V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI SIKLUS HIDUP GULA Siklus hidup gula terjadi pada proses produksi gula di pabrik, yaitu mulai dari tebu digiling hingga menjadi produk gula yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup gula melibatkan komponen-komponen yang mempengaruhi proses terbentuknya gula. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap penggunaan bahan tambahan dan energi secara kuantitatif dengan membandingkan antara target RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi pada musim giling tahun 2011 di PG Subang.
Boiler
Gambar 6. Siklus hidup gula di PG Subang Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pada proses produksi gula di PG Subang menghasilkan limbah maupun produk samping. Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus hidup gula di PG Subang berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat, ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler yang akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi gula dapat berupa uap air hasil proses penguapan, dimana uap air tersebut akan digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler, serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah proses produksi akan diolah di IPAL sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu. Untuk produk samping seperti molasses dimanfaatkan untuk spirtus dan pembuatan monosodium glutamate (MSG). Bahan baku utama yang digunakan PG Subang dalam menghasilkan gula berasal dari tanaman tebu. Bagian tanaman (on farm) adalah tempat dibentuknya gula baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Penggunaan bahan baku dan tambahan pada kegiatan budi daya tebu sangat berpengaruh terhadap rendemen dan produktivitas tebu yang dihasilkan. Pada prinsipnya untuk meningkatkan rendemen dan produktivitas tebu dapat dilaksanakan melalui penataan varietas, penyediaan bibit yang sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian hama, penentuan awal giling yang tepat, penentuan kebun tebu yang ditebang dengan
25
menggunakan analisa kemasakan, penebangan tebu secara bersih, dan pengangkutan tebu secara cepat. Pelaksanaan pengangkutan tebu yang telah ditebang harus sesegera mungkin karena jika tebu yang telah ditebang dibiarkan di lahan bahkan sampai menginap maka akan terjadi penurunan rendemen yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Perbandingan antara data RKAP (Rencana Kegiatan dan Anggaran Perusahaan) dengan realisasi musim giling tahun 2011 bagian tanaman dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Data perbandingan RKAP dan realisasi pada tahun 2011 bagian tanaman Uraian
Satuan
RKAP
Luas Areal
ha
5.401
Jumlah tebu yang dihasilkan
ku
4.248.400
Produktivitas tebu
ku/ha
787
Realisasi 5.016,47 3.460.183,2
Persentase (%) 92,88 81,45
690
87,67
Produk SHS
ku
292.752,6
229.905
79,23
Rendemen
%
6,87
6,69
97,38
Sumber : PG Subang (2011)
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan produktivitas tebu yang mengakibatkan penurunan persentase rendemen. Luas areal lahan yang rencananya akan ditebang seluas 5.401 ha, pada realisasinya hanya seluas 5.016,47 ha yang ditebang, atau sekitar 92,88 % dari target perencanaan. Selain itu rendemen juga mengalami penurunan dari perencanaan awal, yaitu dari 6,87 % menjadi 6,69 %, atau sekitar 97,38 % dari target. Dilihat dari segi kegiatan budi daya tebu, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya teknik budi daya yang kurang optimal sehingga mempengaruhi kualitas tebu yang dihasilkan sehingga tebu tidak layak untuk ditebang, mutu bibit bukan termasuk varietas unggul sehingga mempengaruhi kandungan gula yang terdapat pada tebu, selain itu manajemen tebang angkut yang kurang optimal. Waktu penebangan tebu yang tepat adalah saat pol tebu optimal yang dilakukan pada analisa pendahuluan, setelah diketahui pol tebu yang optimal, sesegera mungkin tebu ditebang dan diangkut ke pabrik gula untuk digiling. Namun pada kenyataannya tebu masih terlalu lama ditimbun di kebun maupun di cane yard sehingga mengakibatkan kadar gula dalam tebu menurun karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi penguraian sukrosa, jika tebu sudah tiba di cane yard sebaiknya langsung digiling pada hari yang sama atau tidak boleh lebih dari 24 jam dari waktu kedatangan tebu, karena kadar gula dalam tebu akan menurun jika lebih dari 24 jam dan kemungkinan tebu sudah mulai rusak sehingga lebih sukar untuk diolah menjadi gula. PG Subang memiliki kebun tebu yang tersebar di beberapa daerah, masing-masing daerah dikelompokkan berdasarkan rayon dan radius (jarak antara kebun tebu dengan pabrik gula). Radius dari PG Subang terdapat delapan radius, yaitu: radius 1 (1-5 km), radius 2 (6-10 km), radius 3 (11-14 km), radius 4 (15-20 km), radius 5 (21-40 km), radius 6 (41-50), radius 7 (51-60 km), dan radius 8 (61-70 km). Produktivitas masing-masing radius berbeda, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan teknik budi daya yang dilakukan.
26
Gambar 7 . Produktivitas tebu rata-rata pada tiap radius tahun 2011 Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa tiap radius menghasilkan produktivitas yang berbeda. Berdasarkan standar deviasi yang diperoleh, menujukkan bahwa radius 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 8 produktivitasnya tidak berbeda nyata, sedangkan pada radius 7 jika dibandingkan dengan radius lainnya, produktivitas tebu tidak berbeda nyata. Pada radius 7 hanya satu wilayah yang dijadikan kebun tebu, hal ini dapat disebabkan pengaruh kondisi tanah dan iklim yang kurang cocok untuk ditanami tebu, selain itu dapat disebabkan karena kurangnya lahan untuk ditanami tebu.
Gambar 8. Rendemen gula rata-rata pada tiap bulan dalam masa giling (DMG) tahun 2011 Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa rendemen gula rata-rata pada bulan Mei dan Juni dibandingkan dengan bulan Juli berbeda nyata, namun tidak berbeda nyata dengan rendemen gula rata-rata di bulan Agustus, September, dan Oktober. Rendemen gula rata-rata pada bulan Juli dibandingkan dengan Agustus, September, dan Oktober tidak berbeda nyata. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa pada bulan Mei dan Juni rendemen gula yang dihasilkan masih rendah, namun pada bulan Juli terjadi peningkatan rendemen gula. Pada bulan Juli menunjukkan kinerja produksi gula terjadi peningkatan, banyaknya gula yang dihasilkan diimbangi dengan banyaknya tebu yang digiling sehingga mempengaruhi besarnya rendemen yang dihasilkan. Dilihat dari segi proses produksi gula di pabrik, penurunan rendemen yang terjadi dipengaruhi oleh inefisiensi kinerja dalam produksi gula di pabrik. Proses produksi gula di pabrik melalui beberapa tahapan proses diantaranya proses ekstraksi, pemurnian, penguapan, kristalisasi, putaran, pengeringan, dan penyelesaian. Dalam tiap tahapan proses tersebut masih banyak terjadi inefisiensi, hal ini dapat disebabkan karena kinerja mesin yang kurang optimal, serta sanitasi di sekitar area
27
stasiun yang kurang baik karena adanya mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas nira. Dengan terjadinya inefisiensi tersebut, mengakibatkan gula yang dihasilkan menjadi lebih sedikit dari target yang sudah direncanakan di awal, sehingga rendemen yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Siklus hidup gula di PG Subang dapat dilihat dari tebu digiling hingga menjadi produk gula yang siap untuk dipasarkan. Dalam siklus hidup tersebut, tebu hasil dari pemanenan dibawa ke pabrik untuk digiling dan diambil niranya. Nira yang terdapat dalam tebu mengandung sukrosa yang nantinya diproses menjadi gula. Setelah diperoleh nira kemudian dilakukan pemurnian agar menjadi nira jernih dan terbebas dari kotoran maupun zat bukan gula lainnya dengan penambahan bahan kimia, yaitu: belerang, kapur tohor, dan flokulan. Selanjutnya nira jernih diuapkan dan menghasilkan nira yang lebih pekat dan kental. Nira kental kemudian dilanjutkan dengan proses kristalisasi, pada intinya proses ini bertujuan untuk membentuk nira kental menjadi krital gula dengan menggunakan evaporator agar air yang terkandung dalam nira diuapkan dan alat pan masakan dalam kondisi vakum. Setelah menjadi kristal gula dilanjutkan dengan proses putaran untuk memisahkan larutan gula yang masih terdapat pada kristal gula, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan, pengemasan, dan penyimpanan di gudang gula. Gula yang dihasilkan oleh PG Subang adalah GKP (Gula Kristal Putih) atau SHS (Super High Sugar) 1A yang dikemas dalam kemasan 50 kg dan 1 kg. Gula tersebut kemudian dipasarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Siklus hidup gula berhenti hingga gula dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak ada perlakuan reuse, recycle, maupun recovery dari gula yang sudah dihasilkan.
B. INVENTARISASI BAHAN TAMBAHAN DAN ENERGI Analisis inventori merupakan bagian dari komponen LCA yang meliputi input dan output bahan baku, energi, limbah dan produk samping yang dihasilkan selama siklus daur hidup produk. Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif yang diperoleh dari PG Subang berdasarkan pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan. Data yang dimasukkan ke dalam data inventori ini berisi data mengenai proses produksi gula di pabrik. Industri gula memiliki parameter atau indikator efisiensi proses produksi terutama di bagian pabrikasi atau proses pengolahan tebu di pabrik. Indikator efisiensi tersebut antara lain mill extraction (ME), boiling house recovery (BHR), overall recovery (OR), pol tebu dan rendemen, yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Indikator efisiensi pabrik gula di Indonesia tahun 2002-2004 Komponen
Efisiensi pabrik gula (%)
Efisiensi normal (%)
ME (Mill Extraction)
84 - 85
95
BHR (Boiling House Recovery)
70 - 80
90
OR (Overall Recovery)
59 - 79
85
Pol tebu
8 - 11
14
Rendemen
5 – 8,5
12
Sumber : P3GI (2001)
28
1. Penggunaan Bahan Tambahan pada Proses Produksi Gula Proses produksi gula di PG Subang dilakukan pada beberapa stasiun, yaitu stasiun gilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, dan stasiun kristalisasi. Kinerja pabrik gula dapat dilihat dari persentase rendemen yang dihasilkan. Data perolehan rendemen di PG Subang pada lima periode terakhir (2007-2011) dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Data rendemen gula di PG Subang tahun 2007 – 2011 Uraian
Satuan
Tahun 2007
2008
2009
2010
2011
Tebu digiling
ton
298.027,63
311.849,66
296.552,03
343.725,17
343.646,88
Gula SHS
ton
22.933,7
26.083,3
19.833,8
19.592,3
22.990,50
Rendemen
%
7,70
8,36
6,69
5,70
6,69
Sumber : PG Subang (2011)
Berdasarkan Tabel 7 di atas, diketahui bahwa pada musim giling tahun 2008 rendemen yang dihasilkan sangat tinggi yaitu 8,36 %, sedangkan rendemen terendah yaitu 5,70 % pada musim giling tahun 2010. Hal ini dapat dipengaruhi oleh banyaknya tebu giling, dimana hal ini berkaitan dengan sistem budi daya dan pemanenan tebu, selain itu dipengaruhi dari gula SHS yang dihasilkan dimana produksi gula SHS tersebut dipengaruhi oleh kinerja pada bagian pabrikasi di tiap stasiun pengolahan. Oleh karena itu, untuk mencapai rendemen yang tinggi perlu dilakukan optimalisasi pada proses produksi gula. Namun berdasarkan Tabel 7, menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja produksi pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 2010, hal ini dapat dilihat berdasarkan jumlah tebu yang digiling terjadi penurunan dari tahun 2010, namun jumlah gula SHS yang diperoleh lebih besar sehingga rendemen menjadi meningkat dari 5,70 % menjadi 6,69 %. Dengan perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh kegiatan budi daya tanaman tebu yang menghasilkan tebu untuk digiling, juga dipengaruhi oleh kinerja proses pengolahan tebu di pabrik dalam menghasilkan gula SHS. Berikut ini akan dibahas mengenai tiap stasiun dalam pabrik yang ada di PG Subang. Neraca bahan secara umum pada proses produksi gula di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 7.
