepat berbiak. Nama fungi yang sering menyerang tanaman bawang merah seperti bercak ungu atau trotol (Alternaria porri), Embun Bulu atau busuk daun (Peronospora destructor (Berk) Caps, dan Antraknose (Colletotrichum gloesporioides). Sesuai dengan jenis OPT yang menyerang maka kebutuhan fungisida pada musim penghujan 1,5-2 kali lipat musim kemarau. Tabel 31 Jumlah pestisida yang banyak digunakan oleh petani SLPHT dan Non SLPHT pada komoditas bawang merah di Jawa Timur tahun 2006 No.
Jumlah jenis pestisida yang digunakan
1 1-3 macam 2 4-6 macam 3 7-9 macam 4 >9 macam Jumlah
Petani SLPHT Jumlah Persentase (orang) 10 35,71 17 60,71 1 3,57 28 100,00
Petani Non SLPHT Jumlah Persentase (Orang) 3 10,71 18 64,29 7 25,00 28 100,00
Penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT tanaman bawang merah yang mencapai 31,59 kg sampai dengan 32,19 kg per hektar, para petani tidak lagi hanya menggunakan 2 sampai 3 macam formulasi tetapi yang paling banyak antara 7 sampai 9 formulasi, bahkan pada sebagian petani non SLPHT ada yang menggunakan 9 sampai 12 formulasi (Tabel. 31). Banyaknya formulasi ini sangat tergantung pada banyaknya jenis OPT yang menyerang dan besaran tingkat serangan pada suatu areal. Semakin banyak OPT yang menyerang semakin banyak formulasi yang digunakan oleh petani, demikian juga semakin berat tingkat serangannya petani akan berusaha melakukan kombinasi formulasi dengan harapan mampu meningkatkan daya racunnya. 5.5. Pemodelan Sistem
Implementasi kebijakan penggunaan pestisida merupakan serangkaian kegiatan yang melibatkan berbagai unsur. Unsur-unsur yang dimaksud memiliki peranan yang berbeda-beda, baik berperan langsung maupun tidak langsung dalam mekanisme interaksinya. Implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur melibatkan banyak unsur atau komponen yang
120
terkait
maka
implementasi
ini
bersifat
komplek.
Serangkaian
kegiatan
implementasi kebijakan penggunaan pestisida yang menggambarkan interaksi beberapa komponen maka proses ini adalah bagian dari sistem yang bersifat dinamis. Maka dari itu pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sistem dan pemodelan. Pemodelan diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model yang akan menggambarkan sistem yang dikaji (Eriyatno 1999). Tujuan utama dari penelitian ini adalah membangun model pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida. Pemodelan sistem pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida digunakan untuk menemukan dan menempatkan peubah-peubah penting serta hubungan antar peubah dalam sistem tersebut yang bersandarkan pada hasil pendekatan kotak gelap (black box). Dalam penelitian ini untuk mengukur besaran implementasi kebijakan penggunaan pestisida dilakukan dengan pendekatan volume penggunaan pestisida untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman. Model pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran disusun berdasarkan variabel-variabel yang mempengaruhi kebijakan penggunaan pestisida oleh petani tanaman sayuran yaitu faktor dalam diri petani dan faktor luar. Model tersusun oleh beberapa sub-sub model variabel, yaitu: sub-model SDM Petani, sub-model SDM petugas lapangan, sub-model lingkungan (yang diukur dengan pendekatan serangan OPT), tekanan formulator dan sub model ketersediaan pestisida. Kelima sub-sub model tersebut dibuat secara parsial berdasarkan persamaan yang sesuai dengan masing-masing sub-model, kemudian diintegrasikan menjadi satu model pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada budidaya tanaman sayuran di Jawa Timur. Model yang dibangun untuk kajian sistem adalah model simbolik (model matematika). Pemodelan sistem dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) program Powersim versi 2.5 c. Model umum (global) faktor dibedakan menjadi dua jenis yakni dari dalam diri petani dan dari luar diri petani. Faktor dari dalam diri petani adalah kemampuan petani memahami tentang substansi pestisida, aturan penggunaan pestisida, efek samping negatif pestisida, pemahaman tentang OPT dan pemahaman ekosistem. Sedangkan faktor dari luar diri petani meliputi luas tanam
121
tanaman sayuran, serangan OPT, tekanan formulator dan kumudahan atau ketersediaan pestisida. Model penggunaan pestisida berhasil dibangun menjadi sebuah persamaan. Persamaan inilah yang dijadikan indikator faktor yang mepengaruhi implementasi kebijakan penggunaan pestisida yaitu luas tanam, luas serangan OPT (tekanan lingkungan), SDM petani, tekanan promosi (formulator = petani menyebut), dan kemudahan akses mendapatkan pestisida di lapangan. Data penggunaan pestisida per hektar per musim tanam pada empat tanaman sayuran utama sebagai berkut : kentang 160,62 kg, cabai 137,872 kg, kubis 78,03 kg dan bawang merah 31,89 kg. Volume penggunaan pestisida oleh petani tanaman sayuran ini dapat didistribusikan berdasarkan faktor-faktor pendorong. Sebagaimana diketahui bahwa hasil inventarisasi data distribusi volume penggunaan pestisida yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong yang telah disebutkan diatas. Secara matematik peningkatan penggunaan pestisida yang dipengaruhi faktor sebagai berikut serangan OPT mencapai 21 %, promosi oleh sales pestisida 10,5 %, luas tanam 44,9 %, SDM petani 19,5 % dan kemudahan akses memperoleh pestisida di lapangan 4,1 %. Penggunaan pestisida di lapangan akan terkendalikan oleh faktor SDM petugas`lapangan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan SDM petani yang memiliki kemampuan lebih dibidang pengelolaan ekosistem, pemahaman substansi pestisida, aturan penggunaan pestisida dan efek samping yang ditimbulkan. Faktor pengendali yang kedua lebih terkenal dengan pemahaman konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Beberapa tahun terakhir konsep dimaksud telah terakomodir dalam program baru yang termuat dalam program atau konsep good agriculture practice (GAP).
Berdasarkan hasil identifikasi faktor
dimaksud maka dapat
disusun menjadi persamaan matematis sebagai berikut: JPP = ((LSO*fk1) + (LLhn*fk2) + (TProm*fk3) + (SdiaPest*fk4) + (SDMPetn1*fk5)) – ((SDMPetn2*fk5) + (SDMPetgs*fk6) ------Keterangan : JPP LSO LLhn TProm SdiaPest
: jumlah/volume penggunaan pestisida : luas serangan OPT : luas lahan tanaman sayuran : tekanan promosi/formulator : ketersediaan pestisida
(3)
122 SDMPetn1 SDMPetn2 SDM Petgs
: SDM petani berkemampuan rendah : SDM petani berkemampuan tinggi : SDM petugas lapangan
Menurut data BPS Jawa Timur tahun 2009 diketahui bahwa jumlah petani di Jatim sebanyak 3.743.861 jiwa dan luas lahan tanaman sayuran 11,55 % dari seluruh luas lahan sawah. Berarti petani sayuran di Jawa Timur lebih kurang 432.306 petani. Jumlah penyuluh pertanian 5.520 orang (2645 Penyuluh/PNS dan 2.875 orang THL-TB dan propinsi 41 orang (BPTPH Jawa Timur 2011). Dengan demikian dapat diprediksi bahwa jumlah penyuluh yang bertugas di area tanaman sayuran lebih kurang 11,55 % dari total penyuluh atau sebanyak 638 orang. Berdasarkan data sebagaimana disebutkan sebelumnya maka dapat dibuat model diagram alir komponen yang mempengaruhi penggunaan pestisida pada tanaman sayuran. Adapun gambar diagram alir komponen yang mempengaruhi penggunaan pestisida pada budidaya tanaman sayuran di Jawa Timur beserta keterangannya, dapat dilihat pada Gambar 21.
fk_LLahan fk_SalesPest
fk_Ptn1
fk_SDMPetgs
L_TanamSDM_Ptn1
SDMPetgs
SalesPest
VPest Lj_KurPest
Lj_PPest fk_tekOPT
SDMPtn2 TekOPT
fk_SDMPtn2
SDAPest fk_SDAPest
Gambar 21 Diagram alir komponen yang mempengaruhi penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur Keterangan : VPest Lj_KurPest Lj_PPest L_Tanam SalesPest SDAPest SDM_Ptn1
= volume pestisida = laju pengurangan penggunaan pestisida = laju penggunaan pestisida = luas tanaman sayuran = jumlah sales/formulator pestisida = ketersediaan pestisida = jumlah petani yang bekeampuan kurang
123 SDMPetgs SDMPtn2 TekOPT fk_LLahan fk_Ptn1 fk_SalesPest fk_SDAPest fk_SDMPetgs fk_SDMPtn2 fk_tekOPT
= peran petugas lapangan = jumlah petani berkemampuan lebih = tekanan serangan OPT tanaman sayuran = fraksi luas lahan = fraksi petani yang berkemampuan kurang = fraksi formulator = fraksi ketersediaan pestisida = fraksi SDM petugas lapangan = fraksi petani bekemampuan lebih = fraksi serangan OPT
Gambar 21 menjelaskan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman sayuran ditentukan oleh faktor pendorong dan faktor pengendali. Besaran komponen pendorong penggunaan pestsida selanjutnya disebut dengan laju penggunaan pestsida (Lj_PPest), adapun besarannya tergantung sub komponen yang mempengaruhi meliputi luas tanam tanaman sayuran (L_Tanam), SDM petani yang berkemampuan kurang (SDMpetn1), tekanan sales/formulator (SalesPest), tekanan serangan OPT (TekOPT) dan ketersediaan pestisida termasuk kemudahan mendapatkan pestisida (SDA Pest). Adapun sumberdaya petani (SDMPetn2) dan SDM petugas lapangan (SDMPetgs) berperan sebagai pengendali penggunaan pestisida (KurPest). SDM petani berperan sebagai pengendali penggunaan pestisida jika kemampuan mereka dalam penggunaan pestisida mendekati atau dengan benar. Petani yang dimaksud adalah petani yang pada umumnya telah mengikuti pelatihan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). SDM petugas lapangan berperan sebagai pengendali penggunaan pestisida karena mereka memiliki kewajiban melakukan pembinaan dan pendampingan kepada petani sayuran dalam penggunaan pestisida selama budidaya tanaman. Petugas lapangan yang secara aktif melakukan pendampingan dan pembinaan kepada petani, maka petani merasa percaya diri dalam mengatasi permasalahan budidaya tanaman sayuran dan pengendalian OPT yang memanfaatkan pestisida sebagai sarananya. Penggunaan pestisida akan cenderung sesuai dengan aturan atau rekomendasi dalam label, mempertimbangkan waktu penggunaan, cara penggunaan yang tepat dan lain-lain. Sehingga dengan kedua faktor pengendali dimaksud maka penggunaan pestisida dalam budidaya tanaman sayuran dapat dikurangi.
124
5.5.1. Sub Model Luas Tanam Penggunaan pestisida di lapangan oleh petani tanaman sayuran telah menjadi budaya, hal ini dibuktikan dengan selalu memanfaatkan pestisida selama proses budidayanya. Mayoritas petani sayuran memanfaatkan pestisida pada saat dimulai penanaman. Mereka memanfaatkan pestisida sejak awal proses budidaya dipergunakan untuk memberantas gulma, memberantas organisme yang dianggap OPT seperti pemberantasan kepiting. Petani menganggap bahwa penggunaan pestisida untuk memberantas gulma jauh lebih efisien jika dibandingkan dengan memberantas gulma dengan cara mekanis tenaga kerja. Demikian juga selama proses budidaya, petani pada umumnya cenderung melakukan penyemprotan secara terjadwal. Mereka melakukan penyemprotan secara terjadwal dilakukan sebagai upaya preventif. Petani melakukan upaya preventif mempunyai alasan yang bervariatif (1) dengan penyemrotan terjadwal dapat mengurangi resiko kegagalan panen akibat serangan OPT mengingat nilai investasi yang tinggi pada tanaman sayuran, (2) tidak ada lembaga manapun yang memberikan perlindungan (asuransi) terhadap investasi yang ditanamkan, (3) petani beranggapan bahwa serangan OPT dapat datang setiap saat dan bersifat sporadis, (4) jenis hama yang beragam berakibat pada perkembangan hama menurut instarnya berbeda-beda sehingga fase kritis berbeda pula, (5) petani pada umumnya memiliki kemampuan kurang untuk memahami siklus hidup dan konsep ekosistem, (6) dengan preventif dapat menjaga penampilan produk tetap menarik dan (7) petani berpendapat bahwa upaya preventif lebih baik dari pada kuratif. Kondisi ini mencerminkan bahwa petani sayuran tetap akan menggunakan pestisida walapun tidak ada serangan OPT. Dengan demikian volume penggunaan pestisida oleh petani tergantung oleh luas tanam tanaman sayuran. Sub model luas tanam menggambarkan dinamika luas tanam tanaman sayuran per musim yang mempengaruhi volume penggunaan pestisida. Berikut peubah yang menentukan dan ditentukan. Peubah yang terlibat dalam sub model ini adalah pertambahan kebutuhan sayuran (Keb_Sayur), pembukaan lahan baru (Lhn_Baru), laju pengurangan lahan (Lj_Per_Lhn), fraksi penanaman tanaman lain (Fr_TanLain), fraksi kebutuhan sayuran (Fr_Keb_Sayur), fraksi lahan baru (Fr_Lhn_Baru), dan fraksi pengurangan lahan (Fr_Per_Lhn). Pembangunan model
125
ini dengan beberapa asumsi (1) laju permintaan sayuran naik 3,5 % per tahun, (2) pembukaan lahan baru untuk tanaman sayuran 0,1 %, dan (3) laju pengurangan lahan tanaman sayuran karena diperuntukkan tanaman lain 0,1 % dan pemukiman, kolam dan lain-lain 0,1 %. Semua variabel berhubungan langsung maupun tidak, diformulasikan secara numerik dan disusun dalam bentuk dagram sub-model luas lahan dengan menggunakan powersim 2.5c
dan hasilnya diperlihatkan pada
Gambar 22. Fr_Lhn_Baru Lhn_Baru
Lj_LTanam
Fr_Keb_Sayur
Keb_Sayur
Fr_TanLain
L_Tanam Lj_Per_Lhn
P_VolPest
Fr_Per_Lhn
Fr_P_VolPest
Gambar 22 Diagram alir penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur sub model luas tanam Keterangan : L_Tanam Lj_LTanam Lj_Per_Lhn Keb_Sayur Lhn_Baru P_VolPest Fr_Keb_Sayur Fr_Lhn_Baru Fr_P_VolPest Fr_Per_Lhn Fr_TanLain
= luas tanaman tanaman sayuran = laju luas tanam tanaman sayuran = laju pengurangan luas lahan tanaman sayuran = kenaikan kebutuhan sayuran = pembukaan lahan baru tanaman sayuran = volume penggunaan pestisida = fraksi kebutuhan sayuran = fraksi pembukaan lahan baru = fraksi volume penggunaan pestisida = fraksi pengurangan lahan = fraksi tanaman lain
5.5.2. Sub Model Serangan OPT Sub model tekanan serangan OPT menggambarkan dinamika tekanan serangan OPT yang mampu mempengaruhi penggunaan pestisida pada tanaman sayuran, berikut adalah peubah yang yang terlibat di sub model ini meliputi kondisi luas serangan OPT (LSerOPT), Frekwensi penyemprotan pestisida (IntSemprot),
126
dosis yang digunakan (Dosis), volume penggunaan pestisida (Vpest), fraksi laju serangan OPT (Fr_SerOPT), fraksi dosis penggunaan pestisida (Fr_Dosis) dan fraksi frekwensi penyemprotan pestisida (Fr_Semprot). Luas serangan OPT pada empat tanaman sayuran pada tahun 2009 sebesar 3.668 ha. Luas serangan OPT tahun 2009 ini dipergunakan sebagai data dasar untuk membangun sub model penggunaan pestisida faktor serangan OPT. Membangun sub model luas tanam ini didukung oleh beberapa asumsi : (1) Laju serangan OPT yang dipengaruhi oleh fraksi iklim (0,03) dan nilai serangan OPT 0,1 % per bulan, (2) dosis yang digunakan 14 gr/ltr (0,0014) dan (3) dengan intensitas penyemprotan pestisida 20 % dari masa hidup tanaman sayuran. Berdasarkan peubah-peubah yang berhubungan baik secara langsung mapun tidak, dan sertai asumsi-asumsi yang diformulasikan secara numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub-model serangan OPT dengan menggunakan powersim version 2.5c dan hasilnya seperti diperlihatkan pada Gambar 23.
