4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kepadatan Populasi P. erosa Jumlah individu P. erosa yang didapat pada penelitian kali ini tergolong bervariasi pada setiap stasiun pengambilan sampel. Jumlah kerang paling banyak didapatkan pada stasiun C3 yaitu 46 ind/stasiun, sedangkan pada stasiun A1, D1, D2 dan D3 sama sekali tidak ditemukan P. erosa. Bila diliat dari jumlah individu per kelompok, didapatkan jumlah individu secara berturut-turut yaitu 46, 48, 100 dan 0 individu. Berdasarkan kelompok stasiun dapat terlihat jumlah P. erosa tertinggi pada kelompok B (mangrove kategori rusak) dan terendah pada kelompok D (mangrove kategori bagus). Jumlah keseluruhan P. erosa pada penelitian kali ini mencapai 194 individu. Rata-rata kepadatan P. erosa pada mencapai 9.83 + 4.86 ind/m2. Tabel 4.1. Jumlah, kelimpahan dan simpangan baku kepadatan P. erosa Kelompok Stasiun A (Mangrove Rusak Berat) B (Mangrove Rusak) C (Mangrove Kurang Bagus) D (Mangrove Bagus)
Stasiun
Jumlah Individu
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D2
0 23 23 42 21 37 2 0 46 0 0 0
Kelimpahan dan Simpangan Baku/Stasiun (ind/m2) 0+0 7.67 + 2.52 7.67 + 4.73 14 + 6.08 7 + 2.65 12.33 + 8.08 2 + 1.15 0+0 15.33 + 11.5 0+0 0+0 0+0
Jumlah Individu/ kelompok
46
100
48
0
Berdasarkan Tabel 4.1 terlihat bahwa nilai kepadatan P. erosa di tiap-tiap stasiun bervariasi. Kelompok stasiun A, didapatkan pada stasiun A1 sebanyak 0 ind/m2, stasiun A2 sebanyak 8 ind/m2 dan stasiun A3 sebanyak 8 ind/m2. Kelompok stasiun B terdiri dari stasiun B1 sebanyak 14 ind/m2, stasiun B2 sebanyak 7 ind/m2 dan stasiun B3 sebanyak 12 ind/m2. Kelompok stasiun C didapatkan pada stasiun C1 sebanyak 2 ind/m2, stasiun C2 sebanyak 0 ind/m2 dan stasiun C3 sebanyak 15 ind/m2. Selain itu pada kelompok stasiun tidak didapatkan P. erosa. Gambar 4.1 menunjukan nilai kepadatan pada masing-masing stasiun yang bervariasi. Nilai kepadatan berdasarkan stasiun dari yang tertinggi hingga terendah yaitu C3, B1, B3, A2, A3, B2, C1, A1, D1, D2 dan D3.
18
Gambar 4.1. Kepadatan P. erosa berdasarkan stasiun pengamatan Data kelimpahan tiap stasiun digunakan sebagai dasar peta sebaran P. erosa. Metode yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran adalah interpolasi. Interpolasi disini juga lebih bersifat menduga/mengestimasi wilayah yang berada diluar stasiun. Sehingga dapat tergambarkan dugaan sebaran P. erosa berdasarkan data kelimpahan yang didapat dalam penelitian.
Gambar 4.2. Peta persebaran P. erosa berdasarkan kelimpahan setiap stasiun pengamatan
19
Sebaran Kelompok Umur P. erosa Penentuan sebaran kelompok umur dilakukan berdasarkan panjang cangkang dari P. erosa yang didapatkan pada proses pengamatan. Umur diasumsikan berbanding lurus dengan panjang cangkang. Berdasarkan hasil pengukuran panjang cangkang, maka P. erosa dikelompokan menjadi lima kelas interval (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Sebaran kelompok umur P. erosa berdasarkan panjang cangkang No Panjang Kelompok Stasiun (cm) (Jumlah Individu) A B C D 1 2 – 3.2 0 7 11 0 2 3.3 – 4.5 2 36 14 0 3 4.6 – 5.8 20 43 17 0 4 5.9 – 7.1 21 13 5 0 5 7.2 – 8.4 3 1 1 0 Secara keseluruhan bila dilihat dari pengkelasan panjang cangkang pada Tabel 4.2 diketahui bahwa dari semua kelompok stasiun, P. erosa mengalami pertambahan ukuran. Jumlah P. erosa yang memiliki ukuran kelas terendah dianggap sebagai stok alami. Kelompok stasiun C memiliki stok alami yang paling banyak diantara kelompok stasiun lainnya. Ukuran panjang yang paling dominan dari keempat kelompok stasiun yaitu kelas ukuran 4.6 – 5.8 cm. Terlihat dari frekuensi pertambahan individu P. erosa pada masing-masing kelas stasiun dapat menunjukan adanya pola rekrutmen. cm
cm
Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun A
7.2-8.4
7.2-8.4
5.9-7.1
5.9-7.1
4.6-5.8
4.6-5.8
3.3-4.5
3.3-4.5
2-3.2
2-3.2 100
cm
50 female
0 male
50
Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun B
100
40
20
male
0
20 female
40
60
cm 7.2… Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun D 5.9…
Piramida Panjang Cangkang P. erosa Kelompok Stasiun C
7.2-8.4 5.9-7.1
4.6…
4.6-5.8
3.3…
3.3-4.5 2-3.2
2-3.2 60
40
20 male
0 20 female
40
60
0
0.2
0.4 0.6 male female
0.8
1
Gambar 4.3. Piramida sebaran umur P. erosa pada setiap kelompok stasiun pengamatan
20
Persebaran kelas ukuran berdasarkan panjang cangkang diawali pada kelas ukuran 2 – 3.2 cm hingga ukuran 7.2 – 8.4 cm. Secara keseluruhan pada tiap kelompok stasiun mengalami penambahan jumlah frekuensi P. erosa hingga mencapai kelompok kelas ukuran 4.6 – 5.8 cm yang dominan. Setelah itu mengalami penurunan hingga kelas panjang maksimum yang ditemukan yaitu 7.2 – 8.4 cm. Karakteristik populasi dapat digambarkan secara grafik dengan menampilkan piramida populasinya. Piramida populasi yang terbentuk dari data sebaran umur P. erosa berbentuk sarang tawon kuno/old fashioned beehive (Gambar 4.3). Jenis piramida ini menggambarkan kondisi pemijahan (anakan kerang) relatif rendah dan kematian kerang yang relatif tinggi. Piramida ini juga menunjukan bahwa P. erosa dengan jenis kelamin betina mendominasi populasi dibandingkan jantan. Hal ini juga dipengaruhi oleh metode yang digunakan dalam pengambilan sampel kerang. Pola Distribusi P. erosa Data pada Tabel 4.3 menjelaskan pola penyebaran P. erosa baik secara keseluruhan individu maupun tiap kelompok stasiun yang cenderung mengelompok. Pola penyebaran mengelompok dapat ditunjukan dengan nilai ratarata ( x ) lebih kecil dibandingkan nilai keragaman (S2). Tabel 4.3. Pola distribusi P. erosa Kelompok Stasiun
