V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Sebelum tahun 1980, penggunaan lahan di Kawasan Batumarta didominasi oleh hutan sekunder/hutan rawa, ladang/tegalan dan semak/belukar.
Namun
setelah transmigran datang pada akhir Tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1980-an mereka melakukan kegiatan bercocok tanam padi dan palawija dengan memanfaatkan lahan yang dibagikan
kepada mereka. Pada saat yang sama,
Pemerintah melaksanakan program bantuan penanaman karet seluas 1,0 ha per KK yang ditanam pada persil lahan yang diperuntukkan bagi masing-masing Transmigran dari total alokasi lahan seluas 5,0 ha per KK (TRANS I) atau 3,5 ha per KK (TRANS III). Pada tahun 1990-an semakin nyata terlihat pertambahan areal perkebunan
karet, dan kini semakin meluas mengkonversi lahan-lahan
pertanian para transmigran dan penduduk sekitarnya. Banyak ladang/tegalan dan sawah yang dikonversi menjadi perkebunan, selain dengan membuka hutan lahan kering atau hutan rawa yang ada. Dari pantauan seri citra Landsat terlihat jelas perubahan tersebut, bertambah luasnya perkebunan dan berkurangnya luas hutan. Banyak pembukaan lahan di area
yang tadinya
hutan,
juga terdapat
konversi dari ladang/tegalan,
semak/belukar dan sawah menjadi perkebunan.
Secara visual dari seri citra
tersebut memang terlihat kontras perubahannya. Pada tahun 1978, sebagian besar kawasan masih hijau yang dipenuhi oleh hutan lahan kering, hutan rawa dan semak/belukar. Kemudian pada tahun 1992 mulai banyak lahan dibuka (rona pink pada citra) yang berasal dari wilayah hutan dan semak/belukar yang telah dibersihkan. Tahun 1994 pembukaan tersebut semakin meluas, sepintas terlihat dengan bertambah luasnya rona citra yang berwarna pink. Pada beberapa area perkebunan tersebut sudah terdapat tumbuhan yang sudah masa generatif (vegetasi yang berwarna hijau gelap). Pada tahun 2001 terlihat beberapa lokasi perkebunan dengan tanaman muda masa vegetatif. Perkebunan baru ini ditanam pada area hasil pembukaan hutan. Berdasarkan hasil pengolahan dari seri citra satelit tersebut, dapat dilihat dari tahun ke tahun luas hutan semakin berkurang. Tabel 20 menyajikan data
94 perubahan penggunaan lahan yang telah dikelompokkan untuk memudahkan pokok bahasan selanjutnya. Pada tahun 1978 diperkirakan luasnya 41.960 ha tersisa sekitar 9.498 saja pada tahun 2001 atau sekitar 22.6 persen dan terus menurun menjadi 1.233 ha atau kurang dari 3 persen pada tahun 2009. Penambahan luas perkebunan dari hanya 2.599 ha pada tahun 1978 meningkat menjadi 25.776 ha pada tahun 2001 atau hampir 10 kali dan terus meningkat menjadi 50.375 ha atau hampir 20 kali dibandingkan tahun 1978, atau 2 kali dibandingkan tahun 2001. Hasil pengolahan citra berupa informasi spasial penggunaan lahan tersebut disajikan pada Gambar 9 sampai Gambar 15 dan Lampiran 13. Luas lahan ladang/tegalan berubah
secara fluktuatif, di mana terjadi
penurunan luas ladang/tegalan pada awalnya, dari 23.543 ha pada tahun 1978 menjadi sekitar 13 ribuan ha pada tahun 1992 dan 1994, kemudian naik lagi seperti semula (diatas 20 ribuan pada awal tahun 2000-an (2001, 2003, dan 2004), dan kemudian menurun tajam pada tahun 2009 menjadi 6000-an hektar (Tabel 20). Keadaan saling bergantian terjadi pada penggunaan lahan semak/lahan-terbuka dengan ladang/tegalan,
dimana ladang/tegalan yang
ditinggalkan petani dan dibiarkan begitu saja akan menjadi semak/belukar/lahanterbuka. Sebaliknya semak/belukar/lahan-terbuka yang dimanfaatkan petani transmigran akan menjadi ladang/tegalan, atau menjadi sawah atau perkebunan, tergantung kondisi lokasi dan aspirasi serta kesiapan permodalan transmigran. Apabila kondisi lahan-terbuka/semak sesuai untuk sawah, maka lahan tersebut akan berubah menjadi sawah. Bila kondisi lahan semula adalah lahan kering (upland), maka perubahan penggunaan lahan menjadi kebun atau ladang tergantung ketersediaan modal dan aspirasi petani, yang mana untuk pengembangan perkebunan dibutuhkan modal/investasi awal lebih besar daripada untuk tanaman pangan. Untuk kategori lahan permukiman relatif tidak berubah, meskipun mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena sebagian besar petani bermukim di dalam areal kebun, bahkan lahan pekarangan yang semula termasuk kategori areal untuk permukiman telah dikonversi menjadi areal kebun. Dengan demikian, meskipun jumlah petani bertambah secara signifikan, namun areal untuk
95 permukiman relatif tidak bertambah, karena pertambahan luas areal permukiman hanya terjadi di sekitar pusat desa atau lahan fasilitas umum dan sosial. Adapun untuk kategori sawah terjadi peningkatan luas areal yang cukup signifikan dibandingkan awal penempatan, kemudian relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa pembukaan areal hutan rawa telah dikonversi menjadi areal sawah, dan tetap dipertahankan sebagai sawah karena tidak/kurang sesuai untuk perkebunan. Demikian pula halnya dengan kategori Badan Air, pertambahannya diperkirakan terjadi dari konversi sebagian hutan rawa yang dibuka. Tabel 20 Perubahan Penggunaan Lahan pada Kawasan Batumarta Periode Tahun 1978 – 2009 (ha) 1978
1992
1994
2001
2003
2004
2009
Ht Sekndr/Ht Rw Perkebunan Sawah Ladang/Tegalan Permukiman Lhn-terbuka/ Semak Badan air
41,960.05 2,599.40 3,510.65 23,542.87 1,597.75
20,525.11 15,269.17 6,977.60 13,389.94 1,598.49
15,665.27 19,101.91 10,513.72 13,353.22 1,255.32
9,497.86 25,776.39 5,227.53 24,097.85 2,091.61
7,620.10 36,585.56 7,012.19 23,619.25 2,872.13
3,393.82 37,040.97 7,734.00 23,580.07 2,297.85
1,233.14 50,375.44 10,294.62 6,656.95 2,564.79
8,234.86 2,452.20
22,043.72 4,093.76
21,898.10 2,110.25
15,060.68 2,145.86
3,308.63 2,879.93
3,600.56 6,250.52
7,838.09 4,934.76
Jumlah
83,897.79
83,897.79
83,897.79
83,897.79
83,897.79
83,897.79
83,897.79
Pola perubahan penggunaan lahan dari penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lainnya, dan pola perubahan penggunaan lahan dari berbagai jenis penggunaan lahan menjadi satu jenis penggunaan lahan tertentu disajikan berikut ini: 1) Pola Perubahan Penggunaan Lahan Hutan menjadi Penggunaan Lahan Lainnya. Pola perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya dapat dilihat pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa dalam periode 1978-1992 persentase terbesar perubahan lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya didominasi oleh semak/belukar/lahan terbuka (23.44%), kebun (19.77%) dan ladang/tegalan (11.72%), kemudian pada periode 1992-2001 didominasi oleh kebun (43.02%), semak/belukar/lahan terbuka (21.47%) dan ladang/tegalan (14.17%), dan selanjutnya dalam periode 2001-2009 didominasi oleh kebun (60.76%), ladang / tegalan (12.53%), sedangkan semak / belukar / lahan terbuka
96
Gambar 9 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada Tahun 1978
97
Gambar 10 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada Tahun 1992
98
Gambar 11 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada Tahun 1994
99
Gambar 12 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta Pada Tahun 2001
100
Gambar 13 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada Tahun 2003
101
Gambar 14 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada Tahun 2004
102
Gambar 15 Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Transmigrasi Batumarta pada Tahun 2009
103 hanya 4.06%. Data tesebut menunjukkan bahwa kecenderungan perubahan pola penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun diawali dari
pembukaan lahan
menjadi ladang/tegalan, atau selama periode tertentu dibiarkan menjadi lahan terbuka/semak/belukar untuk selanjutnya ditanami dengan tanaman perkebunan (karet). Tabel 21 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Hutan menjadi Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009 (Persentase)
Hutan – Hutan Hutan – Semak Hutan – Ladang Hutan – Sawah Hutan – Kebun Hutan – Permukiman Hutan - Badan air
1978-1992 36.53 23.44 11.72 3.82 19.77 1.24 3.47 100.00
1992-2001 16.86 21.47 14.17 1.95 43.02 1.48 1.05 100.00
2001-2009 10.63 4.06 12.53 4.92 60.76 0.55 6.55 100.00
2) Pola Perubahan Penggunaan Lahan- terbuka/Semak menjadi Penggunaan Lahan Lain. Pola perubahan penggunaan lahan dari semak/belukar/lahan-terbuka menjadi penggunaan lahan lainnya dapat diikuti melalui Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa persentase perubahan penggunaan lahan dari semak/belukar/lahanterbuka ke penggunaan lain dalam periode 1978-1992 didominasi berturut-turut oleh hutan, ladang, kemudian kebun. Besarnya persentase hutan diperkirakan karena pada tahap awal pembangunan, para petani (transmigran) masih berkonsentrasi menggarap areal yang dibuka oleh pemerintah (proyek) sehingga sebagian areal yang semula ditumbuhi semak belukar secara berangsur-angsur berkembang menjadi hutan sekunder. Selanjutnya dalam periode awal perkembangan (1992-2001) didominasi oleh ladang/tegalan dan kebun, dan dalam periode pasca pengembangan (2001-2009) didominasi oleh kebun.