Fr_Dosis Fr_Crhjn
Dosis LSerOPT Lj_SerOPT Fr_SerOPT
IntSemprot
VPest
Fr_Semprot
Gambar 23 Diagram alir penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur sub model serangan OPT Keterangan : LSerOPT Lj_SerOPT Dosis IntSemprot VPest Fr_Crhjn Fr_Dosis Fr_Semprot Fr_SerOPT
= luas serangan OPT tanaman sayuran = laju serangan OPT tanaman sauran = konsentarsi penggunaan pestisida per satuan tertentu = frekwensi penyemprotan per satuan waktu = volume penggunaan pestisida = fraksi curah hujan = fraksi dosis penggunaan pestisida = fraksi penyemprotan pestisida = fraksi serangan OPT
127
Berdasarkan Gambar 23 memperlihatkan bahwa penggunaan pestisida berfungsi sebagai auxiliary yang merupakan hasil perkalian antara frekwensi penyemprotan dengan dosis yang digunakan. Volume pestisida yang digunakan oleh petani dipengaruhi oleh luas serangan OPT Berdasarkan hasil perhitungan data hasil survey petani bahwa penggunaan pestisida akan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,44 % apabila terjadi serangan hama maupun penyakit tanaman sayuran. Peningkatan ini disebabkan oleh faktor iklim. Faktor iklim yang dimaksudkan adalah saat musim kemarau serangan meningkat oleh golongan insektisida dan musim penghujan oleh penyakit (fungi dan bakteri). Besaran nilai 21,44% dimaksudkan adalah sumbangan peningkatan penggunaan pestisida oleh petani dikarenakan tingkat serangan hama maupun penyakit tanaman. 5.5.3. Sub Model SDM Petani Sub model SDM petani menggambarkan dinamika kemampuan petani dalam pemanfaatan pestisida dalam pengendalian OPT tanaman sayuran. Kriteria SDM petani diukur dengan menggunakan pendekatan pengetahuan dan perilaku dalam penggunaan pestisida pada tanaman sayuran. Hasil inventarisasi data dengan kuesioner didapatkan dari 112 responden petani SLPHT yang berpengetahuan baik tentang pestisida dan penggunaannya sebanyak 71 orang (63,3%) dan perilaku tepat dalam penggunaan pestisida sebanyak 6 orang (5,4 %) dan tidak tepat 106 orang (94,6 %). Sedangkan pada petani non SLPHT tepat dalam penggunaan pestisida diperoleh persentase lebih rendah yakni 1 orang (0,9 %). SDM petani yang masih memiliki pengetahuan rendah dalam penggunnaan pestisda ada kecenderungan menggunakan secara berlebihan untuk mengendalikan OPT. Hasil survei diperoleh data bahwa sumbangan volume penggunaan pestisida yang disebabkan oleh rendahnya SDM mencapai 19,5 % dari total volume yang digunakan. Berangkat dari data tersebut dapat dirancang model dinamik tekanan SDM yang dapat mempengaruhi penggunaan pestisida pada tanaman sayuran, berikut adalah peubah yang yang terlibat di sub model ini meliputi jumlah SDM yang berkemampuan kurang (Jl_Ptn1), laju SDM berkemampuan kurang (Lj_Ptn1), konsentrasi
pestisida
yang
digunakan
(Dosis),
frekwensi
penyemprotan
128
(Frek_Seprot),
volume
penggunaan
pestisida
(Vpest),
fraksi
pendidikan
(Fr_Pendidikan), fraksi pelatihan (Fr_Pelatihan), fraksi lama bertani (L-Brtn). Membangun sub model SDM petani didukung oleh beberapa asumsi
(1)
petani yang menerima pendidikan dan pelatihan (SLPHT) sebanyak 19.038 petani dengan tingkat keberhasilan program 80%, (2) laju peningkatan pendidikan karena regenerasi sebesar 1,95 %, (3) laju peningkatan pelatihan lapang baik dari pemerintah maupun perusahaan sebesar 2,5%, (4) dosis pengunaan pestisida meningkat mejadi 2,1 gr/ltr dan (5) peningkatan frekwensi penyemprotan 2,9%. Didukung oleh data dasar dan asumsi-asumsi maka semua peubah berhubungan baik secara langsung mapun tidak, diformulasikan secara numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub-model SDM petani dengan menggunakan powersim version 2.5c dan hasilnya seperti diperlihatkan pada Gambar 24.
Fr_Dosis Dosis Fr_Pendidikan
Jl_Ptn1
VPest
Lj_Ptn1 Fr_Pelatihan Frek_Semprot L_Brtn
Fr_Ptn1 Fr_Semprot
Gambar 24 Diagram alir penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur sub model SDM petani Keterangan : Jl_Ptn1 Lj_Ptn1 Dosis Frek_Semprot VPest Fr_Dosis Fr_Pelatihan Fr_Pendidikan Fr_Ptn1 Fr_Semprot L_Brtn
= jumlah petani19038*Fr_Ptn_Kwlts = laju jumlah petani = konsentrasi penggunaan pestisida per satuan tertentu = frekwensi penyemprotan per satuan waktu = volume penggunaan pestisida = fraksi konsentrasi penggunaan pestisida = fraksi pelatihan = fraksi pendidikan = fraksi petani = fraksi intensitas penyemprotan pestisida = lama bertani
129
5.5.4. Sub Model Peran Formulator (Promosi) Industri pestisida sejak tahun 1990-an terus mengalami pertumbuhan yang meningkat hal ini dapat dilihat dari tahun ke tahun mengalami pertambahan formulasi antara 2 % sampai 6 %, sehingga diketahui pada ahun 2005 diketahui formulasi yang terdaftar sebanyak 1572 jenis dan pada tahun 2010 diketahui sebanyak 2149 formulasi, sehingga dapat diprediksi bahwa pertumbuhan 7,3% per tahunnya. Hal ini didukung oleh pertumbuhan perusahaan industri pestisida yang mencapai 2 % sampai 4 % pertahunnya. Pertumbuhan industri pestisida ini berpengaruh langsung terhadap laju penambahan tenaga marketing yang di tingkat petani disebut dengan formulator (Sales). Paranan sales sudah jelas adalah mempomosikan formulasi pestisida yang diproduksi oleh perusahaan agar petani mau menggunakan produk pestisida secara kontinu. Kondisi inilah, menjadikan salah satu faktor pendorong penggunaan pestisida oleh petani. Berangkat dari data tersebut dapat dirancang model dinamik peran formulator yang mampu mempengaruhi penggunaan pestisida pada tanaman sayuran, berikut adalah peubah yang yang terlibat di sub model ini meliputi jumlah formulator (JmlhSales), laju formulator (Lj_JmlSales), intensitas kunjungan formulator (Jml_Kunj), peran media (PromoMedia), volume penggunaan pestisida (Vpest), fraksi laju pertambahan formulator (Fr_Jl_Sales), fraksi peran media (Fr_Media), fraksi intensitas kunjungan (Fr_Kunj). Untuk mendukung penyusunan sub model tekanan formulator maka dibangun asumsi-asumsi sebagai berikut : (1) jumlah sales (formulator) tahun 2009 sebanyak 495 orang dengan tingkat keaktifan 96%, (2) pertumbuhan jumlah formulator dipengaruhi oleh pertumbuhan produsen yang diasumsikan sebesar 3,8 % per tahun, (3) intensitas kunjungan ke petani sebesar 1,1 %, (4) peran media promosi di asumsikan berperan sebesar 0,36% dan (5) tingkat keenaran volume pestisida sebesar 90%. Berdasarkan data dasar dan asumsi-asumsi maka semua peubah berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung, diformulasikan secara numerik dan selanjutnya disusun ke dalam bentuk diagram alir sub-model peran formulator dengan menggunakan powersim version 2.5c dan hasilnya seperti diperlihatkan pada Gambar 25.
130
Fr_Kunj Fr_Jl_Sales Jml_Kunj JmlhSales VPest_4
Lj_JmlSales fk_Produsen
PromoMedia Fr_Media
Fr_VPest
Gambar 25 Diagram alir penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur sub model tekanan formulator Keterangan : JmlhSales Lj_JmlSales Jml_Kunj PromoMedia VPest_4 fk_Produsen Fr_Jl_Sales Fr_Kunj Fr_Media Fr_VPest
= jumlah sales atau formulator = laju jumlah sales atau formulator = jumlah kunjungan sales atau formulator = tekanan promosi melalui media = volume penggunaan pestisida = fraksi produsen pestisida = fraksi jumlah sales = fraksi kunjungan sales = fraksi promosi = fraksi volume penggunaan pestisida
5.5.5. Sub Model Ketersediaan Pestisida Salah satu faktor yang mementukan jumlah penggunaan pestisida oleh petani sayuran adalah ketersediaan pestisida dan mudah didapat oleh petani sayuran. Kemudahan akses untuk mendapatkan pestisida mendorong alternatif lain dalam pengendalian OPT. Kemudahan akses mendapatkan pestisida ini semata-mata dikarenakan hukum ekonomi
berjalan secara alamiah, yakni pertumbuhan
produsen pestisida yang terus bertambah dan program penambahan luas tanam tanaman sayuran. Sebagaimana diketahui bahwa pertumbuhan produsen pestisida sejak tahun 2005 mencapai 2,1 persen dan luas tanam per tahun di Jawa Timur mencapai 1,8 persen. Kondisi ini dapat dihitung melalui pendekatan diskriptif sumbangan peran ketersediaan pestisida dalam penggunaan pestisida oleh petani sayuran lebih kurang 7 persen dari total penggunaan. Berdasarkan uraian tersebut
131
dapatlah ditarik model dinamik ketersediaan pestisida di sekitar petani dengan peubah, sebagai berikut ketersediaan pestisida, laju ketersediaan pestisida, jumlah penggunaan pestisida, fraksi luas tanam (Fr_L_Tanam), fraksi produsen (Fr_Produsen) dan fraksi penggunaan pestisida (Fr_PenggPest). Membangun sub model kemudahan akses memperoleh pestisida dengan asumsi : (1) ketersediaan kios pestisida di awal di empat sentra tanaman sayuran sebanyak 120 unit, (2) pertumbuhan produsen per tahunnya 3,8% dan (3) pertumbuhan luas tanam tanaman sayuran di sekitar lokasi sebesar 1,6%. Dengan menggunakan pendekatan data dasar dan asumsi yang dibangun maka semua peubah berhubungan baik secara langsung mapun tidak, diformulasikan secara numerik dan disusun dalam bentuk diagram alir sub-model peran formulator dengan menggunakan powersim version 2.5c dan hasilnya seperti diperlihatkan pada Gambar 26.
SdaPest Lj_SdaPest Fr_PenggPest VPest Fr_Produsen Fr_L_Tanam
Gambar 26 Diagram alir penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur sub model ketersediaan pestisida Keterangan : SdaPest Lj_SdaPest VPest Fr_PenggPest Fr_Produsen Fr_L_Tanam
= ketersediaan pestisida = laju ketersediaan pestisida = volume penggunaan pestisida = fraksi penggunaan pestisida = fraksi produsen = fraksi luas tanam
Berdasarkan Gambar 26 mempresentasikan bahwa volume penggunaan pestisida berfungsi sebagai auxilary yang merupakan hasil perkalian antara daya beli penggunaan pestisida dengan ketersediaan pestisida di kios. Perhitungannya didasarkan pada vulume yang tersedia di kios per musim tanam dengan kebutuhan petani per musim tanam. Penggabungan kelima sub-model (sub-Serangan OPT, sub-model kuas tanam, sub-model kualitas petani, sub-model luas tanam, sub-model peran sales/formulator
132
dan sub-model ketersediaan pestisida) merupakan gambaran total faktor yang mempengaruhi penggunaan pestsida pada petani sayuran utama di Jawa Timur. Penyusunan diagram alir sebab akibat dalam model ini didasarkan pada keterkaitan antara variabel-variabel dalam struktur sistem yang mempengaruhi implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada pertanian sayuran, seperti pertumbuhan luas tanam tanaman sayuran, tekanan serangan OPT, variabel SDM petani, peran sales dan promosi
produsen pestisida, dan mudahnya akses mendapatkan pestisida.
