V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit, olein sawit 1, dan olein sawit 2. Ketiganya diambil langsung dari tanki penyimpanan yang dimiliki PT SMII sesaat setelah minyak tersebut diterima dari supplier. Hal tersebut dapat menjadi jaminan bahwa bahan yang digunakan masih baik. Pengujian fisikokimia dilakukan untuk memastikan bahwa minyak sawit yang digunakan masih dalam kondisi yang layak untuk digunakan. Pengujian tersebut meliputi pengujian bilangan peroksida (PV), bilangan iod (IV), dan asam lemak bebas (FFA). Hasil pengujian bahan baku disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Pengujian Bahan Baku penelitian PV (meq O2/kg) IV (mg iod/g) FFA (%)
Bahan Baku Minyak sawit (RBDPO) Olein sawit 1 Olein sawit 2
Bahan Baku
0.30 0.36 0.28
52.30 58.30 60.42
0.04 0.08 0.05
Tabel 9. Spesifikasi Mutu PT Sinar Meadow International Indonesia PV (meq O2/kg) IV (mg iod/g) FFA (%)
Minyak sawit (RBDPO) Olein sawit 1 (PE20) Olein sawit 2 (PE16)
0.5 (max.) 1.0 (max.) 0.5 (max.)
51.5 (min.) 58.0 (min.) 59.0 (min.)
0.08 % (max.) 0.08 % (max.) 0.08 % (max.)
SMP (°C) 35.20-36.20 18.50-19.00 16.10-16.40
Grade Normal Normal Super
Berdasarkan data pengamatan di atas, bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini masuk dalam kategori layak. Minyak sawit yang diuji masuk dalam spesifikasi yang dibutuhkan oleh PT SMII. Pada olein sawit 1 dan olein sawit 2 terjadi perbedaan nilai Iodine Value (IV) yang menyebabkan perbedaan kategori mutu dari kedua minyak olein sawit tersebut. Karena jika disesuaikan dengan spesifikasi dari PT SMII, minyak olein sawit 1 termasuk kategori normal grade, sedangkan olein sawit 2 termasuk kategori super grade. Perbedaan kualitas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kondisi fraksinasi di pabrik supplier yang dapat berbeda, sehingga menghasilkan hasil fraksinasi yang berbeda pula. Kualitas mesin dan ulangan fraksinasi juga dapat mempengaruhi kualitas dari olein sawit yang dihasilkan. Selain itu, kondisi cuaca, suhu, dan kondisi alat transportasi dapat mempengaruhi kualitas minyak yang ditransportasikan. Nilai peroksida dari ketiga bahan baku masih masuk ke dalam spesifikasi mutu PT SMII. Nilai peroksida hasil pengujian pada minyak sawit, olein sawit 1, dan olein sawit 2 berturut-turut sebesar 0.30, 0.36, dan 0.28 meq O2/kg. Sedangkan batasan maksimal nilai peroksida dari PT SMII untuk minyak sawit, olein sawit normal, dan olein sawit super adalah sebesar 0.5, 1.0, dan 0.5 meq O2/kg. Spesifikasi lainnya, yaitu asam lemak bebas (FFA) dari ketiga bahan baku juga masih dapat diterima oleh spesifikasi mutu PT SMII. FFA dari minyak sawit, olein sawit 1 dan olein sawit 2 berturut-turut sebesar 0.04, 0.08, dan 0.05%. Sedangkan spesifikasi FFA dari PT SMII memiliki nilai maksimal yang sama, yaitu 0.08%. Minyak olein sawit 1 merupakan olein sawit yang biasa digunakan untuk menjadi campuran pada oil blend pembuatan produk margarin tertentu. Penambahan olein sawit pada minyak campuran akan menghasilkan produk minyak campuran dengan karakteristik lunak,
27
karena sifat fisik minyak olein sawit memiliki SMP yang rendah dibandingkan minyak stearin dan minyak sawit, sehingga akan menghasilkan margarin yang memiliki SMP yang rendah pula. Berdasarkan hasil percobaan, minyak olein sawit 1 memiliki SMP bawah sebesar 18.50 °C, sedangkan minyak olein sawit 2 memiliki SMP bawah sebesar 16.10 °C. Minyak olein sawit 2 sebenarnya lebih ditujukan untuk dikemas menjadi minyak goreng. Namun pada praktiknya, minyak olein sawit dengan kategori super grade dapat juga digunakan untuk bahan baku formulasi oil blend, hanya saja perlu dilakukan perhitungan ulang untuk mendapatkan oil blend yang sesuai dengan spesifikasi dari perusahaan dan permintaan konsumen. Perbedaan SMP dari kedua jenis olein sawit tersebut disebabkan oleh perbedaan jumlah asam lemak oleat (18:1) pada kedua olein sawit. Semakin banyak ikatan rangkap, ikatan makin lemah, berarti titik cair akan semakin rendah (Winarno 2008).
