HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago Telur P. marginatus berwarna kekuningan yang diletakkan berkelompok didalam kantung telur (ovisac) yang diselimuti serabut lilin berwarna putih. Kantung telur sangat mudah melekat pada tanaman sehingga membantu penyebaran P. marginatus dengan cepat. Kantung telur menempel pada bagian ventral ujung abdomen imago betina. Seperti umumnya serangga dari famili Pseudococccidae, kutu P. marginatus juga memiliki metamorfosis yang berbeda antara jantan dengan betina.
Betina P. marginatus mengalami metamorfosis
paurometabola (metamorfosis bertahap), yang terdiri dari fase telur, nimfa instar1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 dan imago. Antara fase nimfa instar-1 sampai imago, serangga tidak mengalami perubahan bentuk namun terjadi perkembangan fungsi organ.
Jantan P. marginatus mengalami metamorfosis holometabola
(metamorfosis sempurna) yang terdiri dari fase telur, nimfa instar-1, nimfa instar2, nimfa instar-3 (prapupa), pupa dan imago. Perubahan antar stadia ditandai dengan adanya eksuvia. Nimfa instar-1 sangat aktif bergerak yang disebut crawler, sehingga dapat berpindah dari satu bagian tanaman ke bagian yang lain (Amarasekare et al. 2008). Nimfa instar berikutnya terutama imago cenderung menetap dan tidak aktif bergerak. Perbedaan antara kutu jantan dengan betina dapat terlihat pada fase nimfa instar-2 akhir. Nimfa bakal jantan berubah warnanya dari kuning menjadi merah jambu. Perbedaan ini lebih nyata terlihat pada instar berikutnya dan imago. Nimfa instar-3 jantan (prapupa) dan nimfa instar-4 (pupa) berwarna merah jambu, tubuhnya berbentuk jorong dan diselimuti kokon yang terbuat dari serabut lilin. Nimfa instar-3 betina berbentuk oval dan berwarna kekuningan. Perbedaan bentuk tampak jelas pada stadia imago, yaitu serangga jantan bersayap dan serangga betina tidak bersayap. Hasil pengamatan masa perkembangan pradewasa kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang disajikan pada Tabel 2. Tumbuhan inang berpengaruh sangat nyata (P<0,001) terhadap masa perkembangan pradewasa termasuk telur dan berbagai instar nimfa, kecuali terhadap pupa (P=0,421) (Tabel 2).
Tabel 2 Masa perkembangan (hari) pradewasa kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang Tanaman Inang Stadium F db P Pepaya Jarak Pagar Ubi Kayu Telur 7,25±0,18a 8,09±0,19b 9,86±0,30c 27,66 2, 43 < 0,001 Betina Nimfa-1 Nimfa-2 Nimfa-3 Total nimfa Jantan Nimfa-1 Nimfa-2 Nimfa-3 (Prapupa) Nimfa-4 (Pupa) Total nimfa
5,25±0,16a 6,24±0,19b 8,58±0,13c 6,56±0,33a 5,90±0,30a 8,07±0,20b 7,63±0,48a 6,73±0,42a 11,21±0,68b 18,91±0,5a 18,97±0,58a 32,45±0,52b
129,98 18,04 17,84 152,56
2, 16 2, 152 2, 148 2, 97