Diagram tersebut memperlihatkan bahwa inti dari pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran adalah yang berhubungan dengan luas tanam, laju serangan OPT, kualitas SDM petani, tekanan sales/formulator dan mudahnya akses mendapatkan pestisida. Jadi semua unsur tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi dalam sistem. Berdasarkan diagram lingkar sebab akibat tersebut, disusun diagram alir model pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran dengan bentuk struktur modelnya seperti Gambar 27.
Fr_Ptn
Fr_Purna
Fr_TLain
Fr_LhnBr
Jl_Ptn Fr_Dosis_1
LTnm Lj_LTnm
Lj_Per_Lhn Fr_Per_Lhn
Lj_Ptn
Lj_Purna
Fr_Lj_Ptn
Dosis_1 Int_Seprt
Fr_Keb_Syr
Fr_Smprt Fr_LTnmVPest_LTanam Fr_VPest
Fr_Plthn
Fr_VPest_1 VPest_SDMPtn Jl_PtnKwlts
Fr_VPest_2
Fr_Pddkn
Lj_PtnKwlts
Fr_Dosis_2 Fr_Crhjn Dosis_2
Lj_PPest
PPest Lj_Pngrngn SDMPtgs Fr_Tknlg
Fr_LmBtn
VPest_SerOPT L_SerOPT Lj_SerOPT
VPest_Sedia Jml_Kios KunJ_Sales VPest_Promo Fr_KunjSales Lj_Kios Lj_Pngrn Int_Smprt
Fr_SerOPT Fr_VPest_4 Fr_IntSeprt
PromoJl_Sales
Fr_Pngrngn Lj_Jl_Sales
Fr_Promo Fr_Jl_Sales
Fr_LTnm_2
Fr_Produsen_2
Fr_Pest_5 Fr_Produsen
Gambar 27 Diagram alir penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur gabungan beberapa sub model
133
Keterangan : Jl_Ptn Jl_Ptn Jl_PtnKwlts Jl_PtnKwlts Jl_Sales Jl_Sales Jml_Kios Jml_Kios L_SerOPT L_SerOPT LTnm LTnm PPest PPest Lj_Jl_Sales Lj_Kios Lj_LTnm Lj_Per_Lhn Lj_Pngrn Lj_Pngrngn
= 298635*Fr_Ptn = -dt*Lj_Purna+dt*Lj_Ptn = 0.03 = +dt*Lj_PtnKwlts = 495*Fr_Jl_Sales = +dt*Lj_Jl_Sales = 2970 = -dt*Lj_Pngrn` +dt*Lj_Kios = 3868 = +dt*Lj_SerOPT = 130653 = +dt*Lj_LTnm -dt*Lj_Per_Lhn = 13339.67 = -dt*Lj_Pngrngn+dt*Lj_PPest = Jl_Sales*Fr_Produsen = Jml_Kios*(Fr_LTnm_2+Fr_Produsen_2) = LTnm*(Fr_LhnBr+Fr_Keb_Syr+Fr_LTnm) = LTnm*(Fr_Per_Lhn+Fr_TLain) = Jml_Kios*Fr_Pngrngn = PPest*Jl_PtnKwlts*(Fr_Tknlg+SDMPtgs) Lj_PpestVPest_SDMPtn+VPest_SerOPT+VPest_LTanam+VPest_Promo+ VPest_Sedi Lj_Ptn = Jl_Ptn*Fr_Lj_Ptn Lj_PtnKwlts = Jl_PtnKwlts*(Fr_LmBtn+Fr_Pddkn+Fr_Plthn) Lj_Purna = Jl_Ptn/Fr_Purna Lj_SerOPT = (Fr_Crhjn+Fr_SerOPT)*L_SerOPT Dosis_1 = Jl_Ptn*Fr_Dosis_1 Dosis_2 = L_SerOPT*Fr_Dosis_2 Int_Seprt = Jl_Ptn*Fr_Smprt Int_Smprt = L_SerOPT*Fr_IntSeprt KunJ_Sales = Jl_Sales*Fr_KunjSales Promo = Jl_Sales*Fr_Promo VPest_LTanam = LTnm*Fr_VPest VPest_Promo = KunJ_Sales*Promo*Fr_VPest_4 VPest_SDMPtn = Dosis_1*Int_Seprt*Fr_VPest_1 VPest_Sedia = Jml_Kios*Fr_Pest_5 VPest_SerOPT = Dosis_2*Fr_VPest_2*Int_Smprt Fr_Crhjn = 0.005 Fr_Dosis_1 = 0.0035 Fr_Dosis_2 = 0.0040 Fr_IntSeprt = 0.041 Fr_Jl_Sales = 0.95 Fr_Keb_Syr = 0.0058 Fr_KunjSales = 0.45 Fr_LhnBr = 0.0012 Fr_Lj_Ptn = 0.03 Fr_LmBtn = 0.12 Fr_LTnm = 0.015 Fr_LTnm_2 = 0.025 Fr_Pddkn = 0.019 Fr_Per_Lhn = 0.0003 Fr_Pest_5 = 0.03213 Fr_Plthn = 0.18
134 Fr_Pngrngn Fr_Produsen Fr_Produsen_2 Fr_Promo Fr_Ptn Fr_Purna Fr_SerOPT Fr_Smprt Fr_Tknlg Fr_TLain Fr_VPest Fr_VPest_1 Fr_VPest_2 Fr_VPest_4 SDMPtgs
= 0.02 = 0.038 = 0.0383 = 0.123 = 0.869 = 60 = 0.041 = 0.012 = 0.02 = 0.006 = 0.008 = 0.00016048 = 0.19923 = 0.01997 = 0.10
5.6. Analisis Kecenderungan Sistem (Simulasi Model)
Analisis kecenderungan sistem ditujukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan, melalui simulasi model. Perilaku simulasi ditetapkan selama 16 tahun, yakni dimulai tahun 2009 sampai dengan 2025. Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan perkembangan yang mungkin terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Peubah-peubah model yang akan disimulasikan adalah penggunaan pestisida karena luas tanam, penggunaan pestisida karena tekanan OPT, penggunaan pestisida oleh karena kondisi SDM petani, penggunaan pestisida karena peran formulator, dan kemudahan mendapatkan pestisida. Dinamika beberapa peubah sistem dalam kurun waktu 15 tahun disajikan pada Gambar 27. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa pertumbuhan luas tanam setiap tahunnya mencapai 0,093 % dengan laju peningkatan kebutuhan sayuran 0,58 % dan pembukaan baru 0,12 % per tahunnya. Disamping penambahan luas tanam yang disebabkan oleh peningkatan laju kebutuhan tanaman sayuran per kapita, lahan pertanian mengalami alih fungsi lahan sebesar 0,03% per tahunnya dan lahan pertanian yang ditanami sayuran akan mengalami pergiliran tanaman yang diasumsikan seluas 0,6 % per tahun. Sehingga diperoleh hasil simulasi diperoleh data dari 130.653 ha pada awal simulasi menjadi 167.636 ha pada akhir simulasi. Pola peningkatan luas tanam membawa konsekuensi penggunaan pestisida, hal ini disebabkan oleh budaya petani, yang selalu menggunakan pestisida selama budidaya tanaman sayuran berlangsung. Sebagaimana hasil survei dengan
135
pendekatan kuesioner diperoleh data yang menunjukkan bahwa penggunaan pestisida 44,9 % dipengaruhi oleh luas areal tanam. Sehingga pada awal simulasi penggunaan pestisida dengan luas tanam 130.653 ha adalah 1.045,22 ton meningkat menjadi 1.341,09 ton di akhir simulasi. Demikian juga dengan pengaruh tekanan serangan OPT, sebagaimana diketahui bahwa perilaku petani jika mereka menemukan ada tanda-tanda serangan OPT mereka akan meningkatkan penggunaan pestisida baik volume maupun intensitas penyemprotan. Peningkatan penggunaan pestisida ini diidentifikasi mencapai 21 %, data yang berhasil dikumpulkan bahwa serangan OPT untuk tanaman sayuran utama sebesar 3.868 ha pada tahun 2009 dengan laju peningkatan serangan OPT sebesar 5,2 % maka pada akhir simulasi menjadi 7.943,16 ha, adapun pengunaan pestisida di awal sebesar 488,85 ton per tahun
menjadi
2.795,23 ton. Penggunaan pestisida ini juga dipengaruhi oleh kondisi SDM petani yang rerata masih berkemampuan kurang dalam pengelolaan OPT tanaman sayuran sehingga SDM petani mendorong penggunaan pestisida sebesar 19,5 % dari total penggunaan pestisida. Pada awal simulasi diketahui bahwa dengan jumlah petani yang berkemampuan kurang dalam penggunaan pestisida sebanyak 289.377,32 orang dengan volume penggunaan pestisida sebesar 693,53 ton di akhir simulasi. Besaran penggunaan pestisida juga dipengaruhi oleh peran formulator yang secara atif melakukan kunjungan kepada kelompok-kelompok tani maupun secara perorangan. Dalam pertemuan tersebut fomulator memberikan tambahan informasi yang berkenaan dengan penanganan OPT dengan pendekatan pestisida sintesis dan berbagai kemudahan dan atau pengahargaan-penghargaan tertentu sehingga petani menjadi tertarik. Kondisi inilah peran formulator dalam mendorong penggunaan pestisida pada tanaman sayuran mencapai 10,5 %.