Nilai x
Nilai S2
Perbandingan
Pola Distribusi
A
5.11
19.6
x < S2
B
11.11
13.37
x < S2
C
17.33
269.78
x < S2
D
0
0
-
Aggregate (mengelompok) Aggregate (mengelompok) Aggregate (mengelompok) -
Keseluruhan
5.5
35.53
x < S2
Aggregate (mengelompok)
Vegetasi Mangrove Kondisi vegetasi mangrove pada wilayah pengamatan dapat diketahui dengan melihat Nilai Penting (NP) dari masing-masing kategori. Menurut Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974), pengamatan mangrove dikategorikan menjadi tiga yaitu pohon, anakan dan semai, semak dan herba . Pohon Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis data yang dilakukan, mangrove dengan kategori pohon hanya ditemukan spesies Nypa fructicans. Nypa fructicans digolongkan kategori pohon karena pada lokasi pengamatan tingginya
21
mencapai > 3 m. Spesies ini memiliki nilai penting mencapai 200% dan menjadi satu-satunya spesies dalam kategori pohon. Anakan Nilai penting menggambarkan secara keseluruhan kondisi mangrove. Nilai penting (NP) mencakup kondisi dari nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif. Nilai penting kategori anakan dapat dilihat pada Gambar 4.4. Spesies mangrove kategori anakan yang mendominasi di wilayah Segara Anakan yaitu Rhizophora apiculata. 700% 600% 500% 400% 300% 200% 100% 0%
614%
594%
419% 337%
275% 175%
124%
260%
188% 33%
309% 192% 54%
Gambar 4.4. Nilai penting spesies mangrove kategori anakan dari seluruh stasiun Semai, semak dan herba Kondisi mangrove kategori semai, semak dan herba saat pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.5. Kategori semai, semak dan herba umumnya terdiri dari Acanthus ilicifolius dan Acanthus ebracteatus. Kedua spesies ini banyak ditemukan di wilayah pengamatan. Selain itu bila dilihat dari nilai penting yang didapatkan, kedua spesies tersebut mendominasi.
22
1400%
1223.97%
1200% 1000% 800% 600% 400% 200%
347.46%
293.27%
203.88% 43.00%
36.00%
106.37%
45.00% 40.00% 34.31% 26.25%
0%
Gambar 4.5. Nilai penting spesies mangrove kategori semai, semak dan herba dari seluruh stasiun Kondisi mangrove di kawasan Segara Anakan saat pengamatan tergambarkan dalam hasil pengolahan landsat citra wilayah Cilacap bagian selatan pada tahun 2012. Berikut merupakan hasil analisis luas mangrove 2012 di kawasan Segara Anakan, Cilacap.
Gambar 4.6 Peta luas mangrove kawasan Segara Anakan, Cilacap Luas mangrove Segara Anakan menurut Ardli dan Wolff (2008) pada tahun 1987 mencapai 15827.6 ha, tahun 1995 mencapai 10974.6 ha, tahun 2004 mencapai 9271.6 ha dan tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Luas mangrove yang didapatkan berdasarkan pengolahan citra landsat 2012 terlihat mengalami penurunan. Secara keseluruhan luas mangrove mencapai 8036.9 ha. Penurunan terjadi di wilayah mangrove yang cenderung dekat dengan wilayah penduduk.
23
Penurunan ini dimungkinkan karena konversi lahan mangrove menjadi persawahan maupun permukiman atau adanya ilegal logging seperti yang terlihat pada saat pengamatan. Kualitas Lingkungan Kualitas lingkungan di suatu wilayah akan mempengaruhi kondisi mahluk hidup yang ada di dalamnya. Kualitas lingkungan tentunya akan mempengaruhi kondisi mangrove ataupun P. erosa itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 7) menunjukan bahwa kualitas lingkungan yang terdapat pada setiap stasiun tidak memiliki variasi yang signifikan. Hal ini berlaku pada keseluruhan faktor lingkungan yang diamati. Analisis PCA dilakukan untuk mengetahui faktor lingkungan yang lebih berpengaruh (Gambar 4.7). Berdasarkan dua belas variabel yang diamati, direduksi menjadi empat faktor. Masing-masing faktor memberi kontribusi secara berurutan yaitu 37.7%, 26.2%, 11.5%. Ketiga faktor ini dapat menjelaskan 75.4% dari keseluruhan hubungan. Faktor lingkungan yang memiliki hubungan paling dekat dengan nilai kepadatan P. erosa adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. 0
0.50
organik
suhu
pasir
0.25
F2
lux kelimpahan
0.00
air
0
liat
salinitas
-0.25
debu
pH
-0.50 -0.50
-0.25
0.00 F1
0.25
0.50
Gambar 4.7. Analisis PCA (Principal Component Analysis) Kualitas Lingkungan Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Populasi P. erosa Keterkaitan ekosistem mangrove dengan populasi P. erosa diketahui dengan melakukan analisis regresi. Hasil analisis regresi akan memberikan gambaran mengenai kuat lemahnya hubungan antara ekosistem mangrove dengan populasi P. erosa. Gambar 4.8 merupakan hasil analisis regresi antara ekosistem mangrove dengan populasi P. erosa pada lokasi pengamatan.