a. Stasiun gilingan Tebu yang sudah dicacah dengan menggunakan cane cutter dan unigrator menghasilkan sabut tebu yang akan diperah menggunakan mesin penggiling di stasiun gilingan. Hasil perahan sabut tebu akan menghasilkan nira dan sisanya adalah ampas. Dalam stasiun gilingan ditambahkan air imbibisi yang berfungsi agar proses ekstraksi nira dari tebu berlangsung secara optimal sehingga dapat mengekstrak gula dari tebu sebanyak-banyaknya. Neraca bahan yang terdapat di stasiun gilingan dapat dilihat pada Tabel 8. Kinerja gilingan sangat mempengaruhi output yang dihasilkan proses penggilingan. Kendala yang sering terjadi di stasiun gilingan adalah mesin tidak beroperasi dikarenakan rusak sehingga mengakibatkan tebu mengalami penundaan penggilingan. Selain itu, dalam proses penggilingan seringkali nira mentah yang dihasilkan tercecer sehingga mengakibatkan loss. Produk samping yang dihasilkan dari proses penggilingan adalah ampas tebu (bagasse). Jumlah ampas tebu yang dihasilkan
29
pada musim giling tahun 2011 di PG Subang sebesar 31,81 % dari jumlah tebu yang digiling. Ampas tebu dimanfaatkan sebagai bahan bakar ketel uap (boiler). Tabel 8. Neraca bahan di stasiun gilingan tahun 2011 Data
Satuan
Input
Output
Tebu digiling
ton
343.646,88
Air imbibisi
ton
85.362,30
Ampas
ton
109.303,6
Nira mentah
ton
316.215,33
Loss
ton
3.490,25
Loss
%
1,01
Sumber : PG Subang (2011)
Berdasarkan Tabel 8, menunjukkan terjadinya loss sebesar 1,01 %, hal ini dipengaruhi oleh kinerja gilingan. Kinerja di stasiun gilingan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: mutu tebu, alat kerja pendahuluan, setelan gilingan, tekanan hidrolik, putaran rol gilingan, air imbibisi, umpan tebu saat masuk gilingan, dan operator. Mutu tebu yang layak giling adalah pol tebu > 10%, HK (Hasil bagi Kemurnian) nira mentah 74 - 84 %, kotoran tebu max 5%, dan kadar sabut 13 - 16 %. Alat kerja pendahuluan seperti cane cutter dan unigrator mempengaruhi kinerja gilingan yang diukur berdasarkan nilai Preparation Index (PI) dengan ketentuan nilai PI untuk cane cutter 65 - 70 %, unigrator 80 - 85 %, dan hammer 86 - 95 %, semakin tinggi PI maka sel yang terbuka semakin banyak dan akan diperoleh ekstraksi yang optimal. Setelan gilingan sangat mempengaruhi hasil ekstraksi. Penyetelan gilingan bertujuan untuk mengatur kedudukan rol-rol dan ampas sehingga pemadatan sabut optimal dan memberikan jalan untuk keluarnya nira yang telah terperah. Setelan gilingan yang memadai akan menghasilkan pemerahan yang optimal. Faktor yang mempengaruhi setelan gilingan diantaranya kapasitas giling, sabut % tebu, ukuran rol, jumlah rol, dan putaran rol (Subekti 2010). Tekanan hidrolik akan berpengaruh pada proses ekstraksi, dimana semakin besar tekanan maka semakin besar ektraksi. Namun besarnya tekanan hidrolik harus diperhitungkan dengan pemakaian dan kekuatan peralatan. Putaran rol gilingan dibuat sekecil mungkin agar memberi kesempatan pada nira melepaskan diri dari rol, sehingga pada waktu ampas masuk, rol sudah kering dan melepaskan nira dari rol dengan arah yang berlawanan dengan putarannya. Jika putarannya terlalu cepat, nira tidak ada kesempatan melepaskan diri dari rol, rol menjadi basah dan nira terhisap kembali oleh ampas. Jumlah imbibisi akan berpengaruh terhadap ekstraksi gilingan. Makin besar jumlah air imbibisi, ekstraksi makin meningkat. Menurut Hugot (1960), dengan penambahan imbibisi di PG Subang sebesar 24,84 %, maka ekstraksi yang dihasilkan sekitar 94,25 %. Umpan tebu yang masuk ke stasiun gilingan harus sesuai dengan bukaan kerja pada mesin gilingan serta harus kontinu sehingga dapat menghasilkan ekstraksi yang optimal. Selain itu, di stasiun gilingan juga dipengaruhi oleh operator yang menjadi kunci keberhasilan dalam ekstraksi gilingan. Operator harus mengikuti dan melaksanakan standar operasional yang telah ditetapkan sebelumnya (Subekti 2010).
30
Tabel 9. Kinerja di stasiun gilingan Parameter Pol tebu HK nira mentah Kotoran tebu
Satuan % % %
Tolok Ukur > 10 74 – 84 Maks 5
Realisasi 9,1 73,2 30
Sumber : Subekti (2010)
Berdasarkan Tabel 9, % pol tebu yang diperoleh PG Subang hanya sekitar 9,1 %, sedangkan berdasarkan tolok ukur dalam penentuan tebu yang layak giling, % pol tebu sebaiknya > 10 %. Hal ini menunjukkan banyaknya kandungan gula dalam tebu masih sedikit dan kurang layak untuk digiling, sehingga akan berdampak terhadap perolehan gula yang dihasilkan dan rendemen akan semakin kecil. Selain itu, untuk Hasil bagi Kemurnian (HK) nira mentah juga tidak memenuhi standar yaitu berkisar 74 - 84 %, sedangkan untuk realisasinya di PG Subang hanya 73,2 %. Kotoran tebu juga mempengaruhi kualitas dari tebu yang akan digiling, berdasarkan tolok ukur untuk tebu yang layak giling, besarnya kotoran tebu maksimal 5 % (0,05), sedangkan banyaknya kotoran pada tebu berdasarkan realisasi di PG Subang sebanyak 0,3 hal ini menunjukkan tebu yang akan digiling kurang bersih karena masih banyak mengandung kotoran di dalamnya. Semakin tinggi kotoran dalam tebu, maka semakin rendah kualitas nira yang akan dihasilkan, selain itu mesin dalam pengolahan tebu akan membutuhkan lebih banyak energi untuk memisahkan zat bukan gula dengan zat gula karena banyaknya zat bukan gula yang masih terkandung dalam nira. Tabel 10. Angka pengawasan di stasiun gilingan Parameter
Satuan
Tolok ukur
Realisasi
HPB1
%
> 60
57,61
HPBtotal
%
> 90
85,34
HPG
%
> 92
86,81
PSHK
%
96 – 98
95,71
KNT
%
> 80
77,84
Faktor campur
%
50
61,43
0,95 – 1,05
1,27
Dilution factor Sumber : Subekti (2010)
Dalam proses ekstraksi tebu terdapat beberapa istilah dalam pengawasan gilingan (Tabel 10) dalam mengevaluasi kinerja di stasiun gilingan, yaitu HPB1, HPBtotal, HPG, PSHK, KNT, faktor campur, dan dilution factor. Perhitungan untuk pengawasan gilingan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil pemerahan Brix Gilingan 1 (HPB1) menyatakan banyaknya brix nira yang terperah (terekstrak) di gilingan 1 per 100 brix tebu giling dengan angka standar HPB1 > 60 %. Berdasarkan perhitungan data PG Subang diperoleh HPB1 sebesar 57,61 %, hal ini menunjukkan hasil perahan brix nira pada gilingan 1 belum optimal karena tidak mencapai angka standar. HPBtotal adalah banyaknya brix nira mentah yang terekstrak tiap 100 brix dalam tebu giling dengan angka standar HPBtotal > 90 %. HPBtotal di PG Subang sebesar 85,34 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai karena pengaruh dari brix nira yang dihasilkan dari tiap gilingan. Brix nira menunjukkan banyaknya zat terlarut pada nira, yang terdiri dari zat gula dan bukan gula. Semakin tinggi HPB menunjukkan semakin banyak zat
31
terlarut pada nira yang diperoleh dari proses penggilingan, tidak tercapainya brix nira yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh kinerja pada proses gilingan yang kurang optimal, seperti: kinerja mesin, mutu tebu, sabut % tebu, dan lain-lain. Hasil Pemerahan Gula (HPG) menyatakan banyaknya pol nira mentah yang terekstrak tiap 100 pol dalam tebu giling, dengan angka standar HPG > 92 %. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada Lampiran 5, HPG yang diperoleh sebesar 86,81 %, hal ini menunjukkan banyaknya pol atau zat gula yang terekstrak lebih sedikit. Pol atau zat gula yang tidak terekstrak kemungkinan ikut terbawa dalam ampas tebu, pol ampas yang dihasilkan di PG Subang sebesar 2,66 %, sedangkan berdasarkan aturan standar pol ampas adalah ≤ 2 %. Semakin tinggi pol ampas menunjukkan semakin banyak zat gula yang terkandung dalam ampas, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya losses atau zat gula yang hilang pada proses gilingan. Perbandingan Selaras Hasil bagi Kemurnian (PSHK) menyatakan perbandingan adanya penurunan HK nira perahan pertama terhadap HK nira mentah dengan range standar untuk nilai PSHK adalah 96 - 98 %. PSHK yang diperoleh di PG Subang sebesar 95,71 %, hal ini menunjukkan target tidak tercapai, angka PSHK yang rendah atau < 96 % mengidentifikasikan terjadinya kerusakan gula akibat pengasaman oleh bakteri di stasiun gilingan. Kadar Nira Tebu (KNT) menunjukkan banyaknya nira dalam tebu yang berhasil diperah pada gilingan 1. Berdasarkan perhitungan KNT yang diperoleh di PG Subang adalah 77,84 %, hal ini menunjukkan tidak tercapainya standar KNT yaitu > 80 %. Banyaknya nira yang tidak berhasil diperah oleh unit gilingan menunjukkan adanya nira yang terkandung dalam ampas, sehingga terjadi inefisiensi di stasiun gilingan. Faktor Campur (FC) merupakan parameter untuk menilai cara pemberian imbibisi sudah tepat, merata dan tercampur dengan sempurna, dan nilai FC standar adalah sekitar 50. Faktor campur yang diperoleh di PG Subang adalah 61,43 %, hal ini menunjukkan bahwa cara pemberian imbibisi belum optimal. Dilution Factor merupakan angka yang digunakan untuk menilai jumlah air imbibisi yang diberikan di unit gilingan, standar dilution factor berkisar antara 0,95 - 1,05. Jika nilai dilution factor ≈ 1, menunjukan jumlah air imbibisi yang diberikan tepat. Nilai dilution factor < 0,95 menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu besar, sedangkan untuk nilai dilution factor > 1,05 menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan terlalu kecil. Nilai dilution factor di PG Subang diperoleh nilai 1,27, hal ini menunjukkan jumlah imbibisi yang diberikan di stasiun gilingan untuk proses pemerahan terlalu kecil.
b. Stasiun Pemurnian Aliran bahan di stasiun pemurnian PG Subang terjadi proses dimana nira mentah menghasilkan nira jernih (encer) dengan penambahan kapur tohor (CaO), gas belerang (SO2), dan flokulan. Proses pemurnian yang digunakan oleh PG Subang adalah dengan metode sulfitasi alkalis (Gambar 9). Pemurnian menggunakan sulfitasi alkalis dilakukan dengan pemberian larutan kapur hingga pH nira 10,5 kemudian ditambahkan gas SO2 hingga pH nira menjadi 7,0 - 7,3 (Halim 1973). Pada proses sulfitasi alkalis menggunakan gas sulfit (SO2) atau gas belerang dengan menghembuskan gas tersebut ke cairan nira dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam tangki akan mengalami overflow. Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 200 oC. Setelah dilakukan proses sulfitasi alkalis, nira mentah dilakukan pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan nira dari kotorannya sehingga dihasilkan nira jernih dan blotong.
