22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan untuk menentukan kualitas awal bahan. Kadar karbohidrat dalam P. australis diperoleh melalui perhitungan by difference. Pengujian abu tidak larut asam P.
australis dilakukan karena rumput laut tersebut tumbuh pada substrat berpasir. Cara perhitungan analisis proksimat P. australis dapat dilihat pada Lampiran 1 dan hasil analisis proksimatnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi proksimat dan abu tidak larut asam P. australis Komponen Air Abu Abu tidak larut asam Lemak Protein Karbohidrat (by difference)
(% bb ± SD) 90,57 ± 0,16 2,11 ± 0,17 0,20 ± 0,01 0,39 ± 0,01 1,02 ± 0,04 5,91 ± 0,37
(% bb ± SD) 83,1 ± 1,0a 5,5 ± 0,4a 3,6b 0,8 ± 0,1a 1,5 ± 0,1a -
Keterangan: a = Santoso (2003) b = Fitrya (2010)
Hasil pengujian komposisi proksimat P. australis berdasarkan Tabel 1 menunjukkan nilai yang berbeda. Manivannan et al. (2009) menyatakan bahwa komposisi rumput laut yang berbeda dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, cahaya, dan nutrisi. Kadar air dalam P. australis yang diteliti sebanyak 90,57%. Nilai tersebut lebih banyak daripada kadar air P. australis yang diteliti oleh Santoso (2003) yaitu 83,1%. Menurut Abbas (2006), perbedaan kadar air dalam suatu bahan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan penyimpanan yang meliputi suhu dan kelembaban nisbi (RH). Kadar air suatu bahan akan menjadi lebih tinggi saat RH tinggi sehingga bahan akan menyerap uap air dari udara (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Bahan organik terbakar dalam proses pembakaran tetapi zat anorganiknya tidak, sehingga disebut abu (Winarno 2008).
23
Kadar abu P. australis yang diteliti sebanyak 2,11%, jumlah tersebut lebih sedikit daripada hasil penelitian Santoso (2003) yaitu 5,5%. Hal tersebut dapat disebabkan karena perbedaan perlakuan seperti proses pencucian terhadap sampel yang diteliti. Lama pencucian dapat mengurangi serbuk halus yang terdapat dalam sampel yang diteliti. Menurut Fitrya (2010), thalus P. australis mengakumulasi serbuk halus yang menyebabkan sebagian besar permukaan thalus mengalami pengapuran. Serbuk tersebut merupakan mineral berupa kalsium yang tidak dapat masuk ke dalam jaringan P. australis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Santoso et al. (2006) yang menunjukkan bahwa jumlah kalsium (Ca) yang terdapat dalam P. australis lebih banyak daripada magnesium (Mg), kalium (K), Natrium (Na), tembaga (Cu), seng (Zn), dan besi (Fe). Kadar abu tidak larut asam P. australis yang diteliti menunjukkan hasil yang rendah yaitu 0,20%. Nilai tersebut jauh berbeda dengan hasil penelitian Fitrya (2010) yaitu 3,6%. Mappiratu (2009) menyatakan bahwa jumlah abu tidak larut asam dalam suatu bahan yang disyaratkan oleh FAO, maksimal 1%. Kadar abu tidak larut asam menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut dalam asam. Kadar lemak P. australis yang diteliti sebanyak 0,39 %, sedangkan hasil penelitian Santoso (2003) yaitu 0,8%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar lemak dalam P. australis sangat rendah. Kadar protein P. australis juga menunjukkan jumlah yang tidak banyak. Kadar protein P. australis yang diteliti yaitu 1,02%. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Santoso (2003) yaitu 1,5%. Perhitungan kadar karbohidrat P. australis dilakukan dengan metode by difference dan diperoleh nilai sebesar 5,91%. Rendahnya hasil uji proksimat tersebut mengindikasikan bahwa P. australis tidak dapat digunakan sebagai sumber lemak, protein, dan karbohidrat. 4.2 Serat Pangan Serat pangan adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang dapat diserap dalam saluran pencernaan. Serat terdiri atas berbagai substansi yang kebanyakan di antaranya adalah karbohidrat kompleks (Ardiansyah 2008). Hasil uji serat pangan P. australis dapat dilihat pada Tabel 2.