24
Gambar 4.8. Grafik regresi kubik hubungan mangrove kategori pohon, anakan dan kategori semai, semak dan herba dengan populasi P. erosa pada setiap plot pengambilan sampel Berdasarkan analisis regresi kubik dengan menggunakan spss v 19 didapatkan nilai R kategori pohon sebesar 0,055 dengan persamaan Y = 4.603 + 6.864X + 306.377X2 – 1403.5X3. R untuk kategori anakan sebesar 0.146 dengan persamaan Y = -3.435 + 28.628X – 21.13X2 + 4.121X3. R untuk kategori semai, semak dan herba adalah 0.094 dengan persamaan Y = 7.986 – 1.386X + 0.12X2 – 0.03X3. Secara keseluruhan kategori mangrove tergolong memiliki hubungan yang sangat lemah terhadap kepadatan P. erosa. Selain itu perhitungan korelasi Pearson memiliki nilai R secara berurutan yaitu 0.040, 0.044, 0.174 dan tergolong memiliki kategori korelasi yang sangat lemah. Pemanfaatan P. erosa Penentuan responden untuk kuisioner pada pengamatan kali ini menggunakan metode Solvin. Jumlah keseluruhan dari nelayan pencari P. erosa mencapai 50 orang. Penggunaan metode Solvin menghasilkan jumlah minimum responden untuk kuisioner sebanyak 33 orang. Hasil dari data yang didapatkan menggambarkan bahwa masyarakat sekitar umumnya memanfaatkan kerang ini untuk konsumsi, perdagangan dan kerajinan. Selain itu, masyarakat juga menggunakan cangkang P. erosa untuk menimbun tanah di wilayah desa mereka. Kondisi ini dipengaruhi mudahnya proses penangkapan kerang yaitu dengan hanya menggali substrat di kawasan mangrove tanpa menggunakan alat bantu. Menurut masyarakat dan nelayan yang menjadi responden, kerang ini sangat dominan terdapat di wilayah mangrove Segara Anakan bagian barat dan minimum atau bahkan hampir tidak ada pada mangrove Segara Anakan bagian timur. Nelayan mencari kerang ini pada saat musim surut agar dapat mempermudah proses pengambilannya. Frekuensi pengambilan minimal dua kali selama satu minggu. Nelayan dapat menghasilkan maksimal 10 ember (+ 12 kg/ember) pada setiap trip pencarian kerang. Kerang ini dijual ke pengepul dengan harga rata-rata Rp. 4.000 dengan cangkang dan Rp. 15.000 tanpa cangkang. Kebanyakan para nelayan kerang ini terdapat di desa Montean, Klaces dan Karanganyar.
25
Pembahasan Kepadatan Populasi P. erosa Nilai kepadatan P. erosa pada penelitian kali ini terlihat bervariasi di setiap stasiun pengambilan sampel. Kepadatan P. erosa tertinggi terdapat pada stasiun C3 (15 ind/m2) dan terendah pada beberapa stasiun seperti stasiun A1, C2, D1, D2 dan D3 (0 ind/m2). Kepadatan yang berbeda diduga terkait dengan kondisi habitat dan lingkungan dari P. erosa itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kresnasari (2010) bahwa berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi turunnya produktivitas biota perairan. Amin (2009) menyebutkan kepadatan P. erosa dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik dari masing-masing stasiun pengambilan sampel. Selain itu P. erosa tidak terdistribusi normal. Gambar 4.1 memperlihatkan kelimpahan P. erosa dominan pada kelompok stasiun B dan tidak ada pada kelompok stasiun D. Ini menunjukan bahwa kondisi mangrove tidak berpengaruh secara langsung terhadap nilai kepadatan populasi P. erosa. Tidak adanya individu P. erosa pada kelompok stasiun D dengan kategori mangrove bagus kemungkinan disebabkan kondisi substrat yang cenderung kering dan keras. Faktor lingkungan lain yang kurang mendukung sehingga tidak memungkinkan bagi P. erosa untuk hidup pada kondisi tersebut. Kepadatan P. erosa terpengaruh secara tidak langsung oleh kondisi kerapatan mangrove. Kerapatan mangrove menjadi terkait karena menurut Zamroni dan Rohyani (2008), kerapatan mangrove akan mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kepadatan mangrove, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus, semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan pakan alami dari P. erosa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mangrove sebagai salah satu faktor stimulan pembentuk kondisi lingkungan pada suatu habitat. Nilai rata-rata kepadatan pada penelitian ini mencapai 9.83 + 4.68 ind/m2. Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan pada wilayah yang sama. Penelitian Pribadi tahun 2003 menyebutkan bahwa kepadatan P. erosa dapat mencapai 10.48 ind/m2. Widowati et al. (2005) menyatakan kepadatan P. erosa hanya mencapai 9.7 ind/m2. Penelitian Listyaningsih et al. pada tahun 2011 menyatakan kepadatan P. erosa mencapai 6.53 ind/m2 . Secara keseluruhan bila dibandingkan dengan temuan yang ada, kemungkinan perbedaan dapat terjadi karena teknik pengambilan sampel yang berbeda. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya, dapat dikatakan kondisi populasi P. erosa bila dilihat dari kepadatan cenderung stabil. Peta (Gambar 4.2) menunjukan persebaran P. erosa yang memiliki nilai kelimpahan dominan tinggi berada di bagian tengah dan barat mangrove Segara Anakan, sedangkan di bagian timur lebih cenderung tidak ada. Bagian tengah dan barat memiliki mangrove yang tergolong rusak hingga rusak berat sedangkan bagian timur tergolong mangrove kategori bagus. Bagian timur Segara Anakan substrat cenderung keras karena jarang terendam oleh pasang surut. Hal ini yang menyebabkan tidak ditemukannya P. erosa. Selain itu, salinitas di bagian timur Segara Anakan relatif lebih tinggi dibandingkan bagian barat.