B. SOLID FAT CONTENT (SFC) CAMPURAN MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT Karakteristik minyak sawit jika dilihat secara kasat mata cenderung mengkristal dengan tekstur yang lunak pada suhu ruang, sedangkan olein sawit berbentuk cair pada suhu ruang. Pencampuran keduanya dalam proporsi yang sama kemungkinan akan menghasilkan sifat minyak yang memiliki tekstur rata-rata dari keduanya. Sedangkan jika dilihat dari segi SFC pada suhu observasi 10ºC , 20ºC, 30ºC, dan 40ºC , minyak sawit cenderung memiliki kurva SFC yang lebih landai dibandingkan dengan kurva SFC yang dihasilkan oleh olein sawit. Hal ini disebabkan karena pada suhu 20ºC minyak olein sawit cenderung telah mencair, sehingga tidak ada lagi kandungan lemak padat yang tersisa. Suhu observasi di empat titik suhu tersebut dilakukan untuk melihat profil oil blend di berbagai kondisi suhu. Suhu 10ºC mewakili sebagai suhu penyimpanan di suhu rendah. Suhu 20ºC mewakili suhu ruang penyimpanan dan ruang produksi, suhu 30ºC mewakili suhu awal melting oral, sedangkan suhu 40ºC mewakili suhu awal penggorengan. Suhu observasi tidak terbatas pada empat titik tersebut, hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan penelitian. Nilai SFC di masing-masing suhu akan menentukan tujuan penggunaan.
1.
SFC OIL BLEND MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT PADA SUHU 10ºC Suhu observasi pertama yaitu pada suhu 10ºC. Menurut O’Brien (1994), suhu ini mewakili kualitas pengolesan pada suhu referigerator. Hasil karakterisasi SFC oil blend minyak sawit dan olein sawit 1 pada suhu 10ºC dapat dilihat pada Gambar 7.
R2 = 0.945
R2 = 1
Gambar 7. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 1 terhadap SFC pada Suhu 10ºC
28
Kurva pada Gambar 7 menunjukkan bahwa pencampuran minyak sawit dan olein sawit 1 pada berbagai proporsi di suhu 10ºC menunjukkan kurva linieritas yang tinggi dengan persamaan y = -0.215x+50.64 dan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.945. Kurva tersebut terlihat mendekati persamaan nilai perhitungan teori dengan selisih positif, yaitu berada di atas perhitungan teori. Selisih rata-rata dari kedua kurva tersebut sekitar 2.48% (disajikan pada Lampiran 3). Kurva pada Gambar 8 adalah hasil perbandingan karakterisasi SFC oil blend minyak sawit dan olein sawit 2 antara perhitungan teori dan percobaan pada 10ºC.
