V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Persiapan Data Analisis Jaringan Syaraf Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data faktor penyebab kelangkaan pupuk yang telah dipilih baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pemilihan faktor penyebab kelangkaan pupuk berasal dari studi literatur dan hasil wawancara dengan para pakar dan pelaku pendistribusian pupuk yang ada di Kabupaten Banyumas. Menurut Dewi (2009) faktor yang menyebabkan kelangkaan pupuk antara lain adalah kecukupan jumlah produksi pupuk Urea, penggunaan dosis pupuk yang berlebihan, pengecer menimbun / memberikan pupuk kepada penebus terbesar, peramalan masa tanam yang kurang tepat, distribusi pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran, keterlambatan pengiriman karena kondisi tertentu, dan terjadinya perembesan keluar daerah subsidi lain. Dari hasil wawancara diperoleh faktor-faktor penyebab kelangkaan pupuk antara lain adalah data luas lahan yang tidak valid di daerah, permintaan yang meningkat di awal musim tanam, adanya perbedaan harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi, besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah, dan perubahan harga gabah di tingkat petani. Menurut pakar, faktor-faktor tersebutlah yang memiliki hubungan keterkaitan dengan masalah penelitian ini, yaitu faktor yang dimungkinkan dapat menyebabkan kelangkaan pupuk. Faktor- faktor yang didapatkan dari studi literatur dan hasil wawancara digabungkan dan dicek kembali dengan menggunakan pendapat salah seorang pakar. Hasil penilaian ini adalah 12 faktor yang dianggap sebagai penyebab kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas. Setelah faktor-faktor tersebut didapatkan, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis awal untuk mempersiapkan data sebelum data tersebut akan diproses lebih lanjut dalam jaringan syaraf Backpropagation. Analisis yang akan dilakukan ini adalah pengidentifikasian faktor kritis penyebab kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas. Analisis identifikasi faktor krtitis penyebab kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas ini dilakukan dengan dua tahap dengan menggunakan bantuan penilaian pakar (Expert Judgement). Tahap pertama adalah dengan melakukan urutan prioritas terhadap pengaruh suatu faktor terhadap kejadian kelangkaan yang terjadi. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses (Marimin 2004). Dalam MPE ini dilakukan dua tahapan penilaian oleh seorang pakar, tahapan pertama adalah penilaian untuk menentukan bobot dari masing-masing kriteria dengan menggunakan model penilaian perbandingan berpasangan. Setelah bobot masing-masing kriteria didapatkan, tahapan selanjutnya adalah penilaian perhitungan skor untuk setiap alternatif faktor penyebab kelangkaan pupuk. Model penilaian yang dilakukan adalah dengan model penilaian skala ordinal (generik). Model penilaian skala ordinal ini dinilai dengan skala 1-5, dimana nilai (1) artinya sangat sedikit, (2) sedikit, (3) biasa, (4) banyak dan (5) sangat banyak. Dari hasil penilaian pakar, didapatkan hasil seperti yang disajikan pada Tabel 5.
38
Tabel 5. Hasil perhitungan skor Alternatif dengan Metode MPE
Alternatif Faktor Kecukupan Jumlah Produksi Pupuk Urea Penggunaan dosis pupuk yang berlebihan Pengecer menimbun / memberikan pupuk kepada penebus terbesar Peramalan Masa tanam yang kurang tepat Distribusi Pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Keterlambatan pengiraman karena kondisi tertentu. Data luas lahan yang tidak valid di daerah Permintaan yang meningkat di awal musim tanam Terjadinya Perembesan Keluar daerah Subsidi lain Adanya Disparitas Harga (perbedaan harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi) Besarnya Subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Perubahan Harga Gabah di tingkat petani. BOBOT Keterangan : A = Biaya penanggulangan B = Frekuensi krisis
Kriteria Peniaian A B C D
Nilai
Ranking
3 1
4 3
4 4
3 2
518 340
3 5
4 3
2 4
2 3
1 4
37 344
8 4
3
3
2
3
103
6
3 2
1 1
2 3
3 3
23 87
9 7
4
5
4
4
889
1
2
2
2
3
37
8
4
4
5
4
889
1
3 3 1
2 4 4
5 4 4
4 3 1
648 518
2 3
C = Dampak bagi petani D = Kemudahan penanganan.