26
Stasiun C3 yang memiliki nilai kepadatan tertinggi didominasi Acanthus ebracteatus. Kondisi tersebut sesuai pada saat pengambilan sampel karena P. erosa banyak terdapat di substrat sekitar spesies mangrove Nypa fructican dan Acanthus ebracteatus. Perbedaan kondisi mangrove sangat nyata terlihat pada kelompok stasiun D (Lampiran 6). Kelompok stasiun D di dominasi oleh familia Rhizophoraceae yang ditunjukan dengan nilai penting tertinggi. Hal ini sangat berbeda pada temuan penelitian Dwiono pada tahun 2003 pada wilayah yang sama yaitu kebanyakan P. erosa banyak ditemukan di bawah Rhizophora apiculata. Perbedaan ini memperkuat adanya dugaan bahwa mangrove kurang berpengaruh secara langsung dengan kelimpahan P. erosa. Menurut Nyabakken (1992) faktor yang berpengaruh langsung pada kelimpahan, komposisi dan distribusi dari makrobentos seperti P. erosa adalah kondisi substrat dasar. Komposisi substrat yang berbeda pada tiap stasiun. Data subtrat dasar yang diperoleh secara keseluruhan sama yaitu liat. Hal ini berbeda dengan kondisi substrat yang ideal untuk P. erosa. Morton (1984) menyatakan bahwa P. erosa akan berkembang baik pada substrat lumpur berpasir. Adanya kandungan pasir pada substrat dapat mempermudah P. erosa menyaring makanan dan laju pertukaran air cepat sehingga kadar oksigen terlarut menjadi banyak tersedia. Selain berbagai faktor yang telah disebutkan, faktor pemangsaan, penyebaran larva, pasang surut dan pengambilan P. erosa juga dapat mempengaruhi nilai kepadatan individu tersebut. Larva mencari habitat yang cocok, berkembang menjadi bivalvia muda lalu menetap hingga dewasa dan matang gonad (Manzi dan Castagna, 1989). Menurut Gosling (2003) penyebaran larva bivalvia pasif tetapi pada stadia tertentu akan aktif berenang dan menyebar secara vertikal. Penyebaran ini dibantu oleh adanya arus air/pasang surut. Ini mengindikasikan bahwa bivalvia dalam stadia larva mampu mengendalikan distribusinya secara vertikal. Sebaran Kelompok Umur P. erosa Penentuan kelompok umur P. erosa didapatkan dari ukuran panjang cangkang masing-masing individu. Nilai kelompok umur didapatkan dengan asumsi bahwa panjang cangkang berbanding lurus dengan umur (Gosling, 2003). Berdasarkan histogram sebaran kelompok umur P. erosa yang diambil dari stasiun pengamatan didapatkan satu kelompok umur (satu periode pemijahan) pada masing-masing kelompok stasiun. Kondisi ini mungkin terjadi karena rentang pengambilan sampel yang tidak terlalu jauh. Meskipun demikian, tetap ada individu baru yang berukuran kecil yang bertambah. Ini menunjukan adanya pola rekuitmen individu baru karena P. erosa melakukan pemijahan sepanjang tahun (Kresnasari, 2010). Piramida sebaran umur yang terbentuk menggambarkan individu betina lebih mendominasi dibandingkan jantan. Piramida (Gambar 4.3) juga menggambarkan rendahnya individu anakan dan individu tua. Hal ini terkait metode pengambilan sampel P. erosa. Jenis piramida ini biasa disebut dengan piramida sarang tawon kuno/old fashioned beehive. Frekuensi kehadiran P. erosa yang mendominasi terlihat pada ukuran 4.6 – 5.8 cm sebanyak 43 individu. Ukuran ini juga memiliki daya tahan hidup yang lebih tinggi dibanding dengan ukuran kurang dari 2 cm. Ukuran tersebut termasuk dalam kerang yang siap konsumsi dan dengan melimpahnya ukuran ini menyebabkan masyarakat yang
27
memanfaatkan P. erosa tidak perlu mengambil kerang yang berukuran kecil. Hal ini memberi kesempatan bagi pelopor rekrutmen untuk lebih berkembang. Kondisi ini menjadi penting karena P. erosa melakukan pemijahan secara eksternal sehingga sangat bergantung pada kondisi lingkungan. Utomo et al. (2012) menyatakan kerang dengan panjang cangkang yang dominan adalah kerang dewasa yang sudah mampu melakukan aktivitas reproduksi atau telah melewati beberapa kali masa spawning. Thorarinsdottir dan Johannesson (1996) dalam Amin et al. (2009) menyebutkan kepadatan populasi dan faktor fisik, kimia maupun biologis habitat mempengaruhi pertumbuhan kerang khususnya pada cangkang dan jaringan. Piramida menunjukan pada kelas ukuran 2 – 3.2 cm tergolong rendah. Kondisi ini dapat berubungan dengan kurangnya daya tahan hidup dari P. erosa yang berukuran kecil dari kondisi ekosistem mangrove yang cukup ekstrim. Penelitian ini dilakukan pengambilan kerang secara visual dan menggunakan tangan. Seperti yang telah dilakukan Pribadi (2003) didapatkan P. erosa mencapai 10.48 ind/m2. Ukuran kelas 7.2 – 8.4 cm juga memiliki jumlah yang cukup rendah. Dugaan terjadinya kondisi demikian, dimungkinkan adanya pengambilan berlebih oleh masyarakat sekitar. Ini menjadi mungkin karena menurut informasi dari masyarakat sekitar, mereka lebih cenderung berminat pada kerang dengan ukuran besar. Kerang dengan ukuran besar biasanya memiliki daging yang lebih tebal. Daging yang lebih tebal lebih cepat diminati masyarakat sekitar karena cocok dimanfaatkan untuk konsumsi. Pola Distribusi P. erosa Tabel 4.3 menunjukan pola distribusi P. erosa dari masing-masing kelompok stasiun. Secara keseluruhan pola distribusinya bersifat mengelompok. Pola distribusi mengelompok ditunjukan dari nilai rata-rata ( x ) lebih kecil dibandingkan nilai keragaman (S2) yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan indeks variansi. Kondisi distribusi mengelompok digambarkan bila ditemukan beberapa P. erosa di titik tertentu, maka akan diperoleh juga sekelompok kerang dengan ukuran yang bervariasi. Dapat dipastikan terdapat individu jantan dan betina pada