104 Tabel 22 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Semak menjadi Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009 (Persentase) Semak – Semak Semak – Hutan Semak – Ladang Semak – Sawah Semak – Kebun Semak – Permukiman Semak - Badan air
1978-1992 34.27 26.56 14.60 1.64 12.82 4.75 5.36 100.00
1992-2001 23.98 9.04 30.24 4.13 22.93 7.14 2.54 100.00
2001-2009 5.76 1.12 9.80 9.55 66.13 0.44 7.20 100.00
3) Pola Perubahan Penggunaan Lahan Ladang menjadi Penggunaan Lahan Lain. Pola perubahan penggunaan lahan dari ladang ke penggunaan lahan lainnya dapat dilihat pada Tabel 23. Pada periode awal pembangunan proyek, persentase perubahan ladang/tegalan ke penggunaan lahan lain didominasi berturut-turut oleh semak/belukar/lahan-terbuka,
sawah
dan
kebun.
Dalam
periode
awal
perkembangan didominasi berturut-turut oleh semak/belukar/lahan-terbuka, kebun dan sawah. Selanjutnya dalam periode pasca pengembangan didominasi oleh kebun dan sawah. Tabel 23 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Ladang menjadi Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009 (Persentase) Ladang – Ladang Ladang – Hutan Ladang – Semak Ladang – Sawah Ladang – Kebun Ladang – Permukiman Ladang - Badan air
1978-1992 23.62 8.94 31.75 11.77 17.71 1.80 4.40 100.00
1992-2001 50.51 0.76 13.24 7.30 15.23 12.03 0.93 100.00
2001-2009 9.16 0.00 2.65 17.33 62.47 4.40 3.98 100.00
4) Pola Perubahan Penggunaan Lahan Sawah menjadi Penggunaan Lahan Lain. Pola perubahan penggunaan lahan sawah ke penggunaan lahan lainnya tertera pada Tabel 24. Pola perubahan penggunaan lahan sawah ke penggunaan lahan lainnya pada tahap awal pembangunan proyek hampir sama dengan pola perubahan ladang ke penggunaan lahan lainnya, yaitu didominasi oleh
105 semak/belukar/lahan-terbuka, ladang dan kebun. Dalam hal ini secara persentase berurutan hanya terjadi pertukaran antara ladang dengan sawah satu sama lain. Dalam periode awal perkembangan, pola perubahan antara keduanya hampir sama, kemudian pada periode pasca pengembangan terlihat posisi sawah semakin stabil dibandingkan ladang, meskipun masih terjadi perubahan sawah menjadi kebun dalam skala kecil. Tabel 24 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Sawah menjadi Penggunaan Lahan Lain Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, 2001-2009 (Persentase) 1978-1992 45.95 1.92 19.78 13.08 17.28 1.36 0.63 100.00
Sawah – Sawah Sawah – Hutan Sawah – Ladang Sawah – Semak Sawah – Kebun Sawah – Permukiman Sawah - Badan air
1992-2001 31.25 0.21 39.10 6.13 10.34 11.25 1.72 100.00
2001-2009 56.50 0.58 2.89 3.19 23.11 1.96 11.77 100.00
5) Pola Perubahan Penggunaan Lahan Lain menjadi Kebun. Pola perubahan dari penggunaan lahan lain menjadi kebun tertera melalui Tabel 25, yang mana terlihat bahwa kontribusi terbesar perubahan penggunaan lahan
menjadi
kebun
berturut-turut
adalah
dari
hutan,
ladang
dan
semak/belukar/lahan-terbuka. Persentase hutan menjadi kebun semakin menurun seiring dengan semakin berkurangnya lahan hutan, sedangkan persentase ladang/tegalan
dan
semak/belukar/lahan-terbuka
secara
bergantian
terus
berkontribusi dalam dinamika perubahan penggunaan lahan menjadi kebun sejak awal pembangunan proyek hingga tahun 2009. Perubahan sawah menjadi kebun terlihat stabil dalam jumlah kecil sejak awal pembangunan proyek hingga tahun 2009. Data dalam Tabel 20 dan Gambar 9 sampai 15 menggambarkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan yang signifikan dari penggunaan lahan lain menjadi kebun karet sejak awal pembangunan proyek hingga 2009, yang diawali dari pembukaan lahan menjadi lahan-terbuka atau semak belukar, kemudian ditanami dengan tanaman pangan menjadi ladang/tegalan atau langsung dengan
106 tanaman karet menjadi kebun karet. Para petani pada umumnya melakukan tumpangsari Tabel 25 Pola Perubahan Penggunaan Lahan Lain menjadi Kebun Periode Tahun 1978-1992, 1992-2001, dan 2001-2009 (Persentase) Kebun – Kebun Hutan – Kebun Ladang – Kebun Sawah – Kebun Semak – Kebun Permukiman – Kebun Badan Air – Kebun
1978-1992 5.76 54.34 27.31 3.97 6.91 1.31 0.39 100.00
1992-2001 32.39 34.22 7.90 2.79 19.59 1.40 1.71 100.00
2001-2009 33.23 7.84 29.88 2.40 19.77 6.12 0.77 100.00
antara tanaman pangan dengan tanaman karet yang masih muda berusia 1-3 tahun, sampai akhirnya terbangun kebun karet sebagai tulang punggung bagi perekonomian mereka. Saat ini kegiatan usahatani tanaman pangan hanya diusahakan oleh petani pada petak lahan yang merupakan cekungan atau selalu tergenang air, terutama pada musim hujan sebagai sawah tadah hujan, atau pada lahan kebun karet yang baru dibuka untuk peremajaan kebun. Areal persawahan baik beririgasi teknis maupun non-teknis berkembang di dalam kawasan dari desa sekitar yang tidak termasuk permukiman transmigrasi Trans I dan Trans III. Pada sebagian besar permukiman transmigrasi yang termasuk ke dalam proyek Trans I dan Trans III, lahan pekarangan (LP) telah ditanami dengan tanaman karet. Hal ini terlihat di lapangan bahwa sebagian besar rumah-rumah penduduk telah ditutupi atau dikelilingi oleh kebun karet. Gambaran umum tentang pengusahaan kebun karet atau komoditas lain di lahan pekarangan (LP) menurut Kelompok Responden disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Keragaan Pemanfaatan Lahan Pekarangan Menurut Kelompok Responden No
Kelompok Kepemilikan Lahan Trans per KK
1 5 Ha (OKU)
Pemanfaatan Lahan Pekarangan (%) Hortikultura Pangan Karet 25 0 75
2 5 Ha (OKUT)
52
0
48
3 3,5 Ha (OKU)
47
6
47
Rata-rata
41
2
57
107 Perubahan pola penggunaan lahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal kawasan maupun eksternal kawasan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pemerintah dan masyarakat di kawasan transmigrasi Batumarta diketahui bahwa faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan ke perkebunan karet adalah: (1) pendapatan petani dari tanaman karet lebih besar, (2) pemasaran hasil produksi yang lebih mudah, (3) pengalaman usahatani tanaman pangan yang kurang menguntungkan, (4) meningkatnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman karet, (5) kesesuaian lahan untuk tanaman karet yang sangat sesuai, (6) kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani tanaman karet yang lebih efisien, (7) biaya produksi usahatani tanaman karet lebih rendah, dan (8) resiko kegagalan produksi relatif lebih rendah. 5.2 Kebutuhan Stakeholder Dalam Pengembangan Kawasan Transmigrasi Stakeholder pembangunan kawasan transmigrasi Batumarta adalah individu, kelompok masyarakat dan lembaga pemerintah yang berkepentingan untuk berperan dalam kegiatan pembangunan kawasan Batumarta. Identifikasi stakeholder dilakukan berdasarkan peran dan fungsi terhadap kawasan transmigrasi Batumarta. Pendekatan ini lebih menguntungkan stakeholder yang lemah secara politik, tetapi memainkan peran dan fungsi penting terhadap kawasan transmigrasi Batumarta. Stakeholder tersusun atas kelompok pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, pihak swasta, dan lembaga sosial masyarakat. Para stakeholder dari masyarakat pada umumnya adalah petani transmigran yang telah bermukim sejak awal penempatan atau anggota keluarganya. Penentuan kebutuhan stakeholder dilakukan dengan wawancara kepada responden. Sebagian besar (59%) responden dari masyarakat menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sekitar 13% menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 28%
tidak berpendidikan. Pekerjaan utama
responden dari masyarakat adalah petani atau pekebun. Sekitar 45% responden tidak mempunyai pekerjaan kedua, sedangkan pekerjaan kedua terbanyak adalah sebagai buruh tani dan beternak, dan hanya sebagian kecil saja yang mempunyai pekerjaan tambahan seperti tukang cukur, dagang dan membuat bata atau genteng. Responden dari unsur pemerintahan desa sebanyak 2 orang dari masing-masing