< 0,001 < 0,001 < 0,001 < 0,001
5,16±0,17a 5,14±0,26a 1,58±0,12a
6,21±0,18b 5,57±0,25a 2,37±0,15b
7,54±0,13c 18,45±1,80b 5,50±0,37c
26,99 129,94 78,9
2, 89 2, 86 2, 85
< 0,001 < 0,001 < 0,001
6,93±0,23a
7,18±0,25a
7,60±0,54a
0,87
2, 83
0,421
202,66
2,83
< 0,001
18,95±0,4a 21,03±0,47b 40,60±1,60c
Angka rataan sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05)
Stadium telur yang paling singkat terdapat pada pepaya (7,25 hari), diikuti oleh jarak pagar (8,09 hari) dan yang paling lama pada ubi kayu (9,86 hari). Begitu pula persentase telur yang menetas paling tinggi terjadi pada tanaman pepaya (93,9%), jarak pagar (92,9%) dan ubi kayu (75,5%). Masa perkembangan nimfa betina pada pepaya dan jarak pagar juga lebih singkat yaitu sekitar 18 hari dibanding dengan pada ubi kayu sekitar 32 hari. Nimfa instar-1 pada pepaya, jarak pagar dan ubi kayu secara berturut-turut berlangsung selama 5,25; 6,24; 8,58 hari. Nimfa instar-2 betina pada tiga jenis tumbuhan inang secara berturut-turut adalah 6,56; 5,90; 8,07 hari. Nimfa instar-2 jantan berlangsung selama, 5,14 hari pada pepaya, 5,57 hari pada jarak pagar, dan perkembangan paling lama terjadi pada ubi kayu 18,45 hari. Stadium nimfa instar-3 pada tanaman pepaya, jarak pagar dan ubi kayu secara berturut-turut berlangsung selama 7,63; 6,73; 11,21 hari untuk betina dan 1,58; 2,37; 5,50 hari untuk jantan (prapupa). Nimfa instar-4 (pupa) berlangsung selama 6,93 hari pada pepaya, 7,18 hari pada jarak pagar dan 7,60 hari pada ubi kayu.
Ketiga jenis tumbuhan inang tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap lama perkembangan pupa.
Hal tersebut
disebabkan karena pada fase pupa, serangga tidak makan sehingga daun tumbuhan inang tidak berpengaruh terhadap lama perkembangan pupa. Secara
umum masa perkembangan pradewasa jantan lebih lama daripada betina, hal ini terkait dengan adanya instar tambahan pada jantan yaitu instar-4 yang berupa pupa. Dengan mempertimbangkan masa stadium telur, waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga imago betina terbentuk sekitar 26-27 hari pada pepaya dan jarak pagar dan sekitar 42 hari pada ubi kayu. Amarasekare et al. (2008) yang meneliti P. marginatus pada inang Acalypha, Hibiscus, Parthenium dan Plumeria mendapatkan masa perkembangan sejak telur hingga terbentuk imago berkisar 24-26 hari untuk betina dan 27-30 hari untuk jantan. Pengaruh jenis tumbuhan inang terhadap masa perkembangan pradewasa juga dilaporkan pada kutu putih lainnya seperti Planococcus citri (Polat et al. 2008). Rata-rata masa hidup imago jantan lebih singkat dibandingkan imago betina. Imago jantan hidup sekitar 2-3 hari, sedangkan betina dapat hidup sekitar 12-15 hari (Tabel 3).