Diidentifikasi jumlah
formulator di wilayah sentra pertanian sayuran Jawa Timur sebanyak 495 orang dengan tingkat keaktifan sebesar 96% maka berpengaruh dalam penggunaan pestisida sebesar 244,43 ton di awal simulasi dan 806,25 ton di akhir simulasi. Keberadaan formulator dalam sistem ini ditunjang oleh keberadaan kios-kios pestisida sebagai kepanjangan tangan dari sistem distribusi pestisida, keberadaan kios pestisida ini mendorong kemudahan para petani sayuran untuk mendapatkan pestisida sebelum berfikir penggunaan alternatif pengendalian lain. Besaran
136
sumbangan kemudahan mendapatkan pestisida yang dikehendaki oleh petani sebesar 4,1 %. Sebagaimana data yang berhasil dikumpulkan bahwa jumlah kios pestisida di Jawa Timur sebanyak 2.970 kios dengan laju pertumbuhan sebesar 3 % per tahun. Mengacu pada data tersebut maka dapat penggunaan pestisida karena kemudahan akses memperoleh pestisida sebesar 95,43 ton di awal simulasi dan 188,02 ton di akhir simulasi. Berdasarkan uraian sebagaimana tertera di atas maka dapat digambarkan hasil simulasi tertera pad Gambar 28. 3.000 2.800
2
2.600 2.400 2.200 2.000
VPest_SDMPtn
2
1
Ton
1.800
VPest_SerOPT 2
1.600 2
1.400 1.200 1.000
3
3
800
3
3
3
2
400
1
200
4
1 4
VPest_LTanam 3 VPest_Promo
2
4 VPest_Sedia
2
600
3
1 4
1
4
1 4
1
5
5
5
5
5
5
2.010
2.013
2.016
2.019
2.022
2.025
5
Tahun
Gambar 28. Kecenderungan volume pestisida yang digunakan pada tanaman sayuran di Jawa Timur yang dipengaruhi beberapa faktor
Gambar 28 menunjukkan bahwa volume penggunaan pestisida disebabkan oleh 5 (lima) faktor penggunaan pestisida yakin pengaruh luas tanam, serangan OPT, peran formulator (promo), SDM petani dan faktor ketersediaan pestisida yang mudah didapat. Faktor ketersediaan pestisida berpengaruh paling rendah dan stabil, stabilitas pengaruh ini disebabkan oleh banyaknya kios-kios pestisida di daerah sentra tanaman sayuran, dengan model penjualan yang mudah diterima oleh para petani sayuran, misalnya yang umum berlaku dimasyarakat petani terkenal dengan istilah ”yarnen” atau bayar panen. Faktor yang berpengaruh stabil lainya adalah pengaruh SDM petani dan luas tanam. Perubahan variabel yang tidak signifikan dari tahun ke tahun atau menunjukkan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran yang stabil adalah volume penggunaan pestisida diakhir simulasi mencapai 693,53 ton pada SDM petani dan 1.341,09 ton untuk faktor luas tanam. Pada faktor peran formulator nampak menggambarkan pengaruh yang signifikan sampai akhir simulasi. Pada awal simulasi volume penggunaan pestisida
137
sebesar 244,43 ton menjadi 806,25 ton di akhir simulasi. Adapun pada variabel serangan OPT pada awal simulasi sebesar 488,85 ton menjadi 2.795,23 ton di akhir simulasi. 5.7. Validasi Model Kecenderungan Sistem
Model yang telah dibangun diharapkan dapat mewakili sistem nyata sebagaiamana yang berlangsung di lapangan. Maka model yang dibangun harus dilakukan penilaian tingkat kecocokannya yakni antara data hasil simulasi model dengan data lapangan. Evaluasi kecocokan data model dengan data lapangan ini di dalam pemodelan sistem disebut dengan validasi model. Validasi model dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu model yang dibangun, apakah sudah merupakan perwakilan dari realitas yang dikaji, yang dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Proses validasi model dilakukan dengan dua tahap pengujian, yaitu uji validitas struktur model dan uji output model. Validasi struktur bertujuan untuk melihat kesesuaian struktur model yang dibangun mendekati struktur sistem nyata. Uji ini berkaitan dengan batasan sistem, variabel-variabel pembentuk sistem, dan asumsi yang digunakan dalam sistem. Hal ini dapat dilakukan dengan uji kesesuaian struktur, uji konsistensi struktur dan uji output model (perilaku model). 5.7.1. Uji Validasi Struktur Model Hasil simulasi model dapat dinilai secara ilmiah berdasarkan uji kecenderungan perilaku atau kinerja model, salah satunya adalah uji kesesuaian struktur. Uji kesesuaian struktur bertujuan untuk memberi keyakinan bahwa struktur model yang dibangun valid secara ilmiah. Struktur model implementasi kebijakan penggunaan pestisida sebagai sarana untuk menggunakan pestisida dengan tepat yang menggambarkan interaksi antara komponen kondisi serangan OPT, SDM petani, SDM petugas lapangan, formulator pestisida, dan aksesibilitas untuk mendapatkan pestisida. Hasil implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada pertanian sayuran haruslah bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Hubungan antara peubah luas tanam, serangan OPT dengan volume penggunaan pestisida haruslah positif. demikian juga hubungan antara peubah SDM petani, peran formulator (promosi), dan akses kemudahan mendapatkan pestisida haruslah bersifat positif juga. Model yang berhasil dibangun antar peubah tersebut haruslah
138
dapat dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem penggunaan pestisida di lahan pertanian sayuran. Untuk maksud tersebut, dilakukan running dari model yang telah dibangun. Kecenderungan keadaan data luas tanam, serangan OPT tanaman sayuran utama pada lima tahun terakhir (2005–2009), diperoleh laju pertumbuhan 5,14 % per tahun pada serangan OPT dan 3,2 % per tahun maka luas tanam dan laju serangan OPT tahun simulasi (2009-2025) mengalami kecenderungan naik secara eksponensial. Sedangkan pada pertumbuhan luas tanam tidak terjadi perubahan secara eksponensial. Pada tahun 2025 tingkat serangan OPT pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur meningkat menjadi 7.943,16 ha dengan volume penggunaan pestisida mecapai 2.795,23 ton per tahun. Sedangkan luas tanam terjadi peningkatan menjadi 167.636 ha dengan penggunaan pestisida menjadi 1.341,09 ton per tahun. Faktor lain yang terlihat cukup berpengaruh adalah peran formulator, peningkatan jumlah formulator dipengaruhi oleh pertumbuhan produsen formulasi pestisida. Sebagaimana diketahui bahwa
pertumbuhan produsen memproduksi
formulasi pestisida 3,8 % per tahun maka jumlah formulator (sales) meningkat dari 470
orang di awal simulasi menjadi 854 orang di akhir simulasi, frekwensi
kunjungan dengan kekuatan promosi melalui media dapat berpengaruh kepada keputusan petani untuk menggunakan pestisida. Tabel 32 Luas tanam, luas serangan OPT, jumlah sales dan volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2009-2025 Tahun
VPest_LTanam
VPest_SerOPT
VPest_SDMPtn
VPest_Promo
VPest_Sedia
2.009 2.010 2.011 2.012 2.013 2.014 2.015 2.016 2.017 2.018 2.019 2.020 2.021 2.022 2.023 2.024 2.025
1.045,22 1.061,63 1.078,30 1.095,23 1.112,43 1.129,89 1.147,63 1.165,65 1.183,95 1.202,54 1.221,42 1.240,59 1.260,07 1.279,85 1.299,95 1.320,36 1.341,09
488,85 545,13 607,89 677,88 755,93 842,97 940,02 1.048,25 1.168,95 1.303,53 1.453,62 1.620,98 1.807,61 2.015,73 2.247,82 2.506,62 2.795,23
453,93 466,12 478,63 491,48 504,67 518,22 532,13 546,42 561,08 576,15 591,61 607,49 623,80 640,55 657,74 675,40 693,53
244,43 263,36 283,75 305,73 329,41 354,92 382,40 412,02 443,93 478,31 515,35 555,26 598,26 644,59 694,51 748,30 806,25
95,43 99,56 103,87 108,37 113,06 117,95 123,06 128,39 133,95 139,75 145,80 152,11 158,70 165,57 172,74 180,22 188,02
139
Data primer yang berhasil dikumpulkan untuk mengukur kekuatan peran sales dalam mendorong penggunaan pestisida mencapai 10,5 %. Awal simulasi volume penggunaan pestisida adalah 244,43 ton, meningkat menjadi 806,25 ton di akhir simulasi. (Tabel 32 dan Gambar 29). 1800 1700 1600 1500
Vol.Pestisida (Ton)
1400 1300 1200 1100 1045
1061
1078
1095
1112
1129
1147
1165
1183
1202
1221
1240
1260
1279
1299
1320
1341
1000 900 800 700 600 500 130653
134010
137454
140987
144610
148327
152139
156049
160059
164173
168392
172720
177159
181712
186382
191172
196085
Luas Tanam (ha)
Gambar 29 Hubungan luas tanam dengan volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2009-2025
Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji struktur, dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dapat digunakan untuk mewakili mekanisme kerja sistem nyata. 5.7.2. Uji Validasi Output Model (Kinerja Model) Validasi kinerja model merupakan pengujian kinerja model yang dibangun (output model) sesuai dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta atau diterima secara akademik. Validasi output dapat dilakukan dengan cara membandingkan data hasil keluaran model yang dibangun dengan data empirik (Barlas 1996). Teknik uji statistik yang dapat digunakan dalam pengujian validasi kinerja model antara lain adalah absolute mean error (AME) dan absolute variation error (AVE) serta U-Theil’s, dengan batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5-10% (Barlas, 1996; Muhammadi et al. 2001). Disamping itu juga digunakan uji Durbin Watson (DW) dan Kalman filter (KF). Dalam penelitian ini pengujian validasi kinerja terhadap model yang dibangun menggunakan uji Kalman Filter, dengan tingkat fitting (kecocokan) yang dapat diterima 47,5-52,5%.
140
Pengujian validasi kinerja ini dilakukan terhadap total volume penggunaan pestisida lima tahun sebelum simulasi (data empiris) dan lima tahun simulasi (data simulasi). Setelah melalui berbagai penyempurnaan baik secara struktural maupun fungsional maka hasil simulasi terhadap ke dua sub- model menunjukkan adanya kemiripan antara hasil simulasi dengan data empiris, seperti diperlihatkan pada Gambar 30. Melalui penerapan formulasi perhitungan KF maka volume penggunaan pestsida empirik dengan volume penggunaan pestisida hasil simulasi, diperoleh nilai kecocokan sebesar 0,51847 (51,8%). Dengan demikian data hasil simulasi volume penggunaan pestisida pada akhirnya dikategorikan akurat, mengingat tingkat kecocokan KF antara hasil simulasi dengan data empirik yang diperoleh berada pada batas kecocokan (47,5–52,5%). 25000 20000 15000 10000 5000 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Empirik
Simulasi
Gambar 30 Grafik perbandingan volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur hasil simulasi dengan data empirik.
5.8. Skenario Pengembangan Implementasi Kebijakan Penggunaan Pestisida pada Tanaman Sayuran
Skenario
merupakan
suatu
alternatif
rancangan
kebijakan
yang
memungkinkan dapat dilakukan dalam kondisi nyata yang ada di lapangan. Dengan mempertimbangkan kondisi model yang telah dibangun menggambarkan bahwa penggunaan pestisida cenderung mengalami peningkatan dari tahun ketahun, maka perlu disusun skenario pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran dirancang menggunakan software analisis prospektif. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan dengan cara menentukan faktor-faktor kunci yang berperan penting terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
141
Berdasarkan hasil identifikasi dari para pakar yang terdiri dari 2 orang akademisi, 1 mantan kepala BPTPH Propinsi Jawa Timur, 3 koordinator PPH, 1 orang subdin tanaman hortikultura Propinsi Jawa Timur, 2 KTA tanaman sayuran di Kabupaten Malang, 2 KTA tanaman sayuran di Kabupaten Nganjuk, 1 KTA tanaman sayuran di Kabupaten Probolinggo dan 1 KTA tanaman sayuran di Kabupaten Kediri. Hasil identifikasi dimaksudkan didapatkan 10 (sepuluh) faktor kunci yang dianggap berpengaruh dalam implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur di masa depan, yaitu: (1) kondisi SDM petani, (2) kepedulian petugas lapangan, (3) dukungan pemerintah, (4) tekanan lingkungan, (5) tekanan formulator, (6) pengawasan terhadap petugas lapangan, (7) ketersediaan teknologi alternatif, (8) akses pestisida, (9) pendidikan dan latihan dan (10) koordinasi lintas sektor. Hasil analisis secara matriks hubungan antara faktor kunci dari pakar terhadap pengaruh langsung dan tidak langsung antar faktor kunci tersebut dari sistem yang dikaji, secara rinci disajikan pada Lampiran. Selanjutnya hasil analisis silang antar faktor kunci tersebut dipresentasikan secara grafik dalam salib sumbu Kartesien (Bourgeois 2002; Hardjomidjojo 2002). Berdasarkan grafik dalam salib sumbu tersebut, terpilih lebih sedikit faktor kunci (penting) yang berpengaruh dalam pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran utama , sebagaimana tertera pada Gambar 31. Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengembangan Implementasi Kebijakan Penggunaan Pestisida Pada Tanaman Sayuran Di Jawa Timur 2,00
P e n g a ru h
1,80
Serangan OPT
Peran Petugas
1,60
Dukungan Pemda
1,40
SDM Petani
1,20
Koordinasi Lintas Sektor
1,00 0,80
Pendidikan & Pelatihan Petugas
Pengawasan Thdp Petugas
0,60 Peran Formulator
0,40 0,20
Teknologi Alternatif
Akses Pestisida
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2,00
Ketergantungan
Gambar 31 Gambar tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur.
142