108 desa yang mewakili kelompok responden, masing-masing 1 orang aparat dari 3 kecamatan, 2 orang dari unsur pengusaha/swasta, 1 orang dari tokoh masyarakat, dan 1 orang dari lembaga penelitian. Dari jumlah rata-rata anggota rumah tangga yang telah berumur 10 tahun ke atas terlihat bahwa tenaga kerja yang terdapat banyak bekerja di daerah transmigrasi ini hanyalah suami dan istri saja, sedangkan anak-anak yang sudah bersekolah hanya sekedar membantu saja. Keterbatasan jumlah tenaga kerja ini juga yang mendorong petani lebih memilih menjadi pekebun karet daripada menjadi petani tanaman pangan, di samping faktor lainnya. Semua responden dapat mulai mengerjakan lahan I pada tahun kedua meskipun dengan rata-rata luas yang masih lebih kecil dari luas lahan I yang disediakan. Rata-rata responden baru mulai mengerjakan lahan II pada tahun keenam yang dilakukan secara bergotongroyong untuk membuka lahan. Penentuan faktor kunci pengembangan Kawasan Transmigrasi Batumarta juga memperhatikan kebutuhan stakeholder sebagai gambaran kondisi masa depan yang diinginkan. Dalam mengidentifikasi kebutuhan stakeholder di masa mendatang dimulai dengan menemukenali permasalahan pengembangan kawasan transmigrasi saat ini. Hal ini berkaitan dengan rencana kegiatan pembangunan yang harus dilakukan dan hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Guna memenuhi kebutuhan stakeholder tersebut, dilakukan wawancara mendalam terhadap stakeholder terkait. Hasil wawancara diperoleh bahwa untuk memenuhi kebutuhan stakeholder dan mengurangi kesenjangan di masa mendatang terkait usahatani lahan kering yang optimal di kawasan Batumarta, faktor yang perlu diperhatikan adalah: (1) peningkatan keterampilan usahatani bagi petani, (2) peningkatan investasi pemerintah dan swasta dalam industri perkebunan, (3) pengembangan dan penerapan teknologi, (4) infrastruktur yang memadai, (5) penguatan kelembagaan ekonomi mikro,
(6) akseptabilitas
masyarakat terhadap komoditas unggulan, (7) pemberdayaan masyarakat secara terpadu, dan (8) peningkatan pengetahuan masyarakat tentang manajemen agribisnis.
109 Faktor-faktor tersebut merupakan masukan dalam perumusan arahan kebijakan dan strategi pengembangan perkebunan karet yang berkelanjutan di kawasan transmigrasi Batumarta. Dengan demikian, kebijakan pembangunan kawasan Batumarta mencerminkan aspirasi stakeholder dan kondisi masa depan yang diinginkan. 5.3 Faktor Kunci Pengembangan Kebun Karet Berkelanjutan Penentuan skenario pemanfaatan lahan pada kawasan transmigrasi didasarkan pada faktor perubahan penggunaan lahan, dan faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder di masa mendatang. Faktor ini diperoleh dari hasil analisis deskriptif yang menggambarkan kondisi saat ini dan hasil analisis kebutuhan stakeholder yang merupakan gambaran kondisi yang diinginkan stakeholder pada kawasan transmigrasi di masa mendatang. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh 16 faktor yang menentukan pengembangan perkebunan karet yang berkelanjutan di kawasan Batumarta seperti yang disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Gabungan faktor penentu pengembangan perkebunan karet di kawasan transmigrasi Batumarta Pola Penggunaan Lahan
Kebutuhan stakeholder
Pendapatan petani
Peningkatan keterampilan usahatani bagi petani
Pengalaman usahatani tanaman pangan yang kurang menguntungkan
Peningkatan investasi pemerintah swasta dalam industri perkebunan
Pemasaran hasil pertanian yang lebih mudah
Pengembangan dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan
Pengetahuan petani tentang budidaya tanaman karet semakin meningkat
Pemberdayaan masyarakat secara terpadu
Kesesuaian lahan untuk tanaman karet yang sangat sesuai
Infrastruktur yang memadai
Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani tanaman karet yang lebih efisien
Penguatan kelembagaan ekonomi mikro
Biaya produksi usahatani tanaman karet lebih rendah
Akseptabilitas masyarakat komoditi unggulan
Resiko kegagalan produksi relatif lebih rendah
Bantuan dan fasilitasi pemerintah kepada masyarakat untuk peningkatan pengetahuan tentang manajemen agribisnis
dan
terhadap
110 Seluruh faktor penentu tersebut dianalisis untuk menentukan faktor kunci pengembangan perkebunan karet berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan stakeholder dan pakar. Metode analisis yang digunakan adalah analisis prospektif. Hasil analisis menujukkan bahwa terdapat tiga faktor yang merupakan faktor kunci pengembangan perkebunan karet yang berkelanjutan di kawasan Batumarta yaitu: (1) kesesuaian lahan, (2) keuntungan petani, dan (3) akseptabilitas masyarakat terhadap komoditas tersebut. Hasil analisis disajikan pada Gambar 16.
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Pengembangan Perkebunan di Kawasan Transmigrasi Batumarta 1,60 1,40
Pendapatan petani Biaya produksi
Kesesuaian lahan
1,20
Fasilitasi pemerintah Pengetahuan petani Resiko kegagalan
Akseptabilitas masyarakat
Pengaruh
1,00
Kelembagaan ekonomi
Investasi pemerintah
Pemberdayaan masyarakat Penerapan teknologi
Infrastruktur
0,80
Kebutuhan tenaga kerja
Pemasaran hasil Keterampilan petani
Pengalaman usahatani
0,60 0,40 0,20 -
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
Ketergantungan
Gambar 16 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor kunci Faktor kunci tersebut selanjutnya dianalisis guna menentukan faktor yang paling penting untuk digunakan sebagai faktor strategis dalam menyusun skenario pengembangan perkebunan karet berkelanjutan di kawasan transmigrasi Batumarta. 5.4. Pemodelan Perkebunan Karet Berkelanjutan Pemodelan perkebunan karet berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan sistem dinamik. Gambaran kondisi riil disajikan secara sederhana dengan memperhatikan keterkaitan antar komponen utama yang mempengaruhi perkembangan usahatani dalam kawasan transmigrasi Batumarta. Komponen-
111 komponen yang dikaji merupakan hasil analisis sebelumnya yakni faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder.
5.4.1. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan tahap yang penting untuk
menentukan
variabel-variabel dalam sistem. Variabel-variabel tersebut terdiri atas variabel output yang dikehendaki, variabel output yang tidak dikehendaki, variabel input yang terkendali, variabel input yang tidak terkendali, dan variabel lingkungan (Gambar 17). Hubungan antar aspek penyusun sistem pengembangan kawasan, selanjutnya akan disusun dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat. Input sistem terdiri dari input eksternal dan internal. Input lingkungan bersifat eksternal, mempengaruhi sistem, tetapi tidak dipengaruhi oleh sistem. Pada sistem pengembangan usahatani lahan kering pada kawasan Transmigrasi Batumarta, input lingkungan terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah tersebut di antaranya adalah UU pemerintahan daerah, UU ketransmigrasian, UU penataan ruang. Selain kebijakan pemerintah, kondisi perekonomian nasional juga merupakan input lingkungan karena dapat mempengaruhi sistem pengembangan kawasan namun sifatnya eksternal. Demikian pula dengan iklim mikro kawasan Transmigrasi Batumarta yang mempengaruhi sistem ekologi dan sosial baik langsung maupun tidak langsung namun sifatnya eksternal. Input internal diperlukan agar sistem memiliki kinerja yang baik. Terdapat 2 macam input internal, yaitu input terkendali dan tak terkendali. Input terkendali berperan penting untuk mengubah kinerja sistem. Input tak terkendali peranannya tidak cukup penting, tetapi tetap diperlukan agar sistem dapat berfungsi dengan baik. Input pada model pengembangan usahatani lahan kering pada kawasan Transmigrasi Batumarta diperoleh dari hasil analisis perubahan penggunaan lahan dan kebutuhan stakeholder. Output merupakan hasil yang diperoleh dari bekerjanya sistem. Terdapat 2 output pada model ini yakni output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki merupakan tujuan yang ingin dicapai
112 dalam sistem ini. Ouput yang tidak dikehendaki merupakan masukan bagi pengambil kebijakan untuk dikelola agar dapat menjadi input yang terkendali.