32
Gambar 9. Pemurnian nira proses sulfitasi alkalis Produk samping yang dihasilkan berupa blotong dan nira tapis (filtrat) yang masih mengandung sukrosa. Nira tapis akan diproses kembali untuk didaur ulang di dalam bak tunggu kemudian dialirkan ke proses pemanasan pada stasiun pemurnian. Pengeluaran zat bukan gula secara optimal terjadi apabila pH nira mentah antara 7,3 - 7,8 dan pH nira encer dipertahankan antara 7,0 – 7,4. Namun jika pH nira encer lebih dari 7,4 akan memberi dampak negatif karena terjadi perpecahan zat gula yang mereduksi semakin besar sehingga nira encer berubah warna menjadi hitam (reaksi browning), selain itu timbul asam organik yang mengikat kapur sehingga kandungan kapur meningkat. Kandungan kapur yang tinggi dalam nira encer mengakibatkan timbulnya inkrustasi pada evaporator dan pan masakan (kristalisasi) yang dapat menghambat perpindahan panas sehingga konsumsi uap meningkat. Kandungan kapur yang tinggi juga dapat mempersulit proses kristalisasi serta meningkatkan pembentukan molasses, hal ini mengakibatkan semakin banyak kandungan sukrosa yang terbawa pada molasses. Dengan demikian, penentuan kandungan kapur dalam nira encer merupakan analisa yang sangat penting dalam rangka pengawasan produksi gula. Adapun neraca bahan di stasiun pemurnian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Neraca bahan di stasiun pemurnian tahun 2011 Data
Satuan
Input
Output
Nira mentah
ton
316.215,33
Kapur tohor
ton
464,08
Flokulan
ton
1.816
Belerang
ton
101.887
Blotong
ton
11.164,5
Nira encer
ton
304.814,80
Loss
ton
2.516,11
Loss
%
0,79
Sumber : PG Subang (2011)
Hasil samping dari proses pemurnian adalah blotong dan filtrat. Blotong yang dihasilkan adalah 3,5 % dari tebu yang digiling, sedangkan di PG Subang blotong yang dihasilkan sebesar 3,25 % dari tebu yang digiling. Jumlah blotong ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proses penyaringan yang dilakukan pada alat door clarifier dan pada RVF serta nira jernih yang dihasilkan
33
dari proses pemurnian. Output dalam proses pemurnian sangat dipengaruhi oleh besarnya jumlah kadar sukrosa (pol) dan kecilnya kerusakan kadar sukrosa yang dihasilkan. Komponen yang terpenting pada stasiun pemurnian adalah pH, suhu, dan waktu. Apabila komponen tersebut berjalan dengan stabil maka proses pemurnian akan lancar, hal ini pula yang akan mempengaruhi output yang akan dihasilkan seperti nira encer, blotong, dan loss yang dihasilkan. Losses yang dihasilkan dari stasiun pemurnian sebesar 0,79 % dari nira mentah yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu pengawasan yang tepat terhadap pH, suhu, dan waktu pada stasiun pemurnian agar berjalan secara optimal. Tabel 12. Angka pengawasan di stasiun pemurnian Parameter
Tolok ukur
Realisasi
<2
2,42
Belerang
< 0,05 ton/100 ton tebu
0,028 ton/100 ton tebu
Kapur tohor
< 0,16 ton/100 ton tebu
0,14 ton/ 100 ton tebu
3 - 4 ppm
5 ppm
Pol blotong (%)
Flokulan Sumber : Soebekti (2001)
Pengawasan pada stasiun pemurnian (Tabel 12) diantaranya: % pol blotong < 2 %, belerang < 0,05 ton/100 ton tebu, kapur < 0,16 ton/100 ton tebu, dan flokulan 3 - 4 ppm terhadap tebu. Berdasarkan data PG Subang, % pol blotong sebesar 2,42 %, hal ini menunjukkan banyaknya zat gula yang ikut terbawa pada blotong sehingga terjadi losses. Pemakaian kapur di PG Subang sudah tepat yaitu 0,14 ton/100 ton tebu, fungsi penggunaan kapur tohor adalah untuk pemurnian nira mentah, penetral asam, serta sebagai desinfektan agar mikroorganisme yang terdapat dalam nira dapat mati. Belerang yang ditambahkan di PG Subang adalah 0,028 ton/100 ton tebu, hal ini sudah sesuai dengan aturan standar. Fungsi penambahan belerang adalah untuk reaksi pembakaran yang menghasilkan gas SO2 untuk proses sulfitasi, selain itu belerang juga berfungsi untuk menetralisir kelebihan susu kapur dan menyerap atau menghilangkan zat warna pada nira. Penggunaan flokulan di PG Subang adalah 5 ppm terhadap tebu, hal ini kurang sesuai dengan standar. Fungsi penambahan flokulan adalah untuk mempercepat proses pengendapan kotoran dalam clarifier sehingga proses pengendapan berlangsung lebih cepat dan untuk meningkatkan densitas nira kotor sehingga akan lebih mudah untuk disaring.
c. Stasiun Penguapan Proses yang terjadi di stasiun penguapan adalah nira encer menghasilkan nira kental dengan menggunakan uap bekas, dari proses penguapan menghasilkan air kondensat yang dipergunakan kembali sebagai air umpan boiler. Neraca bahan di stasiun penguapan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Neraca bahan di stasiun penguapan tahun 2011 Data Nira encer Nira kental Air diuapkan Loss
Satuan ton ton ton ton
Input 304.814.80
Output 68.191.36 236.623.44 -
Sumber : PG Subang (2011)
34
Berdasarkan data PG Subang tahun 2011, % brix nira encer yang akan dipekatkan dalam evaporator sebesar 12,10 %, namun % brix nira kental yang dihasilkan hanya sebesar 52,88 %. Hal ini menunjukkan tidak tercapainya brix nira kental yang dihasilkan dari aturan standar yaitu sebesar 60-64 % brix. Kendala yang sering terjadi di stasiun penguapan adalah nira kental yang dihasilkan tidak mencapai brix yang optimal sehingga nira yang terbentuk masih belum mengental. Upaya yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menyediakan sarana untuk mendaur-ulang nira kental agar dapat diuapkan kembali, sehingga pengontrolan kondisi badan evaporator dan kinerja mesin evaporator dapat bekerja dengan baik. Selain itu dipengaruhi oleh kondisi evaporator yang seharusnya dalam kondisi vakum, kondisi badan evaporator yang kurang vakum biasanya disebabkan aliran air injeksi pada kondensor berjalan cepat sehingga terjadi penurunan tekanan pada aliran setelah diinjeksikan dan uap hasil penguapan secara langsung akan bergerak dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah atau mengalami peristiwa difusi. Oleh karena itu, apabila kondisi vakum pada badan evaporator tidak berjalan secara optimal, maka air yang diinjeksikan perlu ditambah dengan aliran yang optimum. Kurangnya jumlah steam disebabkan oleh banyaknya pipa sebagai pelapis badan evaporator terbuka sehingga aliran uap akan kontak dengan udara luar dan melakukan pindah panas secara konveksi. Selain itu, luas permukaan pipa kontak pada badan evaporator perlu diperluas untuk lebih meningkatkan kontak nira dengan pipa sehingga pindah panas akan berlangsung dengan baik. Mekanisme pindah panas badan mesin evaporator yang kurang efisien disebabkan kurangnya jumlah steam dan banyaknya kerak yang menempel pada pipa uap akibat dari penguraian gula pereduksi yang berubah menjadi asam organik. Kerak yang menempel pada pipa uap dapat dikurangi apabila proses pada stasiun pemurnian dapat dioptimalkan terutama pada pembentukan inti endapan.
d. Stasiun Kristalisasi dan Sentrifugasi Pada stasiun masakan (kristalisasi) terjadi proses dimana nira kental yang dikristalkan, kemudian didinginkan, dan disentrifugasi dapat menghasilkan gula SHS, tetes, stroop dan klare yang diolah kembali menjadi gula dan bibit untuk masakan. Neraca bahan pada stasiun masakan dan putaran dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Neraca bahan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi tahun 2011 Data
Satuan
Input
Output
Nira kental
ton
68.191,36
Tetes
ton
16.887
Gula SHS
ton
22.835,14
Uap nira
ton
18.649,58
Air jatuhan
ton
4.091,48
Loss
ton
5.728,16
Sumber : PG Subang (2011)
Pada stasiun kristalisasi terdapat beberapa alternatif proses kristalisasi. Alternatif model proses kristalisasi yang diterapkan di PG Subang adalah model A-C-D, karena lebih mengutamakan kualitas gula dan nilai hasil kemurnian (HK) nira kental sebesar 82 - 84 %. Kandungan gula dalam molasses yang sangat kecil menyebabkan molasses tidak bisa diolah kembali dalam proses, tetapi molasses
35
dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alkohol atau spirtus, pembuatan MSG dan produk olahan lainnya. Setelah melalui proses penggilingan, proses pemurnian, proses penguapan, proses pemasakan, proses pengkristalan, dan proses pemutaran, gula kemudian dikemas dalam kemasan 50 kg dan kemasan kecil 1 kg. Setelah dikemas, gula siap untuk dipasarkan. SNI untuk gula kristal putih (GKP) atau gula SHS dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. SNI 01-3140-2001 untuk Gula Kristal Putih Kriteria Uji Warna kristal Warna larutan (ICUMSA) Berat jenis butir Susut pengeringan Polarisasi (oZ 20 oC) Gula pereduksi Abu Bahan asing tidak larut Belerang dioksida (SO2) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Arsen (As)
Satuan % IU mm % b/b “Z” % b/b % b/b derajat mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
GKP 1 min 90 maks 250 0,8 – 1,2 maks 0,1 min 99,6 maks 0,10 maks 0,10 maks 5 maks 30 maks 2 maks 2 maks 1
Pada stasiun kristalisasi, besarnya loss yang dihasilkan sebesar 8,4 %, losses yang hilang bisa diketahui dari perbandingan nilai HK (Hasil bagi Kemurnian), % brix, dan % pol. Pengawasan dalam stasiun kristalisasi diantaranya: HK masakan D 59 – 60, HK tetes ≤ 32, HK masakan C 71-72, dan HK klare SHS maksimal 90. Hasil bagi Kemurnian (HK) menyatakan perbandingan banyaknya pol (zat gula) dalam 100 bagian brix. HK masakan D di PG Subang adalah 56,36 hal ini menunjukkan rendahnya pol (zat gula) dalam brix. HK tetes di PG Subang sebesar 30,63, hal ini sudah sesuai dengan aturan standar karena semakin rendah HK tetes maka semakin rendah zat gula yang ikut terbawa pada tetes. HK masakan C di PG Subang adalah 69,55, hal ini menunjukkan rendahnya zat gula yang terdapat dalam brix masakan C. HK klare SHS di PG Subang sebesar 93,59, hal ini menunjukkan semakin banyak zat gula dalam cairan nira yang belum terkristalkan dan melebihi aturan standar yang seharusnya yaitu maksimal 90.
2. Penggunaan Energi pada Proses Produksi Gula Pada proses produksi gula, energi digunakan untuk menggerakkan seluruh mesin produksi. Kegiatan produksi ini membutuhkan energi dalam jumlah yang besar, besarnya kebutuhan energi pada produksi gula dipengaruhi oleh jumlah mesin produksi yang harus bekerja, jumlah kapasitas produksi, dan jangka waktu proses produksi. Energi yang digunakan pada proses produksi dihasilkan dari bahan bakar, uap, dan listrik. Energi uap yang dihasilkan berasal dari proses pembakaran ampas tebu dari proses gilingan. Jika jumlah ampas tebu yang dihasilkan kurang, maka diperlukan bahan bakar tambahan untuk mencukupi kebutuhan proses pembakaran seperti penggunaan IDO (Industrial Diesel Oil), kayu bakar, dan solar. Namun hal ini dapat menurunkan efisiensi karena dengan pemakaian bahan bakar tambahan tersebut dapat meningkatkan biaya produksi dan dapat menurunkan produksi gula karena kebutuhan uap untuk pabrikasi tidak tercukupi disebabkan exhaust steam tidak tercapai sehingga pabrik berhenti giling.