Jenis tumbuhan inang berpengaruh nyata terhadap masa
hidup imago jantan (F=3,7; db=2, 43; P=0,027). Pada pepaya masa hidup imago jantan berlangsung selama 2,74 hari (n=43), pada jarak pagar selama 2,85 hari (n=33) dan paling singkat pada ubi kayu 1,9 hari (n=10). Stadium imago betina paling lama terdapat pada tanaman pepaya 14,93 hari (n=27), dibandingkan pada jarak pagar 13,67 hari (n=12), dan tersingkat pada ubi kayu 12,29 hari (n=7); namun perbedaan tadi tidak nyata (F=1,72; db=2, 43; P=0,192) Hasil penelitian Grimes & Cone (1985) mendapatkan bahwa siklus hidup Pseudococcus maritimus betina lebih lama daripada jantan. Masa praoviposisi berlangsung sekitar 8 hari, oviposisi sekitar 4 hari, dan pasca oviposisi 1-3 hari, dan tidak dipengaruhi oleh jenis tumbuhan inang (P>0,05). Penelitian Amarasekare et al. (2008) pada spesies kutu yang sama mendapatkan masa hidup imago jantan 2,3 hari dan betina 21,2 hari, dengan masa praoviposisi 6,3 hari dan masa oviposisi 11,2 hari. Polat et al. (2008) yang meneliti Planococcus citri pada beberapa jenis tanaman hias mendapatkan masa hidup imago betina 18-29 hari, dengan rincian masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi berturut-turut berkisar 7-10 hari, 7-16 hari, dan 2-4 hari. Goldasteh et al. (2009) yang juga meneliti P. citri melaporkan pada suhu 25 oC
masa hidup imago jantan 1,4 hari dan imago betina 32 hari, yang terdiri dari masa praoviposisi 11,1 hari, oviposisi 17,6 hari, dan pascaoviposisi 3,9 hari. Lebih singkatnya masa oviposisi dalam penelitian ini dibanding dengan hasil-hasil peneliti lainnya diduga terkait dengan teknik pemeliharaan serangga. Pada penelitian ini digunakan potongan daun, sedangkan pada penelitian Amarasekare et al. (2008), Polat et al. (2008), Goldasteh et al. (2009) digunakan setek tanaman. Diduga kualitas nutrisi pada setek tanaman lebih mendukung kehidupan kutu putih pepaya dibandingkan pada potongan daun.
Terjadinya
perbedaan masa perkembangan, reproduksi dan kelangsungan hidup kutu putih antar tanaman inang disebabkan karena terdapatnya perbedaan kualitas nutrisi dan senyawa kimia tanaman. Didalam pertumbuhan dan perkembangannya, serangga membutuhkan nutrisi yang lengkap dari inangnya.
Kualitas tanaman inang sangat
mempengaruhi fekunditas serangga herbivora. Komponen-komponen di dalam tanaman seperti karbon, nitrogen dan metabolit sekunder akan mempengaruhi keperidian serangga herbivora (Awmack & Leather 2002). Tabel 3 Masa hidup dan perkembangan (hari) imago kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang Tumbuhan Inang Imago F db P Pepaya Jarak Pagar Ubi kayu Jantan
2,74±0,17a
Betina
2,85±0,15a
1,9±0,23 b
3,76
2, 43
0,027
14,93±1,75a 13,67±1,74a 12,29±1,49a
1,72
2, 43
0,192
Praoviposisi
8,37±0,32a
7,83±0,66a
8,14±0,71a
0,35
2, 43
0,707
Oviposisi
4,00±0,36a
3,92±0,43a
3,86±0,63a
0,02
2, 43
0,978
Pascaoviposisi
2,56±0,55a
1,92±1,24a
0,29±0,18a
2,67
2, 43
0,081
Angka rataan sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05)
Keperidian dan Nisbah Kelamin Teknik pemeliharaan dan jenis tumbuhan inang mempengaruhi keperidian kutu putih pepaya. Pada pemeliharaan dengan potongan jaringan daun, rataan banyaknya telur yang diletakkan berkisar antara 29,25-79,14 butir, sedangkan pada pemeliharaan menggunakan bibit tanaman berkisar 157,5-324,6 butir (Tabel 4).