24
Tabel 2. Komposisi serat pangan P. australis Jenis Serat Jumlah (g/100 g) Serat pangan tidak larut [IDF] 5,39 ± 0,10 Serat pangan larut [SDF] 8,39 ± 0,08 Total serat pangan [TDF] 13,78 ± 0,08
Jumlah (g/100 g)* 4,88 ± 0,15 0,46 ± 0,20 5,34 ± 0,36
Keterangan: * = Santoso (2003)
Total serat pangan P. australis yang diperoleh yaitu 13,78 g/100g. Nilai tersebut lebih banyak daripada hasil penelitian Santoso (2003) terhadap total serat pangan yang terdapat dalam spesies yang sama yaitu 5,34 g/100g. Perbedaan total serat pangan dipengaruhi oleh jumlah serat pangan tidak larut dan serat pangan larut. Rumput laut P. australis mengandung serat pangan tidak larut [IDF] sebanyak 5,39 g/100g. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Santoso (2003) sebanyak 4,88 g/100g. Serat pangan larut [IDF] P. australis yang diteliti sebanyak 8,39 g/100g. Jumlah tersebut lebih banyak daripada serat pangan larut [SDF] yang diteliti oleh Santoso (2003) yaitu sebanyak 0,46 g/100g. Perbedaan jumlah serat pangan dalam suatu sampel yang sama dapat disebabkan oleh kadar abu yang terdapat dalam serat pangan larut. Kadar abu yang terdapat dalam residu akhir analisis serat pangan merupakan kontaminan. Kadar serat pangan diperoleh setelah residu serat pangan dikurangi dengan kadar abu yang terdapat dalam sampel (Jelita 2011). Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar abu P. australis yang diteliti dua kali lebih sedikit daripada kadar abu yang diteliti oleh Santoso (2003). Hal ini mengindikasikan bahwa kadar abu P. australis dengan jumlah yang lebih sedikit, tidak banyak mengurangi total serat pangan yang diperoleh. Muchtadi (2001) menyatakan bahwa serat pangan larut dapat menyerap absorpsi glukosa dalam usus. 4.3 Rendemen Ekstrak Rendemen merupakan persentase jumlah komponen tertentu yang diekstraksi dari suatu bahan. Rumput laut P. australis yang telah dikeringkan diekstrak menggunakan pelarut metanol, etil asetat, dan n-heksana. Pengeringan bertujuan untuk menghindari proses pembusukan dan memudahkan terjadinya proses ekstraksi. Banyaknya air dalam bahan pangan sangat menentukan kesegaran dan daya awet bahan. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya
25
bakteri, kapang, dan khamir tumbuh berkembang biak dalam bahan pangan (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Menurut Drastinawati (2005), ekstraksi yang dilakukan pada daun kering menghasilkan rendemen yang lebih banyak daripada daun segar. Sel daun yang dikeringkan mengalami kerusakan atau pecah dan kandungan airnya sangat rendah, sehingga ekstraksi dengan pelarut organik menjadi lebih mudah dan memberikan hasil yang lebih banyak. Metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi tunggal. Menurut Sarastani et al. (2002), ekstraksi tunggal menghasilkan rendemen ekstrak tiga kali lebih banyak daripada menggunakan metode ekstraksi bertingkat. Perhitungan rendemen P. australis dapat dilihat pada Lampiran 3. Rendemen ekstraksi P. australis yang dihasilkan menggunakan jenis pelarut yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Histogram rendemen ekstrak P. australis Rendemen ekstrak P. australis tertinggi terdapat pada ekstrak metanol yaitu 4,66 g/100g. Rendemen ekstrak yang dihasilkan menggunakan pelarut etil asetat dan n-heksana secara berurut yaitu 0,70 g/100g dan 0,30 g/100g. Ekstrak sampel yang dihasilkan menggunakan pelarut yang berbeda menunjukkan bahwa rendemen berkurang seiring dengan menurunnya tingkat kepolaran pelarut. Hal ini mengindikasikan bahwa P. australis mengandung komponen bioaktif yang cenderung larut dalam pelarut polar. Proses ekstraksi beberapa tanaman herbal menggunakan pelarut yang berbeda yang dilakukan oleh Suryanto et al. (2008) menghasilkan rendemen terbanyak pada pelarut yang bersifat polar.