y = -0.408x + 49.2 R2 = 1
y = -0.407x + 51.79 R2 = 0.982
Gambar 8. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 2 terhadap SFC pada Suhu 10ºC
SFC (%)
Gambar 8 menunjukkan gambar kurva yang serupa dengan oil blend sebelumnya. Hubungan antara proporsi minyak sawit dan olein sawit 2 membentuk kurva yang memiliki linieritas yang tinggi dengan persamaan y = -0.407x+51.79 dan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.982. Sedangkan rata-rata nilai selisih terhadap perhitungan teori sebesar 3.23% (disajikan pada Lampiran 3), lebih besar dibandingkan dengan oil blend yang dicampur dengan olein sawit 1. Kurva yang terbentuk oleh hasil kombinasi formulasi oil blend tersebut memiliki kecenderungan yang sama dengan kurva sebelumnya, yaitu memiliki selisih yang positif atau berada di atas kurva perhitungan teori. Sedangkan jika kedua kurva dibandingkan (disajikan pada Gambar 9), kurva data oil blend yang diformulasikan dengan olein sawit 1 berada di atas kurva data oil blend yang diformulasikan dengan olein sawit 2. Hal ini disebabkan karena olein sawit 2 memiliki SMP yang lebih rendah sehingga cenderung memiliki kandungan lemak padat yang lebih sedikit dibandingkan dengan olein sawit 1.
(%) Gambar 9. Kurva Perbandingan Oil Blend 1 dan Oil Blend 2 pada Suhu 10ºC
29
2. SFC OIL BLEND MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT PADA SUHU 20ºC Karakterisasi selanjutnya dilakukan pada suhu observasi 20ºC, suhu ini mewakili kondisi ruang penyimpanan atau ruang produksi. Kurva perbandingan antara perhitungan teori dan percobaan oil blend minyak sawit dan olein sawit 1 yang dilakukan pada suhu 20ºC disajikan pada Gambar 10.
y = -0.243x + 25.05 R2 = 0.989
y = -0.240x + 24.11 R2 = 1
Gambar 10. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 1 terhadap SFC pada Suhu 20ºC Gambar 10 menunjukkan karakteristik oil blend minyak sawit dengan olein sawit 1 pada suhu 20ºC. Data oil blend tersebut membentuk kurva yang memiliki linieritas yang tinggi dengan persamaan y = -0.240x + 24.11 dan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.989. Sedangkan rata-rata dari selisih nilai SFC antara perhitungan teori dan hasil percobaan adalah sebesar 1.54% (Lampiran 3). Kurva hasil percobaan oil blend minyak sawit dan olein sawit 2 pada suhu 20ºC disajikan pada Gambar 11.
y = -0.241x + 24.11 R2 = 1
y = -0.243x + 23.57 R2 = 0.988
Gambar 11. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 2 terhadap SFC pada Suhu 20ºC Gambar 11 menunjukkan gambar kurva yang serupa dengan oil blend sebelumnya pada suhu 20ºC. Data pencampuran antara minyak sawit dan olein sawit 2 membentuk kurva yang juga memiliki linieritas yang tinggi dengan persamaan y = -0.243x+23.57 dan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.988. Sedangkan rata-rata nilai selisih terhadap perhitungan teori
30
SFC (%)
sebesar 3.23% (disajikan pada Lampiran 3). Kurva yang terbentuk dari hubungan antara proporsi minyak sawit dan olein sawit 2 memiliki kecenderungan yang sama dengan kurva sebelumnya, yaitu berada di atas kurva perhitungan teori. Perbandingan diantara kedua jenis olein tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
(%) Gambar 12. Kurva Perbandingan Oil Blend 1 dan Oil Blend 2 pada Suhu 20ºC
3. SFC OIL BLEND MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT PADA SUHU 30ºC Karakterisasi selanjutnya dilakukan pada suhu observasi 30ºC, suhu ini mewakili kondisi awal saat bersentuhan dengan tubuh manusia, terutama pada suhu melting oral, yaitu saat minyak masuk dan meleleh di dalam mulut. Kurva perbandingan antara perhitungan teori dan percobaan oil blend minyak sawit dan olein sawit 1 yang dilakukan pada suhu 30ºC disajikan pada Gambar 13.