Dari analisis prospektif (Gambar 31) terlihat bahwa faktor penting dalam pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran utama terkelompokkan dalam 4 kuadran. Kuadran kiri atas (kuadran I) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dengan ketergantungan yang rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri dari dua faktor, yakni: 1) peran petugas, dan 2) kondisi SDM petani. Faktor-faktor ini akan digunakan sebagai input atau driver di dalam sistem pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida yang dikaji. Kuadran kanan atas (kuadran II) merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan mempunyai ketergantungan antar faktor yang tinggi pula, sehingga digunakan sebagai stake (penghubung) di dalam sistem. Kuadran ini terdiri dari tiga faktor yaitu: 1) tingkat serangan OPT dan 2) dukungan pemerintah daerah dan 3) kerjasama lintas sektor. Kuadran kanan bawah (kuadran III) memiliki pengaruh yang rendah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor, sehingga menjadi output di dalam sistem. Kuadran ini terdiri dari dua faktor, yaitu: 1) pendidikan dan pelatihan petugas dan 2) penggunaan teknologi alternatif. Kuadran kiri bawah (kuadran IV) mempunyai pengaruh rendah terhadap kinerja sistem dan ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran ini terdiri dari tiga faktor, yaitu: 1) pengawasan terhadap petugas, 2) tekanan formulator, dan 3) akses pestisida. Berdasarkan pada penilaian pengaruh langsung antar faktor sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 31 dari ke-10 faktor kunci tersebut didapatkan sebanyak tiga faktor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem dan ketergantungan antar faktor yang tinggi pula, yaitu: 1) serangan OPT, 2) dukungan pemerintah daerah dan 3) koordinasi antar lintas sektor, serta dua faktor yang mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap kinerja sistem walaupun ketergantungan antar faktor rendah, yaitu 1) kondisi SDM petani, dan 2) peran petugas lapangan. Oleh sebab itu, kelima faktor tersebut perlu dikelola dengan baik dan dibuat state (kondisi) yang mungkin terjadi di masa depan sehubungan dengan pengelolaan penggunaan pestisida. Deskripsi dari masing-masing faktor kunci hasil analisis pengaruh langsung antar faktor adalah sebagai berikut:
143
a) Serangan OPT sayuran adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan dan menyebabkan kerusakan tanaman sayuran yang dibudidayakan. Peningkatan serangan OPT akan berpengaruh terhadap meningkatnya volume penggunaan pestisida per satuan waktu dan luas tanaman sayuran. Pertambahan luas serangan OPT didasarkan pada pertambahan historis tiap tahunnya (Sumber data Laporan Tahunan Tanaman Hortikultura Jawa Timur 2005 – 2009). b) Pemerintah daerah yang dimaksud adalah instansi pemerintah yang terkait dengan tugas pokok dan fungsinya untuk menjaga ketahanan pangan di Propinsi Jawa Timur. Dukungan yang diberikan dapat berupa bantuan tentang pelatihan bagi tenaga lapangan, petani dan penyediaan teknologi alternatif dan mengawal program yang telah dilaksanakan dalam upaya menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan termasuk didalamnya adalah pengelolaan organisme pengganggu tanaman. c) Kerjasama lintas sektor yang dimaksud adalah kerjasama antar sektor yang terkait dalam perlindungan tanaman, distribusi pestisida, penggunaan pestisida, pengawasan dan dampak yang ditimbulkan. Kerja sama lintas sektor ini meliputi
dinas
peratanian,
ketahahan
pangan,
dan
dinas
perindustrian/perdagangan serta kerjasama yang harmonis antar UPT didalam dinas pertanian, d) Produktifitas petugas lapangan yang dimaksudkan adalah peran petugas lapangan dalam melakukan pembinaan, pendampingan, pengawasan dan membantu mencarikan solusi kesulitan petani dalam menjaga keberhasilan budidaya tanaman sayuran. Peran ini sealigus sebagai pengawal program yang telah diluncurkan sebelumnya melalui program SLPHT. e) SDM
petani,
kondisi
pengetahuan,
penddidikan,
pengalaman
petani
menentukan kebrhasilan program implementasi kebijakan dalam penggunaan pestisida. Keberhasilan penggunaan pestisida harus didukung oleh kemampuan petani untuk memahami komponen-komponen pendukung tujuan penggunaan pestisida dan dapak negatif yang ditimbulkan. Skenario pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida dibuat berdasarkan pendapat responden (pakar) mengenai kondisi faktor kunci di masa
144
mendatang. Berdasarkan pendapat responden perihal faktor-faktor penting tersebut di masa mendatang, selanjutnya disusun skenario yang mungkin terjadi di daerah penelitian. Hasil pendapat responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa datang, selanjutnya dilakukan kombinasi yang mungkin terjadi antar kondisi faktor tersebut. Dari kombinasi antar kondisi faktor tersebut, didapatkan tiga skenario yang dinamai dengan skenario (1) optimistik, (2) moderat, dan (3) pesimistik. Secara ringkas penamaan dan susunan dari skenario tersebut disajikan pada Tabel 33 dan 34. Tabel 33 Keterkaitan antar faktor dan kondisi (state) untuk analisis prospektif No 1
Faktor SDM Petani
2
Dukungan Pemerintah
3
Koordinasi lintas sektor
4
Peran petugas lapangan
5
Serangan OPT
1A Meningkat secara draktis, karena adanya pelatihan, pendampingan dan pembinaan petugas lapangan 2A Meningkat secara draktis, dukungan ini berupa program pelatihan, dan penyediaan sarana pendukungnya 3A Meningkat, koordinasi Mantri Tani, PPL dan PHP dibawah naungan Dinas untuk melakukan pengawalan program. 4A Meningkat, petugas khususnya PPL secara aktif melakukan pendampingan dan pembinaan serta kolaborasi kepada kelompok tani 5A Meningkat secara tajam, sebagai akibat kondisi lingkungan yang mendukung berkembangnya OPT
Kondisi di masa datang 1B Tetap, karena pengalaman pribadi, informasi sesama petani atau formulator 2B Tetap
3B Tetap
1C Menurun
2C Menurun, karena belum dianggap prioritas dalam program pembangunan 3C Menurun, kordinasi Mantri Tani, PPL dan PHP berjalan sendiri-sendiri
4B Tetap, berkunjung bukan pembinaan lebih menekankan kepentingan administratif petugas
4C Menurun, petugas khususnya PPL tidak aktif melakukan pendampingan dan pembinaan
5B Meningkat secara bertahap, karena pengendalian yang tidak baik
5C Menurun, upaya pengendalian OPT yang dilakukan secara terpadu berjalan dengan baik
145 Tabel 34. Skenario dan kombinasi keadaan faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur No 1
Skenario Pesimistik
Kombinasi kondisi faktor 1C, 2C, 3C, 4C, 5A
2
Moderat
1B, 2B, 3B, 4B, 5B
3
Optimistik
1A, 2A, 3A, 4A, 5C
Jumlah skenario yang dapat dirumuskan dalam rangka mengembangkan strategi/skenario implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur bisa lebih dari tiga, namun dari keadaan dari masingmasing faktor kunci, kemungkinan yang paling besar diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang adalah ketiga skenario tersebut. 1. Skenario Pesimistik Skenario pesimistik dibangun berdasarkan pada kondisi saat ini dilapangan dengan kondisi faktor kunci sebagai berikut ; 1) kondisi SDM petani menurun dimana persepsi dan tindakan petani dalam penggunaan pestisida kategori tidak tepat dalam penggunaan pestisida sebesar 96,90 % (tepat 3,10 %), 2) dukungan pemerintah khususnya pemerintah daerah menurun yang disebabkan oleh anggapan bahwa penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT belum menjadi prioritas sehingga alokasi pendanaan untuk kepentingan lainnya. Akibatnya pengetahuan tentang penggunaan pestisida krang dan tindakan petani dalam pengendalian OPT dengan pestisida tetap tidak tepat, 3) kooordinasi antar lintas sektor seperti Mantri Tani, PPL dan PHP menurun, hal ini disebabkan oleh leading sector yang berbeda sehingga terdapat jarak antar petugas menjadi terbuka lebar, kondisi ini menyebabkan komunikasi antara petugas dan petani menjadi berkurang akibatnya pengetahuan dan perilaku petani dalam penendalian OPT dengan menggunakan pestisida menjadi tinggi. 4) kunjungan petugas lapangan ke petani menurun hal ini terjadi karena peran dinas dalam melakukan pengawasan kepada petugas lapangan yang tidak efektif sehingga peran petugas lapangan dalam pendampingan dan pembinaan tidak berjalan dengan baik. Rendahnya peran petugas maka pengetahuan dan perilaku petani dalam penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT tidak terpantau dengan baik. 5) Serangan OPT akan meningkat secara tajam, peningkatan
ini
di
dorong
oleh
kondisi
lingkungan
yang
mendukung
berkembangnya OPT karena resurgensi, resistensi dan tersedianya ekosistem OPT.
146
Implementasi skenario pesimistik ini akan memberikan implikasi sebegai berikut ; 1) kemampuan petani dalam penggunaan pestisida rendah berimplikasi pada penggunaan pestisida menjadi tidak tepat. 2) pemerintah kurang memberikan perhatian berimplikasi terhadap pengetahuan petani tentang penggunaan pestisida tetap kurang dan pengunaan pestisida cenderung tidak tepat. 3) rendahnya komunikasi, kolaborasi dan koordinasi pada tingkat petugas lapangan berdampak pada pemecahan pokok permasalahan yang up to date tentang penanganan OPT tidak teratasi dengan baik dan ada kecenderungan menumpuk. 4) rendahnya kunjungan petugas lapangan ke petani berimplikasi pada kurangnya pendampingan dan pembinaan pada petani dalam penggunaan pestisida, didukung dengan rendahnya pengetahuan mendorong penggunaan pestisida menjadi tidak tepat dan 5) meningkatnya serangan OPT dapat memacu penggunaan pestisda semakin meningkat sehingga resiko lingkungan juga semakin tinggi. Peningkatan serangan OPT dapat terjadi lebih dari 5,14 % per tahunnya. Adapun hasil simulasi skenario
Ton
pesimistik dapat dilihat pada Gambar 32. 4.000 3.800 3.600 3.400 3.200 3.000 2.800 2.600 2.400 2.200 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200
2
2
1 2
2
3
3
2 3
2 2 1 4 5
2.010
1 4
1 4
3
1 4
3 3 1
3
4
1
5
VPest_SDMPtn VPest_SerOPT VPest_LTanam VPest_Promo VPest_Sedia
4
5
5
5
5
5
2.013
2.016
2.019
2.022
2.025
Tahun
Gambar 32. Prediksi volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur skenario pesimistik sampai tahun 2025
2. Skenario Moderat Skenario moderat mengandung pengertian bahwa keadaan masa depan yang mungkin terjadi diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki saat ini. Skenario ini dibangun berdasarkan state dari faktor kunci dengan kondisi sebagai berikut; 1) SDM petani mengalami perubahan mebaik secara bertahap (merayap pelan) hal ini terjadi
147
karena pengalaman pribadi, tukar informasi antar petani, komunikasi dengan formulator maupun petugas meskipun sangat jarang (bahkan ada yang menyatakan tidak pernah komunikasi dengan petugas lapangan), 2) Dukungan pemerintah tetap seperti sekarang dengan program pendidikan dan pelatihan penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT melalui program SLPHT, sejak tahun 1991 sampai tahun 2007 telah memberikan pelatihan kepada petani lebih kurang 19% dari seluruh petani sayuran. 3) Sementara koordinasi lintas sektor baik antar dinas maupun antar UPT tetap tidak berjalan dengan baik, sehingga muncul kesan masing-masing institusi berjalan sendiri-sendiri. 4) Dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (5%), 5) Peran petugas tetap kurang efektif hal ini terjadi dikarenakan oleh kunjungan yang dilakukan oleh petugas kurang menekankan kependampingan dan pembinaan (10%), dan 6) Kondisi serangan OPT meningkat secara bertahap dengan laju peningkatan sebesar 5,14 % per tahunnya.
4.000 3.800 3.600 3.400 3.200
Ton
3.000 2.800 2.600
2
VPest_SerOPT 2 2
1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200
VPest_SDMPtn 1
2.400 2.200 2.000
VPest_LTanam 3 VPest_Promo
2 3
3
2
3
3
3
1 4
1
4 VPest_Sedia 5
2 2 1 4 5 2.010
3
1 4
1 4 5
1 5
5
5
5
2.013
2.016
2.019
2.022
2.025
4
Tahun
Gambar 33 Prediksi volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur skenario moderat sampai tahun 2025
Penerapan skenario moderat ini dapat memberikan implikasi sebagai berikut ; 1) SDM petani terjadi peningkatan namun berjalan secara lambat karena pengalaman namun penggunaan pestisida tetap mengalami peningkatan, 2) koordinasi lintas sektor tidak berjalan efektif sehingga persoalan-persoalan yang berkenaan dengan kebijakan penggunaan pestisida dalam perlindungan tanaman semakin menumpuk dan tidak terselesaikan dengan baik, 3) peran petugas sebagai pendamping dan pembina tidak berjalan efektif sehingga petani harus mencari
148
solusi sendiri dalam pengendalian OPT dan tetap menggunakan pestisida sebagai alternatif utama dan kecil kemungkinan menggunakan alternatif lain. 4) serangan OPT tetap mengalami peningkatan secara perlahan bahkan bisa jadi secara eksponensial sebagai dampak penggunaan pestisida yang tinggi, dan lingkungan yang mendukung lainnya. Adapun simulasi penerapan skenario moderat dapat dilihat pada Gambar 33. 3. Skenario Optimistik Skenario optimistik dibangun berdasarkan kondisi saat ini dengan perbaikan faktor kunci, sebagai berikut ; 1) SDM petani memiliki kemampuan meningkat secara draktis, hal ini dapat dibangun jika pelatihan, pendampingan dan pembinaan secara berkesinambungan, 2) dukungan pemerintah dalam bentuk program pelatihan dan penyediaan sarana prasarana pendukungnya termasuk penyediaan teknologi alternatif,
3) koordinasi antara mantri tani, PPL dan PHP dibawah
naungan dinas kabupaten dan provinsi sekaligus melakukan pengawalan program, 4) petugas lapangan secara aktif melakukan pendampingan, pembinaan dan kolaborasi mengembangkan program teknik budidaya yang ramah lingkungan dan 5) serangan OPT menurun
perlu dilakukan pengendalian secara terpadu dan
berkesinambungan. Skenario optimistik yang di bangun akan memberikan implikasi sebagai berikut ; 1) Kulaitas SDM petani meningkat karena program pelatihan, pendampingan, pembinaan dan kolaborasi. Jumlah petani yang berkualitas lebih dari 3,1%; 2) Pemerintah akan memperhatikan pentingnya menjaga ketahanan pangan yang sehat, dengan program pelatihan yang ditingkatkan jumlah petani sasaran > 19,9 % (seluruh Jatim); 3) sistem kerja lintas sektor yang terkait dapat berjalan dengan baik; 4) petugas lapangan dapat berperan aktif sesuai tupoksi yang dibebankan dan mampu mengikuti perkembangan lapangan, intensitas kujungan meningkat > 6 %; 5) serangan OPT dapat diturunkan < 5,14%. Implikasi sebagaimana diuraikan tersebut semuanya akan bermuara pada penggunaan pestisida pada tanaman sayuran dapat dilakukan dengan tepat sehingga resiko lingkungan dapat ditekan. Resiko lingkungan yang dimaksud adalah pencemran tanah, air udara, gangguan kesehatan pengguna pestisida, resistensi dan resurgensi dapat dturunkan. Adapun hasil simulasi penerapan dapat dilihat pada Gambar 34.
149
4.000 3.800
.