Dari hasil penilaian skor tersebut didapatkan urutan prioritas faktor penyebab kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas. Faktor dengan nilai terendah (keterlambatan pengiriman karena kondisi tertentu, pengecer menimbun atau memberikan pupuk kepada penebus terbesar, dan terjadinya perembesan keluar daerah subsidi lain) akan dieliminasi dan tidak dilanjutkan pada analisis di tahap berikutnya, yaitu penilaian dengan menggunakan AHP. Tahapan analisis berikutnya adalah penilaian pakar dengan menggunakan teknik AHP. Sama halnya dengan analisis pada tahapan sebelumnya, analisis dengan menggunakan AHP ini juga membutuhkan penilaian pakar untuk mendapatkan bobot yang akan menentukan prioritas dari suatu faktor yang memiliki pengaruh yang paling besar terhadap kelangkaan yang terjadi. Perbedaan AHP dan MPE ini terletak pada cara penilaian di mana pada MPE penilaian dilakukan hanya dengan melihat nilai dari faktor itu sendiri sedangkan pada AHP penilaian dilakukan dengan membandingkan satu faktor dengan faktor yang lain dan dilihat dari tingkat kepentingan dari level sebelumnya. Oleh karena itu penilaian AHP ini lebih terstruktur dan lebih menyeluruh.
39
Dalam menilai pembobotan dalam hierarki ini digunakan bantuan software Expert Choice. Berikut adalah hasil penilaian yang telah dilakukan oleh beberapa pakar yang telah disatukan dengan bantuan software ini.
Gambar 16. Bobot hasil penilaian pakar dengan metode AHP Dari hierarki tersebut dapat dilihat bahwa pada aktor yang berperan penting dalam menangani kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas adalah Pemerintah. Dimana pemerintah memiliki peran penting dan strategis untuk bertindak dan melakukan penanganan terhadap segala masalah kelangkaan yang terjadi. Selanjutnya dapat dilihat pula bahwa faktor penyebab kelangkaan yang terjadi di Banyumas adalah karena perbedaan margin yang terlalu besar diantara harga pupuk subsidi dan pupuk yang tidak bersubsidi. Menurut Drajat (2005) Permasalahan kelangkaan pupuk yang terjadi pada Lini I, Lini III dan Lini IV sebenarnya bersumber pada dua hal berikut yaitu : 1. 2.
Disparitas harga domestik dan ekspor terlalu tinggi, sehingga terjadi ekspor pupuk (disparitas harga bisa mencapai AS$ 50 per ton). Disparitas harga pupuk bersubsidi dan pupuk tidak bersubsidi terlalu tinggi dimana harga pupuk bersubsidi terlalu rendah (disparitas harga normal Rp 850 per kg). Hal ini memicu perembesan pupuk dari pertanian tanaman pangan dan perkebunan rakyat ke perkebunan besar.
Dari hierarki tersebut juga terlihat bahwa untuk mengatasi kelangkaan tersebut pemerintah dapat melakukan perubahan sistem manajerial terutama dalam menentukan perbedaan harga pupuk yang bersubsidi dan yang tidak bersubsidi. Misalnya dengan menetapkan harga tertinggi bagi pupuk nonsubsidi sehingga selisih harga yang ditimbulkan dapat terkontrol. Faktor yang memiliki bobot paling kecil dari hasil analisis adalah ketidakvalidan data luas tanah pertanian yang dicantumkan dalam RDKK. Nilai ini dianggap tidak terlalu berpengaruh karena perubahan luas lahan yang dicantumkan dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan, kalaupun ada perubahan biasanya sedikit. Faktor yang memiliki bobot paling kecil inilah yang akan dieliminasi sehingga tersisa delapan faktor kritis yang dapat menyebabkan kelangkaan di Kabupaten Banyumas.
40
5.1.1 Perincian Data Setelah delapan faktor yang diperkirakan dapat menyebabkan kelangkaan di Banyumas dari hasil penilaian pakar maka faktor-faktor tersebut dikelompokan untuk dijabarkan menjadi data yang lebih terperinci. Data yang lebih terperinci inilah yang akan menjadi masukan pada JST yang akan dikembangkan. Adapun perincian data berdasarkan faktor penyebab kelangkaannya adalah sebagai berikut : 1. Perbedaan harga pupuk subsidi dan nonsubsidi (Harga pupuk subsidi, Harga HET, Harga Pupuk tidak bersubsidi, Selisih harga, dll). 2. Distribusi tidak tepat sasaran (Perkiraan jumlah pupuk yang hilang / loss ). 3. Besarnya subsidi pemerintah (Anggaran APBN Subsidi Pupuk, Besarnya Subsidi Gas Amonia, Nilai Tukar Rupiah pada Dolar, dll). 4. Permintaan pupuk yang tinggi di awal musim tanam (Jumlah pemakaian pupuk urea daerah, jumlah pupuk yang tersedia untuk bulan tanam). 5. Kecukupan jumlah produksi pupuk (Alokasi Urea untuk Kabupaten Banyumas, Alokasi Urea untuk Kecamatan Banyumas). 6. Harga Gabah di tingkat Petani (Harga GKG, Harga GKP, Harga Gabah Kualitas Rendah, Harga Beras). 7. Pemakaian dosis tidak tepat (Anjuran dosis pemerintah, dosis pupuk yang digunakan petani). 8. Peramalan masa tanam tidak tepat (Data waktu tanam, data curah hujan, data waktu panen).