y = -0.093x + 9.35 R2 = 1
y = -0.101x + 9.039 R2 = 0.977
Gambar 13. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 1 terhadap SFC pada Suhu 30ºC Hasil dari karakterisasi pada suhu 30ºC menunjukkan bahwa kurva hasil percobaan cenderung berada di bawah kurva hasil perhitungan teori dengan rata-rata selisih sebesar 0.88%. Kurva tersebut membentuk garis yang membentuk lineritas yang tinggi dengan persamaan y = -0.101x + 9.039 serta koefisien korelasi (R2) sebesar 0.977. Hal serupa juga terlihat pada kurva yang dibentuk dari oil blend minyak sawit dan olein sawit 2 (disajikan
31
pada Gambar 13). Persamaan yang terbentuk adalah y = -0.104x + 8.773 dan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.939. Rata-rata selisih antara perhitungan teori dan percobaan sebesar 1.33% (disajikan pada Lampiran 3). Selisih rata-rata nilai perhitungan teori dan nilai percobaan pada suhu 30ºC memiliki nilai yang paling rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil karakterisasi oil blend pada suhu 30ºC memiliki nilai yang paling stabil dan mendekati perhitungan teori dibandingkan dengan percobaan di ketiga suhu lainnya. Gambar kurva perbandingan antara hasil perhitungan teori dengan percobaan oil blend minyak sawit dan olein sawit disajikan pada Gambar 14.
y = -0.093x + 9.35 R2 = 1
y = -0.104x + 8.773 R2 = 0.939
Gambar 14. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 2 terhadap SFC pada Suhu 30ºC
SFC (%)
Perbandingan antara kedua formulasi oil blend dapat dilihat pada Gambar 15. Kurva keduanya cenderung berhimpit dan hanya sedikit terpisah pada proporsi olein sawit 30% hingga 70%. Hal ini berkaitan dengan komposisi asam lemak yang terkandung di dalam oil blend pada setiap formulasi. Dominasi asam lemak tertentu akan mempengaruhi SFC yang terbaca pada suhu dan formulasi tertentu.
(%) Gambar 15. Kurva Perbandingan Oil Blend 1 dan Oil Blend 2 pada Suhu 20ºC
32
4. SFC OIL BLEND MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT PADA SUHU 40ºC Karakterisasi terakhir yang dilakukan adalah pada suhu observasi 40ºC yang mewakili kondisi saat awal penggorengan. Kurva perbandingan antara perhitungan teori dan percobaan oil blend minyak sawit dan olein sawit 1 yang dilakukan pada suhu 40ºC disajikan pada Gambar 16.
y = -0.031x + 3.35 R2 = 1
y = 0.000757x2 – 0.1039x + 3.1 R2 = 0.982
Gambar 16. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 1 terhadap SFC pada Suhu 30ºC Gambar 16 menunjukkan karakteristik oil blend minyak sawit dengan olein sawit 1 pada suhu 40ºC. Data kombinasi formulasi oil blend tersebut membentuk kurva polinomial dengan persamaan y = 0.000757x2 - 0.103x + 3.1 dan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.982. Sedangkan rata-rata dari selisih nilai SFC antara perhitungan teori dan hasil percobaan adalah sebesar 1.21% (disajikan pada Lampiran 3). Gambar kurva hasil percobaan oil blend minyak sawit dan olein sawit 2 pada suhu 40ºC disajikan pada Gambar 17.
y = -0.031x + 3.35 R2 = 1
y = 0.000722x2 – 0.1029x + 3.385 R2 = 0.960
Gambar 17. Kurva Pengaruh Penambahan Olein Sawit 2 terhadap SFC pada Suhu 40ºC
33
SFC (%)
Gambar 17 menunjukkan bahwa hubungan antara proporsi minyak sawit dan olein sawit 2 juga membentuk kurva polinomial. Kurva tersebut memiliki persamaan y = 0.000722x2 – 0.103x + 3.385 dengan koefisien korelasi (R2) sebesar 0.960. Perbandingan diantara kedua kurva disajikan pada Gambar 18. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola keduanya serupa, dan pada proporsi olein sebesar 40%, kedua kurva mendekati garis 0% yang menandakan bahwa hampir tidak ada kandungan lemak padat yang terdapat pada suhu 40ºC. Penyimpangan perbandingan kurva terjauh antara kedua formulasi terjadi pada suhu observasi 10ºC. Sedangkan pada suhu 20ºC, 30ºC, dan 40ºC cenderung berhimpitan. Perbedaan hasil perhitungan teori dan percobaan serta penyimpangan perbandingan kedua kurva tersebut disebut dengan eutectic system. Hal ini dapat terjadi akibat suatu zat yang terdiri dari beberapa komposisi yang memiliki SMP lebih rendah dibandingkan dengan komposisi lainnya. Namun pada kondisi tertentu, eutetic system merupakan hal yang diinginkan dalam beberapa oil blend.