kelompok tersebut. Sesuai dengan pernyataan Susilo dan Chrisna (2005) P. erosa di Segara Anakan mempunyai pola distribusi mengelompok (Aggregate). Pola persebaran mengelompok merupakan bentuk penyebaran paling umum yang terjadi di alam. Hal ini disebabkan karena individu-individu dalam suatu populasi cenderung membentuk kelompok dalam berbagai ukuran. Pola mengelompok terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan respon terhadap perbedaan habitat secara lokal. Mangrove Segara Anakan sebagai habitat biota memiliki salinitas yang cenderung tinggi di bagian timur. Kandungan air pada substrat di bagian barat cenderung lebih tinggi. Secara umum tekstur substrat berupa liat. Wilayah bagian timur memiliki kandungan pasir relatif lebih tinggi. P. erosa jarang ditemukan pada bagian timur mangrove Segara Anakan. Pola distribusi dari P. erosa terkait dengan tingkah laku strategi reproduksi, kesediaan pakan dan kondisi lingkungan (Kresnasari, 2010). Pola sebaran juga dipengaruhi oleh faktor kompetisi. Kompetisi ini dapat berupa perebutan makanan dan ruang
28
untuk hidup. Sesuai dengan kondisi yang terdapat dilapangan, pada ekosistem mangrove Segara Anakan banyak terdapat komunitas bentik. Salah satunya adalah gastropoda. Baik gastropoda maupun P. erosa memanfaatkan plakton sebagai pakan dan substrat sebagai tempat hidup. Gastropoda merupakan salah satu kompetitor dari P. erosa baik dari segi ruang hidup maupun makanan. Menurut Utomo et al. (2006) selain gastropoda, biota kompetitor lain dari P. erosa dapat berupa Polychaetha dan Crustacea. Menurut Leimena et al. (2005) dan Natan (2008), pola penyebaran mengelompok berkaitan dengan kemampuan larva hewan bentik memilih daerah yang akan ditempatinya. Jika substrat dan faktor fisika, kimia dan biologi perairan tidak mendukung maka larva tidak akan menetap atau tidak bermetamorfosis. Barnes dan Rupert (1991) berpendapat bahwa distribusi pada sebagian besar bivalvia dipengaruhi oleh fase kehidupannya. Ketika menjadi larva, larva ini akan mencari tempat yang tepat untuk berkembang menjadi kerang muda. Vegetasi Mangrove Segara Anakan merupakan lahan basah yang sebagian besar lahanya terdiri dari hutan mangrove. Secara keseluruhan pada hutan mangrove terdapat 26 spesies (Murtiono et al., 2012). Beberapa spesies mangrove yang terdapat di Segara Anakan adalah api-api (Avicennia marina dan Avicennia oficinalis), bogem (Sonneratia alba), bakau (Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata), tancang (Bruguirea sp.), nyuruh (Xylocarpus granatum dan Xylocarpus mulloccensis) dan nipah (Nypa fructicans). Selain spesies mangrove sejati yang telah disebutkan, terdapat beberapa tumbuhan yang berasosiasi dengan mangrove, diantaranya Acrostichum aereum, jerujon (Acanthus sp.) dan gandelan (Derris heterophylla) (Atmaja, 2010). Berdasarkan analisis data, mangrove kategori pohon hanya didominasi oleh Nypa fructicans. Gambar 4.4 menunjukan kodisi vegetasi mangrove kategori anakan di kawasan Segara Anakan. Terlihat bahwa nilai penting tertinggi yaitu spesies Rhizophora apiculata. Sedangkan pada kategori semai, semak dan herba (Gambar 4.5), nilai penting tertinggi yaitu Acanthus ebracteatus. Tingkat kedua didominasi oleh Acanthus ilicifolius. Nilai Penting setiap spesies vegetasi yang ditemukan dipengaruhi oleh nilai kerapatan. Tingginya nilai ini menunjukkan banyaknya vegetasi mangrove tersebut pada hutan mangrove Segara Anakan. Beragamnya nilai kerapatan ini disebabkan karena kondisi hutan mangrove yang memiliki variasi lingkungan yang tinggi. Menurut Loveless (1989), sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung tersebar luas. Menurut Odum (1971), vegetasi yang dominan mempunyai produktivitas yang besar. Keberadaan spesies dominan pada lokasi penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya. Data di atas menyebutkan bahwa mangrove kategori semai, semak dan herba didominasi oleh familia Acanthaceae. Kondisi ini mempengaruhi semai, semak dan herba spesies lain. Semai, semak dan herba spesies lain akan sulit berkembang karena kurang mendapat sinar matahari akibat tertutup oleh Acanthus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor et al. (2006) bahwa Acanthus merupakan spesies yang tumbuh bergerombol, kuat dan memiliki kemampuan untuk menyebar secara vegetatif dan terdapat akar udara yang
29
tumbuh di permukaan bawah batang horizontal, sehingga akan menutupi semai, semak dan herba lain yang ukurannya di bawah Acanthus. Spesies yang mendominasi pada kategori anakan adalah Rhizophora apiculata. Menurut Tomlinson (1994), spesies ini termasuk dalam mangrove sejati yaitu mangrove yang hanya tumbuh di habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar napas / udara dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam (mengeluarkan garam untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan). Nypa fructicans sebagai spesies dominan pada kategori pohon memiliki struktur rumpun (bongkol/pangkal) yang sangat kuat untuk pertumbuhan dan perkembangan vegetasi selanjutnya. Ali et al. (2009) menyebutkan bahwa Nypa fruticans sebagai palma hidup menjalar di tanah, batang terendam lumpur dan hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah sehingga menampakkan seolaholah tidak berbatang. Palma ini dapat tumbuh di dalam wilayah perairan yang berlumpur, agak tawar sepanjang masih dipengaruhi pasang-surut air laut. Kondisi tempat yang sesuai, tegakan Nypa fruticans membentuk jalur yang