5.1.2 Pemilihan Masukan Data Setelah data dikelompokan dalam kelompok data yang lebih terperinci, langkah selanjutnya adalah menentukan data yang akan diintegrasikan dengan sistem deteksi dini menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan. Pemilihan atribut masukan pada jaringan ini ditentukan berdasarkan metode kausalitas dimana dalam metode ini melakukan pemilihan atribut masukan jaringan syaraf tiruan berdasarkan dampak atau sebab akibat antar atribut. Seperti yang telah dijabarkan pada analisis data pada tahap sebelumnya bahwa data-data tersebut adalah faktor yang diperkirakan dapat menyebabkan kelangkaan pupuk apabila porsi data yang seharusnya tidak terpenuhi, sehingga seluruh data di atas adalah data yang bersifat kausalitas. Pada penelitian ini atribut-atribut data mengenai kualitas kelangkaan pupuk dan sumber data yang dipilih adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Selisih harga pupuk subsidi dan nonsubsidi (Permentan dan Dintan Banyumas) (X1) Perkiraan jumlah pupuk yang hilang (Dintan Banyumas) (X2) Anggaran dana pemerintah untuk subsdi pupuk (BPS) (X3) Jumlah ketersediaan pupuk urea daerah (Dintan Banyumas) (BPS) (X4) Alokasi urea untuk Per-Kecamatan di Banyumas (Dintan Banyumas) (X5) Harga gabah kering iling (BPS) (X6) Dosis pupuk yang digunakan petani (Dintan Banyuams) (X7) Data curah hujan kecamatan di Banyumas (BPS dan Dintan Banyumas) (X8)
41
Dari pemilihan atribut data masukan ini didapatkan delapan data yang lebih terperinci yang diperkirakan memiliki dampak yang nyata sebagai penyebab adanya kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas sehingga dapat dijadikan sebagai parameter untuk sinyal-sinyal kelangkaan pupuk yang akan terjadi.
5.1.3 Persiapan Akhir data Setelah data yang akan digunakan sebagai masukan pada jaringan telah ditentukan, langkah selanjutnya adalah menyusun data tersebut ke dalam sebuah matriks besar secara berurutan agar data tersebut dapat diidentifikasikan. Data yang akan digunakan adalah data delapan atribut tersebut pada setiap kecamatan di Banyumas selama kurun waktu tiga tahun dimulai dari tahun 2006 hingga tahun 2008. Dari data tersebut didapatkan 81 paket data yang siap untuk dianalisis. Namun sebelum melakukan analisis lebih lanjut, 81 Paket data tersebut dinormalisasi terlebih dahulu untuk memudahkan proses pembelajaran dan agar sesuai dengan fungsi aktivasi yang akan digunakan. Normalisasi dilakukan dengan range 0.1 hingga 0.9. Data yang telah didapatkan tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu data untuk pelatihan dan data yang digunakan sebagai pengujian. Dalam penelitian ini 80% data digunakan sebagai data pelatihan dan 20% digunakan sebagai data pengujian, atau dengan kata lain 66 paket data digunakan sebagai data pelatihan dan 15 data digunakan sebagai data pengujian. Berdasarkan literatur yang ada hingga kini tidak ada aturan baku untuk menentukan ukuran jumlah baik data set pelatihan atau data uji. Pada percobaan ini delapan atribut tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan, data input disajikan dalam Lampiran 2. Dari hasil literatur belum ditemukan tingkat kelangkaan pupuk yang terjadi di Kabupaten Banyumas. Oleh karena itu, pada percobaan tingkat kelangkaan pupuk dibuat berdasarkan hasil wawancara dan studi literatur dengan batasan parameter penentuan tersebut hanya berdasarkan tiga tepat yaitu, ketepatan jumlah kebutuhan pupuk, ketepatan waktu, dan ketepatan harga pupuk seperti yang telah dijelaskan dalam ruang lingkup sebelumnya. Parameter tersebut didapatkan dari hasil wawancara yang menyebutkan bahwa jumlah pupuk dapat digunakan sebagai patokan terjadinya krisis, selain itu dari studi literatur menyebutkan bahwa pupuk baru bermakna ketika memenuhi setidaknya dua tepat. Tepat yang pertama adalah tepat waktu yang berarti ketika dibutuhkan pada saat mulai musim tanam seperti saat ini petani bisa mendapatkannya, dan yang kedua adalah tepat harga (Suswono 2008). Selanjutnya penentuan intensitas krisis dilakukan dengan pembobotan yang didapatkan dari hasil analisis AHP yang telah dimodifikasi. Dari hasil analisis tersebut ditentukan tingkat kelangkaan pupuk manjadi tiga level yaitu aman, normal dan rawan. Penentuan tingkat kerawanan tersebut didasarkan pada parameter yang tersedia pada Tabel 6. Perhitungan penentuan tingkat kerawanan berdasarkan AHP dapat dilihat dalam Lampiran 4. Tabel 6. Parameter Penentuan Tingkat Kerawanan Berdasarkan Prinsip tiga Tepat Waktu (berdasarkan Curah Hujan) (mm/bln)
Jumlah (bedasarkan persentase ketersediaan pupuk) (%)
Harga (berdasarkan selisih harga pupuk subsidi) (Rp)
Aman
< 100
> 85
< 500
Biasa
100 - 200
80 – 85
500 - 1000
Rawan
> 200
< 80
> 1000
Bobot
0.165
0.379
0.456
42
Tiga tingkat kerawanan tersebut ditransformasikan menjadi sebuah bilangan bulat kecil, tingkat kerawanan tersebut adalah : 1. Aman 1 2. Normal 2 3. Rawan 3 Level kelangkaan pupuk tersebutlah yang akan dijadikan target pelatihan dan juga akan digunakan sebagai alat untuk memvalidasi dan mengukur kemampuan kerja dari jaringan syaraf tiruan yang akan dikembangkan sebagai sistem deteksi dini. Adapun nilai diluar tersebut akan diberi keterangan raguragu karena jaringan dianggap belum mengenali pola tersebut.