Input Lingkungan (Faktor eksternal): Kebijakan pemerintah Perekonomian nasional Iklim mikro
Input Tidak Terkendali
Output yang Dikehendaki
Kesesuaian lahan Harga hasil produksi Pertumbuhan penduduk Akseptabilitas masyarakat terhadap komoditi tertentu
Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Produktivitas kebun meningkat dan berkelanjutan Kesempatan kerja meningkat Kelembagaan ekonomi berfungsi
Pengembangan Perkebunan Karet di Kawasan Transmigrasi Batumarta Input Terkendali
Output yang Tidak Dikehendaki
Pengetahuan Petani Fasilitasi pemerintah Pemanfaatan lahan Tenaga kerja Teknologi Manajemen usahatani Biaya produksi
Gambar 17
Manajemen Pembangunan
Konflik antar stakeholder dan antar wilayah Fragmentasi lahan yang dipercepat Degradasi lahan dan Kerusakan lingkungan
Diagram black-box pengembangan perkebunan karet di kawasan transmigrasi Batumarta
5.4.2. Struktur Model Penduduk Langkah-langkah
dalam
formulasi
struktur
model
pengembangan
perkebunan karet berkelanjutan kawasan Transmigrasi Batumarta adalah: (1) merumuskan batasan model dengan asumsi-asumsi, (2) mengkonstruksi diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), (3) menyusun struktur model, dan (4) mengimplementasikan model dengan menggunakan software Powersim untuk laju
113 pertumbuhan penduduk, dan microsoft excel software untuk proyeksi perubahan penggunaan lahan. Untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang akan membantu dalam pembentukan model dinamika kuantitatif formal digunakan diagram sebab akibat (causal loop) dan diagram alir (flow diagram). Diagram sebab akibat dibuat dengan cara menentukan variabel penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke variabel akibat, dan garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua variabel saling mempengaruhi. Pada subsistem penduduk, terdapat tiga variabel yang mempengaruhi yakni kelahiran, kematian, dan migrasi (penduduk masuk dan penduduk keluar). Kelahiran dipengaruhi oleh pasangan usia subur. Kematian dipengaruhi oleh usia harapan hidup. Laju net migration (penduduk masuk dikurangi penduduk keluar) dipengaruhi oleh aspek ekonomi yakni besarnya pendapatan masyarakat. Jumlah penduduk mempengaruhi beberapa aspek pada subsistem lainnya yakni pemanfaatan lahan, ekologi, dan ekonomi. Diagram lingkar sebab-akibat model subsistem penduduk disajikan pada Gambar 18.
Pendapatan
+
+ +
+
Tenaga kerja
Daya beli
Migrasi
Pengangguran +
+
+ +
+ Kelahiran
+ Kematian
Penduduk
+
+
-
+
-
+ + + Kesuburan
Harapan hidup
Kepadatan
Lahan permukiman
Rumah
+
Gambar 18 Diagram Lingkar Model Penduduk
114
Pada model subsistem penduduk ini digunakan jumlah penduduk untuk menggambarkan keadaan kependudukan. Nilai rate penduduk (konstanta) diperoleh dari laju pertumbuhan penduduk berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai laporan. 5.4.3 Simulasi Simulasi dari hasil pemodelan sistemik digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku model. Hasil simulasi model dianalisis pola dan kecenderungannya, ditelusuri faktor-faktor
yang
menyebabkan terjadinya
pola dan kecenderungan tersebut, dan dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Hasil simulasi model yang memunculkan variabel-variabel yang sensitif dianalisis sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem. Asumsi lainnya yang digunakan adalah bahwa faktor perubahan kebijakan dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan dinamika sosial politik dianggap ceteris paribus. Dengan demikian, model dan simulasi ini berlaku dalam batasan asumsi tersebut. Keseluruhan ilustrasi simulasi tersebut merupakan gambaran kondisi historis dan saat ini yang memberikan pengaruh terhadap keadaan di masa yang akan datang. Model dapat mensimulasikan pola-pola perubahan yang akan terjadi dengan atau tanpa adanya intervensi pada masukannya atau yang diistilahkan dengan kebijakan. Kebijakan bertujuan untuk mencapai suatu target keadaan yang diinginkan di masa depan dengan mempengaruhi sejumlah peubah masukan dari keadaan sistem masa kini. 5.4.3.1. Simulasi Penduduk Dalam analisis sistem keterkaitan antar sektor ini dilakukan simulasi untuk memprediksi kecenderungan perkembangan penduduk di masa depan untuk jangka waktu 20 tahun (2009-2028). Hasil simulasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan di masa mendatang. Peningkatan ini berasal dari laju penduduk masuk (inmigrasi) yang lebih tinggi. Daya tarik kawasan yang perekonomian masyarakatnya berkembang pesat
115 menarik pendatang baru dari luar kawasan. Proyeksi perkembangan penduduk tersebut berdasarkan data laju pertumbuhan penduduk rata-rata pada dua kabupaten selama periode tahun 2003 – 2009 yaitu sebesar 1,21% per tahun. Data Base line penduduk dalam kawasan Batumarta diambil dari data penduduk pada 16 desa eks UPT Batumarta dan 19 desa di sekitarnya sebagaimana disajikan pada Lampiran 20 dengan asumsi jumlah jiwa per KK adalah 3.56. Simulasi laju pertumbuhan penduduk di kawasan Batumarta disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Proyeksi Perkembangan Penduduk sampai Tahun 2028
Penduduk Time 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028
Penduduk 104,595 105,883 107,277 108,814 110,504 112,330 114,268 116,303 118,423 120,620 122,887 125,216 127,603 130,044 132,537 135,081 137,676 140,265 142,590 144,466
KK 29,069 29,427 29,814 30,242 30,711 31,219 31,757 32,323 32,912 33,523 34,153 34,800 35,463 36,142 36,835 37,542 38,263 38,982 39,629 40,150
Laju_pertmbhn_pddk 1.21 1.26 1.36 1.48 1.60 1.68 1.74 1.79 1.82 1.85 1.87 1.88 1.89 1.90 1.90 1.90 1.90 1.78 1.48 1.15
Sebagai gambaran, laporan World Bank (1994) yang mengutip data terbaru yang tersedia pada waktu itu, yaitu data tahun 1989 menyatakan bahwa sejumlah 3.619 transmigran swakarsa telah masuk ke dalam kawasan, dan dari 6.500 KK Transmigran Umum telah berkembang menjadi 7.960 KK. Perkembangan penduduk pada 16 desa eks UPT Batumarta
sejak awal penempatan
(pembangunan proyek) hingga saat ini disajikan pada Tabel 29.
116
Tabel 29 Perkembangan Penduduk di 16 Desa Eks UPT Transmigrasi Batumarta Sejak Penempatan Hingga Saat ini
No
Nama Desa
Jumlah Keluarga (KK) % Awal saat ini Pertambahan
Jumlah Jiwa (org) Awal
saat ini
% Pertambahan
A. Eks UPT TRANS I (OKU) 1. Batumarta I 2. Batumarta II 3. Lekis Rejo 4. Lubuk Banjar 5. Marga Bakti
400 500 438 336 717
1046 2144 1201 744 1070
161.5 328.8 174.20 121.43 49.23
1720 2320 1929 1553 3388
3688 9420 4338 2887 4031
114.42 306.03 124.88 85.90 18.98
B. Eks UPT TRANS I (OKUT) 6. Bina Amarta 7. Batumarta VI 8. Wana Bakti 9. Karya Makmur 10. Suka Damai 11. Batumarta X
364 393 386 274 301 391
1042 779 898 437 607 563
186.26 98.22 132.64 59.49 101.66 43.99
1795 1789 1678 1268 1384 1780
3836 3826 3529 1741 2340 2036
113.70 113.86 110.31 37.30 69.08 14.38
C. Eks UPT TRANS III (OKU) 12. Karya Mukti 13. Karya Jaya 14. Sri Mulya 15. Marga Mulya 16. Tanjung Makmur
497 503 250 350 400
921 752 590 576 570
85.31 49.50 136.00 64.57 42.50
2176 2388 1116 1355 1664
3424 2719 1963 1984 1787
57.35 13.86 75.90 46.42 7.39
Total A+B+C
Sumber : 5.4.3.2.