Tabel 4 Keperidian (butir) dan nisbah kelamin (% betina) kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang Pemeliharaan Tumbuhan inang Pepaya Jarak pagar Ubi kayu
Potongan jaringan daun Keperidian % Betinab Kisaran Rataana 4 – 129 45,07± 5,51a 55,7tn 4 – 46
Bibit tanaman Keperidian Kisaran Rataana 110 – 517 324,6 ±41,84a
% Betinab 89,5n
29,25± 4,52a
53,9tn
86 – 340
186,6 ± 29,33b
62,5n
24 – 137 79,14±15,30b
84,8n
26 – 351
157,5 ±31,61b
94,2n
a
Angka rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05) n, nyata; tn, tidak nyata terhadap nisbah kelamin teoritis (1:1)
b
Pada pemeliharaan dengan menggunakan potongan daun tanaman, rata-rata telur yang dihasilkan per betina sebanyak 45,07 (n=27) butir pada pepaya, 29,25 (n=12) butir pada jarak pagar dan 79,14 (n=7) butir pada ubi kayu. Pemeliharaan pada tanaman hidup yang tumbuh di pot rataan keperidiannya mencapai 324,6 butir pada pepaya, 186,6 butir pada jarak pagar, dan 157,5 butir per betina pada ubi kayu, masing-masing dengan 10 ulangan (n=10). Hal ini menunjukkan bahwa teknik pemeliharaan pada potongan jaringan daun kurang mendukung keperidian kutu putih pepaya. Diperkirakan pemotongan daun menyebabkan perubahan fisiologis dalam jaringan daun yang pada giliran berikutnya mempengaruhi kehidupan kutu putih pepaya. Rendahnya telur yang dihasilkan oleh betina dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti nutrisi dan cekaman atau gangguan dari lingkungan, sehingga imago betina tidak dapat menghasilkan telur. Oleh karena itu, pengaruh tumbuhan inang terhadap keperidian mungkin lebih tepat didasarkan pada hasil pemeliharaan dengan bibit tanaman. Hasil analisis mengungkapkan bahwa kutu putih yang hidup pada bibit pepaya memperlihatkan keperidian yang lebih tinggi
yaitu 324,6±41,84 butir dan berbeda nyata (F=6,62; db=2, 27;
P=0,005) dibandingkan ubi kayu (157,5±31,61) dan jarak pagar (186,6±29,33). Senyawa kimia pada tanaman dapat mempengaruhi perilaku makan serangga dan perilaku kawin serta reproduksi (Sutherland 1977). Keperidian juga dipengaruhi oleh jenis tanaman inang. Kesesuaian nutrisi pada tanaman inang sangat mempengaruhi keperidian serangga, bahkan bila nutrisi yang dibutuhkan tidak tercukupi serangga tidak berhasil melewati siklus hidupnya. Kualitas tanaman memberikan pengaruh terhadap populasi, strategi reproduksi seperti sumber untuk membentuk telur, ukuran dan kualitas telur, serta
bentuk dan ukuran serangga jantan dan nisbah kelamin (Awmack & Leather 2002). Penelitian Amarasekare et al. (2008) mendapatkan keperidian kutu putih pepaya pada tanaman hias Plumeria rubra L., Hibiscus rosa-sinensis L., Acalypha wilkesiana (Muell-Arg.), dan Parthenium hysterophorus L. berturut-turut 186,3; 244,4; 235,2; dan 230,2 butir.
Hogendorp et al. (2006) melaporkan bahwa
Planococcus citri yang dipelihara pada daun dengan kandungan nitrogen tinggi memiliki jumlah telur yang lebih banyak, ukuran betina yang lebih besar, dan masa perkembangan yang lebih singkat.
Terjadinya variasi dalam susunan
senyawa kimia primer pada tanaman dapat mempengaruhi performa serangga yang sangat berhubungan dengan jumlah telur yang dihasilkan (Bartlet et al. 1990). Serangga yang mengisap jaringan floem membutuhkan nitrogen dan asam amino yang tinggi untuk tumbuh dan berkembangbiak. Nitrogen, gula dan asam amino pada tanaman inang sangat menentukan keperidian serangga tipe menusuk mengisap, terutama yang mengisap pada jaringan floem (Dixon 1970; Calatayud & Le Rü 2006).