lebar yang tidak terputus di belakang lapisan hutan bakau, yang sejajar dengan garis pantai. Saat pengamatan banyak ditemukan pohon yang ditebang dan hanya terdapat Nypa fruticans sebagai spesies mangrove kategori pohon. Sesuai dengan pernyataan Tumisem dan Suwarno (2008) dalam forum geografi bahwa banyak mangrove kategori pohon terutama spesies Rhizophora sp. yang ditebang secara ilegal. Penebangan ini berlatar belakang penggunaan Rhizophora sp. sebagai kayu bakar banyak industri gula kelapa di wilayah cilacap. Spesies ini menjadi favorit karena mempunyai kepadatan yang cukup tinggi. Kayu dengan kepadatan yang tinggi akan menjadi lebih berat (rata-rata 0.9 m/s2), keras, mempunyai daya keawetan yang lama dan merupakan bahan bakar yang baik dengan panas yang ditimbulkan cukup tinggi serta nyala apinya cukup lama. Penyusutan mangrove akibat pengambilan kayu bakar oleh industri kecil gula kelapa di zona depan (zona Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata), menyebabkan terjadinya perubahan zonasi vegetasi mangrove. Perubahan yang terjadi yaitu bahwa pada lokasi tidak terganggu zona terdepan didominasi oleh Rhizophora apiculata, sedang pada lokasi terganggu zona terdepan berubah menjadi didominasi oleh Nypa fruticans yang berasosiasi dengan Bruguiera gymnorrhiza. Lokasi mangrove yang mengalami kerusakan paling berat akibat pengambilan kayu bakar mangrove sebagai bahan bakar oleh industri kecil gula kelapa mengakibatkan sebagaian besar area mangrove menjadi kosong. Lokasi ini banyak terdapat pada mangrove Segara Anakan bagian tengah dan barat sesuai dengan data sekunder yang telah didapat. Berdasarkan dari data yang diperoleh (Ardli dan Wolff, 2008), menyatakan bahwa luas kawasan mangrove Segara Anakan pada tahun 1987 sebesar 15827.6 ha. Tahun 1995 luas mangrove menjadi 10974.6 ha. Tahun 2004 luas mangrove menurun kembali menjadi 9271.6 ha dan terus menerus mengalami penurunan hingga tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Bila dibandingkan dengan luas mangrove yang didapat dari analisis landsat 2012, luas mangrove Segara Anakan hanya mencapai 8036.9 ha. Dengan demikian kondisi mangrove Segara Anakan memang masih mengalami degradasi. Degradasi disini dapat diartikan penurunan luas
30
mangrove terus-menerus dan terjadi secara berkala. Ardli dan Wolff (2008) menyatakan bahwa mangrove di Segara Anakan telah banyak dikonversi menjadi persawahan, lahan pertanian, pertambakan, permukiman dan industri. Potensi sumberdaya alam ekosistem hutan mangrove rawan terhadap degradasi, terutama pertumbuhan dan perkembangan mangrove tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) degradasi berarti penurunan. Demikian pula keberadaan hutan mangrove yang berada di daerah Segara Anakan, Cilacap. Sesuai kondisi fisik di lapangan dan analisis pemetaan mangrove di kawasan ini mengalami degradasi. Fenomena ini, jelas mengindikasikan akan terjadinya kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir yang berimplikasi pada hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Kualitas Lingkungan Nilai pH pada tiap stasiun menunjukan kisaran antara 5.8 hingga 6.9. Dengan demikian nilai pH tiap stasiun tidak menunjukan perbedaan yang cukup signifikan. Senada dengan pernyataan Kresnasari (2010) bahwa site preferensi pH untuk P. erosa yaitu kisaran 6.1 hingga 6.9 dan cenderung fluktuatif. Barus (1996) menyatakan bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme laut antara 6.7 – 8.2. Perbedaan nilai pH masing-masing stasiun dimungkinkan adanya perbedaan aktivitas fungsi area tersebut. Fungsi aktivitas disini dapat berupa lahan bekas tambak ataupun area mangrove yang masih asli. Selain itu batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor seperti temperatur, oksigen terlarut, alkalinitas dan adanya anion dan kation serta spesies dan stadia organisme (Effendi, 2003). Temperatur permukaan air yang didapat pada masing-masing stasiun berkisar antara 27 hingga 33 oC. Sedangkan temperatur udara berkisar antara 25 hingga 34 oC. Data di atas sesuai dengan pernyataan Kastoro (1988) bahwa kisaran temperatur toleransi hidup bivalvia mencapai 20 hingga 35oC dengan fluktuasi kurang dari 5oC. Sesuai dengan pernyataan Saputra (2003), temperatur permukaan air di daerah Segara Anakan berkisar 26.6 – 32 °C. Temperatur menjadi faktor penting dari proses kehidupan dan penyebaran organisme. Temperatur memiliki pengaruh langsung pada aktivitas organisme seperti pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme. Sedangkan pengaruh tidak langsung meliputi meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Pengaruh lain dari temperatur, menyebabkan perubahan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman makrobenthos baik secara langsung maupun tidak langsung (Nyabakken, 1992). Kisaran nilai salinitas dari tiap stasiun antara 25 – 35‰. Nilai salinitas tertinggi terdapat pada stasiun B3 dan C1. Terendah pada stasiun A1. Kondisi ini diduga berhubungan dengan tingginya kadar garam terlarut di sekitar stasiun pengamatan. Senada dengan pernyataan Saputra (2003), salinitas di wilayah Segara Anakan berkisar antara 0 – 27‰. Spesies kerang P. erosa tergolong mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas (Putri, 2005). Nyabakken (1992) juga menyebutkan bahwa sebagian besar bivalvia estuarin dapat hidup baik dengan kisaran salinitas 5 – 35‰. Perbedaan salinitas pada setiap stasiun penelitian berkaitan dengan temperatur pada setiap stasiun.