6500
13940
114.71
29303
53549
81.86
PODES (2009) diolah Simulasi Perubahan Penggunaan Pengembangan Perkebunan
Lahan
dan
Skenario
A. Asumsi dan Daftar Program Skenario pengembangan perkebunan karet di kawasan transmigrasi Batumarta mempertimbangkan faktor kunci yang paling berpengaruh yaitu kecenderungan pendapatan dari usaha perkebunan karet akan semakin meningkat dan akseptabilitas petani terhadap komoditas ini juga akan semakin meningkat. Kesesuaian lahan menjadi faktor yang menentukan dalam perluasan areal kebun karet dimasa yang akan datang, yang mana lahan kering (upland) di kawasan Batumarta termasuk kategori sesuai untuk tanaman karet, sedangkan lahan basahnya (lowland) kurang sesuai sehingga tidak direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi kebun karet, tetapi dapat dikembangkan untuk sawah.
117 Dengan demikian, lowland tetap dipertahankan sebagai areal persawahan, dan badan air yang terdiri dari sungai, waduk, dan rawa dijadikan areal konservasi. Faktor-faktor yang paling berpengaruh tadi bersifat kualitatif, sehingga ia tidak dimasukkan sebagai variabel dalam perhitungan proyeksi, tetapi dipertimbangkan dalam penyusunan skenario. Proyeksi penggunaan lahan di kawasan Batumarta dilakukan dengan 2 skenario yaitu Skenario 1 (hutan yang tersisa pada posisi tahun 2009 dikonservasi), dan Skenario 2 (hutan yang tersisa pada posisi Tahun 2009 dapat dikonversi/tidak dikonservasi). Asumsi dan Daftar Program masingmasing Skenario adalah sebagai berikut: a. Asumsi Umum: 1. Akseptabilitas petani terhadap komoditas karet dan padi sawah tetap tinggi. 2. Kebutuhan lahan untuk permukiman cenderung bertambah seiring dengan pertambahan penduduk. 3. Areal badan air, termasuk rawa tidak boleh dikonversi dan harus dikonservasi. 4. Areal yang yang dapat dikonversi untuk permukiman, sawah atau perkebunan karet adalah areal dengan tutupan lahan terbuka/semak (7,838.68 ha), ladang/tegalan (6,656.93 ha) dan hutan sekunder (1,233.14 ha) dalam hal tidak ada kebijakan konservasi hutan. 5. Konversi penggunaan lahan untuk sawah, kebun karet atau permukiman dibatasi oleh kriteria kesesuaian lahan bagi peruntukan lahan dimaksud. 6. Luas lahan keseluruhan adalah 83,897.8 ha. b. Asumsi/daftar program skenario 1 (Hutan dikonservasi): 1. Hutan: Luas hutan mula-mula 1,233.14 ha. Namun ada kebijakan konservasi, maka luas lahan hutan tetap. 2. Badan air (sungai/waduk/danau/rawa): Luas badan air mula-mula 4,936.8 ha. Karena kebijakan konservasi, maka luas badan air tetap. 3. Permukiman: Luas permukiman mula-mula 2,564.8 ha. Laju pertumbuhan lahan permukiman mengikuti laju pertumbuhan KK (jumlah penduduk/3.598)
118 dengan kebutuhan lahan per KK = 0.088 ha. Lahan yang dapat dikonversi untuk permukiman adalah lahan kering yang berasal dari ladang/tegalan dan lahan terbuka.
Lahan perkebunan akan terambil untuk permukiman
apabila kebutuhan untuk lahan permukiman tidak lagi dapat dipenuhi dari lahan terbuka atau ladang. 4. Sawah: Luas sawah mula-mula 10,294.6 ha. Laju pertumbuhan sawah 0.0987 ha/tahun. Laju ini digunakan untuk mengkonversi lahan yang sesuai untuk sawah yakni 4,266.61 ha yang terdiri atas ladang/tegalan 690.93 ha (10.4% dari luas ladang yang dapat dikonversi), dan lahan terbuka 3,575.68 ha (45.6% dari luas lahan terbuka yang dapat di konversi). 5. Perkebunan: Luas perkebunan mula-mula 50,375.4 ha. Laju pertumbuhan perkebunan 0.1363 ha/tahun. Laju ini digunakan untuk mengkonversi lahan yang sesuai untuk perkebunan seluas 10,228.0 ha yang terdiri atas lahan terbuka 4,262.0 ha (54.4% dari luas lahan terbuka yang dapat dikonversi) dan ladang/tegalan 5,966.0 ha (89.6% dari luas ladang/tegalan yang dapat dikonversi). Laju ini berfungsi hingga lahan terbuka dan ladang/tegalan habis. Selanjutnya luas perkebunan akan mengalami penurunan karena akan dikonversi menjadi permukiman. 6. Ladang/tegalan: Luas ladang/tegalan mula-mula 6,656.9 ha. Laju perubahan ladang/tegalan mengikuti
perkembangan
konversi
lahan
menjadi
perkebunan,
permukiman, dan sawah sesuai dengan lajunya masing-masing. 7. Lahan terbuka: Luas lahan terbuka mula-mula 7,837.68 ha. Laju perubahan lahan terbuka mengikuti
perkembangan
konversi
lahan
menjadi
perkebunan,
permukiman, dan sawah sesuai dengan lajunya masing-masing. c. Asumsi/daftar program Skenario 2 (Hutan Dapat Dikonversi): 1. Hutan: Luas hutan mula-mula 1,233.14 ha. Laju perubahan hutan mengikuti perkembangan konversi lahan menjadi perkebunan sesuai dengan laju perubahan lahan perkebunan.
119
2. Badan air (sungai/waduk/danau/rawa): Luas badan air mula-mula 4,936.8 ha. Karena kebijakan konservasi, maka luas badan air tetap. 3. Permukiman: Luas permukiman mula-mula 2,564.8 ha. Laju pertumbuhan lahan permukiman mengikuti laju pertumbuhan KK (jumlah penduduk/3.598) dengan kebutuhan lahan per KK = 0.088 ha. Lahan yang dapat dikonversi untuk permukiman adalah lahan ladang/tegalan dan lahan terbuka. Lahan perkebunan akan terambil untuk permukiman apabila kebutuhan untuk lahan permukiman tidak lagi dapat dipenuhi dari lahan terbuka atau ladang. 4. Sawah: Luas sawah mula-mula 10,294.6 ha. Laju pertumbuhan sawah 0.0987 ha/tahun. Laju ini digunakan untuk mengkonversi lahan yang sesuai untuk sawah seluas maksimal 4,266.61 ha yang terdiri atas ladang/tegalan 690.93 ha dan lahan terbuka 3,575.68 ha. 5. Perkebunan: Luas perkebunan mula-mula 50,375.4 ha. Laju pertumbuhan perkebunan 0.1363 ha/tahun. Laju ini digunakan untuk mengkonversi lahan yang sesuai untuk perkebunan seluas maksimal 11,461.14 ha yang terdiri atas lahan hutan 1,233.14 ha, lahan terbuka 4,262 ha dan ladang/tegalan 5,966 ha. Laju ini berfungsi hingga lahan hutan, lahan terbuka, dan ladang/tegalan habis. Selanjutnya akan mengalami penurunan karena dikonversi menjadi permukiman. 6. Ladang/tegalan: Luas ladang/tegalan mula-mula 6,656.9 ha. Laju perubahan ladang/tegalan mengikuti
perkembangan
konversi
lahan
menjadi
perkebunan,
permukiman, dan sawah sesuai dengan lajunya masing-masing. 7. Lahan terbuka: Luas lahan terbuka mula-mula 7,838.1 ha. Laju perubahan lahan terbuka mengikuti
perkembangan
konversi
lahan
menjadi
permukiman, dan sawah sesuai dengan lajunya masing-masing.