Sebagai contoh pertumbuhan dan keperidian kutu daun
Drepanosiphum platanoidis meningkat dan cepat pada daun Acer pseudoplatanus yang mengandung asam amino dan protein yang tinggi (Dixon 1970). Kutu daun Rhopalosiphum padi, keperidiannya tinggi pada biji gandum yang mengandung asam amino tinggi (Weibull 1987). Jumlah protein pada daun pepaya (8,0 g/100 g) (Astawan 2010) lebih tinggi dari pada ubi kayu (6,8 g/100 g) (Widianta & Deva 2008) dan jarak pagar, sehingga menyebabkan individu yang bertahan hidup dan telur yang dihasilkan lebih banyak pada tanaman pepaya dibandingkan tanaman lainnya. Nisbah kelamin kutu putih pepaya bervariasi tergantung pada teknik pemeliharaan dan tumbuhan inang. Secara umum proporsi betina lebih banyak dibandingkan jantan.
Nisbah kelamin (% betina) kutu putih pepaya yang
dipelihara pada potongan jaringan daun tidak berbeda nyata dengan nisbah teoritis (1:1), yaitu pada pepaya 55,7% (χ2=1,031; P=0,31) dan jarak pagar 53,7% (χ2=0,305; P=0,58), sedangkan pada ubi kayu 81,3% berbeda nyata (χ2=30,01; P<0,001). Amarasekare et al. (2008), mendapatkan nisbah kelamin P. marginatus betina pada tanaman hias berkisar 53-59%. Nisbah kelamin pada pemeliharaan
dengan bibit tanaman berbeda nyata dengan nisbah teroritis yaitu 89,5% pada pepaya (χ2=513,076; P<0,001), 62,5% pada jarak pagar (χ2=40,125; P< 0,001), dan 94,2% pada ubi kayu (χ2=487,526; P<0,001 ). Ross et al. (2010) melaporkan bahwa nisbah kelamin pada Planococcus citri dipengaruhi oleh kerapatan pada saat nimfa dan imago, umur imago, dan makanan. Walaupun beberapa spesies kutu putih seperti Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero dan Phenacoccus solenopsis Tinsley memperlihatkan reproduksi partenogenesis telitoki (Calatayud & Le Ru 2006, Vennila et al. 2010), tidak satu pun imago betina P. marginatus yang yang tidak kawin (n=20) yang menghasilkan telur. Hal ini membuktikan bahwa kutu putih pepaya tidak bereproduksi secara partenogenetik. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh hasil penelitian Amarasekare et al. (2008) pada tanaman inang bukan pepaya. James (1937) dalam Grimes & Cone (1985) melaporkan kutu putih anggur memiliki tipe reproduksi seksual dengan nisbah kelamin betina lebih banyak dibandingkan jantan (0,09:3,8). Ada tiga sistem genetik yang mempengaruhi tipe reproduksi pada serangga kutu putih, yaitu; kromosom sex, sistem lecanoid dan sistem partenogenesis. Umumnya serangga jenis kutu putih memiliki tipe reproduksi seksual (McKenzie 1967). Sintasan Tumbuhan inang berpengaruh terhadap saat kematian kutu putih pepaya seperti terlihat dari kurva sintasan pada Gambar 4. Kurva sintasan pada ubi kayu berbeda nyata dengan pada pepaya (χ2=9,757; P=0,002) dan pada jarak pagar (χ2=10,65; P=0,001), sedangkan antara pepaya dan jarak pagar tidak berbeda nyata (χ2=0,082; P=0,775). Perbedaan tersebut tampaknya berhubungan dengan tingkat kematian dan masa perkembangan pradewasa.
Tingkat kematian
pradewasa kutu putih yang dipelihara pada potongan daun ubi kayu mencapai 65%, sedangkan pada pepaya dan jarak pagar berturut-turut 11% dan 25%. Sementara itu, kutu putih yang hidup pada ubi kayu memerlukan waktu hampir dua kali lipat lebih lama untuk menyelesaikan perkembangan pradewasanya dibandingkan pada pepaya atau jarak pagar (Tabel 2 sebelumnya).