5.2 Model Jaringan Syaraf Tahapan selanjutnya adalah mempersiapkan arsitektur jaringan yang terbaik yang diharapkan dapat mengenali pola yang akan dilatihkan terhadap jaringan tersebut. Pada tahapan ini penentuan arsitektur jaringan diperoleh dari metode Trial and Error dan juga referensi dari penelitian sebelumnya yang dianggap dapat mewakili kondisi pada pola yang akan dikembangkan ini. Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 3, arsitektur jaringan yang akan dikembangkan meliputi penentuan learning rate dan momentum, penentuan fungsi aktivasi, pemilihan bobot awal, penentuan jumlah iterasi, penentuan jumlah layer, jumlah neuron hidden layer, neuron input, neuron output dan toleransi error berdasarkan MSE. Gambar arsitektur jaringan yang dikembangkan dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk menentukan fungsi aktivasi, pemilihan bobot awal, penentuan jumlah iterasi, toleransi error berdasarkan MSE, jumlah hidden layer, neuron input, dan jumlah neuron output didasarkan pada penelitian terdahulu. Ketentuan arsitektur jaringan yang akan dikembangkan ini dapat dilihat pada Tabel 2. Sedangkan untuk menentukan jumlah neuron pada hidden layer dan menentukan learning rate dan momentumnya serta algoritma pembelajarannya akan digunakan metode trial and error untuk mendapatkan kinerja terbaik berdasarkan nilai error MSE terkecil. Untuk menentukan jumlah minimal neuron dalam suatu hidden layer dapat digunakan persamaan berikut : nh = ½ (ni+no) + √ndt Keterangan : nh = Jumlah minimal neuron dalam hidden layer ni = Jumlah neuron input no = Jumlah neuron output ndt = Jumlah data pelatihan (Skapura 1996 dalam Salya 2006) Dari persamaan di atas didapatkan bahwa neuron pada hidden layer minimal untuk mendapatkan kinerja yang baik adalah 13 neuron. Nilai tersebut adalah nilai minimal jumlah hidden layer yang dibutuhkan menurut Skapura (1996). Penambahan jumlah neuron pada hidden layer dapat membuat jaringan mampu menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka akan diujikan beberapa alternatif arsitektur jaringan yang disajikan pada Tabel 7.