perkebunan,
120 B. Hasil Proyeksi Penggunaan Lahan a. Skenario 1. Luas areal perkebunan akan mencapai puncaknya pada tahun 2033, yaitu seluas 59,576.6 ha, sedangkan lahan terbuka/semak dan ladang akan habis masing-masing pada tahun 2029 dan 2034. Sawah akan bertambah terus menjadi 14,459 ha pada tahun 2045. Apabila laju pertambahan penduduk tidak dikendalikan, maka rasio kepemilikan kebun/KK akan terus berkurang (tertinggi pada tahun 2012 - 2013 sebesar 1.87 ha), bahkan luas nominal kebun akan terus menurun, karena akan dikonversi menjadi permukiman. Hasil proyeksi disajikan pada Lampiran 21 dan Gambar 19 dan 20. b. Skenario 2. Luas areal perkebunan akan mencapai puncaknya pada Tahun 2036, yaitu seluas 60,597.7 ha, sedangkan lahan terbuka/semak dan ladang akan habis masing-masing pada Tahun 2031 dan 2036. Sawah akan bertambah terus menjadi 14,459 ha pada Tahun 2045. Apabila laju pertambahan penduduk tidak dikendalikan, maka rasio kepemilikan kebun/KK akan terus berkurang (tertinggi pada Tahun 2012 - 2014 sebesar 1.79 ha), bahkan luas nominal kebun akan terus menurun, karena akan dikonversi menjadi permukiman. Hasil proyeksi disajikan pada Lampiran 22 dan Gambar 21 dan 22. Berdasarkan hasil proyeksi pada Tabel 30, kepemilikan rata-rata kebun karet penduduk di Kawasan Batumarta berada di bawah 2 ha/KK dan terus menurun seiring dengan pertambahan penduduk di satu pihak dan ketidak-tersediaan lagi lahan yang dapat dikonversi untuk kebun di lain pihak. Hal itu berarti pengusahaan kebun karet di kawasan Batumarta saat ini telah berada di bawah standar yang direkomendasikan oleh Lubis, et al. (1984) yaitu 2,5 ha/KK dan Pandiadi, et al. (2006) yaitu 2 -3 ha/KK.
121
Gambar 19 Proyeksi perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan, ladang/tegalan dan lahan terbuka/semak pada skenario 1 (2009 -2028)
Gambar 20 Proyeksi perubahan penggunaan lahan permukiman, badan air dan sawah pada skenario 1 (2009 -2028)
122
Gambar 21 Proyeksi perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan, ladang/tegalan dan lahan terbuka/semak pada skenario 2 (2009 – 2028)
Gambar 22 Proyeksi perubahan penggunaan lahan permukiman, badan air dan sawah pada skenario 2 (2009 – 2028)
123 Tabel 30 Proyeksi Kepemilikan Kebun per KK di Kawasan Batumarta Skenario 1 dan 2 (2009 – 2028) Lahan kebun ha/KK
Lahan kebun ha/KK
(Skenario 1)
(Skenario 2)
29,069
1.73
1.73
2010
29,427
1.81
1.76
3
2011
29,814
1.85
1.78
4
2012
30,242
1.87
1.79
5
2013
30,711
1.87
1.79
6
2014
31,219
1.86
1.79
7
2015
31,757
1.84
1.78
8
2016
32,323
1.82
1.77
9
2017
32,912
1.79
1.75
10
2018
33,523
1.77
1.73
11
2019
34,153
1.74
1.71
12
2020
34,800
1.71
1.69
13
2021
35,463
1.68
1.67
14
2022
36,142
1.65
1.64
15
2023
36,835
1.62
1.62
16
2024
37,542
1.59
1.59
17
2025
38,263
1.56
1.56
18
2026
38,982
1.53
1.54
19
2027
39,629
1.50
1.52
20
2028
40,150
1.48
1.50
No
Tahun
KK
1
2009
2
C. Hasil Perhitungan Hari Orang Kerja (HOK) dan Potensi Produksi Kebun Karet Prakiraan perkembangan kebun karet di kawasan Batumarta disusun atas asumsi sebagai berikut: 1) luas areal dan umur tanam karet didekati dari data periode pelaksanaan proyek dan wawancara kepada petani, 2) data luas areal total dalam kawasan pada periode tertentu dikoreksi dari data citra landsat yang tersedia, dan diasumsikan usia karet minimal yang terdeteksi citra adalah usia 3 tahun atau lebih, 3) sebaran kelompok tanam per tahun ditetapkan secara subyektif melalui diskusi kelompok, 4) hasil proyeksi pengembangan kebun karet
124 masing-masing skenario dimasukkan dalam perhitungan prakiraan sebaran perkembangan kebun, 5) perhitungan kebutuhan HOK pada setiap tahap usia karet dan perkiraan produksi karet per hektar mengacu pada perhitungan analisis usahatani kebun karet oleh Tim Penulis PS (2008) dan Pusat Penelitian Karet (2006) (lampiran 24). Prakiraan sebaran umur dan luas kebun karet pada tahun 2009 disajikan lampiran 23, dan proyeksi sebaran umur dan luas tanaman karet di kawasan Batumarta Tahun 2009 - 2045 Skenario 1 dan 2 disajikan pada Lampiran 25 dan 28. Hasil simulasi terhadap perkembangan perkebunan karet di kawasan Batumarta memberikan indikasi adanya potensi kegiatan ekonomi masyarakat di sektor primer perkebunan yang dapat diandalkan berupa peluang kerja (ketersediaan HOK) pada kegiatan penyadapan karet dan potensi produksi dari kebun karet tersebut. Berdasarkan hasil simulasi (Tabel 31), tingkat ketersediaan Hari Orang Kerja (HOK) dari kegiatan usahatani kebun karet di Batumarta pada tahun 2009 adalah sebesar 6,635,125 HOK/Tahun atau setara dengan 25,520 orang Tenaga Kerja Buruh Tani (asumsi 1 orang Tenaga Kerja bekerja selama 260 hari per tahun). Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 31, ketersediaan HOK akan terus meningkat sampai tahun 2027 (skenario 1) dan tahun 2028 (skenario 2), mulai turun melandai sampai 2043 (skenario 1 dan 2) dan kemudian mulai naik lagi sampai tahun 2045. Potensi produksi kebun karet di kawasan Batumarta pada tahun 2009 adalah 111,252 ton atau 86% dari total produksi aktual dua kabupaten OKU dan OKUT pada tahun tesebut. Potensi produksi karet di kawasan Batumarta meningkat sampai tahun 2011, kemudian menurun sampai sekitar tahun 2030 seiring dengan banyaknya kebun karet yang telah berusia tua (mendekati 30 tahun) dan harus diremajakan, selanjutnya akan meningkat terus sampai dengan tahun 2042 sejalan dengan telah berproduksinya karet hasil peremajaan. Data hasil simulasi jumlah HOK dan Produksi disajikan pada Tabel 31, Gambar 23 sampai 26. Rincian data simulasi HOK dan Produksi masing-masing disajikan pada Lampiran 26 dan 27 untuk Skenario 1 dan Lampiran 29 dan 30 untuk Skenario 2. Dalam simulasi ini, proyeksi kebutuhan HOK dan Potensi Produksi Karet kawasan Batumarta dilanjutkan sampai Tahun 2045 untuk mengetahui perilaku model, terutama
125 terkait produksi karet yang sangat dipengaruhi oleh usia tanaman karet dengan asumsi faktor-faktor lainnya ceteris paribus. Hasil simulasi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam skala kawasan, perkembangan perkebunan karet di kawasan Batumarta cukup menggembirakan dengan asumsi pemeliharaan dan peremajaan kebun dilaksanakan secara benar, yaitu pemupukan dilaksanakan minimal 2 kali dalam setahun, dan peremajaan dilakukan setelah karet berusia 30 tahun. Hal yang perlu diperhatikan berikutnya adalah upaya antisipasi pertambahan penduduk di dalam kawasan secara tidak terkendali, yang akan berdampak terhadap perkembangan tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat atau rumah tangga petani, dimana pertambahan penduduk yang semakin tinggi akan mengurangi tingkat kesejahteraan warganya. Tekanan penduduk yang berlebihan terhadap penggunaan lahan di kawasan Batumarta di masa yang akan datang dapat berdampak terhadap pemiskinan masyarakatnya. Menurut Fadjar, et al. (2002) perlu diwaspadai munculnya gejala kemiskinan dan involusi perkebunan akibat tingginya tekanan penduduk atas lahan, serta diperkuat oleh berkembangnya ragam institusi kepemilikan-sementara dan kondisi pohon karet yang semakin tua. Dalam kondisi demikian, rasio penduduk-lahan (kebun) sudah tidak ideal lagi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan keluarga, sehingga cepat atau lambat suatu rumah tangga akan jatuh ke dalam kemiskinan, jika semata-mata mengandalkan kebun plasma yang telah menurun produktivitasnya itu sebagai sumber nafkah. Fragmentasi lahan dapat pula mengurangi efektivitas pengelolaan usaha kebun, sehingga kurang menguntungkan bagi petani. Indikasi lain yang menggambarkan tingkat perkembangan kawasan Batumarta dari hasil perkebunan karet terlihat dari tingginya permintaan terhadap lahan untuk perkebunan dan permukiman, yang memicu terjadinya alih fungsi lahan. Sebagai gambaran, saat ini lahan kosong yang sesuai untuk ditanami kebun karet laku dijual dengan harga 40 - 60 juta per hektar tergantung letak lokasinya, sedangkan lahan kebun karet yang masih produktif berharga 140 – 160 juta per hektar. Hal yang perlu diupayakan menjadi suatu kebijakan adalah bagaimana menjaga agar terjadi keseimbangan antara penggunaan lahan untuk perkebunan dan untuk tanaman pangan, terutama sawah antara lain berupa kebijakan/regulasi adanya areal sawah berkelanjutan/abadi dan zona konservasi.