31
Hasil pengukuran intensitas cahaya pada masing-masing stasiun pengambilan sampel cukup fluktuatif. Stasiun C3 menunjukan nilai kelimpahan tergolong tinggi memiliki nilai intensitas cahaya yang relatif tinggi. Stasiun yang memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi menyebabkan salah satu organisme yaitu fitoplankton dapat berkembang pesat karena kondisi tersebut dapat memenuhi kebutuhan dalam aktivitas fotosintesisnya. Bila jumlah fitoplakton melimpah maka kondisi ini menguntungkan bagi P. erosa maupun organisme yang lainnya. Akan tetapi intensitas cahaya tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan maupun kelimpahan P. erosa karena kerang ini termasuk organisme heterotrof. Cahaya mempengaruhi kondisi lingkungan tempat hidup (Kresnasari, 2010). Kandungan air dalam tanah yang telah dianalisis menggunakan metode gravimetri berkisar antara 36.96 hingga 67%. Kondisi ini menunjukan bahwa kandungan air pada substrat relatif besar. Seperti yang telah disampaikan oleh Kresnasari (2010) bahwa tanah mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit, kaya bahan organik dan selalu jenuh air sehingga hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Air dalam substrat membantu P. erosa memperoleh makanan dengan menyaring zat yang tersuspensi pada badan air (Heddy dan Kurniati, 1994). Bila kandungan air dalam substrat tergolong kecil, maka P. erosa akan terkena udara terbuka terus menerus sehingga dapat memperkecil kesempatan memperoleh makanan dan mengalami kekeringan yang dapat menimbulkan kematian (Sitorus, 2008). Analisis bahan organik yang dilakukan dengan metode gravimetri (Suin, 2002). Nilai kandungan bahan organik terendah ada pada stasiun D3 sebesar 13.26%. Sedangkan nilai kandungan organik tertinggi pada stasiun D1 sebesar 21.41%. Siahaan (2006) mengklasifikasikan kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat yaitu < 1% sangat rendah, 1 – 2% rendah, 2.01% – 3% sedang, 3.01 – 5% tinggi, > 5% sangat tinggi. Berdasarkan klasifikasi tersebut, seluruh stasiun tergolong memiliki kandungan organik yang sangat tinggi. Akan tetapi pada stasiun tertentu tidak ditemukan P. erosa walaupun kandungan organik tergolong tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain, antara lain kondisi substrat yang selama pengamatan terlihat keras dan kering. Nilai rata-rata prosentase secara keseluruhan dari pengukuran jenis dan tekstur tanah dengan menggunakan metode pipet (Sulaiman et al., 2005) yaitu 6.4% pasir, 34.26% debu dan 59.34% liat. Kelas jenis tanah pada keseluruhan stasiun didominasi oleh kelas liat. Kelompok stasiun D dengan kondisi mangrove kategori baik memiliki komposisi substrat yang tidak sesuai dengan site preferensi P. erosa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pribadi (2003) jenis substrat di kawasan mangrove Segara Anakan termasuk dalam kategori lumpur berpasir. Kisaran komposisi ideal lumpur berpasir yaitu liat 60%, debu 20% dan pasir 10% (Irfania, 2009). Selain itu menurut Dwiono (2003) P. erosa hidup pada substrat yang relatif halus (0.075 mm). Substrat dasar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola penyebaran hewan makrobenthos. Hal ini disebabkan karena selain berperan sebagai tempat tinggal juga berfungsi sebagai penimbun unsur hara, tempat berkumpulnya bahan organik serta pengumpulan organisme dasar dari ancaman predator (Nyabakken, 1992). Sebaran karakteristik komponen lingkungan dari keseluruhan stasiun tergambar pada hasil analisis PCA (Gambar 4.7 ). Berdasarkan dua belas variabel
32
yang diamati, direduksi menjadi tiga faktor. Masing-masing faktor memberi kontribusi secara berurutan yaitu 37.7%, 26.2%, 11.5%. Ketiga faktor ini dapat menjelaskan 75.4% dari keseluruhan hubungan. Faktor lingkungan yang memiliki hubungan paling dekat dengan nilai kepadatan P. erosa adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Nyabakken (1992), semakin tinggi tingkat penguapan (temperatur tinggi) di suatu wilayah maka salinitas semakin tinggi dan begitupun sebaliknya. Selain itu ekosistem mangrove pada umumnya memiliki temperatur yang cendenrung fluktuatif. Kandungan air pada substrat juga mempengaruhi kehidupan dari P. erosa karena kondisi substrat menjadi habitat langsung dari kerang ini. Dengan kandungan air yang cukup, kerang ini dapat menjalankan metabolismenya sebagai filter feeder dengan baik. Selain itu intensitas cahaya berpengaruh terhadap kehidupan dan kelangsungan mikroorganisme seperti plakton untuk berfotosintesis dan ini menguntungkan bagi P. erosa yang memanfaatkannya sebagai pakan. Kondisi ini juga dapat mempengaruhi persebaran dari P. erosa. Saat stadia larva, P. erosa mencari habitat yang cocok seperti kondisi substrat yang memiliki kandungan air yang cukup. Berkembang menjadi bivalvia muda lalu menetap hingga dewasa dan matang gonad (Manzi dan Castagna, 1989). Keterkaitan Ekosistem Mangrove dengan Populasi P. erosa Gambar 4.8 menunjukan hubungan antara kerapatan mangrove seluruh kategori terhadap kelimpahan P. erosa. Berdasarkan analisis regresi kubik, didapatkan nilai R kategori