43
Tabel 7. Alternatif Penentuan Arsitektur Jaringan Karakteristik Spesifikasi Laju pembelajaran 0.005, 0.3, 0.2, dan 0.1 Momentum 0.005, 0.1, 0.6 dan 0.9 Neuron Hidden layer 1 dan 2 (20; 10), (40, 20) dan (60, 30) Algoritma Pembelajaran Traingdx dan Trainlm Setelah spesifikasi arsitektur jaringan ditentukan langkah, selanjutnya adalah melakukan pengujicobaan terhadap jaringan dengan ketentuan seperti yang telah ditetapkan di atas. Hasil yang diperoleh dari pengujian untuk menentukan arsitektur jaringan yang terbaik dinilai dari error yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Pengujian Learning Rate, Momentum dan Learning Algorithm Learning Learning Momentum MSE Epoch Algorithm Rate 0.005 0.005 4.75e-13 37 Trainlm 0.3 0.1 2.65e-09 2 0.2 0.6 4.28e-07 79 0.1 0.9 1.20e-07 39 0.005 0.005 0.0138 5000 Traingdx 0.3 0.1 0.0175 5000 0.2 0.6 0.0116 5000 0.1 0.9 0.00938 5000 Dari hasil di atas arsitektur dengan learning rate dan momentum dengan nilai masing-masing 0.005 memiliki nilai error yang paling kecil jika dibandingkan dengan yang lain. Dari hasil tersebut maka diputuskan bahwa nilai learning rate dan momentum yang digunakan adalah 0.005 dengan learning algorithm nya adalah trainlm. Sedangkan pengujian dengan kombinasi learning rate dan momentum dengan menggunakan algoritma pembelajaran traingdx tidak ada yang bisa mencapai target error, yaitu 0.0000005 (5.10-7). Traingdx adalah fungsi pelatihan jaringan yang mengupdate bobot neuron dan nilai-nilai bias sesuai dengan momentum penurunan gradient dan laju pembelajaran adaptif. Hasil pegujian dengan traingdx dengan target yang tidak tercapai disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17. Pegujian dengan Traingdx dengan target yang tidak tercapai
44
Dalam algoritma backpropagation dengan menggunakan momentum, perubahan bobot didasarkan atas gradien yang terjadi untuk pola yang dimasukkan saat itu. Momentum akan membuat jaringan melakukan penyesuaian bobot yang lebih besar selama koreksinya memiliki arah yang sama dengan pola ada. Sedangkan learning rate yang kecil digunakan untuk mencegah respon yang terlalu besar terhadap error dari satu pola proses belajar. Tahapan selanjutnya adalah pengujian untuk menentukan jumlah neuron pada hidden layer pertama dan kedua. Hasil pengujian jumlah neuron pada Hidden Layer disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil pengujian jumlah neuron pada Hidden Layer Hidden 1 Hidden 2 MSE Epoch 20 10 1.54e-07 40 40 20 2.91e-08 41 60 30 2.55e-09 66 Hasil pengujian untuk menentukan jumlah neuron pada hidden layer 1 dan 2 menunjukkan bahwa hasil terbaik diperoleh oleh kombinasi antara 60 neuron untuk hidden layer 1 dan 30 untuk hidden layer 2, yaitu dengan nilai MSE terkecil. Maka dengan diperolehnya hasil ini, konfigurasi yang terbaik untuk model pelatihan jaringan syaraf tiruan dengan pola data yang ada telah didapatkan.
5.3 Pelatihan Jaringan Syaraf Setelah didapatkan konfigurasi arsitektur jaringan yang dianggap paling baik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pelatihan dengan data pelatihan yang telah dipersiapkan. Sebelum melakukan pelatihan terlebih dahulu dibuat jaringan Backpropagation dengan menggunakan MATLAB. Pembentukan jaringan Backpropagation di MATLAB dengan perintah newff, dan dilanjutkan dengan konfigurasi seperti yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada pembentukan jaringan ini juga ditentukan algoritma pelatihan yang digunakan dan juga metode perubahan bobot yang digunakan. Pada percobaan ini algoritma pelatihan yang digunakan adalah trainlm (Levenberg-Marquardt backpropagation Algorithms). Algoritma trainlm seringkali merupakan algoritma backpropagation tercepat di MATLAB, dan sangat direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk algoritma yang diawasi, meskipun membutuhkan memori lebih dari algoritma yang lain (Matworks Online 2010). Selain itu ditentukan juga metode perubahan bobot yang akan digunakan. Pada percobaan ini digunakan metode learngdm, yang merupakan metode default yang direkomendasikan oleh MATLAB. Setelah semua parameter ditentukan dan algoritma pelatihan beserta metode perubahan bobot ditentukan langkah selanjutnya adalah menginputkan data pelatihan yang akan dilatihkan kedalam MATLAB. Gambar data pelatihan yang telah di inputkan dan telah di normalisasi dapat dilihat pada Gambar 18.
45
Gambar 18. Data yang akan dilatihkan pada jaringan Pada gambar tersebut terdapat sembilan kolom yang masing-masing kolom merepresentasikan data atribut yang telah dipilih sebagai masukan jaringan. Kolom 1 hingga 8 merepresentasikan (X1 – X8) sedangkan kolom 9 adalah intensitas level kelangkaan yang dijadikan target keluaran. Setelah data masukan yang sudah dinormalisasi telah dinputkan semua maka tahap selanjutnya adalah melakukan pelatihan jaringan. Pelatihan ini bertujuan agar jaringan mampu mengenali pola yang diinputkan. Gambar 19 menunjukkan grafik hasil pelatihan yang telah dilakukan dengan menggunakan 66 data pelatihan.
Gambar 19. Grafik hasil pelatihan jaringan Parameter yang ditentukan dalam pelatihan ini adalah nilai MSE 0.0000005 (5.10-7). Namun hasil pelatihan jaringan mampu mendapatkan nilai Error yang lebih kecil yaitu 0.00000000531 (5.31.10-9) dengan 38 iterasi. Nilai ini menandakan bahwa performa yang didapatkan lebih baik dan telah melampaui batas yang telah ditentukan. Gambar di atas juga menandakan bahwa pola data yang telah dilatihkan telah dapat dikenali dan siap untuk dilakukan pengujian dan validasi.