126 Tabel 31
Proyeksi Ketersediaan HOK dan Produksi Karet di Kawasan Batumarta tahun 2009 – 2045 Skenario 1
Skenario 2
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045
HOK
Produksi
6,635,125 7,230,981 7,419,759 7,552,583 7,645,159 7,708,669 7,751,885 7,769,392 7,790,842 7,806,309 7,816,444 7,909,181 7,912,449 7,961,302 7,956,308 8,029,316 8,101,894 8,102,773 8,103,334 8,043,708 8,029,026 8,029,213 7,954,475 7,965,781 7,939,662 7,912,143 7,833,697 7,817,894 7,805,484 7,793,261 7,782,800 7,771,307 7,759,795 7,745,620 7,968,407 7,893,950 7,840,174
111,252,000 111,955,500 111,578,500 109,456,000 104,993,000 101,659,000 97,616,800 94,425,500 91,385,700 88,566,500 87,469,200 84,724,100 86,661,800 86,648,500 87,927,360 87,486,740 84,655,520 81,615,850 78,106,210 75,678,850 74,464,740 73,687,190 72,398,140 71,837,970 74,226,150 77,867,320 84,185,880 92,230,350 99,930,720 107,810,370 113,511,920 118,624,070 121,970,730 123,611,900 120,463,030 117,355,040 113,248,250
HOK 6,635,125 6,959,473 7,106,197 7,233,465 7,342,621 7,435,853 7,515,144 7,570,778 7,630,501 7,682,217 7,726,223 7,849,686 7,880,854 7,954,444 7,971,380 8,063,642 8,153,135 8,168,852 8,182,230 8,133,943 8,128,897 8,137,429 8,070,007 8,087,656 8,066,832 8,049,122 7,991,626 7,984,988 7,966,034 7,954,148 7,943,743 7,932,381 7,921,000 7,906,750 8,030,893 8,003,911 7,980,735
Produksi 111,252,000 111,955,500 111,578,500 109,456,000 104,993,000 101,000,000 96,615,800 93,286,500 90,236,700 87,222,400 85,705,400 82,569,800 82,382,500 81,414,700 81,940,480 81,459,720 79,232,770 76,938,190 74,226,230 72,808,150 72,465,480 72,443,020 73,439,560 74,291,360 77,507,300 81,592,640 88,102,750 96,180,380 104,082,530 111,992,250 117,781,430 122,838,740 126,016,720 127,458,990 125,833,050 123,442,880 119,560,540
127 8.500.000 8.000.000 7.500.000 HOK
7.000.000 6.500.000 6.000.000
5.000.000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045
5.500.000
Tahun
Gambar 23 Proyeksi Kebutuhan HOK dari Perkebunan Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 1)
130000 120000
Ton
110000 100000 90000 80000
60000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045
70000
Tahun
Gambar 24 Proyeksi Potensi Produksi Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 1) 8.500.000 8.000.000
HOK
7.500.000 7.000.000 6.500.000 6.000.000
5.000.000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045
5.500.000
Tahun
Gambar 25 Proyeksi Kebutuhan HOK dari Perkebunan Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 2)
128
140000 130000 120000
Ton
110000 100000 90000 80000
60000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045
70000
Tahun
Gambar 26
Proyeksi Potensi Produksi Karet di Kawasan Batumarta Tahun 2009 – 2045 (Skenario 2)
D. Perbandingan Manfaat (Benefit) Antara Skenario 1 dan Skenario 2 Perbedaan antara Skenario 1 dengan Skenario 2 terletak pada asumsi yang mana Skenario 1 mengharuskan lahan hutan yang masih tersisa pada posisi tahun 2009 seluas 1,233 ha tidak boleh dikonversi ke penggunaan lahan lainnya, sedangkan pada Skenario 2 diasumsikan lahan hutan tersebut boleh dikonversi ke penggunaan lahan lainnya, dalam hal ini menjadi lahan perkebunan karet. Perbandingan manfaat antara keduanya dilihat dari aspek manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara sederhana. Manfaat ekonomi dan sosial didekati dari seberapa besar selisih pertambahan luas lahan kebun karet per tahun dari skenario 2 yang berimplikasi pada pertambahan potensi produksi dan HOK (kesempatan kerja) dibandingkan skenario 1. Manfaat ekologi didekati dari manfaat/fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman hayati dan fungsi hidro-orologis dibandingkan dengan kebun karet, meskipun kebun karet di Sumatera Selatan pada umumnya tergolong ke dalam kelompok agroforest kompleks berupa ´hutan karet΄ atau ΄kebun karet campuran´ (Gouyon et al., 2000). Di dalam kawasan Batumarta, sebagian besar berupa kebun karet monokultur, tetapi sebagian ada yang berupa kebun karet campuran.
129 Perbandingan proyeksi penggunaan lahan antara Skenario 1 dengan Skenario 2 secara grafis disajikan pada Gambar 27. Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam pertambahan luas lahan kebun karet per tahun antara Skenario 1 dan 2. Dengan membandingkan proyeksi ketersediaan HOK dan Potensi Produksi karet pada tahun yang sama antara Skenario 1 dengan Skenario 2, secara nominal terlihat perbedaan besaran HOK dan Potensi Produksi keduanya (lihat Tabel 31), namun secara rata-rata per tahun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (lihat Gambar 23 sampai 26). Ditinjau dari aspek fungsi hidro-orologis, kebun karet tidak berbeda jauh dari hutan, hanya dari aspek keanekaragaman hayati, hutan tidak dapat digantikan fungsinya oleh kebun karet. Dengan demikian Skenario 1 lebih disarankan dalam pengembangan perkebunan karet di Batumarta pada masa yang akan datang. Hal ini sekaligus mendukung Program Pemerintah yang mencanangkan
moratorium
penebangan
hutan
alam
akhir-akhir
ini.