36
Kualitas kerja mesin-mesin produksi di PG Subang saat ini, mulai tidak optimal. Hal ini dikarenakan usia dari mesin-mesin produksi sudah cukup tua. Perbaikan dan penggantian mesinmesin produksi selalu dilakukan di setiap akhir musim giling, akan tetapi tidak dapat dilakukan secara optimal. Kondisi ini menyebabkan energi yang digunakan untuk proses produksi semakin besar, sehingga memberikan dampak yang kurang baik bagi industri gula. Banyaknya energi yang terbuang akibat kebocoran dan kerusakan yang terjadi pada mesin-mesin produksi akan mempengaruhi kualitas kerja mesin-mesin produksi dan menyebabkan waktu yang digunakan cukup lama, sehingga memberikan peluang yang cukup besar terhadap pemborosan energi. Salah satu langkah untuk meningkatkan efisiensi energi yaitu dengan dilakukan konservasi energi, yaitu dengan melakukan penghematan atau pengurangan pemakaian energi tanpa mengurangi produktivitas produksi karena efisiensi penggunaan energi dapat mempengaruhi daya saing dan harga jual di pasaran.
a. Bahan Bakar Dalam industri gula, bahan bakar merupakan kebutuhan primer dari suatu industri yang berfungsi sebagai sumber tenaga utama penggerak proses produksi. Pada proses produksi gula, bahan bakar yang digunakan untuk menghasilkan uap di stasiun boiler adalah ampas tebu. Pada umumnya ampas tebu tidak mampu mencukupi kebutuhan pembakaran, maka harus disediakan bahan bakar dalam bentuk lain dalam jumlah yang cukup untuk menghindari terhentinya penggilingan karena kekurangan bahan bakar. Pada PG Subang bahan bakar tambahan yang digunakan adalah IDO. Penggunaan bahan bakar pada produksi gula dipengaruhi oleh proses yang terjadi di stasiun gilingan, antara lain ampas tebu yang dihasilkan, penambahan air imbibisi, serta tingkat pemerahan nira. Penambahan air imbibisi pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan rendemen gula yang dihasilkan, semakin banyak air imbibisi yang ditambahkan, maka semakin banyak pula zat gula (sukrosa) yang terlarut dalam nira hasil perahan tebu. Namun dengan peningkatan jumlah air imbibisi mengakibatkan peningkatan kadar air ampas yang dihasilkan, hal ini disebabkan sabut pada tebu bersifat absorbent yang mudah menyerap cairan, sehingga semakin banyak sabut maka kemampuan ampas menyerap cairan akan semakin besar sehingga kadar air ampas meningkat. Kadar air ampas yang tinggi dapat mempengaruhi nilai pembakaran ampas untuk boiler. Kadar air ampas yang tinggi menyebabkan nilai pembakaran ampas menjadi rendah karena ampas menjadi sulit terbakar. Hal ini dapat menyebabkan kurang sempurnanya pembakaran ampas pada boiler sehingga dapat terjadi berhenti giling akibat pasokan uap dari boiler berkurang. Untuk mengantisipasi terjadinya berhenti giling maka diperlukan bahan bakar tambahan seperti IDO sebagai pengganti ampas tebu dan sebagai bahan bakar tambahan untuk meningkatkan energi pembakaran pada boiler. Penggunaan IDO sebagai bahan bakar dapat meningkatkan biaya produksi, karena biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk IDO lebih besar daripada biaya bahan bakar ampas tebu, oleh karena itu penggunaan IDO harus dilakukan seoptimal mungkin. Efisiensi energi bahan bakar dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada boiler. Proses pembakaran ampas tebu di stasiun boiler dipengaruhi oleh nilai kalori ampas, jumlah ampas, kadar air ampas, dan pol ampas. Kandungan kalori ampas tebu sangat mempengaruhi kinerja dari boiler, apabila kalori ampas tebu rendah maka kinerja boiler akan menurun. Nilai kalori ampas dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kadar air dan kandungan pol ampas. Untuk meningkatkan kalori ampas tebu, maka perlu dilakukan optimalisasi kinerja gilingan dan penambahan air imbibisi yang dapat mempengaruhi kadar air dan kandungan pol ampas, sehingga nilai kalor ampas meningkat. Penggunaan bahan bakar tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 16.
37
Tabel 16. Penggunaan bahan bakar pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011 Data Ampas yang dibakar IDO Gula SHS Tebu Solar Energi dari ampas tebu Energi dari IDO Energi dari solar
Satuan ton Liter ton ton Liter Kkal Kkal Kkal
Sumber : Data PG Subang (2011) Catatan : Nilai kalor ampas tebu sempurna Nilai kalor ampas tebu (real) Nilai kalor IDO Nilai kalor solar
RKAP 140.000 400.000 34.994 424.845 100.000 2,83 x 1011 3,71 x 109 9,06 x 108
Realisasi 101.273 174.258 22.990,5 343.646,88 84.820 1,94 x 1011 1,62 x 109 7,68 x 108
Persentase (%) 72,34 43,56 65,7 80,89 84,82 68,55 43,67 84,77
= 2.018 Kkal/kg ampas = 1.777 Kkal/kg ampas = 9.270 Kkal/Liter = 9.063 Kkal/Liter
Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa pemakaian ampas tebu untuk bahan bakar boiler berdasarkan RKAP musim giling tahun 2011 memiliki nilai energi sebesar 2,83 x 1011 Kkal sedangkan realisasinya yaitu sebesar 1,94 x 10 11 Kkal atau 68,55 % dari target. Penggunaan IDO pada musim giling tahun 2011 dianggarkan sebanyak 400.000 Liter, namun pada realisasinya tidak mencapai anggaran IDO yang telah ditentukan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya efisiensi penggunaan energi dari IDO, yaitu dari 3,71 x 109 Kkal menjadi 1,62 x 10 9 Kkal atau 43,67 % dari target. Optimalisasi kinerja gilingan dapat dilakukan dengan mengatur kembali setelan gilingan, yaitu dengan mengatur putaran dan tekanan gilingan sehingga dapat meningkatkan kemampuan perahan, hal ini dapat mengakibatkan kadar air dan gula dalam ampas tebu dapat menurun dan nira yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Optimalisasi gilingan dapat mempengaruhi penggunaan ampas sebagai bahan bakar, hal ini disebabkan ampas yang dihasilkan memiliki kadar air yang lebih rendah sehingga lebih mudah terbakar dan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar tambahan seperti IDO. Selain itu, pol ampas juga akan menjadi lebih rendah, sehingga jumlah gula yang terbuang dalam ampas tebu dapat menurun. Selain itu, diperlukan optimalisasi pada mesin dan peralatan saat maintenance dengan memodifikasi atau pergantian mesin dan peralatan.
b. Listrik Kebutuhan energi listrik di PG Subang tidak tergantung dari PLN, karena PG Subang mampu memenuhi kebutuhan listrik sendiri dari dua buah turbin alternator yang proses kerjanya menggunakan turbin uap. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk mendukung proses produksi gula di pabrik seperti menggerakkan motor-motor listrik pada mesin dan penerangan. Pemakaian energi listrik sangat erat kaitannya dengan kinerja pabrik gula atau rendemen. Semakin rendah pemakaian energi listrik maka semakin tinggi pula kinerja pabrik gula. Dalam menggunakan teknologi konvensional, untuk memproduksi 1 kWh energi listrik diperlukan 10 kg ampas, tetapi dengan teknologi modern hanya dibutuhkan 2 kg ampas (Lamonica et al. 2005). Energi listrik yang dihasilkan berdasakan RKAP sebesar 5,48 x 1012 Kkal, sedangkan realisasinya sebesar 5,6 x 1012 Kkal atau 97,86 % dari target. Penggunaan listrik di tiap stasiun berbeda, tergantung dari spesifikasi mesin, jumlah mesin, efisiensi mesin, dan lama waktu operasi mesin. Penghematan penggunaan listrik dapat dilakukan dengan optimalisasi penggunaan peralatan, yaitu dengan mengaktifkan alat pada kapasitas optimalnya dan menon-aktifkan alat ketika alat sedang
38
tidak digunakan. Selain itu, optimalisasi ketika maintenance dengan melakukan perawatan, perbaikan, modifikasi atau pergantian mesin dan peralatan. Data penggunaan listrik di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Data penggunaan listrik pada proses produksi gula di PG Subang tahun 2011 Data
Satuan
RKAP
Realisasi
Efisiensi listrik
%
15
18,94
Tebu yang digiling
ton
424.845
343.646,88
Konsumsi energi listrik
kWh
6.372.675
6.508.040
Sumber : Data PG Subang (2011)
c. Uap Uap merupakan sumber tenaga utama di PG Subang. Penggunaan uap sebagai sumber tenaga memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: (1) uap dihasilkan dari air yang murah dan mudah didapat, (2) uap tidak berbau, (3) uap sangat mudah disalurkan dan diatur, (4) uap memiliki nilai panas yang tinggi, dan (5) panas dari uap dapat dimanfaatkan berulang-ulang. Tenaga uap di PG Subang dihasilkan dari boiler untuk memutar turbin kemudian disambungkan ke generator yang akan menghasilkan gaya gerak listrik. PG Subang memiliki dua buah generator yang menggunakan turbin uap, yaitu TG1 dan TG 2. Uap baru yang dihasilkan (life steam) kemudian didistribusikan ke power house, stasiun gilingan, dan stasiun boiler. Life steam yang digunakan kemudian menghasilkan uap bekas (exhaust steam) yang digunakan untuk pabrikasi yaitu ke juice heater, evaporator, dan pan masakan. Uap hasil pemakaian di pabrikasi kemudian dimasukkan ke dalam kondensat menjadi air kondensat yang kemudian dikembalikan ke stasiun boiler sebagai air pengisi ketel. Konsumsi uap pada musim giling tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 18 dibandingkan dengan data perencanaan konsumsi uap tahun 2011 (RKAP 2011).
Tabel 18. Penggunaan uap di PG Subang tahun 2011 Data
Satuan
RKAP
Realisasi
Produksi uap
ton
191.180
202.547,8
Tebu yang digiling
ton
424.845
343.646,88
Waktu giling
hari
143
Efisiensi uap
%
45
134 58,94
Sumber : Data PG Subang (2011)
Berdasarkan Tabel 18, efisiensi uap berdasarkan tebu yang digiling pada RKAP 2011 per hari adalah 45 %, sedangkan realisasinya adalah 58,94 %. atau 76,35 % dari target. Perbedaan nilai efisiensi uap dipengaruhi oleh adanya perbedaan jumlah tebu tergiling, lama giling, dan kadar air yang terkandung dalam ampas tebu. Semakin banyak jumlah tebu tergiling, maka mesin produksi semakin besar mengonsumsi uap karena proses produksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga yang besar. Jumlah pemakaian air imbibisi juga mempengaruhi penggunaan uap karena uap juga digunakan secara langsung pada proses produksi di stasiun penguapan. Semakin besar jumlah air
39
imbibisi yang ditambahkan di stasiun gilingan maka semakin besar pula jumlah air yang harus diuapkan di stasiun penguapan. Efisiensi penggunaan uap dapat mempengaruhi mutu serta jumlah produk gula SHS yang dihasilkan. Peningkatan efisiensi penggunaan uap dapat dilakukan dengan cara peningkatan kinerja boiler, yaitu dengan pembenahan atau penggantian saluran yang bocor pada sistem uap, penggunaan kontrol otomatis untuk memastikan uap hanya digunakan ketika dibutuhkan. Selain itu, pembenahan pada turbin juga perlu dilakukan dengan pengujian kinerja dan pembersihan turbin secara teratur untuk meningkatkan efisiensi.