26
4.4 Kandungan Total Fenol Kandungan total fenol ditentukan menggunakan metode Folin-Ciocalteu dengan asam galat sebagai pembanding. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan total fenol yang dihasilkan. Perhitungan kandungan total fenol dapat dilihat pada Lampiran 4. Kandungan total fenol ekstrak P. australis yang dihasilkan menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Histogram total fenol ekstrak P. australis (mg/1000 g) Hasil ekstraksi menggunakan metanol memiliki kandungan total fenol terbanyak yaitu 246,09 mg GAE/1000g. Menurut Widyawati (2005) fenol bersifat polar sehingga larut dalam pelarut polar. Kandungan fenol pada ekstrak etil asetat sebanyak 90,89 mg GAE/1000g, sedangkan pada ekstrak n-heksana yaitu 17,32 mg GAE/1000g. Andayani et al. (2008) menyatakan bahwa kandungan total fenol yang diekstraksi menggunakan pelarut yang berbeda, berkurang seiring dengan menurunnya tingkat kepolaran pelarut. 4.5 Fitokimia Rendemen ekstrak P. australis mengandung fenol dengan jumlah yang cukup banyak sehingga dilakukan pengujian fitokimia. Metode yang digunakan mengacu pada Harborne (1987). Menurut Koche et al. (2010), fitokimia pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bagian primer dan bagian sekunder, tergantung pada fungsinya pada metabolisme tanaman. Bagian primer terdiri dari
27
gula, asam amino, protein dan klorofil. Bagian sekunder terdiri dari alkaloid, terpenoid, saponin, komponen fenol, flavonoid, tannin dan lain-lain. Hasil uji
fitokimia terhadap ekstrak rumput laut P. australis yang diekstrak menggunakan pelarut yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Senyawa fitokimia dalam ekstrak P. australis Senyawa
Ekstraksi Metanol
Etil Asetat
N-Heksana
-
-
-
Flavonoid
++
++
++
Fenol hidrokuinon
+
+
+
+++
++
+
Triterpenoid
-
+
++
Tanin
-
-
-
-
-
Keterangan
Alkaloid : Dragendorf Meyer Wagner
Steroid
Saponin Keterangan :
+ + ++ +++
Endapan merah Endapan putih kekuningan Endapan Coklat Lapisan amil alkohol bewarna merah, kuning, atau hijau Hijau atau hijau biru Perubahan warna merah menjadi biru/hijau Perubahan warna menjadi merah Perubahan warna menjadi merah tua Terdapat busa
= Tidak terdeteksi = Lemah = Kuat = Sangat kuat
Hasil uji fitokimia berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak P. australis yang dihasilkan menggunakan tiga pelarut yang berbeda mengandung senyawa
flavonoid,
fenol
hidrokuinon,
dan
steroid.
Hasil
uji
yang
mengindikasikan adanya senyawa fitokimia dapat dilihat pada Gambar 6. Senyawa fitokimia pada ekstrak P. australis diduga tidak hanya mengandung senyawa tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya kandungan fenol yang terdapat pada setiap ekstrak P. australis. Senyawa saponin hanya terdeteksi pada ekstrak metanol, sedangkan senyawa triterpenoid hanya terdeteksi pada ekstrak etil asetat dan n-heksana. Senyawa steroid pada ketiga ekstrak terdeteksi semakin kuat seiring dengan meningkatnya tingkat kepolaran.