Gambar 27 Proyeksi Penggunaan Lahan Perkebunan pada Skenario 1 dan Skenario 2 5.4.3.3. Perbandingan Keuntungan Antara Pengusahaan Tanaman Pangan, Kebun Karet dan Tumpangsari (karet+tanaman pangan) Pada Areal Simulasi. Perbandingan berikut ini dimaksudkan untuk membandingkan manfaat (benefit) yang diperoleh petani/transmigran yang saat ini (tahun 2009) memiliki lahan ladang/semak/lahan-terbuka apabila mengkonversi (menanami) lahan tersebut dengan karet, atau tanaman pangan, atau karet yang ditumpangsarikan
130 dengan tanaman pangan sampai tanaman karet berumur 3 (tiga) tahun. Pola pertanaman sela atau tumpangsari tanaman karet dengan tanaman pangan sampai tanaman karet berumur 3 tahun ini dimungkinkan, karena pada periode tersebut pada umumnya sinar matahari belum merupakan faktor pembatas, sedangkan faktor air dan nutrisi (hidromineral) dapat dimanfaatkan dengan memodifikasi pola tanam dan teknik budidaya seperti penanaman tepat musim dan pemberian pupuk (Pusat Penelitian Karet, 2006). Pola ini bermanfaat antara lain sebagai tambahan pendapatan pada masa tanaman karet belum menghasilkan, dan peningkatan daya guna berbagai input (tenaga kerja, pupuk, dan lain-lain) yang digunakan karena input tersebut dapat bermanfaat bagi kedua komponen tanaman (karet, dan tanaman sela). Asumsi yang digunakan dalam perhitungan adalah sebagai berikut: 1) Luas lahan yang dikembangkan/dikonversi setiap tahun mengikuti hasil simulasi penggunaan lahan untuk perkebunan pada skenario 1. 2) Dasar perhitungan pendapatan petani dari usahatani tanaman pangan per hektar disajikan pada Lampiran 31 untuk Padi Ladang dan Lampiran 32 untuk Jagung. 3) Dasar perhitungan pendapatan petani dari kebun karet mengacu pada Lampiran 24. 4) Pada pola pengusahaan tumpangsari diasumsikan tanaman pangan diusahakan sampai tanaman karet berumur 3 tahun, dengan pola pertanaman padi dan jagung ditanam secara bergiliran pada musim tanam masing-masing sekali dalam setahun, dan asumsi produksi per hektar masing-masing komoditas pangan sebesar 70 persen dari produksi dengan pola tanam monokultur. Hasil perhitungan manfaat (pendapatan) per tahun dan secara kumulatif masingmasing pola pengusahaan disajikan pada Tabel 32 dan Gambar 28. Berdasarkan Tabel 32 dan Gambar 28 terlihat bahwa pendapatan petani dengan hanya menanam tanaman pangan terlihat lebih menguntungkan pada pada periode awal dibandingkan bertanam karet, sedangkan yang menanam karet masih merugi karena ada biaya investasi dari pembangunan kebun karet sampai tahun ke-6. Tetapi selanjutnya petani yang menanam karet secara perlahan mendapatkan keuntungan dari hasil kebun karet mereka. Keuntungan akan lebih
131 nyata apabila petani melakukan tumpangsari tanaman karet dengan tanaman pangan sampai tanaman karet berumur 3 tahun, karena petani mendapatkan penghasilan dari tanaman pangan, sementara tanaman karet belum menghasilkan. Keuntungan secara kumulatif menurut perkembangan luas penggunaan lahan antara ketiga pola pengusahaan pada lahan yang dapat dikonversi penggunaan lahannya disajikan pada Tabel 32 dan gambar 28. Konversi lahan ladang menjadi kebun karet dengan tindakan pengawetan tanah sangat disarankan bagi keberlanjutan faktor lingkungan biofisik (terutama pencegahan degradasi lahan karena erosi tanah) di kawasan Batumarta, karena seluas 4,736.93 ha atau 73% dari total luas ladang/tegalan (6,519.72 ha) berada pada Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Berat sebagaimana dikemukakan pada Tabel 19 pada Bab 4.6. Dengan mengkonversi penggunaan lahan tersebut menjadi kebun karet dan dilakukan tindakan pengawetan tanah, maka TBEnya akan berada pada tingkat Sedang atau Rendah. Tabel 32 Proyeksi Pendapatan dari Pengusahaan Lahan Konversi dengan Tanaman Pangan (padi+jagung), Kebun Karet, dan Kebun Karet dengan Tumpangsari
Proyeksi Pendapatan (Rp.) Tahun Padi+jagung 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026
27,352,069,566 46,454,685,988 59,795,905,133 69,113,378,946 75,620,679,165 80,165,361,231 83,339,355,728 85,556,065,481 87,104,209,984 88,185,430,202 88,940,551,675 89,467,926,609 89,836,243,932 90,093,475,823 90,273,125,926 90,398,593,106 90,486,219,068
K. Karet (25,670,044,115) (24,697,603,805) (25,704,567,535) (28,586,964,583) (26,031,404,620) (19,876,153,824) (7,667,462,236) 6,132,688,234 21,044,301,616 36,732,160,322 50,325,336,306 79,595,409,833 100,037,588,161 125,125,258,766 142,646,443,890 150,664,288,631 156,263,923,658
Tumpangsari (6,523,595,419) 7,820,676,386 16,152,566,058 (5,876,279,686) 8,976,129,147 23,719,468,190 41,926,058,957 59,915,127,090 77,752,270,007 95,483,311,163 110,503,440,620 140,770,094,854 161,908,282,635 187,482,044,487 205,342,714,513 213,597,654,653 219,362,876,509
132 Tabel 32 (Lanjutan) Proyeksi Pendapatan (Rp.) Tahun Padi+jagung 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 Total
90,547,416,818 90,590,157,173 90,620,006,929 90,640,853,924 90,655,413,412 90,665,581,722 90,672,683,244 90,677,642,929 90,681,106,760 90,683,525,892 90,685,215,407 90,686,395,360 90,687,219,436 90,687,794,969 90,688,196,920 90,688,477,641 90,688,673,696 90,688,810,620 90,688,906,248 3,054,807,356,662
K. Karet 155,955,801,735 155,740,602,653 155,590,312,049 153,112,220,025 151,381,522,578 150,172,810,033 149,328,648,243 148,739,087,776 148,327,340,233 132,813,362,987 132,612,529,402 120,038,386,532 116,886,448,693 112,370,111,053 109,215,912,238 107,013,027,738 105,474,538,758 104,400,061,933 103,649,650,027 3,223,155,573,386
Tumpangsari 219,170,400,010 219,035,967,400 218,942,083,897 216,503,386,450 214,800,202,076 213,610,704,592 212,779,962,552 212,199,774,405 211,794,572,467 196,285,166,654 196,087,525,746 183,515,612,635 180,365,232,053 175,849,981,998 172,696,542,749 170,494,188,728 168,956,070,233 167,881,852,154 167,131,620,956 5,276,413,687,921
250.000.000.000
200.000.000.000
150.000.000.000 P adi+ jagung 100.000.000.000
K . K aret Tumpangs ari
50.000.000.000
2010 2012 2014 2016 2018 2020 2022 2024 2026 2028 2030 2032 2034 2036 2038 2040 2042 2044 (50.000.000.000)
Gambar 28 Proyeksi Pendapatan dari Pengusahaan Lahan Konversi dengan Tanaman Pangan (padi+jagung), Kebun Karet, dan Kebun Karet dengan Tumpangsari (padi+jagung) 5.4.4. Validasi Model. Validasi kinerja/output
model adalah aspek pelengkap dalam metode
berfikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai
133 model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah membandingkan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi et al., 2001). Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan yang digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap nilai aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1 - 10%. Rumus untuk menghitung nilai AME dan AVE adalah sebagai berikut: AME =
S Ā
x 100 % ;
S=
Ā
AVE =
Ss Sa
∑ Si
∑ Ai ;
Ā=
N
x 100 % ;
Sa
∑ (Si S )2 Ss = ; N
N
Sa =
∑ (Ai Ā)2 N
S, A, dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan nilai interval waktu pengamatan. Ss dan Sa berturut-turut adalah nilai standar deviasi simulasi dan nilai standar deviasi aktual. Struktur model pengembangan perkebunan karet di kawasan Batumarta yang menggambarkan interaksi antara komponen penduduk dengan penggunaan lahan haruslah bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Hubungan antara peubah populasi penduduk, penggunaan lahan, dan pendapatan masyarakat,
yang
dihasilkan haruslah bersifat positif. Kecenderungan keadaaan data penduduk Kawasan transmigrasi Batumarta lima tahun terakhir (2004-2009), dengan laju pertumbuhan 1.21% per tahun, jumlah penduduk tahun simulasi (2009-2028) mengalami kecenderungan naik secara eksponensial. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Data validasi disajikan pada Tabel 33 dan Gambar 29. Hasil validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang 0.61% untuk pertambahan penduduk dari data aktual dan AVE menyimpang sebesar 7.01 %. Batas penyimpangan variable tersebut pada
134 parameter AME dan AVE adalah <10%, menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan. Tabel 33 Perbandingan Jumlah Penduduk Aktual dan Hasil Simulasi tahun 20032009 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Mean Var AME AVE
Aktual Simulasi 82,200 82,200 84,915 85,199 89,906 89,022 93,901 92,392 96,719 96,409 10,144 100,190 104,595 104,002 93,340 92,773 67,697,717 62,948,982 0.006072 0.070146
Gambar 29 Jumlah Penduduk Aktual dan Simulasi pada tahun 2003 - 2009 5.4.5. Arahan Kebijakan Kebijakan
pengembangan
Kawasan
Batumarta
dirumuskan
dengan
memperhatikan kondisi dan potensi Kawasan Batumarta saat ini, hasil analisis perubahan penggunaan lahan, kebutuhan stakeholders dalam pengembangan perkebunan, faktor kunci pengembangan perkebunan karet berkelanjutan dan pemodelan perkebunan karet berkelanjutan.
135 Sistem perumusan kebijakan dilakukan secara partisipatif melalui FGD. Hasil analisis tersebut kemudian dijadikan dasar dalam merumuskan arahan kebijakan pengembangan kawasan di Batumarta. Rumusan arahan kebijakan yang disepakati adalah: peningkatan produktivitas perkebunan karet dan pengembangan kapasitas petani dalam mengelola usahatani/kebun karet secara berkelanjutan melalui strategi (1)perluasan areal kebun karet agar tidak mengkonversi lahan hutan yang masih tersisa pada kondisi tahun 2009, (2) penetapan lahan sawah permanen dan lahan perkebunan karet agar tidak dikonversi menjadi peruntukan lainnya, (3) meningkatkan upaya pemeliharaan kebun dan melakukan peremajaan kebun
pada
waktunya
untuk
meningkatkan
produksi,
(4)meningkatkan
keterampilan dan pengetahuan petani dalam teknik budidaya, pengolahan hasil dan pemasaran produksi tanaman karet maupun tanaman pangan, (5) melakukan penguatan kelembagaan ekonomi mikro yang menunjang sektor pertanian khususnya off-farm, dan (6) penetapan areal konservasi terutama di sempadan sungai, danau, rawa dan waduk.