Tingginya kematian fase pradewasa pada tanaman ubi kayu dapat disebabkan oleh tingginya kandungan fosfor dan senyawa fenolik dalam jaringan tanaman. Menurut Awmack & Leather (2002) kandungan fosfor dan senyawa fenolik pada daun dapat mempersingkat masa hidup serangga.
Namun,
Planococcus citri yang dipelihara pada daun yang memiliki kandungan nitrogen tinggi mampu meningkatkan kualitas telurnya dan ukuran tubuh imago menjadi lebih besar (Hogendorp et al. 2006). Serangga tipe pengisap floem membutuhkan nitogen dan asam amino sebagai nutrisi utamanya. Proporsi hidup paling tinggi terdapat pada tanaman pepaya dibandingkan tanaman lainnya. Diduga tanaman pepaya mengandung nitrogen yang tinggi sehingga mampu mendukung kehidupan kutu putih. Hasil penelitian Rae dan Jones (1992) mengungkapkan bahwa meningkatnya kandungan nitrogen pada tanaman mampu mendukung kehidupan fase pradewasa dan oviposisi Saccharicoccus sacchari pada tanaman tebu di laboratorium. Nitrogen memberikan pengaruh yang positif terhadap ukuran tubuh dan jumlah telur yang dihasilkan Pseudococcus maritimus (Grimes & Cone 1985). Populasi Planococcus citri meningkat pada tanaman coklat yang mengandung unsur nitrogen tinggi (Fennah 1959 dalam Hogendorp et al. 2006).
Proporsi yang hidup
1.0
Pepaya Jarak pagar Ubi kayu
0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0
10
20
30
40
50
Waktu (hari setelah telur menetas) Gambar 4 Kurva sintasan kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang berdasarkan metode Kaplan-Meier
Neraca Hayati Neraca hayati kutu putih P. marginatus pada pepaya, jarak pagar, dan ubi kayu disajikan pada Tabel 5, 6, dan 7 berikut ini. Tabel 5 Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada pepaya x (hari)
lx
mx
lxmx
0,5 . . . 22,5 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 28,5 29,5 30,5 31,5 32,5 33,5 34,5 35,5 36,5 37,5 38,5 39,5 40,5 41,5 42,5 43,5 44,5 45,5 46,5
1,0 . . . 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,81 0,78 0,72 0,69 0,69 0,66 0,54 0,48 0,42 0,39 0,27 0,12 0,09 0,06
0 . . . 0 0 0 0 0 0 0,49444 0,42852 2,73593 2,30741 4,74667 2,80185 2,87538 3,74542 7,00391 4,87565 2,71045 3,46111 4,2275 3,24214 1,91692 1,87889 0,89 0 0
0 . . . 0 0 0 0 0 0 0,400496 0,347101 2,216103 1,869002 3,844803 2,269499 2,242796 2,696702 4,832698 3,364199 1,788897 1,868999 2,0292 1,361699 0,747599 0,5073 0,1068 0 0
Tabel 6 Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada jarak pagar x (hari)
lx
mx
lxmx
0,5 . . . 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 28,5 29,5 30,5 31,5 32,5 33,5 34,5 35,5 36,5 37,5 38,5 39,5 40,5 41,5 42,5 43,5 44,5 45,5 46,5 47,5 48,5
1,0 . . . 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,495 0,405 0,405 0,405 0,36 0,36 0,36 0,09 0,045 0,045 0,045 0,045
0 . . . 0 0 0 0 0 0 0,625 0 0,5625 1,875 1,4375 0,75 1,5625 2,625 1,1591 4,8333 0 5,8333 0,9375 0,5625 1,5 0 17,25 0 0 0
0 . . . 0 0 0 0 0 0 0,3375 0 0,30375 1,0125 0,77625 0,405 0,84375 1,4175 0,573755 1,957487 0 2,362487 0,3375 0,2025 0,54 0 0,77625 0 0 0
Tabel 7 Neraca hayati kutu putih Paracoccus marginatus pada ubi kayu x (hari)
lx
mx
lxmx