3.600 3.400 3.200
Ton
3.000 2.800 2.600
VPest_SDMPtn 1
2.400 2.200 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200
VPest_SerOPT 2
2 VPest_LTanam 3
2
3
3
2 3
3
3
VPest_Promo 3
VPest_Sedia 5
2 2 1 4 5 2.010
2 1 4 5 2.013
1
4
4
1 4
1 4
1
5
5
5
5
2.016
2.019
2.022
2.025
Tahun
Gambar 34 Prediksi volume penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur skenario optimistik sampai tahun 2025
5.9. Analisis Perbandingan Penerapan antar Skenario
Perbandingan kinerja sistem hasil simulasi dari ketiga skenario yang dirumuskan menjadi dasar utama untuk menentukan skenario yang paling tepat diterapkan dalam rangka implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur dapat dilihat pada Gambar 35. Kinerja sistem dengan skenario pesimistik memperlihatkan kondisi sistem yang mempunyai kinerja yang lambat dalam rangka pengendalian penggunaan pestisida, hal ini dapat dilihat bahwa kinerja sistem ini akan memberikan konstribusi pengendalian penggunaan pestisida bekerja secara lambat, dibuktikan sampai tahun akhir simulasi tidak ada gambaran terjadi penurunan volume penggunaan pestisida. Data menggambarkan bahwa diakhir simulasi dengan asumsi semua faktor konsisten maka volume pestisida pada tahun 2025 akan mencapai 53.338,70 ton per tahun. Hal ini terjadi karena oleh dukungan pemerintah yang kurang bahkan menurun, koordiansi antar sektor akan menurun karena fasilitas dari pemerintah yang kurang, penurunan koordinasi akan berpengaruh terhadap kepedulian petugas lapangan kepada petani, sehingga SDM petani menurun implikasinya petani mengalami kesulitan dalam berbudidaya tanaman khususnya pengendalian OPT maka petani akan bertindak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Petani akan bertindak pribadi dimaksudkan adalah petani akan melakukan pengambilan
150
keputusan tanpa bantuan dari petugas.Keputusan yang diambil petani sudah dapat dipastikan bahwa petani akan melakukan tindakan pengendalian OPT sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Dengan mempertimbangkan keselamatan investasi maka petani cenderung menggunakan pestisida berlebih. Fenomena ini berjalan secara terus menerus maka akan menimbulkan berbagai persoalan lingkungan termasuk resistensi dan resurgensi disamping matinya musuh alami, apabila kedua hal ini muncul maka serangan OPT menjadi meningkat. Sehingga implikasi lanjutan adalah peningkatan penggunaan pestisida menjadi tinggi. Sebagaimana diketahui jika serangan OPT > 5,14 %, dukungan pemerintah dalam bentuk pendidikan dan pelatihan menururn sehingga petani sasaran kurang dari 19 %, kepedulian petugas < 1 %, laju promosi meningkat > 68,00 % maka laju pertumbuhan penggunaan pestisida mencapai 299,85 % dengan volume penggunaan pestisida diakhir simulasi mencapai 53.338,7 ton. 60000 55000 50000 45000 40000
Ton
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Tahun
Moderat
Pesimistis
Optimistis
Gambar 35 Grafik perbandingan tiga skenario pengembangan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur tahun 2009-2025
Skenario moderat adalah adalah kondisi eksisting yang berlangsung pada saat ini, dimana state menghasilkan kinerja sistem mampu mengendalikan penggunaan pestisida di masa depan dalam kurun waktu sampai dengan tahun 2025, didukung oleh laju serangan OPT 5,14 % kondisi SDM petani yang didukung pelatihan 19 % promosi 58,0 % dan kemudahan akses mendapatkan pestisida 4,1 %, maka pertumbuhan penggunaan pestisida mencapai 244,64 % di akhir simulasi, adapun puncak penggunaan pestisida terjadi pada tahun 2022 besaran volume 40.143,4 ton
151
selanjutnya terjadi penurunan, sehingga beban penggunaan pestisida diakhir simulasi sebesar 32.634,74 ton. Adapun kinerja sistem dengan skenario optimistik memiliki kemampuan lebih baik dari skenario pesimistik dan moderat dan mampu menekan peningkatan penggunaan pestisida sampai dengan 41.23% jika dibandingkan dengan skenario moderat. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan dibawah skenario moderat yakni 73,23% sampai akhir simulasi. Sehingga dengan dukungan pemerintah yang meningkat secara draktis melalui pelatihan > 20% petani sayuran, penggunaan teknologi alternatif pengendalian hama dan penyakit > 2 %, peran petugas untuk melakukan pengawalan program melalui pendampingan dan pembinaan > 9%, hal ini berimplikasi pada jumlah petani yang berkualitas > 3,1 %, penurunan serangan OPT < 5,14 %, kunjungan formulator akan menurun < 4 % dan penurunan dosis per satuan luas < 0,4 %. Berdasarkan perbaikan faktor-faktor penentu penggunaan pestisida tersebut maka penggunaan pestisida per satuan luas per musim dapat dikendalikan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa laju penggunaan pestisida mengalami pertumbuhan rata-rata 0,9% per tahunnya dan volume penggunaan pestisida akan mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2021 dan akan menurun selama faktor-foktor kunci tetap terkendali. Dengan demikian skenario optimistik memiliki kemampuan untuk mengurangi penggunaan pestisida mencapai 41,23 % per tahunnya jika dibanding dengan skenario moderat dan 130,83 % dibanding skenario pesimistik. Hasil pengembangan strategi implementasi penggunaan pestisida pada tanaman sayuran diperoleh tiga skenario yakni skenario pesimistis, skenario moderat dan skenario optimistis. Berdasarkan perbandingan ketiga skenario serta pemodelan dalam sistem implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur dengan segala sumberdaya yang dimiliki oleh pemeritah pusat maupun daerah maka skenario yang paling mungkin dilaksanakan dimasa yang akan datang adalah pesimistik 30%, moderat 50% dan optimistik 20% (Hasil wawancara dengan pakar, 2010). Skenario yang dibuat mengilustrasikan
bahwa
dalam
mengembangkan
implementasi
kebijakan
penggunaan pestisida pada tanaman sayuran utama agar tidak mengganggu lingkungan, maka perlu dilakukan dengan dukungan kebijakan yang kooperatif.
152
5.10. Arahan Pengembangan Implementasi Kebijakan Penggunaan Pestisida pada Tanaman Sayuran di Jawa Timur
Berdasarkan pada analisis kondisi eksisting penggunaan pestisida pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur meliputi 5 (lima) tepat dan dampak yang ditimbulkan. Hasil uji analisis dengan bantuan komputer dengan software Statistic Product and Service Solution (SPSS) diperoleh data antara bahwa petani SLPHT dan Non SLPHT tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tidak ada perbedaan yang signifikan baik pada ketepatan cara, jenis, waktu, sasaran dan dosis. Data menunjukkan bahwa dari 224 responden pada empat komoditas sayuran utama kategori tepat sebanyak 7 orang (3,1 %) dan tidak tepat 217 responden (96,9 %). Dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida yang tidak tepat adalah residu pestisida pada tanaman sayuran dan ekosistem tanaman sayuran setempat. Demikian juga berpengaruh terhadap kesehatan petani pengguna yakni gangguan aktivitas Acetylcholinesterase kategori ringan 27,5 % dan kategori sedang 21,5% (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2009). Secara umum penggunaan pestisida pada tanaman sayuran dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan volume. Demikian halnya dengan hasil simulasi skenario moderat (aktual) menggambarkan bahwa penggunaan pestisida akan mengalami peningkatan hingga 13,26 % per tahunnya. Pada tahun 2025 akan mencapai 32.634,74 ton per tahun akan mencapai puncak penggunaan pada tahun 2022 volume 40.143,40 ton. Namun jika menggunakan skenario optimistik yang mengoptimalkan faktor kunci pengendalian serangan OPT, koordinasi lintas sektor dan perhatian pemerintah, serta sebagai driver adalah peningkatan SDM petani dan kepedulian petugas lapangan maka volume di akhir simulasi mencapai 23.107,84 ton. Untuk mendorong skenario dimaksud maka diperlukan beberapa rumusan strategi kebijaksanaan untuk mengembangkan implementasi kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran utama di Jawa Timur, berdasarkan prioritasnya adalah sebagai berikut ; 1. Hasil identifikasi tingkat serangan OPT pada tanaman sayuran utama mencapai 5,14 % per tahun, sebagaimana diketahui bahwa pengaruh serangan OPT terhadap penggunaan pestisida mencapai 21,44 %. Maka rekomendasinya adalah perlu dilakukan upaya pengendalian OPT tanaman sayuran selain menggunakan pestisida dengan penggunaan teknologi alternatif.
153
2. Selama penelitian diperoleh informasi bahwa kerjasama lintas sektor perihal penggunaan pestisida dalam pengendalian OPT terkesan berjalan tidak harmonis, hal disebabkan oleh leading sector yang berbeda, sehingga diperlukan peningkatan koordinasi dan kolaborasi yang baik antara PHP, PPL, Mantri Tani serta dinas terkait seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian. 3. Diperlukan perhatian lebih dari pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka memberikan pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuan petani maupun petugas lapangan. Sebagaimana data diketahui bahwa 64 % petani berusia > 45 tahun sehingga perlu regenerasi demikian halnya dengan para petugas lapangan. 4. Pengawasan terhadap kinerja petugas lapangan dalam pendampingan dan pembinaan kepada petani dalam penggunaan pestisida perlu untuk ditingkatkan mengingat kehadiran para petugas ke petani dominan untuk kepentingan administratif. Data menunjukkan kehadiran petugas dalam rangka kepentingan administratif dan pembinaan 0 sampai 3 kali per bulan (4 %). 5.11. Uji Sensitifitas Model yang Dibangun
Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui respon model terhadap stimulus. Stimulus yang dimaksdukan adalah faktor kunci yang mempengaruhi kinerja model yang telah ditemukan. Adapun tujuannya adalah untuk menemukan alternatif tindakan yang baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian fungsi positif dan untuk mengantisipasi munculnya dampak negatif. Sebagaimana diketahui bahwa faktor kunci yang mempengaruhi penggunaan pestisida adalah SDM petani, SDM petugas, serangan OPT dan penggunaan teknologi alternatif. Model menggambarkan bahwa SDM petani dipengaruhi oleh beberapa sub parameter kunci meliputi frekwensi pelatihan, pendidikan dan lama bertani. SDM petugas dipengaruhi oleh satu parameter yakni peran petugas untuk melakukan pendampingan dan pembinaan. Serangan OPT ditentukan oleh laju luas serangan OPT dan kondisi curah hujan. Hasil simulasi model dengan mengintervensi faktorfaktor kunci yang masing-masing diinterfensi dengan frekwensi yang sama yakni 2% maka diperoleh hasil simulasi tertera pada Gambar 36.
154
Hasil simulasi model setelah dilakukan intervensi dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan pada petani, peningkatan peran petugas lapangan, peningkatan pemanfaatan teknologi alternatif untuk pengendalian OPT serta penurunan serangan OPT masing-masing 2 % maka hasil akhir yang memberikan respon paling sensitif adalah pengaruh parameter pendidikan dan pelatihan pada SDM petani yang menghasilkan 25.494,17 ton per tahunnya di akhir simulasi. Kedua, adalah penurunan serangan OPT tanaman sayuran yang menghasilkan 27.151,83 ton per tahunnya. Ketiga, peran petugas baik melalui peningkatan kemampuan, peningkatan kepedulian petugas dalam melakukan pendampingan dan pembinaan, diakhir simulasi mampu menekan penggunaan pestisida sampai 26,947,83 ton per tahun. Keempat, peningkatan penggunaan teknologi alternatif yang mampu menekan penggunaan pestisida sampai dengan 28.717,5 ton per tahun. 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
SDM Ptn
SDM Ptgs
Ser OPT
Tek Alternatif
Gambar 36 Grafik tingkat sensifitas perilaku sistem yang dapat dintervensi pada parameter SDM petani, serangan OPT, peran petugas dan penggunaan teknologi alternatif dalam penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari keempat parameter yang dapat dilakukan interfensi dan memiliki sensifitas paling tinggi terhadap perilaku sistem dalam mengembangkan implementasi kebijakan penggunaan pestisida adalah intervensi pendidikan dan pelatihan petani. Namun untuk menekan penggunaan pestisida dari awal sebaiknya intervensi dapat dikonsentrasikan pada penanganan laju serangan OPT sayuran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jika penanganan serangan OPT dengan menggunakan teknologi alternatif ditingkatkan
155
sebesar 2 % maka upaya tersebut dapat menurunkan penggunaan pestisida tertinggi mulai tahun 2012. Penggunaan pestisida terendah jika dibandingkan dengan intervensi pada variabel lain ini bertahan sampai dengan tahun 2019 saja, dan sampai akhir simulasi menghasilkan volume pestisida tertinggi (28.717,5 ton). 5.12. Pembahasan Umum
5.12.1. Pengembangan Implementasi Kebijakan Penggunaan Pestisida oleh Petani Sayuran di Jawa Timur Secara umum penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di provinsi Jawa Timur dikategorikan tinggi. Pada empat komoditas ; cabai, bawang merah, kubis dan kentang, penggunaan pestisida masing-masing 137,87 kg/ha, 31,68 kg/ha, 78,03 kg/ha dan 160,61 kg/ha per musim tanam atau rata-rata 102,3 kg/ha. Penggunaan pestisida ini akan terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan luas tanam tanaman sayuran, laju serangan OPT, dan rendahnya SDM petani dalam penggunaan pestisida. Disamping itu penggunaan pestisida juga dipengaruhi oleh kemudahan mendapatkan pestisida serta pengaruh tekanan sales/formulator. Di Jawa Timur perkembangan luas tanam tanaman sayuran mencapai 5,31 persen per tahunnya. Pada akhir tahun 2008, perkembangan luas tanam tanaman sayuran didorong oleh peningkatan permintaan tanaman sayuran yang mencapai 3,8 % per tahunnya. Peningkatan permintaan tanaman sayuran ini disebabkan oleh pertambahan
jumlah
penduduk
dan
kesadaran
mengkonsumsi
sayuran.
Sebagaimana diketahui bahwa pemenuhan kebutuhan tingkat konsumsi sayuran perkapita sebesar 37,59 kilogram per kapita per tahun, sementara kebutuhan normal sebesar 54,75 kilogram per kapita per tahun (Dirjen Hortikultura 2009).. Faktor penyebab penggunaan pestisida tinggi oleh rendahnya SDM petani petani kurang memahami berbagai aspek penggunaan pestisida tentang jenis, dosis yang digunakan, ketepatan waktu dalam penggunaan, sasaran penggunaan pestisida, dan dampak negatif yang ditimbulkan. Data responden tentang pengetahuan, aturan penggunaan, tindakan dan dampak negatif yang ditimbulkan 72% responden berpengetahuan kurang. Rendahnya pengetahuan petani ini diduga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani yang mayoritas sekolah dasar (55,36%) dan usia petani lebih dari 48 tahun (67,5%). Disamping itu rendahnya peran petugas lapangan dalam melaksanakan pendampingan dan pembinaan kepada para
156
petani yang tidak intensif, hal ini disebabkan oleh rendahnya frekwensi kehadiran petugas lapangan yang hanya 0 % sampai 10 % per bulan. Berdasarkan data dasar dan kondisi faktor-faktor pendorong penggunaan pestisida oleh petani sayuran yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan pemodelan sistem dan analisis prospektif maka dapat simulasikan volume penggunaan pestisida dimasa yang akan datang. Dengan menggunakan pendekatan analisis prospektif dapat disusun tiga skenario implementasi kebijakan penggunaan pestisida meliputi skenario optimistis, skenario moderat dan skenario pesimistis. Setiap skenario menghasilkan prediksi penggunaan pestisida dengan volume yang berbeda-beda. Skenario optimistis adalah skenario yang didukung oleh faktor-faktor dalam kondisi lebih baik dari kondisi saat ini. Pada skenario ini menghasilkan volume penggunaan pestisida sebesar 23.107,84 ton per tahun di akhir simulasi dan volume tertinggi 36.502,67 ton pada tahun 2020. Skenario moderat adalah skenario yang didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhui penggunaan pestisida pada situasi saat ini (state). Hasil simulasi pada skenario ini menghasilkan volume pestisida sebesar 32.634,74 ton per tahun diakhir simulasi dan puncak penggunaan pestisida pada tahun 2.022 sebesar 40.143,40 ton per tahun. Skenario yang terakhir adalah pesimistis, skenario yang ketiga ini akan terjadi apabila seluruh faktor dalam kondisi yang tidak lebih baik dari kondisi saat ini, misal kualitas SDM petani semakin menurun, peran petugas lapangan dalam melakukan pembinaan dan pendampingan menurun, serangan OPT meningkat, tekanan formulator tinggi dan akses mendapatkan pestisida lebih mudah. Skenario ini penggunaan pestisida mencapai 53.338,70 ton per tahun di akhir simulasi. Penggunaan pestisida dari tahun ketahun diprediksi mengalami peningkatan bahkan dan akan mencapai 53.338,70 ton per tahun diakhir simulasi (skenario pesismis) atau 40.143,40 ton per tahun (skenario moderat). Tingginya pestisida yang digunakan oleh petani sekitar 90 persen adalah pestisida yang berbahan aktif kimia sintetis sedangkan sisanya adalah pestisida berbahan aktif biologis dan kimia nabati. Tingginya penggunaan pestisida dan berlangsung secara terus menerus dalam proses budidaya tanaman sayuran akan berimplikasi positif pada volume sayuran yang diproduksi tetapi juga berimplikasi negatif pada biaya produksi, kualitas produk dan lingkungan.