C. ANALISIS DAMPAK Analisis dampak dilakukan untuk mengetahui kemungkinan dampak lingkungan yang terjadi pada setiap tahapan dalam siklus hidup gula. Dampak terhadap lingkungan dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan alam untuk mendukung kelangsungan hidup manusia. Dampak lingkungan yang timbul dapat berupa dampak tidak langsung dan dampak langsung. Dampak tidak langsung ini umumnya berhubungan dengan masalah sosial masyarakat seperti urbanisasi, perilaku, kriminalitas, dan sosial budaya. Dampak langsung yang dapat timbul akibat kegiatan industri diantaranya pencemaran udara, pencemaran air, dan pencemaran daratan atau tanah. Pencemaran tersebut perlu dihindari untuk menjaga kelestarian lingkungan. PG Subang merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian (agroindustri) menjadi produk jadi berupa gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih). Proses produksi gula tidak terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by-product) yang dihasilkan selama proses berjalan. Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik. Hal ini terkait dengan bahan baku, bahan tambahan, dan bahan bakar yang digunakan adalah bahan-bahan organik. Limbah yang dihasilkan di PG Subang terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Diagram alur limbah di PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 6.
1. Limbah Padat Limbah padat pada PG Subang pada dasarnya terdiri atas limbah padat yang dapat dimanfaatkan kembali secara langsung atau tidak langsung (by-product) dan limbah padat yang tidak dapat dimanfaatkan kembali (dibuang). Limbah padat dihasilkan di pabrik gula karena bahan baku yang digunakan adalah tebu dimana tebu merupakan tanaman yang kaya serat dan serabut, sedangkan yang dibutuhkan pabrik gula adalah nira, sehingga akan terdapat limbah padat dari tebu yang digunakan. Limbah padat yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Subang ini adalah ampas tebu (bagasse), blotong, abu ketel, dan limbah domestik (gabungan). Dalam upaya pengelolaan limbah padat, PG Subang telah mengoptimalkan kinerja pengelolaan limbah padat, yaitu melakukan pencatatan berupa log book mengenai jumlah limbah padat yang dihasilkan dan yang dimanfaatkan, selanjutnya menyampaikan secara berkala ke KLH dan BPLHD. Selain itu, upaya yang telah dilakukan PG Subang adalah menyediakan truk pengangkut blotong dan abu ketel untuk dibuang ke tempat khusus di kebun untuk proses pengeringan yang selanjutnya digunakan untuk pupuk tanaman tebu serta memanfaatkan blotong dan abu ketel sebagai pupuk
40
organik atau kompos untuk tanaman tebu sendiri. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Data kuantitatif limbah padat dan pemanfaatannya di PG Subang tahun 2011 Jenis limbah
Jumlah (ton)
Ampas tebu (bagasse)
109.303,6
Blotong
Bahan bakar boiler
11.164,5
Abu ketel
Pemanfaatan
Pupuk organik
7.444,99
Pupuk organik
Sumber : Data PG Subang (2011)
a. Ampas tebu (bagasse) Ampas yang dihasilkan dari stasiun gilingan langsung dikirim ke stasiun boiler untuk digunakan sebagai umpan pembakaran, sedangkan untuk ampas yang berlebih dan belum termanfaatkan sebagai umpan boiler disalurkan ke gudang ampas yang terletak di belakang stasiun boiler. Hampir seluruh ampas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler, karena PG Subang menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler. Ampas yang tersedia di gudang ampas sangat banyak sekali sampai melebihi kapasitas penyimpanan gudang ampas sehingga banyak ampas yang diletakkan di luar gudang penyimpanan. Kelebihan ampas tersebut diletakkan di ruangan terbuka, hal ini mengakibatkan banyak serbuk ampas yang beterbangan di sekitar gudang ampas yang dapat mengganggu penglihatan dan kesehatan orang yang berada di sekitar gudang ampas tersebut. Partikel serbuk ampas tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan apabila tidak ditangani dengan benar. Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel berukuran 3 - 5 mikron akan tertahan pada saluran pernafasan bagian tengah, partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron akan masuk ke dalam kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli, partikel lebih kecil lagi yaitu kurang dari 1 mikron akan ikut keluar saat nafas dihembuskan. Pneumokoniosis adalah penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh adanya partikel yang masuk atau mengendap ke dalam paru-paru. Penyakit pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru (Wardhana 1994). Komposisi ampas tebu dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 . Komposisi bagasse Analisis
Kandungan (%)
Karbon (C)
47
Hidrogen (H)
6,5
Oksigen
44
Ash (Abu)
2,5
Sumber: Anonim (2008)
41
Selain itu, terjadinya losses pada stasiun gilingan dapat disebabkan karena adanya kandungan gula (pol) yang ikut terbawa dalam ampas. Adanya kandungan gula pada ampas dapat menimbulkan karamel pada dinding-dinding pipa pada stasiun boiler sehingga heat transfer menjadi turun dan pembakaran di boiler menjadi terhambat, sehingga diperlukan energi panas yang lebih besar. Kualitas ampas sebagai bahan bakar boiler dipengaruhi oleh nilai kalorinya, semakin tinggi kualitas ampas berarti semakin tinggi nilai kalorinya. Kualitas ampas dipengaruhi pula oleh kadar air ampas, dengan meningkatkan efisiensi gilingan, diharapkan kadar air ampas keluar gilingan akhir lebih kecil dari 50 % dan kadar gula (pol) 2,5 % (Saechu 2009). Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot 1986); Net Calorific Value/NCV = 4250 - 48 w – 10 pol, dimana w menunjukkan kadar air ampas, dari perhitungan tersebut menunjukkan bahwa nilai kalor dipengaruhi oleh kadar air dan pol ampas, semakin rendah pol dan kadar air yang terkandung dalam ampas, maka nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi. Nilai kalor ampas di PG Subang masih rendah yaitu 1.777 Kkal, hal ini disebabkan oleh kadar air dan kandungan gula pada ampas yang masih tinggi yaitu kadar air sebesar 52,08 % dan pol ampas sebesar 2,66 %. Oleh karena itu, untuk menghasilkan nilai kalor yang tinggi, diusahakan kadar air ampas < 50 % dan pol ampas < 2 %, dengan begitu nilai kalor yang dihasilkan akan mengalami peningkatan sebesar 2,9 % yaitu menjadi 1.830 Kkal. Untuk mendapatkan nilai kalor dengan pembakaran sempurna yaitu 2.018 Kkal dengan pol ampas sebesar 2 %, maka kadar air yang terkandung dalam ampas sebesar 46,92 % atau penurunan kadar air sebesar 9,9 %. Untuk optimasi kualitas ampas dapat ditempuh dengan menurunkan kadar air ampas melalui penerapan teknologi pengeringan, yaitu dengan memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong boiler yang masih memiliki suhu hingga di atas 225 oC. Dengan penurunan kadar air ampas dari 50 % menjadi 40 % maka nilai bakar per kg ampas akan dapat meningkat hingga 2.305 Kkal atau nilai bakar per kg ampas relatif akan meningkat hingga 6 %, sehingga untuk bahan bakar boiler di pabrik gula akan dapat meningkatkan produksi uap hingga 10 %. Penerapan teknologi pengeringan ampas tersebut telah banyak diandalkan oleh banyak pabrik gula di luar negeri (Maranhao 1980; Abilio dan Faul 1987). Untuk optimasi pemanfaatan energi ampas di pabrik gula juga tidak terlepas dari faktor kehilangan panas akibat radiasi, kondensasi, kebocoran pada pipa distribusi uap dan bejana proses, isolasi, pengerakan, dan korosi yang kurang sempurna. Kerugian panas akibat dari hal-hal tersebut dapat mencapai 5 % dan pada kondisi terburuk dapat mencapai hingga 12 % dari produksi uap. Melalui penanganan yang optimal, kehilangan tersebut dapat ditekan hingga kondisi normal 1 %, keadaan tersebut antara lain dapat ditandai oleh dinginnya udara dalam pabrik sehingga para operator dapat bekerja dengan nyaman dan tidak gerah (Saechu 2009).
b. Blotong Sifat fisis blotong berupa padatan halus yang menyerupai tanah, berwarna hitam, namun lebih ringan. Blotong yang dihasilkan PG Subang sekitar 3,5 ton/jam (3% tebu). Blotong yang dihasilkan PG Subang ini ditampung di tempat khusus pembuangan kemudian diangkut menggunakan truk khusus pengangkut blotong untuk disimpan di tempat penyimpanan blotong. Blotong di PG Subang dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pupuk organik sebagai campuran pupuk kompos, dan sebagai pupuk alami yang langsung dimanfaatkan untuk tanaman tebu di kebun dan disebar ke lahan tebu secara menyeluruh. Kandungan logam pada blotong dapat dilihat pada Tabel 21.
42
Tabel 21. Kandungan logam pada blotong Analisis
Kandungan (%)
Kalium (K2O)
0,485
Natrium (Na2O)
0,082
Kalsium (Ca)
5,785
Magnesium (Mg)
0,419
Besi (Fe)
0,191
Mangan (Mn)
0,115
Sumber: Anonim (2009)
Blotong termasuk limbah organik yang pada umumnya dapat membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme. Untuk limbah seperti ini tidak dianjurkan untuk dibuang ke lingkungan karena dapat meningkatkan populasi mikroorganisme di dalam badan air sehingga akan mengakibatkan berkembangnya bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia. Oleh karena itu, pemanfaatan blotong untuk dijadikan kompos sangat baik untuk dilakukan karena dengan melakukan pembuatan kompos berarti mendaur ulang limbah organik yang tentu saja akan berdampak positif bagi lingkungan.
c. Abu ketel Abu ketel merupakan ampas tebu yang tidak terbakar sempurna dan ikut terbawa bersama asap cerobong. Untuk mencegah agar abu terbawa oleh asap boiler maka dipasang sebuah wet dust collector, yaitu dengan mengalirkan air sehingga abu terbawa keluar menuju tempat penampungan. Ada dua macam abu ketel yang dihasilkan pada pembakaran boiler yaitu abu halus yang mengendap turun ke bawah cerobong boiler karena terbawa air hasil semprotan wet dust collector dan abu kasar yang tersisa di bawah boiler hasil pembakaran ampas. Abu halus dari cerobong yang terbawa air ini dibawa keluar menuju tempat penampungan dan dipisahkan antara air yang berwarna hitam dan abu. Air hitam bekas abu disalurkan ke bak kontrol dan saluran irigasi untuk diteruskan ke IPAL, sedangkan gumpalan abu dimanfaatkan untuk campuran pembuatan pupuk yang berfungsi sebagai pelepas unsur fosfor ke tanah. Berbeda dengan abu halus, abu kasar disebar langsung ke lahan perkebunan atau dibuang ke jalan-jalan kebun bahkan dimanfaatkan untuk urugan jalan, serta digunakan untuk campuran bahan pupuk organik atau pupuk kompos dari blotong. Dalam penanganan limbah abu ketel hampir sama dengan penanganan limbah blotong karena termasuk limbah bahan organik yang dapat diolah menjadi bahan campuran pupuk atau pembuatan kompos. Hal ini dapat mengakibatkan dampak postitif bagi lingkungan, selain itu dapat mengurangi biaya produksi dalam proses budi daya tebu.
d. Limbah domestik (gabungan) Limbah padat domestik merupakan limbah yang berasal dari kegiatan rumah tangga perusahaan dan produksi di pabrik. Limbah domestik ini berupa kertas, plastik, karung, bahan organik, logam, dan lain-lain. Penanganan limbah padat domestik di PG Subang ini dilakukan dengan sederhana yaitu dilakukan pengumpulan dan ditampung untuk dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan akhir. Logam dan sejenisnya ditangani dengan cara pengumpulan dan penampungan di gudang. Hal ini tidak akan berdampak negatif terhadap lingkungan apabila dilakukan penanganan
43
dengan baik dan dibuang pada tempatnya, jika tidak dilakukan maka dapat menyebabkan lingkungan di sekitar pabrik menjadi kotor atau berdampak pada sanitasi lingkungan, apabila di lakukan terusmenerus dan menumpuk akan mempengaruhi proses produksi karena dapat timbul berbagai mikroorganisme maupun bakteri lain yang dapat menghambat proses produksi gula.