0,5 . . . 41,5 42,5 43,5 44,5 45,5 46,5 47,5 48,5 49,5 50,5 51,5 52,5 53,5 54,5 55,5 56,5
1,0 . . . 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,15 0,12857 0,12857 0,08571 0,06429 0,02143
0 . . . 0 0 0 0 0 0 0 0 21,8886 12,22 23,2314 8,93 6,2667 1,41 0 22,56
0 . . . 0 0 0 0 0 0 0 0 3,28329 1,833 3,48471 1,14813 0,80571 0,120851 0 0,483461
Hasil perhitungan parameter populasi P. marginatus pada tanaman pepaya, jarak pagar dan ubi kayu disajikan pada Tabel 8. Nilai parameter neraca hayati bervariasi tergantung pada jenis tumbuhan inang. Laju reproduksi bersih (Ro) tertinggi terdapat kutu putih yang dipelihara pada potongan daun pepaya dan berbeda sangat nyata (P<0,001) dengan pada potongan daun jarak pagar dan ubi kayu (Tabel 8). Laju pertambahan intrinsik (rm) juga berbeda antar tumbuhan inang (P<0,001), paling tinggi terdapat pada pepaya. Pola yang sama diperlihakan pula oleh perbedaan nilai laju pertambahan terbatas (λ) di antara ketiga tumbuhan inang. Masa generasi (T) pada pepaya dan jarak pagar lebih singkat dan berbeda nyata (P<0,001) bila dibanding dengan pada ubi kayu.
Tabel 8 Parameter neraca hayati kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang Parameter Pepaya Jarak pagar Ubi kayu Ro (♀/♀)
32,49±3,97a
11,85±1,83b
11,16±2,16b
T (hari)
29,86±0,61a
31,52±1,009a
42,65±0,37b
rm (♀/♀/h)
0,117±0,005a
0,079±0,005c
0,057±0,005b
λ (♀/♀/h)
1,12±0,006a
1,08±0,006c
1,06±0,005b
DT (hari)
5,93±0,25a
8,76±0,62c
12,07±1,1b
Angka rataan sebaris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji Tukey, α = 0,05)
Berdasarkan hasil yang diperoleh laju reproduksi bersih (Ro) paling tinggi terdapat pada pepaya (32,49 ♀/♀) bila dibandingkan dengan jarak pagar (11,85 ♀/♀) dan ubi kayu (11,16 ♀/♀) tanaman inang lainnya, parameter ini sangat berkaitan dengan kemampuan hidup (lx) dan keperidian harian (mx) imago betina. Dengan demikian bahwa populasi kutu putih pada pepaya dapat meningkat 32 kali lipat dalam setiap generasinya. Tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keperidian dan peluang hidup seperti faktor lingkungan, tersedianya makanan, kerapatan populasi dan lain-lain, menunjukkan bahwa populasi kutu putih tertinggi terdapat pada tanaman pepaya (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa pepaya sangat cocok sebagai inang bagi perkembangan dan keperidian kutu putih dibandingkan ubi kayu dan jarak pagar.
Berbagai
perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor fisik dan kimia daun dari setiap tumbuhan inang yang diuji (Sadof et al. 2003; Hogendrop et al. 2006). Rataan masa generasi (T) kutu putih pepaya paling lama terdapat pada ubi kayu (42,65). Ubi kayu mengandung senyawa metabolit sekunder cyanogenic yang dapat menghambat serangga penghisap floem mengambil nutrisi pada inangnya (Conn 1980 dalam Calatayud & Le Rü 2006). Hasil penelitian (Calatayud et al. 1994 dalam Calatayud & Le Rü 2006) menyatakan senyawa cyanogenic mampu menghambat proses penetrasi Phenacoccus manihoti pada tanaman ubi kayu. Laju pertambahan intrinsik kutu putih (rm) dan laju pertambahan terbatas (λ) yang dipelihara pada pepaya lebih tinggi dibandingkan pada ubi kayu dan jarak pagar.