28
(a)
(b)
(d) (e) Keterangan : a = Tanin b = Alkaloid c = Steroid dan Triterpenoid d = Flavonoid e = Fenol Hidrokuinon f = Saponin
(c)
(f)
Gambar 6. Hasil uji fitokimia ekstrak P. australis Senyawa triterpenoid pada ekstrak P. australis terdeteksi kuat seiring dengan berkurangnya tingkat kepolaran pelarut. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Fitrya et al. (1999) yang menunjukkan bahwa ekstrak metanol P. australis mengandung senyawa steroid yang lebih banyak dan senyawa triterpenoid hanya terdeteksi pada ekstrak n-heksana. 4.6 Aktivitas Antioksidan Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH dengan BHT (butylated hydroxytoluene) sebagai antioksidan standar. Aktivitas antioksidan ditunjukkan oleh nilai Inhibition Concentration (IC 50 ). Molyneux (2004) mendefinisikan IC 50 sebagai konsentrasi senyawa antioksidan yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Menurut Chang et al. (2007), DPPH (diphenylpicrylhydrazyl) adalah suatu radikal bebas yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk senyawa yang lebih stabil. Reaksi tersebut ditandai dengan terjadinya perubahan warna ungu menjadi kuning yang dideteksi pada panjang gelombang 517 nm. Ekstrak metanol, etil asetat, dan n-heksana P. australis yang digunakan untuk meredam DPPH secara umum berubah dari warna kuning kecoklatan menjadi kuning jernih. Perubahan warna yang terjadi pada ekstrak n-heksana P. australis dapat dilihat pada Gambar 7.
29
a
b
Keterangan: a = sebelum pengukuran absorbansi b = setelah pengukuran absorbansi
Gambar 7. Perubahan warna ekstrak n-heksana P. australis Warna kuning kecoklatan pada ekstrak P. australis diduga karena adanya pigmen yang mendominasi larutan tersebut. Nurdiana et al. (2008) menyatakan bahwa P. australis yang berasal dari perairan Jepara, Indonesia mengandung pigmen klorofil a dan fukoxantin. Menurut Limantara dan Heriyanto (2010) P. australis mengandung pigmen fukoxantin lebih banyak dari lima jenis rumput laut coklat yang berasal dari perairan Madura, Indonesia. Hasil uji aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ekstrak metanol memiliki nilai IC 50 tertinggi yaitu 267,05 ppm. Aktivitas antioksidan yang tinggi pada ekstrak metanol disebabkan adanya kandungan senyawa steroid dan saponin yang terdapat di dalamnya. Menurut Suparjo (2009), saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, dan rhamnosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik berupa triterpenoid dan steroid. Saponin dapat menurunkan kolesterol, mempunyai sifat sebagai antioksidan, antivirus, dan anti karsinogenik. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Perhitungan IC 50 dapat dilihat pada Lampiran 5 dan hasil uji aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Gambar 8.
30
Gambar 8. Histogram aktivitas antioksidan ekstrak P. australis (ppm) Aktivitas antioksidan ekstrak P. australis yang menggunakan pelarut metanol lebih baik daripada menggunakan etil asetat dan n-heksana. Akan tetapi, aktivitas antioksidannya tergolong rendah karena nilai IC 50 lebih dari 200 ppm. Menurut Blois (1958) diacu dalam Molyneux (2004), suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC 50 kurang dari 50 ppm, kuat apabila nilai IC 50 antara 50-100 ppm , dan lemah apabila nilai IC 50 berkisar antara 150-200 ppm. Nilai IC 50 ekstrak P. australis menggunakan pelarut etil asetat dan n-heksana secara berurut yaitu 1160,21 ppm dan 1829,47 ppm. Nilai IC 50 yang ditunjukkan oleh ketiga ekstrak P. australis masih jauh lebih banyak daripada nilai IC 50 BHT yaitu 19,04 ppm. Molyneux (2004) menyatakan bahwa semakin kecil nilai IC 50 , semakin tinggi aktivitas antioksidan suatu bahan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan ekstrak P. australis dalam menghambat 50% radikal bebas sangat lemah dibandingkan dengan kemampuan BHT.