5.4 Pengujian Jaringan Syaraf Pengujian dilakukan dengan menggunakan sisa data yang telah disiapkan sebagai data pengujian. Jumlah data yang akan dilatihkan berjumlah 15 paket data yang dipilih secara acak dari 46
total data yang didapatkan. Pengujian dilakukan pada jaringan yang telah dilatih sebelumnya menggunakan 66 paket data. Data yang akan diujikan juga sebelumnya harus dimasukan dalam suatu matriks dan diinputkan ke dalam MATLAB. Grafik hasil pengujian dengan 15 paket data dapat dilihat pada Gambar 20. Dalam gambar tersebut dapat dilihat adanya garis biru dan lingkaran berwarna hijau. Garis berwarna biru merupakan data target (aktual) sedangkan lingkaran berwarna hijau menunjukkan hasil pengujian data percobaan. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, didapatkan tingkat kesalahan berdasarkan MSE sebesar 0.47 dengan tingkat akurasi atau ketepatan deteksi sebesar 75.04%. Nilai ini memiliki arti dari 15 data pengujian yang diujikan 75.04% datanya atau sekitar 11 data memiliki ketepatan dengan data aktual. Perhitungan MSE dan MPAE serta perbandingan antara data aktual dengan data hasil pengujian dapat dilhat pada Lampiran 5.
Gambar 20. Grafik hasil Pengujian JST Data hasil pengujian tersebut merupakan bilangan desimal, sedangkan level kelangkaan yang ditentukan merupakan bilangan bulat antara 1 hingga 3. Untuk itu perlu adanya pembulatan bilangan desimal tersebut agar menjadi bilangan bulat. Untuk merubah bilangan desimal menjadi bilangan bulat digunakan fungsi round di MATLAB. Dengan pembulatan hasil pengujian tersebut tentunya akan merubah kemampuan atau error antara data aktual dengan data hasil pengujian yang telah dibulatkan tersebut. Grafik hasil pengujian JST antara data aktual dengan hasil simulasi kelangkaan pupuk yang telah dibulatkan dapat dilihat pada Gambar 21. Pada grafik tersebut dapat dilihat ada garis biru dan juga bulatan kecil berwarna merah. Seperti halnya pada grafik sebelumnya, garis berwarna biru menunjukkan data aktual sedangkan bulatan kecil berwarna merah menandakan data hasil simulasi atau pengujian yang telah dibulatkan menjadi bilangan bulat. Dari hasil pembulatan tersebut didapatkan nilai error MSE sebesar 0.46. Nilai ini lebih baik sebanyak 0.01 jika dibandingkan dengan nilai MSE yang tidak menggunakan pembulatan. Sedangkan tingkat akurasi juga meningkat menjadi 84.44% atau meningkat sebanyak 9.40%. Peningkatan kinerja tersebut dapat dilihat dengan lingkaran merah yang menempel dan berhimpitan pada garis berwarna biru.
47
Gambar 21. Hasil Pengujian JST dengan pembulatan nilai simulasi Hasil di atas menunjukkan bahwa jaringan tersebut telah dapat mengenali pola-pola lain di luar pola yang telah dilatihkan dan dapat digunakan untuk mendeteksi kelangkaan pupuk yang akan terjadi. Penyimpangan jaringan dalam mendeteksi level kelangkaan bisa dimungkinkan karena data pengujian masih terlalu asing dan tidak memiliki pola yang sama dengan beberapa pola data pelatihan. Menurut Effendy et al. (2008), kegagalan suatu jaringan dalam memprediksi suatu nilai sebenarnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena variabel input yang berjumlah banyak maka idealnya data yang dilatihkan tidak hanya sedikit. Karena semakin banyak jenis atau tipe yang dilatihkan, jaringan akan semakin baik mengenali pola-pola tertentu.
5.5 Bentuk dan Interface Program EWS Kemampuan jaringan dalam mendeteksi pola kelangkaan yang terjadi dapat dimanfaatkan sebagai prototipe untuk mengembangkan EWS agar mudah digunakan oleh semua pihak yang bersangkutan. Dalam tahapan ini dibuatlah sebuah aplikasi prototipe yang diharapkan bisa mendeteksi sinyal kelangkaan dari delapan masukan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk memudahkan dalam penggunaan jaringan yang telah dikembangkan sebagai EWS maka dibuatlah sebuah tampilan muka agar lebih mudah dioperasikan. Prototipe ini diawali dengan adanya welcome screen dan beberapa fitur bantuan agar pengguna bisa mengerti cara menggunakan program ini. Untuk memulai analisis maka user perlu menekan tombol “Mulai Analisa” agar program dapat masuk ke halaman utama. Gambar interface halaman utama program dapat dilihat pada Gambar 22. Setelah masuk ke halaman utama, untuk menggunakan program ini user harus menentukan lokasi kecamatan yang akan diuji. Setelah memilih maka tahapan selanjutnya adalah menginputkan data yang dianggap dapat menyebabkan kelangkaan. Setelah data semua terinput dengan baik. Untuk menganalisis user cukup dengan menekan tombol Analisa maka level kelangkaan pupuk pada suatu kecamatan dapat terdeteksi dengan cepat dan effisien.