157
5.12.2. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida Pestisida adalah salah satu bagian sarana pertanian yang tidak terpisahkan dari sistem budidaya pertanian tanaman sayuran. Demikian halnya dengan petani sayuran di Jawa Timur, pestisida adalah bagian dari input produksi yang harus tersedia. Hasil penelitian pada 224 petani sayuran di empat kabupaten di Jawa Timur keseluruhan tetap menggunakan pestisida. Pestisida ini digunakan oleh petani sebagian besar untuk memberantas OPT dan sebagian kecil untuk mengatur pertumbuhan. Data yang berhasil dikumpulkan melalui kuesioner menunjukkan bahwa 85 % responden menyatakan bahwa penggunaan pestisida dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan penggunaan pestisida yang dimaksud selain peningkatan volume juga meningkat biayanya. Peningkatan penggunaan pestisida tertinggi terjadi pada petani di wilayah kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo. Sejak tahun 1990 sampai tahun 2010 penggunaan pestisida mengalami kenaikan baik volume maupun biayanya yang mencapai 50% -75% dari penggunaan awal. Hal ini disebabkan oleh kondisi wilayah kecamatan Krucil pada tahun 1990-an masih kategori daerah yang alami (ekosistem alami) dimana keragaman hayati masih tinggi dan sejak tahun 1998-an mulai berubah menjadi daerah sentra tanaman sayuran (mengarah tanaman monokultur). Berubahnya struktur ekosistem ini berimplikasi pada penurunan kualitas ekosistem setempat. Penurunan kualitas ekosistem ini berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan menjadi menurun yang mengakibatkan menurunnya daya dukung kehidupan musuh alami. Kondisi ini berimplikasi lanjutan yang ditandai dengan menurunnya populasi musuh alami. Penurunan populasi musuh alami (predator, parasit dan patogen) maka populasi hama tanaman sayuran meningkat. Ahmad (1995) menyatakan bahwa dengan meyederhanakan ekosistem akan mengganggu keseimbangan alam dan membuat semakin bertambahnya jenis serangga tertentu. Jenis serangga tersebut mempunyai tingkat reproduksi yang amat tinggi dan waktu generasi yang pendek. Di daerah sentra tanaman sayuran yang berjalan sejak tahun 1980-an penggunaan pestisida cenderung lebih stabil. Hal ini terjadi di sentra tanaman bawang merah di Kabupaten Nganjuk, tanaman kubis dan kentang di Kabupaten Malang. Di wilayah sentra tanaman bawang merah, kubis dan kentang ini sejak
158
tahun 1980-an sudah berjalan budidaya tanaman sistem monokultur. Sehingga di daerah ini telah terjadi ketidakseimbangan ekosistem sejak tahun tersebut. Ketidakseimbangan ekosistem ini memberikan kesempatan hama primer maupun sekunder berkembang dengan cepat karena predator, parasit dan patogen rendah sementara ketersediaan makanan melimpah. Kondisi inilah yang memberikan alasan mengapa petani sejak tahun 1980-an telah menggunakan pestisida dalam sistem budidaya tanaman sayuran. Memperhatikan petani di daerah ini telah menggunakan pestisida sejak kurun waktu yang lama maka kenaikan volume pestisida tidak terlalu besar antara 20 % sampai 25 % saja. Petani di sentra tanaman sayuran ini lebih merasakan kenaikan pada aspek biaya pengadaan pestisida yang mencapai 75% sampai 125 % dari biaya pestisida sebelumnya. Sistem budidaya tanaman di lokasi tanaman cenderung ke sistem budidaya monokultur sehingga keanekaragaman hayati di ekosistem tersebut cenderung rendah. Sehingga stabilitas ekosistem sentra tanaman sayuran menjadi rentan terhadap serangan hama maupun penyakit (OPT). Ekosistem yang tidak stabil ini memberikan peluang kepada jenis organisme tertentu populasinya meningkat dalam waktu yang tidak terlalu lama. Musuh alami di sentra tanaman sayuran populasinya rendah, menyebabkan petani melakukan pengendalian OPT dengan memanfaatkan pestisida sebagai alternatif utama. Sebagaimana data yang dapat dikumpulkan bahwa rerata volume penggunaan pestisida pada empat tanaman sayuran mencapai 102,1 kg/ha/musim tanam.
Petani sayuran (59,82%)
mengaplikasikan pestisida dengan cara mencampur beberapa jenis formulasi dan (61,26) melakukan secara terjadwal. Tingginya penggunaan pestisida pada budidaya tanaman sayuran dapat menimbulkan dampak buruk bagi manusia dan lingkungannya. Dampak buruk penggunaan pestisida dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) pestisida dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia, (2) pestisida berpengaruh buruk terhadap kualitas lingkungan dan (3) pestisida meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman. 1)
Pengaruh Negatif Pestisida terhadap Kesehatan Manusia Pada umumnya pestisida, terutama pestisida sintesis adalah biosida yang
tidak saja bersifat racun terhadap jasad pengganggu sasaran, tetapi juga dapat bersifat racun terhadap manusia dan jasad bukan target termasuk tanaman, ternak
159
dan organisme berguna lainnya. Apabila penggunaan pestisida tanpa diimbangi dengan perlindungan dan perawatan kesehatan, orang yang sering berhubungan dengan pestisida, secara lambat laun akan mempengaruhi kesehatannya. Pestisida meracuni manusia tidak hanya pada saat pestisida itu digunakan, tetapi juga saat mempersiapkan, atau sesudah melakukan penyemprotan. Data petani di Jawa Timur tahun 2009 yang mengalami gangguan enzim asetilkolinesterase kategori ringan sebesar 21,5 % dan kategori sedang 27,5% (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur 2010). Kecelakaan akibat pestisida pada manusia sering terjadi, terutama dialami oleh orang yang langsung melaksanakan penyemprotan. Mereka dapat mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau muntahmuntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka, kejangkejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian. Kejadian tersebut umumnya disebabkan kurangnya perhatian atas keselamatan kerja dan kurangnya kesadaran bahwa pestisida adalah racun. Para petani sayuran kurang menyadari daya racun pestisida, sehingga dalam melakukan penyimpanan dan penggunaannya tidak memperhatikan keselamatan. Pestisida sering ditempatkan sembarangan, dan saat menyemprot sering tidak menggunakan pelindung, misalnya tanpa kaos tangan, tanpa baju lengan panjang, dan tidak mengenakan masker mulut dan hidung. Cara penyemprotannya sering tidak memperhatikan arah angin, sehingga pestisida mengenai tubuhnya. Bahkan kadang-kadang wadah tempat pestisida digunakan sebagai tempat minum, atau dibuang di sembarang tempat. Kecerobohan yang lain adalah penggunaan dosis sering tidak sesuai anjuran. Dosis dan konsentrasi yang dipakai kadang-kadang ditingkatkan hingga melampaui batas yang disarankan, dengan alasan dosis yang rendah tidak mampu lagi mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Secara tidak sengaja, pestisida dapat meracuni manusia atau hewan ternak melalui mulut, kulit, dan pernafasan. Sering tanpa disadari bahan kimia beracun tersebut masuk ke dalam tubuh seseorang tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis. Seseorang yang menderita keracunan kronis, ketahuan setelah selang waktu yang lama, setelah berbulan atau bertahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini paling ditakuti, karena efek
160
racun
dapat
bersifat karsiogenik (pembentukan
jaringan
kanker
pada
tubuh), mutagenik (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenik (kelahiran anak cacad dari ibu yang keracunan). Pestisida dalam bentuk gas merupakan pestisida yang paling berbahaya bagi pernafasan, sedangkan yang berbentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi pestisida sintesis. Selain keracunan langsung, dampak negatif pestisida dapat mempengaruhi kesehatan orang lain yang bukan petani, atau orang yang sama sekali tidak berhubungan
dengan
pestisida.
Kemungkinan
ini
bisa
terjadi akibat
residu pestisida yang tertinggal di dalam tanaman atau bagian tanaman yang dikonsumsi manusia sebagai bahan makanan. Konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut, tanpa sadar telah kemasukan racun pestisida melalui hidangan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Apabila jenis pestisida mempunyai residu terlalu tinggi pada tanaman, maka akan membahayakan manusia atau ternak yang mengkonsumsi tanaman tersebut. Makin tinggi residu, makin berbahaya bagi konsumen.
Dewasa ini, residu pestisida di dalam makanan dan lingkungan
semakin menakutkan manusia. Masalah residu ini, terutama terdapat pada tanaman sayur-sayuran seperti kubis, tomat, petsai, bawang, cabai, anggur dan lain-lainnya. Pada daun kubis yang berasal dari daerah Lembang ditemukan residu profenofos sebesar 0,41 ppm, batas toleransi yang diperbolehkan adalah 0,10 ppm (Ameriana et al. 2000). Munarso et al. (2009) menyebutkan tanaman contoh Wortel yang diambil dari Malang mengandung residu endosulfan diketahui kadar tertinggi mencapai 10,6 ppb sedangkan contoh dari Cianjur dengan kadar tertinggi 7,6 ppb.
161
Jenis-jenis tersebut umumnya disemprot secara rutin dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi, bisa sepuluh sampai lima belas kali dalam semusim. Bahkan beberapa hari menjelang panenpun, masih dilakukan aplikasi pestisida. Publikasi ilmiah pernah melaporkan dalam jaringan tubuh bayi yang dilahirkan seorang Ibu yang secara rutin mengkonsumsi sayuran yang disemprot pestisida, terdapat kelainan genetik yang berpotensi menyebabkan bayi tersebut cacat tubuh sekaligus cacat mental. Di Amerika,menunjukkan bahwa perempuan yang tinggal di daerah yang penggunaan pestisidanya tinggi, mempunyai resiko 1,9 sampai 2 kali lebih tinggi beresiko melahirkan bayi dalam keadaan cacat, dibandingkan perempuan yang bertempat tinggal di daerah yang tidak menggunakan pestisida (Emmylucy 1993 dalam Zaenab 2009). Masalah residu pestisida pada produk pertanian dijadikan pertimbangan untuk diterima atau ditolak negara importir. Negara maju umumnya tidak mentolerir adanya residu pestisida pada bahan makanan yang masuk ke negaranya. Belakangan ini produk pertanian Indonesia sering ditolak di luar negeri karena residu pestisida yang berlebihan. Media massa pernah memberitakan, ekspor cabai Indonesia ke Singapura tidak dapat diterima dan akhirnya dimusnahkan karena residu pestisida yang melebihi ambang batas. Demikian juga produksi sayur mayur dari Sumatera Utara, pada tahun 80-an masih diterima pasar luar negeri. Tetapi kurun waktu belakangan ini, seiring dengan perkembangan kesadaran peningkatan kesehatan, sayur mayur dari Sumatera Utara ditolak konsumen luar negeri, dengan alasan kandungan residu pestisida yang tidak dapat ditoleransi. Pada tahun 1996, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian sebenarnya telah membuat keputusan tentang penetapan ambang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian. Namun pada kenyatannya, belum banyak pengusaha pertanian atau petani yang perduli. Baru menyadari setelah ekspor produk pertanian kita ditolak oleh negara importir, akibat residu pestisida yang tinggi. Diramalkan, jika masih mengandalkan pestisida sintesis sebagai alat pengendali hama, pemberlakuan ekolabelling dan ISO 14000 dalam era perdagangan bebas, membuat produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dan tersisih serta terpuruk di pasar global
162
2)
Pestisida Berpengaruh Buruk Terhadap Kualitas Lingkungan Masalah
yang
banyak
diprihatinkan
dalam
pelaksanaan
program
pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan, pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun. Tingginya penggunaan pestisida untuk pemberantasan hama pada tanaman sayuran di Provinsi Jawa Timur akan menjadi masalah yang cukup pelik, akan berdampak kurang baik pada kesehatan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terdegradasinya lingkungan. Hal tersebut di atas memungkinkan terjadi di lokasi penelitian mengingat pestisida yang digunakan oleh petani merupakan campuran beberapa pestisida, diantaranya adalah pestisida organofosfat seperti diazinon yang juga bersifat akumulatif dalam tubuh mahluk hidup dan juga bersifat sistemik (Klaassen et al. 1986). Sifat akumulatif dan lambat urai dari pestsida terutama pestisida ini akan membahayakan lingkungan mengingat penggunaan pestisida tersebut yang dilakukan secara terus menerus dengan dosis yang relatif tinggi, apalagi dengan cara mencampurkan berbagai jenis pestisida dalam rangka mendapatkan daya racunnya yan bersifat sinergis
akan dapat menimbulkan
berbagai dampak lanjutan seperti terkontaminasinya tanah dan berbagai mahluk hidup yang terdapat di ekosistem tersebut. Kondisi tersebut juga pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya kemerosotan sumber daya lahan, sehingga pada akhirnya akan membuat para petani semakin tidak mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Pestisida sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Residu pestisida sintesis ada sebagian yang lambat terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Sebagai contoh golongan organofosfat akan cepat terurai sangat tergantung pada kondisi mokroba, sinar matahari, pH dan suhu tanah. Ragnarsdittir (2000) pestisida organofosfat di dalam tanah cepat terurai dengan waktu paruh 10
163
hari setelah aplikasi jika mikroba pengurai telah beradaptasi, sinar matahari tersedia, pH 7 dan suhu tanah ± 25oC dan sebaliknya dapat bertahan bertahun-tahun jika kondisi lingkungan tidak mendukung serta pengaruh pengaruh penyerapan partikel tanah. Kondisi ini yang mendukung dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap organisme bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran. Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi dan terakumilasi ke dalam air tanah. Hasil survei terhadap lima belas wilayah pertanian di Arab Saudi 86,66 % wilayah terdeteksi residu dimethoate, 53,3 % wilayah terdeteksi residu methomil, 20 % wilayah terdeteksi chloroneb (El-Saeid et al.2011) Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak dapat dihindari. Pencemaran lingkungan terhadap organisme biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan pestisida adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan bangsa burung.