(%) Gambar 18. Kurva Perbandingan Oil Blend 1 dan Oil Blend 2 pada Suhu 40ºC Komposisi asam lemak penyusun minyak sawit dan olein sawit yang digunakan berdampak terhadap kurva SFC yang dihasilkan dari masing-masing formulasi. Gambar 19 menunjukkan bahwa oil blend minyak sawit dan olein 1 memiliki kurva SFC yang rapat. PO 90:10 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60 30:70 20:80 10:90 Olein (1) Gambar 19. Kurva SFC Oil Blend Minyak Sawit dan Olein Sawit 1
34
Hal tersebut dapat terjadi karena komposisi asam lemak yang terkandung di dalam formulasi tersebut memiliki proporsi yang konsisten, sehingga menciptakan kurva SFC yang rapat dan konsisten pula. Kurva SFC oil blend minyak sawit dan olein sawit 2 disajikan pada Gambar 20.
90:10 80:20 70:30 60:40 50:50 40:60 30:70 20:80 10:90
Gambar 20. Kurva SFC Oil Blend Minyak Sawit dan Olein Sawit 2 Kurva oil blend pada Gambar 20 menunjukkan perbedaan karakter SFC dibandingkan dengan kurva SFC sebelumnya (Gambar 19). Kurva SFC oil blend minyak sawit dan olein sawit 2 menunjukkan hasil yang lebih renggang, terutama pada suhu observasi 10ºC. Kondisi yang paling mencolok adalah bahwa olein sawit 1 memiliki SFC di atas 25% pada suhu 10ºC, sedangkan olein sawit 2 memiliki SFC kurang dari 10% pada suhu yang sama, sehingga membuat kurva SFC dari kombinasi formulasi oil blend tersebut menjadi lebih renggang. Hal ini dapat terjadi karena olein sawit 2 yang digunakan mengandung asam lemak tidak jenuh oleat lebih tinggi dibandingkan dengan olein sawit 1. Asam lemak oleat yang dominan pada olein sawit tersebut memiliki SMP yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak palmitat yang dominan pada minyak sawit. Tabel 10 menunjukkan data analisis GC yang dimiliki oleh PT SMII. Tabel 10. Hasil Analisis Gas Chromatography PT SMII Asam Lemak Bahan Baku As. Palmitat (C16:0) As. Stearat (C18:0) As. Oleat (C18:1) Minyak Sawit 43.782 % 5.091 % 38.915 % Olein Sawit 1 39.555 % 4.218 % 43.439 % Olein Sawit 2 37.652 % 4.161 % 45.447 % Hasil dari karakterisasi yang telah dilakukan dapat dikombinasikan dengan formulasi oil blend produk yang telah dimiliki oleh PT SMII. Margarin yang dapat diproduksi dari berbagai penambahan proporsi olein sawit dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu margarin dengan tekstur keras untuk pembuatan produk cookies, margarin tekstur lunak untuk pembuatan produk bakery dan spread, serta margarin cair untuk keperluan pembuatan cake. Margarin bertekstur keras umumnya tidak memakai olein sawit dalam komposisinya, namun penambahan
35
olein sawit sekitar 10-20% diprediksi dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fisik margarin keras. Hal ini berdasarkan kurva yang terbentuk dari formulasi pada proporsi tersebut, yaitu memiliki kurva yang menyerupai kemiringan dari kurva minyak sawit. Sehingga kemungkinan pengaruh perubahan SFC tidak akan terlalu besar, namun dapat digunakan untuk lebih memudahkan margarin dalam pengaplikasian. Margarin lunak diprediksi dapat menggunakan olein sawit di dalam komposisinya sekitar 30-60% untuk mendapatkan tekstur