48
Gambar 22. Tampilan Muka dari EWS kelangkaan Pupuk Untuk menilai kemampuan JST dalam mendeteksi kelangkaan pupuk urea sedini mungkin, maka dipilihlah satu kecamatan sebagai contoh yaitu Kecamatan Baturaden. Berikut adalah hasil deteksi menggunakan Sitem Deteksi Dini dan tampilan muka program EWS dengan inputan parameter yang dimiliki Kecamatan Baturaden.
Gambar 23. Contoh Penggunaan Prototipe Deteksi Dini Keluaran hasil deteksi dini ini berupa informasi tingkat kelangkaan pupuk dan juga nilai skor krisis dalam angka. Hasil tersebut menandakan bahwa Kecamatan Baturaden berpotensi mengalami kerawanan. Hal ini dimungkinkan karena selain memiliki lahan pertanian yang luas ( ± 3800 ha ), Baturaden juga merupakan daerah pegunungan yang subur sehingga permintaan akan pupuk pasti besar. Permintaan yang tinggi inilah yang memicu adanya kelangkaan pupuk terutama jenis urea. Dengan adanya informasi dari hasil deteksi dini ini dan atribut yang menjadi inputan JST, hasil tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan protokol kelangkaan pupuk urea bersubsidi. Berdasarkan analisis bobot jaringan syaraf yang terbentuk (dilihat dari besarnya bobot dan fluktuasi bobot) dapat pula diketahui atribut input jarigan yang memiliki faktor yang dianggap penyebab utama kelangkaan pupuk yang terjadi. Urutan faktor tersebut secara adalah adalah :
49
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Selisih harga pupuk subsidi dan non-subsidi (X1) Jumlah ketersediaan pupuk urea daerah (X4) Dosis pupuk yang digunakan petani (X7) Perkiraan jumlah pupuk yang hilang (X2) Alokasi urea untuk Per-Kecamatan di Banyumas (X5) Anggaran dana pemerintah untuk subsdi pupuk (X3) Harga gabah kering giling (X6) Data curah hujan kecamatan di Banyumas (X8)
Nilai ini ternyata tidak jauh berbeda dengan dua urutan pertama faktor kritis yang dinilai oleh pakar. Hasil tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan protokol kelangkaan pupuk urea bersubsidi. Data bobot hasil ujicoba sistem dapat dilihat pada Lampiran 5.
5.6 Hasil Verifikasi Pada Sub bab 5.5 telah dilihat hasil dan tampilan dari prototipe program deteksi dini yang telah dikembangkan. Penilaian pada Sub bab sebelumnya hanya dilakukan pada Kecamatan Baturaden. Untuk mengetahui keakuratan dan hasil ujicoba yang telah dilakukan pada bagian ini akan ditampilkan hasil keluaran jaringan dalam mendeteksi tingkat kelangkaan di Banyumas pada tahun 2008. Tabel 10. Hasil Ujicoba dan Verifikasi Pendeteksian Kelangkaan Pupuk di 27 Kecamatan Kecamatan Lumbir Wangon Jatilawang Rawalo Kebasen Kemranjen Sumpiuh Tambak Somagede Kalibagor Banyumas Patikraja Purwojati Ajibarang Gumelar Pekuncen Cilongok Karanglewas Sokaraja Kembaran Sumbang Baturaden Kedung Banteng Purwokerto Sel. Purwokerto Brt. Purwokerto Tim. Purwokerto Utr.
NiIai JST 2.400056864 1.999976439 2.100033318 0.510034695 1.799963621 3.300012057 3.000009908 1.999989073 2.201341108 1.999959898 1.699958183 2.190057754 1.999986881 2.220004175 2.999946249 2.999954012 1.999966695 1.699991319 1.669957643 1.888979588 2.200012961 3.330121421 2.200040641 2.000087337 2.300104119 1.000136741 0.999980172
Nilai Aktual 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 1
Keterangan Normal Normal Normal Ragu-Ragu Normal Rawan Rawan Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Rawan Rawan Normal Normal Normal Normal Normal Rawan Normal Normal Normal Aman Aman
50
Hasil tersebut adalah hasil deteksi yang dilakukan pada seluruh kecamatan di Kabupaten Banyumas berdasarkan data pada tahun 2008. Nilai keluaran JST dan Nilai aktual kondisi kelangkaan pupuk tidak jauh berbeda. Hasil tersebut tentunya mendefinisikan bahwa jaringan telah dapat dgunakan untuk melakukan deteksi kelangkaan pupuk di Kabupaten Banyumas.