2. Limbah Cair Limbah cair merupakan limbah yang dihasilkan dari proses produksi dalam bentuk cairan. Limbah cair di PG Subang dihasilkan secara langsung dari kegiatan produksi atau tidak berhubungan langsung seperti limbah domestik. Limbah cair ini merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan, hal ini disebabkan karena hampir seluruh tahapan proses produksi membutuhkan air untuk pencucian mesin atau peralatan produksi. Beberapa stasiun produksi gula membutuhkan air sebagai bahan tambahan dalam proses produksi, sehingga menghasilkan air sisa atau air buangan dan menjadi limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan pada proses produksi gula di PG Subang ini berupa tetes (molasses), air buangan pabrik (limbah proses), air limbah abu ketel, air jatuhan (limbah kondensor), dan air limbah domestik (gabungan).
a. Tetes (molasses) Tetes (molasses) merupakan salah satu limbah produksi gula yang dihasilkan dari proses kristalisasi. Tetes yang dihasilkan di stasiun kristalisasi ini disalurkan langsung ke tangki penampung molasses. Sifat fisik molasses menyerupai cairan gula merah yang kental, berwarna kecoklatan, dan berbau gula yang dibakar. Molasses tidak termasuk bahan berbahaya yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan karena penggunaan molasses dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan MSG (monosodium glutamate), pembuatan alkohol, bahan pembuatan pakan ikan, dan spirtus.
b. Air buangan pabrik (limbah proses) Setiap stasiun menghasilkan air buangan berupa limbah cair yang berasal dari sisa pencucian mesin atau sisa kotoran pelumas, nira, ampas, dan bahan-bahan lainnya. Sumber limbah cair buangan pabrik ini didasarkan pada pembagian stasiun yang ada dalam pabrik. Limbah cair buangan ini disalurkan melalui saluran yang sudah dibuat khusus untuk limbah cair buangan pabrik dengan bak kontrol yang tersebar di masing-masing stasiun. Bak kontrol ini digunakan untuk pemantauan aliran limbah dan pengendalian ketika terjadi tumpahan atau kelebihan limbah cair. Limbah cair buangan yang dihasilkan di stasiun penggilingan berupa sisa pembersihan oli pelumas mesin penggiling, sisa penyemprotan ampas, sisa nira yang terbuang atau bocor, dan air dari gilingan. Di stasiun pemurnian menghasilkan limbah cair buangan berupa sisa pembersihan blotong, pembersihan ampas lembut sisa penyaringan, dan nira yang berceceran. Limbah cair buangan dari stasiun penguapan berupa sisa air pembersihan nira dan kerak nira. Di stasiun putaran dihasilkan limbah cair buangan berupa tetes, sisa tetes yang berlebih, kebocoran timbangan tetes, dan gula ceceran yang telah dibersihkan dengan air. Di stasiun kristalisasi, limbah cair buangan relatif sangat jarang. Limbah juga dapat dihasilkan ketika ada kesalahan atau kebocoran nira di peti penampungan. Seluruh limbah cair buangan pabrik ini disalurkan melalui irigasi (saluran) dan disalurkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk diolah kembali.
44
c. Air limbah abu ketel Air limbah abu ketel merupakan limbah cair yang dihasilkan dari air bak penampungan abu boiler. Air abu ketel diendapkan untuk kemudian langsung dibuang ke lebung. Desain pengendapan air abu boiler kondisinya terlalu kecil sehingga air abu boiler sudah jenuh dari desain kedalaman +/-60 cm hanya sekitar 20 cm. Hal ini karena laju pengendapan abu boiler lebih cepat dari proses pengerukan abunya. Air abu boiler berwarna sangat pekat dan hitam. Hal ini akan mengakibatkan baku mutu limbah cair industri gula Kep. Men. LH No. 6 tahun 2009 TSS akan terlewati. Pada parit buangan air abu boiler terlihat sebagian oli dan tanah yang mengandung minyak masuk ke dalam parit buangan air abu boiler.
d. Air jatuhan (limbah kondensor) Limbah cair berupa air jatuhan dari kondensor yang bersuhu 47 oC dan memiliki pH 6 - 7. Air kondensor ini dipompa masuk ke dalam instalasi water treatment dan dipompa dengan menggunakan pompa ke cooling tower untuk didinginkan. Proses pendinginan dilakukan dengan mengalirkan air ke dalam cooling fan yang berada pada cooling tower agar suhunya turun menjadi 37 oC dengan pH 6. Air yang telah dingin kemudian dipompakan kembali sebagai air injeksi pada kondensor untuk keperluan proses evaporasi dan proses pemasakan.
e. Air limbah domestik (limbah gabungan) Limbah cair di PG Subang juga dapat dihasilkan dari air limbah domestik rumah tangga yang ada di perusahan dan pabrik. Limbah ini berasal dari air parit MCK, air proses pencucian peralatan pabrik, dan sumber lain yang berhubungan dengan limbah rumah tangga. Jumlah air limbah domestik ini sangat sedikit dibandingkan limbah cair lainnya. Limbah pabrik gula yang paling mendapatkan perhatian adalah limbah cair karena limbah cair inilah yang paling banyak menimbulkan dampak lingkungan. Kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari buangan pabrik gula dapat dilihat pada Tabel 22. Pada umumnya proses giling pabrik gula di Indonesia berlangsung pada saat musim kemarau saat debit air sungai rendah. Pembuangan air limbah ke sungai akan memberikan beban pencemaran yang cukup tinggi terhadap sungai maupun lahan pertanian sehingga sebelum pelepasan limbah harus didahului oleh pertimbangan dan penelitian dengan seksama. Penanganan limbah cair ini dimaksudkan untuk meminimalisasi beban limbah cair yang keluar dari pabrik sebelum masuk unit pengolahan limbah cair. Kualitas air merupakan salah satu faktor penting untuk mempertimbangkan supaya pengairan dapat berjalan dengan baik dan tidak memberikan pengaruh negatif. Air yang digunakan untuk keperluan perkebunan tebu dan pabrik gula hendaknya berkualitas baik sehingga tidak membahayakan pertumbuhan tanaman dan merusak tanah. Untuk mendapatkan sumber air yang baik maka air yang dihasilkan pun seharusnya memiliki kualitas yang baik pula.
45
Tabel 22. Kemungkinan dampak dari buangan pabrik gula
Kegiatan pembuangan limbah
Tindakan pencegahan
Pembuangan limbah langsung ke sungai dengan debit yang cukup besar
Relatif aman. self purification
Pembuangan limbah ke sungai dengan debit rendah
Perhatikan beban pencemaran
Pembuangan langsung ke daerah sungai
Pengawasan kualitas limbah cair terutama pemisahan minyak Pengendalian bau (odour) Memastikan tidak ada luapan ke danau. kolam. atau sungai dan tidak ada leaching ke air permukaan
Sumber : Data PG Subang (2011)
Untuk menghasilkan kualitas air yang baik, diperlukan pengolahan air limbah. Teknologi pengolahan limbah cair industri adalah salah satu alat untuk memisahkan, menghilangkan, dan atau mengurangi unsur pencemar dalam limbah dimana seluruh limbah yang mengandung unsur pencemar diminimalisasikan sampai memenuhi syarat baku mutu limbah dan syarat baku lingkungan. Di PG Subang, unit yang mengelola air limbah ditangani oleh bagian IPAL (Instalasi Pengolahan air Limbah). Instalasi pengolahan limbah pada prinsipnya bagai sebuah sistem pabrik dimana tersedia sejumlah input untuk diolah menjadi output. Dalam kaitan ini adanya limbah sebagai bahan baku yang diolah dalam sistem kemudian hasilnya adalah limbah yang memenuhi syarat baku mutu. Jika limbah cair yang diolah kotor maka setelah mengalami pengolahan akan dihasilkan limbah yang memenuhi baku mutu limbah. Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel tercampur, serta membunuh mikroorganisme patogen. Selain itu diperlukan juga tambahan pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat terdegradasi agar konsentrasi yang ada menjadi rendah (Sugiharto 1987). Limbah cair pabrik gula pada umumnya tidak mengandung limbah berbahaya atau beracun. Di Indonesia produksi gula bersifat musiman, yaitu 5 sampai 6 bulan dalam setahun. Parameter utama untuk pabrik penggilingan tebu dan pemurnian gula adalah BOD dan COD. Parameter sekunder adalah TSS, pH, suhu, nitrogen, minyak dan lemak, sulfida dan padatan keseluruhan (Isyuniarto 2007). Setiap harinya kegiatan yang dilakukan di IPAL adalah menganalisis BOD, COD, pH, dan suhu dari tiap titik pantau sumber air limbah seperti: inlet IPAL, outlet IPAL, air kondensor, air abu ketel, kolam aerasi I, II, dan III, dan kolam equalisasi.
46
Tabel 23. Hasil pengujian outlet IPAL di PG Subang tahun 2011 Parameter
Satuan
Tanggal pengujian limbah cair tahun 2011
Baku Mutu
31 Mei
07 Juni
22 Juli
04 Agust
13 Sept
03 Okt
BOD
mg/L
60
14,06
14,06
45,25
49,1
41,43
48,55
COD
mg/L
100
38,3
37,6
96,99
77,09
81,51
86,51
TSS
mg/L
50
12
24
18
4
20
29
6,0-9,0
6,57
6,92
6,42
6,05
6,16
6,32
mg/L
5
4,48
4,48
2,8
4,4
4,4
4,1
3
-
8.057
14.905
14.089
12.091
13.077
1.695
pH Minyak & Lemak Volume
m /bulan
Sumber : Data PG Subang (2011) Pada Tabel 23 menunjukkan bahwa outlet IPAL di PG Subang tahun 2011 telah memenuhi baku mutu lingkungan sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan karena tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Outlet IPAL ini akan dialirkan ke lebung yang terletak di sekitar kebun tebu yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk pengairan pada tanaman tebu sehingga dapat menghemat dalam pengairan tanaman. Apabila outlet IPAL sudah baik, maka tanaman tebu juga akan tumbuh dengan baik, lain halnya apabila outlet IPAL melebihi baku mutu lingkungan, maka diperlukan biaya yang lebih tinggi untuk pengairan tanaman karena tidak layak digunakan untuk pengairan tebu, selain itu akan mencemari sungai, jika hal ini terjadi akan berdampak pada PROPER di PG Subang yang menunjukkan ketaatan perusahaan terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan.