164
Belakangan
ini,
penggunaan pestisida
memang
sudah
diatur
dan
dikendalikan. Bahkan pemerintah melarang peredaran jenis pestisida tertentu yang berpotensi menimbulkan dampak buruk. Tetapi sebagian sudah terlanjur digunakan dalam dosis yang tinggi. Degradasi lingkungan berupa kerusakan ekosistem, akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana telah terjadi. Salah satu contohnya adalah hilangnya populasi spesies predator hama, seperti yang dikemukakan diatas 3)
Pestisida Meningkatkan Perkembangan Populasi Organisme Penganggu Tanaman Peran pestisida dalam pengendalian OPT adalah untuk mengurangi populasi
hama. Akan tetapi dalam kenyataannya, sebaliknya malahan sering meningkatkan populasi organisme pengganggu tanaman, sehingga tujuan penyelamatan kerusakan tidak tercapai. Hal ini sering terjadi, karena kurang pengetahuan dan perhitungan tentang dampak penggunaan pestisida. Ada beberapa penjelasan ilmiah yang dapat dikemukakan mengapa pestisida menjadi tidak efektif, dan malahan sebaliknya bisa meningkatkan perkembangan populasi jasad pengganggu tanaman. Berikut ini diuraikan tiga dampak buruk penggunaan pestisida, khususnya yang mempengaruhi peningkatan perkembangan populasi hama. a) Munculnya Resistensi Hama terhadap Pestisida
Timbulnya ketahanan hama dari pengaruh pestisida adalah permasalahan yang tidak perlu diperdebatkan lagi, karena pestisida memiliki efek samping seperti disebutkan. Penggunaan pestisida oleh petani sayuran yang dilakukan secara terjadwal, tidak tepat jenis, tidak tepat sasaran dan dosis yang tinggi akan menimbulkan fenomena dan konsekuensi ekologis yang umum dan logis. Hasil simulasi yang didasarkan pada data-data lapangan menunjukkan bahwa penggunaan pestisida mencapai 40.143,40 ton per tahun pada tahun 2022, menunjukkan bahwa penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di Jawa Timur dikategorikan tinggi. Penggunaan pestisida dapat lebih tinggi lagi jika faktor pengendali tidak dapat berjalan secara efektif, akibatnya yang akan terjadi adalah berjalannya skenario pesimistis. Skenario pesimistis diakhir simulasi sampai dengan tahun 2025 penggunaan pestisida untuk tanaman sayuran di Jawa Timur mencapai 53.338,7 ton per tahun. Munculnya resistensi OPT tanaman saturan adalah sebagai reaksi evolusi menghadapi suatu tekanan (strees). Karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida, maka melalui proses seleksi alami,
165
spesies hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang digunakan petani. Mekanisme timbulnya resistensi hama dapat dijelaskan sebagai berikut. Apabila suatu populasi hama yang terdiri dari banyak individu, dikenakan pada suatu tekanan lingkungan, misalnya penyemprotan bahan kimia beracun, maka sebagian besar individu populasi tersebut akan mati terbunuh. Tetapi dari sekian banyak individu, ada satu atau beberapa individu yang mampu bertahan hidup. Tidak terbunuhnya individu yang bertahan tersebut, mungkin disebabkan terhindar dari efek racun pestisida, atau sebahagian karena sifat genetik yang dimilikinya. Ketahanan secara genetik ini, mungkin disebabkan kemampuan memproduksi enzim detoksifikasi yang mampu menetralkan daya racun pestisida. Keturunan individu tahan ini, akan menghasilkan populasi yang juga tahan secara genetis. Oleh karena itu, pada generasi berikutnya anggota populasi akan terdiri dari lebih banyak individu yang tahan terhadap pestisida. Sehingga muncul populasi hama yang benar-benar resisten. Dari penelaahan sifat-sifat hama, hampir setiap individu memiliki potensi untuk menjadi tahan terhadap pestisida. Hanya saja, waktu dan besarnya ketahanan tersebut bervariasi, dipengaruhi oleh jenis hama, jenis pestisida yang diberikan, intensitas pemberian pestisida dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Oleh karena sifat resistensi dikendalikan oleh faktor genetis, maka fenomena resistensi adalah permanent, dan tidak dapat kembali lagi. Bila sesuatu jenis serangga telah menunjukkan sifat ketahanan dalam waktu yang cukup lama, serangga tersebut tidak akan pernah berubah kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap pestisida. Di beberapa provinsi di Indonesia sentra sayuran, beberapa jenis hama yang sering menyerang diketahui resisten terhadap pestisida antara lain hama kubis P. xylostella, hama C. pavonana, hama penggerek umbi kentang Phythorimaea operculella, dan ulat grayak. Dengan semakin tahannya hama terhadap pestisida, petani terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan dan sekaligus melipat gandakan tinggkat dosis. Penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat menstimulasi peningkatan populasi hama. Ketahanan terhadap pestisida tidak hanya berkembang pada serangga atau arthropoda lainnya, tetapi juga saat ini telah
166
banyak kasus timbulnya ketahanan pada pathogen/penyakit tanaman terhadap fungisida, ketahanan gulma terhadap herbisida dan ketahanan nematode terhadap nematisida. b) Resurgensi Hama Penggunaan pestisida pada skenario moderat (40.143,4 ton per tahun) dan skenario pesimistis (53.338,7 ton per tahun) selain berdampak terhadap resistensi OPT juga resurgensi OPT. Peristiwa resurgensi hama terjadi apabila setelah diperlakukan aplikasi pestisida, populasi hama menurun dengan cepat dan secara tiba-tiba justru meningkat lebih tinggi dari jenjang polulasi sebelumnya. Resurgensi sangat mengurangi efektivitas dan efesiensi pengendalian dengan pestisida. Resurgensi hama terjadi karena pestisida, sebagai racun yang berspektrum luas, juga membunuh musuh alami. Musuh alami yang terhindar dan bertahan terhadap penyemprotan pestisida, sering kali mati kelaparan karena populasi mangsa untuk sementara waktu terlalu sedikit, sehingga tidak tersedia makanan dalam jumlah cukup. Kondisi demikian terkadang menyebabkan musuh alami beremigrasi untuk mempertahankan hidup. Disisi lain, serangga hama akan berada pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Sumber makanan tersedia dalam jumlah cukup dan pengendali alami sebagai pembatas pertumbuhan populasi menjadi tidak berfungsi. Akibatnya populasi hama meningkat tajam segera setelah penyemprotan. Resurgensi hama, selain disebabkan karena terbunuhnya musuh alami, ternyata dari penelitian lima tahun terakhir dibuktikan bahwa ada jenisjenis pestisida tertentu yang memacu peningkatan telur serangga hama . Hasil ini telah dibuktikan International Rice Research Institute terhadap Wereng Coklat (Nilaparvata lugens). c) Ledakan Populasi Hama Sekunder Dalam ekosistem pertanian, diketahui terdapat beberapa hama utama dan banyak hama-hama kedua atau hama sekunder. Umumnya tujuan penggunaan pestisida adalah untuk mengendalikan hama utama yang paling merusak. Peristiwa ledakan hama sekunder terjadi, apabila setelah perlakuan pestisida menghasilkan penurunan populasi hama utama, tetapi kemudian terjadi peningkatan populasi pada spesies yang sebelumnya bukan hama utama, sampai tingkat yang merusak. Ledakan ini seringkali disebabkan oleh terbunuhnya musuh alami, akibat
167
penggunaan pestisida yang berspektrum luas. Pestisida tersebut tidak hanya membunuh hama utama yang menjadi sasaran, tetapi juga membunuh serangga berguna. Serangga yang berguna ini sering disebut dengan musuh alami, yang dalam keadaan normal secara alamiah efektif mengendalikan populasi hama sekunder pada tanaman sayuran. Peristiwa
terjadinya
ledakan
populasi
hama
sekunder
di
Indonesia, dilaporkan pernah terjadi ledakan hama ganjur di hamparan persawahan Jalur Pantura Jawa Barat, setelah daerah tersebut disemprot intensif pestisida dimecron dari udara untuk memberantas hama utama penggerek padi kuning Scirpophaga
incertulas.
Penelitian
menyemprotkan dimecron pada
dirumah
tanaman
padi
kaca muda,
membuktikan, hama
dengan
ganjur
dapat
berkembang dengan baik, karena parasitoidnya terbunuh. Munculnya hama wereng coklat N. lugens setelah tahun 1973 mengganti kedudukan hama penggerek batang padi sebagai hama utama di Indonesia, mungkin disebabkan penggunaan pestisida golongan khlor secara intensif untuk mengendalikan hama sundep dan weluk Sebenarnya saat memelihara lingkungan.
ini masyarakat dunia telah menyadari pentingnya Hal ini tercermin dari semakin ketatnya persyaratan
produk-produk yang dieksport terutama yang dieksport ke Negara-negara Eropa seperti adanya persyaratan ecolabelling yang melihat kegiatan mulai dari pengambilan bahan baku (input), proses dan outputnya. Oleh karena itu maka adanya pemanfaatan pestisida yang berlebihan seperti yang terjadi pada kegiatan proses tanaman sayur di Provinsi Jawa Timur
merupakan masalah tersendiri,
bukan hanya tanamannya yang tidak dapat diekspor, namun akan menurunkan kualitas lingkungan fisik dan biologik yang pada akhirnya juga dapat berdampak negative pada tatanan sosio-budaya. Hal ini tentu tidak sejalan dengan kesadaran masyarakat dunia, termasuk di dalamnya Indonesia yang pada dasawarsa 1970-an, setelah mengadakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972, dan telah menghasilkan beberapa resolusi tentang lingkungan hidup. Dalam hal ini pada konferensi tersebut ada satu keyakinan bahwa baku hidup dapat ditingkatkan tanpa perlu mengorbankan lingkungan hidup. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa apa yang terjadi di Provinsi Jawa Timur, terutama pada pertanian tanaman sayuran belum mengadopsi konsep
168
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang memadankan antara aspek ekonomi, ekologi (lingkungan) dan social, yang lebih jauh mengandung arti bahwa pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang (Serageldin 1996). Padahal Indonesia meratifikasi hasil konferensi tersebut dan selanjutnya ikut aktif dalam konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992 dimana pembangunan berkelanjutan malah menjadi tema sentral dengan dihasilkannya: (1) Deklarasi Rio, (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim, (3) Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, (4) Prinsip tentang Hutan, dan (5) Agenda 21. Dalam hal ini hasil dari konferensi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa isu lingkungan sudah menjadi kepentingan global yang harus dilaksanakan dalam program aksi dan strategi untuk mempersiapkan dunia dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Adapun tujuan dari hal tersebut adalah agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan dapat berkelanjutan. Bahkan khusus untuk Agenda 21 global pada dasarnya didalamnya bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan dan
penyakit
di seluruh dunia, di samping untuk
menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia (Agenda 21 Indonesia, 1997). Serta sesuai dengan kesepakatan 191 negara anggota PBB (termasuk di dalamnya Indonesia) yang telah menetapkan upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) dengan target pada tahun 2015 yaitu: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDs, dan penyakit menular lainnya; (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global. Di lain pihak menurt Laporan Persatuan Bangsa-Bangsa tahun 2005 berjudul “Millenium Ecosystem Assessment Synthesis Report”, permintaan pangan diperkirakan akan meningkat 70-85 % dalam 50 tahun ke depan dan permintaan air bersih akan meningkat antara 30-85 %. Sehubungan dengan hal tersebut maka pertanian akan menjadi hal penting yang harus selalu dan selalu dikembangkan, apalagi adanya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi sayur, akan semakin menambah kebutuhan sayuran baik untuk kebutuhan ekspor maupun untuk
169
kebutuhan dalam negeri.
Oleh karena itu maka pengembangan pertanian,
khususnya pertanian tanaman sayuran harus makin ditingkatkan, namun harus bersifat ramah lingkungan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan para konsumen serta tetap dapat mempertahankan keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka dalam melaksanakan pembangunan pertanian hal-hal seperti penggunaan pestisida pada pertanian tanaman sayuran yang berlebihan, dan tidak terkelola dengan baik harus menjadi dicarikan cara untuk menanggulangi hal tersebut.
Adapun salah satu caranya adalah dengan
memperhatikan parameter kunci yang dihasilkan dari analisa prospektif pada penelitian ini, yakni dengan cara meningkatkan pendidikan para petani sehingga menjadi faham tentang cara-cara penggunaan pestisida dan bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida yang tidak terkendali dan tidak terkelola dengan baik, serta dengan menguatkan peran para petugas penyuluh pertanian (lapangan) yang dapat memberikan pengetahuan praktis tentang penggunaan pestisida dan dampak penggunaan pestisida yang tidak terkelola dengan baik. Kondisi ini akan mengarahkan pengelolaan penggunaan pestisida pada skenario optimistis, sebagaimana diketahui bahwa skenario ini penggunaan pestisida paling rendah jika dibandingkan skenario moderat dan pesimistis yaitu 23.107,84 ton per tahun pada tahun 2025. Pengelolaan penggunaan pestisida pada skenario optimistis akan berdampak terhadap ekologis lebih rendah, secara ekonomis lebih hemat dan secara sosial kesejahteraan petani semakin meningkat karena dapat menekan alokasi biaya pestisida.