pohon sebesar 0.055. R untuk kategori anakan sebesar 0.146. R untuk kategori semai, semak dan herba adalah 0.094. Secara keseluruhan tergolong memiliki hubungan yang sangat lemah terhadap kepadatan P. erosa. Kerapatan mangrove tidak berpengaruh secara langsung terhadap tingkat kepadatan individu gastropoda dan bivalvia tetapi kerapatan mangrove diduga berpengaruh langsung terhadap kandungan bahan organik di daerah mangrove yang akan berpengaruh langsung terhadap kepadatan bivalvia (Tis’in, 2008). Tidak ditemukan P. erosa pada kelompok stasiun D dengan kategori mangrove baik. Sedangkan pada kelompok stasiun A, B dan C yang memiliki kondisi mangrove lebih buruk ditemukan adanya P. erosa. Sesuai dengan pernyataan Rumalutur (2004) bahwa kerapatan mangrove tidak berpengaruh signifikan terhadap kelimpahan bivalvia. Mangrove hanya sebagai stimulan kondisi lingkungan bukan sebagai pembentuk habitat. Menurut Tis’in (2008) bahwa kerapatan mangrove terkait erat dengan ketersediaan bahan organik yang terjadi pada lingkungan yang mendukung pertumbuhan dekomposer untuk melakukan dekomposisi bahan organik. Kondisi ini terjadi karena adanya berbagai faktor lain yang mempengaruhi kepadatan maupun distribusi dari P. erosa. Kondisi substrat, salinitas, pasang surut/arus dan persebaran larva juga mempengaruhi kondisi dari populasi P. erosa (Gosling, 2004) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil analisis PCA menunjukan bahwa faktor lingkungan yang paling berpengaruh dengan kepadatan P. erosa adalah kandungan air dalam substrat, temperatur dan intensitas cahaya. Putri (2005) menyatakan spesies kerang familia Corbiculidae termasuk golongan yang mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas. Akan tetapi kondisi salinitas di Segara Anakan cukup fluktuatif. Menurut
33
Nyabakken (1992) semakin tinggi tingkat penguapan air akibat dari variasi temperatur yang signifikan di suatu wilayah maka salinitasnya akan semakin tinggi begitu pula sebaliknya. Salinitas di wilayah Segara Anakan berkisar antara 0 – 27‰ (Saputra, 2003). Salinitas Segara Anakan bagian Timur cenderung lebih tinggi dibanding barat. Site preferensi P. erosa terdapat pada substrat yang cenderung memiliki kandungan air yang cukup. Ini mempermudah P. erosa dalam proses penyaringan makanan. Selain itu, intensitas cahaya berpengaruh pada kelimpahan mikroorganisme yang dimanfaatkan P. erosa sebagai sumber pakan. Hal inilah yang menyebabkan P. erosa tidak ditemukan pada mangrove Segara Anakan bagian timur. Adanya perbedaan salinitas pada setiap stasiun penelitian berkaitan dengan temperatur pada setiap stasiun. Pemanfaatan P. erosa Bagian tubuh P. erosa terdiri dari bagian cangkang dan daging. Fungsi cangkang yaitu untuk melindungi bagian tubuh dari kondisi lingkungan yang cukup ekstrim (Pechenik, 2005). Selain itu fungsi dari jaringan lunak/daging adalah untuk menjalankan fungsi fisiologis maupun anatomis. Kedua bagian tubuh ini dimanfaatkan untuk kebutuhan yang berbeda oleh masyarakat sekitar. Secara umum pemanfaatan bagian daging P. erosa oleh masyarakat digunakan sebagai bahan makanan. Kerang ini diolah dengan cara ditumis, digoreng maupun disate. P. erosa menjadi salah satu sumber protein andalan setelah ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriyantini et al. (2007) bahwa kerang ini kaya akan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang kaya akan ikatan rangkap yakni mempunyai ikatan rangkap 4 dalam struktur molekulnya, yang mempunyai peranan positif pada kesehatan manusia yaitu dapat menurunkan kadar kolesterol, membantu perkembangan syaraf pada bayi, menyembuhkan dan mencegah penyakit kardiovaskuler. Tingginya pemanfaatan P. erosa oleh masyarakat sekitar menyebabkan kerang ini menjadi salah satu biota yang dicari oleh para nelayan. Nelayan mencari kerang ini untuk menambah pendapatan mereka. Kondisi ini disebabkan karena semakin sempitnya laguna di Segara Anakan sehingga membuat pendapatan tangkapan ikan menjadi minim. Kebanyakan para nelayan mencari P. erosa di wilayah bagian barat mangrove Segara Anakan. Nelayan masih menggunakan cara tradisional dalam pencarian kerang yaitu dengan menggunakan tangan. Pencarian ini umumnya dilakukan dua kali dalam satu minggu saat masa surut. Pendapatan nelayan dari hasil pencarian P. erosa dapat dikatakan cukup tinggi. Harga jual daging P. erosa mencapai Rp. 15.000,- per kg dan penjualan dengan cangkang mencapai Rp. 4.000,- per ember (+ 12 kg/ember). Masyarakat juga memanfaatkan cangkang kerang. Cangkang kerang digunakan untuk mempertinggi lahan desa agar tidak terkena air pasang. Menurut masyarakat cangkang kerang digunakan untuk menimbun karena lebih ekonomis dibandingkan pasir. Pemanfaataan ini muncul ketika banyaknya cangkang yang terbengkalai bertumpuk didaerah tertentu. Ada beberapa masyarakat yang memanfaatkan sebagai hiasan dinding. Menurut Ali et al (2009), pemanfaatan P. erosa di daerah lain adalah untuk gantungan, hiasan dinding dan vas bunga. Selain itu cangkang dapat dibakar hingga menjadi kapur dan digunakan untuk cat rumah maupun meracik sirih.