3. Limbah Udara Limbah udara yang berada di lingkungan PG Subang terdiri dari udara emisi yang berasal dari cerobong boiler dan cerobong genset serta udara yang berada di dalam pabrik seperti di sekitar lingkungan mesin-mesin yang ada di stasiun pabrik. Pada dasarnya emisi yang dihasilkan oleh PG Subang ini tidak terlalu berbahaya karena menggunakan bahan bakar organik. Limbah gas secara penyebaran dan pencemarannya yang dihasilkan oleh PG Subang terdiri atas udara emisi cerobong boiler, udara ambien, dan udara lingkungan kerja (dalam pabrik). Penanganan limbah gas ini dengan melakukan pengontrolan dan pengujian kualitas emisi udara setiap periode tertentu seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil analisis emisi dari boiler di PG Subang Parameter
Satuan
Hasil analisaa
Baku mutub
Partikulat
mg/m3
Sulfur dioksida Nitrogen oksida Opasitas a b
70
250
3
251
600
3
mg/m
194
800
%
15
30
mg/m
Data PG Subang (2011) Permen LH 7 tahun 2007
47
Diantara limbah udara yang dominan antara lain nitrogen oksida dan sulfur dioksida. Namun jumlahnya tidak melebihi baku mutu, sehingga aman untuk di buang ke lingkungan, namun tetap harus selalu diperhatikan dan dijaga agar jumlahnya tidak melebihi baku mutu karena nitrogen oksida dan sulfur dioksida memiliki dampak negatif terhadap lingkungan apabila jumlahnya terlalu banyak. Nitrogen oksida (NOx) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir yang terdiri dari gas nitrit oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2). NO merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau tajam. Pengaruh yang timbul dari pencemaran NOx bukan disebabkan karena oksida tersebut, melainkan karena peranannya dalam pembentukan oksidan fotokimia yang merupakan komponen berbahaya di dalam asap. Produksi oksidan tersebut terjadi jika terdapat polutan-polutan lain yang mengakibatkan reaksi-reaksi yang melibatkan NO dan NO2. Reaksi-reaksi tersebut disebut dengan siklus fotolitik NO2 dan merupakan akibat langsung dari interaksi antara sinar matahari dengan NO 2. Kedua bentuk NOx, yaitu NO dan NO2 sangat berbahaya bagi manusia. NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Pada konsentrasi normal yang dijumpai di atmosfir, NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya, tetapi pada konsentrasi udara ambien yang normal NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO 2 yang lebih beracun, NO2 bersifat racun terutama terhadap paru-paru. Pemberian sebanyak 5 ppm NO2 selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan sedikit kesulitan dalam bernafas. Faktor yang mempengaruhi pembentukan NOx dalam bentuk NO yaitu suhu pembakaran, adanya faktor kelebihan udara (excess air), dan waktu tinggal reaktan-reaktan pada suhu pembakaran tersebut. Suhu pembakaran yang lebih tinggi akan menghasilkan lebih banyak NOx, kelebihan udara yang lebih tinggi akan menghasilkan NOx yang lebih sedikit, tetapi kelebihan udara pada konsentrasi tertentu akan mengencerkan gas-gas pembakaran sehingga menghasilkan suhu pembakaran yang lebih rendah, akibatnya akan terjadi penurunan konsentrasi NOx. Beberapa cara untuk mengurangi konsentrasi NOx yang diproduksi selama pembakaran adalah dengan pembakaran dua tahap, resirkulasi gas buang, dan melakukan injeksi dengan uap atau air. Pada metode pembakaran dua tahap, sebagian bahan bakar dibakar dengan udara dalam jumlah stoikiometrik lebih rendah dari yang tersedia sehingga oksigen yang tersedia tidak berlebih dan mengurangi produksi NO. Pada tahap kedua, pembakaran dilanjutkan setelah injeksi udara ke dalam campuran. Dengan menghilangkan panas diantara kedua tahapan tersebut, suhu dimana pembakaran terjadi pada keadaan kelebihan udara menjadi lebih rendah sehingga konsentrasi NO yang terbentuk juga berkurang. Resirkulasi gas buang kembali ke ruang bakar akan menurunkan suhu api dan menurunkan konsentrasi oksigen yang tersedia. Kedua hal ini mengakibatkan penurunan produksi NOx. Uap air atau air yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar juga dapat menurunkan suhu api dan menurunkan produksi NOx. Injeksi dengan air lebih sering dilakukan daripada dengan uap air karena mudah tersedia, biayanya murah dan pengaruh pendinginannya lebih besar. Metode absorbsi efektif digunakan untuk mengabsorbsi gas yang keluar dari cerobong asap pabrik. Gas yang keluar dilewatkan adsorber padat atau cair dimana NOx akan tertahan. Sistem adsorbsi yang mengandung air lebih efektif digunakan, terutama jika air itu mengandung komponen alkali atau asam sulfat. Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3). Kedua jenis gas ini dikenal dengan nama SOx. Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif. Sumber emisi di pabrik gula berasal dari penggunaan bahan bakar pada boiler, solar, LPG, pengolahan limbah padat, dan limbah cair. Emisi yang dihasilkan berkaitan terhadap efek gas rumah kaca yang dihasilkan dari emisi CO2 di pabrik gula. Potensi emisi CO2 berasal dari penggunaan bahan bakar pada boiler, dalam hal ini yaitu pemakaian ampas tebu dan IDO, emisi CH 4 berasal dari
48
pengolahan limbah cair, dan NO2 berasal dari pengolahan limbah blotong. Total emisi CO2 yang dihasilkan pabrik gula sebesar 105.196,70 tCO2-setara yang berasal dari emisi bahan bakar boiler sebesar 101.927,57 tCO2, emisi penggunaan solar 2.855,45 tCO2, emisi LPG 2,51 tCO2, emisi dari pengolahan limbah cair 7,56 tCO2, dan emisi dari pengolahan limbah padat sebesar 403,62 tCO 2setara (Sihombing 2012).
4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya Dan Beracun) Limbah yang mengandung bahan polutan dan bersifat berbahaya serta beracun dikenal dengan limbah B3, yaitu dinyatakan sebagai bahan dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumber daya. Bila ditinjau secara kimiawi, bahan-bahan tersebut terdiri atas bahan kimia organik dan anorganik (Kristanto 2002). Limbah B3 ini merupakan hasil sisa penggunaan bahan-bahan yang ada pada mesin-mesin pabrikasi dan alat berat yang digunakan di PG Subang. Limbah B3 yang terdapat di PG Subang berupa oli bekas, aki bekas, lap majun, dan lampu TL. Sumber utama aki bekas berasal dari penggunaan mesin-mesin mekanisasi, kendaran angkut dan transport, dan instalasi listrik. Oli bekas banyak dihasilkan oleh alat-alat berat, traktor, genset, dan sisa mesin milling di stasiun penggilingan. Lap majun merupakan lap bekas terpakai pada proses produksi maupun kegiatan lain yang telah digunakan untuk membersihkan atau kegiatan lain yang mengandung bahan kimia maupun bahan berbahaya lainnya seperti untuk pembersihan mesin-mesin, pompa, dan oli. Lampu TL termasuk bahan berbahaya dikarenakan di dalamnya terdapat bahan kimia serta komponen listrik yang apabila diletakkan sembarangan akan membahayakan orang disekitarnya. Sumber utama dari limbah oli adalah milling. Disini hampir semua peralatan yang digunakan membutuhkan oli dan pelumas dalam perawatannya. Pencemaran disebabkan oleh ceceran atau tumpahan oli atau pelumas ketika sedang digunakan. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara mengalirkan tumpahan oli dan pelumas pada suatu saluran atau ditampung dengan tangki penampung khusus oli. Oli dikumpulkan dalam suatu kolam kecil dan dipompa ke dalam alat penangkap oli untuk memisahkan oli dan air. Ceceran dan tumpahan oli dan aki terkadang tidak tepat jatuh disaluran yang tersedia dan jatuh ke lantai. Secara periodik oli diambil dan dimasukkan ke dalam drum oli bekas untuk disimpan di tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 dan selanjutnya dijual kepada pihak ke III, begitu pula untuk penanganan aki bekas dengan surat izin langsung dari KLH. Surat izin juga disahkan untuk pemanfaatan atau pemakaian kembali oli bekas atau aki yang ada di gudang (TPS). PG Subang sudah memiliki Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 839 Tahun 2008 tentang Izin Pemanfaatan serta Surat Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup Nomor 390 Tahun 2009 tentang Izin Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun kepada PT PG Rajawali II Unit PG Subang. Namun untuk tahun 2011 belum ada surat izin yang dikeluarkan KLH sementara PG Subang sudah mengupayakan perizinan sejak tahun 2009. Kegiatan pemanfaatan dan penyimpanan limbah B3 ini tercatat rapih dalam pembukuan di lembar kegiatan pemanfaatan limbah B3 dan lembar kegiatan penyimpanan limbah B3. Selain itu, dilakukan juga pencatatan terhadap neraca limbah B3 dan log book limbah B3. Penyimpanan limbah B3 di PG Subang dilakukan di gudang penyimpanan (TPS) dengan tata ruang yang sudah disesuaikan dengan ketetapan dan peraturan dari KLH. Kelengkapan TPS ini mencakup penyimpanan oli bekas, aki bekas, dan filter oli bekas dilakukan penyimpanan di atas pallet, drum air bersih, kotak P3K, SOP tanggap darurat, alat pemadam kebakaran ringan (APAR), log book, dan saluran penampung ceceran oli. Mengingat pentingnya penanganan limbah B3 ini sesuai peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-01/BAPEDAL/09/1995
49
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan tata cara penyimpanan memliliki ketentuan sebagai berikut : 1. Mengatur supaya seluruh limbah B3 disimpan menurut jenis dan karakteristiknya pada tempat yang sudah ditentukan. 2. Menghindari terjadinya tumpahan dan ceceran limbah B3 yang disimpan, khususnya dari jenis-jenis yang mudah terbakar atau meledak serta melakukan prosedur rumah tangga (housekeeping) yang baik. 3. Mencatat setiap perpindahan limbah B3 baik yang masuk ataupun yang keluar dari tempat penyimpanan limbah sesuai dengan jenis dan jumlahnya dalam formulir kegiatan penyimpanan limbah bahan berbahaya dan beracun. Selain itu penanganan limbah B3 juga tidak boleh menyimpannya melebihi jangka waktu 90 hari, oleh karena itu harus segera diupayakan untuk dilakukan beberapa tindakan sebagai berikut : 1. Dilakukan upaya 3R (Reuse, Recycle, Recovery) untuk keperluan sendiri sesuai sifat dan karakteristik limbah tersebut dengan mengacu pada peraturan yang berlaku. 2. Dimanfaatkan oleh pihak lain sebagai bahan baku dan/atau pendukung kegiatan industri tertentu yang telah memiliki izin pemanfaatan dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau instansi yang berwenang. 3. Diangkut ke fasilitas pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang telah mempunyai izin dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Pengelolaan limbah B3 yang telah dilakukan PG Subang sebenarnya sudah cukup baik diantaranya pemanfaatan oli bekas untuk pelumasan gear mesin produksi, penyimpanan aki bekas yang kurang dari 90 hari yang kemudian diserahkan kepada pembeli (pihak ke IIII) seperti PT. Habindo Perkasa dan PT. WGI dan berbagai transaksi maupun kejadian yang berhubungan dengan limbah B3 dilakukan pencatatan harian di log book limbah B3. Bentuk pertanggung jawaban PG Subang terhadap limbah B3 yaitu dengan melakukan pelaporan secara rutin tiga bulan sekali ke KLH. Bentuk pengelolaan yang dilakukan PG Subang terhadap penanganan aki bekas di antaranya, untuk aki bekas yang akan masuk ke tempat penyimpanan sementara di pasang sticker gambar tengkorak (lambang limbah B3), aki bekas disimpan secara bertumpuk yang beralas kayu, pemasukan aki bekas tercatat pada log book neraca limbah B3, penyimpanan aki bekas baru dan aki bekas yang lama dipisahkan, aki bekas disimpan paling lama 90 hari dan apabila sudah lebih dari 90 hari harus ada izin penyimpanan atau pengelolaan dari KLH, pengeluaran limbah B3 dijual kepada pihak ke III yang mempunyai izin pembelian atau manifest dari KLH, serta data neraca limbah B3 aki bekas setiap 3 bulan dan 6 bulan sekali dilaporkan ke KLH, BPLHD, dan BPLH. Bentuk pengelolaan yang dilakukan PG Subang terhadap penanganan oli bekas diantaranya. untuk oli bekas ditampung dalam drum dan ditempel sticker gambar tengkorak (lambang Limbah B3), oli bekas disimpan dalam drum disusun berjajar yang beralas kayu, pemasukan oli bekas tercatat pada buku loog Book Neraca Limbah B3, penyimpanan oli bekas baru dan oli bekas lama dipisahkan, oli bekas disimpan paling lama 90 hari (apabila > 90 hari harus ada ijin dari KLH), pengeluaran Limbah B3 di jual kepada pihak III yang mempunyai ijin pembelian dari KLH, serta data neraca limbah B3 oli bekas setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali dilaporkan ke KLH, BPLHD, dan BPLH. Untuk penanganan terhadap upaya tanggap darurat di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) Limbah B3 telah dilakukan beberapa upaya, diantaranya gudang tempat penyimpanan limbah B3 aki bekas, oli bekas, lap majun dan lampu TL dipasang lampu penerangan untuk antisipasi terjadi
50
kebakaran dan kecelakaan di gudang tempat penyimpanan limbah B3, tersedia alat pemadam kebakaran dan kotak P3K, apabila terjadi kebakaran pintu gudang limbah B3 bisa dibuka lebar dan api disemprot dengan alat pemadam kebakaran yang tersedia, apabila tenaga kerja ada yang terluka dapat dengan segera diobati dengan obat yang tersedia di kotak P3K, aki bekas atau oli bekas yang terbakar diseleksi untuk dipisahkan. Upaya penanganan limbah B3 lebih terfokuskan terhadap aki bekas dan oli bekas, upaya yang telah dilakukan di antaranya, menampung oli bekas di tempat penghasil oli bekas yaitu dari bagian pool kendaraan, alat berat traktor dan lain-lain serta diesel genset serta membuat gudang penyimpanan sementara oli bekas dan aki bekas di tempat khusus.