Laju pertambahan intrinsik adalah statistik komposit yang telah
mempertimbangkan berbagai parameter hayati seperti lama perkembangan, keperidian, lama hidup, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey 1993). Oleh karena
itu, rm dapat dijadikan kriteria untuk menilai tingkat kesesuaian tumbuhan inang. Hal ini berkaitan dengan tingginya jumlah telur yang dihasilkan, persentase telur yang menetas dan kelangsungan hidup pada tanaman pepaya (81%) dibandingkan pada jarak pagar (54%) dan ubi kayu (15%). Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan nilai pada parameter neraca hayati dan waktu perkembangan serangga. Dalam kaitan ini, pepaya adalah tumbuhan inang yang paling sesuai bagi kehidupan P. marginatus diikuti oleh jarak pagar dan ubi kayu. Sejalan dengan itu, laju pertambahan intrinsik dapat digunakan untuk membandingkan potensi peningkatan populasi hama pada berbagai tumbuhan inang. Makin tinggi nilai rm pada suatu tumbuhan inang, maka semakin tinggi potensi peningkatan populasi hama pada tumbuhan inang tadi. Dalam penelitian ini nilai rm pada pepaya, jarak pagar, dan ubi kayu berturut-turut 0,117 ♀/♀/h; 0,079 ♀/♀/h, dan 0,057 ♀/♀/h. Nilai rm dapat lebih tinggi bila kutu putih pepaya dipelihara pada tanaman hidup, karena keperidiannya lebih banyak dibandingkan yang dipelihara pada potongan jaringan daun. Pada kondisi suhu kamar yang hampir sama (25-27 ˚C), beberapa jenis kutu putih memperlihatkan laju pertambahan intrinsik yang sebanding atau sedikit lebih tinggi. Sebagai contoh, laju pertambahan intrinsik Maconellicoccus hirsutus 0,119 (Chong et al. 2008), Phenacoccus solani 0,144 (Nakahira & Arakawa 2006), dan Planococcus citri 0,14 (Goldasteh et al. 2009). Berdasarkan hasil yang diperoleh, masa ganda (DT) kutu putih pepaya pada pepaya (5,93 hari) lebih cepat dibandingkan yang dipelihara pada ubi kayu dan jarak pagar. Populasi kutu putih pepaya mampu meningkat dua kali lipat dalam 6 hari, dengan demikian tanaman pepaya sangat sesuai untuk perkembangan kutu putih. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan (Walker et al. 2003; Meyerdirk et al. 2004; Pena et al. 2005; Muniappan et al. 2008) bahwa pepaya merupakan inang utama dari serangga ini. Pada keadaan distribusi umur stabil dan lingkungan tak terbatas, nilai rm dapat digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan eksponensial populasi menggunakan rumus Nt = No e
rt
atau Nt+1 = Nt λt (Carey 1993). Gambar 5
membandingkan pertumbuhan populasi kutu putih P. marginatus pada pepaya,
jarak pagar, dan ubi kayu. Tampak bahwa pertumbuhan populasi kutu putih pada pepaya jauh lebih tinggi dibandingkan pada jarak pagar dan ubi kayu.
350,0
Ukuran Populasi
300,0
Pepaya Jarak pagar Ubi kayu
250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Waktu Gambar 5 Pertumbuhan populasi kutu putih pepaya pada tiga jenis tumbuhan inang berdasarkan persamaan eksponensial Lebih sesuainya tanaman pepaya sebagai inang P. marginatus seperti ditunjukkan oleh pertumbuhan eksponensial populasi kutu putih pada pepaya dibandingkan pada jarak pagar dan ubi kayu, konsisten dengan situasi di lapangan. Selama ini kelimpahan populasi dan tingkat serangan P. marginatus paling tinggi terjadi pada pertanaman pepaya.