5.7 Implikasi Manajerial Pupuk sebagai salah satu komoditas penting dan memiliki peran strategis bagi pertanian Indonesia tentunya pasti mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Salah satu bentuk perhatian itu adalah dengan dibuatnya Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) baik di tingkat nasional, provinsi, hingga ke tingkat kabupaten sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian. Pembentukan Komisi ini dilakukan atas dasar alasan untuk melindungi petani dan menjaga agar proses pengadaan dan penyaluran pupuk dapat berlangsung dengan baik. Namun demikian, kendala demi kendala tidak dapat dihindari mulai dari adanya ekspor pupuk gelap, hingga HET yang melonjak naik karena di suatu tempat kekurangan pasokan pupuk. Selama ini pemerintah khususnya komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida mungkin lebih banyak bertindak setelah suatu kasus kelangkaan terjadi. Sedangkan apabila penanganan kelangkaan pupuk dilakukan setelah kelangkaan terjadi, tentunya sudah ada yang menjadi korban terutama petani yang menanggung beban harga pupuk yang berada di luar peratuan HET. Oleh sebab itu, dengan adanya sistem desain JST Deteksi Dini ini diharapkan dapat mendukung pemberlakuan kebijakan yang lebih baik dalam penentuan tindakan sebelum masa kelangkaan pupuk terjadi. Selain itu penggunaan sistem deteksi dini ini diharapkan dapat menentukan level krisis kelangkaan pupuk secara lebih akurat, efisien dan efektif sehingga kebijakan pemerintah tentang tindakan penanganan kelangkaan pupuk dapat segera terwujud. Bagi petani tentunya dengan adanya penerapan sistem ini, mereka lebih terbantu dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan produktivitas mereka tanpa harus khawatir tentang kebutuhan pupuk untuk musim tanam selanjutnya. Dengan adanya penerapan desain EWS ini jumlah petani yang harus menanggung beban karena harga pupuk yang berada jauh di atas HET dapat dikurangi. Implikasi lainnya adalah terhadap pabrik pupuk, distributor dan pengecer tentunya mereka harus segera memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas proses pengadaan dan penyaluran pupuk secara nyata dalam memenuhi kriteria dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Konsekuensinya apabila produsen, distributor dan pengecer gagal dalam menjalankan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pupuk bagi petani tentunya akan ada sanksi khusus dari pemerintah. Oleh sebab itu, dengan adanya sistem desain EWS untuk memprediksi level kelangkaan pupuk yang akan terjadi di suatu daerah dapat memberikan alternatif penanganan baik dari pihak pemerintah, produsen, distributor maupun pengecer untuk segera melakukan koordinasi yang lebih intens. Dengan adanya prototipe ini selain berdampak terhadap aktor yang berperan dalam distribusi pupuk juga akan berpengaruh terhadap sumberdaya manusia yang mungkin akan menggunakan prototipe ini. Karena untuk bisa merekayasa dan meningkatkan kinerja jaringan diperlukan adanya pelatihan tambahan yang harus dilakukan penambahan data yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Sehingga dimungkinkan perlu adanya training khusus untuk menggunakan sistem ini dan juga untuk maintenance sistem ini. Selain itu juga diperlukan adanya sistem jaringan database dari instansi yang terkait yang memungkinkan user untuk bisa mengakses data terbaru yang bisa digunakan sebagai data pelatihan maupun data pengujian untuk meningkatkan kinerja sistem deteksi ini. Prototipe sistem deteksi berperan sebagai pencegah dan penduga apakah dalam suatu musim/bulan tersebut kedepannya akan terjadi krisis atau tidak. Sehingga untuk meningkatkan
51
manajeman krisis kelangkaan pupuk perlu dilakukan pendeteksian yang berkala berdasarkan data pertanian setiap bulan yang dilakukan di pertengahan bulan. Data yang digunakan tentunya adalah data rata-rata setengah bulan terakhir dengan tujuan untuk mendeteksi kondisi untuk bulan itu dan memperkirakan kondisi bulan kedepannya dengan prototipe ini. Karena diharapkan dengan data pada pertengahan bulan dapat mewakili kondisi bulan tersebut dan juga kondisi bulan yang akan datang. Apabila hasil pendeteksian menunjukkan tingkat kerawanan, maka langkah pertama yang dilakukan adalah menelaah hasil deteksi sistem dan mengidentifikasi faktor apakah yang menyebabkan kelangkaan dan apa yang perlu ditangani oleh pihak terkait.
52