D. INTERPRETASI HASIL Adanya penggunaan bahan baku, tambahan, dan energi yang tidak optimal menimbulkan dampak negatif bagi perusahaan, diperlukan pembenahan secara maksimal di PG Subang dimulai dari modifikasi dan perbaikan mesin-mesin proses produksi, serta penggunaan bahan dan energi yang tepat agar tidak terjadi pemborosan yang dapat meningkatkan biaya produksi. Analisis daur hidup gula terhadap penggunaan bahan baku, tambahan, dan energi secara sistematis dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9. Dengan dilakukan analisis terhadap daur hidup gula, dapat diketahui kekurangan yang terjadi pada proses produksi gula sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perusahaan dalam memproduksi gula. Pada umumnya pabrik gula di Indonesia mengolah tebu hanya untuk menghasilkan gula pasir sebagai produk tunggal. Padahal tebu dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai produk turunan seperti, pupuk, makanan ternak, molasses, dan bagasse (Mardianto et al. 2005). Ampas tebu merupakan sumber energi yang terbarukan dan tersedia cukup besar (Hugot 1986). Langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah banyaknya ampas digudang agar tidak beterbangan yaitu dengan menutup gudang ampas sehingga gudang ampas tidak dalam keadaan terbuka dan tidak ada serbuk ampas yang beterbangan di sekitar pabrik yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Kegiatan pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemakaian masker di sekitar pabrik untuk mencegah terhirupnya partikel di sekitar pabrik. Selain itu, ampas tebu dapat dijadikan bubur pulp dan dipakai untuk pabrik kertas, untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, particle board, dan bioetanol (Misran 2005). Selain itu, adanya kandungan polisakarida dalam ampas tebu dapat dikonversi menjadi produk atau senyawa kimia yang digunakan untuk mendukung proses produksi sektor industri lainnya. Salah satu polisakarida yang terdapat dalam ampas tebu adalah pentosan dengan persentase sebesar 20-27 %. Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan ampas tebu untuk diolah menjadi furfural. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas, diantaranya sebagai bahan kimia pembangun dalam produksi senyawa kimia yang digunakan pada industri farmasi, herbisida, senyawa penstabil (stabilizer), dan juga dapat disintesis menjadi turunanturunannya seperti: furfuril alkohol, furan, dan lain-lain. Limbah pabrik gula berupa ampas tebu sangat mengganggu lingkungan apabila tidak dimanfaatkan. Selama ini pemanfaatan ampas tebu hanya terbatas untuk pakan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengembangan teknologi sehingga terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian. Kandungan karbon yang tinggi dalam ampas tebu menjadi dasar untuk memanfaatkannya sebagai arang aktif. Arang aktif adalah arang yang dihasilkan dari proses pengaktifan dengan menggunakan bahan pengaktif sehingga memperluas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup sehingga daya adsorbsinya lebih tinggi. Arang aktif memiliki daya adsorbsi yang jauh lebih besar
51
dibandingkan dengan arang yang belum mengalami proses aktifasi sebagai benda berpori luas. Selain itu, pemanfaatan ampas tebu dapat digunakan untuk gasifikasi. Gasifikasi merupakan teknologi proses thermo-kimia yang mengubah suatu biomassa padat menjadi flammable gas seperti gas CO, H2, dan CH4. Aplikasi gasifikasi dari ampas tebu dapat digunakan pada elektric generator, pompa air, dan mesin diesel. Oleh karena itu, dengan pemanfaatan ampas tebu untuk gasifikasi dapat memberi nilai tambah bagi perusahaan, selain itu dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh ampas tebu. Suplesi bahan bakar termasuk pemakaian listrik PLN di beberapa pabrik gula yang tidak efisien dapat menyebabkan biaya produksi gula bertambah hingga mencapai 10 % dan bahkan lebih. Ciri–ciri dari pabrik gula yang kurang efisien tersebut dapat ditandai mempunyai produksi uap per kg ampas rendah mencapai sekitar 1,8 kg (normalnya > 2,2 kg) dan konsumsi uap per tebu tinggi mencapai hingga > 60 % (normalnya < 50 %). Potensi energi yang ada di pabrik gula dapat diwujudkan apabila dilakukan optimasi terhadap jumlah dan kualitas ampas di gilingan, produksi uap di stasiun boiler dan penggunaan uap dalam pabrik (Saechun 2009). Permasalahan utama yang terjadi di PG Subang adalah banyaknya jam berhenti giling, hal ini akan berdampak pada pemanfaatan energi kurang optimal, proses produksi menjadi terhenti sehingga produk gula yang dihasilkan menjadi semakin sedikit, selain itu limbah yang dihasilkan juga semakin banyak karena terjadi akumulasi nira kotor pada limbah cair. Untuk mengatasi hal ini, PG Subang diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja produksi agar proses produksi gula berjalan secara maksimal. Mesin dan peralatan yang digunakan harus bekerja secara optimal, oleh karena itu diperlukan penanganan yang maksimal pada saat maintenance agar tidak terjadi kerusakan maupun kebocoran pada saat musim giling tiba. Dalam pemanfaatan limbah yang dihasilkan, beberapa limbah cair dapat dimanfaatkan kembali seperti air dari jatuhan kondensor. Air jatuhan kondensor sebagian digunakan kembali untuk kepentingan air injeksi sekitar 70 % dan sebagian dibuang ke lingkungan tanpa sirkulasi 30 % atau didinginkan dengan cooling tower terlebih dahulu. Air jatuhan kondensor baik yang digunakan kembali maupun kelebihannya telah disirkulasi terlebih dahulu dengan cooling tower system dalam kondisi dioperasikan. Penanganan dalam pabrik (inhouse keeping) terhadap penanganan limbah cair yang dilakukan PG Subang dimaksudkan untuk meminimalisasi beban limbah cair yang keluar dari pabrik sebelum masuk unit pengolahan limbah cair. Mencegah masuknya bahan sumber pencemaran dilakukan dengan cara: mencegah terjadinya bocoran-bocoran pada pipa-pipa, peti-peti nira dan pompa-pompa dengan pengawasan peralatan secara rutin, membuat simparan atau injector pada masing-masing tempat lokasi pompa, mencegah masuknya minyak atau oli pada unit pengolahan limbah cair dengan membuat bak penangkap minyak, dan memasang tangki penampung bekas bahan kimia (soda) untuk pembersihan juice heater dan evaporator, pembuangan secara perlahan serta membuat saluran-saluran air limbah secara permanen dan kedap air. Secara umum pengendalian pemcemaran air (pada limbah cair) dapat dilakukan dengan cara: 1. Melancarkan aliran air di parit-parit dan parit jatuhan air kondensor dan proses pencucian pabrik agar lancar mengalir ke IPAL 2. Memperbaiki v-notc pada tiap oulet yang masuk ke IPAL agar tercatat semua 3. Memindahkan kelebihan buangan pipa panas air dari proses yang mengalir ke parit kondensor ke bak tampungan kondensor sebelum di ukur v-notc. 4. Meminimalkan nira dan endapan-endapan yang masuk kedalam air kondensor sehingga semua baku mutu Permen LH No.5 Tahun 2010 dipenuhi, hal ini karena hasil pengukuran bulan Juni 2010 beberapa parameter BOD, COD, dan TSS > 500 % melampaui baku mutu 5. Tetap melakukan pengukuran pH dan debit harian outlet IPAL. kondensor dan abu ketel 6. Mengoptimalkan kinerja IPAL agar air limbah yang keluar sesuai dengan baku mutu.
52
7. Menandai koordinat titik sampel untuk outlet IPAL. kondensor dan air abu boiler 8. Memperbaiki parit-parit di sekitar proses pembuatan susu kapur agar air limbah kapur tidak berceceran 9. Tetap melakukan perhitungan neraca air yang digunakan baik untuk proses maupun utilitas sehingga dapat diketahui air baku yang masuk baik dari sungai, maupun sumber lainnya dan total air yang dibuang atau dikeluarkan dari tiap-tiap proses. 10. Memperbaiki sistem pengendapan abu boiler sehingga laju pengendapan abu boiler seimbang dengan laju aliran airnya serta mengoptimalkan proses pengendapan abu boiler sehingga limbah cair memenuhi baku mutu limbah cair industri gula. 11. Melakukan pengukuran limbah cair di outlet IPAL limbah setelah perbaikan-perbaikan temuan lapangan dan kinerja IPAL sudah optimal. Pemanfaatan turunan dari molasses yang dihasilkan dari stasiun kristalisasi banyak dimanfaatkan oleh berbagai industri, diantaranya oleh distilling industry, fermentation industries, dan lain-lain. Di banyak negara, produsen gula telah melakukan diversifikasi produk gula guna menyiasati penurunan harga gula, menekan biaya produksi, memperluas pasar, serta mengurangi resiko kerugian pada pabrik gula (Mardianto et al. 2005). Oleh karena itu, PG Subang diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan dari produk samping yang dihasilkan sehingga akan meningkatkan pendapatan dan keuntungan pada perusahaan. PG Subang melakukan pengendalian pencemaran udara sesuai RKL/RPL, beberapa upaya telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pencemaran di sekitar pabrik diantaranya : 1. Memperbaiki sistem handling baggase sehingga ceceran dari serbuk bagasse tidak beterbangan 2. Menampung abu boiler agar mudah diangkut dan tidak beterbangan kemana-mana 3. Meningkatkan kinerja pengolahan emisi udara sehingga emisi yang dihasilkan dari setiap sumber emisi tetap memenuhi baku mutu emisi sesuai dengan Peraturan Menteri LH No. 7 tahun 2007 4. Meningkatkan house keeping di sekitar sarana dan alat pengendalian pencemaran udara sehingga debu dan jelaga di area boiler tidak beterbangan 5. Mengendalikan boiler pada saat suspensi bahan bakar non ampas sehingga asap hitam tidak sering keluar ke cerobong PG Subang mengupayakan agar kualitas udara direduksi di sekitar wilayah kebun hingga pabrik agar tidak menimbulkan gangguan atau keresahan bagi masyarakat yang berada di wilayah pabrik. Beberapa upaya untuk mereduksi dampak penurunan kualitas udara antara lain: melakukan pengerasan jalan utama angkutan tebu di kebun ke pabrik, melakukan penyiraman secara berkala di daerah yang berdebu dalam lingkungan pabrik dan jalan desa terutama pada musin kemarau, melakukan penyiraman abu ketel sebelum dibuang ketempat pembuangan, menanam pohon-pohon pelindung di lingkungan pabrik, perumahan karyawan, dan sekitar kolam limbah (secara bertahap), ampas disimpan di tempat khusus atau gudang ampas, serta pemeriksaan kesehatan karyawan oleh dokter perusahaan secara periodik (bagi yang sakit).
53