margarin yang lebih lembut untuk produk bakery dan mudah dioles jika digunakan sebagai spread. Hal ini berdasarkan kurva SFC pada proporsi tersebut yang mempengaruhi kurva SFC minyak sawit sekitar 10%. Sehingga hal ini dapat membantu melunakkan tekstur margarin dan memudahkan pengaplikasian pada produk margarin oles. Sedangkan komposisi olein sebesar 70-90% diprediksi dapat digunakan untuk margarin cair yang dapat berfungsi sebagai lemak pengisi dalam pembuatan cake. Hal ini berdasar dari kurva pada proporsi tersebut yang memiliki kemuringan yang semakin tajam, yang berarti formulasi tersebut lebih mudah mencair seiring dengan kenaikan suhu. C. SLIP MELTING POINT (SMP) Parameter lainnya yang diamati adalah slip melting point (SMP) dari setiap kombinasi formulasi. Kisaran SMP dapat diikorelasikan dengan membaca nilai SFC-nya pada saat kandungan lemak padat berkisar antara 4 hingga 5%. SMP suatu minyak atau lemak sangat ditentukan oleh jenis asam lemak penyusunnya. Semakin pendek rantai karbon penyusun asam lemak, SMP dari suatu minyak akan semakin rendah, maka kandungan lemak padatnya akan semakin rendah pula pada suhu tertentu. Sebaliknya jika semakin panjang rantai karbon penyusun asam lemak, SMP dari suatu minyak akan semakin tinggi, maka kandungan lemak padatnya akan semakin tinggi pada suhu tertentu. Namun jika rantai karbon tersebut mengandung ikatan rangkap, maka SMP asam lemak tersebut akan semakin rendah. Semakin banyak ikatan rangkap yang terkandung di dalam rantai karbon penyusun asam lemak, maka SMPnya akan semakin rendah. Minyak sawit memiliki SMP pada kisaran 31.3-37.6°C (SNI 01-2901-2006). Sedangkan olein sawit berada pada kisaran 18-20°C atau maksimal 24°C (CODEX 1999). Ketiga bahan baku sesuai dengan standar acuan. Tabel 11 menunjukkan data hasil analisis SMP minyak sawit dan kedua jenis olein sawit.
Bahan Baku Minyak Sawit Olein Sawit 1 Olein Sawit 2
Tabel 11. Hasil Analisis SMP Bahan Baku Hasil Analisis SMP (ºC) Kisaran Standar SMP Acuan (ºC) 35.2-37.2 31.3-37.6 (SNI) 18.0-18.4 Maks. 24 (CODEX) 16.0.-16.6 Maks. 24 (CODEX)
Pengaruh penambahan olein sawit 1 maupun olein sawit 2 terhadap rata-rata SMP disajikan pada Gambar 21. Diagram tersebut membentuk pola yang semakin menurun. Hal tersebut menunjukkan perbandingan SMP pada pengaruh proporsi kedua olein sawit yang digunakan. Selain itu, diagram tersebut menggambarkan keserupaan pola kecenderungan SMP dari kedua kombinasi formulasi walaupun mengandung bahan baku dengan SMP yang berbeda. Penurunan diagram tersebut disebabkan oleh proporsi olein sawit yang semakin banyak. Sehingga komposisi asam lemak tidak jenuh yang terkandung di dalam olein sawit semakin banyak mendominasi formula tersebut dan membuat SMP semakin rendah. Rata-rata dari kisaran titik
36
leleh dapat dikaitkan dengan kurva SFC, yaitu kandungan lemak padat setiap formulasi memiliki nilai berkisar antara 0% hingga 10% saat lemak terlihat mulai mencair. Sehingga hal ini memperkuat teori hubungan antara SFC dengan SMP.
Gambar 21. Perbandingan SMP terhadap Proporsi Olein sawit 1 dan Olein sawit 2.
37